You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dermatitis atopik (D.A) adalah penyakit kulit reaksi inflamasi yang didasari oleh faktor
herediter dan faktor lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula,
vesikel, kusta, skuama dan pruritus yang hebat. Bila residif biasanya disertai infeksi, atau
alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan. Dermatitis atopik atau
eksema adalah peradangan kronik kulit yang kering dan gatal yang umumnya dimulai
pada awal masa kanak-kanak. Eksema dapat menyebabkan gatal yang tidak tertahankan,
peradangan, dan gangguan tidur. Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Umumnya
episode pertama terjadi sebelum usia 12 bulan dan episode-episode selanjutnya akan
hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan sembuh dari
eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus mengalami eksema hingga
dewasa. Penyakit ini dinamakan dermatitis atopik oleh karena kebanyakan penderitanya
memberikan reaksi kulit yang didasari oleh IgE dan mempunyai kecenderungan untuk
menderita asma, rinitis atau keduanya di kemudian hari yang dikenal sebagai allergic
march. Walaupun demikian, istilah dermatitis atopik tidak selalu memberikan arti bahwa
penyakit ini didasari oleh interaksi antigen dengan antibodi.
2. Tujuan
Untuk mengetahui pemeriksaan fisik dan penunjang pada dermatitis atopick, gejala klinis,
WD (diagnosis kerja), DD (diagnosis pembanding), epidemiologi, etiologi, pinata
laksanaan, prognosis dan preventif pada dermatitis atopik..

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pemeriksaan
a. Anamnesis
1

Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat


penyakit dan menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur
dan lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk
menegakkan diagnosis. Sistematika yang lazim dalam anamnesis, yaitu identitas,
riwayat penyakit, dan riwayat perjalanan penyakit. 1,2

Identitas : nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa, pendidikan,

pekerjaan.
Riwayat penyakit
Keluhan utama yang menyebabkan pasien dibawa berobat. Keluhan utama tidak

harus sejalan dengan diagnosis utama.


Riwayat perjalanan penyakit
Riwayat perjalanan penyakit mencakup:
Cerita kronologis, rinci dan jelas tentang keadaan pasien sebelum ada keluhan

sampai dibawa berobat.


Pengobatan sebelumnya dan hasilnya
Tindakan sebelumnya
Perkembangan penyakit gejala sisa atau cacat
Riwayat penyakit lain yang pernah diderita sebelumnya.1,2
Pada anamnesis pasien didapat hasil sebagai berikut : seorang anak laki-laki usia 1
tahun, datang dengan keluhan berupa bercak, beruntus kemerahan yang terasa
gatal pada badan, kedua tungkai atas dan bawah sejak 2 minggu yang lalu.
Kelainan kulit pertama kali timbul saat berusia 6 bulan, pasien pernah diobati
kedokter penyakit kulit dan kelamin diberi salep kortikosteroid terdapat perbaikan.
Kedua orang tua pasien memiliki riwayat asma.

b. Fisik
Pemeriksaan fisik dermatitis atopik dilakukan dalam bentuk pemeriksaan kulit, yang
dibagi menjadi dua berdasarkan :
Lokalisasi
- Bayi : kedua pipi, kepala, badan, lipat siku, lipat lutut.
- Anak : tengkuk, lipat siku, lipat lutut.
- Dewasa : tengkuk, lipat lutut, lipat siku, punggung kaki.
Efloresensi/ sifat-sifatnya
- Bayi : eritema berbatas tegas, papula/ vesikel miliar disertai erosi dan eksudasi
-

serta krusta.
Anak : papula-papula miliar, likenifikasi, tidak eksudatif.
Dewasa : biasanya hiperpigmentasi, kering dan likenifikasi.2,3
2

Pada pemeriksaan fisik pasien didapat hasil sebagai berikut : terdapat bercak dan
beruntus kemerahan yang terasa gatal pada badan, kedua tungkai atas dan bawah.

c. Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan :
- IgE serum. IgE serum dapat diperiksa dengan metode ELISA. Ditemukan
80% pada penderita dermatitis atopik menunjukkan peningkatan kadar IgE
-

dalam serum terutama bila disertai gejala atopi ( alergi )


Eosinofil. Kadar serum dapat ditemukan dalam serum penderita dermatitis
atopik. Berbagai mediatore berperan sebagai kemoatraktan terhadap eosinofil
untuk menuju ke tempat peradangan dan kemudian mengeluarkan berbagai zat
antara lain Major Basic Protein (MBP). Peninggian kadar eosinofil dalam

darah terutama pada MBP.


TNF-a. Konsentrasi plasma TNF-a meningkat pada penderita dermatitis

atopik dibandingkan penderita asma bronkhial.


