You are on page 1of 57

A.

JUDUL

Penerbitan dan pemasaran buku panduan praktis belajar aksara jawa melalui
metode belajar iqro . (suatu bentuk pembinaan budaya bangsa sekaligus menjadi
peluang usaha bagi mahasiswa di kabupaten karanganyar).
B.

Latar Belakang Masalah

Dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 895.5/01/2005 dinyatakan


kurikulum mata pelajaran bahasa Jawa wajib dilaksanakan disemua jenjang
sekolah di Provinsi Jawa Tengah mulai tahun ajaran 2005/2006 untuk
SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB dan SMA/ SMK/MA/SMALB baik sekolah
negeri maupun swasta. Kurikulum tersebut ditetapkan dan diberlakukan dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan di Jawa Tengah, terutama dalam upaya
penanaman nilai-nilai budi pekerti dan sebagai salah satu cara pelestarian serta
pembinaan budaya bangsa, salah satunya bahasa Jawa.
Berkaitan dengan hal tersebut, saat ini banyak ditemui siswa yang merasa
kesulitan belajar bahasa Jawa, terutama dalam hal pelajaran aksara/huruf Jawa.
Atas dasar itu perlu adanya suatu gagasan untuk membantu memecahkan masalah
tersebut, yakni melalui buku panduan praktis belajar aksara jawa yang didesain
seperti halnya belajar iqro(huruf Arab), yaitu dengan menghafal secara bertahap
dengan bentuk tingkatan jilid. karena anak-anak dirasa lebih mudah untuk
diberikan pembelajaran-pembelajaran tersebut.
Perlu diketahui bahwa buku panduan praktis belajar aksara jawa ini telah
diikutsertakan dalam seleksi PKM-M tahun 2010 dengan judul CARA PRAKTIS
BELAJAR AKSARA JAWA MELALUI METODE BELAJAR IQRO (Penerapan
di SD Negeri 02 Jombor, Kec. Bendosari, Kab. Sukoharjo) dan telah lolos seleksi
serta mendapatkan dana hibah dari DIKTI.
Buku panduan ini telah terbukti dan mampu meningkatkan nilai pada sub materi
aksara jawa yang telah dibuktikan dengan pre-test dan post-test dengan soal yang
sama. Pada perolehan nilai pre-test, 98 % murid-murid kelas 4 dan 5 dari jumlah
murid sebanyak 38 siswa mendapatkan nilai kurang dari 3,00 bahkan ada yang
mendapat nilai 0,50. Setelah diadakan pembinaan pembelajaran aksara jawa

menggunakan buku panduan ini, pada perolehan nilai post-test sangat jauh
berbeda bila dibandingkan dengan nilai pada waktu pre-test. Karena 98% dari
perolehan nilai post-test, murid-murid kelas 4 dan 5 di SD Negeri 02 Jombor, Kec.
Bendosari, Kab. Sukoharjo ini mendapatkan nilai mulai dari 7,40 sampai 9,80.
Bahkan ada 2 murid diantaranya yang mendapatkan nilai 10,0.
Berdasarkan data-data di atas, menunjukan bahwa buku panduan praktis belajar
aksara jawa ini telah terbukti mampu meningkatkan nilai pada sub materi aksara
jawa dan tentunya buku panduan ini sangat dibutuhkan oleh guru pengajar sebagai
buku pandamping maupun bagi para siswa untuk mempelajari materi aksara jawa.
Oleh karena itu, buku panduan praktis belajar aksara jawa ini sangat cocok
digunakan bahan untuk berwirausaha bagi mahasiswa dengan potensi pasar yang
sangat luas yaitu provinsi Jawa Tengah. Yang pastinya akan menjadi peluang
usaha yang sangat menjanjikan.
Karanganyar adalah salah satu kabupaten yang terletak di Jawa Tengah yang
terdiri dari 7 kecamatan dan mempunyai jumlah SD dan yang sederajat sebanyak
554 (Data kependidikan Jawa Tengah 2010). kabupaten ini sangat berpotensi
sekali untuk dijadikan obyek PKM-Kewirausahaan dan sebagai sasaran
pendistribusian buku panduan praktis belajar aksara jawa. Karena di kabupaten ini
sangat mengedepankan bahasa jawa, yang dibuktikan dengan adanya kebijakan
dari Bupati mengenai bahasa jawa yang menyatakan bahwa setiap hari rabu
seluruh lapisan masyarakat Kabupaten Karanganyar wajib menggunakan bahasa
jawa.
Disini terlihat bahwa kabupaten ini mempunyai program yang sangat bagus untuk
perkembangan pendidikan bahasa jawa. Begitu halnya dengan pembelajaran akara
jawa, karena aksara jawa itu sendiri bagian dari bahasa jawa yang tidak dapat
dipisahkan. Melihat program bahasa jawa di Kabupaten Karanganyar inilah, maka
untuk pemasaran buku panduan praktis belajar aksara jawa dilaksanakan untuk
yang pertama kalinya di kabupaten ini.
Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, bahwa masalah pembelajaran bahasa jawa


dengan sub materi aksara jawa di kabupaten Karanganyar perlu didukung dengan
adanya buku panduan Cara Praktis Belajar Aksara Jawa Melalui Metode Belajar
Iqro seperti yang dihasilkan dalam PKM-M 2010. Maka dari itu perlu
dibukanya unit kewirausahaan mahasiswa untuk menerbitkan dan memasarkan
buku-buku panduan di wilayah Kabupaten Karanganyar.
Karena pemasaran buku panduan ini masuk ke dalam lingkup pandidikan, maka
dalam pelaksanaanya akan melibatkan team dari KKG (Kelompok Kerja Guru).
Untuk tahun pertama, penerbitan buku panduan ini akan memproduksi sebanyak
1.000 buku.
Tujuan
kegiatan PKM-kewirausahaan ini memiliki tujuan :
mendirikan usaha penerbitan buku panduan praktis belajar aksara jawa
melalui metode belajar iqro . Dengan perkiraan omset pada akhir program
PKM Rp. 8.000.000,- , dan laba Rp. Rp. 2.240.000,-.
E. Luaran yang diharapkan
Luaran yang diharapkan dalam kegiatan PKM-kewirausahaan ini adalah :
Unit usaha penerbitan dan pemasaran buku panduan praktis belajar aksara jawa
melalui metode belajar iqro . Dengan omset pada akhir program PKM Rp.
8.000.000,- , dan laba Rp. Rp. 2.240.000,-.
F. Kegunaan
Siswa lebih mudah mempelajari aksara jawa tanpa harus merasa kesulitan.
Dapat bermanfaat apabila siswa menemukan tulisan-tulisan Jawa pada situssitus Jawa kuno, nama jalan, nama instansi yang kebanyakan menggunakan huruf
latin dan huruf jawa yang sering dijumpai di Kabupaten Karanganyar dan
sekitarnya.

Mahasiswa sudah mempunyai bekal untuk merintis usaha komersial yang


nantinya dapat diterapkan ketika terjun di tengah masyarakat.
Hasil laba bermanfaat untuk menunjang pembiayaan kuliah, dana keperluan
pribadi sebagai bentuk peringanan beban orang tua.
Ikut berpartisipasi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan bahasa jawa
sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 895.5/01/2005.
Sebagai salah satu bentuk upaya pelestarian budaya bangsa pada umumnya, dan
aksara jawa pada khususnya.

