You are on page 1of 19

Arrythmia

Posted by Aco under Critical care on January 1 2014, 0 comments


PENATALAKSANAAN ARITMIA
Dimotori oleh ilmu kedokteran berbasis fakta, pendekatan farmakologik dan non farmakologik
terhadap penatalaksanaan aritmia telah berkembang secara berarti selama dua dekade terakhir.
Dokter yang menangani perawatan perioperatif dan harus mengetahui diagnosis dan
penatalaksanaan aritmia dalam periode perioperatif dan kedaaan sakit kritis. Penatalaksanaan
aritmia dalam masa perioperatif dan kedaaan sakit kritis yang optimal membutuhkan
pengetahuan elektrofisiologi jantung dasar, masalah medis yang mendasari, faktor resiko yang
menimbulkan aritmia, farmakologi obat-obat anti aritmia, dan juga interaksi obat antara obatobat anti aritmia dan obat-obat yang digunakan dalam anestesia dan perawatan intensif. Sebagai
tambahan, Dokter yang menangani perawatan perioperatif dan kritis seharusnya terbiasa dengan
alat-alat implan yang digunakan dalam penanganan aritmia. Ini adalah tinjauan ringkas mengenai
kemajuan terbaru dalam pemahaman kami tentang mekanisme dan penatalaksanaan aritmia.
MEKANISME ELEKTROFISIOLOGIS ARITMIA
Pengetahuan tentang potensial aksi jantung merupakan prasyarat demi pemahaman yang lebih
baik mengenai mekanisme patofisiologi yang mendasari terbentuknya aritmia.
Potensial aksi jantung menggambarkan aliran yang cepat dari ion-ion di sepanjang kardiomiosit
menghasilkan gelombang depan eksitasi. Sebuah elektrokardiogram (EKG) merekam aktivitas
elektris dari jantung melalui elektroda-elektroda di permukaan. Gambar 7-1 ringkasan potensial
aksi dan EKG. Sel ventrikulus pada basis mempertahankan potensial istirahat pada -80 hingga
-90 mV (keadaan terpolarisasi) sebagai akibat dari tingginya jumlah konduksi kalium melalui
membran sel. Aksi potensial dibagi menjadi empat fase tergantung oleh aktivasi saluran dan
perubahan potensial membran. Fase 0 merupakan akibat dari aktivasi saluran Na yang cepat
mengakibatkan potensial membran melampaui batas. Fase 1 diakibatkan oleh arus perpindahan
kalium keluar untuk sementara dan mengakibatkan sedikit penurunan potensial membran, Fase 2
(plateau) dihasilkan dari keseimbangan antara arus ke dalam (natrium dan kalsium) dan ke luar
(kalium), Fase 3 merupakan hasil dari perlambatan aktivasi saluran kalium dan di beberapa selsel pacemaker (sinoatrial dan atrioventrikuler), Fase 4 dihasilkan dari depolarisasi spontan yang
lambat menyebabkan aksi potensial lain. Ini menjelaskan otomatisasi sel-sel pacemaker. Fase 0
hingga 2 menggambarkan depolarisasi dan fase 3 repolarisasi dari sel-sel otot jantung. EKG
merekam aktivitas listrik jantung yang memicu otot-otot jantung untuk berkontraksi (gambar 72). Nodus sino-atrial menandai permulaan siklus jantung dengan gelombang P pada EKG yang
menunjukkan depolarisasi atrium. Repolarisasi atrium biasanya memiliki amplitudo yang sangat
kecil untuk dideteksi oleh EKG. Kemudian, impuls listrik berjalan menuju nodus atrioventrikular
(A-V Node) untuk sampai ke sel-sel otot ventrikel. Kompleks QRS menggambarkan depolarisasi
ventrikel, dan kompleks ST-T menggambarkan repolarisasi ventrikel.Titik J merupakan
penghubung antara akhir komplek QRS dan awal segmen ST. Kenaikan yang cepat (fase 0) dari
potensial aksi cocok dengan onset QRS. Plateau (fase 2) sesuai dengan segmen ST isoelektrik,
dan repolarisasi aktif (fase 3) dengan awal gelombang T.

Gambar 7-1. Fase potensial aksi ventrikel dan EKG. Fase 0 , kelebihan disebabkan aliran Na
kedalam yang cepat; Fase 1. Efflux kalium sementara; Fase 2 (plateau), aliran Ca ke dalam
dengan lambat. Fase 3 (Repolarisasi), Aliran K keluar; Fase 4. Potensial istirahat yang diatur
oleh pompa Na-K-ATPase. Sistem konduksi khusus jaringan memiliki depolarisasi spontan
selama fase 4. EAD (Early after depolarization / After depolarisasi dini); DAD (Delayed after
depolarization / After depolarisasi lambat).

Gambar 7-2. Siklus EKG jantung. ARP (Absolute Refractory Period / Periode refractory
absolut); RRP (Relative Refractory Period / Periode refractory relatif); J. Titik J.
Ada tiga mekanisme mendasar elektrofisiologis yang bertanggung jawab atas terbentuknya
aritmia :
Reentry
Reentry merupakan mekanisme tersering yang mendasari terbentuknya aritmia. Ada tiga kondisi
yang harus bertemu pada mekanisme reentry untuk menghasilkan aritmia : Adanya area pusat
dari jaringan yang tak dapat dirangsang yang membagi dua jalur untuk konduksi, hambatan satu
arah pada salah satu dari kedua jalur, dan konduksi lambat yang menyebabkan keterlambatan dan

