You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kubis (Brassicae oleracea L.) adalah salah satu komoditas sayuran yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi. Produksi kubis selain untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri juga
merupakan komoditas ekspor yang termasuk kelompok enam besar sayuran komoditi ekspor
unggulan Indonesia (Rukmana, 1994 dalam Kristanto, S., Sutjipto, dan Soekarto, 2013). Di
Indonesia, luas panen kubis pada tahun 2008-2009 mencapai lebih dari 66.000 ha/tahun
dengan hasil produksi lebih dari 1,33 juta ton/tahun. Namun, dalam usaha peningkatan
produksi tanaman seringkali dihadapkan adanya gangguan hama dan penyakit. Kerugian
besar bahkan kegagalan panen dapat terjadi bila gangguan tersebut tidak diatasi dengan baik
(Kristanto, S., Sutjipto, dan Soekarto, 2013; Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R.,
2005). Untuk keefektifan pengendalian hama dan penyakit utama yang menyerang tanaman
kubis di lapang, maka diperlukan pengetahuan dan pemahaman terhadap bioekologi hama
tersebut termasuk struktur komunitasnya di dalam ekosistem tanaman kubis di lapang, serta
gejala yang ditimbulkan akibat serangan hama dan penyakit tersebut. Oleh karena itu,
diperlukan upaya pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHPT) pada tanaman kubis ini
untuk mencegah ataupun mengurangi serangan hama dan penyakit tersebut sehingga dapat
menekan kerugian yang diakibatkannya.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Apakah hama utama pada tanaman kubis?


Apakah penyakit utama pada tanaman kubis?
Bagaimanakah pengendalian hama terpadu pada tanaman kubis?
Bagaimanakah pengendalian penyakit terpadu pada tanaman kubis?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah mata kuliah Pengendalian Hama dan Penyakit
Terpadu yang berjudul Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis
(Brassica oleracea L.) adalah untuk mengetahui hama dan penyakit utama pada tanaman
kubis sehingga dapat diterapkan pengendalian hama penyakit terpadu (PHPT) yang
memadukan berbagai metode pengelolaan tanaman budidaya dalam perpaduan yang paling

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)

efektif dalam mencapai stabilitas produksi sehingga dapat menekan kerugian yang
ditimbulkan oleh serangan hama dan penyakit tersebut.
1.4. Manfaat
Adapun manfaat dalam penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu yang berjudul Pengendalian Hama dan
Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) serta untuk mengetahui
hama dan penyakit utama pada tanaman kubis sehingga dapat diterapkan pengendalian hama
penyakit terpadu (PHPT) yang memadukan berbagai metode pengelolaan tanaman budidaya
dalam perpaduan yang paling efektif dalam mencapai stabilitas produksi sehingga dapat
menekan kerugian yang ditimbulkan oleh serangan hama dan penyakit tersebut.

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu
Pengendalian Hama Penyakit Terpadu (PHPT) adalah suatu cara pendekatan atau cara
berfikir tentang pengendalian hama dan penyakit tumbuhan yang didasarkan pada
pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang
berwawasan lingkungan yang berkelanjutan (Agustian, dkk., 2009; Hasibuan, M., 2008).
PHPT sangat penting karena berawal dari kegagalan pemberantasan hama secara biasa
(konvensional) dapat mengakibatkan munculnya ketahuan hama terhadap insektisida,
timbulnya resurgensi (peningkatan populasi hama) dan menyerang kembali setelah
disemprot, dan tidak dapat dikendalikan oleh musuh-musuh alami. Di samping itu, dapat
terjadi letupan hama kedua (sekunder). Pengembangan PHPT ini didukung oleh
kebijaksanaan Pemerintah melalui Undang-undang (UU) No. 12 Tahun 1992 tentang "Sistem
Budidaya Tanaman". Hasil-hasil penelitian dan uji coba PHT pada kubis menunjukkan bahwa
terjadi penghematan insektisida 80%-86% dan fungisida 100%. (Rukmana, R., 2007).
Perlindungan tanaman terutama bertujuan untuk mencegah serangan hama dan
penyakit. PHPT memadukan berbagai metode pengelolaan tanaman budidaya dalam
perpaduan yang paling efektif dalam mencapai stabilitas produksi, dengan seminimal
mungkin bagi manusia dan lingkungan. PHPT meliputi empat prinsip dasar, yaitu:
1. Tanaman budidaya yang sehat
Sasaran pengelolaan agroekosistem adalah produktivitas tanaman budidaya.
Pemilihan varietas, tanaman yang memperoleh cukup pemupukan, pengairan,
penyiangan gulma dan disertai pengolahan tanah yang baik sebelum masa tanam adalah
dasar bagi pencapaian hasil produksi yang tinggi. Budidaya yang sehat dan kuat bagian
program PHPT.
2. Melestarikan dan Mendayagunakan fungsi musuh alami
Kekuatan unsur-unsur alami sebenarnya mampu mengendalikan lebih dari 99%
hama kebanyakan lahan agar tetap berada pada jumlah yang tidak merugikan. Tanpa
disadari, sebenarnya semua petani bergantung pada kekuatan alami yang sudah tersedia
di lahannya masing-masing. PHPT secara sengaja mendayagunakan dan memperkuat
peranan musuh alami yang menjadi jaminan pengendalian, serta memperkecil
pemakaian pestisida berarti mendatangkan keuntungan ekonomis kesehatan dan
lingkungan tidak tercemar. Pemanfaatan pengandalian alami (secara biologis dan
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)

mekanis) seoptimal mungkin, dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat


mematikan musuh alami atau organisme yang bukan sasaran.
3. Pemantauan Lahan Secara Mingguan
Masalah hama tidak timbul begitu saja. Masalah ini timbul karena kombinasi
faktor-faktor lingkungan yang mendukung pertumbuhan populasi hama. Kondisi
lingkungan atau ekosistem sangat penting artinya dalam kaitannya dengan timbulnya
masalah ham. Dalam hal ini PHPT menganjurkan pemantauan lahan secara mingguan
oleh petani sendiri untuk mengkaji masalah hama yang timbul dari keadaan ekosistem
lahan yang cenderung berubah dan terus berkembang. Pengendalian Hama Terpadu
membantu petani untuk mempelajari dan mempraktekkan keterampilan teknologi
pengendalian hama.
4. Petani Menjadi Ahli PHPT di Lahannya Sendiri
Pada dasarnya petani adalah penanggung jawab, pengelola dan penentu keputusan
di lahannya sendiri. Petugas dan orang-orang lain merupakan nara sumber, pemberi
informasi dan pemandu petani apabila diperlukan. Maka untuk itu petani dilatih untuk
ahli PHPT dilahannya sendiri. Dengan keahliannya itu petani secara mandiri dan
percaya diri mampu untuk melaksanakan dan menerapkan prinsip teknologi PHPT di
lahannya sendiri. Sebagai ahli PHPT petani harus mampu menjadi pengamat,
penganalisis ekosistem, pengambil keputusan pengendalian dan sebagai pelaksana
teknologi pengendalian sesuai dengan prinsip-prinsip PHPT (Lubis, L., 2004).
Menurut Agustian, dkk. (2009) dan Hasibuan, M. (2008), terdapat empat unsur dasar
setiap program PHPT adalah pengendalian alamiah, pengambilan (sampling), tingkat
ekonomik dan pengetahuan yang lebih mendalam tentang biologi dan ekologi dari semua
jenis serangga yang penting dalam sistem itu. Setiap unsur adalah penting dan memberikan
bantuan peran yang lebih besar kepada semua komponen yang dapat diterapkan dan
disesuaikan dalam setiap pengelolaan serangga hama.
1. Pengendalian Alamiah (Natural Control)
Pengendalian secara alamiah, yaitu pengendalian dengan menggunakan predator
dan parasit atau pengendalian secara hayati (biologis) yang terjadi di alam. Dalam hal
ini apabila populasi serangga hama rendah maka serangga tersebut bukan merupakan
hama yang mengganggu.
2. Tingkat Ekonomik (Ambang Ekonomi)
Tingkat ekonomik atau ambang ekonomi adalah sampai berapa tinggi tingkat
populasi serangga hama, sehingga pengendalian perlu dimulai untuk mencegah
kerusakan ekonomis lebih lanjut dari tanaman yang dibudidayakan tersebut. Apabila

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)

serangga hama telah merugikan bagi petani, serta telah menurunkan kualitas dan hasil
produksi tanaman yang dibudidayakan oleh petani tersebut maka hal tersebut yang
disebut telah mencapai ambang ekonomi. Maka tindakan menggunakan pestisida baru
akan diambil oleh petani untuk memusnahkan hama dan penyakit tersebut.
3. Biologi dan Ekologi Serangga
Pengetahuan tentang biologi dan ekologi serangga hama dan serangga-serangga
yang berguna adalah sangat penting dalam menyusun strategi pengendalian terutama
dalam pengendalian hama dan penyakit. Informasi baru tentang hama dapat
memeberikan kunci atau bahkan cara yang lebih baik dalam memecahkan masalah
hama tersebut. Hal tersebut dilakukan juga untuk menghindari agar hama tidak resisten
terhadap pestisida.
Menurut Agustian, dkk. (2009) dan Hasibuan, M. (2008), cara pengendalian hama
penyakit terpadu secara umum, yaitu:
1. Pada tahap pencegahan, dapat menggunakan varietas tahan, yaitu usaha mengendalikan
hama dan penyakit dengan cara menanam tanaman dengan varietas unggul yang
memiliki ketahanan genetik tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Sampai pada
akhir abad kesembilanbelas, sebagian besar tanaman-tanaman yang tahan penyakit
didapatkan melalui proses seleksi. Dimana prosesnya hanyalah merupakan kelanjutan
daripada seleksi alam. Sebagai contoh, pada saat terjadinya suatu epidemik penyakit
maka secara alamiah hanya tanaman-tanaman yang paling kuat dan tahan sajalah yang
berhasil hidup, dan kemudian biji-biji dari tanaman-tanaman tersebut yang akan
dijadikan sebagai benih untuk musim tanam berikutnya. Proses seleksi seperti ini pada
prinsipnya sampai kini masih dilakukan, yaitu untuk mendapatkan tanaman-tanaman
yang tahan penyakit yang nantinya untuk dipakai sebagai bahan tetua di dalam program
pemuliaan tanaman.
2. Pengendalian kultur teknik atau budidaya, yaitu penggunaan tindakan-tindakan kultur
teknik yang ada hubungannya dengan produksi tanaman dan yang menyebabkan
lingkungan itu kurang sesuai dengan kehidupan, pertumbuhan, perkembangan atau
reproduksi dari jenis serangga hama itu. Cara ini dilakukan dengan melakukan kegiatan
seperti mengubah cara menanam; pemeliharaan (misalnya kegiatan irigasi dengan
penggenangan air yang dapat mencegah keluarnya serangga dewasa dari pupa yang
terdapat di dalam tanah.); tanggal panen, yaitu pengunduran saat tanam berarti
mengganti periode tanam dari tanaman tersebut, sehingga dapat mengubah daur hidup
dari serangga; pembuangan sisa-sisa tanaman, sehingga dapat menghilangkan makanan
dari serangga hama tersebut; mengolah tanah (misalnya kegiatan membajak tanah

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)