G. GAMBARAN UMUM RENCANA USAHA


1. hasil survei pasar
Melihat kabupaten karanganyar adalah kabupaten yang luas yang terdiri
dari 7 kecamatan dan waktu untuk pelaksanaan PKM juga dibatasi, maka dalam
kegiatan PKM-K ini akan membidik 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Colomadu
dengan jumlah SD dan MI sebanyak 30 unit, Kecamatan Jaten dengan jumlah SD
dan MI sebanyak 33 unit, dan kecamatan jumantono dengan jumlah SD dan MI
sebanyak 33 unit (Data Kependidikan Jawa Tengah Tahun 2010). Dalam survei,
ketiga kecamatan tersebut merupakan kecamatan yang lebih maju dalam bidang
pendidikan dan perekonomiannya. Jumlah SD dan MI dari keseluruhan ketiga
kecamatan tersebut yaitu 96 SD, rata-rata jumlah murid perkelas ada 30 siswa.
Jadi 30 siswa x 6 kelas = 180 siswa. Diprediksikan jumlah siswa dari ketiga
kecamatan itu adalah : 96 SD x 180 siswa = 17.280 siswa. Bila dalam satu SD
mengambil 18 buku panduan ( 10% dari jumlah siswa), maka potensi pasar : 96
SD x 18 buku = 1.728 buku. Target ditahun pertama yaitu 750 buku akan tercapai.
2. kelayakan usaha
A. Modal Investasi
-

produksi buku : 1.000 buku x @Rp 4.000,-

= Rp. 4.000.000,-

B. Biaya
1.

Produksi buku : 750 buku x @Rp. 4.000

= Rp. 4.000.000

2.

Pemasaran

Kerjasama KKG : 3 kec. x @Rp.100.000

Transport : 96 SD x 2 kali x Rp.5000

Fee agen pemasaran : 1.000 buku x @Rp.500 = Rp. 500.000

= Rp. 300.000
= Rp. 960.000

Rp. 5.760.000
C. Pendapatan
-

penjualan buku : 1.000 buku x @Rp. 8.000 = 8.000.000


D. Analisis Ekonomi

1.

keuntungan = pendapatan biaya

Rp.8.000.000 Rp. 5.760.000,= Rp. 2.240.000,2.

PPC ( Pay Back Period of Credit)

Modal Investasi
PPC :

= angka x 5 bulan (Waktu PKM)


Keuntungan
Rp.4.000.000,-

PPC :

= 1,78 x 5 bulan
Rp.2.240.000,= 8,9 bulan
Jadi modal investasi dapat kembali dalam waktu 8,9 bulan.

3.

B / C Rasio = Pendapatan

= angka ( lebih dari 1 = laba)

Biaya
= Rp. 8.000.000
Rp. 5.760.000

= 1,38

Jadi B / C rasio lebih layak dibandingkan dengan bunga bank yang saat ini
berkisar 5%.
3. Keberlanjutan Usaha
Setelah kegiatan PKM-K ini selesai dilaksanakan, maka untuk selanjutnya
akan memproduksi lebih banyak lagi yang akan dipasarkan di seluruh Solo Raya
yang meliputi Surakarta, Sukoharjo, Wonogiri dan Sragen. Selain itu pemasaran
juga akan dikembangkan di toko-toko buku yang diperuntukan untuk khalayak
umum, karena memang buku panduan ini cocok digunakan untuk siapa saja yang
ingin belajar aksara jawa seperti halnya belajar iqro.
H. METODE PELAKSANAAN
1. Teknik produksi
-

Penyempurnaan buku panduan yang membutuhkan waktu 1 minggu.

Bekerjasama dengan penerbit Univet Bantara Sukoharjo yang juga

membutuhkan waktu 1 minggu.

2. Teknik Pemasaran
Evaluasi Penjualan
Realisasi Penjualan

Koordinasi tentang pembelian buku dan akan mengirim buku 1 minggu setelah
pemesanan.
Membentuk agen pemasaran dari pihak sekolah tersebut.

Uji coba buku panduan kepada siswa


sudah
belum
SemuaKecamatan sudah selesai ?

sudah
belum
Semua SD sudah selesai ?
Sosialisasi tim PKM-K di pertemuan KKG Kecamatan
Sosialisasi tim PKM-K
Kepada Kepala Sekolah

I.
Kegiatan
Bulan ke

JADWAL PELAKSANAAN

Bulan 1
Bulan 2
Bulan 3
Bulan 4
Bulan 5
1.

penyempurnaan buku

2.

kerjasama dengan penerbit dan produksi buku panduan

3. Pemasaran

1.

Kecamatan Colomadu

2.

Kecamatan Jaten

3.

Kecamatan Jumapolo

4. Penyusunan Laporan

5. Seminar

6. Penggandaan dan Pengiriman Laporan

J. RANCANGAN BIAYA
1. Bahan Habis Pakai
No

Jenis Kebutuhan
Banyak
Harga Satuan
Jumlah
1
Produksi buku Panduan
1.000 buku
@ Rp. 4.000,Rp. 4.000.000,2
ATK :

Untuk pelaksana

a. Buku
3 buah
@Rp. 15.000,Rp. 45.000,-

b. Bolpoin
3 buah
@Rp. 3000,Rp. 9.000,-

c. Spidol
3 buah
@Rp. 7.500,Rp. 22.500,-

d. brosur
6 kelas x 96 SD
@Rp. 1.000,Rp. 576.000,3
Kerjasama dengan KKG Kecamatan
3 Kecamatan
@Rp. 100.000
Rp. 300.000,Jumlah
Rp. 4.952.500,2. Peralatan Penunjang PKM-M
Jenis Kebutuhan
Banyak
Harga Satuan
Jumlah
Sewa LCD dan layar
1 buah

@300.000,- x 3 bulan
Rp 900.000,Jumlah
Rp 900.000,3. Perjalanan
Macam perjalanan
Keperluan
Jumlah orang
Satuan
Harga satuan
Jumlah harga
Lokal Sukoharjo
Rapat intern
3 orang
4 x 5bulan
@Rp5.000
Rp. 300.000,-

karanganyar
Persiapan
3 orang
3 kali
@Rp5.000
Rp 45.000,Sosialisasi dan pemasaran
3 orang
96 kali
@Rp5.000,00
Rp 1.440.000,-

Jumlah

Rp 1.785.000,4. Lain-Lain
No
Jenis kegiatan
Satuan
Harga satuan
Jumlah harga
1
Pembuatan laporan
15 bended
Rp 15.000,00
Rp 225.000,2
Konsumsi Rapat
4 x 5 bulan
Rp 20.000,00
Rp 400.000,3

Seminar
1 kali

Rp 200.000,4
Publikasi
1 judul
Rp 150.000,00
Rp 150.000,Jumlah
Rp 975.000,-

Rekapitulasi Rincian Biaya Penelitian:


1.

Bahan Habis pakai

Rp. 4.952.500,00

2.

Peralatan Penunjang

Rp.

3.

Perjalanan

Rp. 1.785.000,00

4.

Lain-lain

Rp. 975.000,00 +
Total

Rp.

900.000,00

8.612.500,00

Total biaya yaitu Delapan juta enam ratus dua belas ribu lima ratus rupiah.

K. LAMPIRAN - LAMPIRAN
Lampiran 1
Biodata Ketua, Anggota Pelaksana dan Dosen Pendamping
Ketua Pelaksana
1.

Nama Lengkap

: Bisri Nuryadi

2.

NIM

: 0750900341

3.

Tempat, tanggal lahir

: Karanganyar, 2 Juli 1986

4.

Alamat Rumah

: Bolon Rt 04/02, Bolon, Kec. Colomadu, Kab.

Karanganyar, Jawa Tengah.


5.

Alamat Kost

:-

6.

No. Telepon

a. Rumah

:-

b. HP

: 085647209938

7.

Jenis Kelamin

: Laki-laki

8.

Program Studi/Jurusan

: Pend. Bahasa dan Sastra Daerah

9.

Perguruan tinggi

: Universitas Veteran Bangun Nusantara

Sukoharjo
10. Waktu untuk kegiatan

: 8 jam/ minggu

11. Riwayat Pendidikan


- SD N Bolon
- SMP N 3 Colomadu

Tahun 1992 - 2008


Tahun 2008 - 2001

- SMK Adi Sumarmo Colomadu

Tahun 2001 - 2004

- S1 Univet Bantara Sukoharjo

Tahun 2007 - sekarang

12. Riwayat Organisasi


No
Pengalaman Organisasi
Jabatan
Periode
1
Karang Taruna Tingkat Desa Bolon
Kabid Seni
2008-2009
2
Forum Komunikasi Remaja Masjid Bolon
Skretaris Div. Pembinaan

2008-2009
3
Badan Eksekutif Mahasiswa Univet Bantara Sukoharjo
Deputi Dalam Negeri
2009-2010
4
HMP Pend. Bahasa dan Sastra Daerah Univet Bantara Sukoharjo
Staf HMP Seni dan Budaya
2009-2010
5
HMP Pend. Bahasa dan Sastra Daerah Univet Bantara Sukoharjo
Ketua Umum
2010 - 2011
6
Colomadu Traning Center
Perlengkapan
2010 - 2011
13.

