You are on page 1of 51

REFERAT DOKTER MUDA

MORBILI

Oleh :
Mokhammad Tajul Muluk

(087.00.156)

Pembimbing:

dr. H. Sahid Suparasa, Sp. PD, FINASIM

Departemen/Instalasi Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
RSUD dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto
2014
LEMBAR PENGESAHAN
1

Referat berjudul Peranan Dokter Dalam Menangani Korban Hanging telah


disetujui dan disahkan oleh Departemen/Instalasi Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga - RSUD Dr. Soetomo
Surabaya pada:
Hari
:
Tanggal
Tempat

:
: Ruang Kuliah Dokter Muda Departemen/Instalasi Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Penyusun : DM FK UWKS KELOMPOK MOJOKERTO D


Mokammad Tajul Muluk

08700156

Koordinator Pendidikan
Kepala SMF Ilmu Penyakit Dalam

Dr. H. Rudyanto, Sp. PD, FINASIM

Mojokerto, September 2014


Pembimbing,

Dr. H. Sahid Suparasa, Sp. PD, FINASIM

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
penyusun telah menyelesaikan tugas baca yang berjudul Referat Morbili. Makalah ini
disusun sebagai tugas wajib untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Ilmu
Penyakit Dalam dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto, dengan harapan dapat dijadikan
sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan kita.
Dalam penyusunan referat ini, ada hambatan seperti kurangnya sumber referensi.
Namun, penyusun menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan dan bimbingan dari dosen, sehingga kendala yang dihadapi penulis dapat teratasi. Oleh
karena itu penyusun mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. H. Sahid Suparasa, Sp. PD, FINASIM Sebagai Pembimbing dan SMF Ilmu
Penyakit Dalam RSUD dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto
2. Dr. H. Rudyanto, Sp. PD, FINASIM sebagai Kepala SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto
Penyusun sadar sepenuhnya bahwa referat ini jauh dari kesempurnaan dan untuk
itu penyusun membutuhkan saran dan kritik yang membangun agar dalam pembuatan
referat yang akan dating akan menjadi lebih baik. Akhirnya kami berharap semoga referat
ini bermanfaat dalam menambah wawasan bagi kita semua.

Surabaya, September 2014


Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .......................................................................................................

i
3

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................................

ii

KATA PENGANTAR ............................................................................................................

iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................................

iv

DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................................

BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................................

1.1. Latar Belakang ...................................................................................

1.2. Tujuan ................................................................................................

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................

2.1. DEFINISI Morbili...........................................................................................

2.2. INSIDEN Morbili............................................................................................

2.3. ASPEK MEDIKOLEGAL ..............................................................................

2.4. MEKANISME LUKA ....................................................................................

2.5. WAKTU TERJADINYA LUKA ....................................................................

2.6. UMUR LUKA ................................................................................................

2.7. PERDARAHAN .............................................................................................

10

2.8. HANGING FORENSIK .................................................................................

11

2.8.1. TRAUMA MEKANIK .....................................................................

11

2.8.2. TRAUMA FISIK ..............................................................................

29

2.8.3. TRAUMA KIMIA ............................................................................

31

Nb BAB III. PENUTUP ......................................................................................................

34

3.1. SUMMARY ........................................................................................

33

DAFTAR

PUSTAKA

...........................................................................................................

37

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Perbedaan jenis trauma........................................................................12


Gambar 2. Pengaruh sudut datang trauma.............................................................12
Gambar 3. Pola luka tusuk..................................................................................... 24
Gambar 4. Hubungan bentuk luka dengan bentuk pisau........................................24
Gambar 5. Hubungan panjang pisau dengan dalam luka.......................................24
Gambar 6. Pola luka tajam pada bunuh diri........................................................... 25
Gambar 7. Tembakan jarak sangat dekat dan dekat..............................................26
Gambar 8. Tembakan jarak jauh............................................................................27

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Campak adalah suatu penyakit akut menular, ditandai oleh 3 stadium,
yakni : 1) stadium inkubasi sekitar 10-12 hari dengan sedikit tanda-tanda atau
gejala-gejala, 2) stadium prodromal dengan enantem (bercak koplik) pada mukosa
bukal dan faring, demam ringan sampai sedang, konjungtivitis ringan, koryza, dan
batuk yang semakin berat, dan 3) stadium akhir dengan ruam makuler yang
muncul berturut-turut pada leher dan muka, tubuh, lengan dan kaki dan disertai
oleh demam yang tinggi. (Nelson)
Penyakit Campak (Rubeola, Campak 9 hari, measles) adalah suatu infeksi
virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis
(peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan ruam kulit. Penyakit ini
disebabkan karena infeksi virus campak golongan Paramyxovirus. Virus morbili
secara alami hanya menginfeksi manusia dan binatang yang menyusui. Virus
morbilli mempunyai persamaan yang paling dekat dengan Rinderpestvirus yang
merupakan virus pathogen pada sapi dan diperkirakan virus ini berkembang dalam
lingkungan dimana sapi dan manusia hidup bersama. 1
Morbilli merupakan penyakit endemic pada sebagian besar dunia. Morbili
sangat menular, sekitar 90% berasal dari kontak keluarga yang rentan mendapat
penyakitbserta sering menimbulkan komplikasi yang serius. Hampir semua anak
di bawah usia 5 tahun di Negara berkembang akan terserang penyakit ini,
sedangkan di negara maju biasanya menyerang anak usia remaja atau dewasa
muda yang tidak terlindungi oleh imunisasi. 1,2
Pada tahun 1960-an di Amerika, morbilli merupakan penyakit yang
mengakibatkan kematian 400 balita setiap tahunnya. Di Indonesia penyakit
morbilli pernah menyebabkan wabah serius di pulau Lombok dengan kematian
330 anak diantara 12.107 kasus dan juga pada pulau Bangka dengan kematian 65
diantara 407 kasus, wabah juga terjadi di daerah-daerah lainnya seperti
Palembang, Madura, Lampung, dan Bengkulu. 123
Penyakit morbili sebenarnya bukan penyakit yang berakibat fatal apabila
menyerang anak-anak yang sehat dan bergizi baik, namun apabila dinegara
6

dimana anak yang menderita kurang gizi sangat banyak, morbilli merupakan
penyakit yang berakibat fatal dan menyebabkan kematian sampai 5-12 %. Gejala
morbilli agak sulit di deteksi secara dini, dikarenakan gejala yang ditimbulkan
seperti batuk, pilek, dan demam yang menyerupai gejala flu biasa. Munculnya
bercak merah dikulit pun hamper menyerupai bercak merah yang diakibatkan
keracunan obat atau alergi karena dingin. 124

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Morbili adalah penyakit infeksi virus akut menular yang ditandai dengan
3 stadium, yaitu : a. stadium kataral (prodromal), b. stadium erupsi, c. stadium
konvalesensi.
B. Etiologi
Penyebab morbili adalah virus RNA dari family Paramyxovirus yaitu
genus morbilivirus. Virus morbilli terdapat dalam sekret nasofaring dan darah
selama masa prodromal sampai 24 jam setelah timbul bercak-bercak. Cara
penularan ialah melalui droplet dan kontak. Virus dapat tetap aktif selama
sekurang-kurangnya 34 jam dalam suhu kamar. Virus ini sangat sensitive
terhadap panas dan dingin serta dapat diinaktifkan pada suhu 30 0C dan -200C,
sinar ultraviolet, eter, ripsin dan betapropilakton. nelson
Virus campak dapat diisolasi dalam biakan embrio manusia atau jaringan
ginjal kera rhesus. Perubahan sitopatik, tampak dalam 5-10 hari, terdiri dari
sel raksasa multinukleus dengan inklusi intranuklear. Antibodi dalam sirkulasi
dapat dideteksi bila ruam muncul.
Penyebaran virus maksimal terjadi melalui tetesan-tetes semprotan
selama stadium kataral (masa prodromal). Penularan terhadap kontak rentan
sering terjadi sebelum diagnosis kasus aslinya. Orang yang terinfeksi menjadi
menular pada hari ke 9-10 sesudah pemajanan (mulai fase prodromal), pada
beberapa keadaan dapat terjadi sebelum hari ke 7. Tindakan pencegahan
isolasi terutama di Rumah Sakit atau institusi lain, harus dipertahankan dari
hari ke-7 sesudah pemajanan sampai hari ke-5 sesudah ruam muncul.
C. Epidemiologi
Campak adalah endemic pada sebagian besar dunia. Dahulu, epidemic
cenderung terjadi secara ireguler, tampak pada musim semi di kota-kota besar
dengan interval 2 sampai 4 tahun. Biasanya penyakit ini timbul pada masa
anak dan kemudian menyebabkan kekebalan seumur hidup.
Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pernah menderita morbili akan
mendapat kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai umur 4-6 bulan
8

dan setelah umur tersebut kekebalan akan berkurang sehingga bayi dapat
menderita morbili. Bila ibu belum pernah menderita morbili maka bayi yang
dilahirkannya tidak mempunyai kekebalan terhadap morbili dan dapat
menderita penyakit ini setelah bayi dilahirkan. Bila seorang wanita menderita
morbili ketika hamil 1 atau 2 bulan, maka 50% kemungkinan akan mengalami
abortus. Bila ibu hamil menderita morbili pada trimester pertama, kedua, atau
ketiga maka ia mungkin melahirkan seorang anak dengan kelainan bawaan
atau seorang anak dengan berat badan lahir rendah atau lahir mati atau anak
yang kemudian meninggal sebelum usia 1 tahun.
D. Patologi
Lesi esensial campak terdapat di kulit, membrane mukosa nasofaring,
bronkus, dan saluran cerna dan pada konjungtiva. Eksudat serosa dan
proliferasi sel mononuclear dan beberapa sel polimorfonuklear terjadi sekitar
kapiler. Biasanya ada hyperplasia jaringan limfoid, terutama pada apendiks,
dimana sel raksasa multinukleus berdiameter sampai 100 m (sel raksasa
Warthin-Finkeldey) dapat ditemukan.
Di Kulit, reaksi terutama menonjol sekitar kelenjar sebasea dan folikel
rambut. Bercak koplik terdiri eksudat serosa dan proliferasi sel endotel serupa
dengan bercak pada lesi kulit. Reaksi radang menyeluruh pada mukosa bukal
dan faring meluas ke dalam jaringan limfoid dan membrane mukosa
trakeobronkial. Pneumotitis interstisial akibat dari virus campak mengambil
bentuk pneumonia sel raksasa Hecht. Bronkopneumonia dapat disebabkan
oleh infeksi bakteri sekunder.
Pada kasus ensefalomielitis yang mematikan, terjadi demielinasi
perivaskuler pada daerah otak dan medulla spinalis. Pada panensefalitis
sklerotikans subakut Dawson (subacute sclerosing panencephlitis (SSPE),
dapat ada degenerasi korteks dan substansi putih (alba) dengan benda-benda
inklusi intranuklear dan intrasitoplasmik.
Sebagai reaksi terhadap virus maka terjadi eksudat yang serous dan
proliferasi sel mononukleus dan beberapa sel polimorfonukleus di sekitar
kapiler. Kelainan ini terdapat pada kulit, selaput lender nasofaring, bronkus
dan konjungtiva.
E. Gejala Klinis
9

Masa tunas penyakit morbili ialah 10-20 hari.


