You are on page 1of 23

DISFUNGSI AUTONOMIK DAN NEUROPATI PERIFER PADA PENDERITA

SIROSIS HATI
SUHAEMI
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB I
PENDAHULUAN
Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan ikat dan disertai nodul. Gambaran klinis pada sirosis hati
muncul akibat kegagalan hepatoseluler dan terjadinya hipertensi portal. Hipertensi
portal ini disebabkan oleh karena meningkatnya resistensi vaskular hati terhadap aliran
darah portal dan diperberat oleh peningkatan aliran darah portal yang timbul akibat
dilatasi arteri splanknik.
Sirosis hati selalu dihubungkan dengan sirkulasi hiperdinamik yang ditandai
dengan terjadinya vasodilatasi perifer, menurunnya resistensi vaskular sistemik dan
splanknik, dan peningkatan curah jantung. Penyebab dari vasodilatasi sampai saat ini
belum diketahui, tetapi dianggap sebagai ketidakseimbangan antara vasokontriktor
endogen (Angiotensin II, vasopressin, nor epinefrin dan endotelin) dengan vasodilator
(NO dan prostasiklin). Sistem saraf simpatis mempunyai peranan penting dalam
terjadinya perubahan hemodinamik ini.
Penelitian Trevisani dkk, Szalay
melaporkan bahwa disfungsi sistem saraf
autonomik yang terjadi pada sirosis hat i mempunyai peranan penting dalam
patogenese terjadinya sirkulasi hiperdinamik, dan beratnya gangguan hemodinamik
berhubungan dengan beratnya disfungsi autonomik.
Beberapa peneliti mendapatkan adanya hubungan antara disfungsi autonomik
dengan penyakit hati menahun, dimana juga didapatkan disfungsi autonomik baik pada
penyakit hati menahun alkoholik atau non alkoholik. Chaudry dkk melaporkan disfungsi
autonomik yang terjadi pada penderita sirosis hati merupakan bagian dari generalized
sensory-motor polyneuropathy, dimana sebagian besar penderita disfungsi autonomik
juga terbukti memiliki neuropati perifer.
Trevisani dkk melaporkan 30 penderita sirosis hati, 80% menunjukkan adanya
disfungsi autonomik, dimana disfungsi autonomik ini berhubungan dengan beratnya
sirosis hati (berdasarkan kriteria Child-Pugh) dan tidak berhubungan dengan etiologi
penyakit hati. Chaudry dkk melakukan pemeriksaan elektrofisiologi pada penderita
sirosis hati mendapatkan hasil yang sesuai dengan length- dependent axonal
neuropathy atau dying back neuropathy. Neuropati yang terjadi tidak tergantung
pada penyebab penyakit hati, akan tetapi ada hubungan yang bermakna antara
beratnya neuropati terhadap beratnya penyakit hati. Hasil pengamatan ini
menyimpulkan bahwa disfungsi metabolik oleh karena kegagalan hati yang
menyebabkan terjadinya neuropati.
Pada penelitian prosfektif, penderita sirosis hati dengan disfungsi autonomik
mempunyai prognosa yang jelek. Hal ini dapat menjelaskan bahwa meningkatnya
mortalitas penderita sirosis hati oleh karena terjadi kerusakan pada arkus refleks
autonom yang menyebabkan gagalnya merespon kejadian yang menimbulkan stres
seperti: sepsis atau perdarahan.

2003 Digitized by USU digital library

Dari uraian di atas penulis ingin meneliti penderita dengan sirosis hati yang
mengalami kejadian disfungsi autonomik dan neuropati perifer (sensorimotor).

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. SISTEM SARAF AUTONOM


Sistem saraf autonom berhubunga n dengan pengaturan otot jantung, otot polos
pada viseral, dan kelenja r- kelenjar. Sistem saraf autonom membantu mempertahankan
lingkungan dalam yang konstan dari tubuh (homeostasis). Sistem saraf autonom terdiri
dari jaras aferen, eferen dan kumpulan sel saraf pada otak dan medulla spinalis yang
mengatur fungsi sistem. Secara anatomis, sistem saraf autonom dibagi menjadi dua
bagian dimana sebagian besar aktivitas keduanya bekerja secara berlawanan yaitu
sistem saraf simpatis (torakolumbal) dan parasimpatis (kraniosakral).
Sistem saraf autonom juga berhubungan dengan saraf somatik; sebaliknya,
kejadian somatik dapat mempengaruhi fungsi organ autonom. Pada susunan saraf
pusat terdapat beberapa pusat saraf autonom, seperti medulla oblongata terdapat
pengatur pernafasan dan tekanan darah. Hipotalamus dianggap sebagai pusat susunan
saraf autonom. Walaupun demikian masih ada pusat yang lebih tinggi
yang dapat
mempengaruhinya yaitu korpus striatum dan korteks serebrum yang dianggap sebagai
koordinator antara sistem autonom dan somatik.
Organ tubuh umumnya dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis, dan
tonus yang terlihat merupakan hasil perimbangan kedua sistem tersebut. Sistem
parasimpatis bersifat vital bagi tubuh. Sebaliknya mahluk dapat hidup setelah denervasi
saraf simpatis asalkan dilindungi terhadap ancaman dari luar. Bila ada stres, mahluk
yang telah didenervasi parasimpatis tersebut cenderung lebih cepat mati dibanding
dengan mahluk yang sistem simpatisnya utuh.
2.1.1. Neuropati
Secara umum dapat disebutkan bahwa neuropati adalah suatu penyakit dengan
gejala klinik yang timbul karena kelainan saraf perifer, umumnya berupa degenerasi
non inflamasi yang luas dengan gejala yang meliputi kelemahan motorik, gangguan
sensorik, gangguan autonom dan melemahnya refleks tendon. Saraf perifer yang
terkena meliputi semua akar saraf spinalis, sel ganglion radiks dorsalis, semua saraf
perifer dengan semua cabang terminalnya, susunan saraf autonom, dan saraf otak
kecuali saraf optikus dan olfaktorius.
Penyebab
dari
neuropati
sangat
banyak
diantaranya
adalah
proses
inflamasi,kelainan endokrin dan
metabolik, infeksi, disproteinemia, vaskulitis,
defesiensi nutrisi, toksin, obat obatan dan idiopatik. Bentuk kelainan yang dijumpai
dapat berupa degenerasi Walleri, demielinisasi segmental, atau degenerasi aksonal.
Degenerasi fokal selubung mielin disebut demielinisasi segmental. Degenerasi selubung
mielin sebagai akibat dari kelainan pada akson disebut degenerasi Walleri. Pada
degenerasi akson dan Walleri, perbaikannya lambat karena menunggu regenerasi
akson.

2003 Digitized by USU digital library

2.1.2. Neuropati Perifer


Sistem saraf perifer adalah struktur yang berada diluar susunan saraf pusat
yang berupa: saraf motorik, sensorik dan autonomik. Sebagaimana susunan saraf
pusat, fungsi saraf perifer tergantung kepada keutuhan akson dan mielin, kelainan
saraf perifer dapat pada akson (aksonal neuropati), mielin (degenerasi mielin).
Klasifikasi neuropati perifer adalah : Polineuropati (bilateral simetris, dimulai didaerah
distal, stocking and glove pattern), Mononeuropati (mengenai satu saraf),
Mononeuropati multipel, Radikulopati (mengenai radiks), Demielinisasi (mengenai
proksimal dan distal), Degenerasi aksonal dimulai dari distal menuju proksimal.
Manifestasi neuropati perifer dapat merupakan campuran sensorik- motorik dan
ketidak seimbangan saraf autonom, nyeri, parestesi, weakness, atrofi otot, refleks
tendon menghilang, anhidrosis, hipotensi ortostatik, impotensi, diare, konstipasi.
2.2.

HUBUNGAN SISTEM SARAF AUTONOM DENGAN HATI DAN

INTESTINAL

Hati dan intestinal menerima suplai saraf dari sistem saraf autonom. Diduga
hubungan saraf ini menunjukkan jalur yang penting adanya hubungan dua arah antara
hati dan intestinal. Jalur transmisi sinyal meliputi vagal aferen yang membawa
informasi sensorik dari area portohepatik ke intestinal melalui brain stem secara
berurutan menyesuaikan keluaran vagus melalui ganglion celiac atau secara langsung
hubungan saraf ke intestinal. Hal ini membuktikan adanya interaksi yang erat antara
hati dan intestinal melalui sistem saraf autonom. Kemungkinan hal ini yang dapat
menjelaskan antara kejadian disfungsi autonomik pada penyakit hati menahun.
Penyakit hati dihubungkan dengan kelainan neuro-endokrin, di antaranya yang
paling penting adalah perubahan aktivitas dan fungsi sistem saraf simpatis.
Telah terbukti bahwa hiperaktivitas saraf simpatis mempunyai peranan penting dalam
gangguan kardiovaskular, homeostatis, dan metabolik pada penyakit hati menahun.
Peningkatan sistem simpatis dapat dinilai dengan meningkatnya kadar nor epinefrin
dalam sirkulasi. Telah terbukti pada penderita sirosis hati, ada hubungan langsung
antara hiperaktivitas sistem saraf simpatis dengan beratnya penyakit hati.
Sirkulasi hiperdinamik adalah keadaan yang timbul pada penderita sirosis hati
dimana terjadi peningkatan denyut jantung dan cardiac output serta berkurangnya
tahanan pembuluh darah perifer dan menurunnya tekanan darah sistemik. Patogenese
vasodilatasi masih dalam perdebatan. Hal ini diduga sebagai akibat dari kelebihan
produksi berbagai zat vasoaktif seperti, histamin, adenosin, gut - derived peptides,
endothelial cell derived vasodilators, dan retensi asam empedu yang menyebabkan
berkurangnya kemampuan dalam menghadapi perubahan vaskular bed terhadap
stimulasi vasokontriktor endogen. Sistem saraf autonom memp unyai peranan penting
dalam mengatur performans jantung dan aktivitas vasomotor. Adanya disfungsi
autonomik pada sirosis hati telah jelas terlihat melalui beberapa pendekatan
eksperimental, termasuk penilaian respon kardiovaskular dan respon sudomotor
terhadap stimulasi fisiologis dan farmakologis.
2.3. HUBUNGAN DISFUNGSI AUTONOMIK DENGAN SIRKULASI HIPERDINAMIK
Dua hal yang dipertimbangkan dalam menentukan hubungan antara sirkulasi yang
hiperdinamik dengan adanya disfungsi autonomik. Pertama, sistem saraf autonom
mempunyai peranan penting dalam mempertahankan homeostatis kardiovaskular,

2003 Digitized by USU digital library

dimana disfungsi autonomik ini yang diduga menyebabkan gangguan hemodinamik.


Kedua, disfungsi autonomik sering ditemukan pada penderita sirosis hati
dan
prevalensinya akan meningkat sejalan dengan beratnya penyakit hati.
Trevisani dkk mendapatkan disfungsi autonomik yang terjadi pada penderita
sirosis hati mempunyai peran penting dalam patogenese terjadinya sirkulasi
hiperdinamik. Beratnya gangguan hemodinamik berhubungan dengan beratnya
disfungsi autonomik. Kejadian lain yang bersamaan dalam terjadinya disfungsi
autonomik, termasuk faktor yang mempengaruhi integritas saraf seperti metabolisme
lipid, defisiensi vitamin E, alkohol, proses autoimun dan retensi metabolik yang toksik.
2.4. HUBUNGAN DISFUNGSI AUTONOMIK DENGAN PENYAKIT HATI KRONIK
Beberapa peneliti mendapatkan adanya hubungan antara disfungsi autonom
dengan penyakit hati menahun. Trevisani dkk mendapatkan pada 80% penderita
sirosis hati, ditemukan disfungsi autonomik (terutama disfungsi vagal). Sebagian besar
dijumpai adanya kelainan pada denyut jantung dengan bernapas dalam dan valsava
manuver. Hal ini sesuai dengan adanya neuropati autonomik terutama disfungsi
parasimpatis. Tidak ditemukan adanya penurunan tekanan darah pada perubahan
posisi, hal ini menunjukkan bahwa diduga fungsi simpatis masih baik. Sebagaimana
yang diduga bahwa fungsi parasimpatis lebih sering terlibat daripada fungsi simpatis,
keadaan ini menggambarkan kerusakan yang terjadi lebih awal pada cabang vagal.
Kemungkinan besar lebih mudah timbulnya kerusakan pada serabut parasimpatis,
kemudian diikuti disfungsi simpatis. Urutan kerusakan ini dapat menunjukkan bahwa
uji disfungsi parasimpatis lebih sensitif daripada uji disfungsi simpatis sebab kelainan
fungsi vagus lebih mudah dideteksi jika dijumpai kelainan pada kedua sirkuit
parasimpatis dan simpatis. Hal ini sesuai dengan yang diteliti Thuluvath dan Kempler
dimana disfungsi autonomik ditemukan pada penyakit hati alkoholik maupun non
alkoholik.
Fungsi dari saraf parasimpatis dapat dinilai dengan metode tidak invasif yaitu
dengan menilai kontrol vagal denyut jantung terhadap stimulasi pernapasan, valsava
manuver atau perubahan posisi dari berbaring ke berdiri. Uji klinis untuk mendeteksi
disfungsi dari saraf parasimpatis bisa dilakukan dengan elektrokardiografi dan
monitoring Holter. Penilaian terhadap fungsi simpatis dapat dinilai dari respon tekanan
darah dari posisi berbaring ke posisi berdiri, dan terhadap tegangan tangan
dipertahankan (handgrip), pengukuran interval QT dengan elektrokardiografi.
2.4.1. Patogenese Neuropati pada Penderita Sirosis Hati
Meskipun neuropati perifer (sensorimotor) sering terjadi pada penderita penyakit
hati, masih ada kontroversi mengenai penyebab dan akibat dari neuropati perifer ini.
Beberapa peneliti meragukan terjadinya hepatik neuropati ini, tetapi peneliti lain
melaporkan insiden berkisar 19 100%. Hampir semua peneliti menyatakan bahwa
neuropati perifer yang terjadi pada penyakit hati umumnya gejala klinis ringan atau
subklinis, karakteristik yang terperinci mengenai jenis neuropati dan hubungannya
dengan kegagalan hepatoseluler masih kurang.
Chopra meneliti peranan portosistemik shunt dan kegagalan sel hati sebagai
penyebab terjadinya neuropati pada penyakit hati kronik. Dua dari 14 pasien sirosis hati
non alkoholik terbukti secara klinis dijumpai neuropati, sedangkan pasien dengan
fibrosis portal idiopatik tidak ditemukan neuropati. Terdapat penurunan kecepatan
hantaran saraf pada sirosis hati non alkoholik maupun fibrosis portal idiopatik. Terdapat
lebih dari 90% perubahan morfologi saraf pada biopsi yang berupa demielinisasi dan

2003 Digitized by USU digital library

remielinisasi. Tidak ada hubungan antara perubahan histologi dengan beberapa


parameter penelitian. Neuropati yang terjadi ini disebabkan oleh adanya hubungan
kolateral dan kegagalan sel hati yang kemungkinan berhubungan dengan gangguan
metabolisme nitrogen. Tetapi sebaliknya penelitian
pada mencit percobaan yang
mengalami kerusakan pada sel hati yang dilakukan anastomosis portokarval,
menunjukkan bahwa kegagalan sel hati merupakan patofisiologi neuropati pada
penyakit hati kronis.
Kardel dan Nielsen mendapatkan pada 31 dari 34 pasien sirosis hati dengan
kelainan ringan saraf perifer baik secara klinis atau pengukuran secara elektrofisiologis
ataupun keduanya, menyimpulkan bahwa pada dasarnya terjadi inhibisi metabolik
terhadap membran akson.
Chari dkk menyimpulkan neuropati yang terjadi pada
penderita sirosis hati disebabkan oleh kelainan metabolik atau toksin yang belum
diketahui. Keresztes melaporkan terjadi perbaikan yang bermakna disfungsi autonomik
dan kecepatan hantaran saraf sensorik setelah dilakukan transplantasi hati, dimana
perbaikan terjadi lebih awal pada fungsi parasimpatis, kemudian diikuti perbaikan
simpatis.
Seneviratne dan Peiris meneliti fungsi saraf perifer secara elektrofisiologis pada
50 pasien dengan penyakit hati kronik. Tiga puluh empat dari 50 orang memperlihatkan
keadaan yang laten atau pengurangan amplitudo gelombang sensoris saraf medianus,
walaupun secara klinis neuropati
hanya terbukti pada 4 pasien.
Penelitian ini
menyimpulkan terjadi peningkatan resistensi saraf oleh karena iskemia yang
mengakibatkan berkurangnya kecepatan hantaran saraf sebagai akibat dari proses
demielinisasi.
Penelitian Dayan dan Williams , demielinisasi segmental pada saraf perifer pada
penderita penyakit hati kronik disebabkan
penimbunan metabolik toksik hasil
kerusakan sel hati yang belum dapat diidentifikasi, keadaan ini yang menyebabkan
kerusakan pada sel Schwann.
Penilaian neuropati perifer (sensorimotor) pada penderita sirosis hati dapat
digunakan dengan sistem skore klinis, walaupun umumnya neuropat i ini bersifat
subklinis. Oliver dkk dengan pemeriksaan kecepatan hantaran saraf mendapatkan 17
terbukti adanya kelainan pada parameter konduksi saraf, dimana 12 di antaranya
dengan pemeriksaan fisik dinyatakan normal. Pada pemeriksaan elektrofisiologi pada
penderita sirosis hati yang dilakukan dengan terperinci didapatkan sebagian besar
penderita sesuai dengan leght-dependent axonal neuropathy atau dying back
neuropathy . Hal ini bertentangan dengan laporan elektrofisiologi sebelumnya, dimana
neu ropati yang terjadi oleh karena demielinisasi, terutama berdasarkan dengan
berkurangnya kecepatan hantaran saraf pada saraf median, ulnaris dan peroneus.
2.5. SIROSIS HATI
2.5.1. Definisi
Secara histopatologis sirosis hati didefinisikan sebagai penyakit hati menahun
yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat yang difus dan disertai
adanya nodul.
2.5.2. Patogenesis
Penyebab terbanyak sirosis hati di Asia Tenggara adalah virus hepatitis B dan
C,dan juga merupakan penyebab terbanyak untuk kejadian karsinoma hepatoseluler,
yang merupakan kelanjutan sirosis hati. 39 Demikian juga di Indonesia, pada penderita