pulihnya eksitabilitas (perangsangan) pada area yang sebelumnya terhambat (blocked area).
Substrat patologis , seperti yang ada di sekitar daerah infark di jaringan, atau altered milieu,juga
perubahan fungsi pada konduksi sebagai akibat sekunder dari gangguan elektrolit, atau iskemia
dapat memberi kecenderungan untuk terjadinya aritmia yang disebabkan Reentry.
Otomatisitas Abnormal
Otomatisitas abnormal menunjukkan perkembangan lambat, depolarisasi fase 4 yang spontan
pada sel yang sebaliknya tidak menunjukkan aktivitas pacemaker otomatis. Pada kondisi tertentu
sel-sel otot ventrikel dapat membentuk suatu leakage current (kebocoran arus) selama fase 4.
Menyebabkan terjadinya pembentukan impuls. Otomatistasi abnormal menyebabkan depolarisasi
berulang dengan kecepatan yang lebih cepat daripada yang didapatkan pada jaringan otomatis
normal. Menyebabkan pertambahan kecepatan supresi nodus SA. Iskemia dan penyakit jaringan
jantung memberi kerentanan terjadinya aritmia melalui otomatisitas abnormal, terutama pada
peningkatan aktivitas simpatis dan gangguan metabolik.
Aktifitas Pemicu
Aktifitas pemicu menunjukkan terbentuknya impuls abnormal dari after-depolarization. afterdepolarization dini atau lambat merupakan Osilasi dari potensial membran yang muncul selama
atau segera setelah repolarisasi. after-depolarization dini kelihatannya berhubungan dengan
reaktifasi saluran-saluran ion yang terlambat yang membawa arus depolarisasi ke arah dalam.
Saluran-saluran ini bertanggung jawab pada terjadinya fase plateau pada potensial aksi (Fase 3).
Dengan perpanjangan perlangsungan potensial aksi, saluran-saluran ini dapat terbuka kembali.
Menyebabkan Jaringan aliran ion ke arah dalam. Sekali after-depolarization dini mencapai nilai
ambang yang memadai, perambatan impuls abnormal terpicu. Pada kondisi tertentu yang
dihubungkan dengan pepanjangan potensial aksi (prolongasi interval QT), seperti bradikardia,
obat-obat antiaritmia tertentu (kuinin, prokainamida, dan sotalol) dan gangguan elektroloit
seperti hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesia. Torsade de pointes adalah suatu contoh
pemicu aritmia melalui after-depolarization dini. after-depolarization lambat dihasilkan dari
peningkatan jumlah kalsium intraseluler. Katekolamin, iskemia, dan aritmia dipicu digitalis
merupakan contoh pemicu aritmia melalui after-depolarization lambat. Kalsium intraseluler
berlebihan merupakan penyebab yang paling sering ditemukan pada operasi jantung.
FAKTOR RISIKO ARITMIA PADA ANESTESIA DAN SAKIT KRITIS
Anestesia dan perawatan intensif dikaitkan dengan gangguan signifikan dimana pada pasien
yang rentan dapat menimbulkan aritmia jantung. Risiko terjadinya fibrilasi atrium meningkat
cukup tinggi sejalan dengan usia. Pembentukan aritmia merupakan suatu yang multifaktor. Pada
periode perioperatif, interaksi antara penyakit jantung struktural, altered milieu, dan obat-obatan
sering mengarah kepada terbentuknya aritmia (Kolom 7-1). Tabel 7-1 meringkaskan trias faktor
risiko aritmia. Dan lagi, jenis dari operasi (jantung atau non jantung) memberikan risiko spesifik
untuk jenis aritmia tertentu. Sebagai contoh , fibrilasi atrium sering menyertai operasi jantung.
Kolom 7-1. Faktor-faktor Risiko Aritmia
Penyakit Jantung Struktural, altered millieu, dan obat-obat yang disajikan pada trias faktor risiko
aritmia

Trias Risiko Aritmia


1. Penyakit Jantung Struktural 3. Obat-obatan
Penyakit arteri koronaria
Penyakit Jantung Katup
Penyakit jantung Kongenital
Kardiomiopati
Sick Sinus Syndrome
Sindroma pemanjangan interval QT
Sindroma Wolff-Parkinson-White
2. Altered millieu
Gangguan Metabolik
Abnormalitas elektroloit
Hiperkalemia
Hipokalemia
Hipomagnesia
Hipokalsemia
Ketidakseibangan asam basa
Asidemia atau alkalemia berat
Iskemia miokard, CAD, hipertensi, hipoksia
Respon stres neurohormonal, hipoksia, hipokarbia, nyeri laringoskopi dan intubasi, Respon
inflamasi sistemik, hipovolemia, dan overload cairan
3. Obat-obatan
Katekolamin
Anestetik inhalasi
Obat prolongasi interval QT
Penghentian beta bloker
Penyakit Jantung Struktural
Aritmia perioperatif lebih cenderung timbul bila terdapat penyakit jantung struktural. Pasien
dengan penyakit arteri koronaria kronik (iskemia dan infark) memiliki area dengan konduksi
yang normal, lambat, dan tanpa konduksi dalam interaksinya dengan nonuniform myocardial
refractoriness. Penyakit jantung katup dapat dihubungkan dengan peregangan serabut otot
jantung (peningkatan volume dan stres pada dinding jantung). Kardiomiopati dengan berbagai
etiologinya, yakni hipertrofi, dilatasi, infiltratif atau melalui gangguan metabolik (uremia,
diabetes), biasanya mengarah kepada aritmia ventrikel. Contoh lain dari penyakit jantung
struktural yang berhubungan dengan peningkatan risiko aritmia yaitu penyakit jantung
kongenital, sick sinus syndrome, Sindroma interval QT panjang, dan sindroma Wolff-ParkinsonWhite.
Altered Milieu
Anestesia, masa perioperatif, dan perawatan intensif, disertai hubungannya dengan stresor
metabolik, iskemik, dan neurohormonal menimbulkan altered milieu yang meliputi sel-sel otot
jantung dan menghasilkan perubahan pada refractoriness atau konduksi dari impuls. Jadi pada
pasien berlatarbelakang penyakit jantung struktural, altered milieu dapat menimbulkan aritmia
jantung.

Gangguan Metabolik
Abnormalitas elektrolit tertentu, seperti kalium, magnesium dan kalsium diketahui dapat
menyebabkan aritmia.
Kalium
Hipokalemia menghiperpolarisasi membran potensial istirahat menjadi lebih negatif, dan dapat
menyebabkan perlambatan konduksi. Sebagai tambahan, hipokalemia menurunkan konduktansi
kalium menyebabkan repolarisasi yang terlambat dan after-depolarization dini (meningkatkan
otomatisitas). Hiperkalemia meningkatkan permeabilitas terhadap kalium dan mengubah
potensial membran istirahat menjadi sedikit lebih negatif. Ini menghasilkan pemendekan
potensial aksi dan menekan otomatisitas, dan perlambatan konduksi. QRS diperlebar menyolok
dengan hiperkalemia berat. Oleh karena itu, penanganan hiperkalemia harus secepatnya
diperhatikan.
Kalsium
Hipokalsemia menyebabkan prolongasi interval QT dan dapat menghasilkan after-depolarization
dini dan pemicu aritmia misalnya Torsade de pointes. Hiperkalsemia menghasilkan pemendekan
interval QT dan biasanya tidak menghasilkan aritmia picuan.
Magnesium
Hipomagnesia juga dihubungkan dengan prolongasi interval QT dan Torsade de pointes.
Hipermagnesia dapat mengarahkan kepada perlambatan nodus A_V dan konduksi ventrikel.
Kondisi yang berhubungan dengan hipomagnesia antara lain cachexia, malnutrisi, sakit kritis,
bypass kardiopulmonal, hemodialisa, alkoholik, kanker dan kemoterapi, dan diuretik boros
kalium. Penting untuk ditegaskan bahwa defisit magnesium, kalsium dan kalium acapkali timbul
dan bahwa terpenuhinya kebutuhan magnesium harus segera ditangani bersamaan dengan kalium
dan kalsium.
Ketidakseimbangan Asam basa
Homeostastis asam basa memegang peranan penting terhadap kerja jaringan dan organ.
Penatalaksanaan aritmia dengan adanya gangguan asam basa yang serius memerlukan diagnosis
tepat dan pengobatan penyakit yang melatarbelakangi. Asidemia berat dapat menyebabkan
sensitisasi otot-otot jantung terhadap aritmia reentrant dan pengurangan ambang fibrilasi
ventrikel. Alkalemia berat dapat mensensitisasi miokard menjadi aritmia supraventrikel dan
ventrikel refractory. Gangguan asam basa berat juga dapat dihubungkan dengan abnormalitas
elektrolit. Hiperkalemia bukan tak sering disertai asidemia berat. Hipokalemia dan hiperkalsemia
sering didapatkan bersamaan dengan alkalemia berat.
Iskemia
Iskemia miokard pada masa perioperatif dan perawatan intensif dapat timbul sebagai
konsekuensi dari penyakit arteri koronaria yang melatarbelakangi atau dari stres hemodinamik
dan hipoksia. Efek elektrofisiologis dari iskemia miokard antara lain depolarisasi parsial
potensial membran istirahat pada inaktivasi saluran cepat Na, peningkatan pemuatan kalsium
intrasel, perlambatan konduksi, peningkatan kalium ekstrasel, dan prolongasi refractoriness.
Aritmia yang disebabkan oleh iskemia dimediasi oleh otomatisitas abnormal, aktivitas pemicu,
dan reentry.