Sel T. Limfosit T di daerah tepi pada penderita dermatitis atopik mempunyai
jumlah absolut yang normal atau berkurang. Dapat diperiksa dengan
pemeriksaan imunofluouresensi terlihat aktifitas sel T-helper menyebabkan

pelepasan sitokin yang berperan pada patogenesis dermatitis atopik.


Uji tusuk. Pajanan alergen udara (100 kali konsentrasi) yang dipergunakan untuk
tes

intradermal

yang

dapat

memacu

terjadinya

hasil

positif.

Pemeriksaan biakan dan resistensi kuman dilakukan bila ada infeksi sekunder
untuk menentukan jenis mikroorganisme patogen serta antibiotika yang sesuai.

Sampel pemeriksaan diambil dari pus tempat lesi penderita.4


Dermatografisme Putih. Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan 3
respon, yakni : akan tampak garis merah di lokasi penggoresan selama 15 menit,
selanjutnya mennyebar ke daerah sekitar, kemudian timbul edema setelah
beberapa menit. Namun, pada penderita atopik bereaksi lain, garis merah tidak

disusul warna kemerahan, tetapi timbul kepucatan dan tidak timbul edema.
Percobaan Asetilkolin. Suntikan secara intrakutan solusio asetilkolin 1/5000
akan menyebabkan hiperemia pada orang normal. Pada orang Dermatitis Atopik.

akan timbul vasokontriksi, terlihat kepucatan selama 1 jam.3,4


Percobaan Histamin. Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita
Dermatitis Atopik. eritema akan berkurang, jika disuntikkan parenteral, tampak
eritema bertambah pada kulit yang normal.4

2. WD
3

Dari pemeriksaan awal yang dilakukan, dapat diperkirakan bahwa anak laki-laki tersebut
menderita penyakit dermatitis atopic (D.A.), yaitu keadaan peradangan kulit kronis dan
residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,
sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada
keluarga atau penderita (dermatitis atopik, rinitis alergik, dan atau asma bronkial).
Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi,
distribusinya di lipatan (fleksural).3-6
Kata 'atopi' pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang
dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan
dalam keluarganya. Misalnya: asma bronkial, rinitis alergik, dermatitis atopik, dan
konjungtivitis alergik. Diagnosis D.A. ditetapkan melalui dua kriteria yaitu :
a. Kriteria mayor
Pruritus
Dermatitis dimukaan atau ekstensor pada bayi dan anak
Dermatitis difleksura pada dewasa
Dermatitis kronis atau residif
Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
b. Kriteria minor
Xerosis
Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
Iktiosist/hiperliniar palmaris/keratosis pilaris
Pitiriasis alba
Dermatitis di papila mame
White dermographism dan delayed blanch response
Keilitis
Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
Konjungtivitis berulang
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Orbita menjadi gelap
Muka pucat atau eritem
Gatal bila berkeringat
Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
Aksentuasi perifolikular
Hipersensitif terhadap makanan
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
Tes kulit alergi tipe dadakan positif
Kadar IgE di dalam serum meningkat
Awitan pada usia dini
Diagnosis D.A. ditegakkan dengan syarat harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy
4

skin) atau dari laporan orang tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.
Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut:

Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut, bagian depan
pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia di bawah 10

tahun).
Riwayat asma bronkial atau hay fever pads penderita (atau riwayat penyakit

atopi pada keluarga tingkat pertama dan anak di bawah 4 tahun).


Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir.
Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pads pipi/dahi dan anggota

badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).


Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4 tahun).5

Gambar 2.1. Dermatitis atopik pada pipi dan tangan.


3. DD
5

Dermatitis atopik ini harus dibandingkan dengan penyakit lainnya, sebagai berikut.
a. Dermatitis seboroik (D.S.)
Penyebabnya masih belum diketahui pasti. Faktor predisposisinya adalah kelainan
konstitusi berupa status seboroik yang diturunkan. D.S. berubungan erat dengan
keaktifan glandula sebasea, yaitu kematangannnya merupakan faktor timbulnya
D.S., tetapi tidak ada hubungan langsung secara kuantitatif antara keaktifan
kelenjar tersebut dengan suseptibilitas untuk memperoleh D.S.