Motto Hidup

Doa merupakan ujung tombak dari segala permasalahan.


14. Pertemuan Ilmiah

Seminar Nasional dengan tema Renaisans Jawa dalam Tata Kehidupan

Modern di Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo 2008


-

Seminar Nasional dengan tema Revolusi Bahasa Inggris di Sukoharjo

2009
-

Pelatihan Program Kreativitas Mahasiswa tingkat Universitas Veteran

Bangun Nusantara Sukoharjo 2009.


15. Penulisan Ilmiah
Sukoharjo, 25 Oktober 2010
Ketua Pelaksana

Bisri Nuryadi

Pelaksana II
16. Nama Lengkap

: Wahyu Al Hidayat Jati

17. NIM

: 0750900088

18. Tempat, tanggal lahir

: Wonogiri, 19 Mei 1989

19. Alamat Rumah

:Jati Rt 01/09, Bolon, Kec. Ngambarsari, Kab.

Wonogiri, Jawa Tengah.


20. Alamat Kost

:-

21. No. Telepon

a. Rumah

:-

b. HP

: 085728527015

22. Jenis Kelamin

: Laki-laki

23. Program Studi/Jurusan

: Pend. Bahasa dan Sastra Daerah

24. Perguruan tinggi

: Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

25. Waktu untuk kegiatan

: 8 jam/ minggu

26. Riwayat Pendidikan

- SD N Ngambarsari I

Tahun 1995 - 2001

- SMP N 3 Batu Retno

Tahun 2001 - 2004

- SMK Batik 2 Surakarta

Tahun 2004 - 2007

- S1 Univet Bantara Sukoharjo

Tahun 2007 sekarang

27. Riwayat Organisasi


No
Pengalaman Organisasi
Jabatan
Periode
1
OSIS SMA
Humas
2005-2006
2
Forum Komunikasi Remaja Masjid
Bendahara
2008-2009
3
Karang Taruna
Seksi Sinoman

2009-2010
4
HMP Pend. Bahasa dan Sastra Daerah Univet Bantara Sukoharjo
Humas
2009-2010
5
HMP Pend. Bahasa dan Sastra Daerah Univet Bantara Sukoharjo
perlengkapan
2010 - 2011
28.

Motto Hidup

29. Pertemuan Ilmiah


-

Seminar Nasional dengan tema Renaisans Jawa dalam Tata Kehidupan

Modern di Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo 2008


-

Pelatihan Program Kreativitas Mahasiswa tingkat Universitas Veteran

Bangun Nusantara Sukoharjo 2009.


30. Penulisan Ilmiah
Sukoharjo, 25 Oktober 2010
Pelaksana II

Wahyu Al Hidayat Jati

Pelaksana III
31. Nama Lengkap

: Rohkhayati

32. NIM

: 0950900029

33. Tempat, tanggal lahir

: Pacitan, 19 September 1990

34. Alamat Rumah

: Bulu Ngromo Rt 01/06, Kec. Nawangan, Kab.

Pacitan Jawa Timur.


35. Alamat Kost

:-

36. No. Telepon

a. Rumah

:-

b. HP

: 087758435464

37. Jenis Kelamin

: Perempuan

38. Program Studi/Jurusan

: Pend. Bahasa dan Sastra Daerah

39. Perguruan tinggi

: Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

40. Waktu untuk kegiatan

: 8 jam/ minggu

41. Riwayat Pendidikan


- SD N Ngromo II

Tahun 1995 - 2001

- SMP N 2 Nawangan

Tahun 2001 - 2004

- SMA N I Nawangan
- S1 Univet Bantara Sukoharjo
42. Riwayat Organisasi

Tahun 2004 - 2007


Tahun 2009 sekarang

No
Pengalaman Organisasi
Jabatan
Periode
1
OSIS SMA
Humas
2005-2006
2
Forum Komunikasi Remaja Masjid
Bendahara
2008-2009
3
Karang Taruna
Seksi Sinoman
2009-2010
4
HMP Pend. Bahasa dan Sastra Daerah Univet Bantara Sukoharjo

Humas
2009-2010
5
HMP Pend. Bahasa dan Sastra Daerah Univet Bantara Sukoharjo
perlengkapan
2010 - 2011
43.

Motto Hidup

Setelah Kesulitan Pasti Akan Ada Kemudahan


44. Pertemuan Ilmiah

45. Penulisan Ilmiah

Sukoharjo, 25 Oktober 2010


Pelaksana III

Rohkhayati

Biodata Dosen Pendamping


1.

Data Pribadi

Nama Lengkap

: Dr. Ir. Ali Mursyid W. M., M.p.

Golongan Pangkat/NIPY

: IVa / Pembina / 110940101

Tempat / tgl lahir

: Wonogiri, 24 Desember 1964

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat Rumah

: Jl. Flamboyan No. B.3 Perumahan Gumpang

Kartasura, Kab. Sukoharjo, Jawa Tengah


Bidang Keahlian

: Ilmu Peternakan

Jabatan Fungsional

: Lektor Kepala

Jurusan / Fakultas

: Produksi Ternak / Pertanian

Instansi

: Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

Alamat Kantor

: Jl. Letjend. Sujono Humardani No.1 Jombor

Sukoharjo. Telp. (0271) 593156


Waktu untuk kegiatan PKM : 2jam / minggu
2.

Pendidikan

UNIVERSITAS/INSTITUT
DAN LOKASI
GELAR
MASA STUDI
BIDANG STUDI
S3, UGM, Yogyakarta

S2, UGM, Yogyakarta


S1, UGM, Yogyakarta
Dr.
M.P.
Ir.
2004-2008
1997-2000
1983-1988
Ilmu Peternakan
Nutrisi Ternak
Peternakan
3.

Riwayat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat

PENELITIAN/PENGABDIAN
JABATAN
PERIODE
Wisnu Tri Husodo dan Ali Mursyid Wahyu Mulyono. 2005. Perbaikan Produksi
Telur pada Ayam Petelur Afkir dengan Teknologi Force Molting. Program
Penerapan IPTEKS Ditjen Dikti.
Anggota
2005
Ali Mursyid Wahyu Mulyono, Sri Hartati, Ahimsa Kandi Sariri, dan Engkus Ainul
Yakin. 2009. Produksi Telur dari Ayam Petelur Afkir Menggunakan Teknologi
Force Molting bagi Kurban Pemutusan Hubungan Kerja (Implementasi di Desa

Duwet, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah). Program


IbM, DP2M, Ditjen Dikti.
Ketua
2009
Ali Mursyid Wahyu Mulyono, 2002-2009. Pengisi Khutbah Jumat di Masjid
Sahid, Universitas Veteran Bangun Nusantara, Sukoharjo dan Masjid Al
Mukminin, Gumpang, Kartasura.