2003 Digitized by USU digital library

sirosis hati prevalensi virus hepatitis berkisar 21,2 - 46,9% dan virus hepatitis C 38,773,9%. Penyebaran hepatitis B terbanyak adalah secara horisontal (parenteral) dan
sebagian secara vertikal (merupakan jenis penyebaran yang dianggap penting karena
sering menyebabkan kronisitas). Hepatitis C kebanyakan menyebar melalui transfusi
darah, tetapi dapat juga ditemui tanpa adanya riwayat transfusi yang jelas.
Infeksi virus hepatitis B dan C akan menimbulkan peradangan sel hati.
Peradangan ini menyebabkan nekrosis yang meliputi daerah yang luas, terjadi kolaps
lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan kolagen. Tingkat awal yang terjadi
adalah terbentuknya septa yang pasif oleh jaringan retikulum penyangga yang
mengalami kolaps dan kemudian berubah bentuk menjadi jaringan parut. Jaringan
parut ini dapat menghubungkan daerah porta yang satu dengan lainnya atau porta
dengan sentral (bridging necrosis). Pada tahap berikut kerusakan parenkim dan
peradangan yang terjadi pada sel duktus, sinusoid dan sel retikuloendotelial di dalam
hati, akan memacu terjadinya fibrogenesis sehingga terbentuk septa aktif. Sel limfosit
T dan makrofag juga mungkin berperan dengan mengeluarkan limfokin yang dianggap
sebagai mediator dari fibrogenesis.
Septa aktif ini akan menjalar menuju kedalam parenkim hati dan berakhir di
daerah portal. Pembentukan septa tingkat kedua ini yang sangat menentukan
perjalanan progresivitas dari sirosi hati. Pada tingkat yang bersamaan nekrosis jaringan
parenkim akan memacu proses regenerasi sel-sel hati. Regenerasi yang timbul akan
mengganggu pembentukan susunan jaringan ikat tadi. Keadaan ini yaitu fibrogenesis
dan regenerasi sel yang terjadi terus menerus dalam hubungannya peradangan dan
perubahan vaskular intrahepatik serta gangguan kemampuan faal hati, pada akhirnya
menghasilkan susunan hati yang dapat dilihat pada sirosis hati. Walaupun etiologinya
berbeda, gambaran histologis hati sama atau hampir sama.
2.5.3. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari sirosis hati, secara umum adalah akibat terjadinya
kegagalan hati (hepatoseluler) dan hipertensi portal.
2.5.3.1. Kegagalan Hati (Kegagalan Hepatoseluler)
Dijumpai gejala subjektif berupa lemah, berat badan menurun, kembung, mual
dan lain lain. Pada pemeriksaan fisik dijumpai spider nevi, eritema palmaris, asites,
pertumbuhan rambut yang berkurang, atrofi testis dan ginekomastia pada pria, ikterus,
ensefalopati hepatik, hipoalbumin disertai terbaliknya rasio albumin dan globulin serum.
2.5.3.2. Hipertensi Portal
Hipertensi portal adalah sindroma klinik umum yang berhubungan dengan
penyakit hati kronik dan dijumpai peningkatan tekanan portal yang patologis. Tekanan
portal normal berkisar antara 5-10 mmHg. Hipertensi portal timbul bila terdapat
kenaikan tekanan dalam sistem portal yang sifatnya menetap di atas harga normal.
Disebut hipertensi portal bila tekanan portal lebih dari 15 mmHg.
2.5.3.2. 1.Sirkulasi Hiperdinamik pada Sirosis hati
Hipertensi portal pada sirosis hati diuhubungkan dengan sirkulasi hiperdinamik
yang ditandai dengan penurunan tahanan arterial, vasodilatasi perifer dan regional.
Vasodilatasi yang disertai dengan peningkatan kardiak indeks dan aliran darah regional.

2003 Digitized by USU digital library

Aliran darah yang hiperkinetik dijumpai pada daerah splanknik dan sirkulasi sistemik
dengan aliran darah ke intestinal, lambung, limpa dan pankreas meningkat lebih 50%
diatas nilai kontrol. Sirkulasi hiperdinamik splanknik adalah konstribusi yang utama
menyebabkan gejala hipertensi portal. Meskipun sistem kolateral sistemik terbentuk
untuk mengurangi sirkulasi portal, tetapi komplikasi hipertensi portal masih dapat
terjadi, yang paling sering adalah timbulnya varises esofagus dan perdarahan varises.
Sirkulasi hiperdinamik tampak pada pasien dengan ekstremitas hangat, nadi
yang kuat, denyut jantung yang cepat, cardiac output meningkat dan volume darah
meningkat. Bila terjadi progesivitas penyakit, tahanan vaskular semakin menurun:
vasodilatasi menjamin perfusi jaringan yang adekuat, tetapi jika menetap, tekanan
arteri yang rendah akan menyebabkan gangguan sekunder pada ginjal. Ekspansi
volume darah ini diikuti dengan ginjal menahan natrium dan air yang menimbulkan
hiperaldosteronism sekunder, teraktivasinya sistem saraf simpatis, meningkatnya
sekresi arginin vasopresin yang akhinya mengurangi aliran darah ke ginjal.
2.5.4. Diagnosa
Diagnosa sirosis hati ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium
dan pemeriksaan penunjang antara lain seperti ultrasonografi. Pada stadium
kompensasi sempurna kadang- kadang sangat sulit menegakkan diagnosa sirosis hati.
Pada stadium dekompensasi tidak sulit untuk menegakkan diagnosa. Pada stadium ini
sudah dijumpai gejala kegagalan sel hati dan hipertensi portal yaiyu: adanya asites,
edema pretibial, splenomegali, vena kolateral, eritema palmaris dan albumin serum
yang menurun.
Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan tidak invasif, aman dan
mempunyai ketepatan akurasi yang tinggi. Needlemann et al mendapatkan bahwa
ketepatan diagnostik dengan ultrasonografi sekitar 80%,
Taylor mendapatkan
ketepatan sekitar 93%, sedangkan Sujono Hadi dan beberapa peneliti lain
mendapatkan ketepatan diagnosa sirosis hati dengan ultrasonografi sekitar 88- 100%.
Gambaran ultrasonografi pada sirosis hati tergantung pada berat ringannya penyakit.
Diagnosa pasti dari sirosis hati ditegakkan melalui pemeriksaan histopatologi ( biopsi
hati ).
2.5.5. Prognosis
Prognosis sirosis hati tergantung dari beberapa hal dan tidak selamanya buruk.
Parameter yang dipakai untuk menentukan prognosis sirosis hati adalah kriteria Child,
yang dikaitkan dengan kemungkinan bila penderita menghadapi tindakan operasi.
Mortalitas Child A pada operasi berkisar 10-15%, Child B 30% dan Child C diatas 60%.
Oleh Pugh dan kawan kawan, kriteria Child ini diganti dengan pemanjangan masa
protrombin (PT). Parameter yang diukur pada kriteria Child- Pugh dapat dilihat pada
tabel dibawah.

2003 Digitized by USU digital library

Tabel 1. Kriteria modifikasi Child-Pugh


Grade
Bilirubin serum (mg/dl)
Albumin serum (mg/dl)
Asites
Ensefalopati
Protrombin time (detik)

(1)

(2)

(3)

< 2,0
> 3,5
<4

2,0 3,0
28 3,5
Mudah dikontrol
Minimal
46

> 3,0
< 2,8
Sulit dikontrol
Berat/koma
> 6

Grade A : Skor 5- 6
Grade B : Skor 7- 9
Grade C : Skor 10-15
2.6. PEMERIKSAAN ELEKTROMIOGRAFI (EMG)
Pemeriksaan untuk menilai neuropati perifer( sensorimotor ) secara objektif
dengan alat elektromiografi (EMG).
Elektromiografi (EMG) adalah suatu tehnik pemeriksaan
dengan menggunakan
elektroda jarum yang ditusukkan ke dalam otot rangka untuk mempelajari perubahan
perubahan
potensial
listriknya.
EMG
merupakan
salah
satu
pemeriksaan
elektrodiagnosis untuk memeriksa fungsi saraf perifer dan otot. Pemeriksaan EMG
dilakukan pada keadaan relaksasi otot maksimum dan pada aktivitas otot volunter
dengan berbagai tingkatan.
Penyebab gangguan saraf perifer beraneka ragam dengan manifestasi yang
berbeda beda, sehingga membutuhkan suatu pendekatan yang sistematik untuk
menentukan suatu diagnosis.
2.6.1. Jenis Pemeriksaan
Pemeriksaan neurofisiologis yang dapat dilakukan pada gangguan saraf perifer
adalah: 1) EMG elementer (EMG konvensional atau elektromiografi klinik) yaitu
mempelajari dan merekam potensial yang terjadi bila saraf perifer dan otot sedang
aktif, dan juga mencari aktivitas spontan sewaktu otot sedang istirahat; 2)
Elektroneurografi yaitu stimulasi listrik yang diberikan secara artifisial pada saraf perifer
untuk mengukur kecepatan hantaran saraf (KHS) / (Nerve Conduction Velocity/NCV)
motorik dan sensorik, F wave, H.Reflex dan Blink-reflex; 3) Pemeriksaan potensial
cetusan Somato- Sensory Evoked Potential (SSEP) digunakan untuk memeriksa lesilesi yang letaknya lebih proksimal, sepanjang jaras somato- sensorik.
2.6.2. Tujuan pemeriksaan Elektromiografi
Memeriksa gangguan lower motor neuron yang lesinya terletak di kornu anterior
medula spinalis (motorneuron), radiks, pleksus, saraf perifer, neuromuskular junction
dan otot dengan tujuan sebagai berikut: 1) Membantu menegakkan diagnosis; 2)
Membantu menentukan letak lesi ; 3) Membedakan lesi saraf atau otot; 4) Menentukan
lesi saraf yang terkena parsial atau total; 5) Menentukan apakah terkena serabut
motorik atau sensorik atau keduanya; 6) Melakukan evaluasi efek pengobatan bila

