You are on page 1of 12

ANALISIS JURNAL

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM


PERSPEKTIF
KEBIJAKAN PUBLIK
TUGAS
Diajukan untuk memenuhi tugas salah satu Mata Kuliah
Pendidikan Dalam Prespektif Kebijakan Publik
Dosen : Prof. Dr. Suparno Eko Widodo

Disusun Oleh :

ISWADI IDRIS (No. Register: 7616120902)

KONSENTRASI KEPENGAWASAN

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


PENDIDIKAN

PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA


2013
pendahuluan

embangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat


Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita
permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini, seperti (1)
disorientasi

dan

belum

dihayatinya

nilai-nilai

Pancasila;

(2)

keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila;


(3) bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (4)
memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi
bangsa; dan (5) melemahnya kemandirian bangsa (Buku Induk Kebijakan Nasional
Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025).
Untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana
diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi
permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah menjadikan pembangunan
karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu
telah ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
Tahun 2005-2025, dimana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk
mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu Mewujudkan masyarakat berakhlak
mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.
Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana yang
diamanatkan dalam RPJPN, sesungguhnya hal tersebut sudah tertuang pada fungsi
dan

tujuan

pendidikan

nasional,

yaitu

Pendidikan

nasional

berfungsi

mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat


dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN)).
Dengan demikian, RPJPN dan UUSPN merupakan landasan yang kokoh
untuk melaksanakan secara operasional pendidikan karakter sebagai prioritas

program Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, sebagaimana yang tertuang


dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010).
Isi dari rencana aksi tersebut adalah bahwa pendidikan karakter disebutkan
sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan
watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan
keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam
kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang
benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan
kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi
paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif)
nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan
karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik
(moral knowing), akan tetapi juga merasakan dengan baik atau loving good (moral
feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan
pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan. (Lickona,
2004).
Oleh karena itu pendidikan karakter pada dasarnya adalah pengembangan
nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia,
agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati
baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku
bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam
pergaulan dunia. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang
mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, tokoh
agama, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.

FOKUS KAJIAN
Analisis kebijakan ini akan difokuskan pada hal-hal sebagaimana berikut ;
a. Relevansi kebijakan terhadap perspektif akademis berdasarkan teoretik
ilmiah.
b. Tingkat kemanfaatan pragmatis kebijakan terhadap peningkatan mutu
pendidikan sebagaimana tujuan utamanya.

c. Rekomendasi keberlanjutan pelaksanaan kebijakan tersebut.

FOKUS KAJIAN

embangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila


dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan
kebangsaan yang berkembang saat ini, seperti: disorientasi dan belum

dihayatinya nilai-nilai Pancasila; keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam


mewujudkan nilai-nilai Pancasila; bergesernya

nilai etika dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai- nilai budaya


bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa
Untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana
diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi
permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah menjadikan pembangunan
karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu
secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) tahun 2005-2015, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai
landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan
masyarakat

berakhlak

mulia,

bermoral,

beretika,

berbudaya,

dan

beradab

berdasarkan falsafah Pancasila.


Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana yang
diamanatkan dalam RPJPN, sesungguhnya hal yang dimaksud itu sudah tertuang
dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
UUSPN).
Dengan demikian, RPJPN dan UUSPN merupakan landasan yang kokoh
untuk melaksanakan secara operasional pendidikan budaya dan karakter bangsa
sebagai prioritas program Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, yang
dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010): pendidikan

karakter

disebutkan

pendidikan

moral,

sebagai

pendidikan

pendidikan

watak

nilai,

pendidikan

yang

bertujuan

budi

pekerti,

mengembangkan

kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa


yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh
hati.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
1.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005


tentang Standar Nasional Pendidikan

2.

Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004,


mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu,

3.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 32


Tahun 2005 tentang Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 20052009.

Temuan dan fakta

enelitian yang dilakukan oleh Jalaludin 2012 dalam Jurnalnya berjudul


MEMBANGUN

SDM

BANGSA MELALUI

PENDIDIKAN

KARAKTER Bangsa Indonesia dewasa ini tengah mengalami semacam

split personality, sejumlah pristiwa yang mengarah pada dekadensi moral


menunjukkan bahwa bangsa ini telah hampir kehilangan jati dirinya sebagai bangsa
yang dikenal beradab dan bermartabat. Sementara tradisi pendidikan tampak belum
matang untuk memilih pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam
kehidupan masyarakat. Di tengah kondisi tersebut, pendidikan holistik berbasis
karakter yang menekankan pada dimensi etis-religius menjadi relevan diterapkan.
Pendidikan holistik merupakan filosofi pendidikan yang berangkat dari pemikiran
bahwa pada dasarnya pendidikan individu dapat menemukan identitas, makna, dan
nilai-nilai spiritual. Pendidikan moral ini dapat membentuk generasi bangsa yang
memiliki karakter yang mengakar pada budaya dan nilai-nilai religius bangsa,
sebagaimana negeri Cina yang mampu melahirkan generasi handal justru dengan
mengedepankan karakter dan tradisi bangsanya.