2002 2009

6. Riwayat Pekerjaan
Tahun 2010 - sekarang

Ketua LPPM Univet Bantara

Tahun 2008 20010

Ketua Pusat Studi Pangan, Kesehatan, dan Teknologi

Univet Bantara.
Tahun 1994 Sekarang Dosen Tetap Univet Bantara
Tahun 2002 2004

Dekan Fakultas Pertanian Univet Bantara

Tahun 2001 2002

Pembantu Dekan I Fakultas Pertanian Univet Bantara

Tahun 2000 2002

Ketua Jurusan Peternakan Univet Bantara

Lampiran 2

Gambaran Teknologi yang diterapkan


Buku Panduan praktis belajar aksara jawa melalui metode belajar iqro terdiri dari
60 halaman, dengan ukuran 8 cm x 10cm. Pembelajaran aksara Jawa tersebut
menggunakan tingkatan sebanyak 4 jilid. Adapun pada jilid I, menerapkan
pembelajaran huruf awal aksara Jawa yang berjumlah 20 aksara yang belum
mendapatkan tambahan apapun(aksara legena). Aksara tersebut adalah ha, na, ca,
ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha dan nga.
Sebagai contoh untuk halaman pertama hanya memuat 2 huruf/aksara saja, yaitu
ha dan na. Dengan perincian sebagai berikut; ha-na, ha-na-ha_na-ha-na, na-haha_ha-na-na, na-na-ha_ha-ha-na, na-ha-na_ha-na-ha, ha-na-na_na-ha-ha, hana_ha-na. Untuk halaman berikutnya ditambahkan 1 huruf dengan mengaitkan
huruf yang sudah dipelajari pada halaman sebelumnya.
Jilid II menerapkan sandangan aksara Jawa. Sandangan aksara Jawa tersebut
meliputi : wulu (i), taling (), taling tarung (o), pepet (), suku (u), layar (r),
wignyan (h), cecak (ng), pangkon (mati), pada lungsi (titik), pada lingsa (koma),
adeg-adeg (tanda dimulainya kalimat).
Jilid III menerapkan pengajaran pasangan aksara Jawa yang meliputi ha, na, ca,
ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, dan nga, Secara
bertahap dengan mengaitkan huruf yang sudah dipelajari pada halaman
sebelumnya.
Sedangkan jilid IV menerapkan pengajaran aksara rekan (kh, f/v, dz, gh, z ),
aksara swara (a, i, u, e, o), angka Jawa (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0), dan huruf
kapital aksara Jawa (aksara murda) yang meliputi na, ka, ta, sa, pa, nya, ga, dan
ba.
Lampiran 4 Peta Lokasi Pemasaran

PASAR TRADISIONAL DAN PERMASALAHANNYA


PENDAHULUAN
Pasar tradisional selama ini kebanyakan terkesan kumuh, kotor, semrawut, bau
dan seterusnya yang merupakan stigma buruk yang dimilikinya. Namun demikian
sampai saat ini di kebanyakan tempat masih memiliki pengunjung atau pembeli
yang masih setia berbelanja di pasar tradisional. Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa banyak juga pasar tradisional yang dalam perkembangannya menjadi sepi,
ditinggalkan oleh pengunjung atau pembelinya yang beralih ke pasar moderen.
Stigma yang melekat pada pasar tradisional secara umum dilatarbelakangi oleh
perilaku dari pedagang pasar, pengunjung atau pembeli dan pengelola pasar.
Perilaku pedagang pasar dan pengunjung dan pengunjung atau pembeli yang
negatif secara perlahan dan bertahap dapat diperbaiki, sekalipun memerlukan
waktu lama. Keterlibatan pengelola pasar dalam perbaikan perilaku ini adalah
suatu keniscayaan.
Melekatnya stigma buruk pada pasar tradisional, seringkali mengakibatkan
sebagian dari para pengunjung mencari alternatif tempat belanja lain, di antaranya
mengalihkan tempat berbelanja ke pedagang kaki lima dan pedagang keliling
yang lebih relatif mudah dijangkau (tidak perlu masuk ke dalam pasar). Bahkan
kebanyakan para pengunjung yang tergolong di segmen berpendapatan menengah
bawah ke atas cenderung beralih ke pasar moderen, seperti pasar swalayan
(supermarket dan minimarket) yang biasanya lebih mementingkan kebersihan dan
kenyamanan sebagai dasar pertimbangan beralihnya tempat berbelanja.
Seringkali dikesankan bahwa perilaku pedagang yang menjadi penyebab utama
terjadinya kondisi di kebanyakan pasar tradisional memiliki stigma buruk.
Sebaliknya, di lapangan di lapangan dijumpai peran pengelola pasar terutama dari
kalangan aparatur pemerintah dalam mengupayakan perbaikan perilaku pedagang
pasar tradisional masih sangat terbatas. Banyak penyebab yang melatarbelakangi
kondisi ini. Dimulai dari keterbatasn jumlah tenaga dan kemampuan (kompetensi)

individu tenaga pengelola pengelola serta keterbatasan kelembagaan (organisasi)


pengelola pasar untuk melakukan pengelolaan pasar dan pembinaan pedagang,
Selanjutnya permasalahan yang dihadapi oleh para pengelola pasar di lapangan
tidak terlepas dari Kebijakan pimpinan daerah dan para pejabat di bawahnya
(Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah-SKPD) di tingkat Kabupaten atau Kota.
Dari kebijakan yang dikeluarkan dapat diketahui kepedulian mereka terhadap
pasar tradisional berserta para pedagang di dalamnya dan para Pedagang Kaki
Lima (PKL). Seperti diketahui pembiaran PKL dapat menyebabkan gangguan
terhadap pasar tradsional dan para pedagang di dalamnya, sehingga para PKL juga
perlu ditata dan dibina seperti halnya dengan pasar tradisional dan para
pedagangnya.
Berikut ini dicoba untuk menelaah permasalahan pasar tradisional yang
peninjuannya berdasarkan pejabat dan institusinya yang terkai, dimulai dari lapis
(layer) di tingkat paling atas atau pihak-pihak yang memiliki kewenangan yang
paling tinggi (pimpinan daerah), kemudian turun secara hirarkhi, berjenjang ke
bawah yakni ke pihak-pihak (Kepala SKPD dengan jajarannya) yang memilki
kewenangan dengan ruang lingkup yang lebih terbatas,
PASAR TRADISIONAL LEBIH SEBAGAI PENGHASIL PENDAPATAN ASLI
DAERAH
Kepedulian Pimpinan Daerah dan Para Pejabat di bawahnya terhadap pasar
tradisional menentukan kebijakan dan bentuk organisasi dari instansi (SKPD)
yang membidangi pasar tradisional di daerahnya. Di beberapa daerah, pimpinan
daerah meletakkan posisi pasar semata-mata sebagai salah satu sumber utama
Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang dipungut dari para
pedagang. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh Pimpinan Daerah
(Bupati/Walikota) dan Pejabat Daerah di tingkat bawahnya (Kepala SKPD) lebih
menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan
retribusi pasar, seperti Pengaturan Pemungutan dan Penyetoran Retribusi serta
Administrasi Keuangan (pembukuan) Retribusi semata daripada penekanan pada

pembinaan pasar termasuk di dalamnya pembinaan para pengelola pasar dan


pedagang pasar. Akibat dari adanya kebijakan optimalisasi pemungutan retribusi
tersebut, maka kepada para Kepala Pasar diberikan target-target yang untuk
mencapainya pasar diusahakan sedemikian rupa agar dapat menampung pedagang
dalam jumlah sebanyak mungkin, termasuk mengisi sebagian tempat-tempat
kosong seperti tangga dan lorong-lorong pasar yang seharusnya dibiarkan tetap
kosong tanpa pedagang agar para pengunjung tetap nyaman berlalu lalang.
Dalam situasi di mana peran pasar lebih ditekankan sebagai salah satu penghasil
PAD, maka di beberapa daerah mendudukan pasar tradisional di bawah Dinas
Pendapatan Daerah (DINPENDA). Karena kompeteinsi utama DINPENDA
adalah penghimpun PAD, maka sudah barang tentu SKPD ini tidak memiliki
kompetensi sebagai pembina pasar tradisional. Pembinaan para pedagang pasar
biasanya diserahkan kepada dinas (SKPD) yang membidangi perdagangan,
koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Model pembinaan
yang melibatkan dua SKPD ini biasanya sulit berjalan dengan baik, mengingat
masalah koordinasi di antara dua SKPD tersebut. Di sini SKPD pembina
pedagang pasar ketika melakukan pembinaan harus merasuk ke dalam unit kerja
pasar tradisional yang secara keorganisasian berada di bawah kewenangan
DINPENDA. Kesulitan dalam melakukan koordinasi ini sudah menjadi sesuatu
hal yang lumrah karena kentalnya ego sektoral yang pada akhirnya masalah ini
menjadi salah satu sebab munculnya stigma buruk yang melekat pada pasar
tradisional sehingga tidak menarik untuk dikunjungi oleh masyarakat konsumen.
Sebenarnya kondisi ini berujung pada berkurangnya jumlah pedagang yang
berjualan di pasar tersebut yang pada akhirnya dapat mengurangi besarnya
retribusi yang dikumpulkan. Pembinaan pasar tradsional yang ideal adalah
mewujudkan terjadinya keseimbangan antara peran pasar sebagai penghasil PAD
dengan sebagai penyedia fasilitas yang memudahkan masyarakat untuk
melakukan jual beli secara ekonomis dan mengikuti tradisi sosial budaya yang
berkembang di daerah setempat.