Stresor Neurohormonal
Sebagai tambahan dari yang dijelaskan sebelumnya, banyak kejadian dalam anestesia dan
perawatan intensif yang dapat menolong terjadinya respon stres neurohormonal dan
menimbulkan aritmia. Hasilnya adalah peningkatan aktifitas simpatis dan respon katekolamin.
Contah dari kejadian ini yaitu hipoksia dan hiperkarbia, intubasi laringoskopi dan trakea,
hipovolemia dan overload cairan, nyeri, dan respon infamasi sistemik.
Miscellanous
Intervensi diagnostik dan terapi termasuk kateter intravaskular dan intrakardiak, malfungsi alat,
atau mikrosyok dapat pula memberi kecenderungan terjadinya aritmia yang disebabkan secara
mekanik.
Obat-obatan
Banyakmya obat-obatan yang digunakan dalam anestesia dan sakit kritis memberi efek terhadap
elektrofisiologis jantung dan dapat menyebabkan aritmia baik oleh karena obat itu sendiri atau
kerjanya yang bersamaan dengan dua faktor risiko yang telah diterangkan sebelumnya (Penyakit
jantung struktural dan altered milieu).
Katekolamin
Melalui stimulasi reseptor adrenergik , Katekolamin endogen (aktifasi simpatis) ataupun
eksogen dapat menghasilkan peningkatan otomatisasi atau aktifitas pemicu. Reentry juga dapat
menfasilitasi terjadinya iskemia.
Anestetik Inhalasi
Terdapat peningkatan bukti bahwa anestetik inhalasi memiliki potensi pengaruh elektrofisiologis
pada aritmia baik melalui perubahan inisiasi impuls maupun konduksi. Depresi arus ion kalsium
kedalam oleh anestetik inhalasi memberi kontribusi terhadap membesarnya kerja antiaritmia
pada mekanisme-mekanisme yang membentuk impuls-impuls abnormal yang disebabkan oleh
ion kalsium intrasel berlebihan yang dihasilkan dari pemaparan katekolamin , intoksikasi
digitalis , dan iskemia. Di sisi lain kerja anestetik inhalasi yang dikombinasikan dengan
katekolamin mendepresi konduksi dan mengubah refractoriness dari otot-otot jantung yang
mungkin secara potensial memfasilitasi induksi aritmia reentrant. Interaksi merugikan antara
anestetik inhalasi dan katekolamin masih merupakan masalah relevan secara klinis.
Obat-Obat Prolongasi Interval QT
Prolongasi interval QT pada gambaran EKG dapat memberi kecenderungan terjadinya aritmia
yang secara potensial mematikan yang dikenal sebagai Torsade de pointes. Obat-obat prolongasi
interval QT telah dikaitkan dengan Tosade de pointes. Beberapa pasien memiliki kecenderungan
genetik untuk prolongasi QT dan bermanifestasi dengan prolongasi QT yang nyata hanya dengan
pemaparan obat-obat prolongasi QT. Adanya trias faktor yang dihubungkan dengan obat-obat
prolongasi interval QT dapat menyebabkan torsade de pointes. Tabel 7-2 Daftar obat-obat
prolongasi interval QT yang umumnya digunakan. Juga sangat penting untuk memahami
interaksi obat antara obat-obat prolongasi interval QT kardiak dan non kardiak. Interaksi ini
dapat berupa farmakodinamik (keduanya mempengaruhi elektrofisologis jantung),
farmakokinetik (salah satu obat mempengaruhi bersihan (clearance) yang lainnya), atau

bercampur secara alami. Meskipun begitu, kombinasi obat-obat prolongasi interval QT


sebaiknya dihindari.
Obat-Obat Prolongasi Interval QT
Antiaritmia : Amiodaron, Disopiramid, Ubutilide, Dofitilide, Prokainamid, Kuinidin, Sotalol.
Antipsikosis : Thioridazine, Pimozide, Ziprasidone, Haloperidol, Risperidone.
Anti-infeksi : Eritromisin, Chlarithromucin, Pentamidine, Sparfloxacin.
Anti emetik : Droperidol
Anti Jamur : Droperidol
Lain-lain : Cisapride, Bepridil
Penghentian Obat
Beta bloker sering digunakan pada profilaksis dan penanganan aritmia pada pasien berisiko
tinggi. Penghentian Beta bloker telah dikaitkan dengan aritmia supraventrikuler post-operatif.
Suatu keadaan dimana efek katekolamin timbul dikarenakan beta bloker kronik yang
dihubungkan dengan up-regulasi (densitas yang lebih tinggi) reseptor beta adrenergik.
KLASIFIKASI , DIAGNOSIS , DAN PENATALAKSANAAN ARITMIA
Aritmia jantung dapat diklasifikasikan secara sederhana sebagai berikut : (1) Yang dihasilkan
dari henti jantung, (2) Bradiaritmia, (3) aritmia ventrikular, (4) aritmia supraventrikular.
Klasifikasi ini memberi perhatian terhadap kedaruratan diagnosis dan penatalaksanaan. Tabel 7-3
meringkaskan klasifikasi aritmia jantung.
Klasifikasi Aritmia Jantung
Aritmia Henti Jantung :
Bradiaritmia
Fibrilasi Ventrikel
Takikardia Ventrikel tanpa nadi
Aktivitas listrik tanpa nadi (PEA/Pulseless Electrical Activity)
Asistol
Aritmia Supraventrikel
Takikardia Supraventrikel Takikardia
Takikardia Reentry nodus AV (AVNRT)
Takikardia reentry atriovebtrikel (AVRT)
Takikardia reentry intraatrial

