Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kubis (Brassicae oleracea L.) adalah salah satu komoditas sayuran yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi. Produksi kubis selain untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri juga
merupakan komoditas ekspor yang termasuk kelompok enam besar sayuran komoditi ekspor
unggulan Indonesia (Rukmana, 1994 dalam Kristanto, S., Sutjipto, dan Soekarto, 2013). Di
Indonesia, luas panen kubis pada tahun 2008-2009 mencapai lebih dari 66.000 ha/tahun
dengan hasil produksi lebih dari 1,33 juta ton/tahun. Namun, dalam usaha peningkatan
produksi tanaman seringkali dihadapkan adanya gangguan hama dan penyakit. Kerugian
besar bahkan kegagalan panen dapat terjadi bila gangguan tersebut tidak diatasi dengan baik
(Kristanto, S., Sutjipto, dan Soekarto, 2013; Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R.,
2005). Untuk keefektifan pengendalian hama dan penyakit utama yang menyerang tanaman
kubis di lapang, maka diperlukan pengetahuan dan pemahaman terhadap bioekologi hama
tersebut termasuk struktur komunitasnya di dalam ekosistem tanaman kubis di lapang, serta
gejala yang ditimbulkan akibat serangan hama dan penyakit tersebut. Oleh karena itu,
diperlukan upaya pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHPT) pada tanaman kubis ini
untuk mencegah ataupun mengurangi serangan hama dan penyakit tersebut sehingga dapat
menekan kerugian yang diakibatkannya.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1.
2.
3.
4.
1.3. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah mata kuliah Pengendalian Hama dan Penyakit
Terpadu yang berjudul Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis
(Brassica oleracea L.) adalah untuk mengetahui hama dan penyakit utama pada tanaman
kubis sehingga dapat diterapkan pengendalian hama penyakit terpadu (PHPT) yang
memadukan berbagai metode pengelolaan tanaman budidaya dalam perpaduan yang paling
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)
efektif dalam mencapai stabilitas produksi sehingga dapat menekan kerugian yang
ditimbulkan oleh serangan hama dan penyakit tersebut.
1.4. Manfaat
Adapun manfaat dalam penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu yang berjudul Pengendalian Hama dan
Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) serta untuk mengetahui
hama dan penyakit utama pada tanaman kubis sehingga dapat diterapkan pengendalian hama
penyakit terpadu (PHPT) yang memadukan berbagai metode pengelolaan tanaman budidaya
dalam perpaduan yang paling efektif dalam mencapai stabilitas produksi sehingga dapat
menekan kerugian yang ditimbulkan oleh serangan hama dan penyakit tersebut.
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu
Pengendalian Hama Penyakit Terpadu (PHPT) adalah suatu cara pendekatan atau cara
berfikir tentang pengendalian hama dan penyakit tumbuhan yang didasarkan pada
pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang
berwawasan lingkungan yang berkelanjutan (Agustian, dkk., 2009; Hasibuan, M., 2008).
PHPT sangat penting karena berawal dari kegagalan pemberantasan hama secara biasa
(konvensional) dapat mengakibatkan munculnya ketahuan hama terhadap insektisida,
timbulnya resurgensi (peningkatan populasi hama) dan menyerang kembali setelah
disemprot, dan tidak dapat dikendalikan oleh musuh-musuh alami. Di samping itu, dapat
terjadi letupan hama kedua (sekunder). Pengembangan PHPT ini didukung oleh
kebijaksanaan Pemerintah melalui Undang-undang (UU) No. 12 Tahun 1992 tentang "Sistem
Budidaya Tanaman". Hasil-hasil penelitian dan uji coba PHT pada kubis menunjukkan bahwa
terjadi penghematan insektisida 80%-86% dan fungisida 100%. (Rukmana, R., 2007).
Perlindungan tanaman terutama bertujuan untuk mencegah serangan hama dan
penyakit. PHPT memadukan berbagai metode pengelolaan tanaman budidaya dalam
perpaduan yang paling efektif dalam mencapai stabilitas produksi, dengan seminimal
mungkin bagi manusia dan lingkungan. PHPT meliputi empat prinsip dasar, yaitu:
1. Tanaman budidaya yang sehat
Sasaran pengelolaan agroekosistem adalah produktivitas tanaman budidaya.