D.S dapat

diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat. Pada orang yang telah
mempunyai fakktor predisposisi, timbulnya D.S. dapat disebabkan oleh faktor
kelelahan, stress emosional, infeksi atau defisiensi umum. Kelainan kulit terdiri
atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan batasnya agak
kurang tegas. D.S yang ringan hanya mengenai kulit kepala berupa skuamaskuama yang halus, mulai sebagai bercak yang kecil yang kemudian mengenai
seluruh kulit kepala dengan skuama-skuama yang halus dan kasar yang disebut
pitiriasis sika, sedangkan bentuk yang berminyak disebut pitiriasis steatoides yang
dapat disertai eritema dan krusta-krusta yang tebal. Rambut pada tempat tersebut
mempunya kecenderungan rontok. Pada bentuk yang berat maka dapat meluas
kedahi, glabela, telinga posaurikular dan leher. Pada bentuk yang lebih berat lagi
seluruh kepala tertutup oleh krusta-krusta yang kotor dan berbau tidak sedap. Pada
bayi, skuama-skuama yang kekuningan dan kumpulan-kumpulan debris epitel
yang lekat pada kulit kepala disebut cradle cap. Selain tempat-tempat tersebut
D.S. juga dapat mengenai liang telinga luar, lipatan nasolabial, daerah sterenal,
areola mame, lipatan dibawah mame pada wanita, interskapular, umbilicus, lipat
paha dan daerah anogenital. Pada daerah pipi, hidung dan dahi kelainan dapat
berupa papul-papul. Terdapat sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan.
Onset invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah
terang. D.S. pada bayi memiliki ciri-ciri axillary patches, kurang oozing dan
weeping dan kurang gatal.

Gambar 2.2. Dermatitis seboroik pada kulit kepala, pipi dan tangan.

Persamaan gejala klinis D.A. dan D.S :


- Pada bayi lokasinya kdi kedua pipi, kulit kepala, permukaan otot ekstensor.
- Efloresensi : ada papul-papul pada pipi, eritema, skuama, eksudasi dan krusta.
Perbedaan gejala klinis D.A. dan D.S :
- Kadar immunoglobulin E pada D.A. tidak spesifik.
- Pruritus ringan pada D.S.
- Onset invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah
-

terang,
Sisik kuning gelap pada pipi badan dan lengan pada D.S. sedangkan pada D.A.
sisik merah agak gelap, jika disertai hiperpigmentasi.

b. Skabies
Penyakit kulit akibat infestasi dan sensitasi tungau Sarcoptes Scabiei. Banyak
menyerang anak-anak. Penularan dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung melalui pakaian, tempat tidur dan alat-alat tidur, handuk, dll. Penyakit ini
menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga, begitu juga
dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagain besar tetangga yang
berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut dan kebersihan lingkungan yang
kurang dapat mempermudah penularan penyakit. Tempat predileksinya tangan, kaki,
genitalia pria dan bokong, serta pada bayi juga dapat terkena dikepala dan pipi.
Terdapat rasa gatal pada malam hari (pruritus nocturna) karena aktivitas tungau ini
lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas. Pada tempat-tempat predileksi
akan ditemukan terowongan-terowongan (kunikulus) yang berbentuk garis lurus atau
berkelok-kelok, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel yang
7

didalamnya terdapat Sarcoptes scabiei. Kelainan kulit tidak hanya disebabkan oleh
tungau scabies tetapi oleh penderita sendiri akibat garukan pada saat ini kelainan kulit
menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika, erosi, krusta dan
infeksi sekunder.
Persamaan gejala klinis D.A dan scabies :
- Tempat predileksi minor D.A dan tempat predileksi utama scabies sama, yaitu

pada tangan dan kaki.


Efloresensi : papul, erosi, ekskoriasi, krusta.

Perbedaan gejala klinis D.A dan scabies :


- Tidak terdapat terowongan (kunikulus)
- Pada scabies terdapat gatal hanya pada malam hari sedangkan pada D.A.
terdapat gatal disepanjang hari tetapi umumnya hebat pada malam hari.8

Gambar 2.3. Skabies pada tangan


4. Etiologi
Belum diketahui secara pasti penyebqab D. A., tetapi faktor turunan merupakan dasar
pertama untuk timbulnya penyakit. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya
penyakit :
a. Daerah yang panas (banyak keringat) lebih sering terkena
b. Musim/ iklim panas dan lembab memudahkan timbulnya penyakit
c. Hygiene yang kurang dapat mempererat penyakit\
d. Lingkungan yang banyak mengandung sensitizer, iritan seta yang mengganggu emosi
lebih mudah menimbulkan penyakit.3
5. Epidemiologi
Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi D.A. makin meningkat sehingga
8

merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia,


dan negara industri lain, prevalensi D.A. pada anak mencapai 10 -20%, sedangkan
pada dewasa kira-kira 1-3%. Di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia
tengah, prevalensi D.A. jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita D.A.
daripada pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap
prevalensi D.A., misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi,
penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya penggunaan
antibiotik, berpotensi menaikkan jumlah penderita D.A. Sedangkan rumah yang
berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga, urutan lahir makin belakang, sering
mengalami infeksi sewaktu kecil, akan melindungi kemungkinan timbulnya D.A. pada
kemudian hari.
D.A. cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang
menderita atopi akan mengalami D.A. pada masa kehidupan 3 bulan pertama. Bila salah
satu orang menderita atopi, lebih separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi
sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita
atopi. Risiko mewarisi D.A. lebih tinggi bila ibu yang menderita D.A.
dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila D.A. yang dialami berlanjut hingga masa
dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.5
6. Patofisiologi
Berbagai faktor ikut berinteraksi dalam patogenesis D.A., misanya faktor genetik,
lingkungan, sawar kulit, farmakologik, dan imunologik. Konsep dasar terjadinya D.A.
adalah melalui reaksi imunologik, yang diperantarai oleh sel-sel yang berasal dari
sumsum tulang.
Kadar IgE dalam serum penderita D.A. dan jumlah eosinofil dalam darah perifer
umumnya meningkat. Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara D.A. dan
alergi saluran napas, karena 80% anak dengan D.A. mengalami asma bronkial atau rinitis
alergik. Dari percobaan pada tikus yang disensitisasi secara epikutan dengan antigen,
akan terjadi dermatitis alergik, IgE dalam serum meningkat, eosinofilia saluran napas, dan
respons berlebihan terhadap metakolin. Hal tersebut menguatkan dugaan bahwa
pajanan allergen pada D.A. akan mempermudah timbuinya asma bronkial. Berikut ini
4 kelas gen yang mempengaruhi penyakit atopi.
a. kelas I : gen predisposisi untuk atopi dan respons umum IgE
reseptor FcERI-P, mempunyai afinitas tinggi untuk IgE (kromosom 11812-13)
gen sitokin IL-4 (kromosom 5)
gen reseptor-a IL-4 (kromosom 16)
b. kelas II : gen yang berpengaruh pads respon IgE spesifik
9

TCR (kromosom 7 dan 14)


HLA (kromosom 6)
c. kelas III : gen yang mempengaruhi mekanisme non-inflamasi (misalnya hiperresponsif bronkhial.
d. kelas IV : gen yang mempengaruhi inflamasi yang tidak di perantarai IgE
TNF (kromosom 6)
Gen kimase sel mast (kromosom 14)

Genetik
Kromosom 5q31 -33 mengandung kumpulan famili gen sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan
GM-CSF, yang diekspresikan oleh sel TH2. Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan
penting dalam ekspresi D.A. Perbedaan genetik aktivitas transkripsi gen IL-4
mempengaruhi predisposisi D.A. Ada hubungan yang erat antara polimorfisme
spesifik gen kimase sel mas dan D.A., tetapi tidak dengan asma bronkial atau rhinitis
alergik. Varian genetik kimase sel mas, yaitu serine protease yang disekresi oleh sel
mas di kulit, mempunyai efek spesifik pads organ, dan berperan dalam timbulnya D.A.
Respons imun pada kulit
Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit D.A. Jumlah TH2
lebih banyak pads penderita atopi, sebaliknya TH1 menurun. Pada kulit 'normal' (tidak
ada kelainan kulitnya) penderita D.A. bila dibandingkan dengan kulit normal orang
yang bukan penderita D.A., ditemukan lebih banyak sel-sel yang mengekspresikan
mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-. Pada lesi akut dan kronis
bila dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya penderita D.A.,
menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5,
dan IL-13. Tetapi pada lesi akut tidak banyak mengandung sel yang mengekspresikan
mRA IFN- atau IL-12. Lesi kronis D.A. mengandung sangat sedikit sel yang
mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi jumlah sel yang mengekpresikan
mRNA IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-, meningkat bila dibandingkan dengan yang
akut. Peningkatan IL-12 pada lesi kronis D.A. berperan dalam perkembangan TH1.
Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis keratinosit,
sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN- yang dilepaskan sel T
teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit.
Berbagai kemokin ditemukan pads lesi kulit D.A. yang dapat menarik sel-sel,
misalnya eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk ke dalam kulit.
Pada D.A. kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil hidup lebih lama
10

dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi GM-SCF mempertahankan


hidup dan fungsi monosit, sel Langerhans, dan eosinofil. Produksi TNF- dan IFN- pada
D.A. memicu kronisitas dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNF- dan IFN- pada
keritinosit epidermal akan meningkatkan jumlah RANTES (regulated on activation,
normal T cell expressed and secreted). Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya
TNF- dan sitokin proinflamasi yang lain dari epidermis, sehingga mempercepat
timbulnya peradangan di kulit D.A.
IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang diproduksi oleh
makrofag, sel berdendrit atau eosinofil, menginduksi TH1. Subunit reseptor IL-12R (32
diekpresi pads TH1 tidak pads TH2, Sedangkan ekspresi IL-12RO2 dihambat oleh IL-4,
tetapi sebaliknya diinduksi oleh IL-12, IFN-, dan IFN-. IL-4 juga menghambat
produksi IFN- dan menekan deferensiasi sel TH1. Sel mas dan basofil juga merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga ekspresi IL-4 oleh sel T, sel mas/basofilpada D.A.
akan merangsang perkembangan sel TH2.
Sel mononuklear penderita D.A. meningkatkan aktivitas enzim cyclic-adenosine
monophosphate (CAMP) phosphodiesterase (PDE), yang akan meningkatkan sintesis
IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T. Produksi IgE dan IL-4 secara in vitro dapat
diturunkan oleh penghambat PDE (PDEinhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari
monosit juga meningkat; kedua produk ini menghambat IFN-y yang dihasilkan oleh sel T.
Sel Langerhans (SL) pads kulit penderita D.A, adalah abnormal, dapat secara
langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara selektif dapat
mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. SL yang mengandung IgE meningkat;sel
ini mampu mempresentasikan alergen tungau debu rumah (D. pteronyssinus) kepada
sel T. SL yang mengandung IgE setelah menangkap allergen akan mengaktifkan sel TH2
memori di kulit atopi, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat untuk
menstimulasi sel T naive ve sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak.
SL pads kulit normal mempunyai tiga macamreseptor untuk IgE, yaitu FcRI,
Fci:Rll (CD23) , dan IgE-binding protein. Receptor FcERI mempunyai afinitas kuat untuk
mengikat IgE. IgE terikat pads SL melalui reseptor spesifik FcERI pads permukaan SL.
Pada orang normal dan penderita alergi saluran p apas kadar ekpresi FcERI di
permukaan SLnya rendah, sedangkan di lesi ekzematosa D.A. tinggi. Ada korelasi antara
ekspresi permukaan FuRl dan kadar IgE dalam serum. Selain pads SL, reseptor IgE
dengan afinitas tinggi (FcERI) juga ditemukan pads permukaan sel mas dan monosit.
Kadar seramid pads kulit penderita D.A. berkurang sehingga kehilangan air
(transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis dipermudah. Hal ini mempercepat
11

absorbsi antigen ke dalamkulit. Sebagaimana diketahui bahwa sensitisasi epikutan


terhadap alergen menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik
atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi sawarnya merupakan tempat yang
sensitif.
Respons sistemik
Jumlah IFN- yang dihasilkan oleh sel mononuclear darah tepi penderita D.A. menurun,
sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat. IFN- menghambat sintesis
IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi reseptor IL-4 pads sel T. Sel T spesifik untuk
alergen di darah tepi meningkat dan memprocluksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-. IL4 dan IL-13 merupakan sitokin yang menginduksi transkripsi pads ekson CE sehingga
terjadi pembentukan IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi ekspresi molekul adesi
permukaan pembuluh darah, misalnya VCAM-1 (vascular cell adhesion molecular-1),
infiltrasi eosinofil dan menurunkan fungsi sel TH1.
Sel monosit di darah tepi penderita D.A. diaktivasi, mempunyai insidens apoptosis
spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis ini
disebabkan oleh meningkatnya produksi GM-CSF oleh monosit yang beredar pada
D.A. Perubahan sistemik pads D.A. adalah sebagai berikut:
a. Sintesis IgE meningkat.
b. IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap makanan,
aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri, dan auto alergen.
c. Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pads sel B dan monosit
meningkat.
d. Pelepasan histamin dari basofil meningkat. Respons hipersensitivitas lambat
e.
f.
g.
h.
i.

terganggu.
Eosinofilia.
Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat.
Sekresi IFN- oleh sel TH1 menurun.
Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai peningkatan IL-10 dan
PGE2.

Berbagai faktor pemicu


Pada anak kecil, makanan dapat berperan dalam patogenesis D.A., tetapi tidak biasa
terjadi pada penderita D.A. yang lebih tua. Makanan yang paling sering ialah telur,
susu, gandum, kedele, dan kacang tanah. Reaksi yang terjadi pada penderita D.A.
karena induksi alergen makanan dapat berupa dermatitis ekzematosa, urtikaria,
12

kontak urtikaria, atau kelainan mukokutan yang lain. Hasil pemeriksaan laboratorium
dari bayi dan anak-anak kecil dengan D.A. sedang atau berat, menunjukkan reaksi
positif terhadap tes kulit dadakan (immediate skin test) dengan berbagai jenis makanan.
Reaksi positif ini diikuti kenaikan mencolok histamin dalam plasma dan aktivasi
eosinofil. Sel T spesifik

