You are on page 1of 66

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dermatosis eritropapuloskuamosa merupakan penyakit kulit yang ditandai terutama
oleh adanya eritema, papul, dan skuama. Eritema merupakan kelainan pada kulit berupa
kemerahan yang disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah kapiler yang bersifat
reversibel. Papul merupakan penonjolan di atas permukaan kulit, sirkumskrip, berukuran
diameter lebih kecil dari cm, dan berisikan zat padat. Skuama merupakan lapisan dari
stratum korneum yang terlepas dari kulit. Maka, kelainan kulit yang terutama terdapat
pada dermatosis eritropapuloskuamosa adalah berupa kemerahan dan sisik/terlepasnya
kulit.
Penyakit Eritropapuloskuamosa terdiri dari beberapa penyakit kulit yang digolongkan
di dalamnya, antara lain: Psoriasis, parapsoriasis, pitiriasis rosea, eritroderma, dermatitis
seboroik dan liken planus.

B. Tujuan
Dengan penulisan referat ini, dokter muda berharap dapat:
1. Mengetahui dan memahami dasar mengenai Eritropapuloskuamosa.
2. Mampu menganalisis kasus, penegakkan diagnosis sesuai dengan criteria dan
klasifikasi Eritropapuloskuamosa.
3. Dapat

menambah

keilmuan

dokter

muda

tentang

macam-macam

Eritropapuloskuamosa.
4. Dapat menambah sumber informasi ilmiah yang dapat dipergunakan sejawat
lainnya.
5. Mampu dijadikan informasi yang komunikatif kepada pembacanya.
1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PSORIASIS
Psoriasis merupakan penyakit kronik rekuren pada kulit dengan gambaran klinis
yang bervariasi. Lesi pada kulit biasanya sangat jelas sehingga diagnosis dapat dengan
mudah

ditegakkan.

Jenis

lesi

pada

psoriasis

adalah

eritroskuamosa

atau

eritropapuloskuamosa, yang menunjukkan bahwa terdapat keterlibatan vaskuler (eritem)


dan epidermis (skuama atau papul). Bercak eritem pada psoriasis berbatas tegas dengan
skuama tebal, berlapis, transparan, berwarna putih seperti mika pada daerah predileksi.1
Daerah predileksi psoriasis adalah skalp, batas rambut kepala dengan muka, lutut,
siku, lumbosakral dan kuku. Namun, secara umum daerah predileksinya adalah di daerah
ekstensor yaitu daerah yang mudah terkena trauma.
Psoriasis merupakan salah satu peradangan kulit yang sering terjadi dan terdapat di
seluruh dunia, prevalensi penyakit ini bervariasi pada setiap negara di dunia, hal ini
mungkin dikarenakan adanya faktor ras, geografi dan lingkungan. Prevalensinya mulai
dari 0,1% hingga 11,8%.1 Di literatur lain ada yang menyebutkan 1-3% dari penduduk di
negara-negara Eropa dan Amerika Utara pernah menderita psoriasis. 2 Dan ada lagi
literatur yang melaporkan 1,5-3% populasi di Eropa dan Amerika Utara pernah
menderita psoriasis dan jarang dijumpai pada Negara Afrika dan Jepang. 3 Angka
kejadian pada laki-laki dan perempuan sama.3 Insiden pada orang kulit putih lebih tinggi
dari pada orang yang memiliki kulit berwarna, kasus psoriasis jarang dilaporkan pada
bangsa Indian di Amerika maupun bangsa Afrika.2,4 Karena kebanyakan penderita
2

psoriasis memiliki lesi-lesi yang tak hilang seumur hidupnya, hal ini jelas merupakan
masalah.
Sampai sekarang masih belum diketahui mengapa bisa timbul psoriasis. Pada
banyak kasus diduga ada faktor genetik berperan, terutama bila penyakit ini mulai
diderita sejak usia remaja atau dewasa muda.1,2,3
Beberapa pemicu yang sudah dikenal dapat menyebabkan timbulnya psoriasis pada
mereka yang rentan terkena, yaitu trauma, infeksi, obat-obatan dan bahkan pajanan sinar
matahari yang mengenai tubuh secara langsung, lebih dari 20 menit menurut the
American Academy of Dermatology (AAD), dapat menjadi pencetus timbulnya psoriasis
bagi mereka yang rentan. Beberapa penulis juga menyebutkan bahwa stres dapat
mencetuskan timbulnya psoriasis.
Namun demikian, belum dipahami secara jelas apa penyebab perubahan tempat-tempat
tertentu di kulit menjadi plak psoriasis, sedangkan tempat yang lain tetap normal.2,3
Psoriasis diklasifikasikan sebagai penyakit eritropapuloskuamosa, yang memiliki
banyak tipe seperti tipe plaque, guttate, pustular, inverse dan erythrodermik psoriasis.1
Pengobatan pada penderita psoriasis sebenarnya dapat dilakukan dengan berbagai
cara, mulai dari terapi topikal, sistemik dan dengan menggunakan penyinaran.1,3

Etiologi
Penyebab psoriasis sampai sekarang belum diketahui secara pasti, namun faktor
genetik diduga sebagai faktor predisposisi terjadinya psoriasis.1,2,4 Sekitar 35% penderita
menunjukkan adanya riwayat keluarga, kembar identik bila satunya kena maka yang
satunya lagi memiliki peluang untuk terkena 73%. Jika satu orang tua yang menderita
psoriasis maka kemungkinan anak akan terkena 25%, tapi jika kedua orang tua menderita
psoriasis maka kemungkinan anak yang akan terkena akan meningkat menjadi 60%.
Disamping itu, faktor lingkungan diduga menjadi faktor pencetus untuk beberapa
individu.3

Berikut ini adalah beberapa faktor yang menjadi pencetus munculnya psoriasis pada
individu yang berbakat:2,3
1. Trauma
Trauma pada epidermis maupun dermis seperti bekas garukan, bekas luka, dll dapat
menimbulkan lesi psoriasis pada tempat tersebut (fenomena koebner).
2. Infeksi
Infeksi saluran nafas bagian atas oleh bakteri Streptococcus, merupakan faktor
pencetus timbulnya psoriasis, terutama psoriasis gutata.
3. Obat-obatan
Obat-obatan tertentu seperti beta blockers, lithium dan anti malaria dapat
memperburuk atau mencetuskan timbulnya proriasis.
4. Sinar matahari
Pajanan sinar matahari secara langsung terutama lebih dari 20 menit dapat
memperburuk psoriasis sekitar 10%.
5. Stress
Stress dapat memperburuk psoriasis hingga 30-40%.

Patogenesis
Salah satu teori patogenesis psoriasis menyatakan bahwa penyakit ini melibatkan
proliferasi keratinosit dengan peradangan sekunder. Teori ini didukung dengan
ditemukannya defek ekspresi sitokin, sinyal intraseluler dan poliamin serta abnormalitas
keratinosit lain di lesi psoriasis. Teori lain menyatakan bahwa, psoriasis sebagai akibat
dari kerusakan sel-sel radang, sedangkan proliferasi keratinosit yang mencolok

merupakan fenomina sekunder. Teori ini didukung oleh bukti bahwa mekanisme imun
berperan pada psoriasis.
Secara umum, psoriasis ditandai oleh adanya diferensiasi sel yang abnormal,
hiperproliferasi keratinosit dan peradangan. Epidermopoiesis yang dipercepat merupakan
dasar penting pada pathogenesis psoriasis. Transit rate dari psoriatic keratinosit
meningkat dan waktu sintesis deoxyribonucleic acid menurun. Akibatnya terjadi
peningkatan produksi keratin.

Gejala Klinis
Bentuk

klasik

dari

lesi

pada

psoriasis

adalah

berbatas

tegas,

eritemopapuloskuamosa dengan skuama berlapis, transparan warna putih seperti perak


(mika), bagian tengah lebih melekat dibandingkan bagian tepi.Jika skuama dilepas
tampak bintik-bintik perdarahan (dikenal sebagai tanda Auspitz). Erupsi pada psoriasis
cenderung untuk terjadi simetris dan ini dapat membantu dalam menegakkan diagnostik,
walaupun demikian bukan berarti lesi unilateral bukan psoriasis.1,2,3
Secara umum daerah predileksi penyakit ini adalah di daerah ekstensor yaitu
daerah yang mudah terkena trauma.1,5
Bentuk klinis psoriasis
Pada psoriasis terdapat berbagai bentuk klinis, yaitu:
1. Psoriasis Vulgaris

Hampir 80 % penderita psoriasis adalah tipe Psoriasis Plak yang secara ilmiah disebut
juga Psoriasis Vulgaris. Dinamakan pula tipe plak karena lesi-lesinya umumnya
berbentuk plak. Tempat predileksinya seperti yang telah diterangkan di atas.3

Psoriasis Plak (Vulgaris)

Psoriasis Gutata

2. Psoriasis Gutata
Diameter kelainan biasanya tidak melebihi 1 cm. Timbulnya mendadak dan
diseminata, umumnya setelah infeksi Streptococcus di saluran napas bagian atas atau
sehabis influenza atau morbili, terutama pada anak dan dewasa muda. Selain itu, juga
dapat timbul setelah infeksi yang lain, baik bakterial maupun viral, pada stres, luka
pada kulit, penggunaan obat tertentu (antimalaria dan beta bloker).3

3. Psoriasis Inversa (Psoriasis Fleksural)


Psoriasis tersebut mempunyai tempat predileksi pada darerah fleksor sesuai dengan
namanya, misalnya pada daerah aksilla, pangkal pahadi bawah payudara, lipatanlipatan kulit di seklitas kemalua dan panggul. 3

Psoriasis Inversa (Psoriasis Fleksural)

Psoriasisi Pustula

4. Psoriasis Pustulosa
Ada dua pendapat mengenai psoriasis pustulosa, pertama dianggap sebagai penyakit
tersendiri, kedua dianggap sebagai varian psoriasis. Terdapat dua bentuk psoriasis
pustulosa, bentuk lokalisata dan generalisata. Bentuk lokalisata contohnya psoriasis
pustulosa palm-plantar (Barber) yang menyerang telapak tangan dan kaki serta ujung
jari. Sedangkan bentuk generalisata, contohnya psoriasis pustulosa generalisata akut
(von Zumbusch) jika pustula timbul pada lesi psoriasis dan juga kulit di luar lesi, dan
disertai gejala sistemik berupa panas / rasa terbakar. 3

5. Psoriasis Eritroderma
Psoriasis Eritroderma dapat disebabkan oleh pengobatan topikal terlalu kuat atau oleh
penyakitnya sendiri yang meluas. Bentuk ini dapat juga ditimbulkan oleh infeksi,
hipokalsemia, obat antimalaria, tar dan penghentian kortikosterid, baik topikal
maupun sistemik. Biasanya lesi yang khas untuk psoriasis tidak tampak lagi karena
terdapat eritema dan skuama tebal universal. Ada kalanya lesi psoriasis masih tampak
samar-samar, yakni lebih eritematosa dan kulitnya lebih meninggi. 3

Psoriasis Eritroderma

Pengobatan Psoriasis
Dalam kepustakaan terdapat banyak cara yang dapat dilakukan untuk pengobatan
psoriasis, seperti pengobatan topikal, pengobatan sistemik, pengobatan dengan
menggunakan penyinaran dan bahkan sekarang ini sudah ada pengobatan secara biologi
(Tabel 1, 2, 3 dan 4).1,2,3,5
Tujuan pengobatan psoriasis adalah untuk mengurangi keparahan dan luas lesi
kulit, sehingga penyakitnya tidak mengganggu pekerjaan, kehidupan pribadi maupun
sosial dan kesejahteraan penderita.2 Beberapa jenis pengobatan dapat meminimalisasi
bentukan plaque psoriasis, namun hal tersebut bukanlah pengobatan sesungguhnya.
Pengobatan yang lebih baik adalah dengan meneliti bagaimana penyakit ini timbul serta
menghindari faktor predisposisinya.
Seperti penyakit kulit lainnya, pengobatan pada penyakit psoriasis ini meliputi
pengobatan secara umum dan pengobatan secara khusus.
Pengobatan umum terdiri dari komunikasi, informasi dan edukasi atau disingkat
dengan KIE. Dalam pelaksanaannya, KIE itu berisi informasi atau pemberitahuan kepada
penderita akan hal-hal yang harus diketahui mengenai penyakitnya, seperti nama
penyakitnya, sifat penyakitnya, cara pengobatannya, lama pengobatannya dan hal-hal
lain yang dianggap perlu. Selain itu, dianjurkan kepada penderita agar tidak menggaruk,
karena garukan yang kuat apalagi dengan kuku dapat menyebabkan timbulnya lesi baru
di tempat garukan dan bisa menjadi infeksi sekunder. Pengobatan khusus, seperti yang
sudah dijelaskan di atas tadi, bisa berupa pengobatan secara topikal, pengobatan secara
sistemik, pengobatan dengan penyinaran dan pengobatan secara biologi.
Pengobatan secara topikal pada psoriasis, perlu mempertimbangkan beberapa hal
yaitu lokasi, berat ringan penyakit, pengobatan sebelumnya, usia penderita, gambaran
klinik serta penyakit penyerta yang ada.
8

Pengobatan psoriasis secara sistemik dilakukan apabila pengobatan secara topikal


tidak memberikan perbaikan atau pengobatan secara sistemik dilakukan pada psoriasis
derajat sedang sampai berat (lesi mengenai lebih dari 25% dari kulit tubuh atau pada
psoriasis non vulgaris). Untuk menentukan derajat penyakit psoriasis dilakukan
penghitungan skor Psoriasis Area and Severity Index (PASI).
Skor PASI merupakan suatu metode yang digunakan untuk menilai penyakit
psoriasis. Ada 4 lokasi area tubuh yang dinilai, yaitu kepala (10%), trunkus (20%),
ektremitas superior (30%) dan ekstremitas inferior (40%).
Ada tiga parameter yaitu eritem, infiltrasi dan deskuamasi, tiga parameter ini dikaji dari
keempat area tubuh dan dikonfirmasi masing-masing konstanta dan kemudian
dijumlahkan.
Berikut ini akan dibahas obat-obatan yang dipakai pada pengobatan psoriasis:
1. Pengobatan Sistemik
a. Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat mengontrol psoriasis dengan dosis ekuivalen
prednisone 30mg per hari. Setelah membaik dosis diturunkan perlahan-lahan lalu
diberikan dosis pemeliharaan. Penghentian obat secara mendadak akan
menyebabkan kekambuhan dan dapat terjadi psoriasis pustulosa generalisata.2

b. Obat Sitostatik
Obat sitistatik yang biasa digunakan adalah metotrexate. Obat ini bekerja
dengan cara menghambat enzim dihidrofolat reduktase, sehingga menghambat
sintesis timidilat dan purin. Obat ini menunjukkan hambatan replikasi dan fungsi
sel T dan mungkin juga sel B karena adanya efek hambatan sintesis. 7
Indikasinya ialah untuk psoriasis, psoriasis pustulosa, psoriasis arthritis
dengan lesi kulit dan eritroderma karena psoriasis yang sukar terkontrol dengan
obat standar. Kontraindikasinya ialah bila terdapat kelainan hepar, ginjal, system
hematopoetik, kehamilan, penyakit infeksi aktif (misalnya TBC, Ulkus peptikum,
colitis ulserosa dan psikosis). Pada awalnya metotrexate diberikan dengan dosis
inisial 5 mg per orang dengan psoriasis untuk melihat apakah ada gejala
9

sensitivitas atau gejala toksik. Jika tidak terjadi efek yang tidak diinginkan maka
MTX diberikan dengan dosis 3 x 2.5mg dengan interval 12 jam selama 1 minggu
dengan dosis total 7.5mg. Jika tidak ada perbaikan maka dosis dinaikkan 2,5 - 5 mg
per minggu dan biasanya dengan dosis 3 x 5 mg akan tampak ada perbaikan. Cara
lain adalah dengan pemberian MTX i.m dosis tunggal sebesr 7,5 25 mg. Tetapi
dengan cara ini lebih banyak menimbulkan reaksi sensitivitas dan reaksi toksik.
Jika penyakit telah terkontrol maka dosis perlahan diturunkan dan diganti ke
pengobatan secara topical.
Setiap 2 minggu dilakukan pemeriksaan hematologic, urin lengkap, fungsi
ginjal dan fungsi hati. Bila jumlah leukosit < 3500/uL maka pemberian MTX
dihentikan.
Bila fungsi hepar baik maka dilakukan biopsy hepar setiap kali dosis mencapai
dosis total 1,5 gram, tetapi bila fungsi hepar abnormal maka dilakukan biopsy
hepar bila dosis total mencapai 1 gram.
Efek samping dari penggunaan MTX adalah nyeri kepala, alopecia, saluran
cerna, sumsul tulang, hepar dan lien. Pada saluran cerna berupa nausea, nyeri
lambung, stomatitis ulcerosa dan diare. Pada reaksi yang hebat dapat terjadi
enteritis hemoragik dan perforasi intestinal. Depresi sumsum tulang menyebabkan
timbulnya leucopenia, trombositopenia dan kadang-kadang anemia. Pada hepar
dapat terjadi fibrosis dan sirosis.

c. Levodopa
Levodopa sebenarnya dipakai untuk penyakit Parkinson. Pada beberapa
pasien Parkinson yang juga menderita psoriasis dan diterapi dengan levodopa
menunjukkan perbaikan. Berdasarkan penelitian, Levodopa menyembuhkan sekitar
40% pasien dengan psoriasis. Dosisnya adalah 2 x 250 mg 3 x 250 mg. Efek
samping levodopa adalah mual, muntah, anoreksia, hipotensi, gangguan psikis dan
gangguan pada jantung.