Pemilihan varietas, tanaman yang memperoleh cukup pemupukan, pengairan,
penyiangan gulma dan disertai pengolahan tanah yang baik sebelum masa tanam adalah
dasar bagi pencapaian hasil produksi yang tinggi. Budidaya yang sehat dan kuat bagian
program PHPT.
2. Melestarikan dan Mendayagunakan fungsi musuh alami
Kekuatan unsur-unsur alami sebenarnya mampu mengendalikan lebih dari 99%
hama kebanyakan lahan agar tetap berada pada jumlah yang tidak merugikan. Tanpa
disadari, sebenarnya semua petani bergantung pada kekuatan alami yang sudah tersedia
di lahannya masing-masing. PHPT secara sengaja mendayagunakan dan memperkuat
peranan musuh alami yang menjadi jaminan pengendalian, serta memperkecil
pemakaian pestisida berarti mendatangkan keuntungan ekonomis kesehatan dan
lingkungan tidak tercemar. Pemanfaatan pengandalian alami (secara biologis dan
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)
serangga hama telah merugikan bagi petani, serta telah menurunkan kualitas dan hasil
produksi tanaman yang dibudidayakan oleh petani tersebut maka hal tersebut yang
disebut telah mencapai ambang ekonomi. Maka tindakan menggunakan pestisida baru
akan diambil oleh petani untuk memusnahkan hama dan penyakit tersebut.
3. Biologi dan Ekologi Serangga
Pengetahuan tentang biologi dan ekologi serangga hama dan serangga-serangga
yang berguna adalah sangat penting dalam menyusun strategi pengendalian terutama
dalam pengendalian hama dan penyakit. Informasi baru tentang hama dapat
memeberikan kunci atau bahkan cara yang lebih baik dalam memecahkan masalah
hama tersebut. Hal tersebut dilakukan juga untuk menghindari agar hama tidak resisten
terhadap pestisida.
Menurut Agustian, dkk. (2009) dan Hasibuan, M. (2008), cara pengendalian hama
penyakit terpadu secara umum, yaitu:
1. Pada tahap pencegahan, dapat menggunakan varietas tahan, yaitu usaha mengendalikan
hama dan penyakit dengan cara menanam tanaman dengan varietas unggul yang
memiliki ketahanan genetik tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Sampai pada
akhir abad kesembilanbelas, sebagian besar tanaman-tanaman yang tahan penyakit
didapatkan melalui proses seleksi. Dimana prosesnya hanyalah merupakan kelanjutan
daripada seleksi alam. Sebagai contoh, pada saat terjadinya suatu epidemik penyakit
maka secara alamiah hanya tanaman-tanaman yang paling kuat dan tahan sajalah yang
berhasil hidup, dan kemudian biji-biji dari tanaman-tanaman tersebut yang akan
dijadikan sebagai benih untuk musim tanam berikutnya. Proses seleksi seperti ini pada
prinsipnya sampai kini masih dilakukan, yaitu untuk mendapatkan tanaman-tanaman
yang tahan penyakit yang nantinya untuk dipakai sebagai bahan tetua di dalam program
pemuliaan tanaman.
2. Pengendalian kultur teknik atau budidaya, yaitu penggunaan tindakan-tindakan kultur
teknik yang ada hubungannya dengan produksi tanaman dan yang menyebabkan
lingkungan itu kurang sesuai dengan kehidupan, pertumbuhan, perkembangan atau
reproduksi dari jenis serangga hama itu. Cara ini dilakukan dengan melakukan kegiatan
seperti mengubah cara menanam; pemeliharaan (misalnya kegiatan irigasi dengan
penggenangan air yang dapat mencegah keluarnya serangga dewasa dari pupa yang
terdapat di dalam tanah.); tanggal panen, yaitu pengunduran saat tanam berarti
mengganti periode tanam dari tanaman tersebut, sehingga dapat mengubah daur hidup
dari serangga; pembuangan sisa-sisa tanaman, sehingga dapat menghilangkan makanan
dari serangga hama tersebut; mengolah tanah (misalnya kegiatan membajak tanah
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)
menghasilkan kematian yang tinggi pada pupa yang tinggal dalam tanah sehingga
mengurangi banyaknya yang dewasa keluar dalam musim berikutnya); dan pola
pergiliran tanaman.
