You are on page 1of 10

MODUL 2

REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Pada tahun 1906, von Pirquet mengusulkan suatu istilah allergie untuk suatu
keadaan respon imun yang menyimpang dari respons imun yang biasanya protektif .
Hipersensitivitas : reaksi imun yang patologik yang terjadi akibat respon imun
yang berlebihan yang menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.
Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi :
a. Reaksi cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan
silang antara allergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan
mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau
anafilaksis local seperti pilek, bersin, asma, urtikaria, dan eksim.
b. Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam.
Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan
melalui aktivasi komplemen dan atau sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi
intermediet dapat berupa:
- Reaksi transfuse darah, eritoblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun
- Reaksi arthus local dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis
nekrosis, glomerulonefritis, arthritis rheumatoid, dan LES.
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang
disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK.
c. Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan
antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T
mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan.
Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi M.tuberculosis dan reaksi
penolakan tandur.
Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs :
Terdapat beberapa bentuk reaksi hipersensitivitas yang berbeda pada proses
imunopatogenesisnya:
a. Tipe I
: reaksi anafilaktik
b. Tipe II
: reaksi sitotoksik
c. Tipe III
: reaksi kompleks antigen-antibodi
d. Tipe IV
: reaksihipersensitivitas tertunda/terlambat
Dari keempat tipe reaksi hipersensitivitas, 3 tipe pertama melibatkan antibody
(efektor humoral), sedang tipe terakhir yaitu reaksi hipersensitivitas tertunda
(delayed type hypersensitivity = DHT) merupakan satu-satunya reaksi yang
melibatkan efektor seluler.
Antigen yang terpapar sebagai penyebab timbulnya reaksi hipersensitivitas
dinamakan allergen.
a. Tipe I : Reaksi anafilaktik
Pada reakti tipe I, allergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon
imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma, dan
dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi tipe I sebagai berikut:

1. Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE


sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel
mast/basofil.
*syarat penting untuk memproduksi antibody IgE yaitu IL-4 yang dihasilkan
oleh limfosit T.
2. Fase aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul
yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen
dan IgE.
*Efektor utama dalam hipersensitivitas tipe I adalah mastosit. Selain
mastosit, sel basofil yang termasuk dalam kelompok granulosit yang beredar
dalam darah juga ikut berperan dalam respon tipe I.
3. Fase efektor, yaitu waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivitas
farmakologik.
1) Sel mast dan mediator pada reaksi tipe I
Sel mast mengandung banyak mediator primer atau preformed:
a) Histamin
Puncak reaksi tipe I terjadi dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi terjadi
perubahan dalam membrane sel mast akibat metilasi fosfolipid yang diikuti
oleh influx Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam fase ini energy
dilepas akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan menggerakkan
granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel
berpengaruh terhadap degranulasi. Peningkatan cAMP dalam sel akan
mencegah, sedang peningkatan cGMP memacu degranulasi. Pelepasan
granul merupakan fisiologik dan tidak menimbulkan lisis atau matinya sel.
Ada 4 reseptor histamine (H1,H2,H3,H4) dengan distribusi yang berbeda
dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamine, menunjukkan berbagai
efek.
MEDIATOR PRIMER UTAMA DAALAM HIPERSENSITIVITAS TIPE I
Mediator
Efek
Histamin
H1
:
permeabilitas
vaskuler
meningkat,
vasodilatasi, kontraksi otot polos
H2 : sekresi mukosa gaster
H3 : SSP (regulator)
H4 : eosinofil
ECF - A
Kemoktasis eosinofil
NCF-A
Kemoktasis neutrofil
Protease
(triptase, Sekresi mucus bronchial, degradasi membrane
kimase)
basal pembuluh darah, pembentukan produk
pemecah komplemen
Eosinophil
Chemotactic Kasemotaktik untuk eosinofil
kimase
Neutrophil Chemotactic Kemotaktik untuk neutrogil
kimase
Factor Hidrolase Asam
Degradasi matriks ekstraseluler

PAF
NCA
BK-A
Proteoglikan
Enzim

Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi


otot polos paru
Kemotaksis neutrofil
Kalikrein; kininogenase
Heparin, kondrotin sulfat, sulfat dermatan
Kimase, triptase, preteolisis