enelitian yang dilakukan oleh Sri Wahyuni Tanshzil 2012 dalam Jurnalnya
berjudul MODEL PEMBINAAN PENDIDIKAN KARAKTER

PADA

LINGKUNGAN

PONDOK

PESANTREN

DALAM

MEMBANGUN KEMANDIRIAN DAN DISIPLIN SANTRI Penelitian ini


dilatarbelakangi oleh sebuah fakta lapangan yang menunjukan telah terjadinya
penurunan kualitas moral bangsa Indonesia, yang dicirikan dengan maraknya
praktek KKN, terjadinya konflik, meningkatnya kriminalitas, dan menurunnya etos
kerja. Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan non formal, yang sarat
dengan pendidikan nilai, baik nilai agama maupun nilai-nilai luhur bangsa,menjadi
sebuah lembaga yang sangat efektif dalam mengembangkan pendidikan karakter.
Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui bagaimana Model
pembinaan pendidikan karkater pada lingkungan pondok pesantren dalam
membangun kemandirian dan disiplin santri.
Temuan penelitian ini ialah: (1) Unsur-unsur nilai karakter yang dikembangkan
dalam lingkungan pondok pesantren meliputi nilai fundamental, instrumental serta
praksis yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist serta nilai-niai luhur Pancasila.
(2) Proses pembinaan pendidikan karkater dalam membangun kemandirian dan
disiplin santri di lingkungan pondok pesantren dilaksanakan dengan pendekatan
menyeluruh, melalui pembelajaran, kegiatan ekstrakulikuler, pembiasaan, serta
kerjasama dengan masyarakat dan keluarga.(3) Metode yang digunakan dalam
membangun kemadirian serta kedisiplinan santri pada lingkungan pondok pesantren
dilaksanakan melalui metode pembiasaan, pemberian pelajaran atau nasihat,
metode pahala dan sanksi, serta metode keteladanan dari para kyiai serta
pengajarnya. (4) Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan metode pembinaan
karakter dalam membangun kemandirian dan kedisiplinan santri pada pondok
pesantren bersifat internal dan eksternal. (5) Keunggulan hasil yang dikembangkan
dalam membangun kemandirian dan kedisiplinan santri pada pondok pesantren
dibuktikan dengan adanya perubahan sikap, tatakrama serta prilaku santri;
munculnya kemandirian santri dalam berfikir dan bertindak; Munculnya kedisiplinan
santri dalam mengelola waktu serta menaati tata peraturan, serta lahirnya figur-figur
panutan dalam lingkungan masyarakat, baik dalam bidang pendidikan, keagamaan,
kesehatan serta organisasi kemasyarakatan.

enelitian yang dilakukan oleh Marzuki 2012 dalam Jurnalnya berjudul


PENGINTEGRASIAN

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM

PEMBELAJARAN DI SEKOLAH Pendidikan adalah proses

memanusiakan manusia. Untuk meraih derajat manusia seutuhnya sangatlah tidak


mungkin tanpa melalui proses pendidikan. Pendidikan harus dapat menghasilkan
insan-insan yang memiliki karakter mulia, di samping memiliki kemampuan
akademik dan keterampilan yang memadai. Salah satu cara untuk mewujudkan
manusia yang berkarakter adalah dengan mengintegrasikan pendidikan karakter
dalam setiap pembelajaran. Nilai-nilai karakter utama yang harus terwujud dalam
sikap dan perilaku peserta didik sebagai hasil dari proses pendidikan karakter
adalah jujur (olah hati), cerdas (olah pikir), tangguh (olah raga), dan peduli (olah
rasa dan karsa). Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran dapat
dilakukan dengan pemuatan nilai-nilai karakter dalam semua mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah dan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Untuk itu guru
harus mempersiapkan pendidikan karakter mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
hingga evaluasinya. Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah perlu didukung
oleh keteladanan guru dan orang tua murid serta budaya yang berkarakter.

Kajian literatur

ecara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa


Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti to engrave (Ryan &
Bohlin, 1999:5). Kata to engrave bisa diterjemahkan mengukir, melukis,
memahatkan, atau menggoreskan (Echols & Shadily, 1995:214). Orang

berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau


berwatak. Dengan demikian, karakter merupakan watak dan sifat-sifat seseorang
yang menjadi dasar untuk membedakan seseorang dari yang lainnya. Koesoema,
(2007:80), karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan
ciri, karakteristik, atau sifat khas diri seseorang yang bersumber dari bentukanbentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan
bawaan sejak lahir.