10

d. Diaminodifenilsulfon
Diaminodifenilsulfon

(DDS) digunakan

pada

pengobatan

psoriasis

pustulosa tipe Barber dengan dosis 2 x 100 mg sehari. Efek sampingnya adalah
anemia hemolitik, methemoglobinuria dan agranulositosis.

e. Etretinat & Asitretin


Etretinat merupakan retinoid aromatik, derivat vitamin A digunakan bagi
psoriasis yang sukar disembuhkan dengan obat-obat lain mengingat efek
sampingnya. Etretinat efektif untuk psoriasis pustular dan dapat pula digunakan
untuk psoriasis eritroderma. Pada psoriasis obat tersebut mengurangi proliferasi sel
epidermal pada lesi psoriasis dan kulit normal. Dosisnya bervariasi : pada bulan
pertama diberikan 1mg/kgbb/hari, jika belum terjadi perbaikan dosis dapat
dinaikkan menjadi 1 mg/kgbb/hari. Efek sampingnya berupa kulit menipis dan
kering, selaput lendir pada mulut, mata, dan hidung kering, kerontokan rambut,
cheilitis, pruritus, nyeri tulang dan persendian, peninggian lipid darah, gangguan
fungsi hepar, hiperostosis, dan teratogenik.
Kehamilan hendaknya tidak terjadi sebelum 2 tahun setelah obat dihentikan.
Asitretin (neotigason) merupakan metabolit aktif etretinat yang utama. Efek
sampingnya dan manfaatnya serupa dengan etretinat. Kelebihannya, waktu paruh
eliminasinya hanya 2 hari, dibandingkan dengan etretinat yang lebih dari 100 hari. 2

f. Siklosporin
Siklosporin

berikatan

dengan

siklofilin

selanjutnya

menghambat

kalsineurin. Kalsineurin adalah enzim fosfatase dependent kalsium dan memgang


peranan kunci dalam defosforilasi protein regulator di sitosol, yaitu NFATc
(Nuclear Factor of Activated T Cell). Setelah mengalami defosforilasi, NFATc ini
mengalami translokasi ke dalam nukleus untuk mengaktifkan gen yang
bertanggung jawab dalam sintesis sitokin, terutama IL-2. Siklosporin juga
mengurangi produksi IL-2 dengan cara meningkatkan ekspresi TGF- yang
11

merupakan penghambat kuat aktivasi limfosit T oleh IL-2. Meningkatnya ekspresi


TGF- diduga memegang peranan penting pada efek imunosupresan siklosporin. 7
Efeknya ialah imunosupresif. Dosisnya 1-4 mg/kgbb/hari. Bersifat
nefrotoksik dan hepatotoksik. Hasil pengobatan untuk psoriasis baik, hanya setelah
obat dihentikan dapat terjadi kekambuhan.

g. Terapi biologik
Obat biologik merupakan obat yang baru dengan efeknya memblok langkah
molecular spesifik yang penting paa pathogenesis psoriasis. Contoh obatnya adalah
alefaseb, efalizumab dan TNF--antagonist.

2. Pengobatan Topikal
a. Preparat Ter
Obat topikal yang biasa digunakan adalah preparat ter, yang efeknya adalah anti
radang. Menurut asalnya preparat ter dibagi menjadi 3, yakni yang berasal dari:

Fosil, misalnya iktiol.


Kayu, misalnya oleum kadini dan oleum ruski.
Batubara, misalnya liantral dan likuor karbonis detergens
Preparat ter yang berasal dari fosil biasanya kurang efektif untuk psoriasis, yang
cukup efektif ialah yang berasal dari batubara dan kayu.
Ter dari batubara lebih efektif daripada ter berasal dari kayu, sebaliknya
kemungkinan memberikan iritasi juga besar. Pada psoriasis yang telah menahun
lebih baik digunakan ter yang berasal dari batubara, karena ter tesbut lebih efektif
daripada ter yang berasal dari kayu dan pada psoriasis yang menahun kemungkinan
timbulnya iritasi kecil. Sebaliknya pada psoriasis akut dipilih ter dari kayu, karena
jika dipakai ter dari batu bara dikuatirkan akan terjadi iritasi dan menjadi
eritroderma.

12

Ter yang berasal dari kayu kurang nyaman bagi penderita karena berbau
kurang sedap dan berwarna coklat kehitaman. Sedangkan likuor karbonis detergens
tidak demikian. Konsentrasi yang biasa digunakan 2 5%, dimulai dengan
konsentrasi rendah, jika tidak ada perbaikan konsentrasi dinaikkan. Supaya lebih
efektif, maka daya penetrasi harus dipertinggi dengan cara menambahkan asam
salisilat dengan konsentrasi 3 5 %. Sebagai vehikulum harus digunakan salap
karena salap mempunyai daya penetrasi terbaik.

b. Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal memberi hasil yag baik. Potensi dan vehikulum
bergantung pada lokasinya. Pada skalp, muka dan daerah lipatan digunakan krim,
di tempat lain digunakan salap. Pada daerah muka, lipatan dan genitalia eksterna
dipilih potensi sedang, bila digunakan potensi kuat pada muka dapat memberik
efek samping di antaranya teleangiektasis, sedangkan di lipatan berupa strie
atrofikans. Pada batang tubuh dan ekstremitas digunakan salap dengan potensi kuat
atau sangat kuat bergantung pada lama penyakit. Jika telah terjadi perbaikan
potensinya dan frekuensinya dikurangi.

c. Ditranol (Atralin)
Obat ini dikatakan efektif. Kekurangannya adalah mewarnai kulit dan
pakaian. Konsentrasi yang digunakan biasanya 0,2-0,8 persen dalam pasta, salep,
atau krim. Lama pemakaian hanya jam sehari sekali untuk mencegah iritasi.
Penyembuhan dalam 3 minggu.

d. Pengobatan dengan Penyinaran


Seperti diketahui sinar ultraviolet mempunyai efek menghambat mitosis,
sehingga dapat digunakan untuk pengobatan psoriasis.

13

Cara yang terbaik ialah penyinaran secara alamiah, tetapi sayang tidak dapat diukur
dan jika berlebihan akan memperberat psoriasis. Karena itu digunakan sinar
ultraviolet artifisial, diantaranya sinar A yang dikenal dengan UVA. Sinar tersebut
dapat digunakan secara tersendiri atau berkombinasi dengan psoralen (8metoksipsoralen, metoksalen) dan disebut PUVA, atau bersama-sama dengan
preparat ter yang dikenal sebagai pengobatan cara Goeckerman.
Dapat juga digunakan UVB untuk pengobatan psoriasis tipe plak, gutata,
pustular, dan eritroderma. Pada yang tipe plak dan gutata dikombinasikan dengan
salep likuor karbonis detergens 5 -7% yang dioleskan sehari dua kali. Sebelum
disinar dicuci dahulu. Dosis UVB pertama 12 -23 m J menurut tipe kulit, kemudian
dinaikkan berangsur-angsur. Setiap kali dinaikkan sebagai 15% dari dosis
sebelumnya. Diberikan seminggu tiga kali. Target pengobatan ialah pengurangan
75% skor PASI (Psoriasis Area and Severity Index). Hasil baik dicapai pada 73,3%
kasus terutama tipe plak.

e. Calcipotriol
Calcipotriol ialah sintetik vitamin D. Preparatnya berupa salep atau krim 50
mg/g. Perbaikan setelah satu minggu. Efektivitas salep ini sedikit lebih baik
daripada salap betametason 17-valerat. Efek sampingnya pada 4 20% berupa
iritasi, yakni rasa terbakar dan tersengat, dapat pula telihat eritema dan skuamasi.
Rasa tersebut akan hilang setelah beberapa hari obat dihentikan.

f. Tazaroten
Merupakan molekul retinoid asetilinik topikal, efeknya menghambat
proliferasi dan normalisasi petanda differensiasi keratinosit dan menghambat
petanda proinflamasi pada sel radang yang menginfiltrasi kulit. Tersedia dalam
bentuk gel, dan krim dengan konsentrasi 0,05 % dan 0,1 %. Bila dikombinasikan
dengan steroid topikal potensi sedang dan kuat akan mempercepat penyembuhan

14

dan mengurangi iritasi. Efek sampingnya ialah iritasi berupa gatal, rasa terbakar
dan eritema pada 30 % kasus, juga bersifat fotosensitif.

g. Emolien
Efek emolien ialah melembutkan permukaan kulit.
Pada batang tubuh (selain lipatan), ekstremitas atas dan bawah biasanya digunakan
salep dengan bahan dasar vaselin 1-2 kali/hari.

3. PUVA
Karena psoralen bersifat fotoaktif, maka dengan UVA akan terjadi efek yang sinergik.
Mula-mula 10 20 mg psoralen diberikan per os, 2 jam kemudian dilakukan
penyinaran. Terdapat bermacam-macam bagan, di antaranya 4 x seminggu.
Penyembuhan mencapai 93% setelah pengobatan 3 4 minggu, setelah itu dilakukan
terapi pemeliharaan seminggu sekali atau dijarangkan untuk mencegah rekuren.
PUVA juga dapat digunakan untuk eritroderma psoriatik dan psoriasis pustulosa.
4. Pengobatan Cara Goeckerman
Pada tahun 1925 Goeckerman menggunakan pengobatan kombinasi ter berasal dari
batubara dan sinar ultraviolet. Kemudian terdapat banyak modifikasi mengenai ter
dan sinar tersebut. Yang pertama digunakan ialah crude coal ter yang bersifat
fotosensitif. Lama pengobatan 4 6 minggu, penyembuhan terjadi setelah 3 minggu.
Ternyata bahwa UVB lebih efektif daripada UVA. 2
Prognosis
Psoriasis tidak menyebabkan kematian tetapi menggangu kosmetik karena
perjalanan penyakitnya bersifat kronis dan residif.2 Psoriasis gutata akut timbul cepat.
Terkadang tipe ini menghilang secara spontan dalam beberapa minggu tanpa terapi.
Seringkali, psoriasis tipe ini berkembang menjadi psoriasis plak kronis.
15

Penyakit ini bersifat stabil, dan dapat remisi setelah beberapa bulan atau tahun,
dan dapat saja rekurens sewaktu-waktu seumur hidup. Pada psoriasis tipe pustular, dapat
bertahan beberapa tahun dan ditandai dengan remisi dan eksaserbasi yang tidak dapat
dijelaskan. Psoriasis vulgaris juga dapat berkembang menjadi psoriasis tipe ini. Pasien
dengan psoriasis pustulosa generalisata sering dibawa ke dalam ruang gawat darurat dan
harus dianggap sebagai bakteremia sebelum terbukti kultur darah menunjukkan negatif.
Relaps dan remisi dapat terjadi dalam periode bertahun-tahun.4

B. PARAPSORIASIS
Pendahuluan
Parapsoriasis adalah penyakit yang belum diketahui penyebabnya, pada umumnya
tanpa keluhan, kelainan kulit terutama terdiri atas eritema dan skuama, serta berkembang
secara perlahan-lahan dan perjalanannya umumnya kronik. Penyakit ini pertama kali
dilukiskan oleh BROCK pada tahun 1902 dengan ciri sebagai berikut : jarang terdapat,
etiologinya belum diketahui, keadaan umum penderita baik, umumnya tidak disertai keluhan
(kadang-kadang gatal ringan), perjalanannya perlahan-lahan dan menahun, kelainan kulit
berupa eritema dan skuama, dan terapinya sukar. Kemudian ternyata bahwa parapsoriasis
tidak selalu menahun, tetapi ada bentuk akut yang akan diuraikan.menjelang akhir abad lalu
dan awal abad ini, eksperimen dermatologi dibanyak negara secara independen dijelaskan
oleh Brock diyakini berkaitan, tidak merugikan, dan Brock mengumpulkan dalam satu
kelompok gejala klinis dan morfologi dasar tersendiri. Karena beberapa kemiripan dengan
psoriasis en lichenia menggunakan istilah parapsoriasis dan Brock sudah menambahkan
sedikit pengetahuannya tentang pengaruh ini. Terminalogi dan klasifikasi secara universal
digunakan sampai saat ini.11,19
Parapsoriasis menggambarkan kelompok penyakit yang sulit dipahami dan dibedakan
gambaran klinisnya. Ada 2 bentuk umum: tipe plak kecil yang biasanya bersifat ringan,tanpa
gejala dan tipe plak besar yang merupakan prekursor dari cutaneous T-cell lymphoma
(CTCL). Beberapa pasien dengan parapsoriasis tipe plak besar akhirnya berkembang menjadi
CTCL, tetapi hal ini sangat jarang untuk parapsoriasis tipe plak kecil untuk berubah menjadi
CTCL. Parapsoriasis plak kecil ukuran lesi < 5 cm, sedangkan parapsoriasis plak besar
memiliki lesi > 6 cm.12
Pengobatan parapsoriasis tipe plak kecil tidak perlu dilakukan tetapi pengobatannya
untuk mengurangi lesi kering pada kulit dapat meliputi emolien, preparat tar topical atau
16

kortikosteroid dan fototerapi. Pengobatan parapsoriasis plak besar meliputi steroid topikal
potensi tinggi.13
Epidemiologi
Secara umum, dialami oleh pada usia pertengahan dan usia tua, dengan angka
kejadian puncak pada dekade kelima. Sesekali, lesi muncul pada masa kecil dan mungkin ada
hubungannya dengan Lichenoidespityriasis. Parapsoriasis plak kecil (Small - plaque
parapsoriasis, disingkat SPP) menunjukkan dominasi laki-laki yang pasti dengan
perbandingan sekitar 3:1.
Parapsoriasis plak besar (Large-plaque parapsoriasis, disingkat LPP) mungkin lebih umum
terjadi pada laki-laki, tetapi perbedaannya tidak begitu mencolok seperti dalam SPP.
Keduanya terjadi pada semua kelompok ras dan wilayah geografis.14,15
Kriteria diagnosis masih controversial. Di Eropa lebih banyak dibuat diagnosis
parapsoriasis daripada di Amerika Serikat.11
Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui pasti. Ada kemungkinan bahwa pemahaman lengkap
tentang patogenesis parapsoriasis akan mengembangkan dengan pemahaman kita tentang
patogenesis kedua dermatitis kronis dan fungoides, karena parapsoriasis muncul untuk
menjembatani gangguan ini. Sel T yang menengahi paling penyakit kulit inflamasi milik
jaringan kulit terkait limfoid Skin Associated Lymphoid Tissue (SALT). 14
Sel-sel T mengekspresikan antigen limfosit terkait kulit dan lalu lintas antara kulit dan
domain sel T dari kelenjar getah bening perifer melalui limfatikdan aliran darah. 14
Patofisiologi
Parapsoriasis adalah penyakit yang berkembang secara perlahan-lahan dan kronik. 14
Namun, penyakit ini mempunyai tahap yang berbeda pada gangguan lymphoproliferatif yang
berlanjut dari kronik dermatitis ke kutaneous T-cell lymphoma (CTCL). 13 Parapsoriasis terdiri
dari 2 tipe Parapsoriasis plak kecil dan Parapsoriasis plak besar.16
Parapsoriasis plak kecil merupakan proses reaktif dari sebagian besar sel T CD4+. Pola
genotip diobservasi pada parapsoriasis plak kecil sama dengan yang diobservasi pada
dermatitis kronik dan pola klonalitas sel T sama dengan respon sel T spesifik yang telah
17

distimulasi oleh antigen. Klon multiple dominan dapat dideteksi oleh reaksi rantai
polymerase (PCR) dari penggunaan gen reseptor sel-T, yang mendukung proses reaktif.
Lymfosit tidak menunjukkan gambaran khas histologis untuk memperkirakan perubahan
terjadinya keganasan. Beberapa ahli percaya bahwa parapsoriasis plak kecil merupakan
lymphoma sel T yang hancur. Bagaimanapun sampai saat ini belum ada bukti yang jelas,
seperti perubahan genetic (contohnya, mutasi TP53) yang diobservasi pada keganasan lain
yang terdapat untuk mendukung hal ini. Namun, pencarian untuk memverifikasi hipotesis ini
adalah identifikasi terbaru dari peningkatan aktivitas telomerase pada sel T dari CTCL
stadium awal, lymphoma stadium lanjut dan pada parapsoriasis, yang mana aktivitasnya tidak
terdapat pada sel-T normal.13
Parapsoriasis plak besar merupakan gangguan inflamasi kronik, dan patofisiologinya
telah dispekulasi menjadi stimulasi antigen jangka panjang. Gangguan ini dihubungkan
dengan penggandaan sel-T dominan, salah satunya bisa terdapat diatas 50 % dari infiltrasi
sel-T. Jika gambaran histologisnya benigna tanpa atypical lymfosit, maka dapat
diklasifikasikan sebagai parapsoriasis plak besar. Namun jika terdapat atypical lymfosit,
maka pasien bisa diklasifikasikan sebagai CTCL.13
Gejala Klinis
a

Lesi dari parapsoriosis plak kecil berbentuk bulat atau lesi oval yang terpisah-pisah
dengan plak yang sangat tipis terutama pada bagian batang tubuh. Ukurannya <5 cm dan
biasanya asimptomatik dengan sedikit skuama halus. Sebuah variasi yang khas dengan
lesi berbentuk jari dikenal sebagai digitate dermatosis mempunyai lesi yang berwarna
kekuningan atau coklat kekuningan. Mengikuti alur kulit dan memberikan gambaran
seperti fingerprint. Panjang lesi tidak >5 cm. Kronik superficial dermatitis adalah nama
lain dari parapsoriasis plak kecil. Lesi digitate dengan warna kekuningan dulunya disebut
xanthoerythrodermia perstants.14
Lesi biasanya muncul secara perlahan-lahan dan tanpa gejala pada tungkai dan bagian
tubuh orang dewasa muda. Lesi individu berbentuk bulat monomorfik atau eritematosa
oval. Beberapa memiliki bentuk, sedikit berwarna kuning dan sedikit lunak. Lesi bertahan
selama berbulan-bulan atau bahkan puluhan tahun, dan mungkin lebih jelas pada musim
dingin. T

18

erdapat pada daerah panggul dan muncul polimorfik yang mencolok dari MF yang
kurang.17 Lesi terletak juga di beberapa jari dan menjalar ke jari jari yang lain, tidak ada
atropi, respon terhadap UVB dan tetap jinak meskipun jelas.18

Gambar: Parapsoriasis plak kecil. Varian digitate dermatosis,


fingerprint tipical. Ukuran tidak melebihi 5 cm4
b.

Lesi dari parapsoriasis plak besar berbentuk oval tidak beraturan. Bisa juga berbentuk
plak yang tipis asimptomatik atau sedikit gatal. Ukurannya >5 cm, lesi umumnya stabil.
Tempat predileksi di badan dan ekstremitas yaitu bagian fleksor. Pada wanita biasanya
pada daerah mammae. Warna merah cerah atau pink salmon sampai kecoklatan.
Permukaannya ditutupi skuama kecil dan biasanya sedikit berkerut, seperti kerutan pada
kertas rokok. Beberapa lesi memperlihatkan atropi pada kulit bagian epidermis.
Telangiektasis dan bintik-bintik hiperpigmentasi biasanya terlihat jika atropi menjadi
prominen. Ketiganya yaitu telangiektasis, bintik-bintik hipermentasi dan atropi adalah
poikilodermal atau poikilodermal atropikan vaskuler.14
Adapun pasien dengan ruam yang besar berwarna kuning oranye atrofik dan plak tipis
pada lengan dan badan. Keterlibatan kulit yang tertutup pada daerah payudara dan daerah
bokong mungkin MF dan dalam kasus patch dan plak dapat menunjukkan polimorfisme
mencolok dan poikiloderma dengan perkembangan lambat. Seri besar telah mencatat
perkembangan dari MF ada 11% kasus.17 Lesinya asimetris dengan garis bizzar, atropi,
respon baik terhadap PUVA dan dapat berkembang menjadi kutaneus limpoma sel T.18

19

Retiform parapsoriasis mengacu pada parapsoriasis plak besar bentuk langka. Gejala
yang tampak yaitu adanya erupsi yang luas dari makula yang berskuama dan papul
dalam jaringan seperti pola garis-zebra yang akhirnya menjadi poikilodermatous.14

Gambar: Parapsoriasis plak besar. Variasi retiform14

Gambar: Parapsoriasis plak besar. Tampak lesi berbentuk irreguler.


Ukuran lesi bervariasi di lengan wanita berusia 16 tahun 14

Pemeriksaan Penunjang
1

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan. Pada pemeriksaan ini didapatkan
jumlah sel limfosit tinggi atau terdapat sel Sezary yang menunjukkan adanya MF atau
20

CTCL (chronic T cell lymphoma). 13 Terdapat juga sel limfoid atipikal yang sedikit lebih
besar dari pada limfosit normal dan memiliki kromatik, intinya irreguller.20

Histopatologi
Pada parapsoriosis plak kecil menunjukkan infiltrate sel limfosit pada perivaskular
superficial. Pada epidermis menunjukkan spongiosis ringan, hyperkeratosis fokal, krusta,
parakeratosis dan kadang-kadang eksositosis.13 diatas lapisan epidermis menunjukkan
akantosis ringan, spongiosis, dan diatas lapisan terdapat parakeratosis.21

Gambar: Parapsoriasis plak kecil. Infiltrat lympoid superficial


perivaskular. Spongiosis ringan dan parakeratotik4

Biopsi kulit pada parapsoriasis plak besar menunjukkan inflamasi yang berisi sel
limfosit predominan. Sejumlah limfosit terdapat di perbatasan antara epidermis dan
dermis. Single limfosit dapat diamati pada lapisan epidermis. Limfosit umumnya kecil
dan tidak menunjukkan inti yang atipikal. Pembuluh darah melebar dan terdapat
melanophage. Tidak dijumpai sel spongiosis.13

21

Gambar: Parapsoriasis plak besar. Variasi atipikal. Infiltrat lymposit superficial dengan
epidermotropism dan epidermis atopik14

Gambar: Parapsoriasis plak besar, mild hiperkeratotik dan parakeratotik fokal pada epidermis dengan
moderat superficial perivaskular infiltrat. Sel-sel lymposit kebanyakan kecil dan ada fokal single-sel
epidermotropism 14

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis penderita parapsoriasis plak kecil didapatkan onset penyakit satu
bulan sampai beberapa tahun dan biasanya sembuh sendiri. Parapsoriasis plak besar
merupakan penyakit kronik yang onsetnya sampai bertahun-tahun biasanya lebih dari satu
decade dan bisa berubah menjadi mikosis fungoides atau CTCL ( kronik sel T limpoma).
Selain itu harus diterapi karena tidak bisa sembuh dengan sendirinya.13
Beberapa peneliti berpendapat bahwa parapsoriasis en plak dan MF pada tahap patch
adalah pennyakit yang sama, tetapi sehubungan dengan kesamaan klinis pada keduanya yaitu

22

terdapatnya lesi eritema, maka sangat sulit dibedakan jika hanya berdasarkan pada lesi
eritemanya.22

Gambar: Mikosis fungoides.

Purpura hiperpigmentasi di periaxillar14


Pemeriksaan fisik pada parapsoriasis plak besar didapatkan lesi yang eritema berbentuk
arcuata, diameter >5 cm, tempat predileksi ekstremitas bagian proximal dan badan. Warna
lesi sedikit eritema atau seperti salmon, terdapat skuama yang berkeping-keping dan atopik,
tampak seperti kertas rokok. Sedangkan pada parapsoriasis plak kecil didapatkan lesi yang
berbatas tegas, terdapat sedikit skuama, berwana pink salmon, ukuran diameternya kurang
dari 5 cm dan menyebar pada badan dan ekstremitas.14
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah tes laboratorium yaitu didapatkan
jumlah sel limfosit tinggi atau terdapat sel Sezary dan pemeriksaan histopatologi
menunjukkan variasi atipikal, infiltrat limfosit superficial dengan epidermotropism dan
epidermis atopik pada parapsoriasis plak besar. Parapsoriasis plak kecil terdapat Infiltrat
lympoid superficial perivaskular, Spongiosis ringan dan parakeratotik.14,13

Diagnosis Banding
Diagnosis diferensial untuk parapsoriasis plak kecil dan parapsoriasis plak besar yaitu: 14,15

No

Prinsip diferensial diagnose dari parapsoriasis plak besar dan parapsoriasis plak kecil
Parapsoriasis plak kecil

Parapsoriasis plak besar


23

1.

Tinea korporis

Psoriasis

2.

Psoriasis

Drug eruption

3.

Pitiriasis rosea

Mycosis fungoides

4.

Dermatitis numularis

Poikilodermatous aoutoimmune

5.

Pitiriasis likenoides kronik

Poikilodermatous genodermatose

Tinea korporis dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri
atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi.

Gambar : tinea korporis yang memberikan


gambaran ringworm

14

Gambar: Pola polisiklik dari


tinea korporis 14

Psoriasis berbeda dengan parapsoriasis, karena pada psoriasis skuamanya tebal, kasar.
Berlapis-lapis, dan terdapat fenomena tetesan lilin dan Auspitz. Selain itu, gambaran itu
gambaran histopatologinya berbeda.

24

Gambar: Plak Psoriasis berwarna merah di lutut 14

Gambar: Herald patch14

Pityriasis rosea terdiri atas eritema dan skuama, tetapi perjalanannya tidak menahun
seperti pada parapsoriasis. Perbedaan lain ialah pada pityriasis rosea susunan ruam
sejajar dengan lipatan kulit dan kosta. Penyakit dimulai dengan lesi pertama (Herald
patch), umumnya di badan solitar, berbentuk oval dan anular, diameternya kira-kira 3
cm. Ruam terdiri atas eritema dan skuama halus di pinggir.

Dermatitis Numularis umumnya mengeluh sangat gatal. Lesi akut berupa vesikel dan
papulovesikel, kemudian membesar dan meluas kesamping membentuk satu lesi
karakteristik seperti uang logam.

Gambar: Dermatitis Numular14

25

Pytiriasis lichenoides kronik timbul sebagai papul kecokelatan, skuama melekat seperti
mika, menjadi lebih nyata jika digaruk dan dapat menetap beberapa tahun,skuamanya
lebih kurang nyata disbanding psoriasis.

Gambar: Pityriasis Lichenoides kronik 14

Gambar: drug eruption akibat ampisilin

Drug eruption ditandai adanya plak yang tersusun simetris,eritematous berupa macula dan
papul. Yang terletak di bagian ekstremitas dan bagian tubuh.14

Mikosis fungoides ditandai dengan patch, plak atau tahap tumor. Tetapi pasien mungkin
memiliki beberapa jenis lesi. Terdapat multiple eritematous, terdapat macula yang
bersisik dan patch dengan ukuran yang berbeda.

Gambar: Mycosis fungoides.14

Penatalaksanaan
Secara garis besar pengobatan parapsoriasis terbagi atas pengobatan lini pertama dan lini
kedua.14
Lini pertama
-

Emollients
Topical corticosteroid topical tar products
Sunbathing
26

Broadband ultraviolet B phototherapy


Narrowband ultraviolet B phototherapy

Lini kedua
-

Tipical bexarotene
Topical imiquimmod
Psoralen and ultraviolet A prhototherapy
Topical mechlorethamine
Topical carmustin

Pasien dengan parapsoriasis plak kecil harus diberi penjelasan yang baik bahwa
penyakitnya bisa sembuh. Awalnya pasien harus dianalisis setiap 3 sampai 6 bulan dan
selanjutnya setiap tahun untuk memastikan bahwa prosesnya stabil. Bisa hanya diberikan
kortikosteroid topical, tapi biasanya berespon terhadap fototerapi misalnya dengan UVB,
Narrowband UVB, atau cahaya matahari alami atau bisa juga dikombinasikan dengan
kortikosteroid topikal potensi sedang atau dengan pelembab. Hasilnya bisanya memuaskan. 14.
Pasien dengan parapsoriasis plak besar memerlukan terapi yang lebih aggresif untuk
mencegah perkembangan penyakit ke arah Mikosis fungoides.12

Prognosis
Secara umum penyakit ini bersifat kronis dan residif, tidak ada obat pilihan dan sebagian
menjadi mikosis fungoides.
Parapsoriasis plak kecilbertahan stabil selama bertahun-tahun dan kemudian
menghilang secara spontan. Sedangkan parapsoriasis plak besar dapat berkembang menjadi
mikosis fungoides dan limfoma T-sel kulit (CTCL) dengan transformasi limfosit dari ukuran
kecil jinak untuk limfosit atipikal yang lebih besar. Tingkat ketahanan hidup 5 tahun, namun
masih tetap tinggi dan lebih besar dari 90%.12,23
Parapsoriasis plak besar terdiri dari 1-10% klon dominan, sedangkan pada MF sekitar
50%. Persentasi dari klon dominan tidak berpengaruh terhadap perubahan ke arah keganasan.
Meskipun 7,5%-40% kasus parapsoriasis plak besar dilaporkan berubah menjadi MF, banyak

27

kasus yang mengarah kearah benigna sehingga kita harus selalu waspada terhadap perubahan
ke arah keganasan. Beberapa kasus dapat sembuh dengan sempurna.11,12
Komplikasi
Biasanya tidak ada komplikasi, tetapi jika cuaca buruk dan pasien tidak menjaga
hygiene maka eritemanya bisa menjadi luas.18 Administrasi agen kemoterapi topikal dapat
mengakibatkan pengembangan dermatitis kontak.13