menghasilkan kematian yang tinggi pada pupa yang tinggal dalam tanah sehingga
mengurangi banyaknya yang dewasa keluar dalam musim berikutnya); dan pola
pergiliran tanaman.
3. Pengendalian fisik dan mekanik, yaitu seperti penggunaan suhu tinggi dan rendah,
mengurangi kelembaban, menggunakan alat perangkap cahaya dengan suara, membuat
penghalang dan batas penolak, memungut dengan tangan, dan lain-lain.
4. Pengendalian hayati (biologi), yaitu pengendalian yang menggunakan musuh-musuh
alami yang dapat menekan hama. Pengendalian hayati mempunyai kelebihan tertentu
dibandingkan dengan cara pengendalian yang lain, yaitu aman bagi manusia dan
hewan, serta ekonomis.
5. Pengendalian secara kimiawi, yaitu pengendalian hama terpadu yang mengguna
pestisida. Penggunaan pestisida juga harus bijaksana dan sesuai dengan tata cara aturan
yang berlaku, supaya tidak menimbulkan kerugian, yaitu dengan melakukan 6 tepat,
yaitu tepat sasaran, tepat mutu, tepat jenis, tepat waktu, tepat dosis/konsentrasi, dan
tepat cara penggunaan (Moekasan, T. dan Prabaningrum, L., tanpa tahun).
2.2. Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kubis
Berikut adalah klasifikasi tanaman kubis menurut Backer (1963)
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Dilleniidae
Bangsa
: Capparales
Suku
: Brassicaceae
Marga
: Brassica
Spesies
: Brassica oleracea
Kubis memiliki tangkai daun agak panjang dan helai daun berlekuk-lekuk panjang.
Massa bunga kubis bunga tersusun secara kompak membentuk bulatan berwarna hijau tua,
atau hijau kebiru-biruan, dengan diameter antara 15-20 cm atau lebih. Pada kondisi
lingkungan yang sesuai, massa bunga kubis bunga dapat tumbuh memanjang menjadi tangkai
bunga yang penuh dengan kuntum bunga, tiap bunga terdiri atas 4 helai kelopak bunga
(calyx), empat helai daun mahkota bunga (corolla), enam benang sari yang komposisinya
empat memanjang dan dua pendek. Bakal buah terdiri atas dua ruang, dan setiap ruang berisi
bakal biji. Biji kubis memiliki bentuk dan warna yang hampir sama, yaitu bulat kecil
berwarna coklat sampai kehitaman. Biji tersebut dihasilkan oleh penyerbukan sendiri ataupun
silang dengan bantuan sendiri ataupun serangga. Buah yang terbentuk seperti polong
polongan, tetapi ukurannya kecil, ramping dan panjangnya sekitar 3-5 mm. Bunga kubis
bunga berwarna putih. Sistem perakaran relatif dangkal, dapat menembus kedalaman 60-70
cm. Akar yang baru tumbuh berukuran 0,5 mm, tetapi setelah berumur 1-2 bulan system
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)

perakaran menyebar ke samping pada kedalaman antara 20-30 cm (Balai Besar Pelatihan
Pertanian Lembang, 2012).
Kubis merupakan tanaman sayuran yang berasal dari daerah sub tropis. Temperatur
untuk pertumbuhannya, yaitu minimum 15.5-18oC dan maksimum 24oC, dengan kelembaban
optimum antara 80-90%. Tanaman kubis dapat dibudidayakan di dataran rendah (0-200 m
dpl) dan menengah (200-700 m dpl). Di dataran rendah, temperatur malam yang terlalu
rendah menyebabkan terjadinya sedikit penundaan dalam pembentukan bunga dan umur
panen yang lebih panjang. Tanah lempung berpasir baik untuk budidaya kubis, tetapi tanaman
ini toleran pada tanah berpasir atau liat berpasir. Kemasaman tanah yang baik antara 5,5-6,5
dengan pengairan dan drainase yang memadai. Tanah yang sesuai untuk komoditas ini harus
subur, gembur dan mengandung banyak bahan organik (Balai Besar Pelatihan Pertanian
Lembang, 2012).

BAB III
METODE
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah yang berjudul Pengendalian
Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) adalah berupa
pengumpulan data berdasarkan diskusi kelompok dan studi pustaka melalui buku, jurnal, dan
internet.

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hama Utama pada Tanaman Kubis
Hama yang menyerang tanaman kubis diantaranya yaitu Plutella xylostella L.
(Lepidoptera: Plutellidae),
Spodoptera

litura

Fab.

Crocidolomia
(Lepidoptera:

pavonana
Noctuidae),

Fab. (Lepidoptera:
Helicoverpa

Pyralidae),

armigera

Hubner

(Lepidoptera: Noctuidae), Chrysodeixis orichalcea L. (Lepidoptera: Noctuidae), Liriomyza


(Diptera: Agromyzidae) dan Myzus persicae Sulz. (Homoptera: Aphidoidae) (Permadi dan
Sastrosiswojo, 1993 dalam Kumarawati, dkk., 2013).
Kompleksitas hama yang menyerang tanaman sangat berpengaruh terhadap tingkat
serangan yang dialami oleh tanaman. Walaupun demikian, tidak semua jenis hama yang
berasosiasi dengan tanaman kubis merupakan hama penting yang menimbulkan kerusakan
berat pada tanaman inangnya. Sembel (2010) dalam Kumarawati, dkk. (2013) melaporkan
bahwa ada 2 jenis hama penting yang menyerang tanaman kubis di lapangan, yaitu P.
xylostella dan C. pavonana. Kelimpahan populasi P. xylostella tertinggi terjadi pada umur
tanaman 7 minggu setelah tanam dan kelimpahan populasi C. pavonana tertinggi terjadi pada
umur tanaman 10 minggu setelah tanam (Astutik, 2005 dalam Kumarawati, dkk., 2013).
Menurut Hasnah dan Nasril (2009) dalam Kumarawati, dkk. (2013), tingkat kerusakan yang
disebabkan oleh hama P. xylostella dan C.pavonana berkaitan erat dengan jumlah populasi
larva P. xylostella dan C. pavonana, semakin tinggi jumlah larva maka tingkat kerusakan
tanaman akan semakin tinggi begitu juga sebaliknya.
Kehilangan hasil kubis akibat serangan hama cukup tinggi yakni dapat mencapai 100%
oleh Pluttela xylostella (Rukmana, 1994 dalam Kristanto, S., Sutjipto, dan Soekarto, 2013).
Jenis hama ini menempati kedudukan sebagai hama utama (Williams dkk, 1996 dalam
Kristanto, S., Sutjipto, dan Soekarto, 2013). Hama penting kubis lainnya yaitu ulat krop kubis
Crocidolomia binotalis Zell, ulat ini mampu menyebabkan penurunan produksi kubis sebesar
79,81%.
Berikut adalah penjelasan mengenai hama utama pada tanaman kubis:
1. Ulat daun kubis, Pluttela xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae)
a. Morfologi dan biologi
Serangga dewasa berupa ngengat kecil, kira-kira 6 mm panjangnya, berwarna
coklat kelabu, dan aktif pada malam hari. Pada sayap depan terdapat tiga buah
lekukan (undulasi) yang berwarna putih menyerupai berlian (bahasa Inggris:
diamond). Oleh sebab itu, serangga ini dalam bahasa Inggris disebut diamondback
moth. Ngengat P. xylostella tidak kuat terbang jauh dan mudah terbawa oleh angin.
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)

