You are on page 1of 3

Alkisah, ada seorang murid baru yang diperintah oleh gurunya untuk mengambil air di

dekat sebuah sumur yang terletak di belakang perguruan.


Si murid pun bergegas menuju ke belakang untuk melaksanakan tugas yang diperintahkan.
Tanpa berpikir panjang atau mempelajari situasi di sekitar sana, pikiran dan langkah kakinya
langsung tertuju pada sumur dan ember untuk menimba air.
Ahaaitu dia ember kosong dan talinya, serunya. Dengan gembira ,dia pun mulai memegang
tali dan mengayunkan ember ke dalam sumur. Tetapi sampai tali yang dipegang di tangan
hampir tiba di ujung, dirasakan ember nya tetap kosong, tidak juga menyentuh air di dalam
sumur. Maka dia melakukan usaha lebih keras. Tubuhnya ikut dilengkungkan ke bawah seraya
matanya menatap nanar berusaha menembus kegelapan sumur sambil tangannya sibuk
mengayun-ayunkan ember. Tetapi tetap saja tidak ada apa pun yang tersentuh ember di bawah
sana. Panas yang terik dan usaha sepenuh hati yang dilakukan berkali-kali membuat keringat
mengucur deras membasahi bajunya.
Murid itu pun mulai merasa kesal dan jengkel. Usahanya berkali-kali dan keinginannya untuk
tidak menyerah tetapi tidak membawa hasil seperti yang diharapkan, membuat emosinya
semakin memuncak.
Dari kejauhan, sang guru menyaksikan ulah si murid. Dengan senyum sabarnya dihampiri si
murid. Melihat kedatangan gurunya, si murid segera berkata lantang, Guru, saya sudah
berusaha menimba air tetapi kelihatannya sumur ini sudah kering. Jika sumur ini tidak berair,
mengapa Guru memerintahkan saya untuk mengambil air?
Gurunya balik bertanya, "Berapa kali kamu menimba?"
Si murid menjawab dengan emosi, "Sudah berkali-kali. Lihat saja bajuku sampai basah kuyup
begini!
Sang Guru berkata lagi, "Kalau kamu merasa sumur itu kosong, mengapa harus terus menimba?
Kamu marah, ya? Kemarahanmu sampai menutup kesadaran dan akal sehatmu ya?" PLAK!
Kepala si murid pun dipukul oleh sang Guru.
"Lihat ke samping sumur itu, di sana ada keran air. Tinggal dibuka krannya, airpun mengalir.
Guru suruh kamu mengambil air di dekat sumur, bukan menimba di sumur!"
Seketika wajah si murid merah padam... dia merasa malu sekaligus merasa begitu bodoh. Telah
membuang energi dan kemarahan tidak pada tempatnya.

Sahabat yang luar biasa,


Sering kali kita sibuk mengumbar emosi dan kemarahan, menyalahkan orang lain dan keadaan,
tanpa alasan yang jelas dan benar. Karenanya, terkadang kita perlu mendapat "kesadaran" (baik
dari diri sendiri maupun orang lain) dari kebodohan dan kesalahan yang tidak bijak. Sehingga
tidak perlu ada sesal di kemudian hari yang akan membebani langkah kita ke depan.