C. PITIRIASIS ROSEA
Pendahuluan
Pitiriasis Rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya yang
dimulai dengan sebuah lesi perimer yang dikarakteristikkan dengan gambaran herald patch
berbentuk eritema dan skuama halus yang kemudian diikuti dengan lesi sekunder yang
mempunyai gambaran khas.25
Istilah Pitiriasis Rosea pertama kali dideskripsikan oleh Robert Willan pada tahun
1798 dengan nama Roseola Annulata, kemudian pada tahun 1860, Gilbert memberi nama
Pitiriasis Rosea yang berarti skuama berwarna merah muda (rosea).26
Insiden tertinggi pada usia antara 1540 tahun 24. Wanita lebih sering terkena
dibandingkan pria dengan perbandingan 1.5 : 1.26
Diagnosis Pitiriasis Rosea dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis apabila sulit
menegakkan diagnosis Pitiriasis Rosea. Biasanya Pitiriasis Rosea didahului dengan gejala
prodromal (lemas, mual, tidak nafsu akan, demam, nyeri sendi, pembesaran kelenjar limfe).
Setelah itu muncul gatal dan lesi dikulit.27 Banyak penyakit yang memberikan gambaran
seperti Pitiriasis Rosea seperti dermatitis numularis, sifilis sekunder, dan sebagainya.25
Pitiriasis Rosea merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, oleh karena itu,
pengobatan yang diberikan adalah pengobatan suportif. Obat yang diberikan dapat berupa
kortikosteroid, antivirus, dan obat topikal untuk mengurangi pruritus.
Pada referat kali ini akan dibahas secara keseluruhan tentang Pitiriasis Rosea meliputi
definisi hingga penatalaksaan serta prognosisnya.
Definisi
28

Pitiriasis Rosea berasal dari kata pityriasis yang berarti skuama halus dan rosea yang
berarti berwarna merah muda27.
Pitiriasis Rosea adalah erupsi kulit yang dapat sembuh sendiri, berupa plak berbentuk
oval, soliter dan berskuama pada trunkus (herald patch) dan umumnya asimptomatik.26
Menurut Andrew (2006), Pitiriasis Rosea adalah peradangan kulit berupa eksantema
yang ditandai dengan lesi makula-papula berwarna kemerahan ( salmon colored ) berbentuk
oval, circinate tertutup skuama collarette, soliter dan lama kelamaan menjadi konfluen.25
Ketika lesi digosok menurut aksis panjangnya, skuama cenderung terlipat melewati garis
gosokan ( hanging curtain sign ).25
Epidemiologi
Pitiriasis Rosea terjadi pada seluruh ras yang ada di dunia. Prevalensi Pitiriasis Rosea
adalah 0,13% pada laki-laki dan 0,14% pada wanita per total penduduk dunia dengan usia
antara 10-34 tahun.24 Penyakit ini lebih banyak terjadi pada anak-anak dan usia dewasa muda
dengan rentang usia antara 15-40 tahun. Jarang terjadi pada bayi dan orang lanjut usia.25
Etiologi
Watanabe et al melakukan penelitian dan mempercayai bahwa Pitiriasis Rosea
disebabkan oleh virus. Mereka melakukan replikasi aktif dari Herpes Virus (HHV)-6 dan -7
pada sel mononuklear dari kulit yang mengandung lesi, kemudian mengidentifikasi virus
pada sampel serum penderita.26 Jadi, Pitiriasis Rosea ini merupakan reaksi sekunder dari
reaktivasi virus yang didapatkan pada masa lampau dan menetap pada fase laten sebagai sel
mononuklear.24 Pitiriasis Rosea juga dapat disebabkan oleh obat-obatan atau logam, misalnya
arsenik, bismut, emas, methopromazine, metronidazole, barbiturat, klonidin, kaptopril dan
ketotifen.24,26 Hipotesis lain menyebutkan peranan autoimun, atopi dan predisposisi genetik
dalam kejadian Pitiriasis Rosea.30
Gambaran Histopatologik
Gambaran histopatologik dari Pitiriasis Rosea tidak spesifik sehingga penderita
dengan Pitiriasis Rosea tidak perlu dilakukan biopsi lesi untuk menengakkan diagnosis.
Pemeriksaan histopatologi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis Pitiriasis Rosea
dengan gejala atipikal. Pada lapisan epidermis ditemukan adanya parakeratosis fokal,
hiperplasia, spongiosis fokal, eksositosis limfosit, akantosis ringan dan menghilang atau

29

menipisnya lapisan granuler. Sedangkan pada dermis ditemukan adanya ekstravasasi eritrosit
serta beberapa monosit.25,27

Akantosis
Spongiosis

Infiltrat limfohistiosit

Gambar histologik non spesifik tipikal dari Pitiriasis Rosea, menunjukkan parakeratosis, hilangnya
lapisan granular, akantosis ringan, spongiosis, dan infiltrat limfohistiosit pada dermis superficial 25

Gambaran Klinis
Tempat predileksi Pitiriasis Rosea adalah badan, lengan atas bagian proksimal dan paha
atas sehingga membentuk seperti gambaran pakaian renang. 25 Sinar matahari mempengaruhi
distribusi lesi sekunder, lesi dapat terjadi pada daerah yang terkena sinar matahari, tetapi pada
beberapa kasus, sinar matahari melindungi kulit dari Pitiriasis Rosea. Pada 75% penderita
biasanya timbul gatal didaerah lesi dan gatal berat pada 25% penderita.24
1. Gejala klasik
Gejala klasik dari Pitiriasis Rosea mudah untuk dikenali. Penyakit dimulai dengan lesi
pertama berupa makula eritematosa yang berbentuk oval atau anular dengan ukuran
yang bervariasi antara 2-4 cm, soliter, bagian tengah ditutupi oleh skuama halus dan
bagian tepi mempunyai batas tegas yang ditutupi oleh skuama tipis yang berasal dari
keratin yang terlepas yang juga melekat pada kulit normal (skuama collarette). Lesi
ini dikenal dengan nama herald patch.24,25,26

Herald Patch

30

Gambar herald patch26

skuama

Gambar plak primer tipikal ( herald patch ) menunjukkan bentuk lonjong


dengan skuama halus di tepi bagian dalam plak27

Pada lebih dari 69% penderita ditemui adanya gejala prodromal berupa
malaise, mual, hilang nafsu makan, demam, nyeri sendi, dan pembengkakan kelenjar
limfe.27 Setelah timbul lesi primer, 1-2 minggu kemudian akan timbul lesi sekunder
generalisata. Pada lesi sekunder akan ditemukan 2 tipe lesi. Lesi terdiri dari lesi
dengan bentuk yang sama dengan lesi primer dengan ukuran lebih kecil (diameter
0,51,5 cm) dengan aksis panjangnya sejajar dengan garis kulit dan sejajar dengan
kosta sehingga memberikan gambaran Christmas tree. Lesi lain berupa papul-papul
kecil berwarna merah yang tidak berdistribusi sejajar dengan garis kulit dan jumlah
bertambah sesuai dengan derajat inflamasi dan tersebar perifer. Kedua lesi ini timbul
secara bersamaan.25

31

Gambaran menyerupai pine tree

2. Gejala atipikal
Terjadi pada 20% penderita Pitiriasis Rosea. Ditemukannya lesi yang tidak sesuai
dengan lesi pada Pitiriasis Rosea pada umunya. Berupa tidak ditemukannya herald
patch atau berjumlah 2 atau multipel. Bentuk lesi lebih bervariasi berupa urtika,
eritema multiformis, purpura, pustul dan vesikuler.26 Distribusi lesi biasanya
menyebar ke daerah aksila, inguinal, wajah, telapak tangan dan telapak kaki. Adanya
gejala atipikal membuat diagnosis dari Pitiriasis Rosea menjadi lebih sulit untuk
ditegakkan sehingga diperlukan pemeriksaan lanjutan.

32

Gambar Diagram skematik plak primer ( herald patch ) dan distribusi tipikal plak sekunder
sepanjang garis kulit pada trunkus dalam susunan Christmas tree2

33

Diagnosis Banding
a. Sifilis sekunder
Adalah penyakit yang disebabkan oleh Treponema pallidum, merupakan lanjutan dari
sifilis primer yang timbul setelah 6 bulan timbulnya chancre. Gejala klinisnya berupa lesi
kulit dan lesi mukosa. Lesi kulitnya non purpura, makula, papul, pustul atau kombinasi,
walaupun umumnya makulopapular lebih sering muncul disebut makula sifilitika. 25
Perbedaannya dengan Pitiriasis Rosea adalah sifilis memiliki riwayat primary chancre
(makula eritem yang berkembang menjadi papul dan pecah sehingga mengalami ulserasi
di tengah) berupa tidak ada herald patch, limfadenopati, lesi melibatkan telapak tangan
dan telapak kaki, dari tes laboratorium VDRL (+).33
b. Tinea korporis
Adalah lesi kulit yang disebabkan oleh dermatofit Trichophyton rubrum pada daerah
muka, tangan, trunkus atau ekstremitas. Gejala klinisnya adalah gatal, eritema yang
berbentuk cincin dengan pinggir berskuama dan penyembuhan di bagian tengah.
Perbedaan dengan Pitiriasis Rosea adalah pada Tinea korporis, skuama berada di tepi,
plak tidak berbentuk oval, dari pemeriksaan penunjang didapatkan hifa panjang pada
pemeriksaan KOH 10%.33
c. Dermatitis numular
Adalah dermatitis yang umumnya terjadi pada dewasa yang ditandai dengan plak
berbatas tegas yang berbentuk koin ( numuler ) dan dapat ditutupi oleh krusta. Kulit
sekitarnya normal.Predileksinya di ekstensor. Perbedaan dengan Pitiriasis Rosea adalah
pada Dermatitis Numuler, lesi berbentuk bulat, tidak oval, papul berukuran milier dan
didominasi vesikel serta tidak berskuama.25
d. Psoriasis gutata
Adalah jenis psoriasis yang ditandai dengan eupsi papul di trunkus bagian superior dan
ekstremitas bagian proksimal. Perbedaan dengan Pitiriasis Rosea adalah pada Psoriasis
gutata, aksis panjang lesi tidak sejajar dengan garis kulit, skuama tebal.25

Pemeriksaan Penunjang
Umumnya untuk menegakkan diagnosis Pitiriasis Rosea tidak dibutuhkan
pemeriksaan penunjang. Namun dalan hal diagnosis susah ditegakkan, kita membutuhkan
pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan diagnosis banding lain.
Dapat dilakukan RPR (Rapid Plasma Reagin) dan FTA-Abs (Fluoresent Treponemal
Antibody Absorbed) untuk skrining sifilis.31

Penatalaksanaan
1. Umum
Walaupun Pitiriasis Rosea bersifat self limited disease (dapat sembuh sendiri), bukan
tidak mungkin penderita merasa terganggu dengan lesi yang muncul. Untuk itu
diperlukan penjelasan kepada pasien tentang :
-

Pitiriasis Rosea akan sembuh dalam waktu yang lama


Lesi kedua rata-rata berlangsung selama 2 minggu, kemudian menetap selama
sekitar 2 minggu, selanjutnya berangsur hilang sekitar 2 minggu. Pada beberapa

kasus dilaporkan bahwa Pitiriasis Rosea berlangsung hingga 3-4 bulan


Penatalaksanaan yang penting pada Pitiriasis Rosea adalah dengan mencegah
bertambah hebatnya gatal yang ditimbulkan. Pakaian yang mengandung wol, air,
sabun, dan keringat dapat menyebabkan lesi menjadi bertambah berat.

2. Khusus
a. Topikal
Untuk mengurangi rasa gatal dapat menggunakan zink oksida, kalamin losion atau
0,25% mentol. Pada kasus yang lebih berat dengan lesi yang luas dan gatal yang
hebat dapat diberikan glukokortikoid topikal kerja menengah (bethametasone
dipropionate 0,025% ointment 2 kali sehari).25,32
b. Sistemik
Pemberian antihistamin oral sangat bermanfaat untuk mengurangi rasa gatal. 27
Untuk gejala yang berat dengan serangan akut dapat diberikan kortikosteroid
sistemik atau pemberian triamsinolon diasetat atau asetonid 20-40 mg yang
diberikan secara intramuskuler.
Penggunaan eritromisin masih menjadi kontroversial.eritromisin oral
pernah dilaporkan cukup berhasil pada penderita Pitiriasis Rosea yang diberikan
selama 2 minggu26. Dari suatu penelitian menyebutkan bahwa 73% dari 90
penderita pitiriasis rosea yang mendapat eritromisin oral mengalami kemajuan
dalam perbaikan lesi. Eritomisin diduga mempunyai efek sebagai anti inflamasi28,29.
Namun dari penelitian di Tehran, Iran yang dilakukan oleh Abbas Rasi et al
menunjukkan tidak ada perbedaan perbaikan lesi pada pasien yang menggunakan
eritromisin oral dengan pemberian plasebo.30
Asiklovir dapat diberikan untuk mempercepat penyembuhan. Dosis yang
dapat diberikan 5x800mg selama 1 minggu.25 Pemakaian sinar radiasi ultraviolet B

atau sinar matahari alami dapat mengurangi rasa gatal dan menguranngu lesi. 25
Penggunaan sinar B lebih ditujukan pada penderita dengan lesi yang luas, karena
radiasi sinar ultraviolet B ( UVB ) dapat menimbulkan hiperpigmentasi post
inflamasi.25

Prognosis
Prognosis pada penderita Pitiriasis Rosea adalah baik karena penyakit ini bersifat self
limited disease sehingga dapat sembuh spontan dalam waktu 3-8 minggu.

D. ERITRODERMA
Pendahuluan
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya kemerahan atau
eritema yang bersifat generalisata yang mencakup 90% permukaan tubuh yang ditandai
dengan eritema dan skuama yang melibatkan permukaan kulit dan sering sulit untuk
menentukan lesi primer yang merupakan petunjuk penting untuk memahami perjalanan
penyakityang berlangsung dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Dermatitis
eksfoliativa dianggap sinonim dengan eritroderma.(34).
Bagaimanapun, itu tidak dapat didefinisikan, karena pada gambaran klinik dapat
menghasilkan penyakit yang berbeda. Pada banyak kasus, eritroderma umumnya di dasari
oleh kelainan kulit yang ada sebelumnya (misalnya psoriasis atau dermatitis atopik),
cutaneous T-cell lymphoma(CTCL) atau reaksi obat. Meskipun peningkatan 50% pasien
mempunyai riwayat lesi pada kulit sebelumnya untuk onset eritroderma, identifikasi penyakit
yang menyertai menggambarkan satu dari sekian banyak kelainan kulit.(35)
Epidemiologi
Insidens eritroderma sangat bervariasi, menurut penelitian dari 0,9-70 dari 100.000
populasi. Penyakit ini dapat mengenai pria ataupun wanita namun paling sering pada pria
dengan rasio 2 : 1 sampai 4 : 1, dengan onset usia rata-rata > 40 tahun, meskipun eritroderma
dapat terjadi pada semua usia.Insiden eritroderma makin bertambah. Penyebab utamanya
adalah psoriasis. Hal tersebut seiring dengan meningkatnya insidens psoriasis.(36,37)

Etiologi
Eritroderma dapat disebabkan oleh akibat alergi obat secara sistemik, perluasan
penyakit kulit, penyakit sistemik termasuk keganasan. Penyakit kulit yang dapat
menimbulkan eritroderma diantaranya adalah psoriasis 23%, dermatitis spongiotik 20%,
alergi obat 15%, CTCL atau sindrom sezary 5%.(37,38)
a

Eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik


Keadaan ini banyak ditemukan pada dewasa muda. Obat yang dapat menyebabkan
eritroderma adalah arsenik organik, emas, merkuri (jarang), penisilin, barbiturat. Pada
beberapa masyarakat, eritroderma mungkin lebih tinggi karena pengobatan sendiri dan
pengobatan secara tradisional. Waktu mulainya obat ke dalam tubuh hingga timbul
penyakit bervariasi dapat segera sampai 2 minggu.
Gambaran klinisnya adalah eritema universal. Bila ada obat yang masuk lebih dari satuke
dalam tubuh diduga sebagai penyebabnya ialah obat yang paling sering menyebabkan
alergi.(34,37)