Penyakit ini dibagi dalam 3 stadium, yaitu:
1. Stadium kataral (prodromal)
Stadium ini biasanya berlangsung selama 4-5 hari disertai panas,
malaise, batuk, fotopobia, konjungtivitis dan koriza.
Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul
enantema, timbul bercak koplik yang patognomonik bagi morbili, tetapi
sangat jarang dijumpai. Bercak koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung
jarum dan dikelilingi oleh eritema. Lokalisasinya di

mukosa bukalis

berhadapan dengan molar bawah. Jarang ditemukan di bibir bawah tengah


atau palatum. Kadang-kadang terdapat macula halus yang kemudian
menghilang sebelum stadium erupsi. Gambaran darah tepi ialah limfositosis
dan leucopenia. Secara klinis gambaran penyakit menyerupai influenza dan
sering didiagnosis sebagai influenza. Diagnosis perkiraan yang besar dapat
dibuat bila ada bercak koplik dan penderita pernah kontak dengan penderita
morbili dalam waktu 2 minggu terakhir.
2. Stadium erupsi
Koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul enantema atau titik
merah di palatum durum dan palatum mole. Kadang-kadang terlihat pula
bercak koplik. Terjadinya eritema yang berbentuk macula-papula disertai
menaiknya suhu badan. Diantara macula terdapat kulit yang normal. Mulamula eritema timbul di belakang telinga, dibagian atas lateral tengkuk,
sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat
perdarahan ringan pada kulit. Rasa gatal dan muka bengkak. Ruam
mencapai anggota bawah pada hari ketiga dan akan menghilang dengan
urutan seperti terjadinya.
Terdapat pembesaran kelenjar getah bening di sudut mandibula dan
di daerah leher belakang, selain itu terdapat juga sedikit splenomegali.
Tidak jarang juga disertai diare dan muntah. Variasi dari morbili yang biasa
ini adalah black measles, yaitu morbili yang disertai perdarahan pada kulit,
mulut, hidung dan traktus digestivus.
3. Stadium konvalesensi

10

Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua


(hiperpigmentasi) yang lama kelamaan akan hilang sendiri. Selain
hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang
bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan gejala patognomonik untuk
morbili. Pada penyakit-penyakit lain dengan eritema atau eksantema ruam
kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai menjadi
normal kecuali bila ada komplikasi.
F. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan berdasarkan atas gejala dan tanda-tanda
sebagai berikut :
Anamnesis
1. Anak dengan panas 3-5 hari (biasanya tinggi, mendadak), batuk,
pilek, nyeri menelan, harus dcurigai atau didiagnosis banding morbilli.
2. Mata merah, tahi mata, fotofobia, menambah kecurigaan.
3. Dapat disertai diare dan muntah.
4. Dapat disertai dengan gejala perdarahan (pada kasus yang berat) :
epistaksis, ptekie, ekimosis.
5. Anak yang beresiko tinggi adalah bila kontak dengan penderita
morbilli (1 atau 2 minggu sebelumnya) dan belum pernah vaksinasi
morbilli.
Pemeriksaan fisik
1. Pada stadium kataral manifestasi yang tampak mungkin hanya
demam (biasanya tinggi) dan tanda tanda nasofaringitis dan konjungtivitis.
2. Pada umunya anak tampak lemah.
3. Koplik spot pada hari ke 2-3 panas (akhir stadium kataral).
4.

Pada stadium erupsi timbul ruam (rash) yang khas : ruam

makulopapular yang munculnya mulai dari belakang telinga, mengikuti


pertumbuhan rambut di dahi, muka, dan kemudian ke seluruh tubuh.
F. Diagnosis Banding
1. German measles (rubella) dibandingkan morbilli.
Penyakit ini lebih ringan daripada morbilli. Pada penyakit ini tidak
ada bercak koplik, demam ringan, tetapi ada pembesaran kelenjar di daerah
suboksipital, servikal bagian posterior, belakang telinga. Ruam morbilli
11

tampak halus yang diawali pada wajah lalu menyebar ke batang tubuh dan
menghilang dalam 3 hari serta kurang mencolok daripada ruam morbilli
sebagaimana tingkat demam dan keparahan penyakit.
2. Eksantema subitum
Penyakit ini disebabkan oleh virus dan biasanya muncul pada bayi berusia 636 bulan. Ruam akan muncul bila suhu badan menjadi normal, ruam tidak mencolok,
dan tidak mengenai muka sedangkan hal tersebut sangat khas untuk campak. Rubeola
infantum (eksantema subitum) dibedakan dari morbilli dimana ruam dari roseola
infantum tampak ketika demam menghilang, walaupun batuk ada.
3. Infeksia ricketsia
Ruam biasanya tidak melibatkan muka, yang pada morbilli khas terlibat. Tidak adanya
batuk atau riwayat injeksi serum atau pemberian obat biasanya membantu mengenali
penyakit serum atau ruam karena obat dan juga tidak diketemukannya bercak koplik.
G. Komplikasi
Pada penyakit morbili terdapat resistensi umum sehingga dapat terjadi
anergi (uji tuberculin yang semula positif menjadi negative). Keadaan ini
menyebabkan mudahnya terjadi komplikasi sekunder seperti otitis media akut,
ensefalitis dan bronkopnemonia. Bronkopnemonia dapat disebabkan oleh
virus morbili atau oleh pneumococcus, streptococcus, dan staphylococcus.
Bronkopnemonia ini dapat menyebabkan kematian bayi yang masih muda,
anak dengan malnutrisi energi protein, penderita penyakit menahun (missal:
tuberculosis), leukemia dan lain-lain.
Komplikasi neurologis pada morbili dapat berupa hemiplegia,
paraplegia, afasia, gangguan mental, neuritis optika dan ensefalitis. Ensefalitis
morbili dapat terjadi sebagai komplikasi pada anak yang sedang menderita
morbili atau dalam satu bulan setelah mendapat imunisasi dengan vaksin virus
morbili hidup (ensefalitis morbili akut) pada penderita yang sedang mendapat
pengobatan imunosupresif (immunosuppressive measles encephalopathy) dan
sebagai subacute sclerosing panencephalitis (SSPE).
Ensefalitis morbili akut ini timbul pada stadium eksantem, angka
kematian rendah dan sisa deficit neurologis sedikit. Angka kejadian ensefalitis
setelah infeksi morbili ialah 1:1000 kasus, sedangkan ensefalitis setelah
vaksinasi dengan virus morbili hidup adalah 1,16 tiap 1.000.000.
12

SSPE adalah suatu penyakit degenerasi yang jarang dari susunan saraf
pusat. Penyakit ini progesif dan fatal serta ditemukan pada anak dan orang
dewasa. Disertai oleh gejala yang terjadi secara tiba-tiba seperti kekacauan
mental, disfungsi motorik, kejang dan koma. Perjalanan klinis lambat dan
sebagian penderita meninggal dunia dalam 6 bulan-3 tahun setelah terjadi
gejala pertama. Meskipun demikian remisi spontan masih bias terjadi.
Penyebab SSPE tidak jelas tetapi ada bukti-bukti bahwa virus morbili
memegang peranan dalam patogenesisnya. Biasanya anak menderita morbili
sebelum umur 2 tahun sedangkan SSPE dapat timbul sampai 7 tahun setelah
morbili. SSPE yang terjadi setelah vaksinasi morbili didapatkan kira-kira 3
tahun kemudian. Kemungkinan menderita SSPE setelah vaksinasi morbili
adalah 0,5-1,1 tiap 10 juta, sedangkan setelah infeksi morbili sebesar 5,2-9,7
tiap 10 juta.
Immunosuppressive measles encephalopathy didapatkan pada anak
dengan morbili yang sedang menderita defisiensi imunologik karena
keganasan atau karena pemakaian obat-obatan imunosupresif. Diafrika
didapatkan kebutaan pada anak yang menderita malnutrisi.
Komplikasi campak menjadi lebih berat pada pasien dengan gizi buruk
dan anak yang berumur lebih kecil. Komplikasi-komplikasi tersebut
diantaranya :
1). Diare yang diikuti dehidrasi
2). Otitis media
3). Laringotrakeobronkitis (croup)
4). Bronkopneumonia
5). Ensefalitis akut, terjadi pada 2-10/10000 kasus dengan angka
kematian10-15%.
6). Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE), yang merupakan suatu
proses degenerative susunan saraf pusat dengan gejala karakteristik
terjadi deteriorasi tingkah laku dan intelektual, diikuti kejang.
Disebabkan oleh infeksi virus yang menetap, timbul beberapa tahun
setelah infeksi merupakan salah satu komplikasi campak onset
lambat. Terjadi pada 1/25000 kasus, menyebabkan kerusakan otak
progresif dan fatal.
13

H. Pengobatan
Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari pemberian cairan yang cukup, suplemen
nutrisi, antibiotic diberikan apabila terjadi infeksi sekunder, antikonvulsi apabila terjadi
kejang. Dan pemberian vitamin A.
Indikasi rawat inap : hiperpireksia (suhu >39.00), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit,
atau adanya komplikasi.
Tanpa komplikasi
a. Pasien dirawat di ruang isolasi
b. Tirah baring ditempat tidur
c. Vitamin A 100000 IU, apabila disertai malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari.
d.

Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan disesuaikan

dengan tingkat kesadaran pasien dan ada tidaknya komplikasi.


Pengobatan dengan komplikasi
Ensefalopati
a. Kloramfenikol dosis 75 mg/kgbb/hari/ dan ampisillin 100 mg/kgbb/hari selama 7-10
hari
b. Kortikosteroid : deksamethason 1mg/kgbb/hari sebagai dosis awal dilanjutkan 0,5
g/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis sampai kesadaran membaik (bila pemberian lebih dari
5 hari dilakukan tapering off)
c. Kebutuhan jumlah cairan dikurangi kebutuhan serta koreksi terhadap gangguan
elektrolit.
Bronkopneumonia
a. Kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari dan ampisillin 100 mg/kgbb/hari selama 7-10 hari.
b. Oksigen 2 liter/menit
c. Koreksi gangguan analisis gas darah dan elektrolit.
Enteritis
Lakukan koreksi dehidrasi sesuai derajat dehidrasi.
Pemantauan/monitoring
a. Pada kasus campak dengan komplikasi bronchopneumonia dan gizi kurang perlu
dipantau terhadap adanya infeksi TB laten. Pantau gejala klinis serta lakukan uji
tuberculin setelah 1-3 bulan penyembuhan.
b. Pantau keadaan gizi untuk gizi kurang/buruk, konsultasi pada divisi nutrisi dan
metabolik.
14

c. Pantau tumbuh kembang sesuai usia.


