You are on page 1of 88

EKSPRESI SITOKIN IFN-, IL-2, IL-12 DAN IL-10

SEBAGAI RESPONS IMUN


TERHADAP INFEKSI HPV DENGAN DISPLASIA SERVIKS,
STADIUM AWAL
SERTA STADIUM LANJUT KANKER SERVIKS.

BAB

Pendahuluan
A.Latar Belakang Masalah
Kanker serviks menempati urutan kedua setelah
keganasan pada payudara didunia. Berdasarkan statistik yang
dikeluarkan

WHO,

diperkirakan

sebanyak

250.000

kasus

meninggal setiap tahun dan ditemukan 500.000 kasus baru pada


waktu yang sama. (Dikutip dari Faridi R, 2011(1)
Di Indonesia, kanker serviks merupakan jenis keganasan pada
alat kandungan yang paling banyak ditemukan pada wanita dan
menempati urutan pertama sampai saat ini. (HOGI,2011(2) Pada
dasarnya kanker serviks dapat dicegah atau dihindari.( Faridi
R,2011(1).
Telah diketahui bahwa penyakit ini 99,7 % disebabkan
oleh virus HPV resiko tinggi (HR-HPV). Tipe virus yang terbanyak
adalah HPV tipe 16 dan 18 yaitu sebesar kurang lebih 70 %.
(Munoz N, 2006(3). Infeksi HR-HPV dapat dideteksi pada 13,5
bulan setelah infeksi HPV. Pada lesi pra-kanker sepeti : ASCUS,
NIS I,II dan III (CIN I,II,III) terjadi dalam 14 bulan sampai 4 tahun

setelah DNA HR-HPV ditemukan pada sel. Infeksi HR-HPV dapat


terdeteksi pada sekitar 80 % dari NIS II dan sekitar 90 % pada
NIS III serta kurang lebih 98 % pada kanker invasif. (Bosch FX,
et.al.2006 (4). Virus ini menginfeksi serviks melalui daerah
metaplasia dalam zona transformasi serviks. Serviks dilapisi oleh
dua epithel berbeda yang berhubungan dengan fungsi nya.
Pertama, endoserviks yang ditutupi oleh epithel kolumnar yang
bersekresi dan bagian kedua adalah ektoserviks yang dilindungi
oleh epithel skuamosa.
Kedua daerah ini terhubung melalui
zona transformasi. Infeksi HPV sering dikategorikan : produktif
atau proliferatif. Infeksi produktif artinya menghasilkan formasi
yang utuh, partikel virus yang infeksius. Proliferatif atau non
produksi infeksi di kharakterisasi oleh integrasi virus. Target sel
untuk infeksi HPV adalah sel basal epithel anogenital, umumnya
terjadi pada SSK (sambungan skuamo kolumnar) di zona
transformasi . ( Schiffman M,et.al. 2007(5)
Infeksi virus HPV pada serviks memproduksi koilositotik
atapia. Pada inti sel ditemukan area berbatas dalam sel akibat
protein virus membentuk gambaran hollow cell. Pada
endoserviks perubahan ini tidak terlalu nampak . Pada
perkembangan lebih lanjut, terjadi perubahan yang disebut
dysplasia atau CIN ( cervical intraepithelial neoplasia).
Selanjutnya dysplasia juga mempunyai arti sebagai maturasi
abnormal dan terbagi menurut gradasinya. Dysplasia dapat
berkembang menjadi kanker serviks invasive. Dysplasia ditandai
oleh sel imatur, disorganisasi seluler, inti abnormal, dan
peningkatan aktivitas mitosis.
Terbagi dalam 3 gradasi yaitu :
CIN I (LGSIL), CIN II dan CIN III( HGSIL).(Culp TD,et.al. 2004(6)
Banyak infeksi virus HPV pada serviks ( dengan sel
abnormal atau tidak ) menghilang atau disupresi oleh cellmediated

immunity setelah satu sampai 2 tahun setelah

terpapar. Sekitar

80-85 % displasia ringan (LGSIL) dapat

menghilang

setelah 5 tahun

tanpa diobati . Aktivasi sistim

immune memegang peran penting pada proses regresi ini.


Regresi spontan pada LGSIL sebesar 40 % setelah 2-3 tahun ,
pada HGSIL sekitar

20 % kembali ke gradasi LGSIL. Gradasi

HGSIL berkembang menjadi kanker serviks sebesar kurang lebih


66 % setelah 2-3 tahun. (Wang PH,et.al. 2006(7).
Ekspresi gen HPV yang produktif berikatan kuat dengan
epithel yang berdiferensiasi dan secara normal hanya terjadi
pada sel yang aktif . Mulainya dari lapisan basal selanjutnya
kelapisan intermediate atau suprabasal. Sel-sel ini kehilangan
kapasitas untuk replikasi selanjutnya. Infeksi pada sel basal
biasanya secara morfologi normal, dan ekspresi gen HPV biasanya
pada level yang rendah. Pada daerah suprabasal , terjadi ekspresi
gen HPV yang baru dan lebih lanjut diferensiasi yang diinduksi
oleh seluruh gen virus termasuk sintesa DNA dan transkripsi
protein kapsid virus.(Munoz N,et.al. 2006(3)
Virion yang intak dan normal hanya pada permukaan
superfisial sel epithel. Infeksi ini dikenal sebagai low grade dan
sangat kecil progresivitasnya menjadi kanker. Pada tingkat lesi
high grade dapat disimpulkan terjadi gangguan diferensiasi
epithel dan transkripsi gen virus. Tidak terkontrolnya ekspresi pE6
dan pE7 dalam lapisan basal merupakan prasyarat untuk
berkembang ke fenotip keganasan. Infeksi HPV pada tingkat
perkembangan seperti displasia dapat terjadi regresi spontan
tanpa pengobatan.(Schiffman M,et.al.2007(5)
Berdasarkan penelitian Aziz MF et.al., 2003 (8) pada
beberapa rumah sakit di Indonesia , penyebab terbanyak kanker
serviks adalah tipe HR-HPV 16 (44 %) , HPV 18 (39 %) , HPV 52
( 14 % ) . Sisanya terdeteksi sebagai infeksi HPV yang multiple
atau lebih dari satu. Pada infeksi HR-HPV tidak selalu disertai
terjadinya transfer onkoprotein E6 dan E7 ke dalam lapisan

epithel serviks sehingga tidak ditemukan perubahan dalam sel


tersebut. Masuknya onkoprotein E6 dan E7 sendiri kedalam inti
sel host
adalah merupakan faktor penting untuk terjadinya
perubahan kearah kanker. Adanya protein E6 dan E7 dapat
diketahui dengan memeriksa ekspresi pE6/E7 mRNA.(Bosch
FX,et.al.2006(4)
Penelitian Cuschieri KS et.al.,2004(9) menyatakan
bahwa pada displasia sedang sampai berat (CIN II dan CIN III) ,
dijumpai kasus yang disertai ekspresi DNA HR-HPV (persisten)
sebanyak 43 %, tapi yang disertai dengan ekspresi E6/E7 m RNA
sebanyak 55 %. Hasil ini menunjukkan bahwa 12 % infeksi
persisten HPV mengalami remisi akan tetapi ekspresi E6/E7
mRNA tetap ada. Pada kelompok LGSIL atau ASCUS ( Atypical
Squamous Cells of Undetermined Significance ) terdapat ekspresi
DNA HR-HPV lebih tinggi dari ekpresi protein E6/E7 mRNA. Hasil
ini memperlihatkan bahwa infeksi persisten dari HR-HPV masih
memungkinkan terjadinya regresi atau remisi spontan. Pada LGSIL
masih dalam tahap infeksi dan sedikit yang mengekspresi E6/E7
mRNA. (Molden T, et al. 2006(10)
Pada penelitian Molden T et al.2006 (10) juga dalam
pengamatan selama 2 tahun, resiko terjadinya CIN 2 yang
terekspresi DNA HR-HPV hanya sebesar 5,7 kali. Tapi pada
kelompok yang terekspresi protein E6/E7 menjadi sebesar 68,9
kali. Pada tingkat displasia berat atau kanker serviks invasif, di
dapatkan ekspresi DNA HR-HPV sama dengan ekspresi protein
E6/E7 mRNA. Hasil ini memperlihatkan bahwa tidak semua infeksi
HR-HPV akan menyebabkan terekspresinya protein E6/E7.
Keberadaan protein E6/E7 mRNA akan menyebabkan terjadinya
karsinogenesis kanker serviks. Tidak semua infeksi HR-HPV akan
diikuti dengan proses karsinogenesis kanker serviks.(Castellsague
X,et.al.2008(11)
Penyakit kanker serviks akibat virus ini dapat digolongkan
sebagai penyakit akibat hubungan seksual. Ada beberapa faktor

resiko yang berperan memberi kontribusi pada infeksi HPV pada


serviks dan akhirnya berkembang menjadi kanker serviks.
Perilaku hubungan seksual yang tidak sehat dan menyimpang
adalah merupakan faktor penting terjangkitnya (terinfeksi) virus
HPV ini.(Rodriquez C,et.al. 2009(12)
Faktor predisposisi lainnya adalah hubungan seksual
pertama kali pada usia muda, pasangan/suami beresiko tinggi,
multi partner , infeksi bacterial yang kronis pada serviks ,dll .
Infeksi virus HPV
tidak pernah ditemukan pada perempuan
virgin . Resiko mengalami infeksi HPV ini meningkat 10 kali pada
setiap penambahan pasangan seksual. Pasangan pria juga
sebagai rantai infeksi. Resiko mendapat kanker serviks pada
perempuan yang berpasangan dengan pria terinfeksi virus HPV
adalah 5 kali lebih tinggi dari yang tidak. Infeksi virus HPV
umumnya melalui hubungan seksual. Walaupun sangat sedikit
dapat pula terjadi secara non-seksual. (Castellsaque X, et.al.,
2008(11).
Diakui bahwa cukup banyak cofactor yang
mempengaruhinya. Seperti kebiasaan merokok, pengguna pil
kontraseptif yang lama dan multiparitas.
Pada perempuan
perokok , resikonya akan meningkat sesuai peningkatan jumlah
batang rokok tapi tidak berhubungan dengan lamanya merokok.
Mekanisme ini sangat berhubungan dengan metabolit tembakau .
Metabolit tembakau ini dapat ditemukan pada mukosa serviks.
Pada faktor multiparitas hubungannya tidak jelas. Diduga dengan
proses persalinan yang berulang maka kecederaan pada serviks
makin sering dan luka yang terjadi memudahkan virus HPV masuk
dalam sel. (Bosch FX,et.al.2006(4). Adanya metabolit tembakau
dapat mengakibatkan penekanan pada fungsi
immun
( immunosupresi) secara langsung serta menurunkan intake
antioksidan secara tidak langsung. Demikian pula penggunaan
lama dari kontrasepsi oral akan meningkatkan resiko. Hal ini
berhubungan tidak langsung dengan tingginya kadar estrogen

yang dapat menekan fungsi immun. Pada faktor multiparitas


hubungannya tidak jelas. Diduga dengan proses persalinan yang
berulang maka kecederaan pada serviks makin sering dan luka
yang terjadi memudahkan virus HPV masuk dalam sel.
(Castellsaque X,et.al., 2003(13)
Masuknya virus HPV kedalam sel serviks akan
menimbulkan reaksi tubuh berupa penolakan terhadap terjadinya
infeksi. Reaksi yang terjadi adalah respons terhadap masuknya
virus sebagai antigen. Sehingga terjadi respons imun dan
inflamasi. Aktivasi respons imun berupa reaksi pertahanan awal
(innate) dan lanjutan (adaptif). Telah diketahui virus hanya dapat
berkembang biak intraseluler karena virus memerlukan DNA sel
host untuk replikasi.

Akibatnya virus dapat merusak sel

menyebabkan infeksi kronik

dan

dan menyebar ke sel yang lain.

Untuk membatasi penyebaran dan mencegah reinfeksi virus,


sistim immune harus mampu menghambat masuknya virion
kedalam sel dan juga memusnahkan sel yang terinfeksi. Respons
immune terhadap virion adalah respons imun humoral dengan
cara netralisasi dan respons imun seluler yang paling penting
untuk melawan virus. Peran respons imun ini terutama oleh sel Tsitotoksik, sel NK, ADCC ( antibody dependent cell mediated
cytotoxicity ), dan interaksi dengan MHC kelas I. Beberapa sel
imun memproduksi sitokin atau kemokin. Sitokin dapat berperan
sebagai antiviral dan antiproliferative.

Sitokin mempunyai

peranan penting dalam memodulasi respons imun. Protein yang


termasuk sitokin/kemokin antara lain : IL-2, IL-3, IL-4, IL-6, IL-10,
IL-12, IL-15 serta TGF ( Transforming growth factor- ) ,

Interferon dan TNF ( Tumor necroting factor).(Darshan MS,et.al.


2004(14)
Beberapa sitokin yang memediasi respons imun terhadap virus
HPV dan sel kanker serviks antara lain : IFN-, TGF-, IL-2, IL-12
dan IL-10. (Darshan MS,et.al. 2004(14)
Peran antibody dalam menetralisasi virus terutama efektif untuk
virus yang bebas atau dalam sirkulasi. Proses menetralisasi
dapat terjadi melalui beberapa cara antara lain : menghambat
perlekatan virus pada reseptor yang terdapat pada permukaan
sel, sehingga virus tidak dapat masuk menembus membrane sel.
Antibodi dapat juga menghancurkan virus dengan aktivsi
komplemen melalui jalur klasik atau menyebabkan agregasi virus
sehingga mudah difagositosis dan dihancurkan. Walaupun tidak
cukup mampu menetralkan virus secara langsung antibody dapat
berfungsi dalam reaksi ADDC. Pada infeksi sel secara langsung di
tempat masuknya virus (port dentry), virus tidak sempat beredar
dalam sirkulasi dan tidak sempat menimbulkan respons primer.
Sehingga antibody yang dibentuk seringkali terlambat untuk
mengatasi infeksi. Pada keadaan ini respons imunologik seluler
mempunyai peran yang penting dan lebih menonjol.
Sel T
sitotoksik mampu mendeteksi virus melalui reseptor antigen
virus sekalipun struktur virus telah berubah.(Faridi R,
et.al.2011(1)
Peran sistim immune pada kejadian kanker berdasarkan
pada beberapa hal antara lain :
-Ditemukan adanya tumor tertentu yang dapat sembuh secara
spontan atau mengalami regresi spontan.
-Pada pemeriksaan otopsi , insidens keganasan tertentu kira-kira
40 kali lebih tinggi dari manifestasi klinik.

-Pada penderita dengan defisiensi immune atau yang mendapat


pengobatan immunosupresi , peluang mendapat kanker menjadi
lebih besar. Misalnya insidensi sarcoma Kaposi pada HIV/AIDS.
Sistim immune yang berperan adalah sistim immune alami
(innate) dan
antigen

sel T spesifik (adaptif). Reaksi timbul terhadap

baru atau yang diubah pada

permukaan sel tumor.

Sehingga berperan menahan atau menekan perkembangan dan


pertumbuhan

progresif

tumor.

Mekanisme

immune

yang

merespons sel tumor pada dasarnya sama dengan mekanisme


melawan sel/benda asing lainnya. Pemahaman dasar adalah
konsep dimana secara kimiawi sel tumor memiliki antigen pada
sel permukaan yang berbeda baik secara kuantitatif maupun
kualitatif dibanding sel host normal.

Protein, lemak dan

karbohidrat dapat tersimpan sebagai material tumor terkait


antigen (TAA). Beberapa TAA dapat dikenali oleh host untuk
mengadakan

resistensi

tumor

spesifik

dalam

menekan

pertumbuhannya. Tumor yang tumbuh spontan sulit dikenal atau


direspons oleh sistim immune dibanding tumor yang di inisiasi
oleh virus atau bahan kimiawi. Respons pada antigenitas tumor
dan pada immunitas tumor spesifik sama
pada reaksi penolakan allograf

dengan yang terjadi

yang melibatkan sistim antigen

transplantasi. Antigen tumbuh dalam beberapa tumor dan spesifik


untuk setiap tumor atau kelompok tumor. Antigen ini disebut TATA
( Tumor associated transplantation antigen) atau TAA ( tumor
associated antigen). Keduanya adalah antigen permukaan sel dan
membangkitkan

respons

immune

spesifik.

Antigen

ini

ada

dibawah pengaruh genetik dan dapat diturunkan pada sel

turunannya. Host memiliki mekanisme respons immune spesifik


dan non spesifik.

Pada penolakan tumor, respons immune

diarahkan terhadap pemeliharaan homeostasis. Homeostasis


dapat diubah kearah pembentukan tumor atau kearah yang
menguntungkan

host.

Hambatan

terjadi

oleh

karena

sel

kanker/tumor tidak merespons lagi

regulasi yang mengatur

pengendalian

Sel

sel

bermacam-macam

secara

normal.

produk

khusus.

tumor

Beberapa

membentuk
produknya

merupakan antigen tipe transplantasi ( TATA). Produk lain yang


menggambarkan

ekspresi

virus

adalah

kolagenase tipe IV, serta beberapa


menghindari
pertahanan

mekanisme
yang

dimaksud

berupa

faktor

enzim,

yang dapat

pertahanan

host.

Mekanisme

adalah

seperti

kemotaksis,

fagositosis, fungsi makrofag, fungsi limfosit dan mediator untuk


ekspresi immunitas seluler.(Faridi R,et.al. 2011(1)
Pada perkembangan penyakit, dari tahapan CIN II akan
mengalami regresi spontan sebanyak 43 %, selanjutnya berada
pada tingkat infeksi persisten sebanyak 35 %. Jumlah kasus yang
mengalami progresivitas dalam perkembangannya menjadi CIN
III, adalah sebanyak 22 % saja. Selanjutnya pada tingkat CIN III
yang mengalami regresi spontan sebanyak 32 % sedang yang
masuk dalam fase infeksi persisten sebanyak 56 %. Pada
perkembangan selanjutnya kasus yang berkembang menjadi
kanker serviks hanya sebanyak 12 % saja. (Gupta D, 2010(15).
Peneliti lain (Palmer KE,et.al,2009(16) mengatakan bahwa ,
kondisi seperti ini terjadi oleh karena peran respons imun yang

menekan

bahkan

perkembangan

sel

mengeliminasi
tumor/kanker

pertumbuhan
tersebut.

dan

Progresivitas

perkembangan kearah kanker serviks yang hanya dibawah 15 %


itu berkembang dari
menjadi

tingkat

HGSIL ( CIN II-III)

selanjutnya

kanker serviks.( Burd EM,2003(17). Selain tumor

suppressor gene, peran Cell-mediated immune responses dari


host sangat penting menekan atau mengeliminasi progresivitas
infeksi sampai terjadi perubahan kearah kanker serviks

dan

bahkan membunuh sel-sel immortal tersebut. Oleh pengaruh


cell-mediated immune responsespada rangkaian ujung N dari
peptide E6 dan E7

menyebabkan regresi dari CIN atau

menghilangnya infeksi virus HPV. Sebaliknya adanya gangguan


atau

halangan

pada

respons

immune

seluler

sebabkan

perkembangan kearah kanker serviks. (Nicol AF, et.al. 2005(18).


Salah satu protein yang berperan memodulasi respons imun
adalah sitokin. Sitokin diproduksi oleh sel limfosit T (helper).
Limfosit T-helper (Th)

berdasarkan produksinya dibagi dalam 2

sub set sel yaitu : sel Th1 dan Th2. Sel Th1 memproduksi sitokin
tipe 1 a.l. : IL-2, IL-12, IL-15 dan IFN-. Sitokin ini berperan sebagai
tumor suppressor. Sel Th2 memproduksi tipe 2 sitokin a.l. : IL-4,
IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13. Ekspresi serta peningkatan sitokin dari
sel Th2 sangat berhubungan dengan progresivitas tumor menjadi
invasive atau sebagai tumor promoting. (Sondel PM,et.al.
2001(19).
Berdasarkan beberapa pembahasan diatas, maka penulis
sangat tertarik untuk meneliti ekspresi dari beberapa sitokin

sebagai mediator respons imun pada tingkat dysplasia serviks


oleh karena infeksi virus HPV resiko tinggi serta tahapan
perkembangannya yaitu stadium awal kanker seviks dan stadium
lanjut keganasan ini.