Takikardia atrial otomatis


Takikardia A-V juntional
Fibrilasi atrial / atrial flutter
Takikardia atrial multifokal
Sindroma Wolff-Parkinson-White
Aritmia Ventrikel
Takikardia ventrikel non-sustained
Takikardia ventrikel sustained
Monomorfik
Polimorfik (Torsade de Pointes)
Fibrilasi ventrikel
Bradiaritmia
Bradikardia sinus
Hambatan jantung tingkat I
Hambatan jantung tingkat II
Tipe I (Mobitz I Wanckebach)
Tipe II (Mobitz II non-Wanckebach)
Hambatan jantung tingkat III
(Disosiasi A-V)
Pendekatan Umum Terhadap Diagnosis dan Penatalaksanann Aritmia
Prinsip-prinsip Dasar
Prinsip-prinsip dasar berikut ini harus disertai dengan penatalaksanaan aritmia:
Obati pasien bukan gambaran EKG-nya. Seseorang mula-mula harus memutuskan aritmia
tersebut asli atau palsu dan apakah aritmia itu cukup untuk menilai tanda dan gejala pada pasien.
Terlepasnya sadapan EKG yang sederhana dapat menampilkan gambaran asistol pada monitor
jantung. Begitupula, gemetar dapat dikaitkan dengan gambaran EKG palsu, yang mana dapat di
interpretasikan salah sebagai aritmia ventrikular atau supraventrikular.
Menetapkan kedaruratan pengobatan. Penilaian klinis pada pasien akan menetapkan kedaruratan
pengobatan . Penilaian klinis termasuk penilaian keresponsifan (atau penurunan kesadaran) dan
survei ABCD yang cepat. Defibrilator dan bantuan harus segera dipanggil untuk semua pasien
yang tidak responsif. Survei ABCD meliputi penilaian jalan napas dengan membuka jalan napas
menggunakan manuver head tilt-chin lift atau jaw thrust untuk memberikan pernapasan spontan
yang efektif. Pernapasan dengan alat-alat yang mengamankan dan memperkuat jalan napas pada
pasien apnoe dan memastikan oksigenasi dan ventilasi. Sirkulasi dengan memeriksa nadi dan
tekanan darah, evaluasi perfusi perifer, adanya iskemia miokard dan gagal jantung kongestif dan
inisiasi RKP pada pasien yang nadinya tidak ada atau defibrilasi pada fibrilasi ventrikel yang
teridentifikasi dengan menggunakan defibrilator., dan diagnosis banding serta penanganan
penyebab-penyebab yang reversibel, seperti hipoventilasi, hipoksia, hipovolemia, gangguan
metabolik, dll.

Menetapkan stabilitas hemodinamik. Setelah survei ABCD awal dan penanganan, tujuannya
harus selalu untuk menetapkan stabilitas hemodinamik. Memperlambat respon ventrikular pada
kasus takikaritmia atau peningkatan kecepatan ventrikular pada bradiaritmia, atau menjaga
tekanan darah tetap adekuat dengan menggunakan cairan dan obat-obat vasodilator
memungkinkan tercapainya tujuan ini.
Terapi antiaritmia spesifik. Berikutnya, terapi antiaritmia dimulai berdasarkan diagnosis aritmia
dan secara khusus ditargetkan terhadap unit-unit subseluler. Tujuannya adalah untuk mencegah
ketidakstabilan hemodinamik berulang. Pengetahuan tentang fungsi ventrikel juga dapat
membantu dalam pemilihan terapi antiaritmia.
Perbaikan Irama sinus. Perbaikan irama sinus selalu diinginkan, tapi mungkin tak dapat
dilakukan pada suatu keadaan spesifik seperti keadaan yang m eningkatan aktifitas simpatis.
Pencegahan komplikasi. Pada pasien yang irama sinusnya tidak dicapai, perhitungan harus
dilakukan untuk mencegah komplikasiyang berhubungan dengan aritmia tertentu, e.g komplikasi
tromboemboli melalui fibrilasi atrial.
Pendekatan Diagnosis Aritmia
Sadapan 12 EKG harus disediakan untuk interpretasi aritmia secara lengkap. Dengan tidak
adanya sadapan 12 EKG, Strip irama yang panjang dari sadapan dimana gelombang P terlihat
lebih disukai. Hanya observasi terhadap irama EKG belaka pada monitor dapat menyesatkan.
Pendekatan sistemik terhadap diagnosis aritmia EKG adalah sebagai berikut :
Kecepatan dan keteraturan irama. Kecepatan irama sinus normal pada orang dewasa yaitu antara
60-100 kali per permenit. Sinus takikardia biasanya timbul dengan kecepatan antara 100-180 kali
permenit. Definisi bradikardia atau takikardia signifikan secara klinis sesuai harus
diindividualisasikan. Takikardia atrial dan nodus A-V reentrant biasanya timbul dengan
kecepatan dari 140 hingga 220 kali permenit. Kecepatan antara 240-320 lebih sering
menunjukkan adanya atrial flutter. Siklus PP dan RR dan hubungan gelombang P ke QRS akan
memberi kesan keteraturan irama.
Lokasi gelombang P. Sadapan II, III, aVF atau V1 adalah yang paling baik digunakan untuk
memastikan gelombang P. Jika tidak ditemukan gelombang P dan interval RR iregular, irama ini
kemungkinan besar adalah fibrilasi atrial. Takikardia dgn kompleks QRS yang sempit tanpa
gelombang P yang tidak dapat dilihat kemungkinan besar disebabkan oleh reentry nodus A-V.
Bila atrium dan ventrikel dikendalikan oleh foci pacemaker independen dengan kecepatan yang
sama , gelombang P tampak bergerak keluar dan kedalam dari kompleks QRS. Ini disebut
dissosiasi A-V isoritmik. Gelombang P dengan dua atau lebih bentuk merupakan karakteristik
Takikardia atrial multifokal.
Hubungan antara gelombang P dan kompleks QRS. Jika terdapat lebih banyak gelombang P
dibanding kompleks QRS, maka terdapat blok A-V. Jika lebih banyak kompleks QRS dibanding
gelombang P , irama berasal dari persimpangan(junctional) atau ventrikular.
Bentuk QRS. Kompleks QRS yang sempit (< 0.12 ms) mengindikasikan aritmia supraventrikel.
Kompleks QRS yang lebar (> 12 ms) dapat muncul baik dengan takikardia ventrikel maupun
takikardia supraventrikel disertai penyimpangan konduksi ventrikular.
Pengobatan Aritmia spesifik
klasifikasi obat antiaritmia dan agen-agennya.

Klasifikasi Agen-Agen Aritmia Berdasarkan Sasaran Reseptor


Reseptor Sasaran Perubahan EKG (Kelas) Obat-obat
Saluran Na dan K Prolongasi QRS dan QT (IA) Procainamid
Amiodaron
Dysopyramide
Quinidine
Saluran Na Prolongasi QRS (IB) Lidokain
Fenitoin
Meksiletin
Reseptor Beta Prolongasi PR (II) Esmolol
Amiodaron
Propranolol
Atenolol
Labetolol, Sodalol
Saluran K Prolongasi QT (III) Bretylium
Ibutilide, sotalol
Dofetilide
Saluran Ca Prolongasi PR (IV) Verapamil
Diltiazem
Amiodaron
Aritmia Henti Jantung
Defibrilasi dini, RKP, Penatalaksanaan jalan napas, dan advanced cardiac life support sangat
dibutuhkan untuk akibat neurologis pada pasien setelah henti jantung.
Fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel tanpa nadi.
Patofisiologi. Terdapat area miokardium normal yang bertukaran dengan daerah miokardium
yang iskemik, luka, atau infark, mengarah ke pola depolarisasi ventrikel yang kacau.
Kriteria EKG (Gambar 7-3). Tidak ada gelombang P, QRS, dan T yang dapat dikenali.
Kecepatannya sulit ditentukan. Iramanya tidak dapat ditentukan dengan adanya pola upstroke
dan downstroke. Fibrilasi ventrikel (Ventricular Fibrilation (VF)) dapat mulus (amplitudo 1-5)
atau kasar (amplitudo 10-15)