Simtomatik yaitu antipiretika bila suhu tinggi, sedativum, obat batuk
dan memperbaiki keadaan umum. Tindakan lain ialah pengobatan segera
terhadap komplikasi yang timbul.
I. Prognosis
Baik pada anak dengan keadaan umum yang baik, tetapi prognosis
buruk bila keadaan umum buruk, anak yang sedang menderita penyakit kronis
atau bila ada komplikasi.
H. Pencegahan
Dilakukan dengan pemberian live attenuated measles vaccine. Mulamula digunakan strain Edmonston B, tetapi karena strain ini menyebabkan
panas tinggi dan eksantem pada hari ketujuh sampai hari kesepuluh setelah
vaksinasi, maka vaksin Edmonston B diberikan bersama-sama dengan
globulin-gama pada lengan yang lain.
Sekarang digunakan strain Schwarz dan Moraten dan tidak diberikan
globulin-gama. Vaksin tersebut diberikan secara subkutan dan menyebabkan
imunitas yang berlangsung lama. Pada penyelidikan serologis ternyata bahwa
imunitas tersebut mulai mengurang 8-10 tahun setelah vaksinasi. Dianjurkan
untuk memberikan vaksin morbili tersebut pada anak berumur 15 bulan yaitu
karena sebelum umur 15 bulan diperkirakan anak tidak dapat membentuk
antibody secara baik karena masih ada antibody dari ibu. Tetapi dianjurkan
pula agar anak yang tinggal di daerah endemis morbili dan terdapat banyak
tuberculosis diberikan vaksinasi pada umur 6 bulan dan revaksinasi dilakukan
pada umur 15 bulan.
Di Indonesia saat ini masih dianjurkan memberikan vaksin morbili pada
anak berumur 9 bulan ke atas. Vaksin tersebut di atas dapat pula diberikan
pada orang yang alergi terhadap telur, karena vaksin morbili ini ditumbuhkan
dalam biakan jaringan janin ayam yang secara antigen adalah berbeda dengan
protein telur. Hanya bila terdapat suatu penyakit alergi sebaiknya vaksinasi
ditunda sampai 2 minggu sembuh. Vaksin morbili juga dapat diberikan kepada
penderita tuberculosis aktif yang sedang mendapat tuberkulostatika. Vaksin
morbili tidak boleh diberikan kepada wanita hamil, anak dengan tuberculosis
yang tidak diobati, penderita leukemia dan anak yang sedang mendapat
15

pengobatan imunosupresif. Vaksin morbili dapat diberikan sebagai vaksin


morbili saja atau sebagai vaksin measles-mumps-rubella (MMR).
Bila seseorang telah mendapat immunoglobulin atau transfuse darah
maka vaksinasi dengan vaksin morbili harus ditangguhkan sekurangkurangnya 3 bulan. Vaksin ini tidak boleh diberikan kepada anak dengan
infeksi saluran pernafasan akut atau infeksi akut lainnya yang disertai demam,
anak dengan defesiensi imunologik, anak yang sedang diberi pengobatan
intensif dengan obat imunosupresif.
Apabila sudah terpapar kontak infeksi lebih dari 72 jam, namun kurang
dari 7 hari dapat diberikan NHIG (Normal Human Immunoglobulin).
Pemberian antibody ini mempunyai kekurangan karena imunitas yang
diberikan bersifat sementara yaitu 3-4 minggu. Profilaksi dengan NHIG
sebaiknya dalam 5 hari setelah mendapat paparan infeksi virus, terutama
diberikan kepada :
1. Penderita immunocompromized yang berat
2. Wanita Hamil dengan IgG campak yang negative
3. Anak berumur antara 6-9 bulan
4. Anak berumur kurang dari 6 bulan bila ibunya didiagnosis menderita
penyakit campak atau seronegatif.
5. Anak yang mempunyai indikasi kontra untuk mendapat vaksin campak
hidup.

I.2. Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami penyakit morbilli dari mulai definisi,
epidemiologi,

patofisiologi,

tanda

dan

gejala,

sampai

dengan

penatalaksanaan dan pencegahannya


b. Tujuan Khusus
Sebagai syarat ujian stase ko-assisten bagian Ilmu Penyakit Dalam di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto.

16

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Traumatologi
Traumatologi berasal dari kata trauma dan logos. Trauma berarti kekerasan
atas jaringan tubuh yang masih hidup, sedang logos berarti ilmu. Traumatologi
adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang trauma atau perlukaan,
cedera serta hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), yang
kelainannya terjadi pada tubuh karena adanya diskontinuitas jaringan akibat
kekerasan yang menimbulkan jejas. Ilmu ini penting dalam menentukan jenis luka
yang terjadi, jenis kekerasan yang menyebabkan luka, dan kualifikasi luka.
Aplikasinya dalam pelayanan Kedokteran Forensik adalah untuk membuat
keterangan suatu tindak kekerasan yang terjadi pada seseorang. (Basbeth Ferryal.
2005; Dahlan, Sofwan.2004).
2.2. Insiden Traumatologi
Luka merupakan salah satu kasus tersering dalam kedokteran Forensik.
Luka bisa terjadi pada korban hidup maupun korban mati. Survey di sebuah
rumah sakit di kota London menyatakan 425 pasien yang dirawat oleh karena
kekerasan fisik yang disengaja. Beberapa jenis senjata digunakan pada 68 dari 147
kasus penyerangan di jalan raya, terdapat 12 % dari penyerangan menggunakan
besi batangan dan pemukul baseball atau benda benda serupa, lalu di ikuti
dengan penggunaan pisau 18%, terdapat nilai yang sangat berarti dari kasus
penusukan, sekitar 47% kasus yang masuk rumah sakit dan 90% mengalami luka
yang serius. (Basbeth Ferryal. 2005; Dahlan, Sofwan.2004).
Sedangkan jumlah kejahatan di Indonesia meningkat 15 persen pada 2006.
Rata-rata orang terkena kejahatan meningkat. Selama 2006, jumlah kejahatan
meningkat dari 256.543 (tahun 2005) menjadi 296.119. Inilah peningkatan
kejahatan yakni sekitar 15,43 persen. Jumlah penduduk yang beresiko terkena
kejahatan rata-rata 123 orang per 100.000 penduduk Indonesia di 2006. Bila

17

dibandingkan tahun 2005 terjadi kenaikan 1,65 persen. (Basbeth Ferryal. 2005;
Dahlan, Sofwan.2004).
2.3. Aspek Medikolegal
Dari sudut hukum, luka merupakan kelainan yang dapat disebabkan oleh
suatu tindak pidana, baik yang bersifat intensional (sengaja), recklessness
(ceroboh), atau negligence (kurang hati-hati). Untuk menentukan berat ringannya
hukuman perlu ditentukan lebih dahulu berat ringannya luka. Kebijakan hukum
pidana didalam penentuan berat ringannya luka tersebut didasarkan atas
pengaruhnya terhadap : Kesehatan jasmani, Kesehatan rohani, Kelangsungan
hidup janin di dalam kandungan, Estetika jasmani, Pekerjaan jabatan atau
pekerjaan mata pencarian, dan Fungsi alat indera. (Basbeth Ferryal. 2005; Dahlan,
Sofwan.2004).
Pengertian kualifikasi luka semata-mata pengertian Ilmu Kedokteran
Forensik sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XX
pasal 351 dan 352 serta Bab IX pasal 90. (Dahlan, Sofwan.2004).
Pasal 351
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 352
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu

18

lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang
melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi
bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 90
Luka berat berarti:
(1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut
(2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian;
(3) Kehilangan salah satu pancaindera;
(4) Mendapat cacat berat;
(5) Menderita sakit lumpuh;
(6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
(7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Berikut ini klasifikasi luka : (Dahlan, Sofwan.2004)
1. Luka ringan : luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencahariannya.
2. Luka sedang : luka yang mengakibatkan penyakit atau halangan dalam
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencahariannya untuk sementara
waktu.
3. Luka berat : Luka yang sebagaimana diuraikan di dalam pasal 90 KUHP,
yang terdiri atas:
a. Luka atau penyakit yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan
sempurna. Pengertian tidak akan sembuh dengan sempurna lebih ditujukan
pada fungsinya. Contohnya trauma pada satu mata yang menyebabkan
kornea robek. Sesudah dijahit sembuh, tetapi mata tersebut tidak dapat
melihat.

19

b. Luka yang dapat mendatangkan bahaya maut. Dapat mendatangkan


bahaya maut pengertiannya memiliki potensi untuk menimbulkan
kematian, tetapi sesudah diobati dapat sembuh.
c. Luka yang menimbulkan rintangan tetap dalam menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencahariannya. Luka yang dari sudut medik tidak
membahayakan jiwa, dari sudut hukum dapat dikategorikan sebagai luka
berat. Contohnya trauma pada tangan kiri pemain biola atau pada wajah
seorang peragawati dapat dikategorikan luka berat jika akibatnya mereka
tidak dapat lagi menjalankan pekerjaan tersebut selamanya.
d. Kehilangan salah satu dari panca indera. Jika trauma menimbulkan
kebutaan satu mata atau kehilangan pendengaran satu telinga, tidak dapat
digolongkan kehilangan indera. Meskipun demikian tetap digolongkan
sebagai luka berat berdasarkan butir (a) di atas.
e. Cacat besar atau kudung.
f. Lumpuh.
g. Gangguan daya pikir lebih dari 4 minggu lamanya. Gangguan daya pikir
tidak harus berupa kehilangan kesadaran tetapi dapat juga berupa amnesia,
disorientasi, anxietas, depresi atau gangguan jiwa lainnya.
h. Keguguran atau kematian janin seorang perempuan. Yang dimaksud
dengan keguguran ialah keluarnya janin sebelum masa waktunya, yaitu
tidak didahului oleh proses sebagaimana umumnya terjadi seorang wanita
ketika melahirkan. Sedang, kematian janin mengandung pengertian bahwa
janin tidak lagi menunjukkan tanda-tanda hidup. tidak dipersoalkan bayi
keluar atau tidak dari perut ibunya.
2.4. Mekanisme luka
Tubuh biasanya mengabsorbsi kekuatan baik dari elastisitas jaringan
atau kekuatan rangka. Intensitas tekanan mengikuti hukum fisika. Hukum fisika
yang terkenal dimana kekuatan = masa x kecepatan. Sebagai contoh, 1 kg batu
bata ditekankan ke kepala tidak akan menyebabkan luka, namun batu bata yang
sama dilemparkan ke kepala dengan kecepatan 10 m/s menyebabkan perlukaan.
20