B. Rumusan Masalah
1. Berapa besarkah kadar atau ekspresi masing-masing sitokin
IFN-, IL-2, IL-12

serta IL-10 dalam darah perifer pada tingkat

dysplasia serviks, stadium awal dan stadium lanjut kanker serviks


?.
2. Apakah ada perbedaan kadar atau ekspresi dari masingmasing sitokin IFN-, IL-2, IL-12 serta IL-10 dari darah perifer
pada tingkat dysplasia, stadium awal dan stadium lanjut kanker
serviks ?.
3. Manakah dari sitokin IFN-, IL-2, IL-12 dan IL-10 yang
kadarnya atau ekspresinya cenderung meningkat ataupun
menurun pada setiap perubahan perkembangan penyakit dari
dysplasia, stadium awal dan stadium akhir kanker serviks. ?.
4. Apakah ekspresi atau kadar sitokin IFN-, IL-2 serta IL-12 akan
menurun bahkan menghilang sesuai dengan peningkatan
penyakit menjadi lebih berat, sebaliknya ekspresi IL-10 akan
meningkat sesuai dengan perkembangan penyakit menjadi lebih
berat.?

5. Bagaimanakah persentasi rasio dari masing-masing sitokin


yang cenderung menurun dibandingkan dengan sitokin yang
cenderung meningkat sesuai dengan perkembangan penyakit
menjadi lebih berat yaitu mulai pada tingkat dysplasia, stadium
awal sampai pada stadium lanjut kanker serviks.?.

Pertanyaan Penelitian
1. Apakah kadar atau ekspresi masing-masing sitokin IFN-, IL2, IL-12 dan IL-10 dalam darah perifer akan berubah
meningkat atau menurun sesuai dengan tingkat
perkembangan penyakit kanker seviks dari ringan menjadi
berat yaitu mempunyai hubungan selaras atau hubungan
terbalik. ?.
2. Apakah perubahan kadar atau ekspresi sitokin IFN-, IL-2,,
IL-12 serta IL-10 didalam darah perifer sebagai gambaran
dari respons imun terhadap perubahan dan perkembangan
dari penyakit kanker serviks karena infeksi HPV resiko tinggi
mulai dari tingkat dysplasia, stadium awal dan stadium
lanjut.?
3. Apakah ada hubungan antara perubahan kadar atau ekspresi
dari masing-masing sitokin IFN-, IL-2, IL-12 serta IL-10
dalam darah perifer dengan stadium klinis penyakit kanker
serviks mulai dari dysplasia, stadium awal serta stadium
lanjut ?.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk mengetahui ekspresi atau kadar sitokin antara lain
: IFN-, IL-2, IL-12 dan IL-10 dari darah perifer sebagai respons
imun infeksi HR-HPV pada dysplasia serviks, stadium awal serta
stadium lanjut kanker serviks.
Tujuan Khusus :
1. Untuk mengukur kadar atau ekspresi masing-masing sitokin
IFN-, IL-2, IL-12 dan IL-10 dari darah perifer pada kelompok
displasia serviks, kelompok stadium awal serta kelompok
stadium lanjut kanker serviks.
2. Untuk mengukur dan melihat perubahan kadar atau
ekspresi dari masing-masing sitokin IFN-, IL-2, IL-12 dan IL10 melalui darah perifer sesuai perkembangan penyakit
kanker serviks mulai dari kelompok displasia serviks,
kelompok stadium awal seterusnya kelompok stadium
lanjut.
3. Untuk mengukur dan melihat besarnya peningkatan atau
penurunan kadar atau ekspresi dari masing-masing sitokin
IFN-, IL-2, IL-12 dan IL-10 melalui darah perifer sesuai
perkembangan penyakit kanker serviks mulai dari
kelompok displasia serviks, kelompok

stadium awal

seterusnya kelompok stadium lanjut.


4. Untuk membandingkan kadar setiap sitokin yang mengalami
penurunan dengan kadar setiap sitokin yang mengalami
peningkatan sesuai perkembangan penyakit kanker serviks

mulai dari kelompok displasia serviks, kelompok stadium


awal seterusnya kelompok stadium lanjut.

D. Manfaat Penelitian
Diharapkan pada penelitian ini dapat membuktikan
bahwa ekspresi sitokin produksi sel T helper 1 yang terpapar
dalam darah perifer seperti IFN-, IL-2 dan IL-12 dengan kadar
yang tendensi menurun sesuai perkembangan penyakit kearah
gradasi lebih berat, sebaliknya produk sel T helper 2 yaitu IL-10
juga dari darah perifer memperlihatkan keadaan yang
sebaliknya maka hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk :
1. Secara Klinis
Pada kepentingan dunia kedokteran , memberi pemahaman
bahwa perkembangan infeksi HR-HPV yang hanya sebesar
kurang lebih 12 % saja menunjukkan progresivitas
perubahan dari kondisi dysplasia serviks dan berlanjut
menjadi kanker serviks invasive ini menunjukkan ekspresi
atau kadar sitokin imunostimulator seperti IFN-, IL-2 dan IL12 yang tendensi menurun sesuai peningkatan stadium
penyakit. Pada sisi yang lain sitokin imunosupresor seperti
IL-10 akan meningkat kadarnya sesuai perkembangan
penyakitnya menjadi berat.
2. Pada kepentingan ilmiah
Secara umum dapat menjadi referensi yang penting didalam
pengembangan pemahaman aspek molekuler khususnya
dibidang imunologi khususnya respons imun dengan peran

sitokinnya terhadap perkembangan penyakit , mulai dari


tingkat pra-kanker sampai menjadi kanker invasive. Dimana
ekspresi sitokin IFN-, Il-2 dan IL-12 dapat mewakili peran
respons imun yang positif pada tingkat dysplasia, stadium
awal serta stadium lanjut kanker serviks. Sebaliknya sitokin
IL-10 mewakili respons imun yang negative pada setiap
tingkat yang berbeda tersebut.
3. Bagi kepentingan penulis
Penulis mendapatkan pemahaman yang lebih luas tentang
kanker serviks. Khususnya menelaah secara ekploratif
bidang immunology secara seluler atau molekuler yang
berhubungan dengan infeksi virus HR-HPV dan mekanisme
respons imun serta kegagalan yang terjadi pada infeksi virus
tersebut sehingga terjadi perkembangan penyakit kea rah
kanker serviks invasive. Selain menambah wawasan bagi
peneliti, dapat pula merangsang untuk melakukan penelitian
lebih lanjut sebagai pengembangan dari materi dan bukti
yang didapatkan.

BAB II
Tinjauan Pustaka

Kanker Serviks
Epidemiologi
Didunia kanker serviks menempati urutan kedua pada
perempuan setelah keganasan payudara. Berdasarkan statistik
yang dikeluarkan WHO, diperkirakan sebanyak 250.000 kasus
meninggal setiap tahun dan ditemukan kurang lebih 500.000
kasus baru. Di negara berkembang , penyakit ini masih
menduduki peringkat pertama dari seluruh kanker pada
perempuan . Pada dasarnya kanker ini sebenarnya dapat
dihindari.(Faridi R,et.al. 2011(1)
Penyakit akibat virus ini dapat digolongkan sebagai
penyakit akibat hubungan seksual. Perilaku hubungan seksual
yang tidak sehat dan menyimpang adalah merupakan faktor
penting terjangkitnya virus HPV ini.(Rodriquez C,et.al. 2009(12)
Faktor predisposisi antara lain hubungan seksual pertama kali
pada usia muda, pasangan/suami beresiko tinggi, multi partner dll
. Infeksi tidak pernah ditemukan pada perempuan virgin . Resiko
mengalam infeksi HPV ini meningkat 10 kali pada setiap
penambahan pasangan seksual. Pasangan pria juga sebagai
rantai infeksi. Resiko mendapat kanker serviks pada perempuan
yang berpasangan dengan pria terinfeksi virus HPV adalah 5 kali
lebih tinggi dari yang tidak. Infeksi virus HPV ini umumnya melalui
hubungan seksual. Walaupun sangat sedikit dapat pula terjadi
secara non-seksual. (Castellsague X,et.al. 2008(11).
Telah dilaporkan seorang bayi menderita infeksi HPV
yang mempunyai ibu menderita HPV. Bayi tersebut menderita

papilloma larynx pada usia 3 bulan dan menderita infeksi HPV


pada penis pada usia 6 bulan. Infeksi pada masa kehamilan juga
dapat terjadi. Hal ini dapat dibuktikan adanya DNA HPV pada
selaput ketuban dan tali pusat janin dengan ibu yang terinfesi
HPV. (Castellsague X, et.al.,2008(11)
Diakui bahwa cukup banyak cofactor yang
mempengaruhinya. Seperti kebiasaan merokok, pengguna pil
kontraseptif yang lama dan multiparitas.
Pada perempuan
perokok , resikonya akan meningkat sesuai peningkatan jumlah
batang rokok tapi tidak berhubungan dengan lamanya merokok.
Mekanisme ini sangat berhubungan dengan metabolit tembakau .
Metabolit tembakau ini dapat ditemukan pada mukosa serviks.
Pada faktor multiparitas hubungannya tidak jelas. Diduga dengan
proses persalinan yang berulang maka kecederaan pada serviks
makin sering dan luka yang terjadi memudahkan virus HPV masuk
dalam sel. (Bosch FX,et.al. 2006(4).
Adanya metabolit tembakau dapat mengakibatkan penekanan
pada fungsi immun ( immunosupresi) secara langsung serta
menurunkan intake antioksidan secara tidak langsung. Demikian
pula penggunaan lama dari kontrasepsi oral akan meningkatkan
resiko. Hal ini berhubungan tidak langsung dengan tingginya
kadar estrogen yang dapat menekan fungsi immun. Pada faktor
multiparitas hubungannya tidak jelas. Diduga dengan proses
persalinan yang berulang maka kecederaan pada serviks makin
sering dan luka yang terjadi memudahkan virus HPV masuk dalam
sel. (Castellsague X,et.al.2003(13)
Etiologi
Telah diketahui bahwa penyakit ini 99,7 % disebabkan
oleh virus HPV resiko tinggi (HR-HPV). Tipe virus yang terbanyak
adalah HPV tipe 16 dan 18 yaitu sebesar kurang lebih 70 %.
(Munoz N,et.al.,2006(3). Infeksi HR-HPV dapat dideteksi pada
13,5 bulan setelah infeksi HPV. Pada lesi pra-kanker ASCUS, NIS

I,II dan III (CIN I,II,III) terjadi pada 14 bulan-4 tahun setelah DNA
HR-HPV ditemukan.Infeksi HR-HPV ditemukan sekitar 80 % pada
NIS II dan sekitar 90 % pada NIS III serta kurang lebih 98 % pada
kanker invasif. (Bosch FX,et.al.2006(4). Virus ini menginfeksi
serviks melalui
daerah metaplasia dalam zona transformasi
serviks. Serviks dilapisi oleh dua epithel
berbeda yang
berhubungan dengan fungsi nya.
Pertama, endoserviks yang
ditutupi oleh epithel kolumnar yang bersekresi dan bagian kedua
adalah ektoserviks yang dilindungi oleh epithel skuamosa. Kedua
daerah ini terhubung melalui zona transformasi. Infeksi HPV
sering dikategorikan : produktif atau proliferatif. Infeksi produktif
artinya menghasilkan formasi yang utuh, partikel virus yang
infeksius. Proliferatif atau non produksi infeksi di kharakterisasi
oleh integrasi virus. Target sel untuk infeksi HPV adalah sel basal
epithel anogenital, umumnya terjadi pada SSK (sambungan
skuamo kolumnar) di zona
transformasi . (Schiffman M,
et.al.2007(5)
Ekspresi gen HPV yang produktif berikatan kuat dengan
epithel yang berdiferensiasi dan secara normal hanya terjadi
pada sel yang aktif . Mulainya dari lapisan basal selanjutnya
kelapisan intermediate atau suprabasal. Sel-sel ini kehilangan
kapasitas untuk replikasi selanjutnya. Infeksi pada sel basal
biasanya secara morfologi normal, dan ekspresi gen HPV biasanya
pada level yang rendah. Pada daerah suprabasal , terjadi ekspresi
gen HPV yang baru dan lebih lanjut diferensiasi yang diinduksi
oleh seluruh gen virus termasuk sintesa DNA dan transkripsi
protein kapsid virus.(Munoz N,et.al. 2006(3)
Virion yang intak dan normal hanya pada permukaan
superfisial sel epithel. Infeksi ini dikenal sebagai low grade dan
sangat kecil progresif ke kanker. Pada tingkat lesi high grade
disimpulkan terganggunya diferensiasi epithel dan transkripsi gen
virus. Tidak terkontrolnya ekspresi pE6 dan pE7 dalam lapisan
basal merupakan prasyarat untuk berkembang ke fenotip

keganasan. Pada beberapa keadaan infeksi HPV seperti displasia


terjadi regresi spontan tanpa pengobatan.(Schiffman M,et.al.
2007(5)
Penelitian Aziz MF,et.al. , 2003 (8) pada beberapa
rumah sakit di Indonesia , penyebab kanker serviks adalah tipe
HR-HPV 16 (44 %) , HPV 18 (39 %) , HPV 52 ( 14 % ) . Sisanya
terdeteksi infeksi HPV multipel. Infeksi HR-HPV tidak selalu
disertai terjadinya transfer onkoprotein E6 dan E7 ke dalam
lapisan epithel serviks. Protein E6 dan E7 sendiri adalah faktor
penting untuk terjadinya kanker. Adanya protein E6 dan E7 dapat
diketahui dengan memeriksa ekspresi pE6/E7 mRNA.(Bosch
FX,et.al. 2006 ( 4)
Penelitian Cuschieri KS,et.al,2004(9) menyatakan
bahwa pada displasia sedang sampai berat , dijumpai kasus yang
disertai ekspresi DNA HR-HPV (persisten) sebanyak 43 %, tapi
yang disertai dengan ekspresi E6/E7 m RNA sebanyak 55 %. Hasil
ini menunjukkan bahwa 12 % infeksi persisten HPV mengalami
remisi akan tetapi ekspresi
E6/E7 mRNA tetap ada.
Pada
kelompok LGSIL atau ASCUS ( Atypical Squamous Cells of
Undetermined Significance ) terdapat ekspresi DNA HR-HPV lebih
tinggi dari ekpresi protein E6/E7 mRNA. Hasil ini memperlihatkan
bahwa infeksi persisten dari HR-HPV
masih memungkinkan
terjadinya regresi atau remisi spontan. Pada LGSIL masih dalam
tahap infeksi
dan sedikit yang mengekspresi E6/E7 mRNA.
(Molden T,et.al. 2006, (10)
Pada penelitian Molden T et.al..2006 (10) juga, dalam
pengamatan selama 2 tahun resiko terjadinya CIN 2 yang
terekspresi DNA HR-HPV hanya sebesar 5,7 kali. Tapi pada
kelompok yang terekspresi protein E6/E7 menjadi sebesar 68,9
kali. Pada tingkat displasia berat atau kanker serviks invasif, di
dapatkan ekspresi DNA HR-HPV sama dengan ekspresi protein
E6/E7 mRNA. Hasil ini memperlihatkan bahwa tidak semua infeksi
HR-HPV
akan
menyebabkan
terekspresi
protein
E6/E7.

Keberadaan protein E6/E7 mRNA akan menyebabkan terjadinya


karsinogenesis kanker serviks. Tidak semua infeksi HR-HPV akan
diikuti dengan proses karsinogenesis kanker serviks.(Castellsague
X ,et.al., 2008(11)
Patogenesis kanker serviks
Kanker adalah suatu pengaruh dari dalam atau luar tubuh
menyebabkan pembelahan sel tidak dapat di kontrol sehingga
membentuk jaringan tumor. Mekanisme pembelahan secara
normal terdiri dari 4 fase yaitu : G1, S, G2, dan M. Ada juga fase
istirahat G0. Pada fase S terjadi replikasi DNA. Pada fase M
terjadi pembelahan sel atau mitosis. Fase G (gap) berada sebelum
fase S , G1 dan sebelum fase M , G2. Pada siklus sel p53 dan pRb
sebagai TSG (tumor supressor genes) berperan sangat penting
dimana p53 berpengaruh pada transisi G1-S dan juga transisi G2M. Peran pRb sendiri berpengaruh pada G1-S. Terjadinya mutasi
yang menyebabkan inaktivasi fungsi p53 dan pRb menyebabkan
proliferasi sel yang dapat terkontrol lagi. ( Murakami MS, et.al.
2001, )(20)
Sel basal terutama sel stem terus membelah , bermigrasi
mengisi sel bagian atas , berdiferensiasi dan mensintesa keratin.
Virus yang masuk melalui daerah mikro aberasi/luka pada
jaringan permukaan epithel menginfeksi sel basal. (Culp TD,
2004). Protein virus akan mengambil alih perkembangan siklus
sel dan mengikuti diferensiasi sel. Di duga virus masuk sel
melalui reseptor 6-integrin dan heparan sulfat serta laminin
5 kemudian masuknya virion di dalam sel melalui klathrin atau
kaveola.(Lanioz V,et.al. 2008(21)
Proses masuknya virion kedalam inti sel belum jelas di
ketahui. Diduga ujung N (amino) L2 terpotong didalam
kompartemen endosome melalui protease seluler, furin dan
selanjutnya melepaskan kompleks genom L2 kedalam sitosol.
Genom L2 kemudian translokasi kedalam nukleus. Setelah berada

dalam inti maka kaskade ekspresi gen virus terus terjadi dan
memproses copy DNA virus dalam jumlah tertentu pada setiap
sel yang terinfeksi. Genom virus bermigrasi kedalam inti dalam
bentuk episome dan terjadi aktivasi early promoter HPV. Sintesis
virus DNA terjadi dalam sel yang terinfeksi dengan copy
episome sekitar 50-100 genom setiap sel. Setelah sel basal
membelah, episome HPV mengalami replikasi dan di distribusikan
didalam sel daughter(2 anak sel). Virus akan mengikuti
perjalanan sel dengan melakukan diferensiasi dan tetap aktif.
(Doorbar J,et.al.2004(22).
Saat sel host yang mengandung HPV berdiferensiasi ,
late promoter teraktivasi dan membentuk produk late genes
,terbentuk kapsid dan virion baru. Replikasi HPV tergantung dari
proses sel host dan sintesa DNA virus tetap berlangsung di
seluruh strata atas epidermis.
Reaksi Imunologik
Virus HPV yang masuk menginfeksi sel serviks akan
menimbulkan reaksi sistim immun. Reaksi immun terhadap virus
HPV tergantung pada beberapa faktor yang berperan. Reaksi
yang ditemukan antara lain : menurunnya sel Langerhans, adanya
keratinosit HLA-DR dan ICAM 1 (
Intracellular Molecular
adhesive 1 ) serta LFA-1 ( lymphocyte function associated antigen
1 ).(Martin MP,et.al.2005(23)
Pengamatan dan penelitian tentang sel mediated
immune respons terhadap infeksi HPV masih sulit. Pertama
karena siklus hidup dan transkripsi gen HPV tergantung pada
stadium diferensiasi keratinosit, adanya perbedaan pengamatan
pada target antigen, juga infeksi HPV hanya terletak pada epithel
skuamosa. Manifestasi infeksi secara sistemik belum jelas
sehingga penelitian reaksi immun dari infeksi HPV melalui darah
masih cukup sulit.