Menurut Harcourt (1954) dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R.,
(2005), pada saat tidak ada angin, ngengat jarang terbang lebih tinggi dari 1,5 m di
atas permukaan tanah. Jarak terbang horizontal adalah 3-4 m. Longevitas (masa
hidup) ngengat betina rata-rata 20,3 hari. Ngengat betina kawin hanya satu kali
(Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005). Perkembangan hidupnya
memiliki tipe perkembangan holometabola (metamorfosis sempurna) dengan
empat fase hidup, yaitu telur, larva, kepompong dan imago (Wahyuni, S., 2006).
1) Telur berbentuk telur oval, ukurannya 0,6 mm x 0,3 mm, warnanya kuning,
berkilau dan lembek. Ngengat betina meletakkan telur secara tunggal atau
dalam kelompok kecil (tiga atau empat butir), atau dalam gugusan (10-20
butir) di sekitar tulang daun pada permukaan daun kubis sebelah bawah.
Ngengat betina bertelur selama 19 hari dan jumlah telur rata-rata sebanyak 244
butir. Lama stadium telur tiga hari (Vos, 1953 dalam Sastrosiswojo, S., Uhan,
T.S., dan Sutarya, R., 2005).
2) Larva berbentuk silindris, berwarna hijau muda, relatif tidak berbulu,, dan
mempunyai lima pasang proleg. Larva P. xylostella terdiri atas empat instar
(Vos 1953; Harcourt 1957 dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya,
R., 2005). Panjang larva dewasa (instar ke-3 dan 4) kira-kira 1 cm. Larva
lincah dan jika tersentuh akan menjatuhkan diri serta menggantungkan diri
dengan benang halus. Larva jantan dapat dibedakan dari larva betina karena
memiliki sepasang calon testis yang berwarna kuning (Sastrosiswojo, 1987
dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005). Rata-rata lamanya
stadium larva instar kesatu 3,7 hari, larva instar kedua 2,1 hari, larva instar
ketiga 2,7 hari, dan larva instar keempat 3,7 hari (Vos, 1953 dalam
Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).
3) Pada masa prapupa dan pupa, antara larva instar ke-4 dengan prapupa tidak
terjadi pergantian kulit. Panjang pupa rata-rata 6,3-7,0 mm dan lebarnya 1,5
mm. Pupa P. xylostella dibungkus kokon (jala sutera) dan diletakkan pada
permukaan bagian bawah daun kubis. Lamanya stadium pupa rata-rata 6,3 hari
(Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).
4) Lamanya daur hidup P. xylostella di Segunung (Pacet) pada suhu 16-25oC ratarata 21,5 hari. Daur hidup P. xylostella di KP Margahayu (Lembang) pada suhu
15,5-20,6oC rata-rata 22,0 hari (Gambar 4.1) (Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S.,
dan Sutarya, R., 2005).

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)

Gambar 4.1. P. xylostella


Sumber: Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005
b. Daerah sebar dan ekologi
Menurut Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R. (2005), hama ini bersifat
kosmopolitan dan di Indonesia umumnya dapat ditemukan di pertanaman kubis di
dataran tinggi, pegunungan, atau perbukitan. Namun, karena akhir-akhir ini kubis
juga ditanam di dataran rendah, P. xylostella juga dapat ditemukan pada
pertanaman kubis di dataran rendah. Faktor iklim (curah hujan) dapat
mempengaruhi populasi larva P. xylostella. Kematian larva akibat curah hujan lebih
banyak terjadi pada larva muda, yakni larva instar ke-1 dan larva instar ke-2
daripada larva instar ke-3 dan larva instar ke-4. Oleh karena itu, umumnya populasi
larva P. xylostella tinggi di musim kemarau (bulan April sampai dengan Oktober)
atau apabila keadaan cuaca kering selama beberapa minggu. Populasi larva yang
tinggi terjadi setelah kubis berumur enam sampai delapan minggu. Hama P.
xylostella juga dapat menyerang tanaman kubis yang sedang membentuk krop
sampai panen. Keadaan ini dapat terjadi jika:
a) Populasi musuh alaminya, yaitu parasitoid D. semiclausum rendah;
b) Tidak ada hama pesaing yang penting, yaitu ulat krop kubis (C. binotalis);
c) Hama P. xylostella telah resisten terhadap insektisida yang digunakan; dan
d) Populasi larva P. xylostella sangat tinggi.
Keadaan demikian menyebabkan hama P. xylostella dapat merusak krop kubis
sehingga menggagalkan panen, karena kerusakan yang ditimbulkan bersama-sama
hama C. binotalis. dapat mencapai 100%.
c. Tanaman inang dan gejala kerusakan

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 10

Menurut Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R. (2005), P. xylostella


merupakan hama utama tanaman kubis putih dan jenis kubis lainnya seperti kubis
merah, petsai, kubis bunga, kaelan, selada air, sawi jabung, radis, turnip, dan lainlain. Selain itu, gulma kubis-kubisan yang juga dapat menjadi inang P. xylostella
adalah Capsella bursapastoris (rumput dompet gembala), Cardamine hirsuta
(rumput selada pahit berbulu), Brassica pachypoda, Nasturtium officinale, dan
Lepidium sp. Biasanya hama P. xylostella merusak tanaman kubis muda. Meskipun
demikian hama P. xylostella seringkali juga merusak tanaman kubis yang sedang
membentuk krop jika tidak terdapat hama pesaingnya, yaitu C. binotalis. Larva P.
xylostella instar ketiga dan keempat makan permukaan bawah daun kubis dan
meninggalkan lapisan epidermis bagian atas. Setelah jaringan daun membesar,
lapisan epidermis pecah, sehingga terjadi lubang-lubang pada daun. Jika tingkat
populasi larva tinggi, akan terjadi kerusakan berat pada tanaman kubis, sehingga
yang tinggal hanya tulang-tulang daun kubis (Gambar 4.2).