*Pengaruh histamine pada sel-sel sasaran melalui reseptor dinamakan


reseptor H1. Histamine berpengaruh pada pembuluh darah kecil yang akan
meningkatkan permeabilitasnya dan pada saraf sensorik yang akan
meningkatkan kepekaannya.
Pada membrane mastosit terdapat pula reseptor untuk histamine yang
disebut reseptor H2. Jika terjadi ikatan antara reseptor H2 dengan histamine,
maka terjadi hambatan pelepasan histamine oleh mastosit.
*factor kemotaktik : ECG-A (eosinophil chemotactic factor of anaphilaxis)
untuk menarik sel eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of
anaphilaxis). Oleh pengaruh factor kemotaktik dalam waktu 2-8 jam terjadi
kumpulan granulosit : sel neutrofil, eosinoil dan basofil, sedang dalam waktu
24 jam : limfosit.
b) Prostaglandin dan Leukotrin (dulu SRS-A)
Dihasilkan dari metabolism asam arakidonat atas pengaruh fosfolipase A2
serta berbagai sitokin berperan pada fase lambat reaksi tipe I. Fase lambat
timbul setelah fase cepat hilang yaitu 6-8 jam. LT berperan pada
bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas vaskuler dan produksi mucus.
PGE 2 menimbulkan bronkokonstriksi.
c) Sitokin
Sitokin dilepas oleh sel mast dan basofil : IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IL-13, GMCSF (Granulocyte Monocyte Colony Stimulating Factor), dan TNF-. IL-5
berperan dalam pengerahan dan aktivasi eosinofil dan neutrofil. Kadar TNF-
yang tinggi dan dilepas sel mast berperan dalam renjatan anafilaksis.
MEDIATOR SEKUNDER UTAMA PADA HIPERSENSITIVITAS TIPE I
Mediator
Efek
LTR (SRS-A)
Peningkatan permeabilitas vaskuler,
vasodilatasi, sekresi mucus, kontraksi
otot polos paru, kemotaktik neutrofil
PG
Vasodilatasi, kontraksi otot polos
paru, agregasi trombosit, kemotaktik
neutrofil, potensiasi mediator lainnya.
Bradikinin
Peningkatan permeabilitas kapiler,
vasodilatasi, kontraksi otot polos,
stimulasi ujung saraf nyeri
Sitokin
Bervariasi
IL-1 dan TNF-
Anafilaksis, peningkatan ekspresi
CAM pada sel endotel venul
IL-4 dan IL-13
Peningkatan IgE
IL-3, IL-5, IL-6, IL-10, TGF- dan GM- Berbagai efek

CSF
IL-4, PNM, TNF-
FGF
Inhibitor protease
Lipoksin
Leukotrin (LTC4, LTD4, LTE4)

Leukotrin B4, 15-HETE


PAF

Aktivasi monosit, eosinofil, demam


Fibrosis
Mencegah kimase
Bronkokonstriksi
Kontraksi otot polos (jangka lama),
meningkatan permeabilitas,
kemotaksis
Sekresi mucus
Kemotaksis (terutama eosinofil),
bronkospasme

Manifestasi Reaksi tipe 1


i.

ii.

iii.

Reaksi local
IgE biasanya dibentuk dalam jumlahsedikit, langsung diikat oleh sel
mast/basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast akan menetap
untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat juga terjadi secara pasif bila serum
orang yang alergi dimasukan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal.
Reaksi sistemik-anafilaksis
Sel mast/basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediator.
Reaksi dapat dipacu berbagai allergen seperti makanan (seafood, kacangkacangan), obat, sengatan serangga, latex.
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan pelepasan mediator oleh sel
mast yang terjadi tidak melalui IgE.

Jenis alergi
anafilaksis

REAKSI ALERGI
Alergen umum
Obat, serum, bias, kacangkacangan

Urtikaria akut

Sengatan serangga

Rhinitis alergi

asma

Polen (hay fever), tungau


debu rumah (rhinitis
parenial)
Polen, tungau rumah

makanan

Kerang,susu, telur, ikan,

Gambaran
Edema dengan
peningkatan
permeabilitas vascular,
berkembang menjadi
oklusi trakea, kolaps
sirkulasi
Bentol dan merah di
daerah sengatan. Bias
juga reaksi tipe IV
Edema dan iritasi infeksi
mucosal
Konstriksi bronchial,
peningkatan produksi
mucus, inflamasi saluran
napas
Urtikaria yang gatal dan