Faktor lain yang penting adalah daerah yang mendapatkan kekuatan. Kekuatan
dari masa dan kecepatan yang sama yang terjadi pada daerah yang lebih
kecil menyebabkan pukulan yang lebih besar pada jaringan. Pada luka tusuk,
semua energi kinetik terkonsentrasi pada ujung pisau sehingga terjadi perlukaaan,
sementara dengan energi yang sama pada pukulan oleh karena tongkat pemukul
kriket mungkin bahkan tidak menimbulkan memar. Efek dari kekuatan mekanis
yang berlebih pada jaringan tubuh dan menyebabkan penekanan, penarikan,
perputaran, luka iris. Kerusakan yang terjadi tergantung tidak hanya pada jenis
penyebab mekanisnya tetapi juga target jaringannya. Contohnya,kekerasan
penekanan pada ledakan mungkin hanya sedikit perlukaan pada otot namun dapat
menyebabkan ruptur paru atau intestinal, sementara pada torsi mungkin tidak
memberikan efek pada jaringan adiposa namun menyebabkan fraktur spiral pada
femur. (Dahlan, Sofwan.2004).
Pada luka tembak terjadi efek perlambatan yang disebabkan pada trauma
mekanik seperti pukulan, tusukan, atau tendangan, hal ini terjadi akibat adanya
transfer energi dari luar menuju jaringan. Kerusakan yang terjadi pada jaringan
tergantung pada absorpsi energi kinetiknya, yang juga akan menghamburkaan
panas, suara serta gangguan mekanik lainnya. Energi kinetik ini akan
mengakibatkan daya dorong peluru ke suatu jaringan sehingga terjadi laserasi,
kerusakan terjadi bila terdapat ruptur pembuluh darah atau struktur lainnya dan
terjadi luka yang sedikit lebih besar dari diameter peluru. (Dahlan, Sofwan.2004).
Jika kecepatan melebihi kecepatan udara, lintasan peluru yang menembus
jaringan akan terjadi gelombang tekanan yang mengkompresi jika terjadi pada
jaringan seperti otak, hati ataupun otot akan mengakibatkan kerusakan dengan
adanya zona-zona disekitar luka. Dengan adanya lesatan peluru dengan kecepatan
tinggi akan membentuk rongga disebabkan gerakan sentrifugal pada peluru
sampai keluar dari jaringan dan diameter rongga ini lebih besar dari diameter
peluru, dan rongga ini akan mengecil sesaat setelah peluru berhenti, dengan
ukuran luka tetap sama. Organ dengan konsistensi yang padat tingkat kerusakan

21

lebih tinggi daripada organ berongga. Efek luka juga berhubungan dengan gaya
gravitasi. (Dahlan, Sofwan.2004).

2.5. Waktu Terjadinya Luka


Waktu terjadinya kekerasan merupakan hal yang sangat penting bagi
keperluan penuntutan oleh penuntut umum, pembelaan oleh penasehat hukum
terdakwa serta untuk penentuan keputusan oleh hakim. Dalam banyak kasus
informasi tentang waktu terjadinya kekerasan akan dapat digunakan sebagai bahan
analisa guna mengungkapkan banyak hal, terutama yang berkaitan dengan alibi
seseorang. Masalahnya ialah, tidak seharusnya seseorang dituduh atau dihukum
jika pada saat terjadinya tindak pidana ia berada di tempat yang jauh dari tempat
kejadian perkara. Dengan melakukan pemeriksaan yang teliti akan dapat
ditentukan : luka terjadi ante mortem atau post mortem dan umur luka. (Basbeth
Ferryal. 2005; Dahlan, Sofwan.2004).
Luka ante mortem atau post mortem
Jika pada tubuh jenazah ditemukan luka maka yang harus dicari ialah luka
itu terjadi sebelum atau sesudah mati. Untuk membedakan apakah luka tersebut
sebelum atau sesudah mati dengan mencari tanda tanda intravital. Umumnya
tanda intravital merupakan tanda yang menunjukkan bahwa : (Dahlan,
Sofwan.2004)
1. Jaringan setempat masih hidup ketika terjadi trauma. Tanda-tanda bahwa
jaringan yang terkena trauma masih dalam keadaan hidup ketika terjadi trauma
antara lain :
a. Retraksi jaringan. Terjadi karena serabut-serabut elastis di bawah kulit
terpotong dan kemudian mengkerut sambil menarik kulit di atasnya. Jika arah
luka memotong serabut secara tegak lurus maka bentuk luka akan menganga,
tetapi jika arah luka sejajar dengan serabut elastis maka bentuk luka tidak
begitu menganga.
b. Retraksi vaskuler. Pada trauma benda keras dan tumpul, bentuk intravital
berupa : Kontusio atau memar.
22

c. Retraksi mikroorganisme (infeksi). Jika tubuh dari orang masih hidup


mendapat trauma maka pada daerah tersebut akan terjadi aktivitas biokimiawi
berupa :
Kenaikan kadar serotinin (kadar maksimal terjadi 10 menit sesudah
trauma).
Kenaikan kadar histamine (kadar maksimal terjadi 20-30 menit sesudah
trauma).
Kenaikan kadar enzime ( ATP, aminopeptidase, acid-phosphatase dan
alkali-phosphatase ) yang terjadi beberapa jam sesudah trauma sebagai
akibat dari mekanisme pertahanan jaringan.
2. Organ dalam masih berfungsi saat terjadi trauma.
Jika organ dalam (jantung atau paru) masih dalam keadaan berfungsi ketika terjadi
trauma maka tanda-tandanya antara lain :
a. Perdarahan hebat (profuse bleeding)
b. Emboli udara.
c. Emboli lemak.
d. Pneumothorax
e. Emfisema kulit krepitasi
2.6. Umur Luka
Untuk mengetahui kapan terjadi kekerasan, perlu diketahui umur luka.
Tidak ada satupun metode yang digunakan untuk menilai dengan tepat kapan
suatu kekerasan (baik pada korban hidup atau mati) dilakukan mengingat adanya
faktor individual, penyulit (misalnya infeksi, kelainan darah, atau penyakit
defisiensi). Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menentukan umur
luka, yaitu dengan melakukan : (Dahlan, Sofwan.2004)
1. Pemeriksaan Makroskopik.
2. Pemeriksaan mikroskopik
3. Pemeriksaan histokemik
4. Pemeriksaan biokemik

23

a. Luka lecet:

Hari ke 1 3 : warna coklat kemerahan

Hari ke 4 6 : warna pelan-pelan menjadi gelap dan lebih suram

Hari ke 7 14 : pembentukan epidermis baru

Beberapa minggu : terjadi penyembuhan lengkap

b. luka memar :

Hari ke 1 : terjadi pembengkakan warna merah kebiruan

Hari ke 2 3 : warna biru kehitaman

Hari ke 4 6 : biru kehijauancoklat

> 1 minggu-4 minggu : menghilang / sembuh

2.7. Perdarahan
Perdarahan dapat muncul setelah terjadi kontusio, laserasi, fraktur, dan
kompresi. Kehilangan 1/10 volume darah tidak menyebabkan gangguan yang
bermakna. Kehilangan 1/4 volume darah dapat menyebabkan pingsan meskipun
dalam kondisi berbaring. Kehilangan 1/2 volume darah dan mendadak dapat
menyebabkan syok yang berakhir pada kematian. Kecepatan perdarahan yang
terjadi tergantung pada ukuran dari pembuluh darah yang terpotong dan jenis
perlukaan yang mengakibatkan terjadinya perdarahan. Pada arteri besar yang
terpotong, akan terjadi perdarahan banyak yang sulit dikontrol oleh tubuh sendiri.
Apabila luka pada arteri besar berupa sayatan, seperti luka yang disebabkan oleh
pisau, perdarahan akan berlangsung lambat dan mungkin intermiten. Luka pada
arteri besar yang disebabkan oleh tembakan akan mengakibatkan luka yang sulit
untuk dihentikan oleh mekanisme penghentian darah dari dinding pembuluh darah
sendiri. Hal ini sesuai dengan prinsip yang telah diketahui, yaitu perdarahan yang
berasal dari arteri lebih berisiko dibandingkan perdarahan yang berasal dari vena.
(Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004; Dahlan, Sofwan.2004).
Hipertensi dapat menyebabkan perdarahan yang banyak dan cepat apabila
terjadi perlukaan pada arteri. Adanya gangguan pembekuan darah juga dapat
24

menyebabkan perdarahan yang lama. Kondisi ini terdapat pada orang-orang


dengan penyakit hemofili dan gangguan pembekuan darah, serta orang-orang
yang mendapat terapi antikoagulan. Pecandu alkohol biasanya tidak memiliki
mekanisme pembekuan darah yang normal, sehingga cenderung memiliki
perdarahan yang berisiko. Investigasi terhadap kematian yang diakibatkan oleh
perdarahan memerlukan pemeriksaan lengkap seluruh tubuh untuk mencari
penyakit atau kondisi lain yang turut berperan dalam menciptakan atau
memperberat situasi perdarahan. (Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004)
2.8. Traumatologi Forensik
Pembagian ada 3, yaitu : (Dahlan, Sofwan.2004)
1. Luka karena kekerasan mekanik (benda tajam, tumpul, dan senjata api).
2. Luka karena kekerasan fisik (arus listrik, petir, suhu).
3. Luka karena kekerasan kimiawi (asam, basa, logam berat)
2.8.1. Trauma Mekanik
Ada 4 penyebab mekanik terjadinya trauma, yaitu : (Dahlan, Sofwan.2004)
LUKA BENDA TUMPUL (blunt force injury)
1. Abrasi (luka lecet)
Abrasi adalah suatu kerusakan yang mengenai lapisan atas dari epidermis
akibat kekerasan dengan benda yang mempunyai permukaan yang kasar sehingga
epidermis menjadi tipis, sebagian atau seluruh lapisan nya hilang. Perdarahan
sedikit oleh karena pembuluh darah besar tidak kena, bila seluruh epidermis kena
akan merupakan Port De Entre ( tempat masuknya kuman) . Dasar luka tampak
adanya serum dan Lymphosit. (Hoediyanto, Hariadi A. 2012)
Ciri ciri luka lecet : (Hoediyanto, Hariadi A. 2012)
a. Sebagian atau seluruh epitel hilang
b. Kemudian permukaan tertutup oleh eksudasi yang akan mengering
(krusta).
c. Timbul reaksi radang berupa penimbunan sel-sel PMN
d.

Biasanya tidak meninggalkan jaringan parut.