untuk alergen makanan juga berhasil diklon dari lesi

penderita D.A.
Dari percobaan buta ganda dengan plasebo dan tungau debu rumah (TDR),
ditemukan penderita D.A. setelah menghirup TDR mengalami ekserbasi ditempat lesi
lama, dan timbul pula lesi baru. Demikian pula setelah aplikasi epikutan dengan
aeroalergen (TDR, bulu binatang, kapang) melalui uji tempel pads kulit penderita
atopi tanpa lesi, terjadi reaksi ekzematosa pads 30 50 persen penderita D.A.,
sedangkan pada penderita alergi saluran napas dan relawan sehat jarang yang
menunjukkan hasil positif. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan pada sebagian besar
penderita D.A. IgE spesifik untuk alergen hirup. Juga pada 95% penderita D.A.
mempunyai IgE spesifik terhadap TDR, sedangkan pada penderita asma bronkial
hanya 42%. Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen berhubungan langsung dengan
tingkat keparahan D.A.
Penderita D.A. cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri, virus, dan jamur,
karena imunitas selular menurun (aktivitas TH1 berkurang). Pada lebih dari 90% lesi
kulit penderita D.A. ditemukan S. aureus, sedangkan pads orang normal hanya 5%.
Jumlah koloni S.aureus pads lesi inflamasi kulit penderita D.A. dapat mencapai 107 per
cm2, namun tidak ada tanda klinis superinfeksi. Akan tetapi bila diobati dengan
kombinasi antibiotika dan kortikosteroid topikal, hasilnya lebih baik dibandingkan kalau
hanya dengan kortikosteroid topikal saja. S.aureus melepaskan toksin yang bertindak
sebagai superantigen (misalnya: enterotoksin A, B, dan toxic shock syndrome toxine1) yang menstimulasi aktivasi sel T dan makrofag. Sebagian besar penderita D.A. membuat antibodi IgE spesifik terhadap superantigen stafilokokus yang ada di kulit. Apabila
ada superantigen menembus sawar kulit yang terganggu, akan menginduksi IgE spesifik,
clan degranulasi sel mas, kejadian ini akan memicu siklus gatalgaruk yang akan
menimbulkan lesi di kulit penderita D.A. Superantigen juga meningkatkan sintesis
IgE spesifik clan menginduksi resistensi kortikosteroid, sehingga memperparah D.A.4,5
7. Gejala Klinis
Kulit penderita D.A. umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis berkurang,
dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin.
13

Penderita D.A. cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering
merasa cemas, egois, frustrasi, agresif, atau merasa tertekan.
Gejala utama D.A. ialah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi
umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga
timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi,
ekskoriasi, eksudasi, dan krusta. D.A. dapat dibagi menjadi tiga face, yaitu: D.A.
infantil (terjadi padausia 2 bulan sampai 2 tahun), D.A. anak (2 sampai 10 tahun) dan
D.A. pada remaja dan dewasa.
D.A. infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)
D.A. paling sering muncul pads tahun pertama kehidupan, biasanya setelah usia
2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulo-vesikel yang halus,
karena gatal digosok, pecah, eksudatif, clan akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian
meluas ke tempat lain yaitu ke skalp, leher, pergelangan tangan, lengan clan tungkai.
Bila anak mulai merangkak, lesi ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk
setelah berumur 2 bulan. Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak
gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi D.A. infantil eksudatif,
banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi clapat meluas
generalisata bahkan, walaupun jarang, dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi
menjadi kronis clan residif. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikas:, Pada
sebagian besar penderita sembuh setelausia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya, sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami
eksaserbas bila makan makanan yang sebelumnya menyebabkan kambuh penyakitnya.
Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada bayi masih ada
sitang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelaina secara dramatis membaik
setelah makanat ersebut dihentikan, sebaliknya ada pula yang mendapatkan tidak ada
perbedaan.
D.A. pads anak (usia 2 sampai 10 tahun)
Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil atau timbul sendiri (de novo). Lesi lebih
kering tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul , likenifikasi, dan sedikit
skuama. Letak kelainan kulit di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian fleksor,
kelopak mata, leher, jarang di muka rasa gatal menyebabkan penderita sering
menggaruk dapat terjadi erosi, likenifikas mungkin juga mengalami infeksi
sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya yang menyebabkan
gatal, sehingga terjadi lingkaran setan "siklus gatal-garuk". Rangsangan menggaruk
14