bahan asal gandum


Ekzem atopi

Polen, tungau debu rumah,


beberapa makanan

potensi menjadi
anafilaksis
Inflamasi pada kulit yang
gatal, memerah

b. Tipe II : reaksi sitotoksik


Kerusakan jaringan melalui mekanisme efektor pada hipersensitivasi sitotoksik
diperantarai oleh antibody IgG dan IgM yang ditujukan kepada antigen yang
melekat pada sel/jaringan. Antigen tersebut timbul karena perubahan struktur
molekul pada permukaan sel-sel atau adanya konfigurasi asing yang menempel
pada sel-sel tersebut.
Mekanisme kerusakan :
1. Berlangsung reaksi antigen-antibodi yang menyebabkan aktivitas komplemen
dengan segala akibatnya, terutama karena lisis sel (neutrofil dan makrofag).
Sasaran pada reaksi sitotoksik ini dapat berupa sel-sel darah atau sel-sel
dalam jaringan.
2. Dengan bereaksinya antibody dengan antigen jaringan/sel maka antibody
secara langsung melalui bagian Fc atau dengan perantaraan C3b (komponen
komplemen), terikat dengan molekul reseptor pada fagosit. Penempelan pada
permukaan tersebut akan berlanjut dengan fagositosis (opsonisasi), atau lisis
sel oleh enzim yang dilepaskan oleh fagosit.
Contoh penyakit :
a. Reaksi transfuse
Menurut sistem ABO, eritrosit dibagi dlm 4 gol darah, yi: A, B, AB dan O
- Gol A mengandung antibodi (anti-B berupa IgM) yg dpt mengaglutinasi
eritrosit gol B
- Gol B mengandung antibodi (anti-A berupa IgM) yg dpt mengaglutinasi
eritrosit gol A
- Gol AB tidak mengandung antibodi terhadap aloantigen tersebut
- Gol O tidak mengandung anti-B dan anti-A dapat mengaglutinasi
eritrosit gol A dan B antibodi terhadap aloantigen tersebut
Reaksi sitotoksik terjadi pada ketidakcocokan transfuse darah gol. ABO. IgM
sangat efisien mengaktifkan komplemen aktivasi C5, 6, 7, 8, 9
menghancurkan eritrosit dalam vascular.
b. Reaksi inkompatibilitas golongan Rh
Mirip dengan reaksi transfuse reaksi inkompatibilitas Rh pada bayi baru
lahir dengan golongan rhesus yang tidak cocok dengan golongan rhesus
orang tuanya anak dengan golongan darah Rh+ oleh ibu dengan golongan
darah Rh- adanya kebocoran sawar bayi-ibu bayi melepaskan eritrosit
dengan antigen Rh+ ke peredaran darah ibunya dalam peredaran darah
ibunya terbentuk antibody anti Rh dengan kelas IgG melintas plasenta
pada tubuh bayi reaksi ikatan dengan antigen Rh pada permukaan sel-sel
eritrosit antibody IgG dari ibu gagal melisis/mengaglutinasi eritrosit bayi
secara langsung kerusakan eritrosit bayi lahir kuning dan bayi perlu
penggantian darah.
c. Anemia hemolitika
Pada beberapa penderita, antibody yang diproduksi mengikat antigen yang
ada pada permukaan eritrosit memperpendek umur eritrosit dengan