25

Gambar 1. Perbedaan jenis trauma (Budiyanto, Arif.1997)

Gambar 2. Pengaruh sudut datang trauma (Budiyanto, Arif.1997)


2. Laserasi (Luka robek, retak, koyak)
Laserasi disebabkan oleh benda yang permukaannya runcing tetapi tidak
begitu tajam sehingga merobek kulit dan jaringan bawah kulit dan menyebabkan
kerusakan jaringan kulit dan bawah kulit. Tepi dari laserasi ireguler dan kasar,
disekitarnya terdapat luka lecet yang diakibatkan oleh bagian yang lebih rata dari
benda tersebut yang mengalami indentasi. (Hoediyanto, Hariadi A. 2012)

26

Pada beberapa kasus, robeknya kulit atau membran mukosa dan jaringan
dibawahnya tidak sempurna dan terdapat jembatan jaringan. Jembatan jaringan,
tepi luka yang ireguler, kasar dan luka lecet membedakan laserasi dengan luka
oleh benda tajam seperti pisau. Tepi dari laserasi dapat menunjukkan arah
terjadinya kekerasan. Tepi yang paling rusak dan tepi laserasi yang landai
menunjukkan arah awal kekerasan. Sisi laserasi yang terdapat memar juga
menunjukkan arah awal kekerasan. (Hoediyanto, Hariadi A. 2012).
Luka robek : mekanisme terjadinya sama pada kulit lecet, hanya daya tekan dan
gesek lebih kuat serta benda lebih besar sehingga jaringan yang terputus adalah
kulit dan otot. Banyak terjadi pada luka lalu lintas. (Hoediyanto, Hariadi A. 2012)

3. Kontusio (luka memar)


Kontusio atau luka memar, terjadi karena tekanan yang besar dalam waktu yang
singkat. Penekanan ini menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil dan
dapat menimbulkan perdarahan pada jaringan bawah kulit atau organ dibawahnya.
Luka memar dibedakan dari lebam mayat:
a. Lokasi luka memar di sembarang tempat, sedangkan lebem mayat
dibagian tubuh terendah
b. Luka memar disertai dengan pembengkakan dan tanda-tanda intravital.
c. Bila ditekan atau diiris warna luka memar tidak akan hilang, pada lebam
mayat warna menghilang dan jika diiris keluar darah. (Hoediyanto,
Hariadi A. 2012).
Umur luka memar :
a. Mula-mula hanya timbul pembengkakan.
b. Kemudian berwarna merah kebiruan.
c. Pada hari ke-1 sampai ke-3 warna menjadi biru kehitaman.
d. Kemudian warna menjadi biru kehijauan , berikutnya coklat dan akhirnya
menghilang 1-4 minggu.
Kontusio pada organ dan jaringan dalam

27

Semua organ dapat terjadi kontusio. Kontusio pada tiap organ memiliki
karakteristik yang berbeda. Pada organ vital seperti jantung dan otak jika terjadi
kontusio dapat menyebabkan kelainan fungsi dan bahkan kematian. Kontusio
pada otak, dengan perdarahan pada otak, dapat menyebabkan terjadi peradangan
dengan akumulasi bertahap produk asam yang dapat menyebabkan reaksi
peradangan bertambah hebat. Peradangan ini dapat menyebabkan penurunan
kesadaran, koma dan kematian. Kontusio dan peradangan yang kecil pada otak
dapat menyebabkan gangguan fungsi organ lain yang luas dan kematian jika
terkena pada bagian vital yang mengontrol pernapasan dan peredaran darah.
(Dahlan, Sofwan.2004).
Jantung juga sangat rentan jika terjadi kontusio. Kontusio ringan dan sempit
pada daerah yang bertanggungjawab pada inisiasi dan hantaran impuls dapat
menyebabkan gangguan pada irama jantung atau henti jantung. Kontusio luas
yang mengenai kerja otot jantung dapat menghambat pengosongan jantung dan
menyebabkan gagal jantung. Kontusio pada organ lain dapat menyebabkan ruptur
organ yang menyebabkan perdarahan pada rongga tubuh. (Sjamsuhidajat, Wim de
Jong. 2004).
4. Fraktur
Fraktur adalah suatu diskontinuitas tulang. Istilah fraktur pada bedah hanya
memiliki sedikit makna pada ilmu forensik. Pada bedah, fraktur dibagi menjadi
fraktur sederhana dan komplit atau terbuka. (Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004).
Terjadinya fraktur selain disebabkan suatu trauma juga dipengaruhi
beberapa faktor seperti komposisi tulang tersebut. Anak-anak tulangnya masih
lunak, sehingga apabila terjadi trauma khususnya pada tulang tengkorak dapat
menyebabkan kerusakan otak yang hebat tanpa menyebabkan fraktur tulang
tengkorak. Wanita usia tua sering kali telah mengalami osteoporosis, dimana dapat
terjadi fraktur pada trauma yang ringan. (Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004).
Fraktur mempunyai makna pada pemeriksaan forensik. Bentuk dari fraktur
dapat menggambarkan benda penyebabnya (khususnya fraktur tulang tengkorak),
arah kekerasan. Fraktur yang terjadi pada tulang yang sedang mengalami
28

penyembuhan berbeda dengan fraktur biasanya. Jangka waktu penyembuhan


tulang berbeda-beda setiap orang. Dari penampang makros dapat dibedakan
menjadi fraktur yang baru, sedang dalam penyembuhan, sebagian telah sembuh,
dan telah sembuh sempurna. Secara radiologis dapat dibedakan berdasarkan
akumulasi kalsium pada kalus. Mikroskopis dapat dibedakan daerah yang fraktur
dan daerah penyembuhan. Penggabungan dari metode diatas menjadikan akurasi
yang cukup tinggi. Daerah fraktur yang sudah sembuh tidaklah dapat menjadi
seperti tulang aslinya. (Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004).
5.Cedera Kepala
Jaringan otak dilindungi oleh 3 lapisan jaringan. Lapisan paling luar disebut
duramater, atau sering dikenal sebagai dura. Lapisan ini tebal dan lebih dekat
berhubungan dengan tengkorak kepala dibandingakan otak. Antara tengkorak dan
dura terdapat ruang yang disebut ruang epidural atau ekstradural. Ruang ini
penting dalam bidang forensik. (Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004).
Lapisan yang melekat langsung ke otak disebut piamater. Lapisan ini sangat
rapuh, melekat pada otak dan meluas masuk ke dalam sulkus-sulkus otak. Lapisan
ini tidak terlalu penting dalam bidang forensik. (Sjamsuhidajat, Wim de Jong.
2004).
Lapisan berikutnya yang terletak antara duramater dan piamater disebut
arakhnoid. Ruang yang dibentuk antara lapisan duramater dan arakhnoid ini
disebut ruang subdural. Kedalaman ruang ini bervariasi di beberapa tempat. Perlu
diingat, cairan otak terdapat pada ruang subarakhnoid, bukan di ruang subdural. .
(Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004).
Perdarahan kepala dapat terjadi pada ketiga ruang yaitu ruang epidural,
subdural atau ruang subarakhnoid, atau pada otak itu sendiri. (Sjamsuhidajat, Wim
de Jong. 2004).

a. Perdarahan Epidural (Hematoma)


29

Perdarahan jenis ini berhubungan erat dengan fraktur pada tulang tengkorak.
Apabila fraktur mengenai jalinan pembuluh darah kecil yang dekat dengan bagian
dalam tengkorak, umumnya arteri meningea media, dapat menyebabkan arteri
terkoyak dan terjadi perdarahan yang cepat. Kumpulan darah akhirnya mendorong
lapisan dura menjauh dari tengkorak dan ruang epidural menjadi lebih luas.
Akibat dari lapisan dura yang terdorong ke dalam, otak mendapatkan kompresi
atau tekanan yang akhirnya menimbulkan gejala-gejala seperti nyeri kepala,
penurunan kesadaran bertahap mulai dari letargi, stupor dan akhirnya koma.
Kematian akan terjadi bila tidak dilakukan terapi dekompresi segera. Waktu antara
timbulnya cedera kepala sampai munculnya gejala-gejala yang diakibatkan
perdarahan epidural disebut sebagai lucid interval (Sjamsuhidajat, Wim de Jong.
2004).

b. Perdarahan Subdural (Hematoma)


Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.
Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki
ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea
sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam
bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya venavena penghubung. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan
beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang
menunjukkan lokasi gumpalan darah. (Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004)
Tidak semua perdarahan epidural atau subdural bersifat letal. Pada beberapa
kasus, perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang dapat menyebabkan
kompresi pada otak, sehingga hanya menimbulkan gejala-gejala yang ringan.
Pada beberapa kasus yang lain, memerlukan tindakan operatif

segera untuk

dekompresi otak. (Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004).


Penyembuhan pada perdarahan subdural dimulai dengan terjadinya
pembekuan pada perdarahan. Pembentukan skar dimulai dari sisi dura dan secara
bertahap meluas ke seluruh permukaan bekuan. Pada waktu yang bersamaan,
30

darah mengalami degradasi. Hasil akhir dari penyembuhan tersebut adalah


terbentuknya jaringan skar yang lunak dan tipis. Sering kali, pembuluh darah
besar menetap pada skar, sehingga membuat skar tersebut rentan terhadap
perlukaan berikutnya yang dapat menimbulkan perdarahan kembali. Waktu yang
diperlukan untuk penyembuhan pada perdarahan subdural ini bervariasi antar
individu, tergantung pada kemampuan reparasi tubuh setiap individu sendiri.
(Hoediyanto, Hariadi A. 2012).
Hampir semua kasus perdarahan subdural berhubungan dengan trauma,
meskipun dapat tidak berhubungan dengan trauma. Perdarahan ini dapat terjadi
pada orang-orang dengan gangguan mekanisme pembekuan darah atau pada
pecandu alcohol kronik, meskipun tidak menyebabkan perdarahan yang besar dan
berbahaya. Pada kasus-kasus perdarahan subdural akibat trauma, dapat timbul
perdarahan kecil yang tidak berisiko apabila terjadi pada orang normal. Akan
tetapi, pada orang-orang yang memiliki gangguan pada mekanisme pembekuan
darah, dapat bersifat fatal. (Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004).
Adakalanya juga perdarahan subdural terjadi akibat perluasan dari
perdarahan di tempat lain. Salah satu contohnya adalah perdarahan intraserebral
yang keluar dari substansi otak melewati piamater, kemudian masuk dan
menembus lapisan arakhnoid dan mencapai ruang subdural. (Sjamsuhidajat, Wim
de Jong. 2004).
c. Perdarahan Subarakhnoid
Penyebab perdarahan subarakhnoid yang tersering ada 5, dan terbagi
menjadi 2 kelompok besar, yaitu yang disebabkan trauma dan yang tidak
berhubungan dengan trauma. Penyebabnya antara lain:

Nontraumatik:
Ruptur aneurisma pada arteri yang memperdarahi otak
Perdarahan intraserebral akibat stroke yang memasuki subarakhnoid

Traumatik:

31

Trauma langsung pada daerah fokal otak yang akhirnya menyebabkan


perdarahan subarakhnoid
Trauma pada wajah atau leher dengan fraktur pada tulang servikal yang
menyebabkan robeknya arteri vertebralis
Robeknya salah satu arteri berdinding tipis pada dasar otak yang
diakibatkan gerakan hiperekstensi yang tiba-tiba dari kepala.
Arteri yang lemah dan membengkak seperti pada aneurisma, sangat rapuh
dindingnya dibandingkan arteri yang normal. Akibatnya, trauma yang ringan pun
dapat menyebabkan ruptur pada aneurisma yang mengakibatkan banjirnya ruang
subarakhnoid dengan darah dan akhirnya menimbulkan disfungsi yang serius atau
bahkan kematian. (Hoediyanto, Hariadi A. 2012).
Yang menjadi teka-teki pada bagian forensik adalah, apakah trauma yang
menyebabkan ruptur pada aneurisma yang sudah ada, atau seseorang mengalami
nyeri kepala lebih dahulu akibat mulai pecahnya aneurisma yang menyebabkan
gangguan tingkah laku berupa perilaku mudah berkelahi yang berujung pada
trauma. Contoh yang lain, apakah seseorang yang jatuh dari ketinggian tertentu
menyebabkan ruptur aneurisma, atau seseorang tersebut mengalami ruptur
aneurisma terlebih dahulu yang menyebabkan perdarahan subarakhnoid dan
akhirnya kehilangan kesadaran dan terjatuh. Pada beberapa kasus, investigasi
yang teliti disertai dengan otopsi yang cermat dapat memecahkan teka-teki
tersebut. (Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004).
Perdarahan subarakhnoid ringan yang terlokalisir dihasilkan dari tekanan
terhadap kepala yang disertai goncangan pada otak dan penutupnya yang ada di
dalam tengkorak. Tekanan dan goncangan ini menyebabkan robeknya pembuluhpembuluh darah kecil pada lapisan subarakhnoid, dan umumnya bukan
merupakan perdarahan yang berat. Apabila tidak ditemukan faktor pemberat lain
seperti kemampuan pembekuan darah yang buruk, perdarahan ini dapat
menceritakan atau mengungkapkan tekanan trauma yang terjadi pada kepala.
(Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004).
Jarang sekali, tamparan pada pada sisi samping kepala dan leher dapat
mengakibatkan fraktur pada prosesus lateralis salah satu tulang cervical superior.
32