Table. Obat-obat yang menyebabkan eritroderma (37)

Eritroderma yang disebabkan oleh perluasan penyakit kulit


Eritroderma et causa psoriasis, merupakan eritroderma yang paling banyak ditemukan
dan dapat disebabkan oleh penyakit psoriasis maupun akibat pengobatan psoriasis yang
terlalu kuat.(36)
Dermatitis seboroik pada bayi juga dapat menyebabkan eritroderma yang juga dikenal
penyakit Leiner. Etiologinya belum diketahui pasti.Usia penderita berkisar 4-20 minggu.
Pityriasis rubra pilaris yang berlangsung selama beberapa minggu dapat pula menjadi
eritroderma. Selain itu yang dapat menyebabkan eritroderma adalah pemfigus foliaseus,
dermatitis atopik dan liken planus.(38)

Patofisiologi
Patogenesis timbulnya eritroderma berkaitan dengan patogenesis dari kelainan yang
mendasari timbulnya penyakit ini. Mekanisme kelainan yang mendasari akan bermanifestasi
sebagai eritroderma seperti dermatosis yang menimbulkan eritroderma, atau bagaimana
timbulnya eritroderma secara idiopatik tidak diketahui secara pasti. Riset terbaru mengenai
imunopatogenesis dari infeksi yang diperantarai toksin, misalnya teori yang mengatakan
bahwa kemungkinan kolonisasi stafilokokus aureus atau antigen lain, seperti toksin-1 toxic
shock syndrome, berperan dalam patogenesis eritroderma. Pada pasien eritroderma ditemukan
kolonisasi S. aureus di hidung pada 83 persen dan pada kulit dan hidung pada 17 persen
pasien. (37)
Peningkatan immunoglobulin E (IgE) dapat terjadi pada berbagai kelainan yang
mendasari terjadinya eritroderma, dan mekanismenya pun dapat berbeda-beda. Misalnya
pada eritroderma karena psoriasis, dimana peningkatan IgE pada pasien ini adalah akibat
perubahan dari profil sitokin T helper 1 pada psoriasis menjadi sitokin T helper 2 pada

eritroderma karena psoriasis. Mekanisme ini berbeda dengan overproduksi IgE primer pada
dermatitis atopik. (37)
HyperIgE syndrome adalah suatu defisiensi imun yang berhubungan dengan eritroderma,
pada kasus ini produksi IgE tinggi akibat ketidakcukupan sekresi interferon selektif.
Peningkatan IgE ini mungkin terkait dengan proses penyakit yang mendasari atau dengan
manifestasi penyakit sebagai eritroderma. Jumlah sel germinal dan kecepatan mitosis pada
kulit dengan eritroderma meningkat dibandingkan dengan kulit normal, sehingga waktu
transit sel melalui epidermis menjadi lebih pendek. Akibatnya protein, asam amino, dan asam
nukleat yang memediasi proses tersebut akan lebih cepat hilang dari tubuh. Kehilangan unsur
protein yang lebih tinggi daripada umumnya akan mempengaruhi proses metabolisme.(37)
Gambaran Klinis
Mula-mula timbul bercak eritema yang dapat meluas ke seluruh tubuh dalam waktu 1248 jam. Deskuamasi yang difus dimulai dari daerah lipatan, kemudian menyeluruh. Dapat
juga mengenai membran mukosa, terutama yag disebabkan oleh obat. Bila kulit kepala sudah
terkena, dapat terjadi alopesia, perubahan kuku, dan kuku dapat lepas. Dapat terjadi
limfadenopati dan hepatomegali. Skuama timbul setelah 2-6 hari, sering mulai di daerah
lipatan. Skuamanya besar pada keadaan akut, dan kecil pada keadaan kronis. Warnanya
bervariasi dari putih sampai kuning. Kulit merah terang, panas, kering dan kalau diraba tebal.
Pasien mengeluh kedinginan. Pengendalian regulasi suhu tubuh menjadi hilang, sehingga
sebagai kompensasi terhadap kehilangan panas tubuh, sekujur tubuh pasien menggigil untuk
dapat menimbulkan panas metabolik.(37)

Gambar. Eritema yang bersifat generalisata dan skuama exfoliative pada pasien eritroderma ini (37)

Diagnosis
Diagnosis agak sulitditegakkan, harus melihat dari tanda dan gejala yang sudah ada
sebelumnya misalnya, warna hitam-kemerahan di psoriasis dan kuning-kemerahan di pilaris
rubra pityriasis; perubahan kuku khas psoriasis; likenifikasi, erosi, dan ekskoriasi di
dermatitis atopik dan eksema; menyebar, relatif hiperkeratosistanpa skuama,dan pityriasis
rubra; ditandai bercak kulit dalam eritroderma di pilaris rubra pityriasis; hiperkeratotik skala
besar kulit kepala, biasanya tanpa rambut rontok di psoriasis dan dengan rambut rontok di
pityriasis rubra dan ektropion mungkin terjadi. Dengan beberapa biopsi biasanya dapat
menegakkan diagnosis.(34,35)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan darah didapatkan albumin serum yang rendah dan peningkatan
gammaglobulin, ketidak seimbangan elektrolit, protein fase akut meningkat, leukositosis,
maupun anemia ringan.(37)
Histopatologi
Pada kebanyakan pasien dengan eritroderma histopatologi dapat membantu
mengidentifikasi penyebaberitroderma pada sampai dengan 50% kasus, biopsi kulit dapat
menunjukkan gambaran yang bervariasi, tergantung berat dan durasi proses inflamasi. Pada
tahap akut,spongiosis dan parakeratosis menonjol, terjadi edema. Pada stadium kronis,
akantosis dan perpanjangan rete ridge lebih dominan.(34)
Eritroderma akibat limfoma, yang infiltrasi bisa menjadi semakin pleomorfik, dan
mungkin akhirnya memperoleh fitur diagnostik spesifik, seperti bandlike limfoid infiltrat di
dermis-epidermis, dengan selcerebriform mononuklear atipikal dan Pautrier's micro
abscesses. Pasien dengan sindrom Sezary sering menunjukkan beberapa fitur dari dermatitis
kronis, dan eritroderma jinak mungkin kadang-kadang menunjukkan beberapa gambaran
tidak jelas pada limfoma. (34)
Diagnosa Banding
Ada beberapa diagnosis banding pada eritorderma :
1

Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik adalah peradangan kulit kronis yang terjadi di lapisan
epidermis dan dermis, sering berhubungan dengan riwayat atopik pada keluarga asma
bronchial, rhinitis alergi, konjungtivitis. Atopik terjadi diantara 15-25% populasi,
berkembang dari satu menjadi banyak kelainan dan memproduksi sirkulasi antibodi
IgE yang tinggi, lebih banyak karena alergi inhalasi. Dermatitis atopik adalah
penyakit kulit yang mungkin terjadi pada usia berapapun, tetapi biasanya timbul
sebelum usia 5 tahun. Biasanya, ada tiga tahap : balita, anak-anak dan dewasa.(39,40,41)
Dermatitis atopik merupakan salah satu penyebab eritroderma pada orang
dewasa dimana didapatkan gambaran klinisnya terdapat lesi pra-existing, pruritus
yang parah, likenifikasi dan prurigo nodularis, sedangkan pada gambaran histologi
terdapat akantosis ringan, spongiosis variabel, dermal eosinofil dan parakeratosis.

Gambar. Dermatitis atopik. Nodul-nodul eritema dan linkenlikasi (39)

Psoriasis
Eritroderma psoriasis dapat disebabkan oleh karena pengobatan topikal yang
terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Ketika psoriasis menjadi
eritroderma biasanya lesi yang khas untuk psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat
menghilang dimana plak-plak psoriasis menyatu, eritema dan skuama tebal universal.
(34)

Psoriasis mungkin menjadi eritroderma dalam proses yang berlangsung


lambat dan tidak dapat dihambat atau sangat cepat. Faktor genetik berperan. Bila
orang tuanya tidak menderita psoriasis resiko mendapat psoriasis 12 %, sedangkan
jika salah seseorang orang tuanya menderita psoriasis resikonya mencapai 3439%.(36)
Psoriasis ditandai dengan adanya bercak-bercak, eritema berbatas tegas
dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan disertai fenomena tetesan
lilin, Auspitz, dan Kobner.(36)

Gambar. Bercak-bercak eritema (39)

Dermatitis seboroik
Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang kronis ditandai dengan plak
eritema yang sering terdapat pada daerah tubuh yang banyak mengandung kelenjar
sebasea seperti kulit kepala, alis, lipatan nasolabial, belakang telinga, cuping hidung,
ketiak, dada, antara skapula. Dermatitis seboroik dapat terjadi pada semua umur, dan
meningkat pada usia 40 tahun. Biasanya lebih berat apabila terjadi pada laki-laki
daripada wanita dan lebih sering pada orang-orang yang banyak memakan lemak dan
minum alkohol.(36)
Biasanya kulit penderita tampak berminyak, dengan kuman pityrosporum
ovale yang hidup komensal di kulit berkembang lebih subur. Pada kepala tampak
eritema dan skuama halus sampai kasar (ketombe). Kulit tampak berminyak dan
menghasilkan skuama putih yang berminyak pula. Penderita akan mengeluh rasa gatal
yang hebat.(36)
Dermatitis seboroik dapat diakibatkan oleh ploriferasi epidermis yang
meningkat seperti pada psoriasis.Hal ini dapat menerangkan mengapa terapi dengan
sitostatik dapat memperbaikinya.Pada orang yang telah mempunyai faktor
predisposisi, timbulnya DS dapat disebabkan oleh faktor kelelahan sterss emosional
infeksi, atau defisiensi imun.(34)

Gambar. Eritema dan skuama halus

Terapi
Pada eritroderma golongan I, obat tersangka sebagai kausanya segera dihentikan.
Umumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan I, yang disebabkan

oleh alergi obat secara sistemik, dosis prednisone 4 x 10 mg. Penyembuhan terjadi cepat,
umumnya dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. (36)
Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan kortikosteroid. Dosis
mula prednisone 4 x 10 mg sampai 15 mg sehari. Jika setelah beberapa hari tidak tampak
perbaikan, dosis dapat dinaikkan. Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan.
Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan dengan ter pada psoriasis, makan obat tersebut
harus dihentikan. Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati dengan asetretin. Lama
penyembuhan golongan II ini bervariasi beberapa minggu hingga beberapa bulan, jadi tidak
secepat seperti golongan I. (36)
Pada pengobatan dengan kortikosteroid jangka lama (long term), yakni jika melebihi
1 bulan lebih baik digunakan metilprednisolon dari pada prednison dengan dosis ekuivalen
karena efeknya lebih sedikit. (36)
Pengobatan penyakit Leiner dengan kortikosteroid memberi hasil yang baik. Dosis
prednisone 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrom Sezary pengobatan terdiri atas kortikosteroid
(prednisone 30 mg sehari) atau metilprednisolon ekuivalen dengan sitostatik, biasanya
digunakan klorambusil dengan dosis 2-6 mg sehari. (36)
Pada eritroderma kronis diberikan pula diet tinggi protein, karena terlepasnya skuama
mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula diolesi emolien untuk
mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema misalnya dengan salep lanolin 10% atau
krim urea 10%.(36)
Kesimpulan
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan eritema di seluruh/ hampir
seluruh tubuh dan biasanya disertai skuama. Kelainan ini lebih banyak didapatkan pada pria,
terutama pada usia rata rata 40-60 tahun. Penyebab sering eritroderma adalah akibat
perluasan penyakit kulit sebelumnya, reaksi obat, alergi obat dan akibat penyakit sistemik
termasuk keganasan.
Gambaran klinik eritrodermi berupa pruritus, eritema dan skuama yang bersifat
generalisata. Penatalaksanaan eritroderma yaitu pemberian kortikosteroid dan pengobatan
topical dengan pemberian emolien serta pemberian cairan dan perawatan diruangan yang
hangat.
Prognosis eritroderma yang disebabkan obat obatan relatif lebih baik, sedangkan
eritroderma yang disebabkan oleh penyakit idiopatik, dermatitis dapat berlangsung berbulan
bulan bahkan bertahun tahun dan cenderung untuk kambuh.

E. DERMATITIS SEBOROIK
Definisi
Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang sering terdapat pada daerah tubuh
berambut, terutama pada kulit kepala, alis mata dan muka, kronik dan superfisial 45, didasari
oleh faktor konstitusi.
Epidemiologi
Dermatitis seboroik merupakan penyakit inflamasi kronik yang mengenai daerah
kepala dan badan di mana terdapat glandula sebasea 42. Prevalensi dermatitis seboroik
sebanyak 1% - 5% populasi.43 Lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita 42. Penyakit
ini dapat mengenai bayi sampai dengan orang dewasa. Umumnya pada bayi terjadi pada usia
3 bulan sedangkan pada dewasa pada usia 30-60 tahun(44)
Secara internasional frekuensinya sebanyak 3-5%. Ketombe yang merupakan bentuk
ringan dari dermatitis ini lebih umum dan mengenai 15-20% populasi.
Etiologi
Etiologi dermatitis seboroik masih belum jelas, meskipun demikian berbagai macam
faktor seperti faktor hormonal42, infeksi jamur, kekurangan nutrisi, faktor neurogenik diduga
berhubungan dengan kondisi ini44. Menurut Djuanda (1999) faktor predisposisinya adalah
kelainan konstitusi berupa status seboroik.
Keterlibatan faktor hormonal dapat menjelaskan kenapa kondisi ini dapat mengenai
bayi, menghilang secara spontan dan kemudian muncul kembali setelah pubertas 44. Pada bayi
dijumpai kadar hormon transplansenta meninggi beberapa bulan setelah lahir dan
penyakitnya akan membaik bila kadar hormon ini menurun45.
Faktor lain yang berperan adalah terjadinya dermatitis seboroik berkaitan dengan
proliferasi spesies Malassezia yang ditemukan di kulit sebagai flora normal 44. Ragi genus ini
dominan dan ditemukan pada daerah seboroik tubuh yang mengandung banyak lipid sebasea
(misalnya kepala, tubuh, punggung). Selden (2005) menyatakan bahwa Malassezia tidak
menyebabkan dermatitis seboroik tetapi merupakan suatu kofaktor yang berkaitan dengan
depresi sel T, meningkatkan kadar sebum dan aktivasi komplemen.