keterlibatan hemolisis atau fagositosis (opsonisasi) melalui reseptor Fc atau


C3b pada fagosit anemia progresif
d. Reaksi obat-obatan
Obat-obatan sebagai hapten bergabunga pada permukaan sel-sel darah
menginduksi pembentukan antibody terjadi kerusakan sel-sel darah
atau sel jaringan.
Sedormid(sedative) mengikat trombosit dan antibody yang dibentuk
menghancurkan trombosit trombositopenia.
Chloramfenikol mengikat sel darah putih
Phenacetin dan chlorpromazine (transqilizer) mengikat sel darah merah
terjadi agranulosis dan anemia hemolitik. Kerusakan sel tersebut oleh karena
sitolisis melalui komplemen atau fagositosis melalui reseptor Fc atau C3b.
Penilicin, kina dan sulfonamide anemia hemolitik.
c. Tipe III : reaksi kompleks antigen antibody
Diperantarai oleh IgM dan IgG. Mediatornya : anafilaktosin, opsonin, kemotaksin,
adherens imun.
Disebabkan adanya reaksi reaksi antara antigen-antibodi, tetapi antigennya
tidak menempel pada sel/jaringan, tetapi mengendap dalam jaringan. Timbul
bila antigennya berbentuk larutan diendapkan pada dinding pembuluh darah
melalui ikatan reseptor Fc dan komplemen pada permukaan endotel melepas
Macrophage Chemotatic Factor makrofag dikerahkan ke tempat melepas
enzim merusak jaringan sekitar disertai peningkatan permeabilitas pembuluh
darah.
Pada umumnya kerusakan jaringan sebagai akibat adanya pengendapan
kompleks imun berlangsung melalui 4 tahap :
1. Ikatan antibody dengan antigen membentuk kompleks imun
2. Dalam kondisi tertentu, komplek imun akan mengendap pada jaringan
tertentu seperti endotel, kulit, ginjal, dan persendian.
3. Factor humoral seperti komplemen atau enzim fagosit dan factor seluler akan
berkumpul di daerah pengendapan.
4. Berlangsung kerusakan jaringan oleh factor humoral dan seluler.

Bentuk reaksi hipersensitivitas tipe III


1. Reaksi Arthus
Arthus : menyuntikan serum kuda ke intradermal kelinci adanya
peningkatan reaksi yang makin parah di tempat penyuntukan.
Awalnya : eritema dan edema yang muncul 2-4 jam setelah penyuntikan
mereda edema membesar suntikan ke-5 dan ke-6 perdarahan dan
nekrosis yang lambat sembuh fenomena reaksi Arthus. Reaksi Arthus :
prototype semua reaksi kompleks imun atau reaksi yang diperantarai oleh
pembentukan agregat senyawa antibody dan antigen.
2. Reaksi serum sickness

Von Pirquet dan Shick : menyuntikan serum kuda ke penderita difteri dan
tetanus sebagai imunisasi pasif 1-2 minggu mengalami demam dan rasa
gatal-gatal, bengkak, sakit pada beberapa persendian yang bengkak, dan
pembesaran kelenjar limfe dalam urin ditemukan eritrosit dan albumin
yang menandakan tanda peradangan glomerulus dan ginjal serum
sickness.
3. Penyakit kompleks imun berkaitan dengan infeksi
Beberapa individu menghasilkan antibody yang bereaksi silang dengan
beberapa bagian dari sel/jaringan normal.
a. Syndrome Goodpasture dengan gejala perdarahan di paru-paru dan
glomerulonefritis : adanya antibody yang mengikat secara langsung
membrane basalis epitel jaringan merusak membrane basalis dan
jaringan, aktivasi system komplemen.
b. Rheumatic fever : infeksi Streptokokus A pada tenggorokan antigen
pada dinding dan membrane sel streptokokus bereaksi silang dengan
antigen yang ada pada otot manusia, kartilago, dan membrane basalis
glomerulus renalis.
c. Rheumatoid arthtritis : produksi rheumatoid factor (RF) yang merupakan
autoantibody kela IgM RF mengikat Fc dari IgG normal peradangan
dan kerusakan persendian.
d. Penyakit infeksi malaria, virus, kusta : antigen dan antibody banyak
timbul agregat imun yang dtimbun di berbagai lokasi.
e. Penyakit okulasional (Farmers lung) : pneumonitis memproduksi
antibody IgG yang spesifik terhadap aktinomisetes termofilik yang tumbuh
dalam jerami agregat kompleks imun peradangan.
d. Tipe IV : Reaksi hipersensitivitas tertunda/terlambat
Imunitas seluler (cell mediated immunity = CMI) dilakukan oleh limfosit T
spesifik antigen.
Awal: alergen dan limfosit T terikat melalui reseptornya limfosit T diaktifkan
pelepasan zat-zat soluble oleh limfosit T efektor dalam bentuk jenis limfokin
mengaktifkan sel-sel mononuclear seperti monosit, makrofag, dan limfosit non
imun merusak jaringan.
Periode sensitisasi selama 1-2 minggu peningkatan sel T spesifik terhadap
antigen antigen harus disajikan dahulu oleh molekul MHC kelas II yang
terdapat pada permukaan sel penyaji antigen (APC).
Reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam DHT menjadi Delayed Type
hypersensitivity melalui sel CD4+ dan T Cell Mediated Cytolysis melalui
sel CD8+.
Jenis reaksi hipersensitivitas tipe IV
1. Reaksi Jones Mote (Reaksi JM) / CBH = Cuteneous Basophil Hypersensitivity
Ditanda i: infiltrasi basofil di bawah epidermis, biasanya oleh karena Ag yang
larut dan oleh karena limfosit yang peka terhadap cyclophosphamide
terjadi reaksi eritem tanpa indurasi sesudah 24 jam.
Kelinci digigit tungau terjadi reaksi CBH berat di tempat tungau menempel.
Basofil melepas mediator farmakologik aktif dari granulnya mematikan +
melepaskan tungau tsb.
2. Hipersensitivitas kontak dan dermatitis kontak
klinik: dermatitis yg timbul pd kulit tempat kontak dg Ag/alergen
Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam, merupakan Reaksi Epidermal