Dalam praktik yang paling banyak dijumpai adalah penggabungan antara tugas
pembinaan teknis bagi pengelola dan pedagang pasar dengan penghimpunan
retribusi sebagai PAD yang ditangani oleh satu SKPD yang sering disebut dengan
Dinas Pengelolaan Pasar (DPP). Penggabungan kedua tugas ini tampaknya
merupakan jalan tengah, antara di satu sisi ekstrim yaitu meletakkan peran pasar
tradisional sebagai penyumbang PAD semata dengan di sisi lain yaitu meletakkan
peran pasar tradisional untuk menyediakan tempat bagi masyarakat pedagang dan
kalangan masyarakat konsumen dalam bertransaksi jual beli. Kebijakan
pembinaan dengan mengambil jalan tengah yang menggabungkan kedua tugas
seperti ini memang tidak sebaik jika fokus pembinaan pasar tradisional diserahkan
kepada salah satu SKPD yang memang memiliki kompetensi inti pembinaan pasar
dan pedagang.
PERSAINGAN PASAR TRADISIONAL DENGAN PKL
Pembinaan pasar tradisional yang paling memerlukan upaya paling besar adalah
pembinaan pedagang yang berjualan di pasar tersebut. Dalam pembinaan
pedagang pasar tradisional perlu juga memperhatikan pedagang lain yang berada
di sekitar pasar tradisional, terutama pedagang kaki lima (PKL).
Berdasarkan pengalaman empiris dan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga
Penelitian SMERU (2007) terhadap para pedagang di pasar-pasar tradisional di
Bandung dan Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi (JABODETABEK)
diperoleh informasi bahwa salah satu pesaing utama para pedagang di pasar-pasar
tradisional adalah para PKL. Sehingga keberadaan PKL di sekitar pasar
hendaknya diperhatikan benar agar tidak menyaingi para pedagang pasar, karena
mereka banyak yang berjualan menutupi bagian depan dan jalan masuk ke pasar
yang ini menjadikan bagian luar pasar-pasar tradisional tampak kumuh dan
semrawut. Di kebanyakan pasar tradisional, kondisi seperti ini dibiarkan terus
terjadi tanpa solusi, akibatnya para pembeli tidak perlu masuk ke dalam pasar
sehingga memancing para pedagang yang berjualan di dalam pasar berpindah ke
luar meninggalkan lapaknya yang pada akhirnya keadaan di dalam pasar kosong,
sebaliknya di luar pasar keadaannya padat seperti layaknya pasar tumpah.

Untuk menghindari persaingan antara pedagang pasar dengan PKL, maka perlu
dilakukan penataan dengan menempatkan PKL ke lokasi yang ditentukan, di mana
di tempat yang baru PKL tidak lagi menyebabkan kekumuhan baru dan tidak
menyaingi pedagang pasar tradisional. Untuk menghindari kesulitan dalam hal
koordinasi, maka penanganan permasalahan (penataan dan pembinaan) pedagang
pasar tradisional dan PKL sudah seyogyanya dilakukan di bawah satu atap (satu
SKPD). Di kebanyakan Pemerintah Kabupaten/Kota, SKPD yang menangani
pembinaan pedagang pasar tradisional dan PKL adalah Dinas Perindustrian,
Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) (dan
Pasar). Mengingat SKPD ini tidak saja bertugas membina pedagang, tetapi juga
membina para pelaku di sektor industri industri terutama yang berskala usaha
mikro, kecil dan menengah serta sektor koperasi, maka pembinaan pasar
tradisional, pedagang pasar dan PKL hanya ditangani oleh pejabat setingkat
Eselon III (Kepala Bidang), bahkan dengan lingkup masing-masing yang lebih
sempit hanya ditangani oleh pejabat setingkat Eselon IV. Di sini kewenangan
pejabat tersebut terbatas, mengingat dalam praktik, pengelolaan pasar tradisional
banyak melibatkan kewenangan SKPD/instansi lain, seperti di bidang perparkiran,
kebersihan, keamanan dan ketertiban, kesehatan, lingkungan hidup, perlindungan
konsumen, dan kemetrologian (tertib ukur). Demikian juga, banyak pihak yang
terlibat dalam penataan dan pembinaan PKL, seperti yang berkaitan dengan
penataan wilayah/kota, keamanan dan ketertiban, kebersihan, serta perdagangan
eceran.
Penanganan permasalahan Pedagang Pasar Tradisional dan PKL yang dirasakan
paling ideal apabila ditangani oleh Dinas Pengelolaan Pasar atau Dinas Pasar
(DPP) dimana di dalam struktur SKPD ini terdapat Bidang yang menangani Pasar
Tradisional termasuk pedagang tradisional di dalamnya dan Bidang yang khusus
menangani PKL. Di sini Kepala Bidang yang menangani Pasar Tradisional dan
Kepala Bidang yang menangani PKL dapat saling berkoordinasi dalam menangani
kedua kelompok pedagang ini di bawah kendali Kepala DPP sebagai koordinator,
sehingga kedua pedagang pasar tradisional tidak diganggu oleh keberadaan PKL

dan kemudian PKL sedikit demi sedikit diarahkan menjadi pedagang pasar
tradisional.
Ada pula daerah yang tidak menjadikan PKL sebagai para pedagang yang harus
dibina, sehingga dapat diaktakan bahawa keberadaannya sama sekali tidak
dikehendaki oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Di sini Satuan Polisi
Pamong Praja (SATPOL PP) diwajibkan menertibkan PKL dan sekaligus
melakukan pembinaan dalam hubungannya dengan kemudahan untuk penertiban,
bukan pembinaan yang berkaitan dengan pembinaan kegiatan usaha di lokasi
tetap. Di sini PKL selalu dianggap menjadi masalah tanpa memperhatikan bahwa
keberadaannya selain dibutuhkan masyarakat konsumen juga menjadi tempat
penampungan pekerja informal, karena keterbatasan daya tampung lapangan kerja
formal di daerah yang bersangkutan. Sudah barang tentu, pengerahan SATPOL PP
dalam penertiban PKL tidak serta merta persaingan antara Pasar Tradisional
dengan PKL dapat terselesaikan, karena proses penertiban hanya menghasilkan
ketertiban PKL yang semu (melarang PKL berdagang di suatu tempat) dan
berjangka pendek, di lain pihak umumnya jumlah PKL akan bertambah terus dan
membutuhkan tempat berdagang yang semakin luas.
PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL
Pemahaman tentang aktivitas pengelolaan pasar dan perdagangan eceran (ritel)
mutlak harus dimiliki oleh aparatur dinas yang ditugasi membinan pasar
tradisional termasuk di dalamnya pedagang pasar. Dalam merancang kebijakan
pemerintah kabupaten/kota yang diterbitkan dalam Peraturan Daerah (PERDA)
serta peraturan dan pedoman pelaksanaan harus didasarkan atas pemahaman
tentang pengelolaan (manajemen) pasar dan perdagangan eceran (ritel).
Selanjutnya dalam pelaksanaan peraturan dan pedoman pelaksanaan tersebut
seyogyanya para aparatur pelaksana mulai di tingkat SKPD (dinas yang
membidangi pasar) hingga di tingkat pengelola pasar seyogyanya juga memahami
hal-hal yang mendasar tentang pengelolaan pasar dan perdagangan eceran.
Tentunya tingkat pemahaman yang seyogyanya harus dimiliki oleh masing-