3. Pengendalian fisik dan mekanik, yaitu seperti penggunaan suhu tinggi dan rendah,
mengurangi kelembaban, menggunakan alat perangkap cahaya dengan suara, membuat
penghalang dan batas penolak, memungut dengan tangan, dan lain-lain.
4. Pengendalian hayati (biologi), yaitu pengendalian yang menggunakan musuh-musuh
alami yang dapat menekan hama. Pengendalian hayati mempunyai kelebihan tertentu
dibandingkan dengan cara pengendalian yang lain, yaitu aman bagi manusia dan
hewan, serta ekonomis.
5. Pengendalian secara kimiawi, yaitu pengendalian hama terpadu yang mengguna
pestisida. Penggunaan pestisida juga harus bijaksana dan sesuai dengan tata cara aturan
yang berlaku, supaya tidak menimbulkan kerugian, yaitu dengan melakukan 6 tepat,
yaitu tepat sasaran, tepat mutu, tepat jenis, tepat waktu, tepat dosis/konsentrasi, dan
tepat cara penggunaan (Moekasan, T. dan Prabaningrum, L., tanpa tahun).
2.2. Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kubis
Berikut adalah klasifikasi tanaman kubis menurut Backer (1963)
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Dilleniidae
Bangsa
: Capparales
Suku
: Brassicaceae
Marga
: Brassica
Spesies
: Brassica oleracea
Kubis memiliki tangkai daun agak panjang dan helai daun berlekuk-lekuk panjang.
Massa bunga kubis bunga tersusun secara kompak membentuk bulatan berwarna hijau tua,
atau hijau kebiru-biruan, dengan diameter antara 15-20 cm atau lebih. Pada kondisi
lingkungan yang sesuai, massa bunga kubis bunga dapat tumbuh memanjang menjadi tangkai
bunga yang penuh dengan kuntum bunga, tiap bunga terdiri atas 4 helai kelopak bunga
(calyx), empat helai daun mahkota bunga (corolla), enam benang sari yang komposisinya
empat memanjang dan dua pendek. Bakal buah terdiri atas dua ruang, dan setiap ruang berisi
bakal biji. Biji kubis memiliki bentuk dan warna yang hampir sama, yaitu bulat kecil
berwarna coklat sampai kehitaman. Biji tersebut dihasilkan oleh penyerbukan sendiri ataupun
silang dengan bantuan sendiri ataupun serangga. Buah yang terbentuk seperti polong
polongan, tetapi ukurannya kecil, ramping dan panjangnya sekitar 3-5 mm. Bunga kubis
bunga berwarna putih. Sistem perakaran relatif dangkal, dapat menembus kedalaman 60-70
cm. Akar yang baru tumbuh berukuran 0,5 mm, tetapi setelah berumur 1-2 bulan system
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)
perakaran menyebar ke samping pada kedalaman antara 20-30 cm (Balai Besar Pelatihan
Pertanian Lembang, 2012).
Kubis merupakan tanaman sayuran yang berasal dari daerah sub tropis. Temperatur
untuk pertumbuhannya, yaitu minimum 15.5-18oC dan maksimum 24oC, dengan kelembaban
optimum antara 80-90%. Tanaman kubis dapat dibudidayakan di dataran rendah (0-200 m
dpl) dan menengah (200-700 m dpl). Di dataran rendah, temperatur malam yang terlalu
rendah menyebabkan terjadinya sedikit penundaan dalam pembentukan bunga dan umur
panen yang lebih panjang. Tanah lempung berpasir baik untuk budidaya kubis, tetapi tanaman
ini toleran pada tanah berpasir atau liat berpasir. Kemasaman tanah yang baik antara 5,5-6,5
dengan pengairan dan drainase yang memadai. Tanah yang sesuai untuk komoditas ini harus
subur, gembur dan mengandung banyak bahan organik (Balai Besar Pelatihan Pertanian
Lembang, 2012).
