Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
biasanya ibu, kecuali untuk kasus sexual abuse. Selain itu, anak perempuan 4 kali
lebih beresiko mengalami sexual abuse dibandingkan anak laki-laki.
Karakteristik fisik maupun psikologis tertentu pada anak dapat pula
memicu terjadinya child abuse. Anak yang hiperaktif, cengeng, mental retardasi,
dan anak yang sulit diatur (Berns, 2004), bayi prematur, anak yang sakit parah,
anak yang ceroboh, overaktif atau memiliki masalah perkembangan lain, serta
anak hasil kehamilan yang tidak diinginkan (Berk, 2000) cenderung mengalami
child abuse.
Child abuse juga bisa dihubungkan dengan nilai budaya, hukum dan
kebiasaan yang dipegang keluarga turun-temurun. Masyarakat yang memandang
kekerasan sebagai cara yang tepat untuk mengatasi masalah cenderung melakukan
child abuse. Di Amerika, dimana perilaku kekerasan secara luas diterima, lebih
dari 90% orang tua melaporkan menggunakan tamparan dan memukul bokong
untuk mendisiplinkan anak, sedangkan di negara-negara yang tidak menerima
adanya hukuman fisik, seperti China, Jepang, Luxemburg dan Swedia, jarang
terjadi child abuse (Staub; Zigler & Hall, dalam Berk, 2000)
Faktor lain seperti rendahnya pendapatan, pengangguran, konflik
perkawinan, domestic violence, stres pada orang tua, sering berpindah-pindah
tempat tinggal, dan pemakaian obat-obatan terlarang juga mempengaruhi
kemungkinan terjadinya child abuse (Berk, 2000).
Child Abuse dapat menyebabkan akibat yang serius, baik bagi fisik,
maupun psikis. Kekerasan fisik dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.
Kekerasan seksual dapat mengakibatkan kerusakan organ reproduksi atau bahkan
tertular penyakit menular seksual, dan mungkin saja, kehamilan (Wibisono, 2004).
Mengalami pengabaian dan kekerasan emosional mengakibatkan anak cenderung
tumbuh dengan buruk dan mengalami masalah medis karena kekurangan nutrisi
(Berns, 2004).
Dampak psikis dari child abuse dapat berupa kesulitan berkonsentrasi,
mengalami gangguan belajar, dan prestasi menurun. Anak-anak korban child
abuse juga tidak mampu mengembangkan keterampilan sosial. Mereka
berperilaku agresif sehingga cenderung ditolak teman sebaya atau malah menjadi
pasif atau menarik diri karena merasakan ketidakberdayaan. Mereka juga takut
orang tua akan kehilangan kontrol sehingga memilih menghindar dari orang tua
(Papalia, 2004). Kurangnya pengasuhan yang normal selama masa kanak-kanak
dapat menyebabkan individu mengganti kebutuhan akan cinta dan perasaan aman
yang hilang dengan obat-obatan terlarang, alkohol, makanan, objek material, seks,
dan berjudi (Berns, 2004). Selain itu, anak juga mengalami tekanan psikologis
seperti takut, stres, trauma (Wibisono, 2004), rasa marah dan khayalan untuk
membalas dendam (Herman, 1997).
Kemarahan yang merupakan akumulasi dari perasaan dikhianati, dan
ketidakberdayaan kemudian dapat berubah menjadi amukan yang kuat setelah
anak dewasa. Anak juga mengalami kesulitan membangun kepercayaan, dan
merasa tidak berharga (Crosson, 2002). Penderitaan akibat dampak-dampak
kekerasan pada anak tidak hanya terjadi setelah mengalami tindak kekerasan
tetapi juga dapat dialami anak sampai ia dewasa seperti gangguan psikologis yang
dapat berupa histeris, mimpi buruk, dan merasa peristiwa lalu muncul lagi
(Wibisono, 2004).
Biere (1992) memberi istilah adult survivor untuk orang dewasa yang
memiliki pengalaman menjadi korban kekerasan pada masa kanak-kanak. Tanpa
intervensi yang tepat, anak yang merasakan penderitaan akan tumbuh menjadi
orang dewasa yang menderita juga. Mereka akan menjalani hidup dengan
membawa trauma dan dampak negatif jangka panjang dari pengalaman mereka.