Saat liburan panjang, seorang mahasiswa pulang ke kampung halamannya. Di sana,


tengah dimulai pembangunan tempat ibadah, dan tentunya, sangat diperlukan tenaga
sukarela untuk membantu.
Si pemuda itu pun dengan senang hati ikut ambil bagian kegiatan tersebut. Dengan
bersemangat, ia mulai belajar mengaduk semen, meletakkan bata, melapisi dengan semen,
kemudian menaruh bata, menyemen lagi, merapikan, demikian seterusnya. Dengan semangat
menggebu, akhirnya, setengah tembok berhasil diselesaikan. Lalu dengan perasaan puas,
walaupun sedikit lelah, dia berdiri mengagumi tembok hasil kerja pertamanya.
Tiba-tiba, dia melihat sesuatu yang janggal. Ada empat batu bata pertama yang tersusun tidak
rapi! Keempat batu bata itu tampak lebih menonjol dan miring di antara batu bata lainnya yang
tersusun rapi. Timbul perasaan kecewa dan tidak puas atas hasil kerjanya. Bergegas, ditemuinya
sang pemuka agama untuk mendiskusikan masalah yang mengganggu pikirannya.
"Lihat Pak, batu bata pertama yang saya pasang kurang rapi sehingga mengganggu keindahan
seluruh tembok di atasnya. Tolong Pak, beri kesempatan kepada saya untuk memperbaikinya
dengan merobohkan dan memasang ulang batu-batu bata itu. Saya berjanji pasti akan
mengerjakan sebaik-baiknya sampai selesai."
Namun, usulannya itu ditolak. "Tidak ada yang perlu diperbaiki, Nak. Tembok sudah naik
setengah, tidak perlu dirobohkan hanya gara-gara empat bata yang kurang rapi. Teruskan saja
pekerjaanmu hingga selesai," ujar sang pemuka agama.
Akhirnya, meski merasa kecewa dan tidak puas, si pemuda mampu menyelesaikan keseluruhan
tembok tersebut. Namun, setiap kali melewati batu bata yang kurang sempurna itu, selalu timbul
rasa tidak puas dan bersalah yang mengusiknya. Ia secepatnya berlalu, pura-pura tidak melihat,
bahkan sengaja berjalan memutar untuk menghindari pemandangan bata miring tersebut.
Sebab, setiap kali melewatinya, ia merasa diingatkan pada kesalahan yang telah diperbuatnya.
Ia menganggap, kesalahan itu akan dilihat banyak orang yang lewat di sana.
Sampai suatu hari, ada kunjungan seorang pemimpin dari ibukota. Si anak muda mendapat
tugas mendampingi mereka berkeliling di tempat itu. Tiba-tiba sang pemimpin menghentikan
langkah menatap tembok di sana dan berkata, "Wah, dinding ini indah sekali."
Dengan terkejut, si pemuda lantas bertanya, "Apanya yang indah, Pak? Apakah Bapak tidak
melihat empat batu bata yang miring dan mengganggu kesempurnaan seluruh tembok ini?"
"Oh ya, saya melihat empat batu bata itu, tetapi saya juga melihat ratusan batu bata lainnya
yang bagus! Karena ketidaksempurnaan seperti katamu itu anak muda, membuat dinding ini
justru tampak indah untuk dinikmati, bukan sekadar dinding kosong yang rata."
Sejenak si anak muda terpana. Untuk pertama kalinya, sejak tembok itu berdiri, pemuda itu
melihat tembok yang sama, dengan kesadaran yang berbeda. Sebelumnya, matanya selalu
memperhatikan kesalahan yang telah dilakukan hingga ia selalu ingin menghancurkan seluruh
dinding. Dia tidak menyadari tumpukan batu bata yang bagus dan sempurna yang jauh lebih
banyak jumlahnya. Kebaikan yang banyak dari hasil kerjanya itu, seolah tertutupi kesalahan kecil
yang ia lakukan sebelumnya.
Netter yang luar biasa,

Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sebab, kita semua hidup dengan aneka keterbatasan.
Setiap manusia, Anda dan saya, tentu memiliki "bata" yang jelek dan "bata" yang bagus di
kehidupan. Ini mengingatkan saya pada sebuah pepatah, tak ada gading yang tak retak. Dalam
sebuah keindahan, pasti terdapat kekurangsempurnaan.
Kadang, tanpa sadar kita melakukan kesalahan, tetapi dari sana kita justru bisa belajar tentang
sebuah kebenaran. Tak jarang, kita juga mengalami kegagalan, agar bisa merasakan nikmatnya
sebuah keberhasilan. Karena itu, tak perlu malu dengan kesalahan di masa lalu. Jangan pula
patah semangat saat kegagalan mendera. Sebab, di balik semua itu, kita bisa belajar sesuatu.
Kesadaran akan keterbatasan sebaiknya dapat menjadi pemacu semangat kita untuk terus
melakukan perbaikan dalam segenap aspek kehidupan. Bukan saatnya lagi kita meratapi
kekurangan, tapi justru dengan keterbatasan itu, kita bisa terus belajar untuk memaksimalkan
kelebihan yang sudah ada guna membangun masa depan.
Jadi, jangan hancurkan dinding yang bagus karena bata yang tak sempurna. Karena, di balik
setiap proses kehidupan, pasti ada proses pembelajaran. Tujuannya satu: untuk
menguatkan dan menyempurnakan, sehingga hidup lebih bermakna.

You might also like