You are on page 1of 15

SATUAN ACARA PENYULUHAN

Pokok bahasan

: Gagal Ginjal Kronik

Sasaran

: Pasien dan keluarga pasien di ruang 28

Tempat

: R. 28 RSSA

Hari, tanggal

: Jumat, 20 Maret 2015

Alokasi waktu

: 60 menit

Metode

: ceramah, tanya jawab dan diskusi

Pertemuan ke

: 1 (satu)

A. Tujuan Instruksional
1. Tujuan umum
Setelah dilakukan penyuluhan selama 1x60 menit diharapkan sasaran mampu
mengetahui tentang Gagal Ginjal Kronik.
2. Tujuan khusus
Setelah mendapat penyuluhan tentang Gagal Ginjal Kronik, diharapkan peserta
mampu:
a. Mengetahui pengertian Gagal Ginjal Kronik
b. Mengetahui tentang penyebab terjadinya Gagal Ginjal Kronik
c. Mengetahui tentang patofisiologi (proses terjadinya) Gagal Ginjal Kronik
d. Mengetahui tanda dan gejala Gagal Ginjal Kronik
e. Mengetahui pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui adanya Gagal Ginjal
f.

Kronik
Mengetahui penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik

B. Materi Penyuluhan
1. Pengertian Gagal Ginjal Kronik
2. Penyebab terjadinya Gagal Ginjal Kronik
3. Patofisiologi (proses terjadinya) Gagal Ginjal Kronik
4. Tanda dan gejala Gagal Ginjal Kronik
5. Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui adanya Gagal Ginjal Kronik
6. Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik
7. Sasaran
Sasaran penyuluhan adalah pasien dan keluarga yang dirawat di ruang 28
8. Metode
Metode yang digunakan adalah ceramah, diskusi dan tanya jawab
9. Media
Media yang digunakan adalah leaflet, dan powerpoint
10. Kegiatan Penyuluhan
Tahap

Waktu

Kegiatan Penyuluhan

Kegiatan Peserta

Metode

media

Pembukaan

5 menit 1. Membuka

kegiatan 1. Menjawab

dengan

Ceramah

microphone

Ceramah,

Leaflet dan

Tanya

ppt

salam
2. Mendengarkan

mengucapkan
salam.
2. Memperkenalkan

penjelasan
penyaji

diri.
3. Menjelaskan
maksud dan tujuan

Penyajian

45

dari penyuluhan.
4. Kontrak waktu
5. Membagikan leaflet
1. Menggali

menit

pengetahuan
peserta

dan

sebelum

diberi penyuluhan.
2. Menjelaskan
-

tentang :
Pengertian Gagal
Ginjal Kronik
Penyebab

memperhatikan
2. Memberikan

Ginjal Kronik
Patofisiologi

jawab

tanggapan dan
pertanyaan
mengenai
yang

terjadinya Gagal
-

1. Mendengarkan

hal

kurang

dimengerti.
3. Mencatat halhal penting

(proses
terjadinya) Gagal
-

Ginjal Kronik
Tanda dan gejala
Gagal

Ginjal

Kronik
Pemeriksaan
yang

dilakukan

untuk
mengetahui
adanya
-

Ginjal Kronik
Penatalaksanaan
pada

Penutup

10
menit

Gagal

Gagal

Ginjal Kronik
1. Mengulang
informasi
penting.

1. Mendengarkan
yang

dan

bertanya,

serta menjawab

Ceramah,
diskusi,
tanya

Leaflet

2. Menggali

pertanyaan.
2. Memberikan

pengetahuan
peserta

setelah

tanggapan
balik.

dilakukan
penyuluhan

jawab

dalam

bentuk tanya jawab.


