You are on page 1of 5

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Akreditasi IDI 4 SKP

Penatalaksanaan Kedaruratan
Cedera Kranioserebral
Lyna Soertidewi
Bagian Ilmu Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia

PENDAHULUAN1,2
Dinamakan cedera kranioserebral karena cedera ini melukai baik bagian kranium (tengkorak) maupun serebrum (otak). Cedera tersebut
dapat mengakibatkan luka kulit kepala, fraktur
tulang tengkorak, robekan selaput otak, kerusakan pembuluh darah intra- maupun ekstraserebral, dan kerusakan jaringan otaknya
sendiri.
Cedera ini dapat terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas (terbanyak), baik pejalan kaki maupun
pengemudi kendaraan bermotor. Selain itu,
cedera kranioserebral dapat juga terjadi akibat jatuh, peperangan (luka tembus peluru),
dan lainnya.
Akibat cedera ini, seseorang dapat mengalami
kondisi kritis seperti tidak sadarkan diri pada
saat akut, dan yang tidak kalah penting adalah
saat perawatan karena jika penatalaksanaannya tidak akurat, dapat terjadi kematian atau
kecacatan berat.
DEFINISI1,2
Cedera kranioserebral termasuk dalam ruang
lingkup cabang ilmu neurotraumatologi,
yang mempelajari/meneliti pengaruh trauma
terhadap sel otak secara struktural maupun
fungsional dan akibatnya baik pada masa akut
maupun sesudahnya. Akibat trauma dapat
terjadi pada masa akut (kerusakan primer) dan
sesudahnya (kerusakan sekunder), oleh karena
itu manajemen segera dan intervensi lanjut
harus sudah dilaksanakan sejak saat awal
kejadian guna mencegah/meminimalkan kematian maupun kecacatan pasien.

pat juga fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini


ada yang di basis kranium, dan ada yang di
temporal, frontal, parietal, ataupun oksipital.
Fraktur bisa linear atau depressed, terbuka atau
tertutup.
Klasifikasi berdasarkan lesi bisa fokal atau difus, bisa kerusakan aksonal ataupun hematoma. Letak hematoma bisa ekstradural atau
dikenal juga sebagai hematoma epidural
(EDH), bisa hematoma subdural (SDH), hematoma intraserebral (ICH), ataupun perdarahan
subaraknoid (SAH).
Klasifikasi yang sering dipergunakan di klinik
berdasarkan derajat kesadaran Skala Koma
Glasgow (tabel 1).

Tabel 2 Klasifikasi Cedera Kepala berdasarkan lama amnesia pascacedera

1.
Koma Glasgow

SKG

Gambaran Klinik

CK Ringan 13-15 Pingsan <10 menit, defisit


neurologik (-)

Skening
Otak
Normal

CK Sedang 9-12 Pingsan >10 menit s/d <6 Abnormal


jam, defisit neurologik (+)
CK Berat

3-8 Pingsan >6 jam,


defisit neurologik (+)

Abnormal

Beratnya Trauma
Kranioserebral

Kurang dari 5 menit

sangat ringan

5 60 menit

ringan

1 24 jam

sedang

1 7 hari

berat

1 4 minggu

sangat berat

Lebih dari 4 minggu

ekstrem berat

Dari empat klasifikasi tersebut, klasifikasi berdasarkan derajat kesadaran yang banyak dipakai di klinik karena mempunyai beberapa
kelebihan, yaitu

Tabel 1 Klasifikasi Cedera Kepala (CK) berdasarkan Skala

Kategori

Lama Amnesia
Pascacedera

2.

Penilaian SKG (Skala Koma Glasgow) dengan komponen E(ye) M(otor) dan V(erbal)
mempunyai nilai pasti dengan tampakan
klinik yang mudah dinilai oleh kalangan
medis maupun paramedis (standar jelas)
(Tabel 3),
Kategori dan prognosis pasien cedera
kranioserebral dapat diperkirakan dengan melihat nilai SKG yang meskipun
diulang beberapa kali akan menghasilkan nilai yang sama.

Tabel 3 Penilaian Skala Koma Glasgow untuk anak lebih


dari 5 tahun dan dewasa

Catatan: Pada pasien cedera kranioserebral dengan SKG

Tampakan

13-15, pingsan <10 menit, tanpa defisit neurologik, tetapi

E(ye) opening

Skala

Nilai
4

Spontan

pada hasil skening otaknya terlihat perdarahan, diagno-

Dipanggil

sisnya bukan cedera kranioserebral ringan (CKR)/komosio,

Rangsang nyeri

tetapi menjadi cedera kranioserebral sedang (CKS)/kontu-

Tidak ada respons

sio.
V(erbal) response Orientasi baik

KLASIFIKASI1,2
Klasifikasi cedera kranioserebral berdasarkan
patologi yang dibagi dalam komosio serebri,
kontusio serebri, dan laserasi. Di samping patologi yang terjadi pada otak, mungkin terda-

CDK-193/ vol. 39 no. 5, th. 2012

CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 327

Klasifikasi lain berdasarkan lama amnesia


pascacidera (APC) diperkenalkan oleh Russel
dalam Jennett & Teasdale4 (tabel 2). Klasifikasi
ini bisa dikombinasikan dengan klasifikasi berdasarkan klinis SKG.

Jawaban kacau

Kata-kata tak-patut
(inappropriate)

Bunyi/suara tak-berarti
(incomprehensible)

Tidak bersuara

327
6/5/2012 11:01:26 AM

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

M(otor) response

Sesuai perintah

Lokalisasi perintah

Reaksi atas nyeri

Fleksi (dekortikasi)

Ekstensi (deserebrasi)

Tidak ada respons (diam)

Total nilai Skala Koma Glasgow (SKG/GCS) antara 3-15

PATOLOGI & GEJALA KLINIS2,3


Hematoma Ekstradural/Epidural (EDH)
Sebagian besar kasus diakibatkan oleh
robeknya arteri meningea media. Perdarahan
terletak di antara tulang tengkorak dan duramater. Gejala klinisnya adalah lucid interval,
yaitu selang waktu antara pasien masih sadar
setelah kejadian trauma kranioserebral dengan penurunan kesadaran yang terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini
kurang dari 24 jam; penilaian penurunan kesadaran dengan GCS. Gejala lain nyeri kepala
bisa disertai muntah proyektil, pupil anisokor
dengan midriasis di sisi lesi akibat herniasi unkal, hemiparesis, dan refleks patologis Babinski
positif kontralateral lesi yang terjadi terlambat.
Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan
lesi hiperdens (gambaran darah intrakranial)
umumnya di daerah temporal berbentuk
cembung.
Hematoma Subdural (SDH)
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan,
sinus venosus dura mater atau robeknya
araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut
dan kronik Gejala klinis berupa nyeri kepala
yang makin berat dan muntah proyektil. Jika
SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak,
mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan
kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa
lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila
darah lisis menjadi cairan, disebut higroma
(hidroma) subdural.
Edema Serebri Traumatik
Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di batang otak
dengan akibat tonus dinding pembuluh
darah menurun, sehingga cairan lebih mudah
menembus dindingnya. Penyebab lain adalah
benturan yang dapat menimbulkan kelainan
langsung pada dinding pembuluh darah sehingga menjadi lebih permeabel. Hasil akhirnya akan terjadi edema.

328
CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 328

Cedera Otak Difus


Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah
maupun pada parenkim otak, disertai edema.
Keadaan pasien umumnya buruk.
Hematoma Subaraknoid (SAH)
Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi
pada lebih kurang 40% kasus cedera kranioserebral, sebagian besar terjadi di daerah
permukaan oksipital dan parietal sehingga
sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang
meningeal. Adanya darah di dalam cairan
otak akan mengakibatkan penguncupan
arteri-arteri di dalam rongga subaraknoidea.
Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai
vasospasme, akan timbul gangguan aliran
darah di dalam jaringan otak. Keadaan ini
tampak pada pasien yang tidak membaik
setelah beberapa hari perawatan. Penguncupan pembuluh darah mulai terjadi pada hari
ke-3 dan dapat berlangsung sampai 10 hari
atau lebih.
Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT scan otak, tampak perdarahan di ruang subaraknoid. Berbeda dengan
SAH non-traumatik yang umumnya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak
(AVM atau aneurisma), perdarahan pada SAH
traumatik biasanya tidak terlalu berat.
Fraktur Basis Kranii
Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear
fosa di daerah basal tengkorak; bisa di anterior, medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto
polos tulang tengkorak atau aksial CT scan.
Garis fraktur bisa terlihat pada CT scan berresolusi tinggi dan potongan yang tipis. Umumnya yang terlihat di CT scan adalah gambaran
pneumoensefal.
Fraktur anterior fosa melibatkan tulang frontal, etmoid dan sinus frontal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yaitu adanya
cairan likour yang keluar dari hidung (rinorea)
atau telinga (otorea) disertai hematoma kacamata (raccoon eye, brill hematoma, hematoma
bilateral periorbital) atau Battle sign yaitu hematoma retroaurikular. Kadang disertai anosmia atau gangguan nervi kraniales VII dan VIII.
Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila duramater robek.
PENATALAKSANAAN2,4-6
Penatalaksanaan cedera kranioserebral dapat
dibagi berdasarkan:

A.



Kondisi kesadaran pasien


Kesadaran menurun
Kesadaran baik

B.



Tindakan
Terapi non-operatif
Terapi operatif

C.




Saat kejadian
Manajemen prehospital
Instalasi Gawat Darurat
Perawatan di ruang rawat

Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:


1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak
serta mencegah kemungkinan terjadinya
tekanan tinggi intrakranial
2. Mencegah dan mengobati edema otak
(cara hiperosmolar, diuretik)
3. Minimalisasi kerusakan sekunder
4. Mengobati simptom akibat trauma
otak
5. Mencegah dan mengobati komplikasi
trauma otak, misal kejang, infeksi (antikonvulsan dan antibiotik)

Terapi operatif terutama diindikasikan untuk


kasus:
1. Cedera kranioserebral tertutup
Fraktur impresi (depressed fracture)
Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan volume perdarahan lebih dari 30mL/44mL dan/atau
pergeseran garis tengah lebih dari
3 mm serta ada perburukan kondisi
pasien
Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan pendorongan garis
tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/
obliterasi sisterna basalis
Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan neurologik atau herniasi
2.

Pada cedera kranioserebral terbuka


Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur multipel, dura
yang robek disertai laserasi otak
Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari
14 hari
Pneumoencephali
Corpus alienum
Luka tembak

CDK-193/ vol. 39 no. 5, th. 2012

6/5/2012 11:01:26 AM

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


PASIEN DALAM KEADAAN SADAR
(SKG=15)1-6
1.

Simple Head Injury (SHI)


Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali
dan tidak ada defisit neurologik, dan tidak
ada muntah. Tindakan hanya perawatan
luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas
indikasi.
Umumnya pasien SHI boleh pulang
dengan nasihat dan keluarga diminta
mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai
kesadaran menurun saat diobservasi,
misalnya terlihat seperti mengantuk dan
sulit dibangunkan, pasien harus segera
dibawa kembali ke rumah sakit.

2.

Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral, dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami
cedera kranioserebral ringan (CKR).

PASIEN DENGAN KESADARAN


MENURUN
1. Cedera kranioserebral ringan
(SKG=13-15)1-6
Umumnya didapatkan perubahan orientasi
atau tidak mengacuhkan perintah, tanpa disertai defisit fokal serebral.
Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka,
foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi
minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial,
misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala,
muntah-muntah, kesadaran menurun, dan
gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis positif ). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.
Pasien cedera kranioserebral ringan (CKR)
tidak perlu dirawat jika:
a. orientasi (waktu dan tempat) baik
b. tidak ada gejala fokal neurologik
c. tidak ada muntah atau sakit kepala
d. tidak ada fraktur tulang kepala
e. tempat tinggal dalam kota
f. ada yang bisa mengawasi dengan baik di
rumah, dan bila dicurigai ada perubahan
kesadaran, dibawa kembali ke RS

CDK-193/ vol. 39 no. 5, th. 2012

CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 329

2. Cedera kranioserebral sedang


(SKG=9-12)
Pasien dalam kategori ini bisa mengalami
gangguan kardiopulmoner.
Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas
(Airway), pernapasan (Breathing), dan sirkulasi (Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil,
tanda fokal serebral, dan cedera organ
lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas, lakukan
fiksasi leher dengan pemasangan kerah
leher dan atau fiksasi tulang ekstremitas
bersangkutan
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian
tubuh lainnya
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma
intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil,
dan defisit fokal serebral lainnya
3. Cedera kranioserebral berat
(SKG=3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur
servikal, segera pasang kerah fiksasi leher,
bila ada luka terbuka dan ada perdarahan,
dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan
cedera kranioserebral sedang dengan
pengawasan lebih ketat dan dirawat di
ICU.
Di samping kelainan serebral juga bisa disertai
kelainan sistemik. Pasien cedera kranioserebral
berat sering berada dalam keadaan hipoksi,
hipotensi, dan hiperkapni akibat gangguan
kardiopulmoner.
TINDAKAN DI UNIT GAWAT DARURAT &
RUANG RAWAT4-6
1. Resusitasi dengan tindakan A =
Airway, B = Breathing dan C = Circulation
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun
ke belakang dengan posisi kepala ekstensi.
Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien
dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan
melalui pipa nasogastrik untuk menghindari
aspirasi muntahan.

b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan
oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik.
Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi,
trauma dada, edema paru, emboli paru, atau
infeksi.
Tata laksana:
Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit,
intermiten
Cari dan atasi faktor penyebab
Kalau perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak.
Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90
mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah
dapat meningkatkan risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat
faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam,
trauma dada disertai tamponade jantung/
pneumotoraks, atau syok septik.
Tata laksananya dengan cara menghentikan
sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau
sementara dengan cairan isotonik NaCl
0,9%.
2. Pemeriksaan fisik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan
fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, pola
dan frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk
dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan
cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada
hari-hari pertama. Bila terdapat perburukan
salah satu komponen, penyebabnya dicari
dan segera diatasi.
3. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan
fraktur servikal, collar yang telah terpasang
tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan abdomen dilakukan atas indikasi.
CT scan otak dikerjakan bila ada fraktur tulang
tengkorak atau bila secara klinis diduga ada
hematoma intrakranial.

329
6/5/2012 11:01:29 AM

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


4.

Pemeriksaan laboratorium

Hb, leukosit, diferensiasi sel8,9


Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa
leukositosis dapat dipakai sebagai salah
satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio (CKR). Leukosit >17.000 merujuk pada CT scan otak
abnormal,5 sedangkan angka leukositosis >14.000 menunjukkan kontusio
meskipun secara klinis lama penurunan
kesadaran <10 menit dan nilai SKG 13-15
adalah acuan klinis yang mendukung ke
arah komosio.6 Prediktor ini bila berdiri
sendiri tidak kuat, tetapi di daerah tanpa
fasilitas CT scan otak, dapat dipakai sebagai salah satu acuan prediktor yang
sederhana.

Gula darah sewaktu (GDS) (10)


Hiperglikemia reaktif dapat merupakan
faktor risiko bermakna untuk kematian
dengan OR 10,07 untuk GDS 201-220mg/
dL dan OR 39,82 untuk GDS >220 mg/
dL.8
Ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena
manitol merupakan zat hiperosmolar
yang pemberiannya berdampak pada
fungsi ginjal. Pada fungsi ginjal yang buruk, manitol tidak boleh diberikan.
Analisis gas darah
Dikerjakan pada cedera kranioserebral
dengan kesadaran menurun. pCO2 tinggi
dan pO2 rendah akan memberikan luaran
yang kurang baik. pO2 dijaga tetap >90
mm Hg, SaO2 >95%, dan pCO2 30-35 mm
Hg.

Diagnosis kelainan hematologis ditegakkan bila trombosit <40.000/mm3, kadar


ffibrinogen <40mg/mL, PT >16 detik,
dan aPTT >50 detik.

melihat apakah ada perdarahan lambung.


Bila pemberian nutrisi peroral sudah baik dan
cukup, infus dapat dilepas untuk mengurangi
risiko flebitis.

5. Manajemen tekanan intrakranial


(TIK) meninggi5,6
Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat
edema serebri dan/atau hematoma intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang
monitor TIK.

7. Neurorestorasi/rehabilitasi1,2
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan
tapotase toraks, dan ekstremitas digerakkan
pasif untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik.

TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mm


Hg sudah harus diturunkan dengan cara:
a.

Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 2030 derajat dengan kepala dan dada pada
satu bidang.

b.

Terapi diuretik:
Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan
dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam 30
menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan
dosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi
310 mOsm.
Loop diuretic (furosemid)
Pemberiannya bersama manitol, karena
mempunyai efek sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.

6. Nutrisi11
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5 kali normal dan
akan mengakibatkan katabolisme protein.

Elektrolit (Na, K, dan Cl)


Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran.

Albumin serum (hari 1)11


Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-3,4g/dL) mempunyai risiko kematian 4,9 kali lebih besar
dibandingkan dengan kadar albumin
normal.7

Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranioserebral berat meningkat rata-rata 40%. Total kalori yang dibutuhkan 25-30 kkal/kgBB/
hari. Kebutuhan protein 1,5-2g/kgBB/hari,
minimum karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/
hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari,
dan rekomendasi tambahan mineral: zinc 1030 mg/hari, cuprum 1-3 mg, selenium 50-80
mikrogram, kromium 50-150 mikrogram, dan
mangan 25-50 mg. Beberapa vitamin juga
direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C,
riboflavin, dan vitamin K yang diberikan berdasarkan indikasi.

Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen


Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada
kelainan hematologis. Risiko late hematomas perlu diantisipai.

Pada pasien dengan kesadaran menurun,


pipa nasogastrik dipasang setelah terdengar
bising usus. Mula-mula isi perut dihisap keluar
untuk mencegah regurgitasi sekaligus untuk

330
CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 330

Kondisi kognitif dan fungsi kortikal luhur lain


perlu diperiksa. Saat Skala Koma Glasgow
sudah mencapai 15, dilakukan tes orientasi
amnesia Galveston (GOAT). Bila GOAT sudah
mencapai nilai 75, dilakukan pemeriksaan
penapisan untuk menilai kognitif dan domain
fungsi luhur lainnya dengan Mini-Mental State
Examination (MMSE); akan diketahui domain
yang terganggu dan dilanjutkan dengan konsultasi ke klinik memori bagian neurologi.
8. Komplikasi1,2,5
a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama
setelah trauma disebut early seizure, dan yang
terjadi setelahnya disebut late seizure. Early
seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu
ada fraktur impresi, hematoma intrakranial,
kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis
fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama
7-10 hari.
b. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko
tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian
profilaksis antibiotik ini masih kontroversial.
Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis meningitis.
c. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi
penyebabnya. Dilakukan tindakan menurunkan suhu dengan kompres dingin di kepala,
ketiak, dan lipat paha, atau tanpa memakai
baju dan perawatan dilakukan dalam ruangan
dengan pendingin.
Boleh diberikan tambahan antipiretik dengan
dosis sesuai berat badan.
d. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis
erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di

CDK-193/ vol. 39 no. 5, th. 2012

6/5/2012 11:01:31 AM

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres
ini merupakan kelainan mukosa akut saluran
cerna bagian atas karena berbagai kelainan
patologik atau stresor yang dapat disebabkan
oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak
stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini
dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2 receptor blockers (simetidin,
ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1
ampul IV selama 5 hari.
e. Gelisah
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung
kemih atau usus yang penuh, patah tulang
yang nyeri, atau tekanan intrakranial yang
meningkat. Bila ada retensi urin, dapat dipasang kateter untuk pengosongan kandung
kemih.
Bila perlu, dapat diberikan penenang dengan
observasi kesadaran lebih ketat. Obat yang
dipilih adalah obat peroral yang tidak menimbulkan depresi pernapasan.
9. Proteksi serebral (neuroproteksi)1,2
Adanya tenggang waktu antara terjadinya
cedera otak primer dengan timbulnya kerusakan sekunder memberikan kesempatan
untuk pemberian neuroprotektor. Manfaat
obat-obat tersebut sampai saat ini masih terus diteliti. Obat-obat tersebut antara lain golongan antagonis kalsium (mis., nimodipine)
yang terutama diberikan pada perdarahan

subaraknoid (SAH) dan sitikolin untuk memperbaiki memori.


Dari beberapa percobaan penting, terungkap
bahwa agen neuroprotektor yang diberikan
setelah cedera otak dapat menekan kematian dan menambah perbaikan fungsi otak.
Dahulu, pemberian neuroprotektor ini masih
diragukan kegunaannya.
Manajemen harus sudah mendeteksi sejak awal dan melakukan pencegahan efek
sekunder dengan cara memperhatikan kemungkinan terjadinya komplikasi sekunder
dan kemungkinan adanya perbaikan dengan
terapi intervensi non-farmasi (terapi gizi).
Hal yang perlu dipantau dari awal untuk
proteksi serebral adalah kemungkinan terjadinya hipoksia, hipotensi, maupun demam
yang dapat memperburuk kondisi iskemia
serebral. Manajemen intensif dengan obat
proteksi serebral berdasarkan patofisiologi
mekanisme kerja yang spesifik menjanjikan
perbaikan luaran (outcome) pasien cedera
kranioserebral.
KONTROVERSI MANAJEMEN
Steroid2
Pemberian kortikosteroid untuk cedera kranioserebral ini masih kontroversial. Ada yang
mengatakan tidak ada gunanya dan ada yang
mengatakan boleh saja diberikan. Efek yang
jelas terlihat dan berguna ialah pada kasus

cedera spinal. Terapi kortikosteroid yang menjanjikan di masa datang adalah 21 aminosteroid (lazaroid) yang masih diteliti.
PREDIKSI LUARAN7,12
Luaran cedera kranioserebral secara sederhana dibagi dua, yaitu hidup dan meninggal. Untuk prediksi luaran hidup dan meninggal ini, bisa dipakai beberapa sistem
penskoran, antara lain (yang dikembangkan
di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) adalah penskoran MNM (Mata, Napas, Motorik).
Penskoran yang lebih komprehensif dalam
menilai kematian dan kondisi hidup dengan tingkatan kecacatan adalah Glasgow
Outcome Score.
Prediksi luaran pasien cedera kranioserebral
bergantung pada banyak faktor, antara lain
umur, beratnya cedera berdasarkan klasifikasi
GCS dan CT scan otak, komorbiditas, hipotensi,
dan/atau iskemia serta lateralisasi neurologik.
Nutrisi yang tidak adekuat dapat memperburuk luaran. Hal yang perlu juga diperhatikan
adalah adanya amnesia pascacedera yang
menetap lebih dari 1 jam (pemeriksaan GOAT),
fraktur tengkorak, gejala neuropsikologik
(salah satu caranya dengan pemeriksaan
MMSE) atau gejala neurologik saat keluar dari
rumah sakit, yang akan memberikan problem
gejala sisa lebih sering dibandingkan mereka
yang keluar tanpa adanya gejala tersebut di
atas.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. PERDOSSI, 2006.

2.

Teasdale G, Jennett B. Management of head injuries. Davis Co., Philadelphia, 1981.

3.

Ling GSF, Grimes J. Pathophysiology and initial prehospital management. AAN Hawaii, 2011.

4.

Marion DW. Head injury. Powner DJ. Nutrition/metabolism in the trauma patient. In: The Trauma Manual. Peitzman AB et al. (eds.). Lippincott Raven, 1998.

5.

Andrews PJD. Traumatic brain injury. In: Neurological Emergencies. Hughes R (ed.). 3rd ed. BMJ books, 2000.

6.

Marshall SA. Management of moderate and severe traumatic brain injury. AAN Hawaii, 2011.

7.

Musridatha E, Jannis J, Soertidewi L. Modifikasi revised trauma score pada pasien dewasa cedera kranioserebral sedang. Tesis Bagian Neurologi FKUI/RSCM, 2006.

8.

Emril RD. Leukositosis sebagai salah satu indikator adanya lesi struktural intrakranial pada penderita cedera kepala tertutup dengan skala koma Glasgow awal 13-15. Penelitian Bagian

9.

Syarif I, Soertidewi L,Yamanie N. Hubungan antara leukositosis dan peningkatan suhu tubuh dengan CKS dan CKB tertutup selama 3 hari onset di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo,

Neurologi, FKUI/RSCM, 2003.

Jakarta. Tesis. Bagian Neurologi FKUI/RSCM, 2001.


10. Handisurya I. Nilai prognostik kadar glukosa darah sewaktu pada cedera kranioserebral berat tertutup fase akut. Tesis. Bagian Neurologi, FKUI/RSCM, 1996.
11. Dewati E, Soertidewi L, Yamanie N. Kadar albumin serum dan keluaran penderita cedera kranioserebral. Tesis. Bagian Neurologi, FKUI/RSCM, 1999.
12. Gunawan A, Soertidewi L, Musridatha E. Uji prognostik: skor motorik, frekuensi nafas, dan membuka mata (MNM skor) untuk memprediksi keluaran dalam tiga hari pada pasien dewasa
trauma kapitis sedang-berat. Tesis Bagian Neurologi FKUI/RSCM, 2011.

CDK-193/ vol. 39 no. 5, th. 2012

CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 331

331
6/5/2012 11:01:33 AM

You might also like