2003 Digitized by USU digital library

dilakukan sebelum dan sesudah diberikan terapi; 7) Membantu menentukan prognosis,


apakah masih bisa membaik ,at au proses penyembuhan telah selesai.
2.6.3.

Pemeriksaan Kecepatan Hantaran Saraf

Pemeriksaan hantar saraf menilai kecepatan hantar melalui saraf- saraf motorik
dan sensorik perifer dan pleksus. Pemeriksaan menilai fungsi saraf berdiameter besar.
2.6.4.1. Pemeriksaan Kecepatan Hantaran Saraf Motorik
Latensi untuk memeriksa transmisi melalui persimpangan mioneuron (myoneural
junction) depolarisasi dari membran sel, dan rangsangan pada ototnya sendiri.
Kecepatan hantaran saraf menjadi lambat pada demielinasi dari serabut saraf motorik.
Amplitudo dari compound muscle action potential (CMAP) berhubungan dengan
banyaknya akson saraf motorik yang
terkena, jadi berkurang bila ada konduksi
terganggu pada kerusakan selubung mielin karena blok konduksi atau kerusakan akson.
Kecepatan hantaran saraf yang menurun didapatkan CMAP akan bertambah dan
amplitudo berkurang.
2.6.4.2. Pemeriksaan Kecepatan Hantaran Saraf Sensorik
Kecepatan hantar saraf sensorik
berkurang pada demielinasi serat saraf
sensorik. Amplitudo dari sensoric nerve action potential (SNAP) berhubungan dengan
banyaknya serabut aferen bermielin yang berfungsi. Lamanya SNAP adalah indikasi
uniformitas dari kecepatan hantar dari akson besar. Pengukuran ini akan lebih pasti
dilakukan dengan menggunakan elektrode jarum. Pemeriksaan SNAP ini dipakai untuk
membedakan antara radikulopati dan lesi saraf lebih distal.
2.6.4.2. Pengukuran dan Nilai Normal Kecepatan Hantaran Saraf (KHS)
Pengukuran KHS dapat dilakukan secara ortodromik (mengikuti arus impuls
saraf) atau secara antidromik (melawan arus impuls saraf) yang umumnya dilakukan
pada KHS sensorik. Saraf tepi yang diperiksa adalah N. Medianus, N. Ulnaris, N.
Radialis di lengan dan N. Peroneus dan N. Tibialis di tungkai.
Kecepatan hantaran
( m/det) = Jarak hantaran (mm) dibagi dengan Waktu hantaran (m.det).
Hasil pemeriksaan kecepatan hantaran saraf ditentukan dalam meter per detik
yang diukur berdasarkan prosedur yang standar. Dinyatakan positif neuropati perifer
(sensorimotor) bila didapatkan penurunan kecepatan hantaran saraf.
1) KHS motorik n. Median, abn < 48, n. Peroneus, abn < 40, n. Tibialis < 40
2) KHS sensorik n. Median abn < 40, n. Peroneus < 35,
n. Suralis < 36 m/detik.

2003 Digitized by USU digital library

BAB III
PENELITIAN SENDIRI

3.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN


Sirosis hati adalah penyakit hati kronis yang progresif, yang dapat menyebabkan
berbagai macam komplikasi. Salah satunya adalah komplikasi persarafan sebagai
manifestasi ekstrahepatik berupa neuropati perifer. Beratnya neuropati perifer
berhubungan dengan keparahan sirosis hati.
Selama bertahun tahun telah diketahui bahwa neuropati perifer sering menyertai
berbagai penyakit hati. Contoh yang paling jelas adalah polineuropati yang disebabkan
penyakit hati kronik oleh karena alkohol. Banyak penyakit dimana dijumpai kelainan
hati dan
dan saraf dapat ditemukan secara bersamaan yaitu: mononukleosis
infeksiosus, intermitten porphyria akut, poliarteritis nodosa , penyakit vaskulitis dan
keracunan arsen yang akut. Gambaran terpenting dari semua ini adalah bahwa secara
keseluruhan hal tersebut merupakan kelainan
sistemik yang primer
mengenai
kerusakan hati dan saraf.
Sistem saraf perifer terdiri dari saraf sensorik, motorik dan autonom yang
kesemuanya mempunyai: 1) Akson (neuron); 2) Sel Schwann (sel neurolemma); 3)
Endoneurium, perineurium dan epineurium. Saraf perifer terdiri dari large myelinated,
small myelinated dan unmyelinated. Neurelomma yang menghasilkan mielin yaitu
suatu lapisan lipid dan protein yang mengelilingi sumbu silinder. Hampir semua serabut
saraf dengan diameter > 2 um bermielin dan < 2 um tanpa myelin.
Hati dan intestinal mendapatkan persarafan dari sistem saraf autonom. Hal
yang dapat menjelaskan hubungan saraf ini menunjukkan pentingnya hubungan timbal
balik antara hati dan intestinal. Jalur transmisi sinyal meliputi vagal aferen yang
membawa informasi sensorik dari daerah portohepatik ke intestinal melalui brain stem
secara berurutan menyesuaikan keluaran vagus, melalui ganglion celiac atau secara
langsung berhubungan ke intestinal. Bukti ini yang dapat menjelaskan hubungan
antara hati dan intestinal melalui sistem saraf autonom. Sehingga ini dapat
menjelaskan adanya hubungan disfungsi autonomik dengan penyakit hati kronik. Ini
didukung beberapa penelitian disfungsi vagal sering dijumpai pada penyakit hati kronik,
dan beratnya keparahan penyakit hati menyebabkan semakin besarnya prevalensi
kelainan autonom. Disfungsi autonomik merupakan prediktor mortalitas yang
independen dan tidak tergantung pada nilai Child-Pugh.
Pada tahun 1967 Dayan dan Williams melaporkan adanya demielinisasi dan
remielinisasi segmental pada 10 bahan biopsi nervus sural pada pasien dengan
berbagai lesi penyakit hati kronik. Degenerasi aksonal sangat jarang, hanya dijumpai
pada pasien yang diketahui mempunyai riwayat minum alkohol, hemokromatosis, dan
diabetes mellitus. Enam dari 10 pasien yang diteliti didapati manifestasi gejala motorik
atau dengan kelainan sensorik pada ektremitas bawah.
Knill dan Jones melaporkan pada 70 pasien yang diambil secara acak pada
penyakit hati kronik mendapatkan ada 13 orang yang terbukti secara klinis neuropati
dan ditemukan adanya perlambatan kecepatan hantaran saraf tanpa adanya gejala lain.
Penemuan ini hanya menunjukkan gejala yang ringan dan hanya 2 pasien yang
mengeluhkan disestesis , motor weakness. Pada 14 orang pasien ditemukan secara
biopsi
terbukti adanya neuropati, dimana 6 diantaranya
secara klinis dan
elektrofisiologis tidak terbukti mengalami disfungsi saraf. Hal ini dapat menjelaskan
bahwa neuropati subklinik sering ditemukan pada penyakit hati kronik.