Thomas Lickona (1991:51), mendefinisikan karakter sebagai A reliable inner


disposition to respond to situations in a morally good way. Selanjutnya, Lickona
menambahkan, Character so conceived has three interrelated parts: moral
knowing, moral feeling, and moral behavior. Karakter mulia (good character), dalam
pandangan Lickona, meliputi pengetahuan tentang kebaikan (moral khowing), lalu
menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan (moral feeling), dan akhirnya
benar-benar melakukan kebaikan
Doni Koesoema A, (2007:80), Kepribadian dipandang sebagai ciri atau
karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari
bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya di lingkungan keluarga
saat masih kecil dan bawaan seseorang sejak lahir.
Udin S. Winataputra, (2010:3), secara makro, karakter bangsa adalah kualitas
perilaku kolektif kebangsaan yang khas-baik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa
sekelompok orang yang berdasarkan pada nilai-nilai. Kemdiknas, (2010:9-10),
Secara psikologis perilaku berkarakter merupakan perwujudan dari potensi
Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), dan
Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosiokultural pada akhirnya dapat dikelompokkan dalam empat kategori, yakni 1) olah
hati (spiritual and emotional development), 2) olah pikir (intellectual development),
3) olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan 4) olah rasa
dan karsa (affective and creativity development). Keempat proses psiko-sosial ini
secara holistik dan koheren saling terkait dan saling melengkapi dalam rangka
pembentukan karakter dan perwujudan nilai-nilai luhur dalam diri seseorang.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa karakter identik dengan
akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal
yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan
Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungan,
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat.
Menurut Ahmad (1995:62) bahwa kehendak (niat) merupakan awal terjadinya
akhlak (karakter) pada diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk
pembiasaan sikap dan perilaku.

Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an.


Thomas Lickona (1991:51) dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia
menulis buku yang berjudul Educating for Character: How Our School Can Teach
Respect and Responsibility (1991) yang kemudian disusul oleh tulisan-tulisannya
seperti The Return of Character Education yang dimuat dalam jurnal Educational
Leadership. Pendidikan karakter, menurutnya, mengandung tiga unsur pokok, yaitu
mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good),
dan melakukan kebaikan (doing the good). Di pihak lain, Frye (2002:2)
mendefinisikan pendidikan karakter sebagai, A national movement creating
schools that foster ethical, responsible, and caring young people by modeling
and teaching good character through an emphasis on universal values that we all
share.
Warsono, (2010:35), Pendidikan karakter merupakan proses pendewasaan
dan pematangan diri seseorang agar menjadi manusia seutuhnya, manusia yang
berkarakter yang terlihat pada kehidupan moral dan kematangan pada setiap diri
seseorang warga belajar, sehingga memahami kebaikan, mau berbuat baik dan
berperilaku baik sebagai manifestasi dari pribadi yang baik.
Kirsten Lewis (1996:8) menegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan
upaya untuk mengembangkan akhlak mulia dan kebiasaan yang baik bagi para
peserta didik. Oleh karena itu, institusi pendidikan atau sekolah harus menjadi
lingkungan yang kondusif. Sekolah harus menjadi sebuah komunitas dan wahana
persaudaraan tempat berkembangnya nilai-nilai kebaikan dan sarana pembiasaan
yang baik. Dalam pengembangan pendidikan karakter, guru harus juga bekerja sama
dengan keluarga atau orang tua/wali peserta didik.
Darmiyati Zuchdi, (2008:5) Pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan
nilai, pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti (moral behavior). Dengan kata
lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap
(attitudes), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan
(skills).
Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana
yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan
kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu
merasakan, dan mau melakukan yang baik. Dengan demikian, pendidikan karakter
membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral.

Jadi, pendidikan karakter harus menjadi gerakan nasional yang menjadikan


sekolah (institusi pendidikan) sebagai agen untuk membangun karakter peserta
didik melalui pembelajaran dan pemodelan. Melalui pendidikan karakter sekolah
harus berpretensi untuk membawa peserta didik memiliki nilai-nilai karakter mulia
seperti hormat dan peduli pada orang lain, tanggung jawab, jujur, memiliki integritas,
dan disiplin. Di sisi lain pendidikan karakter juga harus mampu menjauhkan peserta
didik dari sikap dan perilaku yang tercela dan dilarang.