Gambar 7-3. Fibrilasi Ventrikel

Gambaran Klinis. Pasien menjadi tidak sadar tanpa nadi. Pernapasan menjadi nyeri dan apnea
terjadi dengan cepat. Ini dapat mengakibatkan kematiaan mendadak (sudden death).
Etiologi. Penyebab tersering VF / takikardia ventrikel (Ventricle Tachycardia (VT)) tanpa nadi
meliputi infark miokardial akut yang mengarah kepada iskemia miokardium, VT yang tidak
tertangani, prolongasi interval QT primer atau sekunder, PVCs dengan fenomena R dalam T,
sengatan listrik, dan hipoksemia.
Terapi. Defibrilasi dini (arus bolak-balik DC yang tidak sinkron) merupakan pengobatan yang
resmi. Waktu untuk defibrilasi merupakan faktor penentu yang paling penting untuk
mempertahankan kehidupan dari henti jantung. Kemungkinan keberhasilan resusitasi mengalami
kemunduran 2% hingga 10% setiap menit dari awal terjadinya gejala. Dalam hal ini penggunaan
defibrilator eksternal otomatik (Automatic External Defrilator (AEDs)) populer digunakan dalam
berbagai keadaan. Seperti masyarakat umum dan badan kesehatan. Setelah rentetan tiga kejutan
cepat defibrilator (200, 220, 360 J) maka dipertimbangkan terapi farmakologik. Terapi
farmakologik sekarang ini meliputi epinefrin 1 mg tiap 3 hingga 5 menit sebagai stimulan
adrenergik untuk meningkatkan tekanan perfusi organ-organ vital. Vasopressin diberikan secara
intravena 40 unit dosis tunggal, dapat digunakan sebagai alternatif dari epinefrin dan berkaitan
dengan menurunnya resiko takiaritmia post resusitasi. Berikutnya dapat dipertimbangkan
Amiodaron (300 mg bolus IV) untuk mencegah refibrilasi setelah kejutan dari defibrilator. Jika
VF/VT timbul kembali , harus dipertimbangkan pemberian dosis kedua amiodaron 150 mg IV,
dengan dosis kumulatif maksimum 2,2 gr dalam 24 jam. Lidokain dan prokain dipertimbangkan
karena keuntungan tingkat ketergantungan untuk VF/VT persisten. Koreksi hipomagnesemia dan
asidosis dipertimbangkan dengan pemakaian magnesium dan natrium bikarbonat pada keadaan
prolongasi henti jantung.
Aktivitas listrik tanpa nadi
Patofisiologi. Pada keadaan dimana terdapat aktivitas listrik dalam bentuk konduksi impuls
jantung, tapi ini gagal menghasilkan kontraksi miokardial atau ejeksi.
Kriteria EKG (Gambar 7-4). Terdapat aktivitas elektris yang teratur dengan gelombang sempit
(QRS < 0.10 ms) atau lebar (QRS > 0.10 ms) dan pada denyut jantung yang cepat atau lambat.

Gambar 7-4. Aktivitas listrik tanpa nadi (Pulseless Electrical Activity/ PEA). Ritme terorganisasi
tanpa terdeteksi nadi.
Gambaran Klinis. Manifestasi klinis sama dengan VF/VT tanpa nadi.
Etiologi. Penyebab tersering dari aktivitas listrik tanpa nadi biasanya reversibel dan dapat
dikelompokkan sebagai 5 H yaitu hipovolemia, hipoksia, asidosis (Peningkatan ion Hidrogen),
hiperkalemia/hipokalemia, hipotermia, dan 5 T yaitu Tablet (Overdosis obat, ingesti), Tamponade

(Jantung), Tension pneumothorax, Trombus (Koronaria), Tromboemboli (Pulmonary).


Terapi. Identifikasi dan penanganan penyebab reversibel merupakan jalur terapi yang utama.
Setelah penetapan jalan napas, ventilasi, dan RKP dasar, dapat diberikan 1 mg epinefrin IV dan 1
mg atropin IV jika denyut jantung kurang dari 60 kali permenit.
Asistol
Patofisiologi. Biasanya menunjukkan irama akhir.
Kriteria EKG (Gambar 7-5). Secara klasik asistol menampilkan garis datar. Asistol dapat
diverifikasi dengan memeriksa sadapan dan kabel konektor, Meningkatkan hasil monitor, dan
mengganti sadapan. Tidak adanya aktivitas ventrikular atau pada kecepatan < 6 kali permenit.
Biasanya gelombang P terlihat, tapi tanpa gelombang R.

Gambar 7-5. Asistol


Gambaran Klinis. Timbul sebagai henti jantung tanpa nadi atau tekanan darah dan pernapasan
agonal.
Etiologi.Biasanya mengindikasikan keadaan sekarat. Penyebab reversibel seperti 5H dan 5T
sebaiknya dicari dan dikoreksi. Asistol dapat pula terlihat setelah kejutan listrik masif atau
kejutan postdefribrilator yang masif.
Terapi. Setelah menegakkan jalan napas, ventilasi, RKP dasar,diberikan 1 mg epinefrin IV (setiap
3-5 menit) dan atropin 1 mg (totalnya 2 mg). Jika dipertimbangkan , pacing transkutaneus harus
segera dilaksanakan. Berkenaan dengan masuk dan keluar dari rumahsakit, Penelitian terakhir
menemukan vasopressin (40 U) lebih baik daripada epinefrin pada pasien dengan asistol.
Aritmia Supraventrikel
Fibrilasi atrial / Atrial Flutter
Fibrilasi Atrial (Atrial Fibrilation / AF) timbul pada 0.5 1 % dari populasi umum, terutama
pada pasien yang berusia lebih dari 60 tahun. Pada pasien postoperasi jantung AF lebih sering
terjadi (10-65%). Frekuensi terjadinya AF pada pasien operasi nonkardiak berada diantara dua
kelompok yang disebutkan diatas (2-10%). AF merupakan aritmia yang paling sering timbul
pada unit perawatan intensif bedah/ICU bedah (jantung atau non jantung). Lima faktor risiko
independen yang teridentifikasi pada penelitian terbaru tentang AF di unit perawatan intensif
bedah (ICU Bedah). Mereka dalah umur tua, penghentian obat penghambat saluran-K, trauma
tumpul dada, syok, danpemakaian kateter arteri pulmonal.
Patofisiologi. AF merupakan suatu contoh takiaritmia reentry. Pada AF, kontraksi atria dalam
keadaan kacau dan impuls berjalan dengan jalur yang random melewati atrium. Teori multipel
wavelet merupakan teori yang paling sering digunakan untuk menjelaskan konduksi elektris
yang tak teratur yang timbul pada sebagian besar AF. Perubahan keadaan elektrofisiologi atrial ,
seperti penurunan waktu repolarisasi, penurunan periode refractory, dan penyebaran variabel
refractory, merupakan kondisi yang lebih disukai untuk menstimulasi dan menangani AF.