3. Meyimpulkan hasil
kegiatan
penyuluhan.
4. Menutup
dengan
salam
11. Evaluasi
1. Evaluasi proses:
a) Sasaran mengikuti kegiatan penyuluhan dengan baik
b) Sasaran terlibat aktif dan kooperatif dalam kegiatan penyuluhan
c) Sasaran aktif bertanya
d) Sasaran aktif dan antusias dalam mengikuti kegiatan penyuluhan
2. Evaluasi hasil:
a. Jumlah peserta penyuluhan minimal 5 peserta
b. Media yang digunakan adalah leaflet
c. Waktu penyuluhan adalah 60 menit
d. Tidak ada peserta yang meninggalkan ruangan saat kegiatan penyuluhan
berlangsung
e. Peserta aktif dan antusias dalam megikuti kegiatan penyuluhan
3. Hasil
a) Sasaran mampu memahami tentang pengertian Gagal Ginjal Kronik
b) Sasaran mampu memahami tentang penyebab terjadinya Gagal Ginjal Kronik
c) Sasaran mampu memahami tentang patofisiologi (proses terjadinya) Gagal
Ginjal Kronik
d) Sasaran mampu memahami tentang tanda dan gejala Gagal Ginjal Kronik
e) Sasaran mampu memahami tentang pemeriksaan yang dilakukan untuk
f)

mengetahui adanya Gagal Ginjal Kronik


Sasaran mampu memahami tentang penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik

12. Materi Penyuluhan (lampiran 1)

Lampiran 1
CKD (Chronic Kidney Disease)
DEFINISI
Penyakit ginjal kronis (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir
dengan gagal ginjal.1 Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama
lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria.(Usu, 2008).
ETIOLOGI
PGK memiliki etiologi yang bervariasi dan tiap negara memiliki data etiologi PGK yang
berbeda-beda. Di Amerika Serikat, diabetes melitus tipe 2 merupakan penyebab terbesar
ESRD. Hipertensi menempati urutan kedua. Di Indonesia, menurut data Perhimpunan
Nefrologi Indonesia (2000), glomerulonefritis merupakan 46.39% penyebab gagal ginjal
yang menjalani hemodialisis. Sedangkan diabetes melitus insidennya 18,65% disusul
obstruksi / infeksi ginjal (12.85%) dan hipertensi (8.46%) (Firmansyah, 2010). Dari data yang
sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 20072008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes
melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Usu, 2008).
1.
Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi
tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis
dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya
berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan
ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus
sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Usu, 2008).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan
secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan

darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Usu,
2008).
2.

Diabetes melitus
Nefropati diabetik merupakan manifetasi mikroangiopati pada ginjal yang
ditandai dengan adanya proteinuri (mula-mula intermiten kemudian persisten),
penurunan GFR (glomerular filtration rate)peningkatan tekanan darah yang
perjalanannya progresif menuju stadium akhir berupa gagal ginjal terminal. Berbagai
teori tentang patogenesis nefropati diabetik adalah peningkatan produk glikosilasi
dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs (Advanced Glicosylation End
Products), Peningkatan reaksi jalur poliol (polyol pathway), glukotoksisitas (otooksidasi),

dan

protein

kinase

memberikan

kontribusi

pada

kerusakan

ginjal.Kelainan glomerulus disebabkan oleh denaturasi protein karena tingginya


kadar glukosa, hiperglikemia dan hipertensi intraglomerulus. Kelainan/perubahan
terjadi pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel mesangium.
Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah,
sehingga terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas membran basalis
3.

glomerulus yang ditandai dengan timbulnya albuminuria (Arsono, 2008).


Hipertensi
Hipertensi menyebabkan CKD karena pada pasien dengan hipertensi maka
kerja ginjal semakin berat, jika hal ini terus menerus terjadi maka akan terjadi gagal
ginjal.

4.

Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling
sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal
polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan
pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat
dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (usu, 2008)

BATASAN DAN KLASIFIKASI


Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patalogis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak
ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60ml/menit/1,73m2 , seperti yang terlihat pada tabel
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
kelainan patalogik
terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah
atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. laju filtrasi gromelurus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :

Klasifikasi tersebut tampak pada table berikut :

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik (CKD) pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron
yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh
molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Penyebab utama
perburukan fungsi ginjal adalah adanya hiperfiltrasi glomerulus. Penurunan jumlah nefron
(sebagai filter) dalam ginjal terjadi seiring perjalanan penyakit ginjal kronik. Nefron yang
tersisa akan mengalami adaptasi struktural dan fungsional. Adaptasi ini menyebabkan
perubahan

hemodinamik

dan

non-hemodinamik

yang

akan

menyebabkan

glomerulosklerosis. Kondisi akan merusak nefron yang tersisa (Firmansyah, 2010). Aktifitas
jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor
seperti transforming growth factor (TGF- ). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik (CKD) adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemi, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial (Suwitra, 2006).
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik (CKD), terjadi kehilangan daya cadang
ginjal (renal reverse), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif,
yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan serum kreatinin. Sampai pada LFG
sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan serum kreatinin. Sampai pada LFG 30%, mulai terjadi keluhan
pada pasien seperti, nokturia, badan lemas, mual, nafsu makan berkurang dan penurunan
berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda
uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme
fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena
infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna.
Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG 15% akan terjadi gejala
dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi penganti ginjal

antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai
stadium gagal ginjal (Suwitra, 2006).
TANDA DAN GEJALA
Menurut Nursalam (2006), manifestasi klinis yang terjadi :
-