BAB III
METODE
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah yang berjudul Pengendalian
Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) adalah berupa
pengumpulan data berdasarkan diskusi kelompok dan studi pustaka melalui buku, jurnal, dan
internet.
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hama Utama pada Tanaman Kubis
Hama yang menyerang tanaman kubis diantaranya yaitu Plutella xylostella L.
(Lepidoptera: Plutellidae),
Spodoptera
litura
Fab.
Crocidolomia
(Lepidoptera:
pavonana
Noctuidae),
Fab. (Lepidoptera:
Helicoverpa
Pyralidae),
armigera
Hubner
Menurut Harcourt (1954) dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R.,
(2005), pada saat tidak ada angin, ngengat jarang terbang lebih tinggi dari 1,5 m di
atas permukaan tanah. Jarak terbang horizontal adalah 3-4 m. Longevitas (masa
hidup) ngengat betina rata-rata 20,3 hari. Ngengat betina kawin hanya satu kali
(Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005). Perkembangan hidupnya
memiliki tipe perkembangan holometabola (metamorfosis sempurna) dengan
empat fase hidup, yaitu telur, larva, kepompong dan imago (Wahyuni, S., 2006).
1) Telur berbentuk telur oval, ukurannya 0,6 mm x 0,3 mm, warnanya kuning,
berkilau dan lembek. Ngengat betina meletakkan telur secara tunggal atau
dalam kelompok kecil (tiga atau empat butir), atau dalam gugusan (10-20
butir) di sekitar tulang daun pada permukaan daun kubis sebelah bawah.
Ngengat betina bertelur selama 19 hari dan jumlah telur rata-rata sebanyak 244
butir. Lama stadium telur tiga hari (Vos, 1953 dalam Sastrosiswojo, S., Uhan,
T.S., dan Sutarya, R., 2005).
2) Larva berbentuk silindris, berwarna hijau muda, relatif tidak berbulu,, dan
mempunyai lima pasang proleg. Larva P. xylostella terdiri atas empat instar
(Vos 1953; Harcourt 1957 dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya,
R., 2005). Panjang larva dewasa (instar ke-3 dan 4) kira-kira 1 cm. Larva
lincah dan jika tersentuh akan menjatuhkan diri serta menggantungkan diri
dengan benang halus. Larva jantan dapat dibedakan dari larva betina karena
memiliki sepasang calon testis yang berwarna kuning (Sastrosiswojo, 1987
dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005). Rata-rata lamanya
stadium larva instar kesatu 3,7 hari, larva instar kedua 2,1 hari, larva instar
ketiga 2,7 hari, dan larva instar keempat 3,7 hari (Vos, 1953 dalam
Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).
3) Pada masa prapupa dan pupa, antara larva instar ke-4 dengan prapupa tidak
terjadi pergantian kulit. Panjang pupa rata-rata 6,3-7,0 mm dan lebarnya 1,5
mm. Pupa P. xylostella dibungkus kokon (jala sutera) dan diletakkan pada
permukaan bagian bawah daun kubis. Lamanya stadium pupa rata-rata 6,3 hari
(Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).
4) Lamanya daur hidup P. xylostella di Segunung (Pacet) pada suhu 16-25oC ratarata 21,5 hari. Daur hidup P. xylostella di KP Margahayu (Lembang) pada suhu
15,5-20,6oC rata-rata 22,0 hari (Gambar 4.1) (Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S.,
dan Sutarya, R., 2005).
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 10
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)
11
butir dan ukurannya 2,6 mm dan 4,3 mm. Masa telur tiga sampai enam hari
dan rata-rata empat hari.
3) Larva berwarna hijau muda kecoklatan dan terdiri atas lima instar. Pada bagian
sisi dan bagian atas tubuh larva terdapat garis-garis putih sepanjang tubuhnya.
Larva muda bergerombol pada permukaan bawah daun kubis. Larva tua
(instar ke-4 dan ke-5) panjangnya kira-kira 2 cm, bersifat malas, dan selalu
menghindari cahaya matahari. Masa larva 11-17 hari dengan rata-rata 14 hari
pada suhu udara 26-33,2oC.