Innate immunity pada infeksi virus HPV


Secara alami garis pertahanan awal melawan benda
asing pathogen adalah ketahanan nonspesifik yang disebut innate
immunity. Pertahanan awal ini dilakukan antara lain oleh kulit,
permukaan mukosa, respons non epithel termasuk
sitokin,
neutrofil dan makrofag. Garis pertahanan kedua adalah
ketahanan yang didapat (aquired immunity) dan spesifik untuk
beberapa benda pathogen dan terdiri dari imunitas humoral yang
dimediasi oleh antibody yang berikatan dengan antigen untuk
dipromosikan difagosit atau lisis lewat complement serta CMI
( cell mediated immunity). Pada infeksi virus HPV, respons ini
tidak terlalu baik karena HPV adalah imunogen buruk disebabkan
strukturnya dan karakter fisiologiknya. (Frazer I,et.al.2007(24)
Protein virus HPV juga terekspresi sangat rendah pada epithel
bagian basal, sehingga tidak dapat diakses oleh sistim imun
host.Infeksi HPV hanya terbatas pada sel kulit dan tidak
menginduksi kematian sel yang merupakan pemicu utama
respons innate dan adaptif immune. Juga ekspresi antigen HPV
sangat terbatas serta DNA virus HPV tanpa perantara RNA yang
memudahkan respona innate imun. Beberapa hal diatas yang
menyebabkan deteksi dan respons imun sangat lambat dan
lemah. Respons antibody terhadap antigen HPV ( seperti E1, E2
,E6 dan L2) pada infeksi akut atau persisten serta pada kanker
serviks sangat minimal atau bahkan tidak ada. (Stanley M,et.al.
2008(25 ) Respons dari CMI terhadap virus HPV sangat penting
dalam control infeksi HPV. Peran CD4+ T-helper dalam respons
immune tampak pada pencegahan infeksi HPV yang persisten.
Juga CD4+ T-helper sangat berhubungan dengan terjadinya
regresi pada infeksi HPV. Stimulasi sel T oleh protein E2 yang
ditandai dengan level yang tinggi dari IFN- konsisten dengan
fenotip T helper ( Th1) serta sangat berhubungan dengan
regresinya infeksi HPV. ( Dillon S,et.al.2007(26). Selular dan
humoral immunity sebagai innate immune mempunyai peran
yang terbatas dalam merespons infeksi HPV. Konsentrasi antibody

relative kurang sensitive dengan sinyal yang rendah. Infeksi virus


HPV tidak mengalami viremia pada kondisi alami. Setelah infeksi
alami/pertama sistim imun serta antibody sangat rendah
sehingga tidak mampu memproteksinya. Sistim imun ini
meningkat pada keadaan infeksi yang persisten atau telah
menyebabkan perubahan kearah tingkatan penyakit. Partikel virus
bebas yang dilepaskan pada permukaan sel epithel mempunyai
akses yang kurang ke saluran vaskuler dan limfatik untuk
limfnode dimana respons imun diinisiasi. Integrasi DNA HPV
kedalam kromosome host , menyebabkan kromosome tidak stabil
meningkatkan resistensi terhadap kedua sistim ketahanan imun
yaitu innate dan adaptif sebagai antiviral. Integrasi HPV DNA
kedalam kromosome host dikenal dan terjadi dalam proporsi yang
tinggi pada kanker serviks. Respons sel T juga sangat rendah atau
menghilang pada CIN III dan kanker serviks invasive.(Stanley
MA,et.al 2009(27).
Adaptive Immunity pada infeksi virus HPV
Pada saat infeksi primer virus HPV, sistim imun secara
umum berfungsi dalam bentuk innate dan adaptif imun
respons.Kedua respons imun ini bekerja bersama sama untuk
mengenal dan melawan antigen/benda asing. Pada awalnya
innate imun respons yang aktif, dan selanjutnya adaptif imun
yaitu meliputi humoral dan cell mediated immune responses
(CMI) yang melawan material pathogen/antigen yang sama.
( Frazer I,et.al. 2007(24).
Respons innate imun secara prinsip
bekerja pada inflamasi lokal yang diaktivasi oleh kematian sel
lokal dan injury pada tempat infeksi. Respons innate ini meliputi
pengerahan sel fagosit seperti neutrofil, sel dendritik dan
makrofag serta pelepasan soluble mediators seperti sitokin dan
complement.
Sel dendritik dalam fungsinya adalah sebagai
jembatan dari respons imun innate dan adaptif. Sel ini
menangkap dan memproses microbial antigen, jadi berfungsi
sebagai antigen presenting cells (APC) dan bermigrasi mencapai

organ limfoid sekunder dan berinteraksi dengan sel T helper yang


adalah bagian dari CMI ( cell mediated immune responses).
( Stanley MA, et.al.2009(27). Limfosit T helper terregulasi dalam
dua bentuk yang berbeda dari sistim immune adaptif. Pertama
dapat dipersiapkan /berdiferensiasi sebagai sitotoksik T limfosit
bagian dari efektor sel T yang dapat bermigrasi ketempat infeksi
dan membunuh sel yang terinfeksi /pathogen. Salah satu fraksi
limfosit T helper dan sitotoksik T limfosit menjadi memory T cell
yang membentuk pool memory sel T.
Sel limfosit T juga
mengaktifkan
jalur humoral dari sistim immune, untuk
menghasilkan antibody spesifik pathogen. Selanjutnya respons
immune dibutuhkan untuk bahan pathogen yang berbeda beda,
dengan respons antibody yang kuat untuk proteksi yang kokoh
melawan banyak penyakit virus (Schwarz TF,et.al.2008(28).
Aktivasi limfosit T helper menginduksi diferensiasi limfosit B
menjadi sel plasma dan mensekresi antibody spesifik pathogen
yang dapat berikatan dengan pathogen ekstraselular dan ditandai
untuk dirusak/dibunuh oleh sel fagosit. Antibody dapat juga
berikatan dengan protein kapsid virus dan mencegah masuknya
virus kedalam sel host. Meskipun virus HPV dapat menekan
respons innate immune dan sistim immune, akan tetapi infeksi
primer/awal dapat menghilang kira-kira 90 %. Secara tepat
rangkaian sistim immune dalam mengikuti infaksi HPV pada
serviks belum dipahami secara jelas. Akan tetapi jelas bahwa
pada awalnya innate immunity dan selanjutnya CMI dan humoral
immunity memegang peran penting dalam respons immune
infeksi HPV pada traktus genitalia. ( Schwarz TF,et.al.2008(28).

Gambar. 1. Gambaran respons immune innate dan adaptif.


Peranan sel dendritik mengaktivasi respons innate immune dan
migrasi ke jaringan limfoid lokal sebagai APC. ( dikutip dari
Schwarz TF,et.al. 2008(28).

Sel Dendritik (DC)


Infeksi HPV secara normal adalah intraepithelial. Pada
dasarnya serangan HPV ini akan dapat dideteksi oleh APC pada
epithel skuamous yang disebut sel Langerhans (LC) yang dikenal
juga sebagai intraepithelial dendritic cells. Kapsid virus yang
masuk dalam sel biasanya mengaktifkan signal untuk sel DC ,
akan tetapi sel LC ini kurang merespons kapsid L1 HPV. Sekitar 8
bulan setelah infeksi HPV, jumlah yang rendah dari neutralizing
antibody untuk kapsid protein L1 ditemukan dalam serum individu
yang terinfeksi. (Nicol AF,et.al.2005(18). Spesifik IgG dan IgA
ditemukan secara lokal dimukosa serviks walaupun dalam kadar
yang rendah.
HPV yang menginfeksi sel keratinosit akan
mengaktifkan produksi interferon tipe 1 yang berkemampuan
sebagai antivirus dan juga berperan dalam sistim imun innate.

Interferon tipe 1 (IFN dan IFN ) mempunyai kemampuan


sebagai antivirus, antiproliferative, antiangiogenik dan sebagai
immunostimulator
yang berperan sebagai perantara antara
innate dan adaptif immune, sekaligus juga mengaktifkan sel DC
imatur. Efektor T limfosit sebagai CMI pertama tama secara
langsung melawan protein E2 dan E6 HPV yang direfleksikan oleh
infiltrasi spesifik sel T helper, sitotoksik T limfosit, makrofag, dan
produksi local dari sitokin proinflamasi.(Stanley M,et.al.2008(25)
Akan tetapi sebagaimana virus DNA pada umumnya, virus HPV
juga dapat menginhibisi sintesa interferon, juga signal reseptor.

Gambar. 2.
Skema sederhana respons imun pada infeksi HPV.
( dikutip dari Stanley M,et.al.2008(25)
Onkoprotein E6 dan E7 dapat juga menekan regulasi interferon,
merubah ekspresi respons gen interferon, dan juga gen regulator
siklus sel. Bila virus HPV hanya diam didalam lapisan sel basal,
dan tidak ada replikasi virus maka HPV dapat terhindar dari sistim
imun host. Perubahan epithel serviks secara patologik
diklasifikasikan sebagai CIN ( I,II dan III) yang selalu berhubungan
dengan replikasi virus seta shedding virus . Ditemukan bahwa

menurunnya jumlah LC ( sel Langerhans ) di epithel berhubungan


dengan peningkatan severity dari neoplasia . Terganggunya
kuantitas dan kualitas sel Langerhans (LC) memberi potensi
perubahan respons immune terhadap HPV dan hubungannya
dengan kanker serviks.
Perkembangan lesi CIN sampai ke
kanker serviks berhubungan dengan konversi genom virus dari
episomal kearah bentuk integrated dan inaktivasi p53 dan pRb
serta respons immune. Respons CMI dan antibody mediated
neutralizing sangat penting mengontrol dan mengurangi infeksi
HPV yang akan berkembang kearah neoplasia. Regresi lesi infeksi
juga diperankan oleh CD4+ (T-helper) dan CD8+ (sitotoksik sel T)
yang menyebabkan regresi spontan.
Respons sel T helper terhadap infeksi menunjukkan hasil
yang berbeda-beda. Disatu sisi menunjukkan bahwa seT dapat
menghilangkan infeksi virus. Sel T CD8 , MHC kelas I CTL, dapat
mengenal dan menghancurkan sel host yang terinfeksi virus atau
sel tumor yang disebabkan oleh virus. Sel basal yang terinfeksi
akan memperlihatkan antigen virus tapi sistim immun adaptif
tidak mampu dirangsang sehingga toleransi perifer dapat terjadi.
(Martin MP,et.al. 2005(23).
Pada lesi tampak penyimpangan perkembangan
sementara
reaksi immun lokal atau sistemik dari respons
antibodi Th1 ke respons Th2 yang didominasi oleh sitokin IL-6
dan IL-10. Penyimpangan ini terjadi karena infeksi terjadi
bersamaan waktu dengan respons innate dan adaptif immun
yang berhubungan dengan produksi antibodi. (Schwarz
TF,et.al.2008(28)
Analisa pada SIL ( squamous intraepithelial lesion) dan
sediaan kanker serviks menunjukkan aktivitas CTL di lesinya. Sel
CTL juga dapat menurunkan ekspresi pE6 dan E7. Pada infeksi
persisten HPV 16 (E6 dan E7) didapatkan CTL yang kurang,
sehingga disimpulkan CTL sangat penting untuk menghilangkan
infeksi HPV 16.

Peran sitokin antiviral dan antiproliferatif.


Pada siklus infeksi , pada dasarnya ikut serta dengan
keratinosit. Keikutsertaannya sejak awal mulai dari sel basal
primitif dalam epithel dan berlangsung terus sampai berakhirnya
diferensiasi sel skuamosa. Sel epithel merupakan pertahanan
mekanis awal . ( Stanley M,et.al.2008(25 )
Keratinosit mensekresikan sitokin dalam jumlah yang
sedikit, termasuk sitokin pro-inflamasi, growth factorsserta
kemokin yang dapat meningkat akibat berbagai rangsangan.
Sitokin mempunyai peranan penting dalam memodulasi respons
immun. Termasuk sitokin/kemokin antara lain : IL-2, IL-3, IL-4, IL6, IL-10 dan IL-12 serta transforming growth factor (TGF- ) ,
TNF ( tumor necroting factor), IFN- dan IFN- (interferon) yang
di produksi oleh sel epithel dapat menghambat proliferasi
keratinosit
yang terinfeksi dengan HPV. Termasuk juga
menghambat gen HPV E6 dan E7. Gen/protein E6 berperan
menghancurkan p53 melalui ubiquitin mediated proteolysis,
sedang pE7 berinteraksi dengan pRb yang berperan meregulasi
siklus sel.
Transforming growth factor (TGF- ) mampu
menghambat sel immortal HPV 16 dengan menekan gen c-myc.
Virus HPV 11 memperlihatkan overekspresi TGF- dan down
regulate bcl-2, c-myc, c-jun dan c-Ha-ras serta mengkode
ekspresi gen NFkB. Sitokin TNF mempunyai pengaruh
antiproliferasi pada sel keratinosit yang terinfeksi HPV 16. Tetapi
tidak berpengaruh pada sel keratinosit immortal yang terinfeksi
HPV 18. Seperti halnya TGF-, TNF juga mampu menekan
ekspresi pE6 dan E7 pada sel keratinosit immortal HPV 16. (Chang
DC,et.al. 2005(29)
Interferon termasuk IFN-, IFN- serta IFN- yang di
produksi sel T menunjukkan antiproliferatif terhadap sel
keratinosit immortal yang terinfeksi HPV 16. Interferon- (IFN- )
juga dapat menghambat ekspresi protein E7 HPV 16, tetapi tidak

berpengaruh pada ekspresi E6. Dapat juga menghambat ekspresi


pE6 dan E7 dari HPV 18.(Burd EM, 2003(17)
Interferon- (IFN-) dapat menurunkan transkripsi gen E6 dan E7
HPV 16 pada keratinosit HPK-1A tapi tidak demikian dengan IFN-
dan IFN-.
Interferon- (IFN- ) menghambat transkripsi gen E6 dan E7 HPV
16, HPV 18 dan HPV 33 yang disertai hambatan pertumbuhan
keratinosit immortal, namun IFN- tidak demikian. Interferon-
juga dapat menghambat proliferasi pertumbuhan HPV 16 dengan
konsentrasi 10-100 kali lebih tinggi dari normal. (Stanley M
2008,et.al.(25)
Sel tumor diduga tidak terpengaruh oleh efek sitokin
antiproliferasi pada sel immortal ,juga sitokin proinflamasi tidak
berpengaruh pada sel yang immortal. Setelah transformasi
maligna/keganasan, terjadi resistensi terhadap pengaruh IFN. Sel
yang terinfeksi HPV dapat lepas dari pengaruh sitokin
proinflamasi.(Chen J, Guoying Ni, 2011(30)
Peningkatan tumorigenesis menurunkan ekspresi TNF.
Pelepasan reseptor TNF solubel tipe 1 meningkat pada sel
tumorigenik. Pengukuran reseptor TNF solubel tipe 1 dan 2
meningkat dalam serum terinfeksi, sehingga disimpulkan bahwa
reseptor solubel TNF memfasilitasi pertumbuhan lesi. Protein E7
mampu menghambat ekspresi INF-, melalui penghambatan pada
translokasi p48 yang merupakan komponen ikatan DNA-IFN-.
Dari beberapa hal diatas, dapat disimpulkan bahwa sel tumor
mempunyai kemampuan untuk menghindari dan menghambat
ekspresi sitokin proinflamasi.

Mekanisme HPV Menghindar dari Respons Imun


Infeksi virus HPV yang progresif berkembang dari tingkat
dysplasia serviks menjadi kanker serviks invasive hanya berkisar

kurang lebih 12 %saja. Setelah virus masuk melalui lesi kecil pada
daerah SSK dan mencapai sel target yaitu sel basal, makrofag
sebagai pertahanan awal akan memfagosit virus HPV agar dapat
membunuhnya. Akan tetapi virus HPV tidak mati bahkan virus
mempunyai kesempatan melakukan replikasi dalam makrofag.
Telah diketahui bahwa untuk replikasi maka , virus HPV harus
memerlukan DNA , protein dan energy dari host. Virus
mempunyai beberapa sifat dalam proses infeksi antara lain
(Martin MP et.al.2005(23) :
1. Dapat menginfeksi sel/jaringan tanpa menimbulkan respons
inflamasi
2. Dapat berkembang biak dalam sel host tanpa merusaknya.
3. Dapat mengganggu fungsi khusus sel terinfeksi tanpa
merusak secara nyata.
4. Merusak sel atau mengganggu perkembangan sel host.
Pada infeksi yang persisten, HPV berupaya lolos dari sistim imun
sehingga dapat bertahan bahkan menyebabkan perubahan
seluler seviks kearah dysplasia selanjutnya menjadi kanker.
Beberapa faktor yang sangat menunjang virus HPV lolos dari
sistim imun antara lain (Kanodia S, et.al.2007(31) :
-1. Virus HPV bersifat non-lytic dan tidak menampakkan signal
pro-inflamasi, hingga tidak mengaktifkan sel DC ( sel dendritik)
sehingga tidak menginduksi migrasi sel ini pada daerah lokal
infeksi. Infeksi HPV yang non- lytic sebabkan terbatasnya produksi
antigen sehingga meminimalkan reaksi sistim imun adaptif.
Ekspresi protein E sangat rendah. Kesemuanya memberi sinyal
pro-inflamasi yang buruk sehingga mengurangi respons imun
host.
-2. Virus HPV dapat mengurangi kode genetik yang berlebihan
untuk kontrol produk gennya. Melalui kontrol mekanisme
transkripsi dan translasi dan mencegah ekspresi gen L pada
lapisan basal epithel, dapat menghindarkan deteksi respons imun.

-3. Sel T sangat penting mengontrol infeksi HPV dan menginduksi


tumor. Supresi imun atau defisiensi imun memberi peluang HPV
menginduksi tumor/kanker. Virus HPV mengganggu pengenalan
antigen untuk membentuk peptida-MHC complex. Protein
peptide E6 dan E7 tidak diekspresikan oleh HPV + sel tumor
sehingga lolos dari cytotocxic T cell (CTL).
-4. Mengganggu fungsi interferon. Interferon- diekskresi oleh sel
imun untuk meregresi infeksi HPV. Peran antiviral dan respons
imun dan control sel tumbuh diekspresikan oleh IFN dan ISG ( IFNstimulated gene) serta sitokin yang berikatan dengan ISRE (IFNstimulated response element). Protein E7 HPV dapat menghambat
ISRE. Juga IFN tidak dapat menginhibisi transkripsi dari E6/E7
RNA. Protein E7 menekan IRF-1 (IFN-regulatory factor-1), protein
E6 menghambat fungsi IRF-3.
-5. Protein E6/E7 menghambat produksi mediator imun.
Menghambat kemokin MCP-1( monosit chemo attractant protein1) yang menarik monosit, memory sel T dan NK sel. Menekan
produksi IL-8 dan IL-18 yang berperan sebagai chemo attractant
untuk neutrofil, basofil dan sel T.
-6. Mengalihkan profil sitokin, dengan cara meningkatkan level
dari IL-10 yang menekan respons imun melawan infeksi HPV.
Perubahan profil sitokin mengarah pada kondisi immunosupresi
dan menyebabkan HPV menginduksi terjadinya kanker serviks.
-7. Mengatur molekul adhesive pada APC (LC). Molekul adhesive
pada LC antara lain : E-cadherin, ICAM-I, VCAM-I, LFA-3. Protein
HPV dapat menekan ekspresi molekul adhesi tersebut. Protein E6
dapat menekan ekspresi E-cadherin dalam sel keratinosit dan
secara tidak langsung membatasi presentasi antigen virus untuk
sel LC.
-8. Mengatur signal intraseluler. Protein HPV menginhibisi LC
dengan menekan aktifnya PI3-K ( phosphoinositide 3 -kinase) dan
menekan MAPK (mitogen-activated protein kinase).

-9. Menginhibisi migrasi APC. Melalui penekanan pada ekspresi


MIP-3 alpha ( macrophage inflammatory protein-3 alpha) yang
dihasilkan oleh sel epidermal yang mengalami inflamasi.
-10.Mencegah Apoptosis sel yang terinfeksi.