masing aparatur tersebut berbeda-beda tergantung pada posisi dan sifat tugas
aparatur yang bersangkutan.
Agar para aparatur dapat melaksanakan peraturan dan pedoman tersebut dengan
baik, maka sebelumnya kepada mereka diberikan pelatihan secara berjenjang
tentang pengelolaan pasar dan perdagangan eceran. Selanjutnya kepada para
aparatur yang telah dilatih, kepada mereka diberikan kesempatan untuk bekerja di
bidang-bidang sesuai dengan pengetahuan yang telah diperolehnya sampai waktu
yang dirasakan cukup untuk dapat menerapkan pengetahuan tersebut dan
diharapkan pengelolaan pasar dan pedagang pasar dapat beraktivitas mengikuti
peraturan dan pedoman dengan tertib dan konsisten serta berkesinambungan.
Perdagangan eceran (ritel) merupakan salah satu bagian dari disiplin ilmu
pemasaran yang seringkali kurang dipahami oleh aparatur dari SKPD yang
membidangi perdagangan dan pasar, termasuk di dalamnya pasar moderen dan
pasar tradisional serta perdagangan eceran. Dalam praktik banyak dijumpai dalam
praktik para aparatur yang bekerja di bidang ini tidak memahami tentang
pengetahuan dasar pemasaran yang sebenarnya sangat diperlukan ketika mereka
bekerja. Sehingga banyak kebijakan, peraturan pelaksanaan, pedoman, petunjuk
operasi sebagai upaya pembinaan pasar tradisional serta pedagang pasar dan PKL
di mana para aparatur tersebut terlibat penyiapan dan pelaksanaannya, tidak dapat
dilaksanakan dengan optimal. Akibatnya, banyak pasar-pasar tradisional
berstigma negatif seperti kumuh, kotor, semrawut, bau, sampah berceceran di
mana-mana dan seterusnya.
Dalam merancang kebijakan pembinaan pedagang tradisional dan PKL dalam
bentuk penguatan daya saing di satu sisi dan menghambat beroperasinya pasar
moderen sampai pada suatu saat pasar tradisional mampu bersaing di sisi lain,
diperlukan pemahaman tentang ilmu pemasaran (marketing) merupakan hal
mutlak di samping ilmu sosial lain yang terkait.

Pertimbangan lokasi pasar dan kawasan penempatan PKL misalnya, perlu didasari
oleh kebijakan tentang pengaturan pendirian pasar moderen serta kebijakan
tentang revitalisasi pasar tradisional dan relokasi PKL ke lokasi yang ditetapkan.
lokasi adalah salah satu unsur "P" (Place) dalam "bauran pemasaran" (marketing
mix) yang dikenal dengan "Empat P" (Product, Place, Price dan Promotion).
Para pedagang perlu mengetahui ilmu tentang dasar-dasar promosi khususnya
mendisplai barang dagangan agar mereka mampu menata dagangan yang menarik
calon pembeli, seperti menempatkan produk-produk tertentu sedemikian rupa agar
Perlu diketahui bahwa kebanyakan para pengunjung pasar, ketika membeli barang
terutama barang-barang sekunder, seperti pakaian dan tas, untuk berbagai camilan
untuk makanan, seringkali dipengaruhi oleh emosinya (impuls buying). Sehingga
penataan (displai) barang yang menarik, seringkali membangkitkan emosi untuk
membeli, sekalipun pembelian ini tidak direncanakan ketika akan berangkat ke
pasar. Diakui bahwa terjadinya pembelian yang tidak terencana ini juga sangat
dipengaruhi oleh daya beli para pengunjung pasar sebagai konsumen. Semakin
kuat daya beli konsumen, maka kemungkinan terjadinya pembelian yang tidak
terencana sebelumnya semakin kuat. Oleh karenanya, para pedagang setidaknya
sepintas perlu memahami karakter dan kemampuan untuk membeli yang dimiliki
oleh para pengunjung pasar yang menjadi pelanggannya.
Para pedagang terbiasa menyimpam/menimbun barang dagangan yang bersifat
tahan lama melebihi kemampuan menjual selama periode tertentu. Kebanyakan
pedagang cenderung banyak membeli (kulakan) barang dagangan tahan lama pada
saat harga murah dan persediaan berlimpah, kemudian disimpan entah sampai
kapan. Kemudian, mereka merasa kegiatan usahanya akan lebih aman apabila
memiliki barang dagangan dibanding memegang uang kontan, karena persediaan
barang dagangan yang berlimpah diperlukan untuk berjaga-jaga jika seandainya
ada pembeli secara tiba-tiba membutuhkannya dalam jumlah besar yang
sebenarnya berdasar pengalaman jarang terjadi. Di satu sisi hal ini mengakibatkan
ada barang dagangan yang menjadi kedaluwarsa akibat prinsip First in First out
(FIFO) sulit dijalankan karena penimbunan persediaan/stock barang yang

peletakkannya sembarangan tidak dilakukan secara sistematis berdasarkan periode


pengadaan melainkan ditumpuk-tumpuk seadanya. Di sisi lain, pasar menjadi
tampak kumuh karena penuh dengan tumpukan barang-barang milik pedagang
sebagai persediaan barang dagangan. Apabila peletakkan barang dilakukan dengan
menumpuk-numpuk hingga tinggi ke plafon, maka sirkulasi udara segar menjadi
tidak lancar dan sinar dari cahaya matahari atau lampu penerangan terhalang yang
akibatnya los dan lorong/gang pasar menjadi pengap (panas) dan gelap sehingga
keadaan pasar menjadi tidak nyaman. Kelemahan ini dapat diatasi dengan
memberikan pengetahuan tentang "merchandising" sederhana kepada para
pedagang, sehingga mereka mengetahui tentang periodesasi pengadaan dan
penimbunan stock barang dagangan (inventory) yang efisien dan ekonomis serta
aman bagi kelancaran aktivitas usaha. Di sini para pedagang perlu memahami
kebiasaan para pelanggannya kapan membeli dalam jumlah besar atau jumlah
yang normal, dan berapa besarnya jumlah pembelian. Selain itu, juga perlu
memahami kapan waktunya sulit untuk mendapatkan pasokan. Dengan
memahami kondisi kebutuhan dan pasokan tersebut, para pedagang dapat
memperkirakan besarnya persediaan barang dagangan yang harus disediakan
berdasarkan periode penjualan. Persediaan barang dagangan ini ekonomis, efisien
dan aman bagi kelangsungan usaha.
Agar para pedagang tradisional dapat memahami cara untuk mengatasi
kelemahan-kelamahan di muka, maka pihak pengelola pasar sebagai pembina
perlu mensosialisasikan pengetahuan tentang pemasaran dan merchandising
sederhana kepada para pedagang. Untuk itu, kepada pihak pengelola pasar harus
terlebih dahulu diberikan pengetahuan dimaksud terlebih dahulu, atau dapat juga
dilakukan dengan menggunakan jasa konsultan dari pihak ketiga, namun jangan
sepenuhnya dilakukan oleh pihak ketiga, karena dibatasi oleh kontrak kerja dalam
jangka waktu tertentu.
REVITALISASI PASAR TRADISIONAL
Kebijakan Pemeerintah dan Pemerintah Daerah dalam merevitalisasi pasar
tradisional masih lebih menekankan pada perbaikan (renovasi) phisik bangunan