4) Pembentukan pupa terjadi pada permukaan tanah. Pupa berwarna kuning
kecoklatan dan berukuran lebar 3 mm serta panjang 10 mm. Masa pupa 9-13
hari dan rata-rata 10 hari pada suhu udara 26-33oC.
5) Dalam kondisi laboratorium, (suhu 16-22,5oC dan kelembaban 60-80%),
lamanya daur hidup C. binotalis adalah 30-41 hari (Gambar 4.3).
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 12
populasi telur terjadi pada bulan Februari, Mei dan Juli-Agustus. Puncak populasi
larva terjadi pada bulan Maret, Juni dan Agustus. Hal ini menunjukkan adanya
korelasi negatif antara populasi larva C. binotalis dengan tinggi/rendahnya curah
hujan. Pada tanaman kubis, populasi larva meningkat mulai dua minggu setelah
tanam dan mencapai puncaknya pada umur enam sampai delapan minggu setelah
tanam lalu menurun sampai saat panen kubis.
c. Tanaman inang dan gejala kerusakan
Tanaman inang C. binotalis adalah pelbagai jenis kubis seperti kubis putih, kubis
bunga, petsai, brokoli, dan lain-lainnya. Selain itu tanaman turnip, radis, sawi
jabung, dan selada air juga merupakan inang C. binotalis. Larva muda bergerombol
pada permukaan bawah daun kubis dan meninggalkan bercak putih pada daun yang
dimakan. Larva inster ke-3 sampai ke-5 memencar dan menyerang pucuk tanaman
kubis, sehingga menghancurkan titik tumbuh. Akibatnya, tanaman mati atau batang
kubis membentuk cabang dan beberapa krop berukuran kecil. Serangan hama C.
binotalis pada tanaman kubis yang sudah membentuk krop akan menghancurkan
krop atau menurunkan kualitas krop, sehingga kubis tidak laku dijual (Gambar 4.4)
(Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 14
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 15
berjalan dengan baik, pergiliran tanaman dengan tanaman selain kubis-kubisan dan
sebagai alternatif terakhir dengan penyemprotan fungisida yang berbahan aktif
benomil (Rumahlewang, W., 2008; Wahyuni, S., 2006).
Gambar 4.6. Bercak Daun Alternaria pada kubis
Sumber: Rumahlewang, W., 2008
3. Busuk Basah (Erwinia caratovora)
Busuk basah atau busuk lunak (soft rot) adalah penyakit yang merugikan pada
tanaman sayuran, termasuk kubis dan kerabatnya, baik di lapangan maupun di
dalam penyimpanan serta pengangkutan sebagai penyakit pascapanen. Penyakit ini
tersebar umum di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Busuk basah merupakan
penyakit yang penting di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina
(Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).
a. Penyebab penyakit
Menurut Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R. (2005), Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri Erwinia carotovora pv. carotovora (Jones) Dye, 1978,
yang dahulu lazim disebut sebagai Erwinia carotovora (Jones). Bakteri
berbentuk batang yang berukuran 0,7 m x 1,5 m, mempunyai bulu cambuk
2,6 peritrich, tidak membentuk spora atau kapsula, bersifat gram negatif, dan
bersifat aerob fakultatif. Bakteri menghasilkan enzim pektinase yang dapat
menguraikan pektin (yang berfungsi untuk merekatkan dinding-dinding sel
yang berdampingan). Dengan terurainya pektin, sel-sel akan lepas satu sama
lain. Bakteri ini juga dapat mempertahankan diri di dalam tanah dan di dalam
sisa-sisa tanaman di lapangan. Pada umumnya, infeksi terjadi melalui luka
atau lentisel. Infeksi dapat terjadi melalui luka-luka karena gigitan serangga
atau karena alat-alat pertanian. Larva dan imago lalat buah (Bactrocera spp.)