APC yg berperan : sel Langerhans


Kontak dengan Ag ekspansi klon sel T yg mampu mengenal Ag tsb &
kontak berulang respon seperti pada CMI
3. Reaksi tuberculin
Adalah reaksi dermal (berbeda dg dermatitis kontak)
Terjadi 20 jam setelah terpajan Ag, ta: infiltrasi sel mononuklear (50%
limfosit, sisanya monosit)
Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar
pembuluh darah yang merusak hubungan serat - serat kolagen kulit.
Kerusakan sel yang diinfeksi virus o/ sel Tc, mis: pada infeksi VZV= Varicella
Zoster Virus
4. Reaksi Granuloma
Menyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke
jaringan.
Jika keadaan menjadi terkontrol maka neutrofil tidak dikerahkan lagi dan
berdegenerasi. selanjutnya dikerahkan sel mononuklear. Pada stadium ini
dikerahkan monosit, makrofag, limfosit dan sel plasma gambaran patologik
inflamasi kronik.
PENYAKIT AUTOIMUN
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan
self-tolerance sel B, sel T, atau keduanya. Penyakit autoimun : kerusakan jaringan
atau gangguan fisiologis yang ditimbulkan oleh respon autoimun.
Immunological tolerance : suatu keadaan dimana imun normal bereaksi terhadap
mikroorganisme tetapi tidak bereaksi terhadap antigen individual.
Teori pathogenesis autoimunitas
1. Teori klon terlarang ( Forbidden Clone Theory)
Terjadi mutasi somatic dari limfosit antigen pada permukaan sel limfosit akan
dikenal system imun sebagai benda asing dihancurkan oleh limfosit dari
system imun. Bila mutan tidak memperagakan antigen yang dikenal asing maka
limfosit merupakan klon yang tidak dikehendaki yang tetap hidup (forbidden
clone) klon akan mengenal sel jaringan sendiri sebagai asing respon imun
rusak
2. Teori antigen terasing (Squestered antigen theory)
Fenomena toleransi pada fetus. Saat embrio jaringan dipaparkan kepada
system imun sebagau dirinya apabila dipisahkan (sequestered) tidak
dikenal sebagai dirinya (lensa mata,SSP, kelenjar tiroid yang memiliki sawar
(barier) dengan peredaran darah dikenal benda asing respon imun rusak.
3. Teori defisiensi imun (Immunologic deficiency theory)
Kemunduran fungsi imun mutasi sel-sel limfosit tidak diikuti oleh lenyapnya
mutan yang merupakan klon terlarang menyerang jaringan yang merupakan
sel sasaran atau mikroba yang menempel.
Peran infeksi pada penyakit autoimun
Infeksi dapat mengaktifkan cell-reactive lymphocyte, karenanya dapat memucu
berkembangnya penyakit autoimmune.
Ada 2 cara aktivasi limfosit cell-reactive oleh infeksi :