Gambar 4.2. Gejala serangan hama P. xylostella pada tanaman kubis


Sumber: Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005
2. Ulat krop kubis, Crocidolomia binotalis Zell. (Lepidoptera: Pyralidae)
a. Morfologi dan biologi (Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005)
1) Serangga dewasa C. binotalis memiliki dada berwarna hitam, sedangkan
perutnya berwarna coklat kemerahan, panjang tubuhnya kira-kira 1,1 cm.
Ngengat aktif pada malam hari. Sayap depan ngengat jantan mempunyai
rumbai dari rambut halus yang berwarna gelap pada bagian tepi-depan
(anterior). Panjang tubuh rata-rata untuk serangga jantan 10,4 mm dan
serangga betina 9,6 mm.
2) Telur diletakkan dalam kelompok menyerupai genting-genting rumah dan
berwarna hijau muda. Kelompok telur dapat ditemukan pada permukaan
bawah daun, di tepi daun, atau di dekat tulang daun. Jumlah telur rata-rata 48

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)

11

butir dan ukurannya 2,6 mm dan 4,3 mm. Masa telur tiga sampai enam hari
dan rata-rata empat hari.
3) Larva berwarna hijau muda kecoklatan dan terdiri atas lima instar. Pada bagian
sisi dan bagian atas tubuh larva terdapat garis-garis putih sepanjang tubuhnya.
Larva muda bergerombol pada permukaan bawah daun kubis. Larva tua
(instar ke-4 dan ke-5) panjangnya kira-kira 2 cm, bersifat malas, dan selalu
menghindari cahaya matahari. Masa larva 11-17 hari dengan rata-rata 14 hari
pada suhu udara 26-33,2oC.
4) Pembentukan pupa terjadi pada permukaan tanah. Pupa berwarna kuning
kecoklatan dan berukuran lebar 3 mm serta panjang 10 mm. Masa pupa 9-13
hari dan rata-rata 10 hari pada suhu udara 26-33oC.
5) Dalam kondisi laboratorium, (suhu 16-22,5oC dan kelembaban 60-80%),
lamanya daur hidup C. binotalis adalah 30-41 hari (Gambar 4.3).

Gambar 4.3. C. binotalis


Sumber: Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005
b. Daerah sebar dan ekologi
C. binotalis umum dijumpai pada pertanaman kubis, baik yang diusahakan maupun
pada tanaman kubis liar. Di pulau Jawa, C. binotalis dijumpai menyerang kubis,
baik di perbukitan maupun di dataran rendah. C. binotalis merupakan hama utama
kedua setelah P. xylostella pada tanaman kubis. Dua jenis hama tersebut seringkali
didapatkan saling bergantian menempati kedudukan sebagai hama utama pada
tanaman kubis. Daerah sebar C. binotalis dilaporkan di Asia Selatan dan Asia
Tenggara, Australia, Afrika Selatan, Tanzania, dan kepulauan Pasifik. Menurut
hasil penelitian Oever (1973), Sudarwohadi (1975), dan Thayib (1983) dalam
Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R.(2005) di KP Segunung, puncak

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 12

populasi telur terjadi pada bulan Februari, Mei dan Juli-Agustus. Puncak populasi
larva terjadi pada bulan Maret, Juni dan Agustus. Hal ini menunjukkan adanya
korelasi negatif antara populasi larva C. binotalis dengan tinggi/rendahnya curah
hujan. Pada tanaman kubis, populasi larva meningkat mulai dua minggu setelah
tanam dan mencapai puncaknya pada umur enam sampai delapan minggu setelah
tanam lalu menurun sampai saat panen kubis.
c. Tanaman inang dan gejala kerusakan
Tanaman inang C. binotalis adalah pelbagai jenis kubis seperti kubis putih, kubis
bunga, petsai, brokoli, dan lain-lainnya. Selain itu tanaman turnip, radis, sawi
jabung, dan selada air juga merupakan inang C. binotalis. Larva muda bergerombol
pada permukaan bawah daun kubis dan meninggalkan bercak putih pada daun yang
dimakan. Larva inster ke-3 sampai ke-5 memencar dan menyerang pucuk tanaman
kubis, sehingga menghancurkan titik tumbuh. Akibatnya, tanaman mati atau batang
kubis membentuk cabang dan beberapa krop berukuran kecil. Serangan hama C.
binotalis pada tanaman kubis yang sudah membentuk krop akan menghancurkan
krop atau menurunkan kualitas krop, sehingga kubis tidak laku dijual (Gambar 4.4)
(Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).

Gambar 4.4. Gejala serangan C. binotalis pada tanaman kubis


Sumber: Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005
4.2. Penyakit Utama pada Tanaman Kubis
Berikut adalah penyakit utama yang terdapat pada tanaman kubis:
1. Akar Pekuk atau Akar Gada (Plasmodiophora brassicae Wor.)
Penyakit akar pekuk (akar gada, akar bengkak atau dalam bahasa Inggris: clubroot)
untuk pertama kali diketahui di Indonesia pada tahun 1975. Pada tahun 1975 dan
1976, daerah pencar penyakit ini masih terbatas di sekitar Lembang, Bandung.
Namun pada tahun 1979, penyakit ini sudah terdapat di seluruh Provinsi Jawa
Barat. Pada tahun 1993 dan 1994 dilaporkan bahwa daerah pencar penyakit akar
pekuk sudah meluas di pusat produksi tanaman kubis di Provinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Penyakit ini terdapat
pula di banyak negara seperti di Rusia, Malaysia, Filipina, Inggris, Jerman,
Amerika Serikat, dan Afrika Selatan. Penyakit akar pekuk dapat menyerang
bermacam tumbuhan dari familia Cruciferae, baik tanaman pertanian maupun
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 13

tanaman liar. Kerugian yang ditimbulkannya dapat sangat besar, karena


pertanaman sama sekali tidak memberikan hasil yang dapat dijual. Di negaranegara Eropa, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan, kerusakan pada tanaman dari
familia Cruciferae yang diakibatkan oleh penyakit akar pekuk berkisar antara 50100%. Di Indonesia, kerugiannya ditaksir mencapai Rp. 2,8 milyar setiap musim
(Djatnika, 1993 dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).
a. Penyebab penyakit
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae Wor. yang
termasuk klas jamur lendir. Jamur membentuk spora tahan yang berbentuk
bulat, hialin, dan garis tengahnya dapat mencapai 4 m. Spora tahan ini dapat
berkecambah dalam medium yang sesuai, membengkak sampai mencapai
ukuran beberapa kali dari ukuran semula, dan biasanya menjadi satu spora
kembara (zoospora). Spora kembara ini telanjang (tidak berdinding sel),
merupakan protoplas berinti satu, biasanya sangat aktif dan bergerak seperti
amuba. Spora kembara mempunyai dua bulu cambuk (flagellum), yang satu
panjang dan satunya lagi pendek. Sampai sekarang belum diketahui pasti
dengan cara bagaimana infeksi terjadi (Semangun, 1989 dalam Sastrosiswojo,
S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005). Di dalam akar tanaman, badan jamur
yang disebut plasmodium selalu berada di dalam sel tumbuhan inang.
Plasmodium mempunyai beberapa inti sampai banyak inti, tidak pernah
mempunyai dinding sendiri, dan tidak pernah membentuk di sekitar inti, dan
terbentuklah spora tahan yang bebas satu sama lain. Mereka ini ditahan oleh
dinding sel sampai dinding sel terurai oleh jasad sekunder di dalam tanah
(Walker, 1952 dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).
b. Gejala:
1)
Adanya bintil-bintil atau kelenjar yang tidak teratur yang selanjutnya
bersatu menjadi bengkakan memanjang yang mirip batang (gada).
2)
Rusaknya jaringan akar menyebabkan jaringan pengangkutan
terganggu sehingga tanaman menjadi merana, daun-daunnya berwarna hijau
kelabu, dan lebih cepat layu dari pada daun yang biasa (Rumahlewang, W.,
2008).
c. Pengendalian:
1)
Mencegah masuknya P. brassicae ke daerah daerah yang masih
bebas.
2)
Meningkatkan pH dengan pengapuran.
3)
Mengobati tanah dengan fungisida (Rumahlewang, W., 2008).