Rebecca (dalam Rafeinstein, 2000) menceritakan efek pengalamannya
sebagai korban child abuse berupa kemarahan yang terus dibawanya bahkan
setelah ia dewasa dan berkeluarga:
Aku menghabiskan seluruh masa kanak-kanakku dengan ketakutan
melakukan sesuatu yang akan membuatnya jengkel. Sebagai hasilnya, aku
hidup dengan rasa marah yang konstan.... Bertahun-tahun, aku
menyesuaikan diri dengan semua kemarahan, yang menghabiskan energiku
dan menghalangi kebahagiaanku. Aku juga secara fisik sering sakit. Aku
benar-benar kacau."
Menekan rasa marahnya dan berusaha menjadi anak yang baik membuat
anak berespon secara pasif yaitu dengan tidak mengkomunikasikan perasaan,
pikiran dan perilaku secara langsung kepada orang tua, melainkan dengan caracara seperti berdiam diri, tindakan agresif pasif, dan merenungi (ruminate) child
abuse yang dialaminya serta perasaannya. Mereka tidak langsung mengatakan
atau melakukan perbuatan yang menunjukkan bahwa mereka marah dan benci
atas perilaku abusive yang dialaminya, melainkan terus mengingat-ingat dan
menyimpan perasaan di dalam hati, atau melakukan sesuatu tanpa
sepengetahuan orang tua (Worthington, 1999).
Dalam trilogi novelnya, Dave (dalam Pelzer, 2003) menceritakan
pengalaman pribadinya sebagai orang berhasil bertahan hidup setelah mengalami
physical abuse, emotional abuse, dan neglect dari ibu kandungnya sendiri sejak ia
berusia 4 tahun. Berikut kutipan yang menunjukan keadaan rumination Dave
dewasa terhadap ibunya ketika ia berkunjung ke rumah ibunya:
.....Ingin rasanya aku melompat dari dudukku, berdiri di depannya, lalu
berteriak persis di depan wajahnya yang menjijikkan itu, Kau perempuan
jalang tak waras! Kau anggap aku mainan! Budak yang bisa kau perintah
seenaknya! Kau merendahkan diriku, menghapus namaku, dan menyiksaku
sampai nyaris mati....... Masih dengan nafas berat, aku meneruskan
kemarahanku dalam hati, Sadarkah kau apa yang bisa kulakukan
terhadapmu sekarang ini, saat ini juga? Aku bisa mencekik lehermu yang
tembam itu, dan membuat nyawamu melayang. Atau, aku bisa juga
membuatmu menderita perlahan-lahan, perlahan-lahan sekali. Kau tidak
Berbeda dengan Anda yang memilih forgive walaupun tanpa kata maaf,
Asti (bukan nama sebenarnya) memilih tetap unforgive pada ayahnya walaupun
ayahnya telah menyatakan penyesalan dan permintaan maaf padanya. Ia
menghilangkan emosi positif yang muncul dalam dirinya akibat permintaan maaf
ayahnya dengan meyakinkan dirinya bahwa penyesalan ayah sudah terlambat.
Itulah ayah kami pun dah insaf juga. Tapi insaf pun ayah kami
kekmana lah dah gak bisa lagi, Dev. Minta maaf pun dia, gak guna lagi.
Tak bisa kumaafkan diaUdah lama kali kejadiannya. Tau ko Dev
kayakmana perasaanku ini Dev?(komunikasi personal, 10 Agustus 2007)
10
I. B Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan masalah
utama dalam penelitian ini yaitu bagaimana dinamika forgiveness pada orang
dewasa yang pernah mengalami child abuse yang dilakukan oleh orang tua.
11
I. C Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dinamika forgiveness pada
orang dewasa yang pernah mengalami child abuse yang dilakukan oleh orang tua.
I. D Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain berupa
manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian psikologi
klinis khususnya pada pembahasan mengenai forgiveness pada orang
dewasa yang pernah mengalami child abuse.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dan masukan
bagi orang dewasa yang pernah mengalami child abuse mengenai manfaat
forgiveness sebagai suatu media penyembuhan, memberikan informasi dan
wawasan baru bagi orang tua dan calon orang tua mengenai dampak
pengasuhan bagi perkembangan jiwa anak, dan sebagai bahan bagi
pembaca dan pihak-pihak yang berhubungan dengan penanganan child
abuse. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi
bagi penelitian selanjutnya.
12
BAB I
: Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
: Landasan Teori
Berisi teori-teori yang digunakan dalam penelitian yang terdiri dari
teori mengenai forgiveness dan child abuse, serta paradigma
penelitian.
BAB III
: Metode Penelitian
Berisi mengenai pendekatan yang digunakan, partisipan penelitian,
metode pengambilan data, alat pengumpulan data dan prosedur
penelitian.
BAB IV
BAB V
13