sering di luar kendali. Penderita sensitif terhadap, wol, bulu kucing dan anjing juga
bulu ayam, burung dan sejenisnya. D.A. berat yang melebihi 50% permukaan tubuh
dapat memperlambat pertumbuhan.
D.A. pada remaja dan dewasa
Lesi kulit D.A. pada bentuk ini dapat berupa plak papular-eritematosa dan berskuama
atau plak likenifikasi yang gatal. Pada D.A. remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat
lutut, dan sampai leher, dahi, dan sekitar mata. Pada D.A. dewasa distribusi lesi kurang
karakteristik, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapa pula ditemukan
setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, atau scalp.
Kadang erupsi meluas, dan paling parah di lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi
kering, agak menimbul, papul datar dan cenderung bergabung menjadi plak likenifikasi
dengan sedikit skuama dan sering tejadi eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat
laun terjadi hiperpigmentasi.
Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat. Pada orang
dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami stres. Mungkin
karena stres dapat menurunkan ambang rangsang gatal. Penderita atopik memang sulit
mengeluarkan keringat, sehingga rasa gatal timbul bila mengadakan latihan fisik.
Pada umumnya D.A. remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung
menurun dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan,
hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit penderita D.A. yang telah
sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila terpajan oleh bahan iritan eksogen.
Penderita atopik berisiko tinggi menderita dermatitis tangan, kira-kira 70% suatu
saat dapat mengalaminya. D.A. pada tangan dapat mengenai punggung maupun telapak
tangan, sulit dibedakan dengan dermatitis kontak. D.A. di tangan biasa timbul
pada wanita muda setelah rnelahirkan anak pertama, ketika sering terpajan sabun
dan air sebagai pemicunya.
Berbagai kelainan dapat menyertai DA, misalnya: hiperlinearis palmaris, xerosis
kutis, ictiosis, pomfoliks, pitidasis alba, keratosis pilada, fipatan Dennie Morgan,
penipisan alis bagian luar (lands Hertoghe), keilitis, katarak subkapsular anterior, lidah
geografik, liken spinulosus, dan keratokonus (bentuk komea yang abnormal). Selain
itu penderita D.A. cenderung mudah mengalami kontak urtikaria, reaksi anafilaksis
terhadap obat, gigitan atau sengatan serangga.5
8. Penatalaksanaan
a. Medica mentosa
Terdiri dari dua pengobatan, yaitu topical dan sistemik.
15

Pengobatan topical
- Hidrasi kulit. Kulit penderita D.A. kering dan fungsi sawarnya
berkurang,

mudah

retak

sehingga

mempermudah

masuknya

mikroorganisme patogen, bahan iritan dan alergen. Pada kulit yang


demikian perlu diberikan pelembab, misalnya krim hidrofilik urea 10%,
dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya. Bila memakai
pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan lebih
dari 5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah
mandi kulit dilap, kemudian merakai emolien agar kulit tetap lembab.
-

Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja raksimum 6 jam.
Kortikosterold topikal. Pengobatan D.A. dengan kortikosteroid topical
adalah yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit.
Namun demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak
diinginkan.
Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya
hidrokortison 1%-2.5%. pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi
menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada luka digunakan steroid
berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai
didaerah

genitalia

berpotensi

dan

intertriginosa,

jangan

di gunakan

yang

kuat, misalnya, wrinated glucocorticoid. Bila aktivitas

penyakit telah terkontrol, dipakai secara intermiten, umumnya 2 kali


seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh; sebaiknya dengan
kortikosteroid yang potensinya paling rendah.
Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan
steroid, misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas
-

kalikus 1:5000.
Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat
diberikan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk
dewasa 0.03% dan 0.1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat
dalam D.A. yaitu: sel Langerhans, sel T, sel mas, clan keratinosit. Pada
pengobatan jangka panjang dengan salep takrolimus, koloni S. aureus
menurun. Tidak ditemukan efek samping kecuali rasa seperti terbakar
setempat. Tidak menyebabkan atrofi kulit seperti pada pemakaian
kortikosteroid, dapat digunakan di muka dan kelopak mata.

16

Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin


yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari
hasil fermentasi Streptomyces hygroscopicus var. ascomyceticus. Cara kerja
sangat mirip siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan dari Streptomyces
tsuku-baensis, walaupun ketiganya berbeda dalam struktur kimianya, yaitu
bekerja sebagai pro-drug , yang baru menjadi aktif bila terikat pada
reseptor sitosolik imunofilin. Reseptor imunofilin untuk askomisin
ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada makrofilin-12 dalam sitoplasma
sel T, akan menghambat calcineurin (suatu molekul yang dibutuhkan untuk
inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga produksi sitokin TH1 ( IFN- dan IL2) dan TH2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat. Askomisin juga menghambat aktivasi
sel mas. Askomisin menghasilkan efek imunomodulator lebih selektif dalam
menghambat fase elisitasi dermatitis kontak alergik, tetapi respons imun
primer tidak terganggu bila diberikan secara sistemik, tidak seperti
takrolimus dan siklosporin.
Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981
konsentrasi 1%, mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17propionat 0.05% (steroid superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit
(setidaknya selama 4 minggu), aman pada anak dan dapat dipakai pada
kulit sensitif misalnya pada muka dan lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2
kali sehari.
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia
kurang dari 2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan
takrolimus dinasehati untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan

bahwa kedua obat tersebut berpotensi menimbulkan kanker kulit.


Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan antiinflamasi pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan
dalam bentuk salap hidrofilik, misalnya yang mengandung likuor karbonis

detergen 5% sampai 10 %, atau crude coal tar 1% sampai 5%.