2003 Digitized by USU digital library

10

Kardel dan Nielsen melaporkan bahwa pada 34 pasien penyakit hati kronik yang
berat dijumpai adanya kelainan saraf perifer baik secara klinis maupun secara
elektrofisiologis ataupun keduanya pada 31 orang pasien. Dilaporkan bahwa gangguan
metabolik yang menyebabkan terganggunya fungsi membran akson. Penelitian lain
mendapatkan bahwa kejadian portosistemik shunt merupakan penyebab terjadinya
kelainan saraf.
Seneviratne dan Peiris meneliti fungsi saraf perifer secara elektrofisiologis pada
50 pasien penyakit hati kronik. Dijumpai sebanyak 34 pasien menunjukkan adanya
peningkatan keadaan laten atau pengurangan amplitudo evoked sensory potential of
the median nerve. Secara kinis gejala neuropati hanya terdeteksi pada 4 pasien .
Beberapa peneliti mendapatkan adanya hubungan antara disfungsi autonomik
dengan penyakit hati menahun. Dimana juga didapatkan disfungsi autonomik baik
pada penyakit hati menahun alkoholik atau non alkoholik. Chaudry dkk melaporkan
disfungsi autonomik yang terjadi pada penderita sirosis hati merupakan bagian dari
generalized sensory-motor polineuropathy. Dimana sebagian besar penderita disfungsi
autonomik juga terbukti memiliki neuropati perifer.
Trevisani dkk melaporkan 30 penderita sirosis hati, 80% menunjukkan adanya
disfungsi autonomik, dimana disfungsi autonomik ini berhubungan dengan beratnya
sirosis hati (berdasarkan kriteria Child-Pugh) dan tidak berhubungan dengan etiologi
penyakit hati.
Dari uraian di atas penulis ingin meneliti apakah ada hubungan beratnya
penyakit hati dengan disfungsi autonomik dan neuropati perifer pada penderita sirosis
hati , sepengetahuan kami belum pernah dilakukan di Medan.
3.2. PERUMUSAN MASALAH
3.2.1. Apakah ada hubungan beratnya disfungsi autonomik dengan beratnya sirosis
hati (berdasarkan kriteria Child- Pugh)
3.2.2. Apakah ada hubungan neuropati perifer (sensorimotor) dengan beratnya sirosis
hati (berdasarkan kriteria Child- Pugh)
3.2.3. Apakah ada korelasi antara disfungsi autonomik dengan neuropati perifer
(sensorimotor) pada penderita sirosis hati.
3.3. HIPOTESA
3.3.1. Ada hubungan beratnya disfungsi autonomik dengan beratnya sirosis hati
(berdasarkan kriteria Child- Pugh)
3.3.2. Ada hubungan neuropati perifer (sensorimotor) dengan beratnya sirosis hati
(berdasarkan kriteria Child- Pugh)
3.3.3. Ada korelasi
antara disfungsi autonomik dengan neuropati perifer
(sensorimotor) pada penderita sirosis hati.
3.4.

TUJUAN PENELITIAN

3.4.1. Menilai adanya hubungan disfungsi autonomik pada penderita sirosis hati
3.4.2. Menilai adanya hubungan neuropati perifer (sensorimotor) pada penderita sirosis
hati
3.4.3. Mencari korelasi antara disfungsi autonomik dan neuropati perifer pada
penderita sirosis hati.

2003 Digitized by USU digital library

11

3.5.

MANFAAT PENELITIAN

Dengan ditemukannya disfungsi autonomik sebagai faktor resiko yang penting


terhadap mortalitas pada penderita sirosis hati. Hasil ini dapat digunakan untuk
menentukan prognosa penyakit yang jelek.
3.6.

BAHAN DAN CARA PENELITIAN

3.6.1. Disain Penelitian


Penelitian ini bersifat studi cross sectional.
3.6.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2001 sampai April 2002.
Tempat penelitian Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.
3.6.3. Subjek
Kelompok kasus adalah penderita sirosis hati yang berobat jalan dan rawat inap,
dilakukan pemeriksaan laboratorium: darah rutin, KGD N/2PP, SGOT, SGPT,
alkalin fosfatase, gamma GT, bilirubin total, bilirubin direk, serum protein
elektroforesis, protrombin time, viral marker, USG hati, endoskopi,
elektrokardiografi, dan EMG (elektromiografi).
3.6.4. Kriteria yang Diikutkan dalam Penelitian
Penderita sirosis hati yang ditegakkan berdasarkan klinis, laboratorium, dan
USG.
3.6.5. Kriteria yang Dikeluarkan
Penderita sirosis hati dengan diabetes mellitus, ensefalopati, anemia berat (Hb <
6 gr/dl), riwayat perdarahan 2 bulan sebelumnya, sedang diterapi dengan beta
bloker.
3.6.6. Jumlah Sampel
Sampel yang diikutkan dalam penelitian adalah semua penderita sirosis hati
yang berobat jalan maupun yang opname di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan yang
memenuhi kriteria penelitian dan sesuai waktu penelitian.
Prevalensi disfungsi autonomik pada penderita sirosis hati 80%.

Besar sample 53 : n =

Z a2 PQ
d2

1,96 2 X 0,8 X 0,2


0,15 2

n = 27,31 30 orang

Dimana: Z =1,96; P: proporsi (80% atau 0,8); Q=(1- P)= 0,2 dan d : presisi atau
besar penyimpangan pengukuran yang masih dapat ditolerir = 15%.
a : taraf signifikansi sebesar 5%.

2003 Digitized by USU digital library

12

3.6.7. Analisa Data


Uji Signifikansi dengan Chi- square test.
Uji korelasi dengan Spearman Rank correlation.
3.7. Persiapan Penderita
Tidak ada persiapan khusus untuk penderita. Hanya diperlukan penerangan yang
baik kepada pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan saraf perifer dan ototnya. Untuk
memproleh hasil yang sempurna diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dengan
pemeriksa untuk melakukan kontraksi otot yang akan diperiksa. Perlu diberitahukan
bahwa pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan stimulasi listrik dan kadangkadang dengan jarum. Diterangkan bahwa pemeriksaan EMG tidak berbahaya sehingga
tidak perlu takut untuk diperiksa.
3.8. PEMERIKSAN DISFUNGSI AUTONOMIK
Merupakan pemeriksaan test khusus yang sederhana dan tidak invasif yang
dipakai untuk mendeteksi adanya disfungsi autonomik.

3.8.1. Test Menguji Kerusakan Saraf Parasimpatis


3.8.1.1.Respon denyut jantung terhadap manuver valsava
Pasien meniup melalui manometer aneroid atau spigmomanometer yang
dimodifikasi hingga tekanan 40 mmHg, dan dipertahankan selama 15 detik. Denyut
jantung diukur dengan rekaman EKG. Hasil ditunjukkan dengan rasio valsava yaitu
perbandingan R- R terpanjang setelah manuver dengan RR terpendek selama manuver.
Hasil normal jika rasio valsava > 1,21, border line 1,11 1,20, abnormal < 1,10.
3.8.1.2.
Variasi
dalam( R6)

denyut

jantung

(R- R

interval)

selama

bernafas

Cara pemeriksaan: Penderita duduk atau berbaring dengan tenang dan bernafas
dalam sebanyak 6 kali per menit (5 detik inspirasi dan 5 detik ekspirasi). Bersamaan
dengan itu dilakukan EKG. Dihitung selisih denyut jantung maksimal dengan denyut
jantung minimal. Interpretasi hasil: normal, selisih > 14 x/menit; border line, selisih
11 14 x/menit; abnormal, selisih < 11 x per menit.
3.8.1.3.

Respon denyut jantung setelah penderita berdiri (RR 30/15)

Cara pemeriksaan: Penderita berbaring dengan tenang lebih kurang tiga menit,
kemudian berdiri tanpa bantuan. Pantauan denyut jantung dengan EKG dilakukan
sampai 15 denyut , kemudian tanpa berhenti dilanjutkan sampai dengan 30 denyut
setelah berdiri. Dihitung panjang R- R antara denyut 30 dan 15, lalu bandingkan.
Perbandingan antara denyut 30 dan 15 disebut dengan rasio 30/15. Interpretasi hasil:
normal, rasio 30/15 : > 1.03; border line, rasio 30/ 15: 1.01 1.03; abnormal, rasio
30/15: < 1.01.

2003 Digitized by USU digital library

13

3.9.

Test Menguji Kerusakan Saraf Simpatis

3.9.1.

Respon tekanan darah dari berbaring lalu berdiri

Perubahan posisi dari posisi berbaring ke berdiri akan menyebabkan terjadinya


akumulasi sebagian besar darah di ekstremitas bawah dan daerah splangnikus,
sehingga terjadi penurunan curah jantung dan penurunan tekan darah. Pada orang
normal keadaan ini akan menyebabkan terjadinya kompensasi sistim saraf simpatis
melalui refleks baroreseptor . Adanya kegagalan sistim simpatis oleh karena neuropati
akan menyebabkan menurunnya tekanan darah sistolik maupun diastolik.
Cara pemeriksaan: Pasien berbaring tenang dan diukur tekanan darah sistolik.
Kemudian pasien disuruh berdiri tanpa bantuan dan diukur tekanan darahnya. Tentukan
penurunan tekanan sistolik dari berbaring ke berdiri. Normal < 10 mmHg, border line
11 29 mmHg, abnormal > 30 mmHg. Uji ini disebut dengan Schelong test.
3.9.2.

Respon tekanan darah terhadap Handgrip

Tes ini menggunakan alat Handgrip dinamometer dengan membuat tegangan


sampai 30% dari maksimal selama 5 menit, tekanan darah diukur 3 kali yaitu sebelum
interval 1 menit selama beban handgrip. Hasilnya berupa perbedaan di antara tingginya
tekanan diastolik selama beban handgrip dengan rata- rata tekanan diastolik sebelum
dimulai hand grip. Respon normal jika dijumpai peningkatan tekanan darah diastolik >
16 mmHg. border line: 11 15 mmHg, abnormal < 10 mmHg. Pemeriksaan ini
memerlukan peralatan handgrip dinamometer untuk membuat pergerakan tangan dan
dipertahankan dengan tekanan 30% dari tekanan maksimal.
4.
4.1

4.2.

