Professional Documents
Culture Documents
A. PENDAHULUAN
Salah satu tahapan yang harus dilalui dalam proses litigasi adalah upaya
pembuktian. Menjadi kewajiban para pihak berperkara dalam pembuktian adalah
meyakinkan mejelis hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
persengketaan atau dalam pengertian yang lain yaitu kemampuan para pihak
memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan
hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan (dibantahkan) dalam hubungan hukum
yang diperkarakan. Oleh karena itulah menjadi suatu asas bahwa barang siapa yang
mendalilkan
sesuatu
maka
harus
membuktikannya.1
Membuktikan
artinya
Didalam hukum acara perdata telah dikenal ada 5 (lima) macam alat bukti,
yaitu alat bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan alat bukti sumpah.2 Saksi
sebagai salah satu alat bukti dalam hukum acara perdata mempunyai jangkauan yang
sangat luas hampir meliputi segala bidang dan segala macam sengketa perdata kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.
Saksi yang telah memenuhi syarat formil dan materiil berarti ia mempunyai
kekuatan nilai pembuktian bebas (vrijbewijs kracht). Artinya hakim bebas untuk
menilai kesaksian itu sesuai dengan nuraninya, hakim tidak terikat dengan keterangan
saksi karena hakim dapat saja menyingkirkan keterangan saksi asal dipertimbangkan
dengan cukup berdasarkan argumentasi yang kuat dan bahkan hakim dapat pula
menerima keterangan saksi meskipun itu berkualitas testimonium de auditu asal ada
dasar eksepsional untuk menerimanya.
Meskipun di kalangan mainstrean menolak testimonium de auditu sebagai alat
bukti, namun kalau dilacak setidaknya diskursus mengenai testimonium de auditu
terus menggelinding sampai sekarang masih terjadi dikalangan akademik dan praktisi
hukum antara menerima dan menolak testimonium de auditu sebagai alat bukti dalam
hukum perdata. Apakah testimonium de audito tetap tidak bernilai sama sekali
sehingga harus selalu ditolak sebagai alat bukti dalam hukum perdata ? Ataukah
testimonium de audito masih mempunyai nilai pembuktian sehingga dapat
dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai alat bukti ?, sebagaimana dapat ditemukan
dalam yurisprudensi Mahkamah Agung RI sehingga bisa menjadi acuan, meski
sejatinya negara kita menganut sistem hukum kodefikasi Eropa Kontinental (civil
law).
Pasal 164 HIR, 284 R.Bg dan Pasal 1866 KUH Perdata.
3
4
5
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 496
Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 9
Ibid, hal. 107
Tugas dan peran hakim untuk mencari kebenaran formil adalah bersifat pasif
namun bukan pasif total dalam arti tidak hanya dimaknai hakim terbatas menerima
dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan para pihak semata, tetapi
juga tetap berperan dan berwenang menilai kebenaran fakta yang diajukan ke
persidangan dengan tetap berpegang pada ketentuan bahwa hakim tidak dibenarkan
mengambil prakarsa aktif meminta para pihak mengajukan atau menambah
pembuktian yang diperlukan, menerima setiap pengakuan dan pengingkaran yang
diajukan para pihak di persidangan untuk selanjutnya dinilai kebenarannya oleh hakim
serta pemeriksaan dan putusan hakim terbatas pada tuntutan yang diajukan para pihak.
Dalam perkembangan selanjutnya muncul aliran aktif argumentatif yang
menentang ajaran peran dan kedudukan hakim bersifat pasif, dengan argumentasi
bahwa hakim tidak boleh dijadikan mahluk tak berjiwa (antre anemimes)6 tidak
mempunyai hati nurani dan kesadaran moral, karena tidak layak dan tidak pantas
hakim membiarkan para pihak berlaku sewenang-wenang menyodorkan dan
menyampaikan kebenaran yang berisi kebohongan dan kepalsuan.
Argumentasi kedua, tujuan dan fungsi peradilan adalah untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan (to enforce the truht and justice)7. Sehingga untuk
mewujudkan kebenaran dan keadilan maka fungsi dan peran hakim harus aktif
mencari dan menilai kebenaran yang diajukan para pihak dengan menyingkirkan fakta
atau bukti yang berisi kebohongan dan kepalsuan serta menolak alat bukti yang
mengandung fakta abstrak sebagai dasar penilaian dalam mengambil putusan.
Oleh karena itulah dalam proses peradilan perdata hakim tidak dilarang
mencari dan menemukan kebenaran materiil karena tujuan pembuktian adalah untuk
6
M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pada Peradilan Agama, Yayasan AlHikmah, Jakarta, 1993/1994, hal. 63.
M. Yahya Harahap, Ibid, hal. 63.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta,
2006, hal. 228.
M. Yahya Harahap, op cit, 2005, hal. 498
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Pasal 171 (1) HIR, Pasal 308 (1) R.Bg dan Pasal 1907 KUH Perdata.
Pasal 172 HIR, Pasal 309 R.Bg dan Pasal 1908 KUH Perdata
Pasal 171 ayat (2) HIR, Pasal 308 ayat (2) R.Bg dan Pasal 1907 ayat (2) KUH Perdata.
M. Yahya Harahap, op cit, 2005, hal.661
Mukti Arto, Praktek Perkara Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1996, hal. 164.
Subekti, op cit, 1997, hal.45.