pasaqr. Masih sangat jarang yang disertai dengan pembangunan kelembagaan


(institutional building) seperti mengembangkan organisasi (organizational
development) pengelola dan pembina pasar tradisional, termasuk di dalamnya
pengembangan sistem manajemen pasar beserta sumber daya manusia (SDM)
yang terlibat serta pedagang pasar.
Berdasarkan pengalaman empiris di banyak kabupaten dan kota, setelah dilakukan
renovasi atau pembangunan kembali bangunan pasar selama kurun waktu 3-5
tahun kemudian, bangunan pasar yang telah direnovasi atau dibangun kembali
beserta pengelolaan pasarnya tampak kembali semrawut serta kondisi pasar
kembali kumuh dan kotor sama keadaannya seperti sebelum dilakukan renovasi
atau pembangunan kembali pasar. Terlebih lagi, setelah direnovasi atau
pembangunan kembali bangunan pasar, kegiatan perawatan atau pemeliharaan
sangat minimal dilakukan dengan alasan keterbatasan anggaran daerah. Hal ini
terjadi karena kebijakan revitalisasi pasar tradisional masih hanya sebatas
menyentuh bangunan phisik pasar semata yang seringkali kurang diikuti dengan
aktiviast perawatan atau pemeliharaan bangunan phisik pasar.
Mulai tahun 2012, Kementerian Perdagangan memberikan bimbingan teknis
kepada para pedagang bersama para pengelola pasar tradisional tentang cara
berjualan yang baik, seperti mengupayakan dan memelihara kebersihan pasar,
cara berdagang yang baik dengan penataan barang dagangan yang menarik
pembeli dan pengelolaan pasar. Kegiatan ini masih difokuskan pada pasar-pasar
tradisional yang telah direvitalsasi pada tahun lalu, seperti Pasar Grabag di
Kabupaten Purworejo, Pasar Cokrokembang di Kabupaten Klaten dan Pasar
Minulyo di Kabupaten Pacitan.
Selain dibangun oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pembangunan
bangunan pasar juga dilakukan oleh pihak swasta, di mana pihak swasta bertindak
sebagai pihak pengembang yang berhak menjual kios-kios di lokasi tertentu,
biasanya di bagian bangunan pasar yang menghadap ke luar, baik di lantai dasar
maupun di lantaui atas apabila bangunan pasar tersebut merupakan pasar yang

bertingkat. Sedangkan pihak Pemerintah Daerah bertindak sebagai pengelola


pasar yang bersangkutan ketika telah selesai direnovasi. Namun di beberapa
daerah, pihak swasta yang bertindak sebagai pengembang juga diserahi untuk
mengelola pasar setelah selesai direnovasi dengan cara pengelolaan swasta yang
biasanya lebih profesional dibanding dengan pengelolaan oleh Pemerintah
Daerah, sehingga pasarnya tampak lebih rapi, bersih dan nyaman.
Pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan
pihak swasta biasanya menghasilkan bangunan pasar yang lebih besar, bertingkat
dan tampak megah. Seringkali pada saat merencanakan bangunan pasar yang baru
tidaklah terlalu rinci mempertimbangkan jumlah pedagang yang akan berdagang
dan jumlah pembeli yang akan dilayani di pasar yang baru nanti. Pengembang
berpandangan bahwa apabila dibangun pasar yang lebih besar, lebih baik dan
lebih megah, maka pasar tersebut akan semakin ramai karena lebih banyak
pengunjung atu pembeli. Pengembang kurang memperhitungkan bahwa ada
tempat berbelanja lain yang sudah terlebih dahulu beroperasi yang menarik
banyak pengunjung, Di sini pengembang dan pengelola pasar harus menjadikan
pasar tradisional yang baru tersebut lebih menarik untuk dikunjungi dibanding
dengan pasar lain termasuk pasar moderen yang sudah terlebih dahalu ada..
Seringkali upaya ini gagal sehingga pasar tradisional yang baru tersebut tampak
kosong, sepi pengunjung dan sebagaian dari para pedagang menutup kegiatan
usahanya.
Permasalahan revitalisasi sebenarnya muncul sejak awal pada saat penjualan kios
atau lapak bagi para calon pedagang yang baru. Penjualan kios oleh pihak
pengembang bersifat jual putus di mana pihak pengembang tidak lagi berwenang
menentukan jenis barang dagangan setelah kios tersebut dijual ke pedagang.
Permasalahan muncul ketika kios atau lapak yang sudah dibeli oleh pihak pertama
dijual kembali ke pedagang lain yang jenis dagangannya berbeda dengan barang
dagangan yang sudah ditentukan untuk zona di mana kios atau lapak tersebut
berada. Inilah yang menjadi salah satu sumber ketidaktertiban zonanisasi barang
dagangan di banyak pasar tradisional pada dewasa ini. Untuk mencegah terjadinya

hal ini, maka setiap peralihan hak milik kios atau lapak harus sepengetahuan pihak
pengelola pasar. Apabila jenis dagangan dari pedagang yang bertindak sebagai
pembeli kios atau lapak berbeda dengan jenis barang dagangan yang ditetapkan
untuk zona yang bersangkutan, maka perpindahan tangah sebaiknya tidak
diteruskan.
Di banyak kabupaten dan kota, kepemilikan lapak atau kios pasar tradisional yang
telah direnovasi atau dibangun kembali oleh seseorang dapat lebih dari satu lapak
atau kios, sekalipun sebenarnya ia hanya membutuhkan satu lapak atau kios.
Sedangkan sisa lapak atau kios yang sudah dimiliknya disewakan atau dijual
kembali. Di sini pedagang tersebut seolah-olah bertindak sebagai investor yang
kebetulan memiliki dana berlebih dan atau memiliki hak istimewa (privilige).
Berdasarkan pengalaman empiris di lapangan, hal ini seringkali menjadi salah satu
penyebab banyaknya jumlah kios yang tidak beroperasi di pasar-pasar tradisional
yang telah selesai direnovasi atau dibangun kembali dan mulai beroperasi
kembali.
Sebagaian dari pemilki kios baru kemungkinan sebelumnya adalah pemilik lapak
di los pasar atau pemilik warung di luar pasar (di rumah-rumah penduduk di
sekitar pasar) atau ex PKL di sekitar pasar. Bagi para ex PKL, perpindahan
operasi ke lapak pasar seringkali menimbulkan masalah pada pasar tradisional,
terutama dalam hal kebersihan pasar dan ketidakterarturan penataan barang
dagangan. Mereka harus menyesuaikan diri dengan peraturan tentang ketertiban
dan kebersihan pasar. Mereka harus mengikuti jam operasi pasar yang sudah
ditentukan. Dalam mendisplai barang dagangannya mereka harus mengikuti
aturan tidak boleh menjorok jauh ke depan, sehingga mengurangi lebar gang atau
lorong tempat pengunjung berjalan dan tidak boleh terlalu banyak menimbun
barang dagangan (stock) yang melebihi daya tampung lapaknya.
Sebaiknya, . untuk menhindari kegagalan program revitalisasi pasar tradisional,
maka pada saat peerencanaan pembangunan perlu dipikirkan kapasitas pasar yang
akan dibangun harus sesuai dengan jumlah pedagang yang sekarang ada,

kemungkinan penambahan jumlah pedagang yang sekarang ada, serta jumlah dan
segmen konsumen yang akan berbelanja di pasar tersebut. Seringkali dijumpai
banyak keluhan dari pedagang yang sudah berdagang sejak di psar lama, ketika
berpindah ke pasar yang sudah direnovasi ukuran kios dan lapak yang
diperolehnya menjadi berkurang atau lebih kecil dengan alasan bahwa banyak
pedagang baru yang harus ditampung. Kondisi ini menjadi alasan para pedagang
untuk menata barang dagangannya melonjak ke luar lapak atau kios melonjak dari
batas yang diperkenankan. Akibatnya gang/lorong di los-los pasar menjadi sempit
dan tidak nyaman untuk para pembeli berlalu lalang di pasar.
Selanjutnya, juga perlu dipikirkan persiapan calon pengelola pasar (manajemen
pasar) yang akan ditugasi mengelola pasar yang baru. Sebaiknya kepada mereka
sejak awal diberikan pelatihan tentang manajemen pasar dan diwajibkan
menyusun sendiri serangkaian prosedur kerja dan pengawasan pekerjaan di bawah
bimbingan pihak yang berkompeten dalam manajemen pasar. Pelatihan dan
penyusunan prosedur kerja dan pengawasan pekerjaan ini dilakukan pada saat
aktivitas renovasi atau pembangunan pasar yang baru sedang berlangsung.
Pengetahuan yang telah diperoleh serta prosedur kerj dan pengawasan pekerjaan
yang telah dibuat, hendaknya dipratikan di lingkungan pasar di penempatan
sementara selama bangunan pasar sedang direnovasi atau dibangun kembali, agar
mereka terbiasa bekerja dengan menggunakan sistem.
Kepada para pedagang yang mendiami lokasi pasar sementara, diperkenalkan
pengetahuan sederhana tentang perdagangan eceran mencakup merchandising
seperti merencanakan pembelian (kulakan) barang dan persedian (merencanakan
stock), sortasi dan pengemasan, penataan dan penyimpanan barang secara
sistematis sesuai dengan prinsip FIFO serta pengetahuan tentang manajemen
keuangan sederhana. Sama halnya dengan pelatihan bagi calon pengelola pasar,
kegiatan bagi para pedagang tersebut juga dilakukan pada saat renovasi atau
pembangunan pasar yang baru sedang berlangsung.