Alat Pemeriksaan/ Pengukuran


Pemeriksaan Disfungsi Autonom :EKG Logos serie 8821
Early disfungsi autonom : Ditemukan 1 dari uji diatas hasil abnormal atau 2
borderline
Definite disfungsi autonom: Ditemukan 1 abnormal dengan 2 borderline atau 2
uji
abnormal.
Pemeriksaan Elektroneurografi : EMG Medelec / TECA Sapphire II
Dilakukan pemeriksaan untuk menilai neuropati perifer secara objektif.
Pemeriksaan dilakukan di Instalasi Diagnostik Terpadu RS . H.Adam Malik
Medan, oleh dokter ahli saraf.
KHS motorik n. Median, abn < 48, n. Peroneus, abn < 40, n. Tibialis < 40
KHS sensorik n. Median abn < 40, n. Peroneus < 35, n. Suralis < 36 m/detik.

4.8.HASIL PENELITIAN
Dari 30 orang penderita sirosis hati yang masuk penelitian terdiri dari 27 orang
laki laki dan 3 orang perempuan dengan umur rata rata 49,1 19,9 tahun, dimana
umur termuda 23 tahun dan tertua 70 tahun.
Dari 30 orang
penderita sirosis hati, dimana 8 (26,6%) termasuk dalam
klasifikasi Child - Pugh A, 12 (40 %) Child- Pugh B dan 10 (33,3%) Child- Pugh C. Dari
30 penderita 17 ( 56,6 %) dengan asites dan 13 (40,3 %) tanpa asites.

2003 Digitized by USU digital library

14

4.8.1. Hasil Pemeriksaan Fungsi Autonom


Tabel.2 Uji fungsi autonom pada penderita sirosis hati
Uji Fungsi autonom

Normal

Borderline

Abnormal

Total

15
13
24

11
15
5

4
2
1

30
30
30

? R6
RR 30/15
TD Berbaring- berdiri

Dari tabel diatas tampak 13,3 % pemeriksaan fungsi autonom ? R6 abnormal


, 6,7 % RR 30/15 dan hanya 3,3 % TD Berbaring- berdiri. Kerusakan lebih sering pada
saraf parasimpatis daripada simpatis.

Tabel 3. Hubungan Beratnya Disfungsi Autonom dengan Beratnya Sirosis Hati


Child - Pugh

Disfungsi Autonom
Normal
Early
Definite

A
8
0
0

B
6
6
0

C
4
4
2

Total

12

10

Chi- Square . X2 = 10.8

df 4

Total
18
10
2
30

p= 0.029

Dari tabel diatas tampak 12 (40%) yang didapatkan disfungsi autonomik ,


dimana 10 early (6 Child B dan 4 Child C) dan 2 definite Child C. Dengan uji statistik
didapat p< 0.05. Ada hubungan beratnya disfungsi autonomik dengan beratnya sirosis
hati
4.8.2. Hasil Pemeriksaan Kecepatan Hantaran Saraf
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Kecepatan Hantaran Saraf pada Penderita Sirosis Hati
Neuropati Perifer (Sensorimotor)
Abnormal
Motorik
Motorik
Motorik
Sensorik
Sensorik
Sensorik

n. Median
n. Peroneus
n. Tibialis
n. Median
n. Suralis
n. Ulnaris

16,7%
23,3%
23,3 %
56,7%
66,7%
33,3%

Dari tabel diatas pada penderita sirosis yang terbanyak neuropati perifer sebanyak
66,7% mengenai saraf sensorik Suralis, 56,7% mengenai sensorik Median dan 33,3%
sensorik Ulnaris, 23,3%
masing masing saraf motorik Tibia dan Peroneus , hanya
16,7% mengenai motorik Media.

2003 Digitized by USU digital library

15

Tabel 5.Hub.Neuropati Perifer (motorik n. Median ) dengan Beratnya Sirosis Hati


Child Pugh
Motorik n. Median:

Normal
Abnormal

Total
Chi- Square . X2 =13,3

df 2

A
6
2

B
10
2

C
9
1

12

10

Total
25
5
30

p=0.004

Dari tabel diatas ada 5 (16,5 %) yang mendapatkan neuropati perifer pada saraf
motorik Median dan dengan uji statistik didapat p<0,05. Didapat ada hubungan
neuropati perifer ( motorik n.Median ) dengan beratnya sirosis hati.
Tabel 6. Hub.Neuropati Perifer ( Motorik n.Peroneus) dgn Beratnya Sirosis Hati
Child - Pugh
Motorik n.Peroneus

Normal
Abnormal

Total
Chi- Square . X2 =8,53

df 2

A
6
2

B
8
4

C
9
1

12

10

Total
23
7
30

p=0,03

Dari tabel diatas ada 7 (23,3%) neuropati perifer ( motorik n.Peroneus ) dan
dengan uji statistik didapat p<0,05 . Ada hubungan neuropati perifer ( motorik
n.Peroneus ) dengan beratnya beratnya hati.
Tabel 7. Hub.Neuropati Perifer (Motorik n.Tibialis) dengan Beratnya Sirosis Hati
Child - Pugh
Motorik n. Tibialis:

Normal
Abnormal

Total
Chi- Square . X2 =8,53

df 2

A
5
3

B
9
3

C
9
1

12

10

Total
23
7
30

p=0,03

Dari tabel diatas ada 7 (23,3%) neuropati perifer ( motorik n. Tibialis ) dan
dengan uji statistik didapat p <0,05 . Ada hubungan neuropati perifer ( motorik
n.Tibialis ) dengan beratnya sirosis hati.

Tabel 8.Hub.Neuropati Perifer ( Sensoris n. Median ) dgn Beratnya Sirosis Hati


Child- Pugh
Sensorik n.Median:

Normal
Abnormal

Total
2

Chi- Square . X = 0,53

df 2

2003 Digitized by USU digital library

A
3
5

B
5
7

C
5
5

12

10

Total
13
17
30

p= 0,465

16

Dari tabel diatas didapat 17 (56,7%) neuropati perifer( sensorik n. Median ) dan
dengan uji statistik diadapat p >0,05. Tidak ada hubungan antara neuropati perifer
(sensorik n. Median ) dengan beratnya sirosis hati.
Tabel 9. Hub.Neuropati Perifer(Sensorik n. Suralis) dengan Beratnya Sirosis Hati
Child- Pugh
Sensorik n.Suralis : Normal
Abnormal

A
2
6

B
5
7

C
3
7

Total

12

10

Chi- Square . X =3,33

df 2

Total
10
20
30

p=0,680

Dari tabel diatas didapat 20 (66,7%) neuropati perifer (sensorik n.Suralis ) dan
dengan uji statistik didapat p>0,05. Tidak ada hubungan neuropati perifer ( sensorik
n.Suralis) dengan beratnya sirosis hati.
Tabel 10.Hub.Neuropati Perifer (Sensorik n. Ulnaris) dgn Beratnya Sirosis Hati
Child- Pugh
Sensorik n. Ulnaris : Normal
Abnormal

A
4
4

Total

Chi- Square . X2 = 3,33

df 2

B
9
3

C
7
3

12

10

Total
20
10
30

p=0,680

Dari tabel diatas didapat 10 ( 33 %) neuropati perifer ( sensorik n. Ulnaris )


dengan uji statistik didapat p>0,05. Tidak ada hubungan neuropati perifer ( sensorik
n.Ulnaris ) dengan beratnya sirosis hati.
4.8.3. Korelasi
Antara Disfungsi Autonomik dengan
(Sensorimotor) pada Penderita Sirosis Hati

Neuropati

Perifer

Neuropati autonomik yang merupakan bagian dari generalized sensori-motor


polineuropathy, penderita dengan disfungsi autonomik juga mengalami neuropati
perifer ( sensorimotor ). Pada penelitian ini dari 12 penderita yang didapati disfungsi
autonomik, 11 diantaranya juga didapati neuropati perifer ( sensorimotor ). Pada
pemeriksaan uji fungsi autonom , variasi denyut jantung selama bernafas dalam
(
R6 ) dengan neuropati perifer ( sensorik n. Suralis ) pada uji korelasi Spearman
dengan r = 0,527 p= 0,003 . Ini menyatakan adanya korelasi yang kuat antara
variasi denyut jantung bernafas dalam ( R6 ) dengan neuropati perifer. Begitu juga
dengan respon de nyut jantung dari berbaring ke berdiri ( RR 30/15 ) dengan neuropati
perifer ( sensorik n. Suralis ) , r = 0,456 p = 0,010. Ini menyatakan ada korelasi
antara RR 30/15 dengan neuropati perifer ( sensorik n. Suralis ). Respon tekanan
darah dari berbaring ke berdiri dengan neuropati perifer ( sensorik n. Suralis ), r =
0,275 p= 0,142. Tidak didapat korelasi antara respon TD Berbaring-berdiri dengan
neuropati perifer ( sensorik n. Suralis ). Juga tidak didapat adanya korelasi antara
disfungsi autonomik dengan neuropati perifer ( sensorik n Suralis ) , r = 0.253
p=
0,505.

2003 Digitized by USU digital library

17

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada tahun 1967 Dayan dan Williams melaporkan ditemukan demielinisasi dan
remielinisasi segmental pada 10 bahan biopsi nervus suralis pada pasien dengan
berbagai penyakit hati kronik. Beberapa peneliti mendapatkan adanya hubungan antara
disfungsi autonomik dengan penyakit hati menahun, baik pada penyakit hati menahun
alkoholik atau non alkoholik.
Trevisani dkk melaporkan 80% dari 30 penderita sirosis hati menunjukkan
adanya disfungsi autonomik, dimana disfungsi autonomik berhubungan dengan berat
sirosis hati ( berdasarkan kriteria Child- Pugh ) dan tidak berhubungan dengan etiologi
penyakit hat i. Chaudry dkk dengan pemeriksaan elektrofisiologi pada penderita sirosis
hati mendapatkan hasil yang sesuai dengan length- dependent axonal neuropathy
atau dying back neuropathy. Dimana sebagian besar penderita sirosis hati dengan
disfungsi autonomik juga terbukti mengalami neuropati perifer.
Neuropati yang terjadi tidak tergantung kepada etiologi penyakit hati, ada
hubungan yang bermakna antara beratnya neuropati terhadap beratnya penyakit hati.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa disfungsi metabolik oleh karena kegagalan
fungsi hati menyebabkan terjadinya neuropati.
Pada penelitian ini pemeriksaan fungsi autonom variasi denyut jantung selama
bernafas dalam ( R6 ) sebanyak 17,3%, respon segera denyut jantung setelah
penderita berdiri ( RR 30/15 ) 6,7% dan respon tekanan darah dari berbaring ke berdiri
( TD Berbaring-berdiri ) 3,3%.
Hendrickse11 mendapatkan 45%
R6, 5% TD
Berbaring berdiri, Oliver mendapatkan 36,6% R6 dan
3,3 % RR 30/15 yang abnormal.
Penelitian ini mendapatkan uji fungsi parasimpatis lebih sering dari pada
simpatis ( tabel.5 ), menggambarkan kerusakan lebih awal pada vagal kemungkinan
besar lebih mudahnya kerusakan serabut parasimpatis kemudian berikutnya simpatis.
Urutan kerusakan menunjukkan uji disfungsi parasimpatis lebih sensitif dari pada uji
simpatis. Keresztes dkk, didapat perbaikan yang signifikan disfungsi autonomik setelah
transplantasi hati, dimana perbaikan terjadi lebih awal pada fungsi parasimpatis,
kemudian perbaikan simpatis.
Disfungsi autonomik yang didapat pada penelitian ini sebanyak 12 (40%)
dimana 10 early ( 6 Child B dan 4 Child C ) dan 2 definite( 2 Child C) ( tabel. 6 ).
Trevisani mendapatkan 80% disfungsi autonomik , definite sebanyak 40 %,. Chaudry
mendapatkan disfungsi autonomik 48%, Fleckenstein 67 %, early 31 % , definite
36%
Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan antara beratnya disfungsi
autonomik dengan beratnya keparahan penyakit hati ( Child- Pugh ) p< 0.05
( tabel.6 ) , sesuai dengan yang dilaporkan Trevisani, Oliver, Hendrickse, Chaudry,
Thuluvath, Kempler.
Pada pemeriksaan kecepatan hantaran saraf untuk menilai neuropati
perifer(sensorimotor), pada penelitian ini didapatkan motorik n.median yang abnormal
16,7%, n. peroneus 23,3% dan n. tibialis 23,3% sedangkan sensorik n. suralis 66,7%,

2003 Digitized by USU digital library

18

n. ulnaris 33,3% dan n. median 56,7%. ( tabel.7 ) Saraf sensori neuropati lebih banyak
dijumpai daripada saraf motorik neuropati. Oliver pada motorik n. median 13,3%,
sensorik n. suralis 16,6 %, sensorik n. median 6,6%., Chaudry
mendapatkan
neuropati perifer sebanyak 24% pada motorik n. peroneus, Kardel 67,6%, Knill- Jones
14,2%, dan Hakim 73,9%.
Penelitian ini mendapatkan adanya hubungan antara neuropati perifer dengan
beratnya penyakit
hati, motorik
n. median, peroneus dan tibialis p<0,05
(tabel.8,9,10 ), Sama yang didapatkan Trevisani, Oliver dan Hakim, sedangkan dengan
sensorik n. median, suralis dan ulnaris tidak didapat adanya hubungan, p > 0,05
(tabel.11,12,13 )
Pada kepustakaan terdapat variasi prevalensi neuropati perifer berkisar antara
0-90%. Perbedaan ini disebabkan karena beragamnya kriteria yang digunakan dalam
mendeteksi neuropati dan beratnya neuropati yang digunakan untuk menentukan
neuropati perifer.
Neuropati autonomik yang merupakan bagian dari generalized sensori-motor
polineuropathy , penderita dengan disfungsi autonomik juga mengalami neuropati
perifer ( sensorimotor ). Pada penelitian ini dari 12 penderita disfungsi autonomik, 11
diantaranya juga dijumpai neuropati perifer , 84%. Chaudry mendapatkan 91%. Pada
penelitian ini
didapatkan adanya korelasi antara variasi denyut jantung selama
bernafas dalam ( R6 ) dengan sensorik n. suralis ; r= 0,057; p < 0,05, RR 30/15 r=
0,456 ; p < 0,05 sedangkan dengan respon tekanan darah berbaring ke berdiri, r=
0,275 ; p > 0,05. Oliver10 mendapatkan
korelasi antara R6 dengan sensorik n.
median r =0,35 ; p < 0,05, RR 30/15 dengan motorik n. peroneus
r= 0,50; p < 0,01.
Pada penelitian ini tidak didapat adanya korelasi antara disfungsi autonomik
dengan neuropati perifer sensorik n. suralis r =0,253 ; p> 0,05 .

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
5.1.1. Pada penderita sirosis hati dijumpai adanya disfungsi autonomik dan
beratnya disfungsi autonomik ini berhubungan dengan beratnya sirosis hati.
5.1.2. Pada penderita sirosis hati dijumpai prevalensi yang tinggi untuk terjadinya
neuropati perifer ( sensorimotor ) dan berhubungan dengan beratnya sirosis
hati, terutama saraf motorik.
5.1.3 Tidak dijumpai adanya korelasi antara disfungsi autonomik dengan neuropati
perifer ( sensorimotor ) pada penderita sirosis hati.

2003 Digitized by USU digital library

19

5.2

SARAN
Perlu penelitian lanjutan dengan cara kohort dengan penderita yang lebih
banyak agar disfungsi autonomik dapat dipakai sebagai prediktor prognostik
mortalitas pada penderita sirosis hati.

BAB VI
KEPUSTAKAAN
Abergel A, Braillon A, Gaudin C, Kleber G, Lebrec D. Persistence of a hyperdynamic
circulation in cirrhotic rats following removal of the sympathetic nervous system.
Am J Gastroenterology 1992; 102:616- 60.
Asbury AK. Hepatic neuropathy. In: Dick PJ, Thomas PK, Lambert EH, Bunge R.
Peripheral neuropathy. 2th Ed. WB Saunders company, Philadelphia, 1984;
1826- 1831.
Chari VR, Katiyar BC, Rastogi BL, Bhattacharya SK. Neuropathy in hepatic disorders: a
clinical, electrophysiological and histopathological appraisal. Journal of the
Neurological Sciences,1977,31:93- 111.
Chaudhry V, Corse AM, OBrien R, Cornblath DR, Klein AS, Thuluvath PJ. Autonomic and
peripheral (sensorimotor) neuropathy in chronic liver disease: a clinical and
electrophysiology study. Hepatology 1999; 29:1689- 1703.
Chopra JS, Samantha AK, Murthy JM et al. Role of porta systemic shunt and
hepatocellular damaged in the genesis of hepatic neuropathy. Cin Neurol
Neurosurg 1980;82;37-44. abstrak
Consensus statement. Standarized measures in diabetic neuropathy. Diabetes Care.
Suppl 1995;18: 59- 82
Darmansjah I, Setiawati A, Gan S. Susunan saraf otonom dan transmisi neurohumoral.
Dalam: Gan S. Ed, Farmakologi Terapi, Ed. IV. Jakarta,Balai Penerbit FKUI,
1995; 25
Daube JR. Electrophysiologik testing in diabetic neuropathy. In: Dyck PJ, Thomas PKI,
Asbury A, Winergrad A, Porte D (eds). Diabetic Neuropathy, Philadelphia: WB
Saunders, 1987; 162- 76.
Dayan AD, Williams R. Demyelinating peripheral neuropathy and liver disease. Lancet
1967: 15; 133 - 4.
Decaux G, Gauchie P, Soupart A, Kruger M, Delwiche F. Role of vagal neuropathy in the
hyponatraemia of alcoholic cirrosis, Br Med J 1986; 293:1534- 36