Karena arteri vertebralis melewati bagian atas prosesus lateralis dari vertebra di
daerah leher, maka fraktur pada daerah tersebut dapat menyebabkan robeknya
arteri yang menimbulkan perdarahan masif yang biasanya menembus sampai
lapisan subarakhnoid pada bagian atas tulang belakang dan akhirnya terjadi
penggenangan pada ruang subarakhnoid oleh darah. Aliran darah ke atas
meningkat dan perdarahan meluas sampai ke dasar otak dan sisi lateral hemisfer
serebri. Pada beberapa kasus, kondisi ini sulit dibedakan dengan perdarahan
nontraumatikyang mungkin disebabkan oleh ruptur aneurisma. (Sjamsuhidajat,
Wim de Jong. 2004).
Tipe perdarahan subarakhnoid traumatic yang akan dibicarakan kali ini
merupakan tipe perdarahan yang masif. Perdarahan ini melibatkan dasar otak dan
meluas hingga ke sisi lateral otak sehingga serupa dengan perdarahan yang
berhubungan dengan aneurisma pada arteri besar yang terdapat di dasar otak.
Akan tetapi, pada pemeriksaan yang cermat dan teliti, tidak ditemukan adanya
aneurisma, sedangkan arteri vertebralis tetap intak. Penyebab terjadinya
perdarahan diduga akibat pecahnya pembuluh darah berdinding tipis pada bagian
bawah otak, serta tidak terdapat aneurisma. Terdapat 2 bukti, meskipun tidak
selalu ada, yang bisa mendukung dugaan apakah kejadian ini murni dimulai oleh
trauma terlebih dahulu. Bukti pertama yaitu adanya riwayat gerakan hiperekstensi
tiba-tiba pada daerah kepala dan leher, yang nantinya dapat menyebabkan kolaps
dan bahkan kematian. (Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004).
6. Kontusio otak
Hampir seluruh kontusio otak superfisial, hanya mengenai daerah abu-abu.
Beberapa dapat lebih dalam, mengenai daerah putih otak. Kontusio pada bagian
superfisial atau daerah abu-abu sangat penting dalam ilmu forensik. Rupturnya
pembuluh darah dengan terhambatnya aliran darah menuju otak menyebabkan
adanya pembengkakan dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lingkaran
kekerasan dapat terbentuk apabila kontusio yang terbentuk cukup besar, edema
otak dapat menghambat sirkulasi darah yang menyebabkan kematian otak, koma,
dan kematian total. Poin kedua terpenting dalam hal medikolegal adalah
33

penyembuhan kontusio tersebut yang dapat menyebabkan jaringan parut yang


akan menyebabkan adanya fokus epilepsi. (Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004).
Yang harus dipertimbangan adalah lokasi kontusio tipe superfisial yang
berhubungan dengan arah kekerasan yang terjadi. Hal ini bermakna jika pola luka
ditemukan dalam pemeriksaan kepala dan komponen yang terkena pada trauma
sepeti pada kulit kepala, kranium, dan otak. Ketika bagian kepala terkena benda
yang keras dan berat seperti palu atau botol bir, hasilnya dapat berupa, kurang
lebihnya, yaitu abrasi, kontusio, dan laserasi dari kulit kepala. Kranium dapat
patah atau tidak. Jika jaringan dibawahnya terkena, hal ini disebut coup. Hal ini
terjadi saat kepala relatif tidak bergerak. (Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004).
Kita juga harus mempertimbangkan situasi lainnya dimana kepala yang
bergerak mengenai benda yang padat dan diam. Pada keadaan ini kerusakan pada
kulit kepala dan pada kranium dapat serupa dengan apa yang ditemukan pada
benda yang bergerak-kepala yang diam. Namun, kontusio yang terjadi, bukan
pada tempat trauma melainkan pada sisi yang berlawanan. Hal ini disebut
kontusio contra-coup. (Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004)
Pemeriksaan kepala penting untuk mengetahui pola trauma. Karena foto
dari semua komponen trauma kepala dari berbagai tipe kadang tidak tepat sesuai
dengan demontrasi yang ada., diagram dapat menjelaskan hubungan trauma yang
terjadi. Kadang-kadang dapat terjadi hal yang membingungkan, dapat saja kepala
yang diam dan terkena benda yang bergerak pada akhirnya akan jatuh atau
mengenai benda keras lainnya, sehingga gambaran yang ada akan tercampur,
membingungkan, yang tidak memerlukan penjelasan mendetail. (Sjamsuhidajat,
Wim de Jong. 2004).
Tipe lain kontusio adalah penetrasi yang lebih dalam, biasanya mengenai
daerah putih atau abu-abu, diliputi oleh lapisan normal otak, dengan perdarahan
kecil atau besar. Perdarahan kecil dinamakan ball hemorrhages sesuai dengan
bentuknya yang bulat. Hal tersebut dapat serupa dengan perdarahan fokal yang
disebabkan hipertensi. Perdarahan yang lebih besar dan dalam biasanya berbentuk
ireguler dan hampir serupa dengan perdarahan apopletik atau stroke. Anamnesis
yang cukup mengenai keadaan saat kematian, ada atau tiadanya tanda trauma
34

kepala, serta adanya penyakit penyerta dapat membedakan trauma dengan kasus
lain yang menyebabkan perdarahan. (Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004).
Perdarahan intraserebral tipe apopletik tidak berhubungan dengan trauma
biasanya melibatkan daerah dengan perdarahan yang dalam. Tempat predileksinya
adalah ganglia basal, pons, dan serebelum.

Perdahan tersebut berhubungan

dengan malformasi arteri vena. Biasanya mengenai orang yang lebih muda dan
tidak mempunyai riwayat hipertensi. (Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004).
Edema paru tipe neurogenik biasanya menyertai trauma kepala. Manifestasi
eksternal yang dapat ditemui adalah foam cone busa berwarna putih atau merah
muda pada mulut dan hidung. Hal tersebut dapat ditemui pada kematian akibat
tenggelam, overdosis, penyakit jantung yang didahului dekompensasio kordis.
Keberadaan

gelembung

tidak

membuktikan

adanya

trauma

kepala.

(Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004).


Hasil otopsi Luka Tumpul
Ada 9 hal yang penting kita periksa, catat & laporkan pada kasus trauma
(kecederaan), yaitu : (Hoediyanto, Hariadi A. 2012)
1) Memotret korban.
2) Menghitung jumlah luka.
3) Menentukan lokasi luka.
4) Mengukur luka.
5) Menentukan sifat / ciri-ciri luka.
6) Mencari benda asing : pecahan kaca, ujung pisau yang patah.
7) Menentukan intravitalitas luka.
8) Memperkirakan luka sebagai penyebab kematian korban atau bukan.
9) Memperkirakan cara terjadinya luka apakah kasus pembunuhan, bunuh diri,
atau kecelakaan.
Lokasi luka kita tentukan berdasarkan garis aksis dan garis ordinat. Garis
aksis adalah garis hayal yang mendatar melalui umbilikus atau papilla mammae
atau ujung skapula. Garis ordinat adalah garis hayal yang melalui sternum atau
vertebra. (Hoediyanto, Hariadi A. 2012).
35

Ukuran luka kita tentukan dengan mengukur panjang luka dan kedalaman
luka. Sebelum panjang luka kita ukur, kita harus merapatkan luka korban terlebih
dahulu. Kita harus menyebutkan alat tubuh apa saja yang dilalui luka tersebut saat
kita melakukan pengukuran kedalaman luka korban. Misalnya luka mengenai
kulit dinding perut, otot perut dan jaringan hati sejauh 5 cm.
Ada 5 hal yang penting kita periksa untuk menggambarkan sifat-sifat atau
ciri-ciri luka si korban, yaitu : (Hoediyanto, Hariadi A. 2012)
1) Sudut luka, tepi luka dan dasar luka.
2) Ada tidaknya jembatan jaringan.
3) Terpotong tidaknya rambut pada luka korban.
4) Ada tidaknya memar atau lecet di sekitar luka.
5) Ada tidaknya sesuatu yang keluar dari luka.
Pada kasus trauma pada kepala dapat dilakukan pemeriksaan dalam untuk
mengetahui adanya cedera pada kepala, penutup otak, maupun otaknya. Dari
pemeriksaan dalam ini dapat diketahui juga adanya rupture arteri yang dapat
mengakibatkan perdarahan yang masif dan mengakibatkan syok bahkan kematian.
(Hoediyanto, Hariadi A. 2012).
LUKA BENDA TAJAM
Benda tajam adalah benda yang memiliki sisi tajam, baik berupa garis
maupun runcing. Contoh alat : golok, pisau, keping kaca, gelas, logam, silet,
bayonet dll. Putusnya atau rusaknya continuitas jaringan karena trauma akibat
alat/senjata yang bermata tajam dan atau berujung runcing. Luka akibat benda
tajam pada umumnya mudah dibedakan dari luka yang disebabkan oleh benda
tumpul dan dari luka tembakan senjata api. Pada kematian yang disebabkan oleh
benda tajam, walaupun tetap harus dipikirkan kemungkinan karena suatu
kecelakaan; tetapi pada umumnya karena suatu peristiwa pembunuhan atau
peristiwa bunuh diri. (Hoediyanto, Hariadi A. 2012; Dahlan, Sofwan.2004).
1. Luka iris

36

Luka akibat benda atau alat yang bermata tajam yang terjadi dengan suatu tekanan
dengan tekanan ringan dan goresan pada permukaan tubuh. Ciri khasnya adalah
tepi dan permukaan rata, sudut luka lancip, tidak ada jembatan jaringan, rambut
terpotong, tidak ditemukan luka memar/ lecet disekitarnya , tidak mengenai tulang
dan panjang luka lebih besar dari dalam luka.
Bentuk luka iris :

Bila sejajar arah serat elastis / otot luka berbentuk celah.

Bils tegak lurus arah serat elastis / otot luka berbentuk mengganga.

Bila miring terhadap serat elastis /otot luka berbentuk asimetris.