Kondisi ini mendukung perkembangan sirkuit reentry multipel yang tanpa henti di sepanjang
atrium dan dapat menyokong terjadinya AF yang terus-menerus. Atrial Flutter melibatkan impuls
yang berjalan sirkular mengelilingi atrium.
Kriteria EKG (Gambar 7-6). Pola klasik AF adalah irama yang tidak teratur dengan interval RR
yang bervariasi, gelombang P dan interval RR tidak dapat ditentukan. Pada atrial flutter
gambaran gigi gergaji merupakan pola klasik. . Tidak seperti AF ,irama EKG dan respon
ventrikular teratur pada atrial flutter dengan rasio 2 :1 atau 3 : 1 tergantung pada hambatan
konduksi nodus A-V.

Gambar 7-6. Fibrilasi Atriun (A) dan Atrial flutter (B).


Gambaran Klinis. Tanda dan Gejala tergantung pada kecepatan respon ventrikular, disertai
dyspnea, nyeri dada, edema pulmonary akut, gagal jantung kongestif, dan kesadaran yang
berubah sering timbul dengan respon ventrikular yang cepat. Kehilangan atrial kick (hentakan
atrium) dapat menghasilkan penurunan CO dan tekanan darah pada pasien dengan hipertrofi
ventrikel dan stenosis aorta.
Etiologi. Etiologi tersering flutter / fibrilasi atrial antara lain hipoksia (emboli paru akut, penyakit
paru obstruktif kronik), pembesaran atria (penyakit katup mitral atau trikuspidalis, overload
cairan) , sindroma koronaria akut, hipertirodisme, dan obat-obatan seperti digoksin dan kuinidin.
Terapi. Tujuan penatalaksanaan AF/ atrial flutter adalah stabilisasi hemodinamik. Restorasi dan
pemeliharaan irama sinus, dan pencegahan tromboembolisme. Keputusan terapi didasarkan pada
empat faktor yaitu stabilitas hemodinamik, fungsi jantung, adanya preeksitasi pada EKG, dan
durasi (2 hari atau lebih).
Kardioversi
Kardioversi elektrik atau farmakologik harus dipertimbangkan pada pasien dengan AF yang
timbul disertai denyut ventrikel yang sangat cepat dengan hemodinamik yang membahayakan.
Kardio versie dini meningkatkan keberhasilan kardioversi dan sekaligus mengurangi angka
kekambuhan, begitu juga kebutuhan akan antikoagulasi. Menurut pedoman yang ditetapkan
sekarang ini bahwa pasien dengan AF yang durasinya kurang dari dua hari dapat dikardioversi
tanpa antikoagulasi. Kardioversi langsung sekarangini biasanya dilakukan di bawah pengaruh
sedasi untuk meminimalisasi ketidaknyamanan pasien. Oksigenasi dan ventilasi yang adekuat
harus dijamin selama dilakukannya prosedur tersebut. Defibrilasi standar digunakan untuk

memberikan kejutan yang tersinkronisasi dengan energi yang berkekuatan antara 100-300 joule.
Posisi elektroda pengejut dapat anterior-anterior (Perbatasan sternum kanan dan dinding dada
lateral kiri) ataupun anterior-posterior (prekordial dan intraskapular). Atrial flutter memerlukan
energi yang lebih rendah untuk kardioversi. Defibrilator terbaru dengan energi yang diberikan
dalam bentuk gelombang bifasik memerlukan energi yang lebih sedikit dan memberikan
keberhasilan yang lebih besar dengan kardioversi. Sejumlah obat-obatan, termasuk : ibutilide,
amiodaron, prokainamid, flecainide, dan propafenone, telah digunakan dalam kardioversi
farmakologik pada AF atau atrial flutter. Hal yang memberatkan dalam kardioversi farmakologik
pada AF antara lain : Menghindari obat-obat prolongasi QT multipel, Pengawasan ketat terhadap
torsade de pointes, dan pemberian magnesium.
HAL YANG MEMBERATKAN DI KLINIS
Pada kardioversie farmakologik pada fibrilasi atrium / atrial flutter ,antara lain : Menghindari
obat-obat pemanjang QT multipel, Pengawasan ketat terhadap torsade de pointes, dan pemberian
magnesium.
Kontrol Denyut
Untuk pasien dengan AF atau atrial flutter yang menunjukkan denyut ventrikel yang sangat cepat
dan kondisinya stabil, pengontrolan denyut dapat dilakukan dengan menggunakan obat-obat
farmakologik yang bermanfaat. Obat-obat pengontrol denyut adalah : penghambat Nodus AV,
yang bekerja dengan memperlambat denyut, ini termasuk : penghambat beta, penghambat
saluran kalsium dan digoksin. Obat-obatan ini harus dihindari pada pasien dengan AF yang
berhubungan dengan sindroma WPW (Wolf-Parkinson-White Syndrome).
Antikoagulasi
Pasien dengan AF yang berlangsung lebih dari dua hari atau durasinya tidak diketahui atau
intermitten, sebaiknya diberi antikoagulasi dengan terapi rasio ternormalisasi internasional 2-3
untuk sekitar 2-3 minggu sebelum dan setelah kardioversi. Penyaringan trombus atrial kiri
dengan ekokardiografi merupakan alternatif yang dapat diterima untuk antikoagulasi
prekardioversi rutin. Risiko komplikasi tromboemboli lebih tinggi pada pasien yang berusia lebih
dari 65 tahun , disertai penyakit jantung katup, riwayat kegagalan jantung kongestif, pembesaran
atrium , disfungsi ventrikel kiri dan infark miokard.
Sindroma Wolff-Parkinson-White
Patofisiologi. Sindroma pre-eksitasi prototipik, sindroma WPW meliputi penghubung ekstra
elektrik (jalur tambahan) antara atrium dan ventrikel yang memungkinkan impuls atrial melintasi
nodus AV. Sebagian besar aritmia yang dihubungkan dengan sindroma WPW membalas dengan
takikardia yang dapat berupa kompleks yang sempit atau lebar.
Kriteria EKG (Gambar 7-7). Saat jalur tambahan mengkonduksi impuls-impuls dengan arah
antegrade, terdapat fusi dari aktivitas ventrikel oleh jalur lintasan dari sistem his nodus AVpurkinje. Ini ditampilkan pada EKG sebagai interval PR pendek (< 120 ms) dan penahanan
komponen utama kompleks QRS (gelombang delta) memberikannya tampilan yang lebih lebar
(> 120 ms). Perubahan sekunder gelombang ST-T pada umumnya dilangsungkan berlawanan
dengan delta mayor dan vektor QRS.