Kesimpulan dan rekomendasi


Jika pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah sebagai bagian dari
reformasi pendidikan, maka reformasi pendidikan karakter bisa diibaratkan sebagai
pohon yang memiliki empat bagian penting, yaitu akar, batang, cabang, dan daun.
Akar reformasi adalah landasan filosofis (pijakan) pelaksanaan pendidikan.
Batang reformasi berupa mandat dari pemerintah selaku penanggung jawab
penyelenggara

pendidikan

nasional.

Cabang

reformasi

berupa

manajemen

pengelolaan pendidikan karakter, pemberdayaan guru, dan pengelola pendidikan


Sedang daun reformasi adalah adanya keterlibatan orang tua peserta didik dan
masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan karakter yang didukung pula dengan
budaya dan kebiasaan hidup masyarakat yang kondusif yang sekaligus menjadi
teladan bagi peserta didik dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari.
Keempat pilar reformasi pendidikan karakter di atas saling terkait dan jika
salah satunya tidak maksimal akan dapat mengganggu pelaksanaan pendidikan
karakter di sekolah dan institusi pendidikan lainnya. Karena itulah, pelaksanaan
pendidikan karakter harus dipersiapkan dengan baik dan

melibatkan semua

pihak yang terkait dengan pelaksanaannya serta harus dilakukan evaluasi yang
berkesinambungan.
Lingkungan sosial dan budaya bangsa Indonesia adalah Pancasila, sehingga
pendidikan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Pendidikan
karakter yang religius (religious based character) harus didasarkan pada nilai-nilai
karakter yang terkandung dalam keseluruhan ajaran agama yang dianut peserta
didik. Pengembangan karakter di sekolah menjadi sangat penting mengingat di
sinilah peserta didik mulai berkenalan dengan berbagai bidang kajian keilmuan.

Pada masa ini pula peserta didik mulai sadar akan jati dirinya sebagai
manusia yang mulai beranjak dewasa dengan berbagai problem yang menyertainya.
Dengan

berbekal nilai-nilai

karakter mulia

yang diperoleh melalui proses

pembelajaran di kelas dan di luar kelas, peserta didik diharapkan menjadi manusia
yang berkarakter sekaligus memiliki ilmu pengetahuan yang siap dikembangkan
pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Sebagai pelaku utama pendidikan sebaiknya para guru: (1) Dapat menjadi
contoh yang baik pada pembentukan karakter siswa; (2) Dapat mengintegrasikan
pendidikan karakter dalam mata pelajaran yang diampunya; (3) Membantu siswa
untuk memilah dan memilih lingkungan dan memberi bekal agar siswa tidak
terpengaruh terhadap lingkungan dan contoh-contoh perilaku yang tidak sesuai
dengan karakter yang baik.
Dari kajian beberapa jurnal dan kajian literatur yang dilakukan, mengenai
penilaian

kebijakan

pendidikan

terhadap

pendidikan

karakter

dapat

direkomendasikan bahwa pendidikan karakter penting untuk dilanjutkan, dengan


catatan pelaksanaannya mesti dikemas dengan baik sehingga hasilnya bisa lebih
baik serta pengontrolan atas kinerja pelaksanaan pendidikan karakter yang
terintegral terhadap mata pelajaran di sekolah baik sekolah negeri maupun
sekolah pondok pesantren dilakukan dengan berkelanjutan, dan terus melakukan
inovasi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik yaitu terjadi perubahan mental
kea rah yang lebih baik terhadap peserta didik.

Daftar pustaka

Darmiyati Zuchdi, 2008. Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan


Yang Manusiawi, Jakarta: Bumi Aksara.
Doni Koesoema A. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di
Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Cet. I.
Frye, Mike at all. (Ed.) 2002. Character Education: Informational Handbook and
Guide for Support and Implementation of the Student Citizent Act of 2001.
North Carolina: Public Schools of North Carolina.
Jalaludin, 2012. Membangun SDM Bangsa Melalui Pendidikan Karakter, Jurnal
Pendidikan Oktober, 2012
Kemdiknas. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementerian
Pendidikan
Nasional.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach
Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland:
Bantam books.
Marzuki, 2012. Pengintegrasian Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran di
Sekolah, Jurnal Pendidikan April, 2012
Mulyasa, H.E. 2011. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.
Pemerintah Republik Indonesia. 2010. Kebijakan Nasional Pembangunan
Karakter Bangsa Tahun 2010-2025. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang
Kemdiknas.
Ryan, Kevin & Bohlin, K. E. 1999. Building Character in Schools: Practical Ways to
Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey Bass.
Tanshzil, Wahyuni, 2012. Model Pembinaan Pendidikan Karakter pada Lingkunga
Pondok Pesantren dalam Membangun Kemandirian Disiplin Santri, Jurnal
Pendidikan Oktober, 2012
Zainuddin.

2008.

Reformasi

Pendidikan:

Kritik

Kurikulum

Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

dan

Manajemen

You might also like