Peran HR-HPV Sebagai Karsinogen Pada Kanker Serviks


Infeksi virus HPV pada serviks memproduksi koilositotik
atapia. Pada perkembangan lebih lanjut, terjadi perubahan yang
disebut dysplasia atau CIN ( cervical intraepithelial neoplasia).
Selanjutnya dysplasia juga mempunyai arti sebagai maturasi
abnormal dan terbagi menurut gradasinya. Dysplasia dapat
berkembang menjadi kanker serviks invasive. Dysplasia ditandai
oleh adanya sel imatur, disorganisasi seluler, inti abnormal, dan
peningkatan aktivitas mitosis. Displasia terbagi dalam 3 gradasi
yaitu : CIN I atau LGSIL dan CIN II serta CIN III atau HGSIL.
(Bosch FX,et.al.2002(32)
Banyak infeksi virus HPV pada serviks ( dengan sel
abnormal atau tidak ) menghilang atau disupresi oleh cellmediated
immunity setelah satu sampai 2 tahun setelah
terpapar. Sekitar
80-85 % displasia ringan (LGSIL) dapat
menghilang setelah 5 tahun tanpa diobati . Aktivasi sistim
immune memegang peran penting pada proses regresi ini.
Regresi spontan pada LGSIL sebesar 40 % setelah 2-3 tahun ,
pada HGSIL sekitar 20 % kembali ke gradasi LGSIL. Gradasi
HGSIL berkembang menjadi kanker serviks sebesar kurang lebih
66 % setelah 2-3 tahun. (Dinesh Gupta, 2010(15).

Gambar 9. Mekanisme karsinogenesis virus HPV menginfeksi sel


normal
dan berkembang menjadi sel dysplasia
low grade
( LGSIL) dan high grade (HGSIL) selanjutnya kanker serviks.
(dikutip dari Bosch FX,Lorincz A,Munoz N,Meijer CJLM,Shah KV.
The causal relation between human papllomavirus and cervical
cancer.(2002 (32)
Human Papilloma Virus yang menginfeksi sel basal epithel
serviks akan mengsintesa protein untuk pembentukan partikel
virus baru.
Sel epithel yang terinfeksi akan mengaktifkan
mekanisme pertahanan seluler untuk memperbaiki rangkaian
DNA sebelum membelah lebih lanjut. Proses ini terjadi sementara
dalam fase siklus sel. Ini diatur oleh protein kaskade antara p53
dan pRb. Pada sel yang mengandung lokasi virus DNA akan
masuk dalam proses kontrol untuk diperbaiki kerusakannya atau
dieliminasi oleh p53 dan pRb. Sehingga sel yang terinfeksi masuk
dalam program kematian sel atau apoptosis, untuk mencegah
perkembangan sel yang terinfeksi. (Longworth MS,et.al.2004(33).
Virus HR-HPV mempunyai protein untuk menghambat
sistim pertahanan seluler tersebut. Gen transformasi virus E6
dan E7 menghambat
kontrol sel untuk proliferasi sejak

terekspresi dalam jaringan. Onkoprotein E6 akan berikatan


dengan p53 menghambat kontrol tumbuh dan diferensiasi sel ,
sebagian menstimulasi
p21 dan p 16 sehingga
siklus sel
berlanjut ke fase S. (Bosch FX,et.al.2002(32) Demikian juga
yang berlaku
pada pRb oleh pE7. Selain tidak mampu
mengeliminasi virus DNA juga kehilangan fungsi melakukan
perbaikan DNA rusak. Pada waktu yang sama juga hilang atau
berkurangnya
ekspresi
molekul
kelas
I
complex
histocompatibility, dimana kehilangan pengenalan terhadap
presentasi antigen permukaan. Perubahan yang disebabkan oleh
HPV ini dapat menerangkan mengapa sel kanker lepas dari
kontrol sistim immun seluler. (Burd EM, 2003(17)
Virus HPV tidak mempunyai reseptor spesifik tapi
mempunyai permukaan molekul dengan fungsi vital
yang
menyebabkan tidak dapat mencegah target infeksi. Infeksi virus
dengan jumlah yang banyak menjadikan sistim immun tidak
dapat mengeliminasi seluruhnya.Sehingga peluang transformasi
neoplastik makin besar. Walaupun demikian infeksi dengan
jumlah virus sedikit tapi persisten tetap memberi peluang
terjadinya tumor.(Howley PM,et.al.2001(34) Secara umum virus
DNA terintegrasi dan terfragmentasi dalam genom sel host .
Bagian virus DNA yang terbelah pada daerah E2 menghilangkan
kapasitas area pengaturan untuk ekspresi genetik virus.
(Rodriquez C,et.al. 2009(12)
Beberapa karakteristik yang menyokong peran HR-HPV
menginduksi sel host menjadi kanker serviks antara lain : (Bosch
FX,et.al.2002(32)
-Selalu ditemukan adanya HPV DNA dalam sel neoplastik pada
biopsi jaringan
tumor.
-Adanya ekspresi onkogen virus, pE6 dan Pe7 dalam material
tumor.
-Adanya material transformasi dari pE6 dan pE7

- Dibutuhkannya ekspresi pE6 dan pE7 untuk mempertahankan


kelangsungan
fenotip keganasan sel kanker serviks.
- Adanya interaksi onkogen virus dengan protein yang mengontrol
pertumbuhan
sel host.
- Pada penelitian epidemiologik infeksi HR-HPV adalah faktor
utama untuk
perkembangan kanker serviks.

Bentuk perubahan transkripsi pada lesi terjadi peningkatan


sesuai derajat beratnya. Seluruh ORFs (E1-E7) terekspresi pada
awal lesi, tapi ekspresi ORF E4 dan E5 tidak ditemukan pada
kanker invasif.
Protein E6 dan E7 mempunyai kemampuan
transformasi. Kedua protein ini selalu intak dan tetap terekspresi
pada sel kanker serviks, sel yang telah ditransformasi oleh HPV.
Keduanya terekam pada level yang tinggi pada lesi derajat tinggi
(HGSIL) dibanding pada LGSIL. Pada lapisan sel , DNA HPV
terintegrasi pada DNA sel host.(Burd EM, 2003(17)
Pengaruh onkogen
serviks

virus HPV

pada kejadian

kanker

Virus DNA membawa onkogen yang terletak dalam


genomnya dan dapat mentransformasi sel host yang terinfeksi.
Virus DNA
menggunakan onkoproteinnya sebagai komponen
kunci merusak control/regulasi
sel tumbuh secara normal.
Pertumbuhan sel secara normal sebagian besar diatur oleh 2
protein selular yaitu protein supresor tumor p53 dan pRb.
Onkoprotein E6 akan mengikat p53 dan onkoprotein E7 akan
mengikat pRb. Ikatan pE7 dengan pRb dalam bentuk fosforilasi
akan mengurai pRb-E2F sehingga pE2F menjadi bebas.. Protein
E2F adalah protein factor transkripsi pada fase S dari siklus sel.
Sehingga memicu transkripsi gen masuk dalam fase S siklus sel
tanpa melalui proses normal.
Protein E2F yang bebas akan
merangsang siklus sel berlangsung terus melalui mekanisme

aktivasi proto-onkogen c-myc dan N-myc. Akibatnya siklus sel


berlanjut tanpa control. (Faridi R,et.al.2011(1) Pada proses
regulasi siklus sel di fase G0 dan G1, TSG pRb juga diikat oleh pE7
sehingga pE2F bebas maka mekanisme aktivasi terjadi juga.
Produk gen HPV E7 berikatan dengan bentuk fosforilasi pRb.
Produk gen E7 dapat berinteraktif dengan protein seluler seperti
cyclin E dan menstimulasi sintesa DNA dan proliferasi sel.
Peningkatan integrasi dan produksi protein E6 dan E7 dalam
progresivitas perubahan sel menjadi kanker bergantung pada
integrasi TSG ( tumor suppressor gen ) : hTERT (human
telomerase reverse transcriptase), p53 dan pRb protein. Protein
hTERT adalah sub unit katalis dari telomerase yang berperan
pada sintesa akhir telomer rangkaian kromosome pada saat
replikasi DNA.(Ferber MJ,et.al.2003(35) Telomerase adalah gen
yang mempengaruhi batas umur suatu sel. Semakin panjang atau
perpanjangan telomerase akan meningkatkan umur sel.(Wang
PH,et.al.2006(7). Tidak sama dengan kanker lainnya , p53 pada
kanker serviks biasanya dalam bentuk wild type dan tidak
dalam keadaan mutasi. Produk gen HPV E6 berikatan dengan p53
sebagai target untuk mempercepat degradasi melalui cellular
ubiquitin ligase. Interaksi p E6 dengan p53 tidak secara
langsung, tetapi dimediasi oleh protein seluler yang disebut E6
associated protein ( E6AP). Protein E6AP ini adalah ubiquitin
protein ligase.
Degradasi ini efeknya sama dengan inaktivasi
karena mutasi. Akibatnya aktivitas normal dari p53 sebabkan
arrest G1, apoptosis dan repair DNA terhambat.
Kemampuan protein E6 dan E7 secara bersama-sama dan
efektif menyebabkan sel keratinosit immortal. Keadaan ini
merupakan kharakteristik dari HPV high risk dan tidak pada low
risk. Protein HPV E6 low risk tidak berikatan dengan p53. Produk
gen HPV E7 berikatan dengan bentuk fosforilasi pRb. Ikatan ini
memutuskan ikatan kompleks pRb dengan factor cellular
transcription E2F-1, sebabkan E2F-1 bebas. Sehingga memicu
transkripsi gen masuk dalam fase S siklus sel tanpa melalui

proses normal. Produk gen E7 dapat berinteraktif dengan protein


seluler seperti cyclin E dan menstimulasi sintesa DNA dan
proliferasi sel. (Burd EM, 2003(17)

Gambar 3.
Pengaruh protein E6 dalam proses siklus sel serta
inaktivasi p53 yang menginduksi sel terinfeksi HPV menjadi
immortal. ( dikutip dari Burd EM.Human Papillomavirus and
Cervical Cancer,2003)(17)
Onkogen yang bersifat mutagen dan masuk dalam sel
target sebabkan mutasi proto-onkogen . Onkogen akan
menginduksi sel mutan baru untuk bertumbuh menjadi kanker.
Onkogen virus HPV adalah onkoprotein E6 dan E7. Onkoprotein E6
dan E7 diekspresikan sebagai poliprotein. Panjang asam amino
pE6 : 151 dan pE7 : 98 as. amino. Protein E6 terletak dimatriks
nucleus dan membrane nonnuclear. Protein E6 mempunyai 2
daerah ikatan dengan zink. Dapat mengikat lebih dari 12 macam
protein. Ekspresi E6 dapat sebabkan sel immortal. Protein E6
mengikat p53 sebagai TSG( tumor suppressor gen) hingga
regulasi siklus sel, arrest maupun apoptosis terhambat. Pada
kerusakan DNA oleh sebab eksogen termasuk virus, p53

teraktivasi
dan sebabkan sel arrest atau masuk program
apoptosis. Bila p53 diikat oleh pE6, fungsi ini gagal dan terjadi
peningkatan proliferasi sel.
Protein E6 juga meningkatkan
telomerase melalui ikatan kompleks dengan Myc/mac protein
dan Sp-1 yang akan mengikat enzyme htert (human reverse
transcriptase) sebabkan aktivitas telomerase hingga sel terus
berproliferasi dan immortal.(Wang PH,et.al.2006(7)
Protein E7
terdapat terutama di nucleus, dapat berikatan dengan family pRb.
Fungsi protein pRb adalah mengatur siklus sel. Protein Rb terikat
dengan factor transkripsi E2F-DP . Protein pRb terdiri dari protein
: p 107, p 120 dan p 130. Protein Rb yang tidak difosforilasi dalam
kompleks dengan factor transkripsi E2F-DP dan mengakibatkan
represi transkripsi. Protein Rb bila berikatan dengan pE7 akan
melepaskan E2F-DP dan sebabkan replikasi sel basal/suprabasal.
Protein E2F yang bebas akan merangsang siklus sel melalui
aktivasi proto-onkogen c-myc dan N-myc dan mengakibatkan
siklus sel berlangsung tanpa control. Protein E7 dapat mengikat
cyclin A dan E serta juga berikatan dengan p 21 dan p 27
sehingga meningkatkan proliferasi sel. Protein p 21 dan p 27
adalah cdk inhibitor (cdk 1 ). Ikatan dengan pE7 akan
mengaktifkan cdk. Ikatan pE7 dengan HDACs ( hystone dacetylases) sebabkan sel
immortal . Kombinasi mekanisme
tersebut diatas mendorong transformasi keganasan sel (serviks).
Kegagalan control siklus sel awal perkembangan ke arah kanker.
Kanker berkembang dari beberapa mutasi yang bebas. Virus DNA
dapat menyebabkan mutasi dan transformasi sel yang terinfeksi.
Virus mampu mengintegrasikan informasi genetiknya kedalam
DNA sel host. Akibat integrasi tersebut sebabkan produksi
berubah dan disebut protein transformasi. Integrasi DNA virus
dan DNA host akan menyebabkan mutasi sel dan ini merupakan
awal proses transformasi sel. (Raybould R,et.al.2011(36).

Gambar 4. Patogenesis dari onkogenik HPV. Gen HPV E6 dan E7


mengkode protein multifungsi dan berikatan dengan p53 seluler
dan protein pRb , merusak fungsi keduanya dan merubah jalur
pengaturan siklus sel menuju ke transformasi seluler. (dikutip dari
Burd EM. Human Papillomavirus and Cervical Cancer,2003)(17).
Pada sel yang berubah, DNA HPV terintegrasi kedalam satu atau
lebih kromosome. Pada proses integrasi, pE2 tidak berfungsi
sehingga merangsang aktivitas pE6 dan pE7. Target gen untuk
beberapa mutasi terbagi dalam 2 kategori. Pertama,peluang
mutasi gen akan
meningkat bila sel terakumulasi
mutasi
selanjutnya. Perubahan akan meningkat bila lesi gene
terakumulasi dan memberi
kontribusi pada perubahan
neoplastik. Kedua, secara langsung gen dipengaruhi oleh kontrol
tumbuh dan sifat seluler. (Raybould R,et.al.2011(36) Perubahan
fungsi p53, kerusakan DNA , stimulasi growth factor, regulasi
negative atau mutasi dari TSG dll. Fosforilasi pRb berhubungan
dengan kehilangan fungsi supresi gen. Cyclin A dan E, p34-cdc2
dapat memfosforilasi Rb. Stimulasi proliferasi oleh CSF 1 (colony
stimulating factor 1) menginduksi G1-cyclin dalam makrofag.

Transforming growth factor (TGF ) adalah inhibitor tumbuh.


Ekspresi TGF menurun oleh c-myc (proto-onkogen). TGF
mencegah fosforilasi pRb hingga terjadi status supresi. (Martin
MP,et.al.2005(23)
Apoptosis
Apoptosis adalah mekanisme penghancuran sel sendiri
yang diprogram secara aktif untuk pengaturan keseimbangan
siklus sel. Program ini diatur oleh sel sendiri dan lingkungannya
untuk proliferasi dan kematian sel. Bila proliferasi berlebihan
atau tanpa halangan akan mengarahkan pada fenotip neoplastik.
Sel apoptotic akan difagosit. Perubahan sel pada apoptosis :
1.shrinkel sel (penyusutan). 2. Kondensasi dan marginalisasi serta
fragmentasi kromatin, 3. Retensi struktur organel sitoplasma.
Induksi apoptosis mulai dari interaksi reseptor permukaan sel dan
ligannya. Beberapa aktivasi apoptosis, fibroblast dengan TNF
(tumor necrosis factor), hepatocyte oleh TGF- 1 (transforming
growth factor-1), monosit oleh IL-4 dan neutrofil oleh IL-6. Dalam
immune sistim control limfosit T dan B adalah utama dalam
mekanisme apoptosis. (Sondel PM,et.al.2001(19) Sitotoksik
lmfosit T melawan benda asing termasuk virus dan mikroba.
Target sel apoptosis dinduksi secara cepat, fragmentasi DNA
terjadi beberapa menit setelah CTL berikatan dengan sel target.
Sel CTL menginduksi apoptosis melalui : 1. Sekresi aktif molekul,
perforin dan granzymes.2. Berikatan dengan reseptor target
sel,Fas (APO-1) yang bereaksi silang dengan monoclonal antibody
yang menginduksi apoptosis dengan antigen pada permukan sel.
Tyrosine fosforilasi , generasi dari inositol fosfat,yi : protein kinase
C (PKC), AMP-dependent protein kinase (PKA) dan ceramide juga
Ca2+ ionophore sebagai messenger kedua untuk apoptosis. Salah
satu gene yang berperan adalah p53. (Gregory CD,et.al.1996(37)
Virus HPV menghalangi apoptosis dengan menghambat
fungsi p53. Peran virus onkogenik menekan apoptosis sangat
berhubungan dengan
perkembangan
penyakit neoplastik.

Jumlah sel tidak hanya oleh pembelahan sel, tapi berhubungan


dengan keseimbangan produksi dan kematian sel. Perkembangan
neoplastik berhubungan dengan peningkatan promosi proliferasi
sel dan hambatan pada kematian sel. Hambatan pada proses
kematian sel ada 2 hal yaitu : 1. Supresi gen untuk hambat
apoptosis dan 2. Aktivasi gen untuk promosi penghambatan
apoptosis. Jadi inhibisi apoptosis memberi kontribusi ke
onkogenesis melalui beberapa mekanisme seperti gen kematian
dan regulatornya, tumor suppressor gene, apoptosis antidotes
seperti bcl-2. Hambatan peran p53 untuk mengontrol kerusakan
DNA meliputi repair DNA atau apoptosis member kontribusi kuat
untuk tumorigenesis. Onkogenik bcl-2 mempromosi proliferasi
dan menyebabkan survival sel menjadi lebih panjang. Kombinasi
bcl-2 dan c-myc meningkatkan perkembangan tumor. Protein
produksi dari proto-onkogen c-myc adalah Myc, yang mempunyai
2 fungsi yaitu proliferasi atau mengarahkan apoptosis. Protein
Myc dengan bcl-2
mengekspresikan ke onkogenik.(Howley
PM,et.al.2001(34)

Gambar
6.
Jalur ke neoplasia dari low ke high grade
malignancy berdasarkan perubahan keseimbangan antara
proliferasi dan apoptosis. (dikutip dari Gregory CD,et.al..
Apoptosis : A Role in Neoplasia )(37)

Jadi proses inhibisi apoptosis dapat member kontribusi pada


onkogenesis melalui banyak mekanisme termasuk kematian sel
dan regulatornya, gen tumor supresor, dananti dotum apoptosis
seperti bcl-2. Sebagai pemahaman bahwa banyak respons
pengobatan sangat tergantung pada efek control dari proses
apoptosis yang mempunyai kharakteristik pengaturan jumlah sel.
Penyokong fungsi
gen untuk kematian sel dan gen tumor
supresor dalam pathogenesis dari tumor sangat penting. Seperti
peran p53 gen dalam memprogram apoptosis pada kerusakan
DNA atau memberi kesempatan perbaikan DNA sebagai fungsi
control pada fase siklus sel.. Kegagalan control ini akan memberi
kontribusi signifikan pada proses tumorigenesis.
Potensi
gabungan bcl-2/c-myc mengarahkan pada perkembangan tumor.
Protein hasil/produk dari proto-onkogen c-myc yaitu Myc,
adalah sebagai activator transkripsi saat DNA berikatan dengan
propertinya akan meningkat setelah heterodimer dengan
pasangan nuklearnya, Max. Beberapa fungsi Myc antara lain
dapat juga mempengaruhi proliferasi atau apoptosis.Apabila ada
sinyal survival sel yang efektif maka Myc akan mengekspresikan
proliferasi. Adanya bcl-2 melakukan deregulasi c-myc sehingga
menunjukkan
perubahan
potensi
onkogenik.(Gregory
CD,et.al.1996(37)
Respons immune terhadap sel kanker serviks
Peran sistim immune pada kejadian kanker berdasarkan
pada :
-Beberapa tumor tertentu dapat sembuh secara
spontan/mengalami regresi spontan. -Pada pemeriksaan otopsi ,
insidens keganasan tertentu kira-kira 40 kali lebih tinggi dari

kejadian kilinik. -Pada penderita dengan defisiensi immune atau


yang mendapat pengobatan immunosupresi , kejadian keganasan
sangat
meningkat. Misalnya insidensi sarcoma Kaposi pada
HIV/AIDS. (Nicol AF,et.al.2005(18).
Sistim immune yang berperan adalah sistim immune alami
dan sel T spesifik. Reaksi timbul terhadap antigen baru atau
yang diubah pada ermukaan sel tumor. Sehingga berperan pada
ketahanan perkembangan dan pertumbuhan progresif tumor.
Mekanisme immune yang merespons sel tumor pada dasarnya
sama dengan mekanisme melawan sel/benda asing lainnya.
Pemahaman dasar adalah konsep dimana secara kimiawi sel
tumor memiliki antigen pada sel permukaan yang berbeda baik
secara kuantitatif maupun kualitatif disbanding sel host normal.
Protein, lemak dan karbohidrat dapan tersimpan sebagai material
tumor terkait antigen (TAA). Beberapa TAA dapat dikenali oleh
host untuk resistensi tumor spesifik dalam menekan pertumbuhan
tumor. Tumor yang yang tumbuh spontan sulit dikenal atau
direspons oleh sistim immune dibanding tumor yang di inisiasi
oleh virus atau bahan kimiawi.(Martin MP,et.al.2005(23). Respons
pada antigenitas tumor dan pada immunitas tumor spesifik
sangat serupa dengan yang terjadi pada reaksi penolakan allograf
yang melibatkan sistim antigen transplantasi. Antigen tumbuh
dalam beberapa tumor dan spesifik untuk setiap tumor atau
kelompok tumor. Antigen ini disebut TATA ( Tumor associated
transplantation antigen) atau TAA ( tumor associated antigen).
Keduanya adalah antigen permukaan sel dan membangkitkan
respons immune spesifik. Antigen ini ada dibawah pengaruh
genetic dan dapat diturunkan pada sel turunannya. Host memiliki
mekanisme respons immune spesifik dan non spesifik. Pada
penolakan tumor, respons immune diarahkan terhadap
pemeliharaan homeostasis. Homeostasis dapat diubah kearah
pembentukan tumor atau kearah yang menguntungkan host.
Hambatan yang terjadi karena sel kanker/tumor tidak merespons
lagi regulasi yang mengatur pengendalian sel secara normal. Sel

tumor membentuk bermacam-macam produk khusus. Beberapa


produknya merupakan antigen tipe transplantasi ( TATA). Produk
yang lain menggambarkan ekspresi virus. Produk lain berupa
enzim, kolagenase tipe IV, juga factor lain yang dapat
menghindari mekanisme pertahanan host seperti kemotaksis,
fagositosis, fungsi makrofag, fungsi limfosit dan mediator untuk
ekspresi immunitas seluler.(Sondel PM,et.al.2001(19)
Imunitas seluler spesifik pada sel kanker serviks
Sel tumor dapat dimatikan oleh sel limfosit spesifik. Sel
limfosit T-sitotoksik reaktif terhadap antigen sel permukaan. Sel T
immune tumor spesifik mengenal antigen terkait tumor (TAA)
dalam kaitan dengan antigen kompleks histokompatibilitas mayor
(MHC). Immunitas tumor juga ditunjukkan terhadap antigen
terkait membrane atau antigen yang dilarutkan oleh transformsi
limfosit atau oleh pelepasan mediator seperti MIF atau LIF dari
limfosit yang tersensitisasi. Faktor lain seperti RNA imun dan
interferon merespons antigen tumor. Respons sel T bergantung
pada interleukin. Gangguan pada makrofag untuk memproduksi
IL-1 , kerjasama subset sel T berkurang, produksi IL-2 yang
menurun akan mengurangi respons immune terhadap sel tumor.
Imunitas humoral terhadap sel kanker serviks
Imunitas humoral adalah antibody spesifik untuk antigen
tumor.
Antibodi spesifik terhadap antigen tumor membunuh sel
sasaran (tumor) melalui 2 cara : (Sondel PM,et.al.2001(19)
-1. Bergantung komplemen. Antibodi IgG atau antibody IgM
mengikat sisi antigenic pada sel sasaran dan mengaktifkan reaksi
berantai komplemen. Komplemen-komplemen terminal C8 dan C9
menyebabkan lysis dengan jalur klasik.
-2. Tidak bergantung pada komplemen. Dikenal sebagai reaksi
sitotoksik seluler tergantung antibody. Bila antibody IgG spesifik

tumor mengikat sel sasaran membrane , ada perubahan pada sisi


Fc dari rantai berat. Berbagai macam sel efektor dengan reseptor
untuk bagian Fc IgG kemudian dapat mengikat pada sel tumor
yang diselubungi antibody dan menyebabkan lysis. Sel efektor
utama adalah makrofag dan sel NK, yang merupakan limfosit
granuler besar .
Ada juga imunitas alami yang berperan untuk menekan
pertumbuhan sel tumor . Imunitas alami ini tidak bergantung
pada pemaparan awal sel tumor. Sistim imun alami merupakan
bagian multifaset. Termasuk sistim ini al : makrofag, sel NK, selsel efektor sitotoksik lainnya, granulosit, dan antibody alami.
Komponen-komponen sistim immun ini membentuk garis
pertahanan pertama melawan sel tumor dan bahan/benda asing
lain seperti mikroba. Monosit dan makrofag mempunyai reaksi
sitotoksik secara spontan terhadap berbagai macam sel
tumor.Reaksi terhadap sel tumor tidak bergantung pada
pengenalan TAA (antigen terkait tumor) tetapi bergantung pada
beberapa struktur permukaan yang diekspresikan oleh sel tumor.
(Sondel PM,et.al. 2001(19)

Perkembangan kanker serviks


Displasia Serviks
Perkembangan kanker serviks mulai dari tingkat prakanker atau dysplasia serviks. Lesi pra-kanker ini dikenal sebagai
CIN (Cervical Intraepithelial Neoplasia ) atau NIS (Neoplasia
Intraepithel serviks). Lesi ini merupakan awal dari perubahan
menuju kanker serviks.
Lesi ini ditandai dengan adanya
perubahan displastik epithel serviks. Secara klasik berkembang
mulai dari NIS I ( CIN I) kemudian NIS II (CIN II) selanjutnya NIS III
(CIN III) dan terakhir kanker serviks invasif. Skrining untuk
pemeriksaan lesi pra-kanker ini secara sederhana adalah
pemeriksaan Pap smear. Pemeriksaan ini dilakukan sekitar 3

tahun setelah seorang wanita melakukan hubungan seksual.


(Massad LS,et.al.2009(38)
Konsep regresi spontan ataupun lesi yang persistent
menyatakan bahwa tidak semua lesi pra-kanker akan
berkembang menjadi lesi yang invasif. Mekanisme terjadinya
regresi belum jelas. Diduga adanya aktivasi dari TLR 7 ( Toll-like
receptor) dan TLR 8 yang mempromosi inflamasi lokal dan
menginduksi regresi yang berhubungan dengan HPV. ( Frazer
I,et.al.2006(39)
Untuk memudahkan penilaian sitologi klasifikasi
Bethesda memperkenalkan dua kategori untuk lesi pra-kanker
yaitu LGSIL ( Low Grade Squamous Intraepithelial Lesion) dan
HGSIL (High Grade Squamous Intraepithelial Lesion ). Lesi LGSIL
setara dengan NIS I, sedangkan HGSIL setara dengan NIS II dan
NIS III. Dikategorikan derajat rendah karena NIS I hanya kira-kira
12 % yang berkembang menjadi derajat lebih berat.Selanjutnya
pada NIS II dan III, resiko menjadi kanker serviks lebih besar.
( Randall ME,et.al.2005(40)
Terdapat hubungan yang kuat antara derajat NIS dan
infeksi HPV. Pada NIS I atau LGSIL infeksi HPV yang dijumpai
adalah tipe 6 atau 11. Karenanya tidak menyebabkan
progresivitas kederajat yang lebih tinggi. Pada HGSIL terdapat
hubungan yang kuat dengan infeksi HPV tipe 16 atau 18 yang
mengandung onkoprotein. Karenanya infeksi infeksi tipe 16 atau
18 ini dapat langsung menyebabkan lesi NIS II tanpa melalui
derajat NIS I. Progresifnya lesi derajat tinggi (NIS 2 atau 3 )
menjadi kanker invasif biasanya berhubungan dengan adanya
konversi genom virus dari bentuk episomal menjadi bentuk
integrasi bersamaan dengan kehilangan atau inaktivasi pE2, seta
tidak ada ekspresi dari pE6 dan E7. ( Mahdavi A,et.al.2005(41)
Kecepatan tumbuh kanker ini tidak sama dari satu
kasus dengan lainnya. Semakin dini penyakit ini dikenal dan

diobati hasilnya akan lebih optimal. Faktor prognosis tidak


berhubungan dengan tipe
HPV. Tumor dengan HPV 18
mempunyai hubungan dengan tingginya rekurensi. Infeksi dengan
beberapa tipe HPV (multipel) sangat berhubungan dengan
kegagalan pengobatan. Tumor dengan HPV 18 yang dilakukan
pengobatan dengan operasi mempunyai tingkat rekurensi yang
tinggi. ( Schiffman M,et.al.2007(5)
Kanker serviks Invasif
Tanda dini kanker serviks tidak spesifik yaitu berupa
pengeluaran sekret vagina berlebihan, berbau, dapat disertai
bercak
perdarahan.
Tanda
yang
lebih
klasik
adalah
bercak/perdarahan pasca sanggama. Pada perkembangan lanjut,
perdarahan makin banyak dan berbau.Terjadi juga reaksi
peradangan nonspesifik. Berdasarkan pengelolaannya kanker
serviks dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu : stadium awal dan
stadium lanjut. Termasuk kelompok stadium awal adalah
tingkatan penyakit yang masih dapat dilakukan operasi secara
optimal atau radikal yaitu meliputi stadium I- IIa (operable) .
Stadium lanjut adalah termasuk stadium IIb- IV (non operable).
Pada tingkat stadium lanjut,
tumor telah menyebar ke
ligamentum latum sampai kedinding pelvis. Dapat ditemukan
gejala nyeri yang menjalar ke pinggul atau kaki. Juga dapat
melibatkan ureter atau nervus di pelvis. Keluhan lain dapat
berupa nyeri berkemih, hematuria, perdarahan dari rektum.
Penyebaran ke kelenjar getah bening daerah pelvis dapat
menyebabkan edema tungkai bawah. Dapat terjadi uremia bila
terjadi penyumbatan kedua ureter. ( Randall ME,et.al.2005(40)

Histopatologi
Kanker serviks terbanyak berjenis karsinoma sel suamosa yaitu
kurang lebih 85-90 %. Sisanya adalah jenis adenokarsinoma
/adenoskuamosa (10-15 %). Jenis histologi adenokarsinoma

dianggap mempunyai prognosis lebih buruk dari


skuamosa.
Demikian juga kelompok yang berdiferensiasi buruk mempunyai
prognosis yang lebih buruk dibanding lainnya.(
Randall
ME,et.al.2005(40 )
Jenis histopatologi yang dapat ditemukan :

Karsinoma sel suamosa :


-Dengan keratinisasi
-Tanpa keratinisasi
-Verukosa
Adenokarsinomatipe endoserviks
Adenokarsinoma endometrioid
Adenokarsinoma sel jernih
Karsinoma adenoskuamosa
Karsinoma kistik adenoid
Karsinoma sel kecil

Derajat diferensiasi :
-G1 : diferensiasi baik
-G2 : diferensiasi sedang
-G3 : diferensiasi buruk.

Tumor Marker
Tumor marker yang sering digunakan pada kanker serviks
jenis skuamosa adalah SCC ( Serum Skuamous Cell Carcinoma
Antigen ). Peningkatan
kadar SCC
sesuai dengan stadium
penyakit. Pada stadium I hanya sebesar 30-40 % saja yang
meningkat. Pada stadium II meningkat 60-70 % sedangkan untuk
stadium III atau IV meningkat 80-90 %. Kadar SCC juga
berkorelasi dengan bentuk tumor primer. Korelasi lebih baik pada
bentuk eksofitik dari pada yang ulseratif atau infiltratif. Juga

berkorelasi dengan diferensiasi sel yang sedang dan buruk. Pada


kasus stadium Ib dengan kadar SCC rendah mempunyai survival
lebih baik (96 % ) dibanding kasus dengan stadium sama yang
kadar SCC lebih tinggi ( 70 %). Kadar SCC tidak dapat dipakai
sebagai patokan adanya tumor residif secara klinik karena ada
keterlambatan peningkatan selama 6-7 bulan. Batas ambang
nilai normal kadar SCC adalah sebesar 1,5 ng/cc, tapi ada juga
penelitilain mengambil patokan 2,5-3,5 ng/cc. ( Chan
YM,et.al.2002(42)

Stadium Penyakit
Stadium kanker serviks ditentukan berdasarkan
pemeriksaan klinik yang terbaik dibawah pengaruh anestesi
umum.
Penentuan stadium ini harus mempunyai hubungan
kondisi klinis dan didukung oleh bukti-bukti klinis. Bukti klinis
lainnya adalah foto thoraks, pemeriksaan sitoskopi dan
rektoskopi. Penggunaan alat bantu diagnostik canggih seperti CTscan, MRI, PET-scan belum dapat dijadikan standard. Temuan
dengan CT-scan, MRI, atau PET-scan tidak mengubah stadium,
tetapi dapat digunakan sebagai informasi tambahan untuk
rencana pengobatan. Adanya invasi sel tumor kedalam pembuluh
darah atau lymph tidak mempengaruhi stadium.
Stadium Klinik Kanker Serviks berdasar FIGO 2000. (Randall
ME,et.al.2005(40)
Stadium 0
-Karsinoma insitu, karsinoma intraepithelial.
Stadium I
-Karsinoma terbatas di serviks
Stadium Ia -Invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali
secara mikroskop. Kedalaman lesi tidak lebih 5 mm dan
lebarnya tidak lebih 7 mm.
Stadium Ia1 -Invasi ke stroma tidak lebih dalam dari 3 mm
dan lebar tidak lebih dari 7 mm.

Stadium Ia2 -kedalaman invasi >3-5 mm dan lebar tidak


lebih dari 7 mm.
Stadium Ib
-Lesi terbatas di serviks, secara mikroskopik
lebih dari stadium Ia.
Stadium Ib1 -Besar lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm
Stadium Ib2 -Besar lesi secara klinis > 4 cm.
Stadium II
-melibatkan vagina tidak sampai 1/3 bawah,
ke parametrium belum sampai

dinding panggul.
Stadium Iia
-Melibatkan 2/3 atas dari vagina, belum ke
parametrium.
Stadium Iib
-Infiltrasi ke parametrium, belum sampai
dinding panggul.
Stadium III
-Telah melibatkan 1/3 bawah vagina, juga
mencapai dinding panggul.

Dapat ditemukan hidronefrosis atau


gangguan fungsi ginjal.
Stadium IIIa -melibatkan 1/3 bawah vagina, ke parametrium
belum capai dinding panggul.
Stadium IIIb
-Mencapai dinding panggul atau adanya
hidronefrosis atau gangguan fungsi

ginjal.
Stadium IV -Perluasan sampai ke luar organ reproduktif
Stadium IVa -Meluas sampai mukosa kandung kemih dan
atau mukosa rektum.
Stadium IVb Metastase jauh atau telah keluar rongga
panggul.

Diagnosis
Kanker serviks harus di diagnosis dengan pemeriksaan
histopatologi sebagai standar baku yaitu dengan pemeriksaan
jaringan tumor yang di biopsi. Pemeriksaan sitologi serviks
dengan Pap smear untuk mencurigai adanya lesi yang tidak kasat

mata . Lesi yang tidak kasat mata dapat di periksa dengan


bantuan pemeriksaan kolpokopi. Hasil pemeriksaan sitologi
/smear tidak dapat digunakan sebagai dasar penetapan
diagnosis. Biopsi yang baik lokasi pada daerah jaringan yang
masih sehat, bukan pada daerah nekrotis. Pemeriksaan tambahan
seperti pemeriksaan radiologi, sistoskopi dan rektoskopi dapat
membantu untuk penetapan stadium klinik. (
Randall
ME,et.al.2005(40)

Human Papillomavirus (HPV)


Human papillomavirus adalah virus DNA famili
papillomaviridae. Virion HPV tidak mempunyai envelope,
berdiameter 55 nm, mempunyai kapsid ikosahedral.( 8). Genom
HPV berbentuk sirkuler dan panjangnya 7900 bp. Mempunyai 8
ORFs yaitu 6 gen early (E) dan 2 gen late (L).
Berdasarkan onkogenitas maka HPV dibagi 2 yaitu : (De
Villiers EM,et.al. 2004(43)
-1. Kelompok low risk ( resiko rendah) dan 2. kelompok high
risk ( resiko tinggi).
Human Papilloma Virus Resiko Rendah
Papillomavirus tipe resiko rendah antara lain : tipe 6, 11, 42, 43,
44, 54, 61, 70, 72 dan 81. Papillomavirus resiko rendah cenderung
menyebabkan tumor jinak antara lain menyebabkan condyloma
acuminata pada serviks, vagina , vulva dan anus. Penyebab
terbanyak kelainan ini adalah tipe 6 dan 11. Diperkirakan sekitar
90 % condyloma ini disebabkan oleh HPV tipe 6 dan 11.
( Castellsague X,et.al. 2008(11). Papilloma larynx juga pada anak
disebabkan oleh tipe 6 dan 11. Warts atau kutil umum dapat
mengenai tangan, siku, lutut disebabkan oleh tipe low risk ini.
Human Papilloma Virus Resiko Tinggi ( HR-HPV ).

Papillomavirus resiko tinggi berhubungan dengan kejadian


kanker serviks. Infeksi dapat terjadi dengan satu atau lebih virus
HR-HPV .(Bosch FX,et.al.2006(4) . Secara klinis perubahan yang
ditemukan adalah berupa tahapan prakanker (prekusor kanker)
dan kanker serviks.
Kanker serviks berkembang mulai dari
daerah transformasi yang terinfeksi HR-HPV. Ada kira-kira 15
jenis onkogenik HPV yang telah diketahui yaitu : tipe 16, 18, 31,
33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 73 dan 82. ( Rodriquez
C,et.al.2009(12) Semuanya dapat menyebabkan kanker serviks
invasif. Papilloma virus resiko tinggi ini dikenal juga sebagai
onkogenik HPV DNA.
Telah dibuktikan bahwa
perubahan
intraepithelial neoplasia terjadi karena inisiasi dari infeksi HPV
onkogenik. Human papilloma virus genom diturunkan konsisten.
Pada sel kanker memperlihatkan peningkatan
ekspresi gen
tranfomasi virus (protein) E6 dan E7. Protein E6 dan E7 dari
onkogenik HPV mencegah peran TSG tumor suppressor gen
(protein) host sepeti p53 dan p RB yang berfungsi mengatur
pertumbuhan sel normal. Integrasi rangkaian gen HPV dalam
genom host menyebabkan perubahan pertumbuhan sel normal
menjadi invasif. Sistim kontrol sel target diganggu oleh E6 dan
E7.
Faktor yang dapat meningkatkan transformasi
keganasan antara lain : merokok yang lama, penggunaan oral
contraceptive yang panjang, adanya infeksi STD lain seperti
chlamydia trachomatis , trichomonas vaginalis. Infeksi virus
HPV pertama kali pada
sel basal dari epithel skuamosa.
Perkembangan kearah kanker serviks melalui 4 step yaitu :
transmisi HPV, viral yang persisten, perubahan progresif clone
sel yang terinfeksi menjadi pre-kanker dan terakhir invasif.
Genom

HPV

Human papilloma virus berukuran kecil, non-enveloped,


berdiameter sekitar 55 nm . Genom HPV
berbentuk sirkuler
terdiri dari double stranded DNA ( ds DNA) dan adalah histone

associated circular DNA dengan panjang kira-kira 7900 bp (base


pair) serta berkapsid. Informasi genetiknya hanya pada satu
rantai. Genom HPV hanya mengkode 8 gen ( 8 ORFs), yaitu 6
gen pada Early gen (ER) dan 2 gen pada Late gen (LR) . Genom
HPV terdiri dari 3 segmen yaitu 10 % terdapat dalam long
control region ( URR) yang berfungsi untuk regulasi ekspresi gen.
Gen early dikodekan 50 % serta gen late dikodekan 40 %.
( Burd EM, 2003(17).
Gen tersebut dikodekan dalam satu untaian DNA.
Genom HPV terbagi 3 bagian yaitu : (Castellsague
X,et.al.2008(11).
- Early Region (ER) , berisi gen yang mengkode protein
non-struktur. ER mengkode protein untuk bentuk virus atau
proses replikasi virus dan bersifat onkogen . Genom secara fungsi
diorganisasi oleh ER. Secara normal ER
berfungsi untuk
transkripsi dan regulasi gen virus. Terbentuk dalam beberapa
protein gen seperti : E1, E2,. E4, E5, E6 dan E7.
- Late Region (LR) , berisi gen yang mengkode protein
pembentukan kapsid virus. Mengkode struktur protein. Terbentuk
dalam dua protein gen yaitu L1 dan L2.
-Upstream Regulatory Region (URR) atau Long Control
Region (LCR). Berukuran 400-1000 bp mengandung p97 core
promoter yang berfungsi mengontrol replikasi DNA. Sekuens
pengaturan transkripsi dan promosi satu atau lebih kontrol
ekspresi dari onkoprotein E6 dan E7. Bagian ini mengatur
pembentukan dan transkripsi ER.
Protein E1 dan E2 berperan
pada replikasi virus. Protein E2 juga berperan pada transkripsi
virus. Protein E4 berperan pada siklus pertumbuhan dan
pematangan virus.

Protein HPV
Early Protein

Protein E1 dan E2 yang pertama diekspresikan,


diperkirakan 20-100
buah kopi per sel basal. Protein ini
membentuk kompeks dengan polimerase serta protein lain untuk
replikasi virus. Protein polipeptida E1 berukuran 68 kDa ,
diekspresikan dalam jumlah sedikit. Protein E1 berikatan dengan
ATPase , aktivitas helikase dan mengikat sekuens dalam LCR
untuk merangsang replikasi DNA. Gen E1mempunyai daerah
pengikat DNA, E2 dan daerah untuk katalitik. Protein E1 juga
mengikat polimerase- DNA yang membantu replikasi virus.
Gen E2 mengekspresikan lebih dari satu protein dengan panjang
asam amino 370-430.
Protein E2 berukuran 50 kDa dan mengandung aktivasi
transkripsi daerah ikatan dengan DNA. Ujung karboksil E2
daerah untuk ikatan dengan DNA dan berinteraksi dengan E1.
Ujung amino mengandung daerah transaktivasi. E2 meregulasi
transkripsi dan replikasi karena dapat bertindak sebagai aktivator
atau represor transkripsi. Protein yang dikode oleh gen E1
memfasilitasi ikatan protein E2 pada regio promoter. Pada kasus
keganasan rasio E1/E2 berubah jika virus terintegrasi di
kromosom sel host dan hilangnya supresi transkripsi E6 dan E7.
Protein E2 juga berperan penting sebagai supresor ekspresi gen
E6 dan E7. Protein E2 menekan transkripsi melalui ikatan E2
dengan URR(LCR).
Protein E4 diekspresikan saat replikasi virus dan terlibat
dalam maturasi dan pelepasan partikel HPV. Protein ini juga
membantu atau memberi kontribusi dalam regulasi kontrol siklus
sel host. Protein E4 berikatan dengan protein E1 membentuk E1E4. Ikatan protein ini terjadi karena translasi dan transkripsi E4
yang berfusi dengan 5 asam amino E1 sehingga menghasilkan
protein fusi E1-E4. Protein E1E4 ini di ekspresikan mendahului
ekspresi L1 di lapisan atas epithel sehingga diperkirakan E1E4 ini
mengamplifikasi genom virus.
Gen/protein E5 mengkode polipeptida dengan asam
amino 44-48. Fungsinya belum jelas. Protein E5 diperkirakan
membantu transformasi seluler dan replikasi virus. Protein E5
dikodekan sebagai protein yang didapatkan pada aparatus Golgi,
retikulum endoplasmik serta dalam jumlah yang kecil di temukan
di plasma membran. Protein E5 diduga juga berperan dalam

meningkatkan respons proliferasi dengan merangsang EGFR


(Epidermal Growth Factor Receptor) ( Kim MK,et.al.2010(44).
Protein E5 juga bersifat onkogen, dapat mentransformasi
sel keratinosit host, dan memberi kontribusi terjadinya kanker.
(Faridi R,et.al.2011(1) Dari penelitian Kim MK.et.al.2010 (44 )
juga, ditemukan kontribusi pE5 HPV 16 baik secara tunggal
maupun bersama dengan pE6 dan E7 terjadinya kanker serviks ,
terutama pada stadium awal keganasan. Pada lesi LGSIL ( low
grade lesi intraepithel) ditemukan 80 %, pada HGSIL (high grade
lesi intraepitel) sebesar 90 % dan sekitar 60 % pada kanker
serviks. Jadi lebih terekspresi pada tingkat awal keganasan.
Onkoprotein E6 dan E7
Onkoprotein E6 dan E7 diekspresikan sebagai poliprotein
dengan panjang asam amino : pE6 adalah 151 dan pE7 sepanjang
98 asam amino. Protein E6 terletak di matriks nukleus dan
membran non nuklear , yang bersama-sama dengan pE7 dapat
menyebabkan
imortalisasi sel keratinosit host.
Disebut
onkoprotein E6 dan E7 oleh karena berperan penting dalam
transformasi keganasan sel serviks.
Peran onkoprotein E6
Protein E6 diperkirakan terdiri dari 150 asam amino dan
mengandung 2 daerah ikatan dengan zink. Protein E6 dapat
mengikat lebih dari 12 protein dan di distribusikan pada nukleus
dan sitoplasma. Ekspresi E6 sendiri dapat menyebabkan
transformasi sel epithel immortal namun transformasi lebih
efisien dibutuhkan ekspresi kedua protein E6 dan E7. Protein E6
mampu mengikat p53 yaitu protein termasuk TSG (tumor
supressor gen) yang meregulasi siklus sel baik pada G1/S maupun
G2/M. Pada saat terjadi kerusakan DNA maka p53 teraktivasi dan
meningkatkan ekspresi p21, menyebabkan sel istirahat(arrest)
atau di program kematian sel atau apoptosis. Program apoptosis
ini merupakan cara pertahan sel untuk mencegah penularan virus
pada sel disekitarnya. Virus HR-HPV dapat menghalangi induksi
apoptosis ini. ( Raybould,et.al. 2011(36).
Protein E6 membentuk ikatan kompleks dengan regulator
p53 selluler ubiquitin ligase /E6AP yang meningkatkan degradasi
p53. Protein E6 juga menurunkan aktivitas p53 melalui coactivator p53 yaitu CBP/p300. Penekanan fungsi p53 ini

menghilangkan kontrol siklus sel, arrest dan apoptosis. Sehingga


terjadi peningkatan proliferasi sel.( Raybould,et.al.2011(36).
Fungsi lain protein E6 adalah mengaktivasi telomerase pada sel
yang terinfeksi HPV. Pada keadaan normal replikasi DNA akan
memperpendek telomere, namun bila ada pE6 telomer akan tetap
di perpanjang melalui aktivitas katalitik sub unit telomerase
hTERT (human reverse transcriptase). Protein E6 akan
membentuk ikatan kompleks dengan Myc/Mac protein dan Sp-1
yang akan mengikat enzim
hTERT di regio promoter dan
menyebabkan peningkatan aktivitas telomerase sel host. Sel akan
terus berproliferasi atau immortalisasi.
Peran onkoprotein E7
Protein E7 adalah onkoprotein kedua yang berperan
penting dalam patogenesis sel kaker. Protein E7 baik dari HPV
highrisk maupun low risk mempunyai ukuran sekitar 100 asam
amino dan terdapat terutama di nukleus. Protein E7 berbeda
dengan E6 yang tidak hanya menyebabkan lesi displasia low
grade tetapi juga high grade. Protein E7 mampu berikatan
dengan famili pRb. Ikatan pRb dengan pE7 pada high risk lebih
kuat afinitasnya dibanding dengan low risk. Hal ini disebabkan
oleh perbedaan susunan asam amino pada area CR2 yang
memediasi ikatan terhadap pRb. Protein famili Rb berfungsi
untuk mencegah perkembangan siklus sel yang berlebihan,
sampai sel siap untuk membelah diri dengan baik. Protein Rb
yang tidak berfungsi akan menyebabkan proliferasi sel. Protein Rb
terikat dengan faktor transkripsi E2F-DP. Protein Rb terdiri dari 3
protein Rb : p107, p 120 dan p 130. Protein Rb di ekspresikan
sepanjang siklus sel, p 107 di sintesa terutama selama fase S.
Protein 130 di sintesa terutama saat G0. Protein Rb yang tidak di
fosforilasi membentuk kompleks dengan faktor transkripsi E2F-DP
yang terikat dengan gen promoter untuk proses fase S dan
mengakibatkan represi transkripsi. Protein Rb yang berikatan
dengan pE7 melepaskan ikatannya dengan E2F-DP
dan
menyebabkan replikasi pada sel suprabasal. Ikatan pRb dengan
pE7 disertai dengan ekspresi cyclin D dan E serta cyclindependent kinase (cdk). Protein E7 mengikat cyclin A dan E
secara tidak langsung melalui p 107. Protein E7 selain berikatan
dengan pRb, dapat juga berikatan dengan p 27 dan p 21 sehingga

meningkatkan proliferasi sel. Protein p 21 dan p 27 adalah cdk


inhibitor (cdk-1). Maka bila berikatan dengan pE7 dapat
menghambat cdk1 sehingga meningkatkan aktivitas cdk.
Kelompok ketiga yang ndapat berikatan dengan pE7 adalah
histone d-acetylases (HDACs). Protein E7 dapat mengikat HDACs
yang juga diikat oleh pRb sehingga secara tidak langsung terjadi
immortal sel. Protein E7 yang terikat dengan HDACs dapat
menyebabkan de-asetilasi faktor transkripsi
E2F sehingga
menyebabkan re-lokasi faktor tersebut di luar nukleus. Kombinasi
mekanisme tersebut di atas mendorong transformasi keganasan
sel serviks. (Faridi R,et.al. 2011(1).
Protein Late genes
Kedua late genes L1 yang dikodekan sebagai protein
kapsid mayor dan L2 yang dikodekan sebagai protein kapsid
minor adalah merupakan struktur protein virion. Sekitar 95 %
rangkaian late genes di bentuk oleh pL1, sisanya olehy pL2.
Kedua protein di ekspresikan pada akhir siklus hidup virus pada
sel suprabasal saat akhir diferensiasi. Monomer pL1 sebanyak 360
di susun menjadi 72 struktur pentamer yang disebut
kapsomer(72 pentameric capsomeres).
Selama penyusunan
virion, protein kapsid pertama kali di sintesa dalam sitoplasma
selanjutnya dibawa ke nukleus.
Kapsomer pL1 dibentuk di
sitoplasma kemudian di translokasi melalui poros nukleus melalui
perantara reseptor nuklear Kap-2-1. Protein L2 secara
terpisah di translokasikan ke nukleus melalui pengaruh NLS
(nuclear localisation signal). Kemungkinan juga pL2 membentuk
kompleks dengan protein chaperone Hsc 70 dan Psp 40 yang di
perlukan dalam proses translokasi ke nukleus. (Darshan
MS,et.al.2004 (14). Protein L2 dapat mengikat DNA dan area
lokalisasi ND10 sehingga dapat mengikat DNA virus yang baru
replikasi serta menarik pL1 untuk memicu pembentukan virus
baru.
Gugus (LR) protein yaitu L1 dan L2 menyusun rangka
virion dan sangat berperan dalam memediasi infektivitas virus.
Struktur protein yang memediasi masuknya virus ke dalam sel
adalah produksi dari late gene transkrip. (Palmer KE, 2009, 4).
Untuk keberhasilan virus HPV agar tetap hidup, harus berikatan
dengan reseptor permukaan dari sel target. Heparan sulfat

proteoglikan pada permukaan sel , reseptor 6-integrin serta


laminin 5 dikatakan sebagai tempat ikatan primer untuk L1 dan
L2 dari beberapa grup HR-HPV yang berevolusi. ( Culp
TD,et.al.2004(6)
Papillomavirus tipe high risk memulai sebagian besar
transkripsinya melalui 2 promoter utama.
Pertama, early
promoter menginisiasi upstream dari E6 ORFs dan mengsintesa
protein yang penting pada siklus sel virus. Early promoter untuk
HPV 16 adalah p97, HPV 31 adalah p99 dan HPV 18 yaitu p105.
Kedua, late promoter yang tergantung dari diferensiasi sel
sehingga teraktivasi saat virus tumbuh pada stratifikasi atau
diferensiasi sel host. Siklus sel virus sangat terkait dengan
diferensiasi keratinosit.
Integrasi HPV
Virus HPV mempunyai sifat karsinogen. Bila pada
keadaan
infeksi
virus
ini
mempunyai
kemampuan
mengintegrasikan informasi genetiknya ke dalam DNA sel host.
Akibat integrasi tersebut menyebabkan perubahan yang
diproduksi, dan produk ini disebut sebagai protein transformasi.
Virus ini dapat melakukan integrasi pada tempat khusus ataupun
terjadi pada tempat yang tidak spesifik. Integrasi DNA virus
dengan DNA host akan menyebabkan perubahan atau mutasi sel
host.
Infeksi HPV pada umumnya berlangsung lambat seperti
pada umumnya infeksi virus. Infeksi HR-HPV yang persisten di
serviks akan berkembang menjadi kanker. Dua protein HPV non
struktur , E6 dan E7 secara substansi merubah replikasi dan
diferensiasi sel epithel sehingga berhubungan dengan kejadian
kanker serviks. (Raybould R,et.al. 2011(36).
Integrasi DNA virus dengan genom sel host (tubuh)
merupakan awal dari proses yang mengarah ke transformasi sel.
Pada kanker DNA HPV terintegrasi kedalam satu atau lebih
kromosome sel host. Ini terjadi dengan kehilangan atau kerusakan
satu
atau lebih gen HPV. Pada umumnya adalah gen E2.

Integrasi DNA virus dimulai dengan E1 dan E2.


Pada saat
integrasi genom HPV akan terpecah dan fragmen yang berisi E2,
E4, dan E5 ORFs menghilang . Protein E5 dikodekan pada sedikit
protein dan sering ditemukan pada aparatus Golgi dan dalam
bentuk kompleks dengan reseptor membran dari host. Ekspresi
pE5 sering hilang pada saat integrasi virus.
Penelitian Kim MK,et.al.2010(44) menemukan bahwa pE5
ini juga berperan dalam kejadian kanker serviks. Mekanisme
dalam proses onkogen ini tidak dimengerti , tapi diduga berperan
mengaktivasi EGFR ( Epidermal Growth Factor Receptor). Seluruh
bagian yang mengandung E6 dan E7 ORFs akan terintegrasi
dengan genom host dan tinggal dalam sel host. Integrasi ini
menyebabkan instabilitas genetik host.
Integrasi DNA terjadi didalam DSBs ( double strand
breaks). Area DSBs ini terjadi pada bagian DNA dimana proses
reparasinya gagal. Daerah DNA instabil ini dikenal juga sebagai
CFSs ( chromosome fragile sites) yang terdistribusi dalam genom.
Daerah integrasi di DNA yaitu CFSs mudah rusak dan selalu
ditemukan peningkatan ekspresi
E6 dan E7. (Raybould
R,et.al.2011(36).
Integrasi
akan menyebabkan E2 tidak
berfungsi (hilang) sehingga menyebabkan rangsangan terhadap
E6 dan E7. Keduanya akan menghambat kerja dari p53 dan Rb.
Gambar perbandingan ekspresi gen HPV untuk low grade
dan high grade lesi servikal yang terintegrasi.

CFS : chromosome fragil site.


Gambar 5. Skematik perbandingan dari status fisikal dan ekspresi
gen HPV pada lesi derajat rendah dan tinggi.( Dikutip dari
Raybould R, Fiander A et.al. Human papillomavirus integration
and its role in cervical malignant progression, 2011 )(36)

Protein E5, E6 dan E7 adalah protein onkogen. Proses


karsinogenesis pada sel serviks disebabkan oleh peran protein
onkogen E6 dan E7. Onkoprotein E6 akan mengikat p53 sehingga
perannya sebagai TSG kehilangan fungsi. Onkoprotein E7 akan
mengikat TSG Rb sehingga mengurai ikatan TSG pRb dengan
faktor transkripsi E2F. Ikatan ini akan menyebabkan E2F bebas.
E2F merupakan faktor transkripsi pada fase S dari siklus sel.
Protein E2F yang bebas ini akan merangsang siklus sel melalui
mekanisme aktivasi
proto-onkogen c-myc dan N-myc
.
Akibatnya siklus sel berlangsung tanpa kontrol.

Pada proses regulasi siklus sel di fase G0 dan G1, TSG


pRb juga berikatan dengan E2F sehingga protein ini tidak aktif.
Kalau pRb diikat oleh pE7 maka E2F akan bebas
maka
mekanisme aktivasi akan terjadi pula. Ekspresi protein E5,
mempertinggi potensi onkogenik. Ekspresi protein E6 dan E7
pada sel sangat berperan
pada transformasi dan proses
keganasan. Telah banyak bukti peran protein E6dan E7 dalam
proses karsinogenesis. Peningkatan
integrasi HR-HPV serta
produksi
protein E6 dan E7 dalam progresivitas perubahan
menjadi kanker bergantung interaksi dengan gen tumor supresor
(TSG) : hTERT(human telomerase reverse transcriptase) , p53
dan RB (retino-blastoma) protein. Protein hTERT adalah subunit
katalis dari telomerase yang berperan pada sintesa akhir
telomer rangkaian kromosome pada saat replikasi DNA. (Ferber
MJ,et.al. 2003(35)
Telomerase adalah merupakan gen yang mempengaruhi
batas umur suatu sel. Semakin panjang telomerase atau
perpanjangan telomerase akan memperpanjang umur sel. Pada
penelitian ekspresi telomerase reverse transcriptase , ternyata
kanker serviks yang mengekspresi telomerase mempunyai angka
kejadian residif dalam 5 tahun sebesar 29 %. Tapi yang tidak
mengekspresi telomerase kejadian residifnya 0 %. (Wang Ph,
Ko,et al.2006(7)
Protein p53 adalah faktor transkripsi regulasi sel host
untuk berhentinya siklus sel, apoptosis, perbaikan DNA dan
metabolisme sel. Sebagai TSG protein p53 bekerja pada fase G1,
yaitu menghentikan siklus sel pada fase G1 dengan tujuan
memberi kesempatan pada sel untuk memperbaiki kerusakan
yang timbul selanjutnya baru masuk pada fase S. Kemampuan
p53 menghentikan siklus sel dengan cara menekan/hambat
fungsi cdk-cyclin. Kompleks cdk-cyclin merangsang siklus sel
masuk ke fase selanjutnya . Sehingga masuk fase S tanpa
perbaikan. Aktivitas p53 akan dihambat oleh protein E6 karena

p53 terikat dengan protein E6 . Akibatnya pula ikatan cyclin-cdk


tidak terganggu sehingga ikatan ini akan aktif merangsang sel
host terus berproliferasi tanpa mekanisme kontrol. Sel yang
tidak normal ini terus membelah dan berkembang tanpa kontrol.
Karena proses apoptosis tidak berjalan semestinya. Sekaligus
protein E6 ini juga menginisiasi degradasi p53. Pada kehidupan
virus HPV secara normal tidak masuk dalam lapisan permukaan
epidermis maka protein E5, E6 dan E7 tidak berperan sebagai
karsinogenik. Genom virus terreplikasi
bersamaan dengan
episome pada infeksi baik tipe jinak ataupun prakanker/kanker.
Beberapa Metode Deteksi Integrasi HR-HPV pada Genom Host :
(Raybould R,et.al. 2011(36)
- APOT (Amplification of Papilloma virus Oncogen Transcripts) :
mendeteksi transkrip dari HPV yang terintegrasi. Dapat
memperoleh rangkaian dari sambungan DNA host dan virus.
-RS-PCR (Restriction Site Polymerase Chain Reactin) : mendeteksi
integrasi HPV DNA tanpa memperhatikan status transkripsinya.
-Southern blot dan DIPS ( Detection of Integrated Papilloma virus
Sequences) : sama dengan RS-PCR, yaitu mendeteksi integrasi
DNA HPV tanpa memperhatikan status transkripsinya. Dapat
memperoleh rangkaian dari sambungan DNA host dan virus.
-Southern Blot : dapat di andalkan untuk membedakan episomal
dari DNA HPV yang terintegrasi.
-RT-PCR ( Real Time PCR ) : menggunakan konsentrasi yang
sedikit dari DNA dan tenaga kerja minimal.
Deteksi Virus HPV
Pemeriksaan untuk mendeteksi tipe HPV adalah hal yang
penting apakah termasuk dalam kelompok resiko rendah atau
tinggi. Telah diketahui bahwa penyebab kanker serviks

adalahkelompok resiko tinggi. Berbagai macam cara deteksi HPV


a.l.: (Villa LL,et.al. 2006(45)
-Hybrid Capture/HC II : dari sampel dengan metode sinyal
amplifikasi.
-Polymerase Chan Reaction ( PCR): dengan metode target
amplifikasi.
Melalui metode ini dapat dideteksi kelompok resiko rendah
seperti : HPV tipe 6, 11, 42, 43, dan 44. Serta HPV resiko tinggi
seperti : 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56 dan 58.
Pemeriksaan HC hanya dapat menentukan apakah virus ini
tergolong tipe resiko rendah atau tinggi. Tetapi pada
pengembangan teknik HC yaitu HC II ( Digene, Gaithsburg, MD,
USA) telah dapat mentukan 13 tipe resiko tinggi a.l. n: 16, 18, 31,
33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59 dan 68. Terdapat kesesuaian
hasil yang baik antara HC2 dan teknik PCR.

SITOKIN DAN FUNGSINYA


Sitokin merupakan protein yang disekresi oleh sel dari
imunitas innate dan adaptif yang menjadi perantara bagi
berbagai fungsi dari sel ini untuk respons imun.
aktivasi

dari

respon

imun

adaptif,

sitokin

Pada fase
merangsang

pertumbuhan dan diferensiasi dari limfosit, dan pada fase efektor


dari imunitas innate dan adaptif, mereka mengaktivasi sel efektor
yang berbeda untuk mengeliminasi mikroba dan antigen lain.
Sitokin juga merangsang perkembangan dari sel hematopoetik.
(Sondel PM,et.al. 2001(19)
Istilah generik sitokin merupakan nama yang dipilih untuk
kelas mediator ini. Karena banyak sitokin yang dibuat oleh

leukosit (misalnya makrofag atau sel T) dan bekerja pada leukosit


lain,

mereka

juga

disebut

interleukin.

Penomoran

pada

interleukin (IL) (misalnya IL-1, IL-2, dan seterusnya) adalah untuk


mempertahankan nomenklatur standar. (Sondel PM,et.al.2001(19)
Sifat umum Sitokin
Sitokin merupakan polipeptida yang dihasilkan sebagai respon
terhadap mikroba dan antigen lain yang menjadi perantara dan
mengatur reaksi imun dan inflamasi . Meskipun sitokin secara
struktur berbeda, tetapi memiliki beberapa sifat yang sama.
Sekresi sitokin berlangsung secara singkat. Sintesa dimulai
sebagai hasil dari aktivasi selular. Aktivasi transkripsional ini
bersifat sementara, dan messenger RNA yang mengkode
sebagian besar sitokin bersifat tidak stabil, sehingga sintesis
sitokin juga bersifat sementara.
Kerja sitokin bersifat pleiotropisme.
kemampuan

Pleiotropisme adalah

untuk bekerja pada jenis sel yang berbeda.

Sifat ini memampukan sitokin untuk memediasi berbagai


efek biologis. Beberapa

sitokin bekerja bersama karena

memiliki efek fungsional yang sama. Sitokin bekerja didekat


tempat

produksi (parakrine), atau untuk sendiri ( autokrin).

Sitokin merangsang perubahan dari isotipe antibodi pada sel


B, diferensiasi dari sel T helper menjadi subset TH1 dan TH2,
dan aktivasi dari mekanisme fagosit.
Fungsi dalam sistim imun :
1. Mediator dan regulator dari imunitas innate.

2. Mediator dan regulator dari imunitas adaptif.


Terutama oleh limfosit T sebagai respon untuk pengenalan
spesifik dari antigen asing.
3. Stimulator dari hematopoesis.
Reseptor dan Sinyal Sitokin
Seluruh reseptor sitokin terdiri dari satu atau lebih protein
transmembran yang bagian ekstraselularnya bertanggung jawab
untuk ikatan sitokin dan bagian sitoplasmiknya

untuk

jalur

pemberian sinyal intraselular.(Abbas AK,et.al. 2010(46)


Reseptor

tipe

I,

disebut

juga

reseptor

hemopoietin,

mengandung satu atau lebih salinan dari domain dengan


dua pasangan yang diawetkan dari residu sistein dan sebuah
WSXWS, dimana X merupakan asam amino. .
Reseptor tipe II,

seperti reseptor tipe I dengan sifat dari

dua domain ektraselular dengan sistein yang diawetkan,


namun reseptor tipe II tidak mengandung bentuk WSWS. .
Reseptor superfamili Ig. Mengandung domain imunoglobulin
(Ig) ektraselular dan oleh karena itu dikelompokkan sebagai
anggota dari superfamili Ig.
Reseptor TNF , reseptor dengan domain ekstraselular yang
kaya akan sistein yang telah diawetkan. Pada ikatan ligand,
reseptor ini mengaktivasi protein intraselular yang berfungsi
menginduksi apoptosis atau merangsang ekspresi gen, atau
keduanya.

Tujuh reseptor -helikal transmembran.

Disebut juga

reseptor serpentin, karena domain transmembran mereka


tampak seperti ular yang bergerak maju mundur sepanjang
membran.
Reseptor sitokin juga dapat dikelompokkan berdasarkan jalur
transduksi sinyal yang mereka aktivasi . Pengelompokan tersebut
akan berhubungan dengan homolog struktural dalam daerah
sitoplasmik dari rantai sinyal dari reseptor.
Komponen penting dari respon imun innate awal terhadap
virus dan bakteri merupakan sekresi dari sitokin, yang memediasi
berbagai fungsi efektor dari imunitas innate .Ada satu sitokin
yaitu

IFN-, yang

memainkan peranan penting baik pada

imunitas innate maupun adaptif.( Abbas AK,et.al. 2010(46 )


Sitokin pada kanker serviks
Sitokin merupakan protein yang disekresi oleh sel-sel yang
berperan pada innate dan adaptif immune yang menjadi
perantara dari berbagai fungsi sel immune ini. Sitokin adalah
molekul yang berperan dalam mekanisme kritis komunikasi antar
sel untuk sistim immune. Pada fase aktivasi dari respons imun
adaptif, sitokin merangsang pertumbuhan dan diferensiasi sel
limfosit. Selanjutnya pada fase efektor dari respons immune
innate dan adaptif, protein ini mengaktivasi sel efektor yang
berbeda untuk mengeliminasi mikroba,virus dan antigen. Pada
sekresi sitokin , ekspresi reseptor dari sel untuk sitokin dapat
sebagai aktivasi (up-regulation) atau inhibisi (down-regulation)
untuk efektifitas fungsinya. Sekaligus untuk meningkatkan
aktivitas sitotoksik. Sitokin sangat berperan dalam imunitas anti
tumor. Sitokin terdiri dari polipeptida dengan berat molekul
rendah ( kurang dari 80 kDa) yang mempunyai afinitas kuat

dengan reseptor permukaan sel . Sitokin dalam fungsinya dapat


berperan sebagai autokrin, parakrin atau juxtakrin. Selain untuk
modulasi respons immune juga berperan dalam regulasi
proliferasi sel, diferensiasi dan kematian sel. Dapat diproduksi
oleh lebih dari satu tipe sel dan mempunyai aktivitas biologik
yang overlapping. Termasuk sitokin/kemokin antara lain : IL-1, IL2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8, IL-10, IL-12, IL-15 serta TGF
( Transforming growth factor- ) , Interferon dan TNF ( Tumor
necroting factor).(Sondel PM,et.al.2001(19)
Selanjutnya akan dijelaskan beberapa sitokin yang
berperan pada infeksi HPV serta perkembangan infeksinya kearah
dysplasia dan kanker serviks . Sitokin tersebut antara lain : TGF-,
Interferon-, IL-2, IL-12 serta IL-10.
Transforming growth factor beta
Transforming growth factor beta (TGF- ) adalah bagian
dari grup family yang secara struktur berhubungan dengan sitokin
dengan berbagai respons biologi dari macam-macam tipe sel.
Ada 5 tipe yang berbeda dari bentuk TGF- yaitu TGF-1 sampai
TGF- 5. Sitokin ini diproduksi oleh sel T yang distimulasi oleh
antigen, mononuclear fagosit yang aktif dan tipe sel lain.
Transforming growth factor beta pertama ditemukan sebagai
penyebab transformasi normal sel pada tikus dengan efektivitas
menghambat pertumbuhan banyak tipe sel. Prinsipnya TGF-
menghambat proliferasi sel dan mengaktivasi limfosit dan leukosit
lain. Transforming growth factor beta tidak saja menghambat
pertumbuhan epithel normal, endothel, neuronal, limfoid dan
hemapoietik sel tapi juga neoplastik sel dari jaringan ini.
Selanjutnya TGF- menginduksi program kematian sel dari
beberapa sel kanker.(Guzman V,et.al. 2008(47) Transforming
growth factor- mampu menghambat juga sel immortal yang
terinfeksi HPV melalui penekanan pada gen c-myc. Berbeda
dengan TNF yang tidak mampu menekan sel immortal akibat
infeksi virus HPV. Telah dikatakan juga over ekspresi dari TGF-

banyak ditemukan pada berbagai jenis kanker termasuk pada


paru-paru, kolon, payudara, uterus dan gaster. Karenanya TGF-
disebut juga sebagai tumor suppressor gene. Protein ini banyak
terdapat pada jenis sel kanker termasuk kanker serviks. Sitokin
ini mempunyai potensi sebagai anti proliferasi sel. Tiga tipe TGF homolog peptide yaitu 1, 2 dan 3 juga turut mengatur
respons immune. Sitokin ini dapat juga menginduksi apoptosis sel
ektoserviks immortal , growth arrest pada fase G1 dan juga
bermacam molekul adhesive seperti fibronektin, laminin, collagen
dan integrin.
Dalam perkembangannya sel kanker perlu
menghindari TGF- yang menginduksi inhibisi pertumbuhannya
pada tingkat reseptor atau pasca reseptor. (Sondel PM,et.al.
2001(19)
Transforming growth factor- juga menstimulasi
produksi antibody IgA dengan menginduksi sel B untuk imunitas
mukosal. Akan tetapi disisi lain TGF- dapat juga menginhibisi
respons imun dan inflamasi. Dapat juga mengontrol sel T dan sel
dendritik, yaitu menekan perkembangan dari Th1 dan Th2 ( sub
set efektor CD 4+ sel T).
Ada tiga reseptor dari TGF- yang dikenal dengan : tipe I,
tipe II dan III. Reseptor tipe III atau betaglycan dari TGF-
memperlihatkan fungsi biologik yang berbeda dengan reseptor
tipe I dan II. Reseptor tipe I dan II mempunyai respons yang
sama untuk fungsi biologik dari TGF-, dimana reseptor tipe III
mempersiapkan dan membawa konsentrasi ligand pada
permukaan sel sebelum berikatan dengan reseptor fungsional.
Struktur dari reseptor tipe II termasuk dalam cysteine-rich
extraselluler domain dan cytoplasmic serine/threonine kinase
domain. Reseptor tipe II menerima kedua aktivitas kinase dan
bergabung dengan reseptor tipe I
untuk sinyal inhibisi
pertumbuhan. Transforming growth factor beta juga menginhibisi
sintesa DNA dalam sel, dan reseptor tipe I berperan besar
memediasi sinyal inhibisi pertumbuhan yang dilakukan protein
pRb yang terfosforilasi oleh cdc 2hingga terjadi status supresi.

(Martin MP,et.al.2005(23). Penurunan ekspresi reseptor tipe I


sangat berhubungan dengan invasive tumor.

Interferon
Interferon (IFN) adalah kelompok family sitokin merupakan
sekresi protein yang diinduksi sebagai respons dari stimulus
ekstraseluler spesifik. Umumnya diproduksi untuk merespons
infeksi virus. Beraksi sebagai bentuk parakrin atau autokrin
dalam molekul intraseluler dalam rangkaian imunitas innate,
surveillance imun, dan homeostasis dari populasi sel darah
perifer. Seluruh sitokin mempunyai afinitas yang tinggi pada
masing-masing reseptor permukaan selnya. Peran IFN sebagai
anti virus cukup besar. Dampak anti virus dari IFN terjadi melalui :
1. Peningkatan ekspresi MHC kelas I. 2. Aktivasi sel NK dan
makrofag,3. Menghambat replikasi virus. Kadang-kadang juga IFN
menghambat penetrasi virus kedalam sel maupun budding virus
dari sel yang terinfeksi.
Interferon menginhibisi replikasi virus,
mengaktifkan sistim imun dan aktivitas supresor tumor. Jadi
sebagai supresor pertumbuhan tumor. Interferon sebagai
pengatur respons biologik anti tumor, diferensiasi sel,
imunoregulator dan juga sebagai anti parasit. Sub klas interferon
terbagi dalam IFN , IFN dan IFN . Interferon dan tampil
sebagai kopi tunggal. Interferon berlokasi pada kromosom 12.
Ekspresi dari IFN sangat berhubungan dengan aktivasi sel T.
Interferon diregulasi oleh faktor transkripsi yang spesifik.(Sondel
PM,et.al.2001(19)

Interferon gamma
Interferon (IFN-) menghambat transkripsi gen E6 dan E7
serta menghambat pertumbuhan sel keratinosit immortal. Juga

menghambat proliferasi pertumbuhan HPV. Interferon- diproduksi


oleh sel T yang teraktivasi dan natural killer (NK) sel yang
merubah
respons
imun
seluler
dengan
meningkatkan
cytotoxicity sel T dan aktivitas NK sel.(Tartour E,et.al.1998 (48).
Ekspresi IFN- hanya oleh limfosit T dan natural killer sel (NK
sel). Interferon ini menginhibisi pertumbuhan virus, berpartisipasi
dalam mekanisme pertahanan immune, presentasi antigen serta
supresi tumor.
Dalam sistim immune ,IFN- bersama-sama
dengan IL-12
menstimulasi perkembangan
T-helper 1.
Interleukin-12 sendiri mengatur produksi T helper-1 dan cell
mediated immunity. Interferon- menginduksi juga apoptosis
melalui JAK 1 (Janus Tyrosine Kinases 1) dan STAT 1 (Signalinducing Activator of Transcription 1) serta ekspresi dari ICE.
Inhibisi dari aktivitas ICE menghalangi
IFN- menginduksi
kematian sel.(Sondel PM,et.al.2001(19) Pada dysplasia (CIN III)
dan kanker serviks didapatkan IFN- menurun, demikian juga
dengan kadar IL-12, bila dibandingkan dengan CIN I. (Scott
ME,et.al.2009(49) Interferon- yang disekresi oleh sel T h1 adalah
contributor utama dalam respons imun seluler melawan infeksi
HPV. Produksi IFN- yang menurun sangat berhubungan dengan
infeksi persisten HPV serta perkembangannya kearah dysplasia
serviks. (Bais AG,et.al.2005(50). Interferon- juga menurun pada
lesi yang progresif atau invasive/kanker serviks. (Guzman V,
et.al.2008(47)
Interleukin-2
Interleukin-2 (IL-2) adalah sitokin sentral dalam respons
immune. Interleukin ini adalah glikoprotein
15,5 kDa pada
umumnya
disekresi sel T ( CD 4+ T lymphosytes) setelah
diaktivasi oleh antigen atau mitogen. Produksi IL-2 transient,
dengan puncak sekresi terjadi 8-12 jam setelah aktivasi. Protein
ini merupakan autokrin dan atau parakrin IL-2. Stimulasi untuk
sel T dalam konteks respons immune, untuk ekspansi klonal dari
antigen spesifik sel efektor. Interleukin-2 juga disebut sebagai

faktor tumbuh ( growth factors) dari sel T. Karenanya mempunyai


peran besar dalam meregulasi respons sel T dalam kegiatannya.
Interleukin-2 disekresi oleh CD 4+ T sel kedalam bentukan
synapse diantara sel T dan sel APC.
Interleukin-2 ini juga
menstimulasi beberapa tipe sel antara lain , NK sel, B sel, monosit
dan makrofag. Interleukin-2 menstimulasi proliferasi NK sel ,
meningkatkan aktivitas sitolitik dan sekresi dan aktivitas IFN-.
Juga IL-2 untuk prolifersi B sel serta sekresi immunoglobulin.
Pada stimulasi IL-2 monosit dan makrofag adalah menginduksi
aktivitas
sitotoksik, termasuk ADCC ( antibody-dependent
cellular citotoxicity ) juga untuk proliferasi dan diferensiasi sel ini.
Untuk respons semua ini harus melewati 2 atau 3 reseptor
trans-membran glikoprotein yang berbeda. Ketiga reseptor ini
adalah IL-2 R, IL-2 R dan IL-2 R. Respons pada gabungan
ketiga reseptor () mempunyai afinitas yang tinggi. Kompleks
heterotrimerik ini adalah ekspresi untuk aktivitas Sel T. Reseptor
dengan afinitas rendah yaitu hanya satu reseptor IL-2 R
(monomer ). Afinitas tengah yaitu 2 reseptor ( IL-2 R dan )
dan ini predominan untuk NK sel. Interleukin-2 yang dilepaskan
oleh sel T (Th) ini meningkatkan aktivitas dan proliferasi NK sel
dan merusak target sel tumor. (Sondel PM,et.al. 2001(19) Sel T
helper menghasilkan antara lain : IL-2 dan IFN-.

Interleukin 12
Interleukin -12 (IL-12) adalah salah satu sitokin yang
sebagian besar diproduksi oleh limfosit sel Th1, juga oleh sel APC
atau sel dendritik yang aktif dan NK sel/makrofag. Interleukin-12
dibentuk antara lain sebagai respons terhadap infeksi virus
termasuk HPV. Interleukin-12 diproduksi oleh APC ketika sel ini
menghadirkan antigen virus pada sel T dan menginduksi fase
efektor dari
cell mediated immune responses. (Bais AG,
Eijkemans,et.al.2007(51). Sitokin ini berperan penting dalam
feed back sistim, yaitu mendorong perkembangan sel T helper

tipe 0/nave sel Th menjadi helper tipe 1atau diferensiasi sel


Th1. Sitokin ini berpotensi sebagai aktivator dalam immunitas
seluler, meningkatkan aktivitas sitotoksik. Membantu sintesa dan
produksi
IFN- oleh sel T dan NK sel. Interleukin-12 juga
menstimulasi respons imun adaptif dan mengarahkannya pada
sel Th1 dimana merupakan mediator dari imun seluler dan
merupakan respons yang paling efektif menghancurkan mikroba.(
Scott W, Levy D,et.al.2004(52). Sitokin ini merupakan mediator
penting sebagai penghubung antar imunitas innate dan adaptif,
yang diproduksi pada awal reaksi imunitas innate terhadap
mikroba dan menstimulasi respons imun adaptif. Sitokin ini juga
berperan meningkatkan aktivitas sitolitik oleh NK sel.
Pembunuhan sel-sel yang terinfeksi virus yang dimediasi oleh NK
sel mengeliminasi lokasi infeksi. Juga mempunyai kemampuan
sebagai anti tumor dan aktivitas anti metastatik melawan tumor.
(Abbas AK,et.al.2010(46). Sitokin ini mempunyai peran dalam
merangsang sekresi IFN- dan juga menginduksi respons imun
innate dan adaptif melawan mikroba intraseluler.