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 14

Gambar 4.5. Gejala serangan akar pekuk/akar gada pada kubis


Sumber: Rumahlewang, W., 2008
2. Bercak Daun Alternaria (Alternaria brassicae Sacc.)
Penyakit ini merupakan penyakit yang menjadi masalah khususnya pada petsai,
dan menyebar luas hampir di seluruh pertanaman kubis di dunia (Djatnika, 1993
dalam Wahyuni, S., 2006). Penyakit bercak daun alternaria ini disebabkan oleh
cendawan Alternaria brassicae atau Alternaria brassicicola. Kedua patogen ini
umumnya menyerang pada daun tua, dengan gejala khas berupa bercak-bercak
bulat coklat dan lingkaran konsentris yang merupakan kumpulan spora.
Penyebaran kedua patogen ini dapat melalui udara atau benih. Miselium A.
brassicae bercabang-cabang, bening, halus. Konodiofor dalam bentuk kelompok 210 atau lebih dengan konidianya soliter dan kadang-kadang membentuk rantai.
Miselium A. brassicicola bercabang-cabang, bening dan kemudian berubah
menjadi coklat. Konidifor tunggal atau dalam kelompok 2-12 atau lebih dan
bersepta. Konidia relatif lebih pendek dibandingkan dengan konidia A. brassicae
(Wahyuni, S., 2006).
Gejala yang ditimbulkan, yaitu:
a.Pada daun terdapat becak becak kecil berwarna kelabu gelap pada daun,
yang meluas dengan cepat sehingga menjadi becak bulat mencapai diameter 1
cm.
b.Pada cuaca lembab tampak sebagai bulu bulu halus kebiruan di pusat becak.
c.Di dalam becak terdapat cincin-cincin sepusat. Pada tangkai, batang, dan
polongan (buah) becak berbentuk garis.
d.Penyakit lebih banyak terdapat pada daun daun tua. Jika pada daun terdapat
banyak becak, daun akan cepat mati sehingga produksi akan terpengaruh
(Rumahlewang, W., 2008).
Pengendaliaannya, yaitu dengan perawatan biji dengan air panas bersuhu 50oC
selama 30 menit, jarak tanam yang tidak terlalu rapat sehingga sirkulasi udara

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 15

berjalan dengan baik, pergiliran tanaman dengan tanaman selain kubis-kubisan dan
sebagai alternatif terakhir dengan penyemprotan fungisida yang berbahan aktif
benomil (Rumahlewang, W., 2008; Wahyuni, S., 2006).
Gambar 4.6. Bercak Daun Alternaria pada kubis
Sumber: Rumahlewang, W., 2008
3. Busuk Basah (Erwinia caratovora)

Busuk basah atau busuk lunak (soft rot) adalah penyakit yang merugikan pada
tanaman sayuran, termasuk kubis dan kerabatnya, baik di lapangan maupun di
dalam penyimpanan serta pengangkutan sebagai penyakit pascapanen. Penyakit ini
tersebar umum di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Busuk basah merupakan
penyakit yang penting di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina
(Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).
a. Penyebab penyakit
Menurut Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R. (2005), Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri Erwinia carotovora pv. carotovora (Jones) Dye, 1978,
yang dahulu lazim disebut sebagai Erwinia carotovora (Jones). Bakteri
berbentuk batang yang berukuran 0,7 m x 1,5 m, mempunyai bulu cambuk
2,6 peritrich, tidak membentuk spora atau kapsula, bersifat gram negatif, dan
bersifat aerob fakultatif. Bakteri menghasilkan enzim pektinase yang dapat
menguraikan pektin (yang berfungsi untuk merekatkan dinding-dinding sel
yang berdampingan). Dengan terurainya pektin, sel-sel akan lepas satu sama
lain. Bakteri ini juga dapat mempertahankan diri di dalam tanah dan di dalam
sisa-sisa tanaman di lapangan. Pada umumnya, infeksi terjadi melalui luka
atau lentisel. Infeksi dapat terjadi melalui luka-luka karena gigitan serangga
atau karena alat-alat pertanian. Larva dan imago lalat buah (Bactrocera spp.)
dapat menularkan bakteri, karena serangga ini membuat luka dan mengandung
bakteri di dalam tubuhnya. Di dalam simpanan dan pengangkutan, infeksi
terjadi melalui luka karena gesekan dan sentuhan antara bagian tanaman yang
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 16

sehat dengan yang sakit. Pembusukan karena serangan penyakit ini


berlangsung dengan cepat dalam udara yang lembab dan pada suhu yang
relatif tinggi. Dalam lingkungan demikian, dalam waktu singkat seluruh
bagian tanaman yang terinfeksi membusuk, sehingga mati. Kerugian yang
ditimbulkan oleh serangan penyakit ini pada tanaman di dataran rendah lebih
besar daripada di dataran tinggi (Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya,
R., 2005).
b. Gejala:
1) Gejala yang umum adalah busuk basah, berwarna coklat atau kehitam an,
pada daun, batang dan umbi.
2) Pada bagian terinfeksi mula-mula terjadi becak kebasahan. Becak
membesar dan mengendap (melekuk), bentuknya tidak teratur, berwarna
coklat tua kehitaman.
3) Jika kelembaban tinggi, jaringan yang sakit tampak kebasahan, berwarna
krem atau kecoklatan, dan tampak agak berbutir-butir halus.
4) Di sekitar bagian yang sakit terjadi pembentukan pigmen coklat tua atau
hitam (Rumahlewang, W., 2008).
c. Pengendalian dapat dilakukan dengan mengatur jarak tanam, yaitu menanam
dengan jarak yang tidak terlalu rapat untuk menghindarkan kelembaban yang
tinggi atau pengendalian pascapanen yang dilakukan dengan mencuci tanaman
dengan air yang mengandung klorin, mengurangi terjadinya luka dalam
penyimpanan dan dan pengangkutan serta menyimpannya dalam ruang yang
cukup kering/kelembaban rendah (Wahyuni, S., 2006).
Gambar 4.7. Gejala serangan busuk basah