Dermatitis seboroik juga dicurigai berhubungan dengan kekurangan nutrisi tetapi


belum ada yang menyatakan alasan kenapa hal ini bias terjadi. 44 Peningkatan sebum dapat
menjadi tempat berkembangnya P. ovale sehingga menginduksi dermatitis seboroik42.
Faktor genetik dan lingkungan dapat merupakan predisposisi pada populasi tertentu,
seperti penyakit komorbid, untuk berkembangnya dermatitis seboroik. Meskipun dermatitis
seboroik hanya terdapat pada 3% populasi, tetapi insidensi pada penderita AIDS dapat
mencapai 85%. Mekanisme pasti infeksi virus AIDS memacu onset dermatitis seboroik
(ataupun penyakit inflamasi kronik pada kulit lainnya) belum diketahui42.
Berbagai macam pengobatan dapat menginduksi dermatitis seborok. Obat-obat
tersebut

adalah

auranofin,

aurothioglucose,

buspirone,

chlorpromazine,

cimetidin,

ethionamide, griseofulvin, haloperidol, interferon alfa, lithium, methoxsalen, methyldopa,


phenothiazines, psoralens, stanozolol, thiothixene, and trioxsalen.
Klasifikasi dan Manifestasi Klinik
Dermatitis seboroik umumnya berpengaruh pada daerah kulit yang mengandung
kelenjar sebasea dalam frekuensi tinggi dan aktif. Distribusinya simetris dan biasanya
melibatkan daerah berambut pada kepala meliputi kulit kepala, alis mata, kumis dan jenggot.
Adapun lokasi lainnya bisa terdapat pada dahi, lipatan nasolabial, kanalis auditoris external
dan daerah belakang telinga. Sedangkan pada tubuh dermatitis seboroik dapat mengenai
daerah presternal dan lipatan-lipatan kulit seperti aksila, pusar, inguinal, infra mamae, dan
anogenital42.
Menurut usia dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Pada remaja dan dewasa
2. Pada bayi

Dermatitis seboroik pada remaja dan dewasa dimulai sebagai skuama berminyak ringan
pada kulit kepala dengan eritema dan skuama pada lipatan nasolabial atau pada belakang
telinga. Skuama muncul pada kulit yang berminyak di daerah dengan peningkatan kelenjar
sebasea (misalnya aurikula, jenggot, alis mata, tubuh (lipatan dan daerah infra mamae),
kadang-kadang bagian sentral wajah dapat terlibat. Dua tipe dermatitis seboroik dapat
ditemukan di dada yaitu tipe petaloid (lebih umum) dan tipe pityriasiform (jarang).

Bentuknya awalnya kecil, papul-papul follikular dan perifollikular coklat kemerah-merahan


dengan skuama berminyak. Papul tersebut menjadi patch yang menyerupai bentuk daun
bunga atau seperti medali (medallion seborrheic dermatitis). Tipe pityriasiform umumnya
berbentuk makula dan patch yang menyerupai pityriasis rosea. Patch-patch tersebut jarang
menjadi erupsi44.
Pada masa remaja dan dewasa manifestasi kliniknya biasanya sebagai scalp scaling
(ketombe) atau eritema ringan pada lipatan nasolabial pada saat stres atau kekurangan tidur44.
Menurut daerah lesinya, dermatitis seboroik dibagi tiga:
1. Seboroik kepala
Pada daerah berambut, dijumpai skuama yang berminyak dengan warna kekuningkuningan sehingga rambut saling melengket; kadang-kadang dijumpai krusta yang
disebut Pitriasis Oleosa (Pityriasis steatoides). Kadang-kadang skuamanya kering dan
berlapis-lapis dan sering lepas sendiri disebut Pitiriasis sika (ketombe) 45. Pasien
mengeluhkan gatal di kulit kepala disertai dengan ketombe. Pasien berpikir bahwa
gejala-gejala itu timbul dari kulit kepala yang kering kemudian pasien menurunkan
frekuensi pemakaian shampo, sehingga menyebabkan akumulasi lebih lanjut.
Inflamasi akhirnya terjadi dan kemudian gejala makin memburuk42.
Bisa pula jenis seboroik ini menyebabkan rambut rontok, sehingga terjadi
alopesia dan rasa gatal. Perluasan bisa sampai ke belakang telinga. Bila meluas,
lesinya dapat sampai ke dahi, disebut Korona seboroik. Dermatitis seboroik yang
terjadi pada kepala bayi disebut Cradle cap 45.
Selain kulit kepala terasa gatal, pasien dapat mengeluhkan juga sensasi
terbakar pada wajah yang terkena. Dermatitis seboroik bisa menjadi nyata pada orang
dengan kumis atau jenggot, dan menghilang ketika kumis dan jenggotnya
dihilangkan. Jika dibiarkan tidak diterapi akan menjadi tebal, kuning dan berminyak,
kadang-kadang dapat terjadi infeksi bakterial42.
2. Seboroik muka

Pada daerah mulut, palpebra, sulkus nasolabialis, dagu, dan lain-lain terdapat makula
eritem, yang diatasnya dijumpai skuama berminyak berwarna kekuning-kuningan.
Bila sampai palpebra, bisa terjadi blefaritis. Sering dijumpai pada wanita. Bisa
didapati di daerah berambut, seperti dagu dan di atas bibir, dapat terjadi folikulitis.
Hal ini sering dijumpai pada laki-laki yang sering mencukur janggut dan kumisnya.
Seboroik muka di daerah jenggot disebut sikosis barbe45.
3. Seboroik badan dan sela-sela
Jenis ini mengenai daerah presternal, interskapula, ketiak, inframama, umbilicus,
krural (lipatan paha, perineum). Dijumpai ruam berbentuk makula eritema yang pada
permukaannya ada skuama berminyak berwarna kekuning-kuningan. Pada daerah
badan, lesinya bisa berbentuk seperti lingkaran dengan penyembuhan sentral.
Di daerah intertrigo, kadang-kadang bisa timbul fisura sehingga menyebabkan infeksi
sekunder45.

Diagnosis
1. Anamnesis
Bentuk yang banyak dikenal dan dikeluhkan pasien adalah ketombe/ dandruft.
Walaupun demikian, masih terdapat kontroversi para ahli. Sebagian mengganggap
dandruft adalah bentuk dermatitis seboroik ringan tetapi sebagian berpendapat lain47.
2. Pemeriksaan fisik
Secara klinis kelainan ditandai dengan eritema dan skuama yang berbatas relatif tegas.
Skuama dapat kering, halus berwarna putih sampai berminyak kekuningan, umumnya
tidak disertai rasa gatal47.
Kulit kepala tampak skuama patch ringan sampai dengan menyebar, tebal,
krusta keras. Bentuk plak jarang. Dari kulit kepala dermatitis seboroik dapat
menyebar ke kulit dahi, belakang leher dan belakang telinga.

Distribusi mengikuti daerah berambut pada kulit dan kepala seperti kulit
kepala, dahi, alis lipatan nasolabial, jenggot dan belakang telinga. Perluasan ke daerah
submental dapat terjadi.
3. Histologis
Pemeriksaan histologis pada dermatitis seboroik tidak spesifik. Dapat ditemukan
hiperkeratosis, akantosis, spongiosis fokal dan paraketatosis.
Biopsi kulit dapat efektif membedakan dermatitis seboroik dengan penyakit
sejenis. Pada dermatitis seboroik terdapat neutrofil dalam skuama krusta pada sisi
ostia follicular. AIDS berkaitan dengan dermatitis seboroik tampak sebagai
parakeratosis, nekrotik keratinosites dalam epidermis dan sel plasma dalam dermis.
Ragi kadang tampak dalam keratinosites dengan pengecatan khusus44.

Diagnosis Banding
1. Psoriasis
Pada psoriasis dijumpai skuama yang lebih tebal, kasar, berlapis-lapis, putih seperti
mutiara dan tak berminyak. Selain itu ada gejala yang khusus untuk psoriasis45. Tanda
laindari psoriasi seperti pitting nail atau onycholysis distal dapat untuk membantu
membedakan44.

2. Tinea
Pada tinea kapitis, dijumpai alopesia, kadang-kadang dijumpai kerion. Pada tinia
kapitis dan tine kruris eritem lebih menonjol di pinggir dan pinggirnya lebih aktif
dibandingkan tengahnya (Hrahap, 2000). Tinea capitis, facei dan korporis dapat
ditemukan hifa pada pemeriksaan sitologik dengan potassium hydroksida44.

Penatalaksanaan

Terapi yang efektif untuk dermatitis seboroik yaitu obat anti inflamasi
(immunomodulatory), keratolitik, anti jamur dan pengobatan alternatif44.
1. Obat anti inflamasi (immunomodulatory)
Terapi konvensional untuk dermatitis seboroik dewasa pada kulit kepala dengan
steroid topikal atau inhibitor calcineuron. Terapi tersebut pemberiannya dapat berupa
shampo seperti fluocinolon (Synalar), solusio steroid topikal, losio yang dioleskan
pada kulit kepala atau krim pada kulit46.
Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks
adrenal yang pembuatan bahan sintetik analognya telah berkembang dengan pesat.
Efek utama penggunaan kortikosteroid secara topikal pada epidermis dan dermis ialah
efek vasokonstriksi, efek anti inflamasi, dan efek antimitosis. Adanya efek
vasokonstriksi akan mengakibatkan berkurangnya eritema. Adanya efek anti inflamasi
yang terutama terhadap leukosit akan efektif terhadap berbagai dermatoses yang
didasari oleh proses inflamasi seperti dermatitis. Sedangkan adanya efek antimitosis
terjadi karena kortikosteroid bersifat menghambat sintesis DNA berbagai jenis sel.
Terapi dermatitis seboroik pada dewasa umumnya menggunakan steroid
topikal satu atau dua kali sehari, sering diberikan sebagai tambahan ke shampo.
Steroid topikal potensi rendah efektif untuk terapi dermatitis seboroik pada bayi
terletak di daerah lipatan atau dewasa pada persisten recalcitrant seborrheic
dermatitis. Topikal azole dapat dikombinasikan dengan regimen desonide (dosis
tunggal perhari selama dua minggu)44. Akan tetapi penggunaan kortikosteroid topikal
ini memiliki efek samping pada kulit dimana dapat terjadi atrofi, teleangiectasi dan
dermatitis perioral46.
Topikal inhibitor calcineurin (misalnya oinment tacrolimus (Protopix), krim
pimecrolimus (Elidel)) memiliki efek fungisidal dan anti inflamasi tanpa resiko atropi
kutaneus.
Inhibitor calcineurin juga baik untuk terapi dimana wajah dan telinga terlibat, tetapi
efeknya baru bisa dilihat setelah pemberian tiap hari selama seminggu44.
2. Keratolitik

Terapi lain untuk dermatitis seboroik dengan menggunakan keratolitik. Keratolitik


yang secara luas dipakai untuk dermatitis seboroik adalah tar, asam salisiklik dan
shampo zinc pyrithion. Zinc pyrithion memliki efek keratolitik non spesifik dan anti
fungi, dapat diberikan dua atau tiga kali per minggu. Pasien sebaiknya membiarkan
rambutnya dengan shampo tersebut selama lima menit agar shampo mencapai kulit
kepala. Pasien dapat menggunakannya juga untuk tempat lain yang terkena seperti
wajah44.
3. Anti fungi
Sebagian besar anti jamur menyerang Malassezia yang berkaitan dengan dermatitis
seboroik. Dosis satu kali sehari gel ketokonazol (Nizoral) dalam dua minggu, satu kali
sehari regimen desonide (Desowan) dapat berguna untuk dermatitis seboroik pada
wajah. Shampo yang mengandung selenium sulfide (Selsun) atau azole dapat dipakai.
Shampo tersebut dapat diberikan dua sampai tiga kali seminggu. Ketokonazole (krim
atau gel foaming) dan terbinfin (Lamisil) oral dapat berguna. Anti jamur topikal
lainnya seperti ciclopirox (Loprox) dan flukonazole (Diflucan) mempunyai efek anti
inflamasi juga44.
Anti jamur (selenium sulfide, pytrithion zinc, azola, sodium sulfasetamid dan
topical terbinafin) dapat menurunkan kolonisasi oleh ragi lipopilik42.
4. Pengobatan Alternatif
Terapi alami menjadi semakin popular. Tea tree oil (Melaleuca oil) merupakan minyak
essensial dari seak belukar Australia. Terapi ini efektif dan ditoleransi dengan baik
jika digunakan setiap hari sebagai shampo 5%.44

Penatalaksanaan dermatitis seboroik pada kulit kepala dan daerah jenggot


Banyak kasus dermatitis seboroik di kulit kepala dapat diterapi secara efektif dengan
memakai shampo tiap hari atau berselang satu hari dengan shampo anti ketombe yang
mengandung 2,5 persen selenium sulfide atau 1-2 persen pyrithione zinc. Alternatif lain
shampo ketoconazole dapat dipakai. Shampo sebaiknya mengenai kulit kepala dan daerah
jenggot selama 5 sampai 10 menit sebelum dibilas. Shampo moisturizing dapat dipakai

setelah itu untuk mencegah kerontokan rambut. Setelah penyakit dapat dikendalikan
frekuensi memakan shampo dapat dikurangi menjadi dua kali seminggu atau seperlunya.
Solusio topical terbinafin 1 % efektif untuk terapi dermatitis seboroik pada kulit
kepala42.
Jika kulit kepala tertutupi oleh skuama difus dan tebal, skuama dapat dihilangkan
dengan memberikan minyak mineral hangat atau minyak zaitun pada kulit kepala dan
dibersihkan dengan deterjen seperti dishwashing liquid atau shampoo tar beberapa jam
setelahnya42.
Skuama ekstensif dengan peradangan dapat diterapi dengan moistening kulit kepala
dan kemudian memberikan fluocinolone asetonid 0,01% dalam minyak pada malam hari
diikuti dengan shampo pada pagi harinya. Terapi ini dilakukan sampai dengan peradangan
bersih, kemudian frekuensinya diturunkan menjadi satu sampai tiga kali seminggu. Solusio
kortikostreroid, losion atau ointment dipakai satu atau dua kali sehari di tempat fluocinolon
acetonid dan dihentikan pada saat gatal dan eritema hilang. Pemberian kortikosteroid dapat
diulang satu sampai tiga minggu sampai gatal dan eritemanya hilang dan kemudian dipakai
lagi jika diperlukan. Pemeliharaan dengan shampo anti ketombe dapat secara adekuat. Pasien
dianjurkan agar memakai steroid topikal poten dengan hemat sebab pemakaian yang
berlebihan dapat menyebabkan atrofi dan telangiectasi pada kulit42..
Penatalaksanaan pada wajah
Daerah pada wajah yang terkena dapat sering di cuci dengan shampo yang efektif
untuk seborik. Alternatif lain dapat dipakai kream ketokonazone 2%, diberikan 1-2 kali.
Hidrokortison 1% sering kali diberikan 1-2 kali dan akan menghasilkan proses resolusi
eritema dan gatal. Losion Sodium sulfacetamide 10% juga efektif sebagai agen topikal untuk
dermatitis seboroik.
Penatalaksanaan dermatitis seboroik berat
Pada pasien dengan dermatitis seboroik berat yang tidak responsif dengan terapi
topikal yang biasa dapat di terapi dengan isotretionoin. Isotretinoin dapat menginduksi
pengecilan glandula sebasea sampai dengan 90% dengan mengurangi produksi sebum.
Isotretinoin juga dapat dipakai sebagai anti inflamasi. Terapi dengan isotretinoin 0,1
0,3 mg/kgBB/hari dapat memperbaiki dermatitis seboroiknya. Kemudian dosis pemeliharaan
5-10 mg/ hari efektif untuk beberapa tahun. Akan tetapi isotretinoin memiliki efek samping
serius, yaitu teratogenik, hiperlipidemia, neutropenia, anemia dan hepatitis.

Efek samping mukokutaneus mencakup khelitis, xerosis, konjungtivitis, uretritis dan


kehilangan rambut. Penggunaan jangka panjang berhubungan dengan perkembangan diffuse
idiopathic skeletal hyperostosis (DISH) 42.
Pendekatan lain pada pasien yang sulit dengan mencoba berbagai macam kombinasi
yang berbeda dari obat-obat yang biasa dipakai: shampo anti ketombe, anti jamur dan steroid
topikal. Jika ini gagal dapat dipakai steroid topikal poten jangka pendek. Pilihan terapinya
mencakup steroid kelas III non fluorinate seperti mometasone furoate (Elocon) atau
menggunakan steroid ekstra poten kelas I atau steroid topikal kelas II seperti clobetasol
propionate (Temovate) atau fluocinonude (Lidex). Steroid topikal kelas III harus dipakai
lebih dulu, tetapi jika masih tidak resposif dapat menggunakan kelas I. Obat tersebut dapat
diberikan satu sampai dua kali sehari, bahkan untuk wajah, tetapi harus dihentikan setelah
dua minggu sebab terjadinya peningkatan efek samping. Jika pasien respon sebelum dua
minggu, obat harus di stop sesegera mungkin42.
Sebagian besar kortikosteroid tersedia sebagai solusio, losion, kream dan ointment.
Penggunaan vehikulum ini tergantung pasien dan lokasi terapi. Losion dan kream sering
digunakan pada wajah dan tubuh sedangkan solusio dan ounment sering digunakan pada kulit
kepala. Umumnya pemakaian solusio kulit kepala lebih dipilih pada orang kulit putih dan
asia, untuk orang kulit hitam mungkin terlalu kering, ointment merupakan pilihan yang lebih
baik42.
Prognosis
Pada sebagian kasus yang mempunyai factor konstitusi penyakit ini agak sukar
disembuhkan, meskipun terkontrol.