dapat menularkan bakteri, karena serangga ini membuat luka dan mengandung
bakteri di dalam tubuhnya. Di dalam simpanan dan pengangkutan, infeksi
terjadi melalui luka karena gesekan dan sentuhan antara bagian tanaman yang
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 16
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 17
Gambar 4.8. Gejala visual serangan penyakit busuk basah (busuk lunak) pada
tanaman kubis
Sumber: Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005
4. Busuk Hitam (Xanthomonas campestris)
Penyakit ini dikenal dengan nama busuk hitam (black rot), busuk coklat atau
bakteri hawar daun dan merupakan penyakit penting di Malaysia, Thailand,
Filipina, dan Indonesia (Semangun, 2000 dalam Wahyuni, S., 2006). Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. campestris. Bakteri ini
berbentuk batang, membentuk rantai, berkapsula, tidak berspora, dan bergerak
dengan satu flagelum polar.Patogen dapat bertahan pada biji kubis, dalam tanah
atau dalam sisa tanaman sakit (Semangun, 2000 dalam Wahyuni, S., 2006).
Gejala penyakit busuk hitam, yaitu:
a. Mula-mula di tepi daun terdapat daerah-daerah yang berwarna kuning atau
pucat, yang kemudian meluas ke bagian tengah. Di daerah ini tulang tulang
daun berwarna coklat tua atau hitam dan bisa masuk ke dalam batang.
b. Jaringan helaian daun yang sakit mengering menjadi seperti selaput, dengan
tulang-tulang daun berwarna hitam.
c. Umumnya penyakit mulai dari daun-daun bawah dan dapat menyebabkan
gugurnya daun satu per satu.
Pengendalian dapat dilakukan dengan menanam benih yang sehat, mencabut atau
memusnahkan tanaman yang terserang, pergiliran tanaman, menjaga kebersihan
kebun dari gulma atau sisa-sisa tanaman sakit dan mengatur sistem drainase
dengan baik (Rumahlewang, W., 2008; Wahyuni, S., 2006).
4.3. Pengendalian Hama Penyakit Terpadu pada Tanaman Kubis
Berikut adalah pengendalian hama dan penyakit terpadu pada tanaman kubis menurut
Lubis, L. (2004); Kementrian Pertanian Republik Indonesia (2010); Sastrosiswojo, S.,
Uhan, T.S., dan Sutarya, R. (2005); dan Wahyuni, S. (2006):
1. Tindak pencegahan dengan cara menanam varietas yang tahan, yaitu dilakukaan
sebelum tanam. Tanam varietas yang lebih toleran atau resistan, seperti Warrior.
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 18
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 19
a) 2 hari sebelum tanam, tanah yang sudah diolah mulai di bedengbedeng dengan ukuran bedengan 1 m. Bagian yang akan dibuat
timbunan ini berguna untuk menutup pupuk kandang yang ditaburkan
diatas bedengan.
b) Tanah di atas bedengan harus benar-benar gembur. Untuk itu tanah
olah harus dicangkul kembali sehingga bongkahan (lungko) menjadi
lebih kecil.
c) Taburkan pupuk kandang di atas tanah, kemudian tutup dengan
lapisan tanah setebal 10 cm.
3) Persemaian
a) Buatlah petakan dengan ukuran 1 x 3 m, setinggi 30 cm, lalu
campurkan pupuk kandang yang benar-benar matang kedalam
petakan tersebut, lalu membiarkan 3-4 hari supaya tanah terkena sinar
matahari langsung.
b) Tanamlah bibit kubis yang sudah siap dari persemaian (setelah
berumur 3-4 minggu) dengan jarak tanam 60 x 70 cm, dengan cara
memasukkan benih kubis ke dalam lubang yang sudah dibuat,
kemudian tutuplah dengan tanah. Berikan pupuk dasar 5 gram
TSP/SP 36 dan 5 gram KCL per tanaman dengan cara ditugalkan di
sebelah lubang tanam.