Sumber: Rumahlewang, W., 2008

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 17

Gambar 4.8. Gejala visual serangan penyakit busuk basah (busuk lunak) pada
tanaman kubis
Sumber: Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005
4. Busuk Hitam (Xanthomonas campestris)
Penyakit ini dikenal dengan nama busuk hitam (black rot), busuk coklat atau
bakteri hawar daun dan merupakan penyakit penting di Malaysia, Thailand,
Filipina, dan Indonesia (Semangun, 2000 dalam Wahyuni, S., 2006). Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. campestris. Bakteri ini
berbentuk batang, membentuk rantai, berkapsula, tidak berspora, dan bergerak
dengan satu flagelum polar.Patogen dapat bertahan pada biji kubis, dalam tanah
atau dalam sisa tanaman sakit (Semangun, 2000 dalam Wahyuni, S., 2006).
Gejala penyakit busuk hitam, yaitu:
a. Mula-mula di tepi daun terdapat daerah-daerah yang berwarna kuning atau
pucat, yang kemudian meluas ke bagian tengah. Di daerah ini tulang tulang
daun berwarna coklat tua atau hitam dan bisa masuk ke dalam batang.
b. Jaringan helaian daun yang sakit mengering menjadi seperti selaput, dengan
tulang-tulang daun berwarna hitam.
c. Umumnya penyakit mulai dari daun-daun bawah dan dapat menyebabkan
gugurnya daun satu per satu.
Pengendalian dapat dilakukan dengan menanam benih yang sehat, mencabut atau
memusnahkan tanaman yang terserang, pergiliran tanaman, menjaga kebersihan
kebun dari gulma atau sisa-sisa tanaman sakit dan mengatur sistem drainase
dengan baik (Rumahlewang, W., 2008; Wahyuni, S., 2006).
4.3. Pengendalian Hama Penyakit Terpadu pada Tanaman Kubis
Berikut adalah pengendalian hama dan penyakit terpadu pada tanaman kubis menurut
Lubis, L. (2004); Kementrian Pertanian Republik Indonesia (2010); Sastrosiswojo, S.,
Uhan, T.S., dan Sutarya, R. (2005); dan Wahyuni, S. (2006):
1. Tindak pencegahan dengan cara menanam varietas yang tahan, yaitu dilakukaan
sebelum tanam. Tanam varietas yang lebih toleran atau resistan, seperti Warrior.

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 18

Pemilihan varietas untuk pertanaman merupakan langkah awal dalam pelaksanaan


budidaya tanaman sehingga dalam pemilihan ini benar-benar dilaksanakan.
2. Cara budidaya/kultur teknis, yaitu:
a. Menggunakan benih sehat, yaitu benih yang bersertifikat.
b. Perlakuan benih, dengan menggunakan air panas, untuk menghasilkan benih
yang bebas dari penyakit sebelum ditanam. Perlakuan ini efektif karena
penyakit penyakit busuk hitam lebih sensitif terhadap air panas dibandingkan
dengan benihnya, karena itu mati sedangkan benih tetap produktif.
1) Tempatkan dalam kapas longgar atau tas dari cheesecloth
2) Panaskan wadah air sedikit di atas 50C. Pastikan suhu yang tepat dengan
mengukur suhu dengan mengukur menggunakan termometer alkohol.
Ketika suhu tercapai, singkirkan sumber panas.
3) Rendam tas bibit dalam air dengan suhu 50 C selama 30 menit. Jaga suhu
selama waktu ini dengan terus menambahkan air panas sambil terus
membaca termometer. Hal ini penting agar suhu tidak berfluktuasi pada
saat benih direndam. Kalau tidak, maka teknik tidak akan bekerja.
4) Setelah 30 menit, singkirkan benih dan didinginkan dalam dingin dalam
air dingin steril sebelum menebarkannya pada kertas supaya kering.
5) Tanam segera setelah perlakuan tersebut, dan jangan simpan benih yang
telah diberikan perlakuan (treatment).

Gambar 4.9. Pendekatan langkah-demi-langkah untuk memperlakukan


(treatment) bibit kubis dengan air panas
Sumber: Kementrian Pertanian Republik Indonesia, 2010
c. Sebelum tanam:
1) Waktu Tanam:
a) Setiap saat, tetapi untuk musim kemarau, serangan hama akan lebih
banyak.
b) Bibit sudah berumur kira-kira 3 minggu
2) Persiapan lahan

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 19

a) 2 hari sebelum tanam, tanah yang sudah diolah mulai di bedengbedeng dengan ukuran bedengan 1 m. Bagian yang akan dibuat
timbunan ini berguna untuk menutup pupuk kandang yang ditaburkan
diatas bedengan.
b) Tanah di atas bedengan harus benar-benar gembur. Untuk itu tanah
olah harus dicangkul kembali sehingga bongkahan (lungko) menjadi
lebih kecil.
c) Taburkan pupuk kandang di atas tanah, kemudian tutup dengan
lapisan tanah setebal 10 cm.
3) Persemaian
a) Buatlah petakan dengan ukuran 1 x 3 m, setinggi 30 cm, lalu
campurkan pupuk kandang yang benar-benar matang kedalam
petakan tersebut, lalu membiarkan 3-4 hari supaya tanah terkena sinar
matahari langsung.
b) Tanamlah bibit kubis yang sudah siap dari persemaian (setelah
berumur 3-4 minggu) dengan jarak tanam 60 x 70 cm, dengan cara
memasukkan benih kubis ke dalam lubang yang sudah dibuat,
kemudian tutuplah dengan tanah. Berikan pupuk dasar 5 gram
TSP/SP 36 dan 5 gram KCL per tanaman dengan cara ditugalkan di
sebelah lubang tanam.
d. Setelah Tanam:
Setelah bibit ditanam di lapang, segera disiram dan diberi naungan, bisa
dengan batang pisang, bisa juga dengan daun-daunan yang lain supaya
tanaman tidak layu. Selain itu dilkukan penyiraman setiap hari dan diberikan
pupuk
e. Melakukan tumpanggilir tomat-kubis
Tanaman tomat dapat digunakan sebagai penolak (repellent) terhadap ngengat
P. xylostella betina yang akan bertelur pada tanaman kubis, karena kandungan
bahan kimia yang ada pada daun-daun tomat. Oleh karena itu tumpanggilir
(tumpangsari) tomat (satu baris) dengan kubis (dua baris) dapat mengurangi
serangan hama P. xylostella pada tanaman kubis. Agar peranannya sebagai
penolak hama nyata, tomat ditanam kira-kira satu bulan sebelum penanaman
kubis.
f. Tumpangsari rape atau sawi jabung-kubis
Tanaman rape (caisin) atau sawi jabung (mustard) dapat digunakan sebagai
perangkap hama P. xylostella dan C. binotalis, sehingga serangan hamahama tersebut pada tanaman kubis berkurang. Untuk tujuan tersebut, rape atau