2003 Digitized by USU digital library

20

Ewing DJ, Clarke BF. Diagnisis and management of diabetic autonomic neuropathy. BMJ
1982; 285:916- 8
Ewing DJ, Martyn CN, Young RJ, Clarke BF. The value of cardiovascular autonomic
function test: 10 years experience in diabetes. Diabetes Care 1985; 8:491- 8.
Fleckenstein JF, Frank SM, Thuluvath PJ, Pre sence of autonomic neuropathy is a poor
prognostic indicator in patients with advanced liver disease. Hepatology 1996;
23:471- 5. .
Frieling T. Autonomic dysfunction and liver disease. In: Liver and nervous system.
Disampaikan pada: Part III of the liver week freiburg. Falk symposium no. 103,
Freiburg (Germany), 4-5 Oktober, 1997.
Griffin J. Disorder of the peripheralnervous system. Johns Hopkins School of Medicine
Lecture Notes, The Johns Hopkins University 1997.
Groszmann RJ. de Francis R, Portal hypertension. In: Schiff ER, Sorell MF, Madrey
WC.Eds .Schiff disease of the liver. Lippincot Raven Publisher. Philadelphia
1999:1:387- 93
Groszmann RJ. Hyperdynamic circulation of liver disease 40 years later:
Pathophysiology and clinical consequences. Hepatology 1994; 20:1359- 63.
Hadi

S. Sirosis Hati. Dalam : Gastroenterologi. Edisi I, Bandung. Alumni ,1991:494529.

Hadi S. Prevalensi hepatitis B dan C pada penderita penyakit hati kronis. Acta Medica
Indonesiana 1994, XXVI; 111- 119.
Hakim M, Wibowo BS, Purba JS, Husodo UB. Peripheral neuropathy in cirrhosis patient:
Correlation between the severity of liver dysfunction and the degree of
peripheral neuropathy. ASNA ,Kuala Lumpur 22- 24 Maret 2001.abstrak
Hendrickse MT, Thuluvath PJ, Triger DR. Natural history of autonomic neuropathy in
chronic liver disease. Lancet 1992; 332:1462- 4
Hendrickse MT, Triger DR. autonomic dysfunction in chronic liver disease.. Clin Auton
Res 1993;3:227- 31.abstrak
Henriksen JH, Moller S, Larsen HR, Christensen NJ. Sympathetic nervous system in liver
disease. Part III of the liver week freiburg. Falk symposium no 103, Freiburg
(Germany), 4-5 Oktober, 1997. abstrak
Kempler P, Varadi A, Szalay F. Autonomic neuropathy in liver disease. Lancet 1989;
2:1332.
Kennet RP. Nerve conduction and electromyography.Medicine 1996;10:26- 28
Keresztes K, Marton A, Hermanyi ZS, et al. Improvement of cardiovascular autonomic
and peripheral sensori nerve function after orthotopic liver transplantation. In:

2003 Digitized by USU digital library

21

Liver and nervous system. Disampaikan pada: Part III of the liver week freiburg.
Falk symposium no. 103, Freiburg (Germany), 4- 5 Oktober, 1997. abstra k
Knill- Jones RP, Goodwill CJ, Dayan AD, Williams R. Peripheral neuropathy in chronic
liver disease: clinical, electrodiagnostic, and nerve biopsy findings. J Neurol
Neurosurg Psych 1972; 35:22- 30.
Madiyono B, Moeslichan D, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sample. Dalam:
Sastroasmoro S, Ismael S (eds). Dasar- dasar metodologi penelitian klinis.
Jakarta, Binarupa Aksara, 1995; 187-212.
Meh D, Denislic M. Complex rehabilitation, Peripheral neuropathy: neurology and
psychiatry hand in hand. In: Invited Symposium. 6th Internet world congress for
biomedical sciences.
Merican I. Complication of Chirrosis. In: Guam R, Kang JY, Ng HS. (Eds). Management
of Common Gastroenterological problems a Malaysia and Singapore perspective
2nd Ed, Singapore Medimedia Asia, 1995:166- 82.
Murti B. Memilih uji statistik yang sesuai. Dalam Murti B Ed. Penerapan metode statistik
non parametrik dalam ilmu kesehatan.Jakarta,Gramedia, 1996:20- 2
Noback CR, Demarest RJ. Anatomi mikroskopik dasar. In: Anatomi susunan saraf
manusia: Prinsip- prinsip dasar neurobiologi. 2th Ed.Jakarta, EGC; 35- 64.
O Brien IA, OHare P, Corrall RJM. Heart rate variability in health subjects: effect of age
and variation of normal ranges for test of autonomic function. Br Heart J
1986;55:348-54
Oliver MI, Miralles R, Rubies- Part J, Navarro X, Espadaler JM, Sola R, Andreu M.
Autonomic dysfunction in patients with non alcoholic chronic liver disease. J
Hepatol 1997; 26:1242- 8.
Pagan JCG, Santos C, Barbera JA. Physical exercise increases portal pressure in patients
with cirrhosis and portal hypertension. J Gastroenterol 1996; 111:1300- 6
Perdossi. Neuropati. Dalam: Harsono Ed. Buku ajar neurologi klinis. Yogjakarta, Gajah
Mada Univesity Press. 1999.303-6
Poncelet AN. An algorithm for the evaluation of peripheral neuropathy.American Family
Physician. 15 Feb. 1998
Pugh RN, Murray- Lyon IM, Dawson JL, Pietroni MC, Williams R. Transection of the
oesophagus for bleeding oesophageal varices. Br J Surg 1973; 60:646-9.
Puthumana L, Chaudry V, Thuluvath PJ. Prolong QTc interval and its relationship to
autonomic cardiovascular reflexes in patients with cirrhosis. Journal of
Hepatology 2001;3:733- 738
Seneviratne KN, Peiris OA. Peripheral nerve function in chronic liver disease.J.Neurol
Neurosurg Psychiat 1970;33,609- 614.

2003 Digitized by USU digital library

22

Seong NH. Acute hepatitis In Guan R. Kang JY, Ng HS (Eds) Management of Common
Gastroenterological problems a Malaysia and Singapore perspective 2nd Ed,
Singapore, Medimedia Asia, 1995:123- 136
Sherlock S, Dooley J. Hepatic cirrhosis. In: Disease of the Liver and Billiary System,
10th Ed. Malden,Blackwell Science, 1997; 371- 84.
Sherlock S, Dooley J. Hepatocellular failure. In: Disease of the Liver and Billiary
System, 10th Ed. Malden, Blackwell Science, 1997: 71- 4.
Sherlock S, Dooley J. The portal venous system and hypertension. In : Disease of the
liver and billiary system.
Tenth Ed, Melden, Blackwell Scientific
Publication,1997, 135- 78.
Sulaiman HA. Hepatitis B virus infection in liver cirrhosis and hepatocellular carcinoma
in Jakarta, Indonesia. Dalam: Sulaiman HA Ed. Virus hepatitis B, sirosis hati dan
karsinoma hepatoseluler.Jakarta. Infomedika , 1990: 139- 154
Szalay F,Marton A, Kersztes K, Hermanyi ZS, Kempler P. Neuropathy as an extra
hepatic manifestation of chronic liver diseases. Scand J Gastroenterol Suppl
1998;228:130- 132.abstrak
Tarigan P. Sirosis hati. Dalam: Sjaifoellah Noer (Ed) Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I,
Edisi ke- 3,Jakarta, Balai Penerbit FK- UI, 1996; 271-9.
Trevisani F, Sica G, Mainqua P, Santese G, DE Notariis S, Caraceni P, et al. Autonomic
dysfunction and hyperdynamic circulation in cirrhosis with ascites. Hepatology
1999; 30.
Tuluvath PJ, Triger DR, Autonomic neuropathy and chronic liver disease. Q J Med 1989;
72:737- 47. abstrak
Waxman SG. The autonomic nervous system. In: Correlative neuroanatomi 23th , Ed.
Prentice-Hall International, Connecticut, 1996; 259.
Wibowo BS. Pemeriksaan elektromiografi. Dalam: Pusponegoro HD, Passat J,
Mangunatmadja I, Soetomenggolo TS, Ismael S. Kelainan neurologis dalam
praktek sehari- hari.Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 1995; 121- 137.
Wibowo S. Hubungan antara lama menderita diabetes melitus, lama gejala neuropati
perifer, dan kadar HbA1C dengan terjadinya neuropati otonom. MKI 2000;
50:183- 187.
Wiclund MP, Mendell JR.Peripheral neuropathy. In: Conn`s Current Therapy 2002, 54
ed.http://www.md consult.com
Widjaja D. Pemeriksaan neurofisiologik pada sindroma nyeri akut dan menahun. Dalam:
Meliala KRTL, Suryamiharja A, Purba JS, Sadeli HA. Nyeri neuropatik:
Patofisiologi dan penatalaksanaan. Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI 2001; 2363.
Winer JB. Neuropathy. Medicine 1996; 10:103- 109

2003 Digitized by USU digital library

23

You might also like