d. Setelah Tanam:
Setelah bibit ditanam di lapang, segera disiram dan diberi naungan, bisa
dengan batang pisang, bisa juga dengan daun-daunan yang lain supaya
tanaman tidak layu. Selain itu dilkukan penyiraman setiap hari dan diberikan
pupuk
e. Melakukan tumpanggilir tomat-kubis
Tanaman tomat dapat digunakan sebagai penolak (repellent) terhadap ngengat
P. xylostella betina yang akan bertelur pada tanaman kubis, karena kandungan
bahan kimia yang ada pada daun-daun tomat. Oleh karena itu tumpanggilir
(tumpangsari) tomat (satu baris) dengan kubis (dua baris) dapat mengurangi
serangan hama P. xylostella pada tanaman kubis. Agar peranannya sebagai
penolak hama nyata, tomat ditanam kira-kira satu bulan sebelum penanaman
kubis.
f. Tumpangsari rape atau sawi jabung-kubis
Tanaman rape (caisin) atau sawi jabung (mustard) dapat digunakan sebagai
perangkap hama P. xylostella dan C. binotalis, sehingga serangan hamahama tersebut pada tanaman kubis berkurang. Untuk tujuan tersebut, rape atau
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 20
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 21
BAB V
KESIMPULAN
Kubis (Brassicae oleracea L.) adalah salah satu komoditas sayuran yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi. Namun, dalam usaha peningkatan produksi tanaman seringkali
dihadapkan adanya gangguan hama dan penyakit. Hama utama pada tanaman kubis adalah
Pluttela xylostella dan Crocidolomia binotalis Zell. Sementara penyakit utama pada tanaman
kubis adalah akar gada, bercak daun Alternaria, busuk basah, dan busuk hitam. Kerugian
besar bahkan kegagalan panen dapat terjadi bila gangguan tersebut tidak diatasi dengan baik.
Oleh karena itu, diperlukan upaya pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHPT) pada
tanaman kubis ini yang memadukan berbagai metode pengelolaan tanaman budidaya dalam
perpaduan yang paling efektif dalam mencapai stabilitas produksi untuk mencegah ataupun
mengurangi serangan hama dan penyakit tersebut sehingga dapat menekan kerugian yang
diakibatkannya.
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 22
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Adang, dan Rachman, B. 2009. Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu
pada Komoditas Perkebunan Rakyat. Perspektif Vol. 8 No. 1/Juni 2009. Hlm 30 41.
Backer, C.A, Bakhuizen van den Brink. 1963. Flora of Java. Vol. I. Wolter-Noordhoff. NVP.
Groningen.
Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang. 2012. Teknik Budidaya Kubis Bunga (Brassica
oleraceae L.) http://www.bbpp-lembang.info/ (Diakses 4 Oktober 2014).
Hasibuan, M. 2008. Kajian Penerapan PHPT pada Petani Padi di Kabupaten Tapanuli
Selatan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 2010. Penyakit Busuk Hitam pada Keluarga
Kubis. http://www.indopetani.com (Diakses 6 Oktober 2014).
Kristanto, S., Sutjipto, dan Soekarto. 2013. Pengendalian Hama pada Tanaman Kubis dengan
Sistem Tanam Tumpangsari. Berkala Ilmiah Pertanian. Volume 1, Nomor 1, Agustus
2013, hlm 7-9.
Kumarawati, dkk. 2013. Struktur Komunitas dan Serangan Hama-Hama Penting Tanaman
Kubis (Brassica oleracea L.). E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika, ISSN: 2301-6515,
Vol. 2, No. 4, Oktober 2013.
Lubis, L. 2004. Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Kubis (Brassica oleracca) dan
Kentang (Solanum tuberosum). http://repository.usu.ac.id/ (Diakses 3 Oktober 2014).
Moekasan, T. dan Prabaningrum, L. Tanpa tahun. Teknik Aplikasi Pestisida. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran. Bandung.
Rukmana, R. 2007. Seri Budidaya Kubis. Yogyakarta: Kanisius.
Rumahlewang, W. 2008. Penyakit-Penyakit Penting Tanaman Kubis. Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian. Universitas Pattimura. Maluku.
Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R. 2005. Penerapan Teknologi PHT pada
Tanaman Kubis. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian.
Bandung.
Wahyuni, S. 2006. Perkembangan Hama dan Penyakit Kubis dan Tomat pada Tiga Sistem
Budidaya Pertanian di Desa Sukagalih Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor.
Skripsi. Program Studi Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 23