Gambar 7-7. Sindroma Wolff-Parkinson-White (WPW), tanda panah menunjukkan gelombang


delta.
Gambaran klinis. Pasien dengan sindroma WPW mungkin masih tidak bergejala sepenuhnya.
Takikardia dapat timbul sebagai palpitasi, dyspnea, nyeri dada , atau gagal jantung kongestif
(CHF). Faktor keturunan dan jenis kelamin pria merupakan predisposisi yang sering.
Etiologi. Jalur tambahan pada sindroma WPW merupakan malformasi kongenital.
Terapi. Pengobatan sindroma WPW didasarkan pada adanya instabilitas hemodinamik , fungsi
jantung yang buruk, perlangsungan AF disertai sindroma WPW, AF yang disertai respon
ventrikular yang cepat merupakan aritmia yang mengancam kehidupan pada pasien dengan
sindroma WPW dan sebaiknua ditangani dengan kardioversi elektrik. Pada pasien dengan
jantung normal, pilihan obat-obatantiaritmia antara lain : amiodaron, flecainide, procainamide,
propaferone, atau sotalol. Pada pasien dengan fungsi jantung yang buruk , dapat digunakan
kardioversie dan amiodaron. Antikoagulasi diperlukan untuk AF yang disertai sindroma WPW
yang berlangsung lebih dari dua hari.
Takikardia Atrium Multifokal (Multifocal Atrial Tachycardia / MAT)
Patofisiologi. Takikardia atrium multifokal (Multifocal Atrial Tachycardia / MAT)) disebabkan
dari peningkatan otomatisasi yang timbul secara ireguler dan secara cepat pada are atrium yang
berbeda.
Kriteria EKG (gambar 7-8 A). Denyut jantung biasanya terbatas antara 120-130x / menit. Irama
biasanya tidak teratur. Ada tiga atau lebih bentuk gelombang P yang berbeda dan interval P-R
bervariasi. Kompleks QRS biasanya sempit.
Etiologi. Penyebab tersering dari MAT antara lain penyakit paru obstruksi kronik (PPOK),
toksisitas digoksin, dan sindroma koronaria akut.
Terapi. Adenosin atau stimulasi vagal dapat membantu jika diagnosis EKG tidal jelas. Pada
pasien dengan fungsi jantung yang dipertahankan, dapat digunakan penghambat beta. Pada
pasien dengan risiko wheezing (PPOK, Asma) atau pada pasien dengan fungsi jantung yang
buruk , penggunaan penghambat saluran kalsium (diltiazem) dan amidaron adalah efektif.
Kardioversi arus langsung tidak efektif dalam penanganan MAT.

Gambar 7-8. (A) Onset takikardia supraventrikel (tanda panah). (B) Takikardia atrium multifokal
(MAT). Tanda panah menunjukkan gelombang P dengan bentuk multipel.

Takikardia Supraventrikel Paroksismal (Paroxysmal Supraventricular Tachycardia / PSVT)


Patofisiologi. Paroxysmal Supraventricular Tachycardia (PSVT) merupakan contoh lain dari
takiaritmia yang dimediasi reentry. Pada pasien dengan impuls-impuls PSVT yang timbul dan
terus-menerus secara berulang-ulang pada nodus AV dikarenakan oleh area-area hambatan satu
arah pada serabut-serabut purkinje.
Kriteria EKG (gambar 7-8 B). Denyut jantung bervariasi antara 150-250 x / menit dan iramanya
teratur. Hilangnya atau terkuburnya gelombang P pada gelombang T. Kompleks QRS biasanya
sempit.
Gambaran Klinis. Palpitasi, kecemasan, toleransi latihan yang rendah, dispnea, dan light
headedness merupakan gambaran yang sering timbul pada PSVT.
Etiologi. Sejumlah pasien dengan PSVT memiliki jalur konduksi tambahan. Faktor-faktor yang
diketahui meimbulkan PSVT antara lain : kafein, hipoksia, merokok, stres, kecemasan, dan
kurang tidur.
Terapi. Manuver vagal atau adenosin dapat membantu membedakan antara PSVT dan AF.
Kardioversi DC dapat dipertimbangkan pada pasien yang secara hemodinamik tidak stabil.
Pasien yang dengan fungsi ventrikel yang dipertahankan akan menoleransi penghambatan nodus
AV dengan menggunakan penghambat beta, penghambat saluran kalsium , procainamide, atau
digoksin. Pada pasien dengan fungsi jantung yang buruk , amiodaron , diltiazem atau digoksin
mungkin merupakan pilihan yang lebih baik.
Junctional Tachycardia
Patofisiologi. Ini merupakan contoh takiaritmia yang dihasilkan oleh peningkatan pembentukan
impuls otonomatis pada nodus AV. Baik transmisi impuls antegrade maupun retrograde timbul.
Kriteria EKG. Iramanya teratur dengan kecepatan 100-180 x/menit. Gelombang P biasanya tidak
ada atau terinversi. Kompleks QRS sempit dengan tidak adanya perlambatan konduksi ventrikel.
Gambaran klinis. CHF dapat muncul sebagai akibat oleh hilangnya hentakan sinus (atrium).
Dapat timbul gejala-gejala takikardia tidak stabil, dyspnea, nyeri dada, dan light headedness.
Etiologi. Sindroma koronaria akut atau toksisitas digoksin merupakan penyebab umum dari
junctional tachycardia.
Terapi. Kardioversi DC umumnya tidak direkomendasikan. Beta bloker, penghambat saluran
kalsium atau amiodaron telah digunakan dengan sukses.
Aritmia Ventrikel
Aritmia ventrikel diklasifikasikan sebagai benigna atau maligna berdasarkan perlangsungannya,
ada atau tidak adanya akibat hemodinamik, atau penyakit jantung struktural tertentu. Kontraksi
ventrikel prematur (Premature Ventricular Contraction (PCVs)) dan takikardia ventrikel
nonsustained jarang memerlukan terapi bila tidak ada gejala atau penyakit jantung struktural.
Takikardia ventrikel monomorfik stabil (Stable Monomorphic Ventricular Tachycardia)
Patofisiologi. VT Monomorfik sustained merupakan ritme reentry yang sering timbul setelah
infark miokard atau pada keadaan kardiomiopati. Area dimana miokardium rusak menjadi
sumber impuls-impuls ektopik dan konduksi impuls dierlambat di sekitar area ini menyebabkan
depolarisasi berulang.
Kriteria EKG (Gambar 7-9 A). Denyut ventrikel biasanya 120-150 x/mnt dan iramanya teratur
tanpa aktifitas atrium. Kompleks QRS lebar dan aneh (> 0,12 ms). Adanya 3 atau lebih PCVs
yang dikualifikasikan sebagai VT. Jika perlangsungan < 30 detik berarti merupakan VT

nonsustained.
Gambaran Klinis. VT Monomorfik dapat tidak bergejala. Gejala menurunnya cardiac output,
seperti timbulnya orthostatis, hipotensi, atau sinkop. Jika dibiarkan tanpa penanganan maka
dapat memburuk menjadi VF atau VT yang tidak stabil.
Etiologi. Iskemia miokard akut atau infark, timbulnya PVCs selama periode refractory relatif
(Fenomena R pada T), kardiomiopati, dan obat-obat prolongasi interval QT merupakan beberapa
penyebab VT monomorfik.
Terapi. Pada pasien dengan fungsi ventrikel normal, obat-obat seperti prokainamid, lidokain,
sotalol, atau amiodaron dapat digunakan. Lidokain, amiodaron, atau kardioversi DC
direkomendasikan pada pasien dengan fungsi ventrikel yang rusak. Abnormalitas elektrolit
(hipokalemia dan hipomagnesemia) harus dikoreksi.