F. LIKEN PLANUS
Pendahuluan
Liken planus (LP) pertama kali dijelaskan oleh Erasmus Wilson pada tahun 1869. 55,56
Liken planus diklasifikasikan sebagai penyakit papulosquamous, walaupun gejala
menonjolnya adalah bersisik tetapi tidak sama dengan psoriasis dan penyakit kulit lainnya
yang termasuk dalam kategori ini.49

Liken planus paling sering ditemukan pada ektremitas superior, kulit kepala, kuku,
genitalia, dan membran mukosa. Liken planus (leichen dalam bahasa Yunani berarti pohon
lumut ; planus dalam bahasa Latin berarti datar) merupakan suatu kelainan yang unik,
suatu penyakit inflamasi yang berefek ke kulit, membran mukosa, kuku, dan rambut. Lesi
yang tampak pada lichen planus-like atau dermatitis lichenoid tampak seperti ketombe,
beralur halus, kotoran yang kering dari tumbuh-tumbuhan simbiosis yang dikenal sebagai
liken. Walaupun morfologi ini mungkin sulit untuk dibandingkan, liken planus merupakan
suatu kesatuan yang khusus dengan bentuk papul lichenoid yang menunjukkan warna dan
morfologi yang khusus, berkembang di lokasi yang khas, dan pola perkembangan
karakteristik yang nyata.49 Liken planus memiliki karakteristrik tersendiri yaitu berupa papul
flat-miring yang berwarna keunguan dengan predileksinya pada badan dan permukaan
fleksor.
Etiologi pasti LP masih belum diketahui, tetapi itu mungkin dihubungkan dengan
penyakit sistemik lainnya seperti diabetes mellitus, penyakit kolagen, infeksi kuman virus
dan stress emosional.
Liken planus merupakan penyakit kulit yang gatal, mukokutaneus yang mengalami
erupsi dan anak-anak jarang mengalaminya daripada orang dewasa dengan histologi yang
pasti. Sekurang-kurangnya 2-3 dengan kasus LP terjadi pada umur antara 30 dan 60.
Walaupun tidak ada pengecualian untuk kelompok umur, penyakit ini tidak biasa pada usia
yang sangat muda dan sangat tua.48,50
Epidemiologi
Distribusi LP ditemukan di seluruh dunia dengan predisposisi tidak berdasarkan ras
walaupun variasinya sering terjadi.Kira-kira sebagian pasien dengan lesi pada kulit memiliki
lesi oral yaitu sekitar 25 %. Liken planus tidak memiliki predisposisi yang kuat untuk setiap
jenis kelamin. Beberapa penulis menemukan 60% kasus LP pada wanita.
Ini berarti wanita lebih banyak daripada pria dengan ratio 2:3 dan predominan terjadi pada
orang dewasa di usia lebih dari 40 tahun. Pada daerah tropis dan subtropis kelompok umur
muda juga menderita LP.48
Etiologi dan Patogenesis
Antigen liken planus tidak diketahui, mungkin disebabkan oleh self-peptide dan pada
kasus ini, liken planus sebenarnya adalah penyakit autoimmune. Hal ini dipertimbangkan

sebagai penyakit autoimmune karena dimediasi oleh CD8 + Sel T, yang berlawanan dengan
keratinosis basal yang secara cepat diubah menjadi epitop.
Liken planus dihubungkan dengan reaksi alergi atau reaksi kekebalan, faktor resiko termasuk:
-

Pengobatan dengan cahaya, bahan yang dicelup, dan substansi bahan kimia lainnya
(yaitu emas, antibiotik, arseni, iodida, kloroquin, quinarine, quinide, phenothiazine, dan
diuretik).

Trauma Mekanik (Fenomena Koebner). Lesi linear sering terlihat bersama dengan tanda
luka karena garukan.

Infeksi virus, terutama Hepatitis C.

Manifestasi Klinik
Liken planus dimulai dengan adanya makula eritem dan papul keunguan selama
beberapa minggu. Dalam waktu yang singkat, kadang-kadang berkembang lesi yang multipel
secara cepat dengan penyebaran awal hanya beberapa papul. Tanda liken planus hanya
ditemukan pada kulit dan membran mukosa. Morfologi lesinya berupa, kecil, flat-miring,
poligonal, papul yang mengkilat, dengan frekuensi yang sering, tapi tidak selalu ada. Lesi
liken planus biasanya didistribusikan secara simetris dan bilateral pada ekstremitas. Liken
planus predileksinya meliputi daerah fleksura pada pergelangan tangan, lengan, dan
pergelangan kaki, paha, punggung bawah, leher dan penyebaran bertambah di membran
mukosa mulut dan genitalia.48,49
Retikulum halus berwarna putih dengan lesi berupa sisik pada permukaan kulit,
sehingga terlihat seperti garis-garis putih, dikenal sebagai Wickhams striae, tanda
patognomonik liken planus yang mungkin tidak jelas pada anak-anak.50
Gejala

Lesi Mulut

Lesi Kulit

Gejala lainnya :

o Mulut kering
o Rambut rontok
o Rasa seperti logam di dalam mulut
o Kuku yang abnormal

Variasi Klinik
Pada umumnya banyak variasi secara klinik penyakit liken planus yang dikategorikan
menurut : (1) bentuk lesi, (2) morfologi yang terlihat, atau (3) lokasi.49
Bentuk Lesi
-

Bentuk Anuler. Bentuk lesi ini terdapat di punggung dan lebih sering ditemukan di
penis serta skrotum. Kira-kira ditemukan pada 10% penderita LP. Umumnya papula
membentuk gambaran cincin. Bentuk lain dari anuler liken planus terjadi ketika lesi
membesar dengan diameter 2 sampai 3 cm dan mengalami hiperpigmentasi.49

Erosi dan Ulserasi. Bentuk ini menunjukkan lesi-lesi yang erosif, yang kemudian
menjadi ulkus pada selaput lendir yang telah terkena LP.48

Atropik. Bentuk ini jarang terdapat, tetapi pernah dilaporkan bersama dengan bentuk
folikuler, vesikulo bulosa, atau hipertrofik.48

Liken Planus Guttate. Variasi ini merupakan bentuk akut dari LP yang paling sering
ditemukan. Terdiri dari papul yang distribusinya luas pada LP. Papul merupakan ciri
utama dari LP dengan distribusi yang khas sehingga variasi ini berbeda dengan yang
lainnya.47

Liken Planus Folikular (Liken Plano-pilaris). Lesi folikuler merupakan bagian dari
liken planus tipikal, tetapi kadang-kadang menonjol dan sulit untuk didiganosis.
Sementara mayoritas, papulnya datar, lesinya berkelompok seperti duri dan
berkembang disekitar folikel rambut (liken plano-pilaris). Lesi folikuler terdapat di kulit
kepala yang bersisik dan terlihat seperti bekas luka pada alopesia.51

Liken planus pigmentosus. Merupakan pigmen kronik yang difus atau retikulasi
hiperpigmen dengan makula yang berwarna coklat tua pada daerah yang sering terkena
paparan sinar matahari seperti wajah, leher dan daerah lipatan lainnya.

Liken planus vesiko-bullosa. Vesikel dan bula pada LP pasti ada, akan tetapi kadangkadang menonjol secara bersamaan sehingga sulit untuk didiagnosis. Liken planus
bullosa merupakan variasi yang jarang sehingga berkembang menjadi lesi berupa vesikel
dan bula pada penyakit liken planus.49

Liken planus aktinik. Nama lain variasi ini adalah liken planus subtropik, liken planus
tropik, erupsi likenoid aktinik, liken planus aktinikus, liken planus anuler atropi, dan
likenoid melanodermatosis.49

Lokasi variasi
-

Liken planus pada kulit kepala. Secara klinik maupun histologi liken planopilaris atau
liken planus folikuler menyerang kulit kepala. Pada kulit kepala secara tipikal terlihat
seperti gabungan papul keratotik yang folikuler.

Liken planus pada Kuku. Permukaan kuku yang menipis merupakan karakteristik dari
kuku yang abnormal, ridging longitudinal dan adanya retakan/celah. Dasar kuku
mengalami perubahan, akan tetapi non spesifik seperti kuning karena adanya kerusakan
pada warna kuku, onikolisis dan hiperkeratosis subungual.

Liken planus pada telapak tangan dan tumit. Karakteristik bentuk lesi LP yang
terdapat pada telapak tangan dan tumit serta adanya lesi perubahan warna di tempat lain.
Bentuknya terdiri dari papul atau nodul dan lebih aktif di bagian pinggir daripada di
tengah.

Liken planus pada mukosa. Liken planus menyerang selaput di mulut, vagina,
esofagus, konjunktiva, uretra, hidung dan larings. Ciri utamanya adalah eritem dan erosi
pada lidah ; kadang-kadang ada plak putih dengan rasa nyeri dan tidak nyaman.
Deskuamasi dan erosi pada vulva dan vagina disertai dengan rasa nyeri terbakar,
dispareunia.

Liken Planus - Lupus Erythematosus Overlap Syndrome


o

Pasien dengan reaksi ini didapatkan adanya lesi atropik DLE (Discoid Lupus
Erythematosus) di kepala, leher dan badan serta memiliki plak putih terlihat seperti
renda pada mukosa oral. Likenoid atau papul verukos dan plak dapat ditemukan pada
kulit non mukosa.47

Graft-versus-host disease
o

Chronic Graft Versus Host Disease (GVHD), terjadi 100 hari setelah transplantasi
sumsum tulang, dapat timbul sebagai erupsi likenoid yang secara klinis. Karakteristik
yang terlihat berupa papul dengan warna keunguan pada ekstremitas distal.Lesi ini
biasanya tidak gatal. Keterlibatan mukosa oral dengan makula berwarna putih yang
disusun dengan pola fine lace-like; erosi dan ulserasi mungkin juga ada. Keadaan ini
mungkin bisa menjelaskan patogenesis LP.47
Reaksi lainnya adalah Liken Planus Pemfigoid, Likenoid Keratosis Kronik (Penyakit

Nekam), Liken Planus dan Transformasi Maligna, Keratosis Likenoid, Dermatitis


Likenoid.49
Tes Laboratorium
Belum ada analisis pemeriksaan yang spesifik untuk melihat liken planus. Jumlah
limfosit dan sel darah putih menurun.Hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari aktivitas
sitokin di jaringan kulit. Kasus ini dikatakan positif jika kulit sensitif dari bahan merkuri dan
emas.49
Pemeriksaan Histopatologi
Pada epidermis terlihat perubahan berupa hiperkeratosis, akantosis tak teratur,
penebalan stratum granulosum setempat, degenerasi mencair membran basalis, dan hilangnya
stratum basalis.49
Strie Wickham mungkin ada hubungan dengan bertambahnya aktivitas fokal liken
planus dan tidak karena penebalan lapisan granular.51
Bentuk bula pada LP sangat jarang terjadi, paling menonjol antara lamina basal dan
kerotinosis pada sitomembran basal.51

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Selain adanya inflamasi yang termasuk diagnosis banding adalah lupus erithematosus
(LE), liken nitidus, liken striatus, liken sklerosus, pitiriasis rosea, eriteme diskromikum
perstans (dermatosis ashy), psoriasis, erupsi likenoid bentuk anuler, GVHD likenoid dan
sifilis II. Pasien dengan pemphigus paraneoplastik memiliki ciri-ciri klinik yang sama dengan
erupsi likenoid mukokutaneus.
Ketika LP menyerang mukosa vulva, lesi ini secara klinik maupun histologi akan sulit
dibedakan dari penyakit inflamasi lainnya, terutama liken sklerosus. Untuk menegakkan
diagnosis harus melakukan biospi, karena sulit untuk membedakannya dengan penyakit liken
planus dilihat dari variasi yang ada.51
Pengobatan
STEROID TOPIKAL. Steroid topikal merupakan pilihan terapi lini pertama pada liken
planus mukosa. Keberagaman glukokortikoid topikal telah terlihat efektif.
Pada beberapa keadaan dimana iritasi sekunder dan inflamasi jaringan mulut muncul dan
berkorelasi dengan kolonisasi candida di mulut, serangkaian terapi antijamur dapat
diindikasikan.49
Anastesi topikal juga dilaporkan bermanfaat untuk pasien yang sulit makan dan
mengunyah, dan yang sering digunakan adalah kortikosteroid topikal. Glukokortikoid yang
mengandung suppositoria vaginal dan rektal biasanya bermanfaat.49
GLUKOKORTIKOID SISTEMIK. Glukokortikoid sistemik memperlihatkan keefektifan
dalam pengobatan liken planus erosif oral dan vulvovaginal. Dosis sistemik dapat digunakan
secara tunggal, atau, yang tersering, digabungkan dengan kortikosteroid topikal. Dosisnya
mulai 30-80 mg/hari, diturunkan setelah 3 sampai 6 minggu setelah menunjukkan perbaikan.
Relaps sering terjadi setelah pengurangan dosis atau penghentian obat. Dosis yang lebih besar
selalu diperlukan untuk liken planus esofageal. Candidiasis oral merupakan komplikasi yang
sering terjadi.49
GLUKOKORTIKOID TOPIKAL. Terapi topikal dan sistemik bisa digunakan untuk liken
planus di kulit, tetapi penggunaannya tergantung tingkat kroniknya penyakit, gejalagejalanya, dan respon terhadap pengobatan. Glukokortikoid topikal hanya digunakan pada

penyakit kulit tertentu. Glukokortikoid topikal yang poten dengan atau tanpa oklusi, adalah
bermanfaat bagi liken planus di kulit.49
Triamcinolon asetonide (5-10 mg/roL) adalah efektif dalam mengobati liken planus di
mulut dan kulit. Bisa juga digunakan pada liken planus yang terjadi di kuku dengan injeksi di
lipatan proksimal kuku setiap 4 minggu. Regresi terjadi dalam 3-4 bulan.
Untuk liken planus yang hipertrofi, konsentrasi glukokortikoid intralesi yang lebih
tinggi diperlukan (10-20 mg/ml). Observasi yng ketat diperlukan untuk mengelak terjadinya
komplikasi seperti atrofi atau hipopigmentasi pada tempat tertentu. Jika adanya tanda-tanda
komplikasi tersebut, pengobatan haruslah diberhentikan segera. Glukokortikoid sistemik
sangat berguna dan efektif dengan penggunaan dosis lebih dari 20 mg/hari (30-80 mg
prednisone) untuk 4-6 minggu dengan dilanjutkan dosis yang dikurangi selama 4-6 minggu
juga. Pengobatan lain termasuklah prednisone 5-10 mg/hari selama 3-5 minggu. Gejala
cenderung berkurang.
Bagaimanapun, kadar relaps selepas berhenti pemakaian obat tidak diketahui.49
Pada liken planus tipe planopilaris, glukokortikoid topikal yang poten dikombinasi
dengan glukokortikoid oral, 30-40 mg/hari, selama sekurang-kurangnya 3 bulan, berjaya
mengurangi gejala. Namun, jika berhenti dari pemakaian obat akan menyebabkan relaps.
Efek jangka panjang bisa berisiko komplikasi.49
RETINOID (LP Oral). Asam retinoid topikal (gel tretinoin) menunjukkan keefektifan dalam
pengobatan liken planus oral. Iritasi sering membuat pendekatan terapi pada lokasi ini
menjadi kurang bermakna. Isotretinoin gel juga efektif, terutama pada lesi oral non erosif.
Perbaikan biasanya dilaporkan setelah 2 bulan, walaupun rekurensi sering terjadi setelah
penghentian terapi. Retinoid topikal sering digunakan bersama kortikosteroid topikal.
Walaupun tidak ada bukti dalam uji klinis, terapi ini dapat meningkatkan efisiensi dan
mengurangi efek samping pengobatan.49
Etretinate oral telah digunakan sebanyak 75 mg/hari (0,6 sampai 1,0 mg/kgBB/hari)
untuk liken planus erosif oral dengan perbaikan yang signifikan pada sebagian besar pasien.
Relaps sering terjadi setelah penghentian pengobatan.49
RETINOID (LP di Kulit). Retinoid sistemik adalah sebagai antiinflamasi dan digunakan
sebagai terapi untuk liken planus. Remisi dan perbaikan setelah pemakaian 30mg/hari
asitretin selama 8 minggu. Tretinoin digunakan sebanyak 10-30 mg/hari untuk perbaikan dan