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 20

sawi jabung ditanam secara tumpangsari dengan kubis. Caranya,yaitu


pertanaman kubis dikelilingi dua baris rape atau dua baris sawi jabung. Baris
pertama ditanam 14 hari sebelum penanaman kubis, sedangkan baris kedua
ditanam setelah kubis berumur 21 hari.
3. Secara mekanis, dengan mencabut dan membuang sumber inokulum penyakit atau
hama.
4. Secara biologis, yaitu menggunakan musuh alami. Diadegma semiclausum
(Hellen) merupakan parasitoid Hymenoptera penting bagi larva P. xylostella.
Parasitoid tersebut telah mapan di Indonesia dan daerah pencarnya di dataran tinggi
cukup luas. Tingkat populasi larva P. xylostella pada tanaman kubis umumnya
tinggi mulai umur lima minggu setelah tanam (mst) sampai dengan 9 MST. Oleh
karena populasi (tingkat parasitasi) D. semiclausum mengikuti kepadatan inang
(larva P. xylostella), maka pengamatan tingkat parasitasi perlu dilakukan ketika
kubis berumur 5, 6, 7, 8 dan 9 MST. Selain itu terdapat musuh alami lainnya, yaitu
Apanteles plutellae.
5. Secara kimia, dengan menggunakan pestsida. Misalnya, untuk pengendalian hama
P. xylostella dan Crocidolomia binotalis, dapat menggunakan insektisida selektif
dengan bahan aktif Bacillus thuringiensis. Selain itu, untuk penyakit busuk hitam,
dapat menggunakan validasmisin A yang telah diregistrasi untuk penyakit busuk
hitam pada tanaman kubis di Indonesia. Untuk bercak daun Alternaria dapat
menggunakan fungisida yang berbahan aktif benomil. Penggunaan pestisida juga
harus bijaksana dan sesuai dengan tata cara aturan yang berlaku, supaya tidak
menimbulkan kerugian, yaitu dengan melakukan 6 tepat, yaitu tepat sasaran, tepat
mutu, tepat jenis, tepat waktu, tepat dosis/konsentrasi, dan tepat cara penggunaan
(Moekasan, T. dan Prabaningrum, L., tanpa tahun).

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 21

BAB V
KESIMPULAN
Kubis (Brassicae oleracea L.) adalah salah satu komoditas sayuran yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi. Namun, dalam usaha peningkatan produksi tanaman seringkali
dihadapkan adanya gangguan hama dan penyakit. Hama utama pada tanaman kubis adalah
Pluttela xylostella dan Crocidolomia binotalis Zell. Sementara penyakit utama pada tanaman
kubis adalah akar gada, bercak daun Alternaria, busuk basah, dan busuk hitam. Kerugian
besar bahkan kegagalan panen dapat terjadi bila gangguan tersebut tidak diatasi dengan baik.
Oleh karena itu, diperlukan upaya pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHPT) pada
tanaman kubis ini yang memadukan berbagai metode pengelolaan tanaman budidaya dalam
perpaduan yang paling efektif dalam mencapai stabilitas produksi untuk mencegah ataupun
mengurangi serangan hama dan penyakit tersebut sehingga dapat menekan kerugian yang
diakibatkannya.

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 22

DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Adang, dan Rachman, B. 2009. Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu
pada Komoditas Perkebunan Rakyat. Perspektif Vol. 8 No. 1/Juni 2009. Hlm 30 41.
Backer, C.A, Bakhuizen van den Brink. 1963. Flora of Java. Vol. I. Wolter-Noordhoff. NVP.
Groningen.
Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang. 2012. Teknik Budidaya Kubis Bunga (Brassica
oleraceae L.) http://www.bbpp-lembang.info/ (Diakses 4 Oktober 2014).
Hasibuan, M. 2008. Kajian Penerapan PHPT pada Petani Padi di Kabupaten Tapanuli
Selatan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 2010. Penyakit Busuk Hitam pada Keluarga
Kubis. http://www.indopetani.com (Diakses 6 Oktober 2014).
Kristanto, S., Sutjipto, dan Soekarto. 2013. Pengendalian Hama pada Tanaman Kubis dengan
Sistem Tanam Tumpangsari. Berkala Ilmiah Pertanian. Volume 1, Nomor 1, Agustus
2013, hlm 7-9.
Kumarawati, dkk. 2013. Struktur Komunitas dan Serangan Hama-Hama Penting Tanaman
Kubis (Brassica oleracea L.). E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika, ISSN: 2301-6515,
Vol. 2, No. 4, Oktober 2013.
Lubis, L. 2004. Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Kubis (Brassica oleracca) dan
Kentang (Solanum tuberosum). http://repository.usu.ac.id/ (Diakses 3 Oktober 2014).
Moekasan, T. dan Prabaningrum, L. Tanpa tahun. Teknik Aplikasi Pestisida. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran. Bandung.
Rukmana, R. 2007. Seri Budidaya Kubis. Yogyakarta: Kanisius.
Rumahlewang, W. 2008. Penyakit-Penyakit Penting Tanaman Kubis. Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian. Universitas Pattimura. Maluku.
Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R. 2005. Penerapan Teknologi PHT pada
Tanaman Kubis. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian.
Bandung.
Wahyuni, S. 2006. Perkembangan Hama dan Penyakit Kubis dan Tomat pada Tiga Sistem
Budidaya Pertanian di Desa Sukagalih Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor.
Skripsi. Program Studi Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 23

You might also like