Gambar 7-9. (A) Takikardia ventrikel momomorfik. (B) Takikardia ventrikel polimorfik (torsade
de pointes).
Takikardia Ventrikel Polimorfik (Polymorphic Ventricular Tachycardia)
Patofisiologi. VT Polimorfik juga disebabkan oleh fenomena reentry, disertai area ventrikel
multipel yang menjadi sumber terbentuknya impuls ektopik.
Kriteria EKG (Gambar 7-9 B). Denyut ventrikel biasanya 120-150 x/mnt, dan iramanya teratur.
Gelombang P dan interval PR tidak terlihat. Kompleks QRS menunjukkan variasi ciri dan
inkonsistensi. Interval QT secara klasik berprolongasi pada pasien disertai Torsade de Pointes.
Gambaran Klinis. Sebagian besar pasien menunjukkan gejala-gejala penurunan cardiac output.
Ada kecenderungan untuk memburuk secara cepat menjadi VF.
Etiologi. Iskemia miokard dan obat-obat pemanjang interval QT merupakan penyebab umum VT
polimorfik.
Terapi. Pada pasien dengan interval QT normal, fokus penanganan sebaiknya untuk menangani
iskemia dan mengoreksi abnormalitas elektrolit. Pasien dengan jantung normal bertoleransi baik
dengan beta bloker, lidokain, procainamide, dan sotalol. Bila terdapat fungsi jantung yang buruk
sebaiknya dipertimbangkan kardioversi DC atau amiodaron. Pada pasien dengan prolongasi
interval QT dan Torade de pointes, pilihan terapi antara lain pemberian magnesium, overdrive
pacing, isoproterenol, fenitoin atau lidokain. Pada saat yang sama , sebaiknya ditangani pula
iskemia jantung dan abnormalitas elektrolit.
Bradiaritmia

Bradiaritmia bukanlah sesuatu yang umum terjadi pada keadaan perawatan kritis dan dapat saja
berupa temuan yang tidak disengaja ataupun menunjukkan adanya masalah potensial yang
mengancam kehidupan. Sinus bradikardia (HR < 60 x/menit) Jarang membutuhkan penanganan.
Pacing atrofin atau transkutaneus dapat digunakan untuk menangani sinus bradikardia yang
Bergejala yang dimediasi oleh stimulus vagal. Penambahan oksigen , infus katekolamin, seperti
dopamin , isoproterenol, atau epinefrin, dapat digunakan sebagai agen kronotropik (Box 7-2).
Penyebab Umum Bradikardia
Medikasi, Gangguan elektrolit, dan Peningkatan tonus vagal merupakan penyebab umum
bradikardia dalam keadaan perawatan kritis
Hambatan Jantung Tingkat I
Patofisiologi. Pada hambatan jantung tingkat I setiap impuls atrium berhasi dikonduksi ke
ventrikel tapi disertai keterlambatan pada nodus AV.
Kriteria EKG (Gambar 7-10). Setiap gelombang P disertai oleh QRS tapi dengan interval PR
yang menetap dan memanjang (> 210 ms). Kompleks QRS pada umumnya sering menyempit
pada saat timbul hambatan pada tingkat nodus AV. Bagaimanapun hambatan jantung tingkat I
dengan Bundle Branch Block dan pelebaran QRS menunjukkan perlambatan konduksi pada
sistem konduksi intranodal.
Gambaran klinis. Hambatan Jantung Tingkat I biasanya tidak bergejala pada saat istirahat. Gejala
biasanya timbul dengan tingkat bradikardia.
Etiologi. Obat yang paling sering dihubungkan dengan adanya Hambatan Jantung Tingkat I
antara lain beta bloker, Ca-Channel bloker, digoksin, clonidine, dan amiodaron. Stimulasi refleks
vagal (sinkop), ketidakstabilan otonom, dan infark dinding belakang miokard diakibatkan oleh
keterlibatan sirkulasi koronaria kanan yang biasanya dihubungkan dengan Hambatan Jantung
Tingkat I.
Terapi. Penambahan oksigen, atrofin, pacing transcutaneous, dan infus katekolamin dapat
digunakan untuk menangani Hambatan Jantung Tingkat I yang bergejala.
Hambatan Jantung Tingkat II
Patofisiologi. Hanya beberapa impuls atrium yang berjasil dikonduksi pada berbagai tipe
Hambatan Jantung Tingkat II. Pada hambatan Mobitz tipe I (Wenkebach) daerah penghambatan
setingkat nodus AV. Bagaimanapun pada hambatan Mobitz tipe II, daerah penghambatan berada
di bawah nodus AV.
Kriteria EKG (Gambar 7-10). Denyut atrium biasanya 60-100 x/ menit, denyut ventrikel
biasanya lebih lambat dari denyut atrium. Pada hambatan Mobitz tipe I interval PR secara
progresif memanjang diikuti hilangnya kompleks QRS (dropped beat). QRS menyempit (0,120
ms). Hambatan Mobitz tipe II timbul tanpa prolongasi interval PR dan tingkat hambatan
biasanya infranodal.
Etiologi. Obat-obat penghambat nodus AV dan stimulus vagal merupakan penyebab umum
Hambatan Jantung Tingkat II, koronaria kanan terkait infark umumnya dihubungkan dengan
hambatan Mobitz tipe I dan koronaria kiri dihubungkan dengan infark yang disertai hambatan
Mobitz tipe II.
Gambaran Klinis. Hipotensi, syok, CHF, dan sinkop dapat ditemukan pada Hambatan Jantung
Tingkat II.
Terapi. Penambahan oksigen, atropin, dan transcutaneous pacing. Transvenous pacing

dibutuhkan pada hambatan Mobitz tipe II. Infus katekolamin mungkin diperlukan untuk
menangani hipotensi.
Hambatan jantung Tingkat III
Patofisiologi. Tidak ada impuls-impuls atrium yang dikonduksikan ke ventrikel menyebabkan
disosiasi komplit AV. Tempat penghambatan dapat di nodus AV atau infranodal.
Kriteria EKG (Gambar 7-10). Baik irama atrium maupun ventrikel, keduanya teratur tapi
terdisosiasi (independen). Tak ada hubungan antara gelombang P dan R. Kompleks QRS dapat
menyempit (<0,10 ms) atau melebar (> 0,10 ms) tergantung apakah hambatan berada di atas atau
di bawah nodus AV.
Gambaran Klinis. Manifestasi klinis dihubungkan dengan denyut jantung. Gejala-gejala yang
berhubungan dengan bradikardia antara lain : nyeri dada, dispnea, CHF, hipotensi, dan syuk.
Etiologi. Sindroma koronaria akut meliputi cabang-cabang arteri koronaria kiri (Penurunan
anterior kiri) atau arteri koronaria kanan (MI Inferior) dapat menyebabkan Hambatan Jantung
Tingkat III.
Terapi. Terapi medis hanya digunakan hingga pacing dapat diinisiasi. Atropin dan isoproterenol
merupakan medikasi yang paling sering digunakan dan bekerja dengan meningkatkan aktifitas
nodus sinus dan meningkatkan hambatan pada nodus AV.

Gambar 7-10. Hambatan Jantung. (A) Hanbatan Jantung tingkat I (Prolongasi interval PR). (B)
Tingkat II. Tipe Mobitz 1 (Wenkebach). (C) Tingkat II Tipe 2. (D) Tingkat III , Hambat Jantung
lengkap.

You might also like