2. Luka tusuk
Luka tusuk disebabkan oleh benda tajam dengan posisi menusuk atau
korban yang terjatuh di atas benda tajam. Bila pisau yang digunakan bermata satu,
maka salah satu sudut akan tajam, sedangkan sisi lainnya tumpul atau hancur. Jika
pisau bermata dua, maka kedua sudutnya tajam. (Hoediyanto, Hariadi A. 2012).
Penampakan luar luka tusuk tidak sepenuhnya tergantung dari bentuk
senjata. Jaringan elastis dermis, bagian kulit yang lebih dalam, mempunyai efek
yang sesuai dengan bentuk senjata. Harus dipahami bahwa jaringan elastis
terbentuk dari garis lengkung pada seluruh area tubuh. Jika tusukan terjadi tegak
lurus garis tersebut, maka lukanya akan lebar dan pendek. Sedangkan bila tusukan
terjadi paralel dengan garis tersebut, luka yang terjadi sempit dan panjang.
(Dahlan, Sofwan.2004).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi bentuk luka tusuk, salah
satunya adalah reaksi korban saat ditusuk atau saat pisau keluar, hal tersebut dapat
menyebabkan lukanya menjadi tidak begitu khas. Atau manipulasi yang dilakukan
pada saat penusukan juga akan mempengaruhi. (Dahlan, Sofwan.2004).
Selain itu, pada luka tusuk , sudut luka dapat menunjukkan perkiraan
benda penyebabnya, apakah berupa pisau bermata satu atau bermata dua.
Ukuran luka : (Dahlan, Sofwan.2004).
Ukuran dalam luka lebih panjang dibandingkan dengan ukuran lebar luka
37

a. Interpretasi hubungan antara bentuk luka dan pisau harus berhati


hati
b. Banyak terjadi oleh karena pembunuhan

Gambar 3. Pola luka tusuk (Budiyanto, Arif.1997)

Gambar 4. Hubungan bentuk luka dengan bentuk pisau (Budiyanto, Arif.1997)

Gambar 5. Hubungan panjang pisau dengan dalam luka (Budiyanto,


Arif.1997)

38

3. Luka Bacok
Luka bacok dihasilkan dari gerakkan merobek atau membacok dengan
menggunakan instrument yang sedikit tajam dan relatif berat seperti kapak, kapak
kecil, atau parang. Terkadang bayonet dan pisau besar juga digunakan untuk
tujuan ini. Luka alami yang disebabkan oleh senjata jenis tersebut bervariasi
tergantung pada ketajaman dan berat senjata. Makin tajam instrument makin tajam
pula tepi luka. Sebagaimana luka lecet yang dibuat oleh instrument tajam yang
lebih kecil, penipisan terjadi pada tempat dimana bacokan dibuat. Abrasi lanjutan
dapat ditemukan pada jenis luka tersebut pada sisi diseberang tempat penipisan,
yang disebabkan oleh hapusan bilah yang pipih. Pada instrumen pembacok yang
diarahkan pada kepala, sudut besatan bilah terkadang dapat dinilai dari bentuk
patahan tulang tengkorak. Sisi pipih bilah bisa meninggalkan cekungan pada salah
satu sisi patahan, sementara sisi yang lain dapat tajam atau menipis. (Hoediyanto,
Hariadi A. 2012).

Gambar 6. Pola luka tajam pada bunuh diri (Budiyanto, Arif.1997)


4. Luka Tembak
Klasifikasi Luka Tembak
Dalam balistik luka tembak diklasifikasikan menjadi:
a. Luka tembak masuk
1. Luka tembak tempel (kontak)

39

Pada umumnya luka tembak masuk kontak adalah merupakan perbuatan bunuh
diri. Sasarannya: (Hoediyanto, Hariadi A. 2012)

Daerah temporal

Dahi sampai occiput

Dalam mulut, telinga, wajah dibawah dagu dengan arah yang menuju otak.

Luka pada kulit tidak bulat, tetapi berbentuk bintang dan sering ditemukan
cetakan/jejas ujung laras daun mata pejera. Terjadinya luka berbentuk bintang
disebabkan karena ujung laras ditempelkan keras pada kulit, maka seluruh gas
masuk kedalam dan akan keluar melalui lubang anak peluru. Desakan keluar ini
menembakkan cetakan laras dan robeknya kulit. Bila korban menggunakan
senjata api dengan picu, maka picu akan menimbulkan luka lecet pada kulit antara
ibu jari dan jari telunjuk. Luka lecet ini dinamakan schot hand. Pada tepi luka
berwarna pinkish-red karena terbentuknya carboxyhemoglobin akinat gas CO
yang masuk. ( Hoediyanto, Hariadi A. 2012)
1. Luka tembak jarak dekat
Terjadi jarak tembakan mulai jarak kontak longgar hingga jarak kurang dari
60 cm, mempunyai ciri khas yang disebabkan dari efek asap , nyala api,tatooage
dan pada tepi luka terdapat gelang kontusi selebar 1-1,5 mm.( Hoediyanto,
Hariadi A. 2012).

40

Gambar 7. Tembakan jarak sangat dekat dan dekat(Budiyanto, Arif.1997)


3. Luka tembak jarak jauh
Pada luka tembak masuk jarak jauh ini, yang mengenai sasaran hanyalah
anak peluru saja. Sedangkan partikel lainnya tidak didapatkan. Pada luka tembak
jarak jauh ini hanya ditemukan luka bersih dengan contusio ring. Pada arah
tembakan tegak lurus permukaan sasaran (tangensial) bentuk contusio ringnya
konsentris, bundar. Sedangkan pada tembakan miring bentuk contusio ringnya
oval. (Hoediyanto, Hariadi A. 2012).
b. Luka tembak keluar (luka tembus)
luka tembak keluar terjadi sama dengan luka tembak masuk, hanya saja
kekeuatan yang merenggangkan kulit, arahnya dari dalam keluar. Kelainan yang
terjadi disebabkan anak peluru/ gotri saja, sedangkan komponen lain seperti nyala
api asap, mesiu, wad dan card yang menimbulkan kelainan pada luka tembak
masuk tidaklah berperan dalam luka tembak keluar, kecuali tembakan yang
dilepaskan menembus jaringan lunak yang tipis seperti ekstremitas .( Hoediyanto,
Hariadi A. 2012)
Faktor-faktor yang mempengaruhi ialah : ( Hoediyanto, Hariadi A. 2012)

Kecepatan dari anak peluru pada waktu keluar

Luas daerah yang terkena anak peluru waktu keluar.

Deformitas anak peluru

41

Goyangan/ tumbling anak peluru.

Fragmentasi

Ada tidaknya fragmen tulang yang ikut keluar, tulang dibawah kulit
tempat keluar, benda yang tertekan pada kulit tempat keluar.

Gambar 8. Tembakan jarak jauh (Budiyanto, Arif.1997)


Otopsi korban luka tembak. ( Hoediyanto, Hariadi A. 2012)

Luka tembak masuk dilukiskan dalam keadaan aslinya, lebih baik kalau
bisa di potret

Sebelum dibersihkan dilakukan parafin test terutama pada luka tembak


jarak dekat.

Luka tembak karena peluru penabur shotgun harus dipotret.


Luka dibersihkan, dapat dipakai sabun, setelah bersih periksa pada ada
tattoage. Dalam keadaan ini dipotret lagi.

arah tembakan dari luar depan/belakang atau samping dan sudutnya

Sebelum dilakukan pemeriksaan dalam sebaiknya dilakukan X- Foto


dahulu. Saluran, jalannya anak peluru harus ditentukan sebelum organorgan dikeluarkan. Anak peluru yang bersarang dalam tubuh harus
dicari/diambil untuk pemeriksaan balistik

42

Letak luka tembak masuk/keluar diukur dengan mengambil patokan tumit


dan garis tengah tubuh melalui tulang punggung. Ini perlu untuk
memperkirakan arah tembakan dari luar depan/belakang atau samping dan
sudutnya

Pemeriksaan Tambahan ( Hoediyanto, Hariadi A. 2012).


Pemeriksaan dengan Sinar X
X-foto selain untuk mempermudah dan menyingkat waktu bagi pemeriksa
dalam melokalisir dan menemukan anak peluru, juga berguna untuk
menentukan jumlah anak peluru dalam tubuh, evaluasi dari arah dan sudut
tembakan, menentukan jarak tembakan, menilai dalam dari luka dan
menemukan tipe dari senjata, menemukan keterangan yang tidak terduga
seperti adanya 2 jenis anak peluru dalam 1 tubuh (gotri dan anak peluru
tunggal), kemungkinan adanya emboli anak peluru.
Pemeriksaan Kimiawi
Pada black gun powder dapat ditemukan kalium, karbon, nitrit, nitrat,
sulfis, sulfat, karbonat, tiosianat dan tiosulfat. Pada smokeles gun
powder dapat ditemukan nitrit dan selulosa nitrat.residu dari primer yang
modern terdiri dari lead, barium, antimon, dan merkuri. Tidak boleh
dilupakan kemungkinan karat-karat dari laras dapat ikut terbawa anak
peluru ialah timah, antimon, nikel, tembaga, bismut perak dan
thalium.Pemeriksaan atas unsur-unsur tersebut dapat dilakukan terhadap
pakaian dan kulit dengan beberapa aspek lain dapat membantu identifikasi
suatu luka sebagai luka tembak masuk.

Neutron activation analysis

Identifikasi lubang di pakaian


Menentukan jarak tembakan
Menentukan asal anak peluru/gotri dari kadar Pb
Menentukan apakah seseorang telah menembakan suatu senjata
atau tidak dengan deteksi ada tidaknya Pb, Antimony, dan barium

pada tangan
Identifikasi Senjata Api
Syarat mutlak untuk identifikasi senjata api ialah harus ditemukan
anak peluru dan/atau selongsong
43

Identifikasi anak peluru; tahap pertama ialah mencocokkan senjata

api ialah dicurigai dengan anak peluru bukti mengenai :


Kaliber
Jumlah dan arah alur
Pemeriksaan anak peluru
pemeriksaan visual
pencatatan berat dan diameternya
penentuan kaliber
pemeriksaan cacat-cacat/goresan
firing test
2.8.2 TRAUMA FISIK
Ada 3 penyebab fisik terjadinya trauma (kecederaan), yaitu : ( Hoediyanto,
Hariadi A. 2012).
1. Suhu (thermal burn)
a) Benda bersuhu tinggi.
Kekerasan oleh benda bersuhu tinggi akan dapat menimbulkan luka bakar
yang cirinya amat tergantung dari jenis bendanya, ketinggian suhu serta
lamanya kontak dengan kulit. Api, benda padat panas atau membara dapat
mengakibatkan luka bakar derajat I, II, III atau IV. Zat cair panas dapat
mengakibatkan luka bakar tingkat I, II atau III. Gas panas dapat
mengakibatkan luka bakar tingkat I, II, III atau IV. (Hoediyanto, Hariadi A.
2012).

b) Benda bersuhu rendah.


Kekerasan oleh benda bersuhu dingin biasanya dialami oleh bagian tubuh
yang terbuka; seperti misalnya tangan, kaki, telinga atau hidung. Mula-mula
pada daerah tersebut akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah superfisial
sehingga terlihat pucat, selanjutnya akan terjadi paralise dari vasomotor
kontrol yang mengakibatkan daerah tersebut menjadi kemerahan. Pada
keadaan yang berat dapat menjadi gangren. (Hoediyanto, Hariadi A. 2012).
2. Listrik (electrical burn)

44

Sengatan oleh benda bermuatan listrik dapat menimbulkan luka bakar


sebagai akibat berubahnya energi listrik menjadi energi panas. Besarnya
pengaruh listrik pada jaringan tubuh tersebut tergantung dari besarnya
tegangan (voltase), kuatnya arus (ampere), besarnya tahanan (keadaan kulit
kering atau basah), lamanya kontak serta luasnya daerah terkena kontak.
(Hoediyanto, Hariadi A. 2012).
Bentuk luka pada daerah kontak (tempat masuknya arus) berupa
kerusakan lapisan kulit dengan tepi agak menonjol dan disekitarnya terdapat
daerah pucat dikelilingi daerah hiperemis. Sering ditemukan adanya
metalisasi. Pada tempat keluarnya arus dari tubuh juga sering ditemukannya
luka. Bahkan kadang-kadang bagian dari baju atau sepatu yang dilalui oleh
arus listrik ketika meninggalkan tubuh juga ikut terbakar. Tegangan arus
kurang dari 65 voltase biasanya tidak membahayakan, tetapi tegangan antara
65-1000 volt dapat mematikan. Sedangkan kuat arus (ampere) yang dapat
mematikan adalah 100 mA. Kematian tersebut terjadi akibat fibrilasi
ventrikel, kelumpuhan otot pernapasan atau pusat pernapasan. Sedang faktor
yang sering memperngaruhi kefatalan adalah kesadaran seseorang akan
adanya arus listrik pada benda yang dipegangnya. Bagi orang-orang tidak
menyadari adanya arus listrik pada benda yang dipegangnya biasanya
pengaruhnya lebih berat dibanding orang-orang yang pekerjaannya setiap
hari berhubungan dengan listrik. (Hoediyanto, Hariadi A. 2012).
3. Petir (lightning/eliksem)
Petir terjadi karena adanya loncatan arus listrik di awan yang tegangannya
dapat mencapai 10 mega Volt dengan kuat arus sekitar 100.000 A ke tanah. Lukaluka karena sambaran petir pada umumnya merupakan luka-luka gabungan akibat
listrik, panas dan ledakan udara. Luka akibat panas berupa luka bakar dan luka
akibat ledakan udara berupa luka-luka yang mirip dengan akibat persentuhan
dengan benda tumpul. Dapat terjadi kematian akibat efek arus listrik yang
melumpuhkan susunan syaraf pusat, menyebabkan fibrilasi ventrikel. Kematian
juga dapat terjadi karena efek ledakan atau efek dari gas panas yang
45

ditimbulkannya. Pada korban mati sering ditemukan adanya arborescent mark


(percabangan pembuluh darah terlihat seperti percabangan pohon), metalisasi
benda-benda dari logam yang dipakai, magnetisasi benda-benda dari logam yang
dipakai. Pakaian korban terbakar atau robek-robek. (Hoediyanto, Hariadi A.
2012).
2.8.3 TRAUMA KIMIA
Ada 2 penyebab kimia terjadinya trauma (kecederaan), yaitu :
(Hoediyanto, Hariadi A. 2012).
1.Asam
Termasuk zat kimia korosif dari golongan asam antara lain :
-

Asam mineral, antara lain : H2SO4, HCl dan NO3.


Asam organik, antara lain : asam oksalat, asam formiat dan asam

asetat.
Garam mineral, antara lain : AgNO3 dan Zinc Chlorida.
Halogen, antara lain : F, Cl, Ba dan J.

Cara kerja zat kimia korosif dari golongan ini sehingga mengakibatkan luka,
ialah:

Mengekstraksi air dari jaringan.


Mengkoagulasi protein menjadi albuminat.
Mengubah hemoglobin menjadi acid hematin.

Ciri-ciri dari luka yang terjadi akibat zat-zat asam korosif tersebut di atas
ialah:
-

Terlihat kering.
Berwarna coklat kehitaman, kecuali yang disebabkan oleh nitric acid

berwarna kuning kehijauan.


Perabaan keras dan kasar.

2.Basa
Zat-zat kimia korosif yang termasuk golongan basa antara lain : KOH, NaOH,
NH4OH
Cara kerja dari zat-zat tersebut sehingga menimbulkan luka ialah:
46

Mengadakan ikatan dengan protoplasma sehingga membentuk alkaline

albumin dan sabun.


Mengubah hemoglobin menjadi alkaline hematin.

Ciri-ciri luka yang terjadi sebagai akibat persentuhan dengan zat-zat ini :

Terlihat basah dan edematous


Berwarna merah kecoklatan
Perabaan lunak dan licin.
Z at ki mia k or os if ( a s a m ku at da n b as a k ua t ) da pa t

men g ir i t as i t ub uh s ec ar a lo ka l at au s i s t emi k. Ef ek za t ki mia


k or os i f ya n g men gi r i ta s i j ar in ga n tu bu h me n ye b a b k an k er ad an ga n
l ok al da n k er us ak an j ar in ga n. E fe k za t k imi a ko ros if p ad a
s ir ku la s i tu bu h d ap at men ye b a b ka n r ea ks i s is te mik , a nt ar a la in :
p ar al ys is s a lu ra n p er na pa s a n, ke ru s a ka n f un gs i de to ks if ik as i h at i,
g ag al

gi nj a l

ak ut

da n

r ea ks i

pe ra da ng an

pa da

s al ur an

g as tr oi nt es ti n al . Za t k imi a k or os i f ma s u k k e da la m t ub uh d en ga n
b er ba ga i ca ra , an ta ra l ai n : mel a lu i or al , i nh al as i, pa re nt er al da n
s u bk ut an .

47

BAB III
PENUTUP
3.1. Summary
Traumatologi (dari bahasa Yunani Trauma "yang berarti luka" atau luka)
adalah studi tentang luka dan luka yang disebabkan oleh kecelakaan atau
kekerasan kepada seseorang, dan terapi bedah dan perbaikan kerusakan.
Pengertian kualifikasi luka semata-mata pengertian Ilmu Kedokteran
Forensik sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XX
pasal 351 dan 352 serta Bab IX pasal 90.
Berikut ini klasifikasi luka :
1. Luka ringan : luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencahariannya.
2. Luka sedang : luka yang mengakibatkan penyakit atau halangan dalam
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencahariannya untuk sementara
waktu.
3. Luka berat : Luka yang sebagaimana diuraikan di dalam pasal 90 KUHP,
yang terdiri atas:
a) Luka atau penyakit yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan
sempurna. Pengertian tidak akan sembuh dengan sempurna lebih ditujukan
pada fungsinya.
b) Luka yang dapat mendatangkan bahaya maut. Dapat mendatangkan
bahaya maut pengertiannya memiliki potensi untuk menimbulkan
kematian, tetapi sesudah diobati dapat sembuh.
c) Luka yang menimbulkan rintangan tetap dalam menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencahariannya. Luka yang dari sudut medik tidak
membahayakan jiwa, dari sudut hukum dapat dikategorikan sebagai luka
berat.

48

d) Kehilangan salah satu dari panca indera. Jika trauma menimbulkan


kebutaan satu mata atau kehilangan pendengaran satu telinga, tidak dapat
digolongkan kehilangan indera. Meskipun demikian tetap digolongkan
sebagai luka berat berdasarkan butir (a) di atas.
e) Cacat besar atau kudung.
f) Lumpuh.
g) Gangguan daya pikir lebih dari 4 minggu lamanya. Gangguan daya pikir
tidak harus berupa kehilangan kesadaran tetapi dapat juga berupa amnesia,
disorientasi, anxietas, depresi atau gangguan jiwa lainnya.
h) Keguguran atau kematian janin seorang perempuan. Yang dimaksud
dengan keguguran ialah keluarnya janin sebelum masa waktunya, yaitu
tidak didahului oleh proses sebagaimana umumnya terjadi seorang wanita
ketika melahirkan. Sedang, kematian janin mengandung pengertian bahwa
janin tidak lagi menunjukkan tanda-tanda hidup. tidak dipersoalkan bayi
keluar atau tidak dari perut ibunya.
Jenis jenis traumatologi kekerasan
1. Luka karena kekerasan mekanik (benda tajam, tumpul, dan senjata api).
2. Luka karena kekerasan fisik (arus listrik, petir, suhu).
3. Luka karena kekerasan kimiawi (asam, basa, logam berat)
Mekanisme luka
Tubuh biasanya mengabsorbsi kekuatan baik dari elastisitas jaringan
atau kekuatan rangka. Intensitas tekanan mengikuti hukum fisika. Hukum fisika
yang terkenal dimana kekuatan = masa x kecepatan. Faktor lain yang penting
adalah daerah yang mendapatkan kekuatan. Kekuatan dari masa dan kecepatan
yang sama yang terjadi pada daerah yang lebih kecil menyebabkan pukulan
yang lebih besar pada jaringan. Efek dari kekuatan mekanis yang berlebih pada
jaringan tubuh dan menyebabkan penekanan, penarikan, perputaran, luka iris.
Kerusakan yang terjadi tergantung tidak hanya pada jenis penyebab mekanisnya
tetapi juga target jaringannya.

49

Pada luka tembak terjadi efek perlambatan yang disebabkan pada trauma
mekanik seperti pukulan, tusukan, atau tendangan, hal ini terjadi akibat adanya
transfer energi dari luar menuju jaringan. Kerusakan yang terjadi pada jaringan
tergantung pada absorpsi energi kinetiknya, yang juga akan menghamburkaan
panas, suara serta gangguan mekanik lainnya. Energi kinetik ini akan
mengakibatkan daya dorong peluru ke suatu jaringan sehingga terjadi laserasi,
kerusakan terjadi bila terdapat ruptur pembuluh darah atau struktur lainnya dan
terjadi luka yang sedikit lebih besar dari diameter peluru.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hoediyanto, Hariadi. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal, 7 ed. Surabaya: Airlangga University Press, 2012
2. Dahlan, Sofwan. Pembuatan Visum Et Repertum. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro. Semarang : 2003.
3. Dahlan, Sofwan. Traumatologi. 2004 Dalam: Ilmu Kedokteran Forensik..
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.Semarang.2004. Hal 67-91.
4. Budiyanto, Arif. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 1997. Hal 37-54
50

5. Idries, Abdul Mun'im. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik.


Binarupa Aksara: Jakarta 1997. Hal 85-129.
6. Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Volume 1. Jakarta: EGC. 56-75.
7. Basbeth Ferryal. 2005. Perkiraan Saat Kematian dan Aspek
Medikolegalnya. Jakarta: Bagian Forensik dan Medikolegal FKUI.

51

You might also like