Selanjutnya, sejak awal kepada para pedagang juga diperkenalkan tentang


penanganan kebersihan yaitu setiap pedagang diwajibkan memiliki tempat
sampah sementara di lapak atau kiosnya masing-masing, bisa berbentuk kantung
plastik atau tempat sampah dari plastik yang sedapat mungkin sudah memisahkan
sampah organik dan anorganik. Setiap kantung sampah tersebut penuh dibuang ke
tempat sampah yang terletak di gang atau lorong dekat lapak atau kiosnya. Tujuan
untuk memisahkan sampah organik dan anorganik adalah untuk persiapan apabila
sampah-sampah tersebut diolah menjadi kompos yang ini harus sudah dipikirkan
sejak jauh-jauh hari. Selain itu, pedagang juga diwajibkan untuk bertanggung
jawab terhadap kebersihan di lokasi sekitar setiap lapak atau kiosnya. Kepada
setiap pedagang diajarkan untuk mematuhi batas tempat yang diijinkan berjualan
sehingga tidak mengurangi lebar gang di losnya masing-masing. Dengan
melibatkan pedagang dalam hal kebersihan dan ketertiban pasar, maka beban
pihak pengelola pasar menjadi lebih ringan. Apabila kebiasaan-kebiasaan seperti
ini sudah ditanamkan sejak dini, khususnya pada pasar yang sedang direnovasi
atau dibangun kembali, maka diharapkan kebiasaan-kebiasaan ini akan terus
berlanjut di pasar yang baru.
Pada saat pasar yang baru akan mulai beroperasi, masalah yang terpelik adalah
pembagian lapak dan kios. Di sini perlu dilibatkan calon pengelola pasar yang
baru, karena pengalaman empiris menunjukkan bahwa para pengelola pasar
merasa tidak tahu menahu tentang pembagian lapak atau kios pada saat pasar yang
baru akan mulai beroperasi. Para pengelola pasar yang baru pada umumnya hanya
ditugasi menjalankan pengelolaan pasar, sehingga ketika pasar yang baru sudah
berjalan kemudian terjadi ketidakdisiplinan zonanisasi pedagang, pihak pengelola
cenderung membiarkan atau tidak mau bertanggung jawab, karena merasa tidak
dilibatkan awal pembentukan zona pedagang berdasarkan jenis barang dagangan.
Padahal ketidaktertiban zonanisasi pedagang merupakan titik awal mulai
terjadinya kesemerawutan pasar tradisional.
MANAJEMEN PASAR TRADISIONAL

Keterbatasan kemampuan manajerial pengelola pasar tradisional mempengaruhi


kondisi pasar yang bersangkutan, bahkan hal ini menjadi salah satu penyebab
utama melekatnya stigma negatif yang kini melekat di pasar-pasar tradisional
pada umumnya. Berdasarkan pengalaman empiris di 30 Kabupaten dan Kota di
Jawa Tengah, pasar-pasar tradisional yang memiliki tingkat kebersihan, keamanan
dan kenyamanan yang tinggi biasanya memiliki Tim Pengelola Pasar dengan
organisasi yang berstruktur lengkap dengan pedoman kerja jelas dan cukup rinci.
Selain itu pengelola pasar tersebut juga secara intensif dibina dan disupervisi oleh
SKPD yang membidangi pasar tradisional dan pedagang (pedagang pasar dan
PKL), dengan perkataan lain pasar tradisional tidak semata difungsikan sebagai
pengkontribusi PAD.
Seringkali Kepala Pasar memiliki keterbatasan wewenang (otoritas) dalam
mengelola pasar tradisonal yakni menghadapi petugas-petugas yang berada di
bawah kendali SKPD lain di luar SKPD yang mebidangi pasar dan pedagang,
seperti petugas-petugas yang menangani perparkiran, kebersihan dan pertamanan,
pembangunan dan perawatan sarana dan prasarana (bangunan, fasilitas air bersih,
listrik, pengolahan sampah dan air limbah), dan juga terkadang yang menangani
ketertiban PKL. Di sini peran SKPD pembina sangat diperlukan untuk
berkoordinasi dengan SKPD lain yang terkait.
Bentuk organisasi pengelola pasar juga seringkali menentukan efektivitas
pengelolaan pasar tradisional. Di beberapa kabupaten/kota bentuk organisasi
pengelola adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang membawahi lebih
dari satu pasar ( tiga atau empat pasar). Seringkali kemampuan manajerial Kepala
UPTD tidak seimbang dengan jumlah pasar yang harus dikelolanya, sehingga
terkesan pasar-pasar tersebut sebatas sebagai unit sumber PAD.
Di beberapa kota, organisasi pengelola pasar tradisional berbentuk Perusahaan
Daerah (PERUSDA) seperti di DKI Jakarta, Surabaya dan Bogor. PERUSDA
biasanya memiliki kemampuan manajemen yang lebih baik dibanding pihak-pihak
penngelola pasar ttradisional di bawah SKPD yang membidangi pasar. Namun

tampaknya kemampuan dalam membina para pedangan di pasar-pasar tersebut


masih lemah, sehingga ciri kekumuhan pasar-pasar tradisional di bawah
PERUSDA masih terlihat.
PENUTUP
Pembinaan pasar tradisional memerlukan upaya terintegrasi, mulai di tingkat
kebijakan hingga di tingkat operasional. Setiap tingkat memerlukan bentukbentuk pembinaan yang saling terkait satu bidang dengan bidang lain. Sebagai
contoh, pembinaan pasar tradsional beserta pedagang pasar dan PKL di tingkat
operasional merupakan kelanjutan dari kebijakan Pemerintah Daerah yang
tertuang dalam Peraturan Daerah (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
Pembinaan di tingkat operasional diwujudkan dalam bentuk pembinaan
manajemen pasar tradisional dan pedagang pasar serta pembinaan PKL dan
lingkungannya, ketertiban perparkiran, penataan jalur angkutan kota, penataan
tempat pejalan kaki (pedesterian), dan kawasan wisata kuliner. Keterkaitan dengan
bidang-bidang lain inilah yang seringkali kurang diperhatikan, sehingga
penanganan masalah bersifat parsial, hasilnya kurang maksimal karena kurang
dapat menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.
Mengingat kondisi pasar tradisional yang seperti ini sudah berlangsung sejak
lama, maka perlu kebijakan dan tindakan yang konsisten serta berkesinambungan
yang tidak bisa mengharapkan hasilnya segera tampak. Perbaikan yang harus
dilakukan harus menyentuh perubahan perilaku masyarakat (aparatur dan petugas
serta pedagang dan pengunjung pasar) yang ini memerlukan banyak contoh yang
dapat dimulai dengan bentuk-bentuk pilot project.
Berdasarkan pengalaman empiris di banyak daerah, keberhasilan pembinaan pasar
dan pedagang pasar tradisonal sangat ditentukan oleh kepedulian para Kepala
Daerah (Bupati dan Walikota) yang diikuti oleh para pejabat di tingkat teknis.
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa kebijakan Kepala Daerah yang
menetapkan pasar sebagai salah satu sumber PAD tanpa diikuti dengan
pengembalian pendapatan ke pasar secara signifikan sebagai tambahan biaya

operasional dan perawatan/pemeliharaan serta biaya pembinaan bagi pengelola


dan pedagang pasar, maka hal ini menjadi penyebab utama kondisi pasar-pasar
tradisional memiliki ber-stigma negatif seperti kumuh, semrawut, kotor, dan tidak
nyaman dikunjungi oleh masyarakat konsumen.

You might also like