Pasal 1907 KUH Perdata, oleh karena sumber kesaksian diperoleh secara tidak
langsung atau berasal dari orang lain.
de auditu sebagai alat bukti apabila mereka terdiri dari beberapa orang dan keterangan
yang disampaikan langsung mereka dengar dari tergugat atau penggugat untuk
melengkapi keterangan saksi lain yang memenuhi syarat formil dan meteriil kesaksian
sehingga memenuhi batas minimal pembuktian, atau keterangan saksi de auditu
dipergunakan untuk menyusun persangkaan. Karena sebagai kesaksian keterangan
saksi de auditu memang tidak ada nilainya akan tetapi bukan berarti hakim lantas
dilarang untuk menerimanya. Yang dilarang adalah jika saksi menarik kesimpulankesimpulan, memberikan pendapat atau perkiraan-perkiraan.27 Yang termasuk berada
pada kelompok ini (diluar mainstream) adalah Yahya Harahap yang menerima saksi
de auditu sebagai alat bukti dengan pendapatnya yang sangat moderat.28 Bahkan
Yahya Harahap mengkritik keras terhadap sikap para praktisi hukum yang secara
otomatis menolak testimonium de auditu sebagai alat bukti karena tanpa adanya
analisis dan pertimbangan yang argumentatif.29
27
28
29
10
11
orang yang menerangkan pesan didalam majelis persidangan pengadilan adalah orang
yang langsung menerima pesan.
Kedua testimonium de auditu tidak digunakan sebagai alat bukti langsung
tetapi kesaksian de auditu dikonstruksi sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden),
dengan pertimbangan yang obyetif dan rasional dan persangkaan itu dapat dijadikan
dasar untuk membuktikan sesuatu. Sebagaimana terlihat pada putusan Mahkamah
Agung No. 308 K/Pdt/1959 tanggal 11 November 1959. Sesungguhnya putusan ini
tetap berpegang pada aturan umum yang melarang kesaksian de auditu sebagai alat
bukti, namun untuk menghindari larangan tersebut kesaksian itu tidak dikategorikan
sebagai alat bukti saksi tetapi dikonstruksi menjadi alat bukti persangkaan
(vermoeden).
Ketiga, membenarkan testimonium de audito sebagai alat bukti untuk
melengkapi batas minimal unus testis nullus testis yang diberikan seorang saksi.
Demikian putusan Mahkamah Agung No. 818 K/Sip/1983 tanggal 13 Agustus 1984.
Dalam putusan tersebut menyebutnya testimonium de audito sebagai keterangan yang
dapat dipergunakan untuk menguatkan keterangan saksi biasa. Dalam kasus ini saksi
yang langsung ikut dalam transaksi jual beli hanya saksi pertama, sedangkan saksi
kedua dan ketiga hanya berkualitas sebagai de audito, akan tetapi meskipun demikian
ternyata dalam persidangan keterangan yang mereka sampaikan merupakan hasil
pengetahuan yang langsung bersumber dari tergugat sendiri. Berdasarkan fakta
tersebut Mahkamah Agung berpendapat keterangan mereka itu dapat dijadikan
sebagai alat bukti yang menguatkan keterangan seorang saksi.
Penerimaan testimonium de audito sebagai alat bukti dalam yurisprudensi
Mahkamah Agung RI dengan tiga model penerapannya tersebut memang sangat
12
kasuistis dan adanya alasan eksepsional sehingga sangat beralasan untuk dapat
diterima. Oleh karenanya yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum formal
sangat penting eksistensinya apabila dikaitkan dengan tugas hakim yang tidak hanya
sekedar pelaksana Undang-Undang (legisme), namun juga harus menggali
menemukan
hukum
(Rechtsvinding)
atau
dengan
menciptakan
untuk
hukum
30
sekiranya yurisprudensi itu telah usang dan tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman
dan keadaan masyarakat, akan tetapi tidak ada salahnya untuk tetap berpedoman kalau
yurisprudensi itu masih sesuai dengan zaman dan sesuai dengan nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.31
30
Lilik Mulyadi, Dr. S.H.,M.H, dalam artikelnya, Eksistensi Yurisprudensi Dikaji dari Perspektif
Teoritis dan Praktik Peradilan.
31
Abdul Manan, op cit, 2006, hal.8.
13
G. PENUTUP
Sejatinya eksistensi testimonium de audito berada diluar kategori keterangan
saksi yang ditentukan Undang-Undang, namun untuk mensikapinya adalah tidak serta
merta harus menolak sehingga tidak ada nilainya sama sekali, karena dalam keadaan
32
14
tertentu dapat diterima sebagai alat bukti dengan menganalisis dasar eksepsional untuk
dapat diterimanya dengan mempertimbangkan sejauh mana kualitas dan nilai
kekuatan pembuktiannya yang melekat pada keterangan saksi de audito tersebut serta
dapat dipertimbangkan dari segi kondisional-nya dengan tanpa melepaskan keadaan
yang melekat dan mengitarinya, sebagaimana yang terdapat dalam yurisprudensi
Mahkamah Agung RI dengan tiga model penerapannya tersebut bisa menjadi sebuah
alternatif.
Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental yang lebih akrab dengan
civil law yang berangkat dari pemikiran positivisme, namun dalam dimensi yang lain
terkadang juga mengadopsi sistem hukum yang dikenal dalam sistem hukum Anglo
Saxon dengan common law yang berangkat dari pemikiran social-jurisprudence.
Sehingga dalam prakteknya tidak sedikit ditemukan penerapan yurisprudensi oleh
hakim tingkat bawah kedalam putusan-putusannya meskipun tidak ada keharusan
mengikuti putusan sebelumnya. Namun kalau yurisprudensi itu masih cukup relevan
dengan zaman dan ada titik temu dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat, kenapa tidak ?.
WaAllahu alamu bi al-shawab.
Penulis,
15
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan,