Professional Documents
Culture Documents
SEJARAH DAN TEORI RANCANG KOTA
‘DEFENSIBLE SPACE’
Kasus:
KRIMINALITAS DAN
VANDALISME Di TAMAN
FLEXI
Disusun oleh:
Chairul Maulidi
Nim: 256.09.003
Magister Rancang Kota
Institute Teknologi Bandung
2010
BAB 1
PUBLIC SAFETY, LINGKUNGAN DAN PRILAKU
Memasuki abad ke‐21, isu kualitas hidup menjadi topik yang sangat
diperhatikan dalam ranah perencanaan dan pembangunan kota‐kota. Urbanisasi dan
berbabagi dampaknya bagi kualitas lingkungan hidup, khususnya lingkungan
perkotaan, banyak diperdebatkan, seperti; memburuknya kualitas udara,
berkurangnya ruang terbuka hijau, kepadatan atau kemacetan lalulintas dan segala
fenomena yang perkotaan yang berdampak langsung bagi kualitas hidup perkotaan.
Selain fenomena fisik, degradasi sosial turut memegang peran dalam menjerumuskan
kualitas hidup ke lembah yang lebih dalam, yaitu less of public safety (Zelinka, 2001).
Dalam banyak hal, public safety memegang peran vital bagi sebuah kota,
terhadap produktivitas dan kualitas hidup warganya. Suatu sudut kota yang dikenal
sebagai lokasi kriminal dan vandalisme tentu akan membuat orang‐orang enggan
untuk datang dan beraktivitas di sana. Perasaan terancam, tidak aman dan selalu
waspada menjadikan setiap orang tidak nyaman untuk tinggal dan berlama‐lama di
lingkungan yang memiliki citra demikian. Terkait dengannya, satu hal yang sering
dilupakan adalah; peran lingkungan terbangun dalam menfasilitasi dan membatasi
peluang bagi munculnya suatu tindak kejahatan (kriminal).
Zelinka (2001) mendefinisikan pencegahan tindak kriminal sebagai sebuah pola
perilaku yang secara langsung mengurangi ancaman dari kriminalitas dan
meningkatkan rasa aman. Efek dari keduanya berpengaruh positif bagi kualitas hidup
di lingkungan kita dan mendukung bagi perkembangan lingkungan sebagai lingkungan
yang dimana kriminalitas tidak akan muncul. Definisi tersebut menegaskan adanya
hubungan antara lingkungan fisik dan public safety. Pola bagaimana lingkungan fisik
didesain, dibangun dan dikembangkan akan mempengaruhi prilaku dan perasaan
setiap orang yang ada didalamnya. Disiplin perencana dan desain perlu memahami
poin tersebut dan mempelajari fitur lingkungan yang bagaimanakah yang beresiko
1
memunculkan kriminalitas dan vandalisme serta bagaimanakah cara menguranginya
melalui desain.
2
BAB 2
KONSEP SITUASIONAL
MENGURANGI KRIMINALITAS MELALUI DESAIN
Dalam bukunya, The Death and Life of Great American Cities, Jane Jacobs (1961)
menekankan akan pentingnya keberadaan aktivitas untuk memberikan pengawasan
bagi suatu lingkungan dan pendefinisian teritori yang jelas untuk membedakan antara
ruang privat dan publik. Menurut Jacobs public safety sebagai hasil dari hubungan
antara orang dengan yang lain, dimana mereka saling mengetahui melalui pandangan
dan melalui penamaan. Keberadaan variasi pemanfaatan hunian dan komersil dapat
menjaga aktivitas dan keberadaan orang di jalan sepanjang hari dan malam. Jacobs
menyebut teori ini sebagai “eyes on the street”. Jacobs (1961) persyaratan bagi
lingkungan yang dikatakan berhasil adalah jika setiap orang merasa aman selama
berada di jalan umum bersama orang asing. Jacobs (1961) berargumen bahwa jalan di
kota haruslah menfasilitasi dan memudahkan aktifivitas, kemana dan darimana
seseorang pergi. Jalan tidak hanya harus tahan terhadap kejahatan orang asing, tapi
juga harus memberikan rasa aman dan memberikan kesan nyaman bersama orang
asing.
3
menghuninya. Newman (1972) mengidentifikasi 3 faktor yang saling bekerjasama
meningkatkan angka kriminalitas di linkungan blok perumahan, yaitu; 1) Anonymity,
lemahnya pengenalan terhadap lingkungan sekitar sehingga tidak ada rasa yang
mendorong penghuni untuk turut menjaga lingkungan, 2) Lemahnya pengawasan dari
dalam bangunan membuat pelaku kriminal mudah melakukan kejahatannya tanpa
terlihat orang lain, dan 3) Ketersediaan rute melarikan diri sehingga pelaku kriminal
bisa segera kabur menghilang. Dari ketiga faktor tersebut, Newman mengembangkan
konsep defensible space yang terdiri atas empat karakter pokok fisik lingkungan,
antara lain:
1. Definisi teritorialitas yang jelas, yaitu; dari publik ke semi publik, dan dari semi
privat ke privat. Konsep ini dapat dilakukan melalui penggunaan penghalang‐
penghalang simbolis seperti permukaan tekstur, jalan setapak dan lampu jalan,
serta penghalang nyata berupa penggunaan dinding bangunan.
3. Penggunaan bentuk bangunan dan material bangunan yang tidak berhubungan
dengan kondisi‐kondisi yang menyebabkan kriminalitas. Konidisi ini dapat
tercapai jika massa bangunan, rencana tapak dan material bangunan memiliki
hubungan yang positif dengan masyarakat.
4
terancam dari kejahatan yang tinggi, kecuali jika ditambah dengan penampakan‐
penampakan fisik yang jelas. Dalam kondisi ini, pembatas simbolis banyak dibutuhkan
untuk menghasilkan pembatas dan klaim penghuni terhadap lingkungannya.
The Crime Prevention Through Environment Design (CPTED) memilki pendekatan
dari banyak elemen yang serupa dengan konsep Newman. Ide utamanya adalah
bahwa lingkungan fisik dapat dimanipulasi untuk mengurangi kejadian kriminal dan
rasa takut, dengan cara mengurangi hal‐hal yang mendukung munculnya prilaku
kriminal (Crowe, 1991). Pengawasan melalui pendekatan desain memberikan basis
yang kuat bagi intervensi fisik suatu tempat, meliputi prinsi‐prinsip defensible space.
Penekanan pada teritorial definition dalam pendekatan Newman dan CPTED,
cenderung untuk mendukung bagi terciptanya layout lingkungan yang tersegregasi
dan tidak kontinyu (mis; cul‐desac), dengan maksud melalui pola layout tersebut
pelaku kriminal akan mudah terperangkap/ditangkap (Mayo, 1979).
Hillier (1998) mengkritisi konsep defensible space yang menghalangi pergerakan
alami melalui penciptaan lingkungan tersegregasi. Dia berargumen bahwa,
keberadaan orang dapat mempertinggi perasaan aman di ruang publik dan
memberikan perasaan aman melalui sebuah ruang yang terawasi secara natural.
Dalam studinya mengenai hubungan antara konfigurasi spasial dan pergerakan, Hillier
berargumen bahwa karakter spasial tertentu yang meningkatkan peluang kehadiran
orang menurutnya dapat meningkatkan rasa aman di lingkungan tersebut. Penelitian
ini juga menunjukkan bahwa lokasi yang terintegrasi dengan lemah memiliki angka
kriminalitas yang lebih besar dari pada lokasi yang terintegrasi dengan labih kuat.
Dari uraian di atas dapat dipahami terdapat kontradiksi antara strategi desain
terkait keberadaan orang dan eye on the street untuk meningkatkan keamanan
(Hillier, 1998; dan Jacobs, 1961) dengan strategi desain menghalangi akses dan
permeabilitas dalam rangka meningkatkan keamanan di suatu area (Newman, 1972;
dan CPTED). Selain itu, dari keempat konsep diatas telah menyepakati tiga aspek
sebagai pokok bahasan dalam desain lingkungan yang mengurangi peluang prilaku
atau tindak kriminal, yaitu; melalui Kontrol Teritorial Ruang, Pengawasan Lingkungan,
dan melalui Aktivitas. Sementara ide‐ide tersebut saling diujicobakan oleh para ahli,
5
paper ini akan mencoba untuk mengulas relevansi konsep‐konsep tersebut dalam
konteks lokal Kota Bandung, melalui pembahasan studi kasus Taman Flexi Kota
Bandung yang ditengarai sebagai lokasi kriminalitas dan vandalisme remaja pada
malam hari.
6
BA
AB 3
REELEVAN
NSI KONSEP
KASUSS TAMA
AN FLEXI KOTA BANDU UNG
Taman Fllexi merupaakan salah ssatu taman yang berlo
okasi di tenggah‐tengah Kota
ndung. Taman seluas ++ 1.300 m2 iini berada d
Ban di pertigaan
n antara Jl. Ir. H. Juand
da, Jl.
Ran
nggamalela dan Jl. Ran
nggagading.. Sebelah barat tamaan Flexi terd
dapat Singaapore
Inteernational School,
S seb
belah selataan terdapaat bangunan hunian kkosong, sebelah
timu
ur berbatassan langsun
ng dengan Jalan
J Dago dan bersebrangan deengan banggunan
perkkantoran. Sedangkan
S disebelah selatan te
erdapat to
oko “Circle‐‐K” dan “Dunkin
Don
nuts”.
Taman Flexi
F ramai dengan aktivitas anak‐anam muda
m p sabtu malam.
setiap
Merreka berkum
mpul dengaan kelompoknya masing‐masing, ggeng anak SSMA, geng m
motor
dan geng punk. Namun
n, aktivitass terjadi cenderung
c kepada aktivitas ne
egatif.
Van
ndalisme keerap kali dijumpai di sekitar Tam
man Flexi. Hal tersebu
ut tampak pada
jejak‐jejak yangg mereka tiinggalkan seeperti corettan kotor di pagar tam
man dan fassilitas
umu
um lainnya,, sampah‐saampah dan
n botol minuman kerass dan bahkaan akhir‐akh
hir ini
keraap ditemu
ukan jarum
m‐jarum suntik
s bekkas pemakaian narrkoba (sum
mber:
www
w.regional.kompas.com
m., diaksess tanggal 29
2 Desemberi 2009). Bahkan dalam
d
beb
berapa perrbincangan remaja SMA,
S Tam
man Flexi dikenal d
dengan seb
butan
berkkonotasi neegatif, yaknii “Taman Neeraka”.
(a) (b)
G
Gambar 1. Site
e Taman Flexii (a), dan zonaa dijumpai bekkas vandalism
m (b)
7
Dilihat pada struktur teriotorial lingkungan, Taman Flexi sebagai ruang yang
benar‐benar terdefinisi dengan jelas sebagai zona publik. Namun mungkin terlalu
terdefinisi dengan sangat jelas sehingga secara fisik terpisah dari lingkungan
sekitarnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jacobs (1962) bahwa hirarkhi zona akan
membentuk batasan teritori rasa kepemilikan terhadap sebuah ruang. Pada kasus
Taman Flexi, batasan teritori menjadikannya sebagai zona ruang publik dibatasi
secara fisik oleh jalan Ranggagading dan Rangggamalela selebar 8 meter. Batas
tersebut dipertegas lagi oleh pemakaian pagar pada setiap site bangunan di sekitar
Taman Flexi. Sebagai ruang publik yang benar‐benar bebas dari rasa kepemilikan
lingkungan sekitarnya, mengakibatkan rasa kebebasan yang benar‐benar bagi setiap
orang yang berada di site Taman Flexi, dan menjadi peluang bagi aktivitas kriminal
dan vandalism.
Hal ini sedikit berbeda dengan beberapa kasus yang telah diangkat Newman
dalam bukunya Defensible Space yang menyimpulkan bahwa kejelasan definisi
teritorial dapat menurunkan peluang bagi terjadinya tindak kriminal. Newman
mencontohkan kejelasan definisi teritori ruang sebagai solusi dalam revitalisasi Pruit‐
Igoe. Pada kasus ini, ruang privat berhubungan langsung dengan ruang publik,
kemudian diberi pagar di sekitar akses masuk ke ruang privat, sehingga tercipta ruang
semi publik di sekitar entry yang berada dibawah rasa kepemilikan dan kontrol
penghuninya. Solusi ini berhasil hingga mengurangi 80% kasus kriminal. Namun
penulis melihat ini bukanlah sepenuhnya solusi untuk mengurangi peluang
kriminalitas, karena pemasangan pagar hanyalah upaya membentengi hunian dari
kriminalitas yang akan terus berlangsung di ruang publik, dan ketika penghuni keluar
dari ruang semi privat berada di ruang publik mereka kembali berada dalam
ancaman. Sebagaimana yang terlihat pada kasus Taman Flexi, bangunan Singapore
International School yang terletak di sebelah barat taman Flexi memagari sitenya
dengan pagar yang benar‐benar tertutup bagi akses fisik maupun visual dari site
Taman Flexi. Langkah tersebut memang baik untuk mengamankan diri dari
kriminalitas, tetapi samas ekali tidak mengurangi kriminalitas dan vandalism di Taman
Flexi, bahkan mengurangi kontrol lingkungan terhadap Taman Flexi dari lingkungan
8
sekitarnya dan hal ini semakin memperbesar peluang bagi keberlanjutan kriminalitas
dan vandalisme di sana.
Dapat dikatakan pokok persoalan dalam aspek kontrol teritori adalah Taman
Flexi secara teritorial terdefinisi sebagai space yang terpisah dari lingkungan
sekitarnya, tidak bertuan, murni untuk publik tidak ada kontrol dari masyarakat
sekitarnya, dan tidak ada rasa kepemilikian untuk mengontrol lingkungan tersebut.
Kelompok remaja yang sering berkumpul di Taman Flexi memiliki peluang untuk
bebas melakukan apapun di ruang yang tidak bertuan tersebut, termasuk aktivitas
kriminal dan vandalism.
Model pendefinisian ruang yang dapat dinilai cukup baik ada pada sebelah utara
Taman Flexi, yang mana banguan Toko “Cicrcle‐K” dan “Dunkin Donuts” membatasi
ruang semi privat dan publik dengan bentukan simbolis berupa perbedaan kontur
(lebih tinggi). Ruang atara toko dengan tangga turun menjadi ruang semi publik yang
berada dalam kontrol aktivitas toko. Meskipun akses antara ruang publik (jalan dan
taman flexi) terbuka secara fisik, bekas vandalism tidak terlihat di ruang tersebut.
Meskipun demikian kondisi tersebut tidak membawa pengaruh lebih mengurangi
peluang kriminal di ruang publik Taman Flexi, sebagaimana pada sisi taman lainya,
karena antara ruang semi privat dengan ruang publik terpisahkan secara visual oleh
rimbunan vegetasi.
Pada dasarnya pendefinisan teritori ruang oleh pagar dan jalan menghalangi
Pengawasan Lingkungan (aspek kedua). Taman flexi menjadi terpisah dan sama sekali
lepas dari kontrol rasa kepemilikan dan kontrol dari lingkungan sekitarnya. Pada sisi
timur dan selatan neskipun tidak ada pagar tidak memberi pengaruh banyak karena
rasa kepemilikan yang menghadirkan pengawasan terhalang oleh jalan selebar 8
meter. Pendapat ini memang bertentangan dengan teori yang dikemukakan oleh
Jacob dan Hillier, yang mana mereka mengemukakan bahwa denggan adanya akses
akan mengundang orang untuk melewatinya dan secara langsung meningkatan “eye
on the street” yang berperan sebagai elemen pengawasan lingkungan untuk
mengurangi peluang munculnya tindak kriminal. Namun tidak demikian halnya yang
terjadi di Taman Flexi. Taman Flexi sendiri dikeililingi oleh jaringan jalan yang cukup
9
padat utamanya pada malam mingggu. Jalan Ir. H. Juanda sebagai jalan yang utama
yang macet pada malam minggu, begitu pula dengan Jalan Ranggagading dan
Ranggamalela sebagai akses untuk berbalik arah di Jalan Ir. H. Juanda. Meskipun
demikian pada waktu yang sama, vandalism juga terjadi, meski tidak pada tingkat
yang tidak terlalu parah. Seperti berciuman dan minum minuman keras, dan pada
malam hari ketika jalanan mulai sepi (>11 malam), vandalisme lebih lagi oleh para
geng motor.
Dari kondisi tersebut diketahui bahwa di lingkungan taman Flexi tidak terjadi
pengawasan meskipun banyak orang disitu, mungkin orang‐orang yang ada di jalan
hanya mampu mengobservasi apa yang terjadi tetapi tidak sampai memberikan
respon pengawasan. Menurut Newman (1972) terdapat beberapa persyaratan situasi
yang memungkinkan seseorang untuk dapat melakukan pengawasan (mengoservasi
dan merespon), yaitu sistuasinya memungkinkan bagi seseorang untuk
mengidentifikasi suatu prilaku sebagai kriminalitas dan situasinya memungkinkan bagi
seseorang untuk memberikan respon yang efektif. Dari pendapat Newman tersebut,
ada dua kemungkinan yang bisa terjadi pada kasus Taman Flexi, pertama‐ mereka
(orang‐orang di jalan) tidak dapat melihat/ mengidentifikasi prilaku kriminal yang ada
atau kemungkinan kedua‐ mereka melihat tapi tidak dapar merespon dengan efektif
karena dikhawatirkan mereka sendiri turut menjadi korban. Kedua kemungkinan ini
sangat mungkin terjadi dikarenakan posisi mereka (orang di jalan) sedang berada di
dalam mobil dan akses fisik mereka untuk mengontrol keluar dari mobil cukup
terbatas dan juga situasi yang gelap memungkinkan mereka tidak dapat melihat dan
ada kekhawatiran dirinya menjadi korban kriminal dan vandalism. Berbeda dengan
konsep yang telah diajukan Jacobs dan Hillier, keberadaan akses yang mendukung eye
on the street adalah pejalan kaki, yang mana pejalan kaki akan merasa sebagai
pengguna lingkungan tersebut dan tingkat kemauan untuk turut memberikan kontrol.
Hal lain yang membuat keberadaan akses dan orang‐orang di jalan tidak
berperan memberikan pengawasan adalah karena minimnya lampu penerang.
Berdasarkan hasil pengamatan, tindak kriminal dan vandalism memang terjadi di
lokasi‐lokasi yang gelap, kurang atau tidak ada penerangan publik. Semula di
10
beberapa spot pernah ada ada fasilitas penerangan, tapi saat ini dalam keadaan
rusak. Kondisi tersebut ini diakibatkan ulah vandalism itu sendiri yang sengaja
merusak lampu sehingga suasana menjadi gelap dan mereka punya peluang yang
lebih besar untuk berbuat kriminal dan vandalism. Terkait dengan pengawasan oleh
pejalan kaki, sebagaimana teori dari Jacobs, mungkin bisa menjadi model yang baik
dalam merevitaslisasi lingkungan Taman Flexi. Sebagaimana yang terjadi di depan
Toko “Dunkin‐Donuts” menjadi salah satu konsentrasi pedestrian, dan lokasi tersebut
bebas dari vandalism.
Pada aspek ketiga‐ Aktivitas, Jacobs (1961) mengemukakan bahwa keberadaan aktivitas
sangat baik untuk mengurangi kriminal. Senada dengan teori Jacobs tersebut, pada Taman
Flexi memang berkurangnya aktivitas mengarahkan pada bermulanya aktivitas negatif di
sana. Hal ini terlihat pada pukul setengah 9 malam, ketika toko Aquarius tutup, halaman
toko yang terletak di sebelah timur Taman Flexi ini seketika menjadi tempat remaja punk
berkumpul, dan didukung dengan suasanya yang gelap. Begitupula pada sisi barat dan selatan
dari Taman Flexi, lokasi tersebut yang langsung bersebrangan dengan rumah kosong dan
Singapore International School yang berpagar tertutup, tidak ada aktivitas, suasana gelap,
sehingga mulai dini hari lokasi tersebut telah menjadi tempat remaja‐remaja berkumpul dan
berpacaran. Kondisi yang sama terjadi di sisi timur Taman Flexi yang bersebrangan dengan
perkantoran yang tidak lagi beraktivitas ada malam hari. Pada kenyataannya lingkungan
sekitar seluruh sisi Taman Flexi Tidak lain aktivitas yang terjadi adalah kumpul‐kumpul
remaja‐remaja dengan peluang bebas untuk melakukan apa saja. Adanya kantong akivitas
positif dan sirkulasi pejalan kaki yang menurut Jacobs dan Hillier dapat menambah tingkat
pengawasan alami lingkungan dan keberadaan lingkungan hunian di sekitar site yang
menurut Newman akan memberikan pengawasan dan kontrol efektif untuk mengurangi
peluang terjadinya kriminalitas dan vandalism.
11
BAB 4
PROPOSAL MODIFIKASI
LINGKUNGAN TAMAN FLEXI
Dari uraian pada bab sebelumnya hal‐hal yang memberikan peluang bagi aktivitas
kriminal dan vandalisme di lingkungan Taman Flexi dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Definisi teritorial yang terlalu jelas. Hal ini mengakibatkan Taman Flexi benar‐benar
terpisah secara fisik dan bahkan secara visual dari lingkungan sekitarnya dan menjadi
ruang yang tidak memperoleh pengawasan dan kontrol atau ruang publik yang tidak
bertuan. Pendefinisian yang terlalu kental tersebut di bentuk oleh elemen jaringan jalan
selebar 5 meter yanbg mengelilingi site Taman Flexi dan pemanfaatan pagar tinggi dan
tertutup.
2. Lemahnya pengawasan natural dari lingkungan sekitar. Hal ini banyak dipengaruhi oleh
minimnya penerangan lingkungan yang mengakibatkan setiap orang sulit untuk
mengidentifikasi aktivitas kriminal dan vandalisme dan sulit untuk mengukur keefektifan
responnya, jangan‐jangan dia sendiri dapat turut korban dari vandalisme.
3. Minimnya aktivitas di lingkungan taman flexi. Hal ini mengakibatkan kondisi‐kondisi tidak
dimiliki rasa kepemilikian, tanggung jawab, kepengawasan dan kontroli oleh seorangpun
terhadap lingkungan Taman Flexi.
1. Land‐use, pada apsek perencanaan landuse lingkungan taman flexi perlu diarahkan
untuk penggunaan site yang kiranya dapat mengundang aktivitas positif dan pejalan kaki
di lingkungan tersebut. Melalui aktivitas tersebut diharapkan nantinya dapat
memberikan kontrol dan pengawasan bagi Taman Flexi, baik dari pengelola aktivitas dan
dari pengunjugnya. Lebih spesifik lagi seperti rumah kosong sebagai café atau restoran
menjadikannya sebagai point of interest baru di lingkungan Taman Flexi yang dapat
menarik aktivitas positif dan pedestrain dari kantong aktivitas lain disekitar Taman Flexi.
Tidak jauh dari site Taman Flexi terdapat Plaza Dago dan KFC yang menjadipusat aktivitas
12
positidf dan kantong pedestrian saat ini. Dapat diarahkan supaya aktivitas di sana dapat
diperluas hingga Taman Flexi, sebagai satuk esatuan paralel dari aktivitas yang ada di
Plaza Dago.
2. Streetscape, jaringan jalan yang mengelilingi Taman Flexi menjadi elemen yang
memberikan pengaruh cukup besar dan menjadikannya terpsiah dari lingkungan sekitar.
Untuk itu direkomendaikan untuk mengurangi rasa keterpisahan tersebut dengan desiain
dan penggunaan material streetscape yang menyatu dengan lingkungan sekitarnya.
Konsep ini diharapkan untuk sedikit mengaburkan definsi teritorial antara taman flexi
dengan lingkungan sekitarnya sehingga akan menimbulkan rasa kepemilikan terhadap
taman flexi sebagai satu kesatuan dari aktivitas lingkungan sekitarnya dan mengundang
pengawasan dan kontrol lingkungan sekitar terhadap Taman Flexi. Design streetscape
juga diharapkan dapat menjadikan Plaza Dago dan site Taman Flexi menjadi satu akses
pergerakan pedestrian, dengan memudahkan akses antara keduanya dan
menyeragamkan design elemen lingkungannya.
3. Landscape, desin landscape untuk mendesain site Taman Flexi itu sendiri. Desain ini
ditujukan untuk menfasilitasi aktivitas remaja Bandung, hanya saja diharapkan untuk
menfasilitasi aktivitas mereka ke arah yang positif dan mengurangi peluang bagi aktivitas
kriminal dan vandalism. Yakni dengan mendesain landscape sebagai arena skate‐board
dan ruang‐ruang komunal untuk remaja duduk berkelompok.
4. Furniture dan Vegetasi. Desain elemen furtniture lingkungan yang paling diperlukan
adalah lampu penerangan. Konsep desain diharapkan model yang tidak riskan terhadap
vandalisme, dari dimensi (tinggi), jensi ampu, dan penggunaan material yang tidak riskan.
Vegetasi tunggal pohon akasia di tengah taman dapat dipertahankan sebagai identitas
taman sekaligus sebagai peneduh bagi lingkungan Taman Flexi. Selain itu diharapkan
untuk menghindari penggunaan tanaman rimbun lainnya di setiap sisi Taman Flexi dan
menghindari penananamn deretan tanaman berketinggian lebih dari 1 meter yang dapat
menghalangi akses visual Taman Flexi dari lingkungan sekitarnya yang dapat
menghalangi kontrol teriotrial dan pengawasan Taman Flexi dari lingkungan dan aktivitas
sekitarnya.
13
BAB 5
KESIMPULAN
14
DAFTAR PUSTAKA
Carmona, M. et.al. 2003. Public Places Urban Spaces, The Dimensions of Urban Design.
Oxford: Architectural Press.
Clarke, R.V.G. 1997. Situational Crime Preventipon: Succesful Case Studies, 2nd Edition. New
York: Harrow & Houston.
Crowe, T. 1991. Crime Prevention through Environmental Design. Oxford: Butterworth‐
Heinemann.
Hillier, B. 1996a. Space is The Machine. Cambridge: Cambridge University Press.
Jacobs, J. 1961. The Death and Life of Great American Cities: The failure of modern town
planning. London: Pregrine Press.
Newman, O. 1972. Defensible Space: People and Design in The Violent City. London:
Architectural Press.
Ynt .2008. Jarum Suntik Tersebar di Taman dan Selokan, Dalam Tiga Bulan Terkumpul 40 Kg.
http://hrpkbijabar.wordpress.com/2008/11/09/kompas‐40‐jarum‐terkumpul.. Diakses
tanggal 29 Desember 2009.
Yulvianus, H. 2009. Taman Kota, Firdaus, Hotspot dan Panel Surya.
http://regional.kompas.com/read/xml/2009/11/01/05280758/taman.kota.firdaus.hots
pot.dan.panel.surya.. Diakses tanggal 29 Desember 2009.
Zelinka, Al. et.al. 2001. SafesScape, Creating Safer, More Liveable Communities Through
Planning and Design. Washington D.C.: Planners Press.
15