efek samping yang ringan. Etretinat dosis rendah sebanyak 10-20 mg/hari selama 4-6 bulan
bagus untuk remisi pada liken planus di kulit, mulut. Respon yang cepat didapatkan dengan
penggunaan 75 mg/hari atretinat, tetapi efek samping dari retinoid berkait erat dengan
penggunaan dosis. 49
SIKLOSPORIN, TACROLIMUS, DAN PIMECROLIMUS. Penggunaan terapi siklosporin
topikal 100mg/mL, 5mL 3 kali sehari menunjukkan hasil yang memuaskan dalam pengobatan
liken planus oral. Pencuci mulut siklosporin topikal memperlihatkan keefektifan terhadap
liken planus oral, terutama untuk bentuk erosif yang berat, tetapi hasilnya tidak lebih baik
dari glukokortikoid topikal. Ketersediaan imunosupresan agen topikal alternatif, tacrolimus
dan pimecrolimus, berguna untuk mengganti siklosporin topikal. Tacrolimus, golongan
imunosupresan makrolide, yang menekan aktivasi sel T pada penyakit mukosa erosif,
memberikan penyembuhan yang cepat dari nyeri dan rasa terbakar dengan efek samping
minimal. Siklosporin oral diberikan dalam rejimen dosis 3-10 mg/kgBB/hari telah digunakan
untuk penyakit ulseratif berat.49
LAIN-LAIN. Antijamur poliene, griseofulvin, telah digunakan secara empiris untuk terapi
liken planus oral dan kutaneus; bagaimanapun kurang begitu efektif. Antijamur yang lebih
baru (fluconazole, itraconazole) mungkin berguna dalam pengobatan liken planus dengan
pertumbuhan candida yang berlebihan, terutama yang bersamaan pemberiannya dengan
glukokortikod topikal. Pada sebuah studi, hydroxychloroquine 200-400mg/hari selama
minimal 6 minggu menghasilkan penyembuhah sempurna liken planus oral. Perlu kehatihatian dalam penggunaan hydroxychloroquine karena antimalaria mungkin merupakan
penginduksi liken planus. 49
Thalidomide dapat digunakan untuk kasus-kasus rekalsitran terhadap obat-obat lain.
Dosis dapat dimulai dari 50mg/hari dan ditingkatkan bertahap sampai 200mg/hari.49
Extracorporeal Photochemotherapy (ECP) 2 kali seminggu selama 3 minggu lalu diturunkan
memberikan hasil terapi yang baik. Pada sebuah studi, sebanyak 7 pasien yang diujicobakan
memperlihatkan remisi yang sempurna. Azathioprine, cyclophosphamide, dan mycophenolate
nmmofetil telah memperlihatkan keuntungan dalam pengobatan liken planus, tetapi uji klinis
secara acak menunjukkan hasil yang kurang baik.49
Antimalaria, terutama hidroksikloroquin 200-400mg/hari, sangat berguna untuk
mengobati liken planus aktinik. IFN-a2b berguna pada liken planus menyeluruh. Tetapi
respon biologik juga menyebabkan eksaserbasi dari liken planus.49

IMUNOSUPRESSIF. Siklosporin sistemik mempunyai efek yang sangat baik pada liken
planus yang resisten. Dosisnya sebanyak 3-10 mg/kg/hari.Gatal menghilang selepas 1-2
minggu penggunaan obat. Ruam menghilang setelah 4-6 minggu. Dosis rendah (1.0-2.5
mg/kg/hari) cukup untuk memberikan efek remisi. Efek yang merugikan adalah terhadap
fungsi ginjal, hipertensi, dan relaps. Azatioprin berguna pada liken planus yang sukar diobati,
liken planus yang menyeluruh dan pemfigoid liken planus. Hasil yang sama didapatkan
dengan pemakaian mikofenolat mofetil dengan dosis 1500 mg 2x/hari.49
FOTOKEMOTERAPI. Psoralen dan ultraviolet: Fotokemoterapi sangat berkesan pada liken
planus di kulit yang bersifat seluruh tubuh. Penggunaan dikombinasi dengan glukokortikoid
oral untuk mempercepat respon. Psoralen bisa digunakan saat mandi dengan VVA terapi
cahaya dengan menambahkan 50 mg triox alen ditambah ke dalam 150 L air bersih,
kemudian pasien didedahkan pada UVA setelah 10 menit selesai mandi memberikan hasil
yang baik. Berkesan pada liken planus yang lanjut. VVB juga berkesan pada liken planus di
kulit yang sudah meluas.49
Prognosis
Pada 50% pasien dewasa akan bebas dari lesi di bulan ke-9 setelah onset LP dan 85% setelah
onset di bulan ke-18. Pasien LP dengan tanda khas pada mukosa membran dan verrucous
memakan waktu lama untuk mengalami resolusi. Anak-anak cenderung bersifat kronik dan
perjalanan penyakitnya panjang.47
Rasa gatal akan menghilang, kemudian papul akan rata pada permukaan kulit, dan
akan digantikan dengan hiperpigmentasi post inflamasi (HPI). Kadang-kadang lesi
hipertropik akan menetap selama berbulan-bulan bahkan sampai 20 tahun atau lebih.51

DAFTAR PUSTAKA
1. Gudjonsson JE, Elder JT. Psoriasis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, eds. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine Volume one.
Sevent edition. New York: MeGraw Hill. 2008. Pp 169-193
2. Hunter JAA, Savin JA, Dahl MV. Psoriasis. In: Clinical Dermatology. Third Edition.
Victoria, Australia. Blackwell Science Ltd.2003. Pp 48-62.
3. Gawkrodger DJ. Psoriasis-epidemiology, pathophysiology, presentation, complication
and management. In: Dermatology an Illustrated Colour Text. Third Edition. Sheffield
UK. Churchill Livingstone. 2002. Pp 26-29
4. Pardasani, Asha. Steven R.F Adele R.C. Treatment of Psoriasis: An Algorithm-based
Approach for primary Care Physicians In: American Family Physician.
5. Buxton, P.K. Psoriasis. In: ABC of Dermatology. Fourth Edition, London. BMJ
Publishing Group Ltd. 2003. Pp. 8-16
6. Griffth CEM, Camp RDR HI, Baker J. Psoriasis. In: Burn T, Breathnach S, Cox N,
Griffith C, eds. Rooks Textbook of Dermatology 7th ed. Massachussets: Blackwell
publishing, 2004: 35.1-69
7. Siregar RS. Psoriasis dalam Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. EGC. Jakarta; 2003.
Hal 94-100.
8. Camisa C. Psoriasis. The Cleveland Clinic Foundation.2004.
9. Woodfork KA, Dyke KV, Sikic BI. Antiinflammatory and antirheumatic drugs-The
rational basis for cancer. In: Modern pharmacology with clinical application. Sixth
Edition. Pp 432-661.
10. Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology. 9th Edition. Pp 826-1468
11. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.5th Ed.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. p. 89-105.
12. Wood S, Hu HC, Garrett LA, Para Psoriasis, In: Wolff K, Goldsmith AL, Katz IS,
Gilchrest AB, Paller SA, Leffel JD editors. Fitzpatricks Dermatology In General
Medecine. 7th Ed. New York: Mc Grew Hill Medical;2008.p. 1786-96

13. James WD. Miliaria. Andrews Disease of The Skin: Clinical Dermatology 9 th ed.
Pennsylvania: Saunders Elsevier. 2006. p. 23-4.
14. Burns, Tony, Stephen B, et al Editors. Rooks Textbook of Dermatology 7 th ed.
Massachusetts: Blakwell Publishing Inc. 2004. p. 491-2.
15. Parapsoriasis. The Merck Manuals Online Medical Library. 2005 Accessed July 17 th;
2009.
16. Buxton PK. Malignant Lesions. ABC of Dermatology. 4th ed. London: BJM Publishing
Group; 2003. p. 77.
17. Hanter John, Savin J, Dahl M. Parapsoriasis. clinical dermatology 3th ed. Massachusetts:
Blakwell Publishing Inc. 2003. p. 377-67.
18. Scher KR, Parapsoriasis en pluqe and its association with systemic malignant disease.
Amityville, Long island NY: Journal of The National Medical. 2000. p. 11842-344.
19. Forman Louis, Parapsoriasis, In: MD Ingram TJ ed. Section of Dermatology. Vol 50.
Paris: Proceedings of the royal society of medicine: 25 april 2000.p. 771-773.
20. KN Sarveswari, P Yesudian, The conundrum of parapsoriasis versus patch stage of
mycosis fungoides.Indian Journal of Dermatology Venereology and Leprosy.Tamilnadu,
India: Medical foundation. 2009.p. 229-35.
21. LM Lindahl, M Gron-Fenger, L Iversen. Topical nitrogen mustard therapy in patien with
mycosis fungoides or parapsoriasis. Aarhus University Denmark: Departemen of
Dermatology. 9 januari 2012.p. 1468-3083.
22. Yesudian p, KN Sarveswari, Indian Journal of Dermatology Venereology and Leprosy.
Parapsoriasis. Tamildanu, india: Medical Foundation. 2009.p. 299-235.
23. Wong HK, Elston DM. Parapsoriasis. 2011 (Updated: Maret 29, 2011).
24. James, William D., Timothy G.B, Dirk M. Epityriasis Rosea. In: James WD Berger TG,
Eston DM. Andrews diseases of the skin, 10th ed. WB Saunders Company,
Canada.2006; 207-216.
25. Blauvelt, Andrew. Pityriasis RoseaIn: Dermatology in General Medicine Fitzpatricks.
The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008; 362-265.
26. Sterling, J.C. Viral Infections. In : Rooks textbook of dermatology.7th ed. 2004.
25.79-82.
27. Lichenstein, A. Pityriasis Rosea. Diunduh dari www.Emedicine.com pada tanggal 15
Agustus 2010.
28. Broccolo F, Drago F, Careddu AM, et al. Additional evidence that pityriasis rosea is
associated with reactivation of human herpesvirus-6 and -7. J Invest Dermatol. 2005;
124:1234-1240.
29. Stulberg, D. L., Jeff W. Pityriasis Rosea. Am Fam Physician. 2004 Jan 1;69(1):87-91.

30. Chuh, A et al. 2004. Pityriasis Rosea evidence for and against at infectious disease.
Cambridge University Press :Cambridge Journal 132:3:381-390.
31. Galvan, S V et al. 2009. Atypical Pityriasis Rosea in a black child : a case report. Cases
Journal Vol 2 : 6796.
32. Zawar, Vijay. 2010. Giant Pityriasis Rosea. Indian Journal Dermatology. Aprl-Jun; 55(2):
192194.
33. McPhee, S J, Maxine A P. 2009. Current Medical Diagnosis and Treatment forty eighth
edition. Mc Graw Hill Companies:USA.
34. Champion RH. Eczema, Lichenification, Prurigo, and Erythroderma. In : Champion RH
eds. Rooks, Textbook of dermatology, 5th ed. Washington ; Blackwell Scientific
Publications. 2004.p; 17.48-17.49.
35. Sterry W, Assaf Chalid. Papulosquamous and Eczematous Dermatoses. Erythroderma.
In : Bolognia JL, Jonzzo JL. Rapini RP, Horn TD, Mascaro JM, Saurat JH, Mancini AJ,
Salasche SJ, Stingl G, editor. Dermatology. 1thed London. Mosby. 2003. Chapter-11.p;1.
36. Djuanda A. Dermatosis Eritroskuamosa. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 th ed. Jakarta
: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005.p; 189-190,197-200.
37. Kels-Grant JM, Bernstein ML, Rothe MJ. Chapter-23Exfoliative Dermatitis. Wollf K et
all. Fitzpatricks dermatology in general medicine. 7th eds. Newyork : Mcgraw-Hill.
2008. Chapter-23.p; 225-8.
38. Sehgal Virendra N, Srivastava Govind, Sardana Kabir. Erythroderma/exfoliative
dermatitis. International Journal of Dermatology.2004. P; 1-10
39. Gawkrodger JD. Dermatology an Illustrated colour text. 3rd ed. 2002.p; 40
40. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 4 th
ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005.p; 138.
41. Kefei K et all. Atopic Dermatitis.Papulosquamous and Eczematous Dermatoses.
Erythroderma.In : Bolognia JL, Jonzzo JL. Rapini RP, Horn TD, Mascaro JM, Saurat JH,
Mancini AJ, Salasche SJ, Stingl G, editor. Dermatology. 1 thed London. Mosby. 2003.
Chapter-13.p; 1k
42. Johnson, B. A., Nunley, J. R., 2000, Treatment of Seborrheic Dermatitis, American
Family Physician Vol. 61/ No. 9 (May 1, 2000).
43. Scheinfeld, N. S., 2005, Seborrheic Dermatitis, SKINmed. 2005; 4 (1): 49-50. 2005 Le
Jacq Communications, Inc,

44. Schwartz, R. A., Janusz, C. A., Janniger, C. K., 2006, Seborrheic Dermatitis: An
Overview, University of Medicine and Dentistry at New Jersey-New Jersey Medical
School, Newark, New Jersey, American Family Physician, Volume 74, Number 10 July
1, 2006,
45. Harahap, M., 2000, Dermatitis seboroik pada buku Ilmu Penyakit Kulit, Hipokrates,
Jakarta.
46. Gupta, A. K., Bluhm, R., 2004, Coclopirox Shampoo For Treating Seborrheic Dermatitis,
Skin Therapy Left 9(6): 4-5, http://www.medscape.com.
47. Solomon L.M, Ehrlich D, Zubkov B. Lichen Planus and Lichen N, in : John Harper,
Arnold Oranje ,Neil Prose, editors. Textbook of Pediatric Dermatology Volume I, Second
Edition. Oxford ; Blackwell Publising; 2006. P. 801-10.
48. Arndt K.A, Lichen Planus, in : Freedberg I.M, Eisen A.Z, Wolff K, Austen K.F,
Goldsmith L.A, Katz S.I, Fitzpatrick T.B, eds. Dermatology in General Medicine Fourth
Edition Vol I. 1993; P.1132-42.
49. Daoud M.S, Pittelkow M.R. Lichen Planus, in : Freedberg I.M, Eisen A.Z, Wolff K,
Austen K.F, Goldsmith L.A, Katz S.I, Fitzpatrick T.B, eds. Dermatology in General
Medicine Fifth Edition, Part Three A; Vol. 1. P. 561-67.
50. Higgins E, Vivier A d. Lichen Planus. Skin Disease in Childhood and Adolescence.
Blackwell Science;1996. P.65-66.
51. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Lichen Planus and Lichenoid Disorders.
Seventh Edition. Rooks Text Book Of Dermatology. 2004. 42.1-42.17

You might also like