1. Menimbulkan response immun nonspesifik APC menghasilkan kostimulator


dan sitokin merangsang limfosit
2. Kuman menghasilkan antigen yang serupa dengan self-antigen (cross reaction)
aktivasi sel T (molecular mimicry)
Penyakit autoimun sistemik
1. Systemic Lupus Eryhematosus (SLE)
Lupus disebabkan oleh antibodi yang menyerang tubuh sendiri. Pada penderita
lupus, antibodi menyerang tubuh dengan dua cara, yaitu :
a. Antibodi menyerang jaringan tubuh secara langsung. Misalnya, antibodi yang
menyerang sel darah merah sehingga menyebabkan anemia.
b. Antibodi bergabung dengan antigen sehingga membentuk ikatan yang
dinamakan kompleks imun. Dalam kondisi normal, sel asing yang antigennya
telah diikat oleh antibodi selanjutnya akan ditangkap dan dihancurkan oleh
sel-sel fagosit. Namun, pada penderita lupus, sel-sel asing ini tidak dapat
dihancurkan oleh sel-sel fagosit dengan baik. Jumlah sel fagosit justru akan
semakin bertambah sambil mengeluarkan senyawa yang menimbulkan
inflamasi. Proses inflamasi ini akan menimbulkan berbagai gejala penyakit
lupus. Jika terjadi dalam jangka panjang, fungsi organ tubuh akan terganggu.
2. Radang sendi (rheumatoid arthritis)
Radang sendi merupakan penyakit autoimunitas yang menyebabkan
peradangan dalam waktu lama pada sendi. Penyakit ini biasanya mengenai
banyak sendi dan ditandai dengan radang pada membran sinovial dan struktur
sendi, atrofi otot, serta penipisan tulang.
3. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus disebabkan oleh antibodi yang menyerang sel-sel beta di
pankreas yang berfungsi menghasilkan hormon insulin. Hal ini mengakibatkan
tubuh kekurangan hormon insulin sehingga kadar gula darah meningkat.
4. Myastenia gravis
Myasthenia gravis disebabkan oleh antibodi yang menyerang otot lurik sehingga
otot lurik mengalami kerusakan.
5. Addisons disease
Addisons disease disebabkan oleh antibodi yang menyerang kelenjar adrenal.
Hal ini mengakibatkan berat badan menurun, kadar gula darah menurun, mudah
lelah, dan pigmentasi kulit meningkat.
6. AIDS
AIDS ( Acquired Immuno Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan berbagai
penyakit yang disebabkan oleh melemahnya sistem kekebalan tubuh. Penyakit
ini disebabkan oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang
menyerang sel T pembantu yang berfungsi menstimulasi pembentukan sel B
plasma dan jenis sel T lainnya. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kemampuan
tubuh dalam melawan berbagai kuman penyakit. Sel T pembantu menjadi target
utama HIV karena pada permukaan sel tersebut terdapat molekul CD4 sebagai
reseptor. Infeksi dimulai ketika molekul glikoprotein pada permukaan HIV
menempel ke reseptor CD4 pada permukaan sel T pembantu. Selanjutnya, HIV
masuk ke dalam sel T pembantu secara endositosis dan mulai memperbanyak
diri. Kemudian, virus-virus baru keluar dari sel T yang terinfeksi secara
eksositosis atau melisiskan sel. Jumlah sel T pada orang normal sekitar 1.000
sel/mm3 darah, sedangkan pada penderita AIDS, jumlah sel T-nya hanya sekitar

200 sel/mm3. Kondisi ini menyebabkan penderita AIDS mudah terserang


berbagai penyakit seperti TBC, meningitis, kanker darah, dan melemahnya
ingatan. Penderita HIV positif umumnya masih dapat hidup dengan normal dan
tampak sehat, tetapi dapat menularkan virus HIV. Penderita AIDS adalah
penderita HIV positif yang telah menunjukkan gejala penyakit AIDS. Waktu yang
dibutuhkan seorang penderita HIV positif untuk menjadi penderita AIDS relatif
lama, yaitu antara 5-10 tahun. Bahkan ada penderita HIV positif yang seumur
hidupnya tidak menjadi penderita AIDS. Hal tersebut dikarenakan virus HIV di
dalam tubuh membutuhkan waktu untuk menghancurkan sistem kekebalan
tubuh penderita. Ketika sistem kekebalan tubuh sudah hancur, penderita HIV
positif akan menunjukkan gejala penyakit AIDS. Penderita yang telah mengalami
gejala AIDS atau penderita AIDS umumnya hanya mampu bertahan hidup
selama dua tahun. Gejala penyakit AIDS :
- Gangguan pada system saraf
- Sakit kepala
- Demam
- Berkeringat pada malam hari
- Diare
- Terdapat bintik-bintik keunguan di sekujur tubuh
- Terdapat banyak bekas luka yang belum sembuh
- Terjadi penurunan berat badan secara drastic

Baratawidjaja, Karnen Garna. 2002.


Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Subowo. 2010. Imunologi Klinik. Jakarta : Sagung seto

You might also like