Gastrointestinal

: ulserasi saluran pencernaan

Kardiovaskuler

: hipertensi, perubahan EKG,

dan perdarahan.
-

perikarditis, efusi pericardium, tamponade pericardium.


Respirasi
: edema paru, efusi pleura, pleuritis.
Neuromuskular
: lemah, gangguan tidur, sakit

kepala, letargi, gangguan muskular, neuropati perifer, bingung dan koma.


Metabolik/endokrin : inti glukosa, hiperlipidemia, gangguan

hormon seks menyebabkan penurunan libido, impoten dan ammenore.


Cairan-elektrolit
: gangguan asam basa menyebabkan
kehilangan

sodium

sehingga

terjadi

hipermagnesemia, hipokelemia.
Dermatologi

dehidrasi,

asidosis,

hiperkalemia,

pucat,

hiperpigmentasi,

pluritis,

Abnormal skeletal

osteodistrofi

Hematologi

anemia,

Fungsi psikososial

: perubahan kepribadian dan perilaku

eksimosis, uremia frost.


-

ginjal

menyebabkan

osteomalaisia.
-

defek

kualitas

flatelat,

perdarahan meningkat.
-

serta gangguan proses kognitif.


PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1)
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik (CKD) meliputi:
a.
Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
b.

Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.


Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,

c.

pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.


Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit

2)

(sodium, kalium, khlorida)


Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik (CKD) meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan krestinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.

c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan


kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremi, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic (Suwitra, 2006). Terdapat
penurunan bikarbonat plasma (15-25 mmol/liter), penurunan pH, dan peningkatan
anion gap. Konsentrasi natrium biasanya normal, namun dapat meningkat atau
menurun akibat masukan cairan inadekuat atau berlebihan. Hiperkalemia adalah
tanda gagal ginjal yang berat, kecuali terdapat masukan berlebihan, asidosi
tubular ginjal, atau hiperaldosteronisme. Terdapat peningkatan konsentrasi fosfat
plasma dan peningkatan kalsium plasma. Kemudian fosfatse alkali meningkat.
Dapat ditemukan peningkatan parathormon pada hiperparatiroidisme (Pernefri,
2010).
d. Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria
(Suwitra, 2006).
Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik normokrom dan terdapat
sel Burr pada uremia berat. Leukosit dan trombosit masih dalam batas
normal.Pemeriksaan mikroskopik urin menunjukan kelainan sesuai penyakit yang
mendasarinya.Klirens kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi glomerulus dan
turun menjadi kurang dari 5 ml/menit pada ginjal terminal. Dapat ditemukan
proteinuria 200-1.000 mg/hari.Permeriksaan biokimia plasma akan mengetahui
fungsi ginjal dan gangguan elektrolit, mikroskopik urin, urinalisa, tes serologi untuk
mengetahui
3)

penyebab

glomerulonefritis,

dan

tes-ts

penyaringan

sebagai

persiapan sebelum dialisis (biasanya hepatitis B dan HIV) (Pernefri.2010).


Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik (CKD) meliputi:
a.
Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b.
Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksis
c.
d.

oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.


Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifiasi (Suwitra, 2006). USG ginjal sangat penting untuk mengetahui ukuran
ginjal dan penyebab gagal ginjal, misalnya adanya kista atau obstruksi pelvis
ginjal. Dapat pula dipakai foto polos abdomen. Jika ginjal lebih kecil dibandingkan
usia dan besar tubuh pasien maka lebih cenderung ke arah gagal ginjal kronik

4)

(Pernefri, 2010).
e.
Pemerikasaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
Biopsi dan pemeriksaan Histopatologi ginjal
Biposi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa

ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,


menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
Biopsi ginjal kontra-indikasi dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah
mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas (Suwitra, 2006).
Selain itu munculnya keluhan pada CKD dikarenakan adanya sindrom uremia
sebagai berikut :

PENATALAKSANAAN
Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik (CKD) sesuai dengan
derajatnya
Derajat
LFG (ml/mnt/1,73m2)
1

90

Rencana tatalaksana
-

Terapi

penyakit

dasar,

kondisi komorbid, evaluasi


pemburukan (progression)
fungsi ginjal, memperkecil
2

60-89

resiko kardiovaskuler
Menghambat pemburukan

30-59

fungsi ginjal
Evaluasi
dan

terapi

15-29

komplikasi
Persiapan

terapi

untuk

< 15

pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal

a. Pembatasan asupan protein.


Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG 60 ml/mnt,
sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu
dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kg.bb/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya
merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien.
Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda
dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan
melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen,
posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena
itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK)/CKD
akan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan
demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom
uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebihan (protein overload)
akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran
darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan
meningkatkan progresifitas perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein
juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu
berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah
terjadinya hiperfosfatemia.
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal
LFG
ml/menit
>60
25-60

Kronik
Asupan protein g/kg/hari

Fosfat

Tidak dianjurkan
0,6-0,8/kg/hari, termasuk

(g/kg/hari)
Tidakdibatasi
10 g

0,35 gr/kg/hr nilai


5-25

biologi tinggi.
0,6-0,8 kg/hari, termasuk
0,35 gr/kg/hr protein
nilai biologi tinggi atau
tambahan 0,3 g asam
amino esensial atau

10 g

<60
(sindrom
nefrotik)

asam keton
0,8/kg/hr (+1 gr protein/g

9 g

proteinuria atau 0,3 g/kg


tambahan asam amino
esensial atau asam

keton
(Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2006)
b. Terapi farmakologis untuk hipertensi intraglomerulus.
Pemakaian obat antihipertensi, di samping bermanfaat untuk memperkecil
resiko kardiovaskuler juga sangat penting untuk memperlambat perburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi
glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah
mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein,
dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Disamping
itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuri. Saat ini
diketahui secara luas bahwa, proteinuri merupakan faktor resiko terjadinya
perburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuri berkaitan dengan
proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Enzim Konverting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi
terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. hal ini terjadi lewat
mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.
c. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal
yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi
penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia
dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit
ginjal kronik secara keseluruhan.
d. Pencegahan dan terapi terhadap Anemia
Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan

sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g% atau hematokrit
30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/ serum iron,
kapasitas ikat besi total/Total iron Binding Capacity, feritin serum), mencari sumber
perdarahan,

morfologi

eritrosit,

kemungkinan

adanya

hemolisis

dan

lain

sebagainya. penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya,


disamping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan
hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat
perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian
transfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan
indiksi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan
secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan
pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah
11-12 g/dl.
e. Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi
kardiovaskuler. Air yang masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang
keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa
air yang keluar melalui insensible water loss antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan
luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah
jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia
jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium
dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar
kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk
mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan,
disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.
f. Terapi Pengganti Ginjal
Dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari
15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis
atau transplantasi ginjal.

g. Hemodialisis

Pada gagal ginjal terminal, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah


ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen
yang terpisah. Darah pasien di pompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang
dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen
dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisis
larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa
metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami
perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke
arah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua
kompartemen (difus). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari
kompartemen darah ke kompartemen dialisat dengan cara menaikkan tekanan
hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut
ultrafiltrasi.
Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang
berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat
dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat
terlarut tersebut makin tinggi bila; 1) perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen
makin besar, 2) diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah, dan 3) bila tekanan
osmotik di kompatemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir
berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi. Perpindahan zat
terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai
konsentrasinya sama di kedua kompartemen.

Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus
(LFG < 5mL/menit). Keadaan pasien yang yang mengalami LFG < 5 mL/mnt tidak
selalu sama, sehingga dialisis dianggap perlu dimulai bila dijumpai salah satu hal
ini:

Keadaan umum buruk dan gejala klnis nyata

K serum > 6 mEq/L

Ureum darah > 200 mg/dL

pH darah < 7,1

Anuria berkepanjangan (> 5 hari)

Fluid overloaded

You might also like