Gambar. 4. Aktivitas biologik dari IL-12. Interleukin-12


diproduksi oleh makrofag dan sel dendritik sebagai respons
terhadap mikroba atau signal sel T seperti ligand CD40 yang
mengikat CD40. Interleukin-12 berperan pada sel T dan NK sel
merangsang produksi IFN- dan aktivitas sitotoksik untuk
mengeradikasi mikroba intraseluler. ( dikutip dari Abbas AK et.al.
2010)(46)

Interleukin 10
Interleukin 10 (IL-10) sebagai sitokin tipe 2 sangat
berhubungan dengan peningkatan pertumbuhan tumor. Sitokin
ini sebagian besar diproduksi oleh limfosit T dan monosit
( makrofag). Interleukin-10 yang diproduksi oleh makrofag yang
aktif fan sel T, juga
mempunyai peran menekan fungsi
makrofag . Karenanya IL-10 ini adalah juga sebagai negative
feedback regulator. Interleukin-10 juga diproduksi oleh beberapa
tipe sel non-limpoid seperti sel keratinosit.
Interleukin 10
menekan ekspresi MHC ( major histocompatibility complex ) kelas
I, mencegah presentasi antigen tumor kepada (CD 8+) CTLs.
(Sharma A,et.al.(53) Didapatkan bahwa peningkatan high grade
CIN sangat berhubungan dengan ekspresi IL-10. Juga didapatkan
penurunan ekspresi IFN-
yang berhubungan dengan lesi
servikal. Interleukin-10 juga menghambat produksi IFN-. Sitokin
ini dapat berfungsi menekan produksi IL-12 oleh makrofag dan
sel dendritik aktif. Karena IL-12 merupakan stimulus kritikal dari
sekresi IFN-, maka dengan penekanan(downregulated) pada IL12 akan mengakibatkan produksi IFN- menurun. (Sharma A,et.al.
(53) Sitokin ini juga menekan sitokin tipe 1 dan menyokong
pertumbuhan kearah kanker serviks. (Nicol AF,et.al.2005(18).
Interleukin-10 menghambat ekspresi costimulators dan molekul
MHC tipe II pada makrofag dan sel dendritik. Karena peran ini IL10 menghambat aktivasi sel T dan mengakhiri respons CMI.
Peranan IL-10 meliputi kontrol pada reaksi dari innate dan adaptif
atau CMI respons. Adanya peran penghambatan oleh IL-10 dalam
sistim imun, memberi kesempatan virus untuk mampu melawan
respons imun.
Menurunnya respons imun tipe 1 yang spesifik
untuk HPV menginduksi kanker serviks invasive.
Pada penelitian dari Bais AG,Lindemans et.al.2005(50)
menyatakan bahwa IFN- rendah secara signifikan pada CIN III
dan kanker serviks sedang konsentrasi IL-10 meningkat dalam

plasma dari CIN III dan kanker serviks. Sebaliknya konsentrasi IL12, IL-2, IL-4 serta TNF tidak ada perbedaan . Sitokin IL-10
meningkat sebanding dengan peningkatan derajat dysplasia
sampai CIN III. Interleukin-10 adalah sitokin imunosupresif yang
potensial.

BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, VARIABEL
PENELITIAN
DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A.Kerangka Teori

Vi HRHPV
LGSIL
Sel
normal

Kanker
Serviks
LGSIL

HGSIL

__________________________________________________________________
_---------------------------------------------------------------------------------------------------------Virus HRHPV

Viral Persisten
(infections)

Neoplastic
Progression

B.Kerangka Konsep

Normal
cell

LGSIL

HGSIL

Cervical Cancer :
-Early
-Late

HR-HPV

Viral Persisten

Regression of
Infection (85
%)

Progressive
Neoplastic (15
%)

BAB IV
METODE PENELITIAN
IV. 1. Desain Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan adalah, metode
observasional dengan pendekatan cross sectional .

IV. 2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Tempat penelitian adalah di Rumah Sakit pendidikan di
Makassar, Manado, Jakarta dan Bandung. Pengambilan dan
penyimpanan sampel darah perifer di lakukan di Laboratorium
Prodia Makassar, Manado, Jakarta dan Bandung. Selanjutnya
disimpan dalam media sebagai inkubator dengan pendinginan -20
derajat C .Pengkuran dan penghitungan dilakukan di Laboratorium
Prodia Jakarta. Pengiriman sampel ke Laboratorium Prodia Jakarta
dengan menggunakan dry ice.
Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan November 2013
dengan pengumpulan sampel sampai jumlahnya terpenuhi.

IV.3. Populasi Penelitian


Populasi penelitian adalah semua kasus yang didiagnosis
dysplasia serviks ( CIN II dan III) serta stadium awal ( I IIa ) dan
stadium lanjut ( IIb IV) kanker serviks. Populasi kasus diambil
dari departemen Obstetri dan Ginekologi, divisi Onkologi
RS

Pendidikan di Makassar, Manado, Jakarta dan Bandung. Bila


kelompok dysplasia dianggap sebagai control maka besaran
sampel untuk masing-masing kelompok digunakan rumus :

2 N.P.Q
d2 (N-1) + P.Q

Jumlah sampel yang ditentukan pada masing-masing kelompok


sesuai perhitungan statistik adalah sebesar 23 kasus , dibulatkan
25 kasus. Hasil ini sesuai dengan 2 dengan dk = 1 , P = Q = 0,5
d = 0,05, S = jumlah sampel pada masing-masing kelompok.

Kriteria Inklusi
1. Kasus dysplasia serviks (HGSIL) yang didiagnosis secara sito/
histopatologis.
2. Kasus kanker serviks stadium awal ( IIIa) yang belum
diberikan pengobatan dengan sitostatika atau radiasi.
3. Kasus kanker serviks stadium lanjut ( IIb-IV) yang belum
diberikan pengobatan dengan sitostatika dan atau radiasi.
4. Tidak ada penyakit infeksi lain , kecuali dysplasia atau
kanker serviks.
5. Diagnosis kanker serviks berdasar pada pemeriksaan klinis
dan histopatologis.
6. Kasus / ibu yang bersedia ikut dalam penelitian.
Kriteria Eksklusi
1. Sudah pernah diberi pengobatan.
2. Penyakit yang telah residif.
3. Sudah pernah menjalani operasi karena penyakit ini..

4. Terdapat infeksi lain.

Pr

oposal Penelitian

EKSPRESI SITOKIN IFN-, IL-2, IL-12 DAN IL-10 SEBAGAI


RESPONS IMUN
TERHADAP INFEKSI HR-HPV DENGAN DISPLASIA SERVIKS,
STADIUM AWAL
SERTA STADIUM LANJUT KANKER SERVIKS
The Expression of Cytokine IFN-,IL-2,IL-12 and IL-10 as a Immune
Responses
To HR-HPV Infections with Cervical Dysplasia, Early stage and Late
Stage Cervical Cancer

Oleh
Max Rarung

P020037079

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNVERSITAS HASANNUDIN MAKASSAR
2013

Pengesahan Usulan Penelitiian

Ekspresi sitokin IFN-, IL-2, IL-12 dan IL-10 sebagai Respons Imun
Terhadap Infeksi HR-HPV dengan Displasia Serviks, Stadium Awal serta stadium
Lanjut Kanker serviks.

The Expression of Cytokine IFN- , IL-2, IL-12 and IL-10 As a Immune Responses
To HR-HPV Infections with Cervical Dysplasia, Early Stage and Late stage of Cancer
Cervical.

Diajukan oleh
Max R Rarung
Nomor Pokok :

Menyetujui :

Prof. dr. Syarifuddin Wahid ,Ph.D.,SpPA (K)


Syahrul Rauf, SpOG (K)

Prof. Dr. dr.

Promotor

Promotor

Co-

Ketua Program Studi


Ilmu Kedokteran

Prof. Dr. dr. Suryani Asad, MSc

KEPUSTAKAAN
1. Faridi R, Zahra A, Khan K, Idrees M. Oncogenic potential of
Human Papillomavirus (HPV) and its relation with cervical cancer.
Virology Journal 2011;8 ( 269) :1-8.
2.
Andrijono dkk. Buletin Himpunan
Indonesia (HOGI) ,Jakarta ,2011

Onkologi

Ginekologi

3. Munoz N, Castellsague X, Gonzalez AB, Gissmann L. HPV in the


etiology of human cancer. Vaccine, 2006 ;24 :1-10.
4.Bosch FX, You Lin Qiao, Castellsague X. The epidemiology of
human papillomavirus infection and its assosiation with cervical
cancer. International Journal of Gynecology and Obstetrics,2006,
94 : S8-S21.
5.Schiffman M, Castle PE, Jeronimo J, Rodriquez AC, Wacholder S.
Human Papillomavirus and Cervical Cancer. The Lancet 2007;
370 : 890-907.
6.Culp TD, Christensen ND.Kinetics of in vitro adsorption and
entry of papillomavirus virions. Virology 2004 ; 319 : 152-161.
7. Wang PH, Ko JL. Implication of human telomerase reverse
transcriptase in cervical carcinogenesis and cancer recurence. Intl
J Gynecol Cancer.2006; 16 : 1873-9.

8.Aziz MF, Schellekens MC, Dikman A , et.al. Prevalence of single


and multiple HPV type in Cervical Carcinoma in Jakarta,Indonesia.
International Meeting of the ESGO 13th,Belgium, 2003.
9. Cuschieri KS, Whitley MJ, Cubie HA. Human papillomavirus type
specific DNA and RNA persistence Implications for cervical
disease progression and monitoring. J Med Virol, 2004 ; 73 : 65
-70.
10.Molden T, Kraus I, KarlsenF, Skomedal H, Hagmar H . Human
papillomavirus E6/E7 mRNA expressionin women younger than 30
years of age. Gynecol Oncol,2006 ; 100 : 95-100.
11.Castellsague Xavier. Natural history and epidemilogy of HPV
infection and cervical cancer.Gynecologic Oncology 2008;110: S4S7.
12.Rodriquez-Cerdeira C, Alcantara R, Guerra-Tapia A, Escalas J,
Alba A. Human Papillomavirus (HPV) and Genital Cancer. The
Open Dermatology Journal,2009;3:117-128.
13.Castellsague X, Munoz N. Cofactor in human papillomavirus
carcinogenesis role of parity, oral contraseptives and tobacco
smoking. J Nat Cancer Inst Monograph 2003 ; 31 : 20-8.
14.Darshan MS. The L2 minor capsid protein of human
papillomavirus type 16 interact with a network of nuclear import
receptors. J Virol 2004 ; 78 : 12179-12188.
15.Dinesh Gupta .Screening For Cervical Precancer Disease. From
Epidemiological Research To The Clinical Practice. New Delhi
,India, 2010.
16.Palmer KE,Jenson AB, Kouokam JC, Lasnik AB, Shin Je Ghim.
Recombinant vaccines for prevention of human papillomavirus
infection and cervical cancer. Experimental and Molecular
Pathology 2009;86:224-233.

17.Burd EM. Human Papillomavirus and Cervical Cancer. Cinical


Microbiology Reviews. 2003;16:1-17.
18.Nicol AF, Fernandes ATG, Bonecini-Almeida M da G. Immune
response in cervical dysplasia induced by human papillomavirus :
the influence of human immunodeficiency virus-1 co-infection.
Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, 2005, vol. 100(1) : 1-12.
19.Sondel PM, Rakhmilevich AL,De Jong DLO, Hank JA. Cellular
Immunity and Cytokines. In: Mendelsohn J,ndHowley PM, Israel MA,
Liotta LA. The Molecular Basis of Cancer.2 Edition,WB Saunders
Company,Philadelphia, 2001.
20.Murakami MS, Vande Woude GF. Regulation of the Cell Cycle. In
: Mendelsohn J, Howley
PM, Israel MA, Liotta LA. The Molecular
Basis of Cancer.2nd Edition,WB Saunders Company,Philadelphia,
2001.
21.Lanioz V, Holthusen KA, Meneses PI. Bovine Papillomavirus
type 1 : from clathrin to caveolin.J Virol , 2008 ; 82 : 6288-6298.
22.Doorbar J. The Papillomaviruses Life Cycle. Clinical Virology
2004 ; 32 : 16-24.
23.Martin MP, Carrington M. Immunogenetics of viral infections.
Current Opinion in Immunology, 2005;17:510-516.
24.Frazer I. Gods Gift to Women : The Human Papillomavirus
Vaccine. Immunity 2006; 25: 179-184.
25.Stanley M. Immunobiology of HPV
Gynecologic Oncology 2008;109:S15-S21.

and

HPV

vaccines.

26.Dillon S, Sasagawa T, Crawford A, Prestidge J, Inder MK, et.al.


Resolution of cervical dysplasia is associated with T-cell
proliferative responses to human papillomavirus type 16 E2.
Journal of General Virology,2007;88: 803-813.
27.Stanley MA. Immune responses to human papilloma viruses.
Indian J Med Res, 2009 ; 130 : 266-276.
28.Schwarz TF, Leo O. Immune response to human papillomavirus
after prophylactic vaccination with AS04-adjuvanted HPV 16/18

vaccine : Improving
2008;110: S1-S10.

upon

nature.

Gynecologic

Oncology

29.Chang DC, Sabatini PJ, Divgi CR, Livingston PO, Houghton AN.
Immunotherapy of Gynecologic Malignancies. In : Hoskins WJ,
Young RC, Markman M, Perez CA, Randall M. Ed. Principles And
Practice Of Gynecologic Oncology. Fourth Edition. Lippincott
Williams & Wilkins ,Philadelphia, 2005.
30.Chen J,Guoying Ni, Xiao Song Liu.Papillomavirus like particlebased therapeutic vaccine against human papillomavirus infection
related diseases : Immunological problems and future directions.
Cellular Immunology,2011;269:5-9.
31.Kanodia S, Fahey LM, Kast WM. Mechanism Used by Human
Papillomaviruses to Escape the Host Immune Response. Current
Cancer Drug Targets,2007;7:79-89.
32.Bosch FX, Lorincz A, Munoz N, Meijer CJLM, Shah KV. The
causal relation between human papillomavirus and cervical
cancer. J Clin Pathol 2002 ; 55 : 244-265
33.Longworth MS, Laimins LA. Pathogenesis of Human
Papillomaviruses in Differentiating Epithelia. Micr Mol Biol Rev.
2004; 68(2) : 362-372.
34.Howley PM. Viral Carcinogenesis. In : Mendelsohn J,nd Howley PM,
Israel MA, Liotta LA. The Molecular Basis of Cancer.2 Edition,WB
Saunders Company,Philadelphia, 2001.
35.Ferber MJ, Montoya DP, Yu C, Aderca I, McGee A. et.al.
Integrations of the hepatitis B virus (HBV) and human
papillomavirus (HPV) into the human telomerase reverse
transcriptase (hTERT) gene in liver and cervical cancers. Oncogen
2003 ; 22 : 3813-3820.
36. Raybould R, Fiander A, Hibbitts S. Human Papillomavirus
Integration and its Role in Cervical Malignant Progression. The
Open Clinical Cancer Journal, 2011;5:1-7.
37. Gregory CD. Apoptosis : A Role In Neoplasia. In : Pusztai L,
Lewis CE, Yap E. Cell Proliferation in Cancer. Oxford University
Press, Oxford, 1996.

38.Massad LS, Einstein M, Myers E, Wheeler CM, Wentzensen N,


Solomon D. The impact of human papillomavirus vaccination on
cervical cancer prevention efforts. Gynecologic Oncology, 2009;
114 : 360-364.
39.Frazer I. Gods Gift to Women : The Human Papillomavirus
Vaccine. Immunity 2006; 25: 179-184.
40.Randall ME, Michael H, Ver Morken J, Stechman F. Diseases
Sites Uterine Cervix. In : Hoskins WJ, Young RC, Markman M, Perez
CA, Randall M. Ed. Principles And Practice Of Gynecologic
Oncology. Fourth Edition. Lippincott Williams & Wilkins
,Philadelphia, 2005.
41.Mahdavi A, Monk BJ. Vaccines Against Human Papillomavirus
and Cervical Cancer. Promises and Challenges. The Oncologist
2005 ; 10 : 528-538.
42.Chan YM, Ng TY, Ngan HYS, Wong LC. Monitoring of serum
Squamous
Cell Carcinoma Antigen Level in Invasif Cervical
Cancer : Is it Cost Effective ?. Gynecol Oncol,2002 ; 84 : 7-11.
43.De Villiers EM, Fauquent C, Broker TR, Bernard HU, Zur Hauzen
H. Classification of papillomaviruses. Virology 2004 ; 324 : 17-27.
44.Kim MK, Kim HS, Kim SH, Jung Min Oh, Jae Yong Han.et.al.
Human papillomavirus type 16 E5 oncoprotein as a new target for
cervical cancer treatment. Biochemical Pharmacology, 2010 ;
80 : 1930-1935.
45.Villa LL, Denny L. Methods for detection of HPV infection and
its clinical utility. Int J Gynecol Obstet,2006; 94(supl 1 ) : S71-80.
46.Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and Molecular
Immunology. Ed.6th Saunders Elsevier Inc. Philadelphia, 2010.
47. Guzman V, Yambartsev A, Goncalves-Primo A, Morgun A. New
approach reveals CD 28 and IFN-
gene interaction in the
susceptibility to cervical cancer. Hum Mol Genet. 2008;17(12):
1838-1848.

48.Tartour E, Gey A, Sastre-Garau X, Surin IL, Mosseri V, Fridman


WH. Prognostic Value of Intratumoral Interferon Gamma
Messenger RNA Expression in Invasive Cervical Carcinomas.
Journal of the National Cancer Institute,1998;90(4):287-94.
49.Scott ME, Yifei M, Kuzmich L, Moscicki AB. Diminished IFN-
and IL-10 and elevated Foxp3 mRNA expression in the cervix are
associated with CIN II or III. Int J Cancer,2009;124 : 1379-1383.
50.Bais AG, Beckmann I, Lindemans J, Ewing PC, Meijer CJLM,
Snijders PJF, Helmerhorst TJM. A shift to peripheral Th2-type
cytokine pattern during the carcinogenesis of cervical cancer
becomes manifest in CIN III lesions. J Clin Pathol 2005; 58: 10961100.
51.Bais AG, Beckmann I, Ewing PC, Eijkemans MJC, Meijer CJLM.
Et.al. Cytokine Release in HR-HPV(+) Women without and with
Cervical Dysplasia (CIN II and CIN III) or Carcinoma, Compared
with HR-HPV(-) Controls. Mediators of Inflammation, Hindawi
Publishing Corporation,Volume 2007.
52.Scott W, Levy D, Frederickson HL, Falkson CI, Wang Y, Weller
E.et.al. A phase II trial of IL-12 in patient with advanced cervical
cancer : clinical and immunologic correlates. ECOG study.
Gynecologic Oncology, 2004;92 : 957-964.
53. Sharma A, Rajappa M,Saxena A, Sharma M. Cytokine profile in
Indian women with cervical intraepithelial neoplasia and cancer
cervix. Int J Gynecol Cancer 2007,17 : 879-885.

Kepustakaan ( Respons Imun pada dysplasia dan kanker serviks)


1.Kung Liahng Wang. Human Papillomavirus and
Cancer.Taiwan Obstet Gynecol 2007;46(4):352-362.

Vaccination

in

Cervical

2. Munagala R, Nagarajan B. Alteration in cytokine levels in cervical carcinoma


patients through radiation therapy. Current Science, vol.94,no.10,2008.
3.Koshiol J, Kovacic MB. Cytokines and Markers of Immune Response to HPV
Infection. In : Kanwar J Ed. Recent Advances in Immunology to Target Cancer,
Inflamation and Infections. In Tech Europe, 2012.
4.Zheng ZM, Baker CC. Papillomavirus genome structure , expression and post
transcriptional regulation. Front Biosc 2006; 11 : 2286-2302.
5.Kung Liahng Wang. Human Papillomavirus and Vaccination in Cervical Cancer.
Taiwan J Obstet Gynecol 2007; 46: 352-362.

You might also like