Antihistamin. Pengobatan D.A. dengan antihistamin topikal tidak
dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit.
Dilaporkan bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek
(satu minggu), dapat mengurangi gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu
diperhatikan, bila dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek
samping sedatif.
17

Pengobatan sistemik
- Kortikosteroid.

Kortikosteroid

sistemik

hanya

digunakan

untuk

mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah,


diberikan

berselang-seling

(alternate),

atau

diturunkan

bertahap

(tapering), kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian


jangka panjang menimbulkan berbagai efek samping, dan bila
-

dihentikan, lesi yang lebih berat akan muncul kembali.


Antihistamin. Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi
rasa gatal yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur.
Oleh karena itu antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek
sedatif, misainya hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit
dapat diberikan doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan
dan memblokade reseptor histamih H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75

mg secara oral malam hari pads orang dewasa.


Anti-infeksi. Pada D.A. ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk
yang belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau,
klaritromisin, sedang untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin,
oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin.
Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks kortikosteroid
dihentikan sementara dan diberikan per oral asiklovir 400 mg 3 kali per hari

selama 10 hari, atau 200 mg 4 kali per hari selama 10 hari.


Interferon. IFN- diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan
proliferasi sel TH2. Pengobatan dengan IFN- rekombinan menghasilkan
perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam

sirkulasi.
Siklosporin. D.A. yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat
diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis
jangka pendek yang dianjurkan per oral: 5 mg/kg berat badan. Siklosporin
adalah obat imunosupresif kuat yang terutama bekerja pads sel T akan terikat
dengan cyclophilin ( suatu protein intraselular) menjadi satu kompleks yang
akan menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila
pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya akan
segera kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbul yaitu peningkatan
kreatinin dalam serum, atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan
hipertensi.
18

b. Nonmedica mentosa
Terapi sinar (phototherapy)
Untuk D.A. yang berat

dan

luas

dapat

digunakan

PUVA

(photochemotherapy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB, atau


Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB dan UVA lebih
baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel Langerhans dan eosinofil,
sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade
fungsi sel Langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit.4,5
9. Prognosis
Sulit meramalkan prognosis D.A. pada seseorang. Prognosis lebih buruk bila kedua
orang tuanya menderita D.A. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak, dan
sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30
tahun. Penyembuhan spontan D.A. yang diderita sejak bayi pernah dilaporkan terjadi
setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%, terutama kalau pe nyakitnya ringan.
Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa 84% D.A. anak berlangsung sampai masa
remaja. Ada pula laporan, D.A. pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20%
menghilang, dan 65% berkurang gejalanya. Lebih dari separuh D.A. remaja yang telah
diobati kambuh kembali setelah dewasa. Faktor yang berhubungan dengan prognosis
kurang balk D.A. yaitu:
a. DA luas pada anak
b. Menderita rinitis alergik dan asma bronkial riwayat D.A. pada orang tua atau saudara
kandung
c. Awitan (onset) D.A. pada usia muda
d. Anak tunggal
e. Kadar IgE serum sangat tinggi.5
10. Preventif
Pencegahan untuk mengurangi risiko kekambuhan D.A. dapat dilakukan dengan :
a. Kulit penderita D.A. cenderung lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh karena itu
penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang memperberat
dan memicu siklus 'gatal-garuk', misalnya sabun dan detergen, kontak dengan
bahan kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin yang
ekstrim.
b. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal terhadap lemak dan
mempunyai pH netral.
c. Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan
formaldehid atau bahan kimia tambahan.
19

d. Mencuci pakaian dengan detergen harus dibilas dengan baik, sebab sisa detergen
dapat bersifat iritan.
e. Selesai berenang harus segera mandi untuk membilas klorin yang biasanya
digunakan pada kolam renang.
f. Hindari stress karena stres juga dapat menyebabkan eksaserbasi DA.
g. Seringkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari luar,
misalnya terlalu sering dimandikan, menggosok terlalu kuat pakaian terlalu tebal,
ketat atau kotor, kebersihar kurang terutama di daerah popok, infeksi local, seperti
iritasi kencing atau feses; bahkan juga -edicated baby oil. Pada bayi penting
diperhatikan kebersihan daerah bokong dan genitalia, popok segera diganti, bila
basah atau kotor. Upaya pertama adalah melindungi daerah yang terkena terhadap
garukan agar tidak memperparah penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian
yang bersifat iritan (misalnya wol, atau srtetik), bahan katun lebih baik. Kulit
anak/bayi dijaga tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau trauma
garukan.
h. Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab, hindari pembersih
antibacterial karena berisiko menginduksi resistensi.5

BAB III
PENUTUP

20

1. Kesimpulan
Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal
yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan
dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau
penderita (dermatitis atopik, rinitis alergik, dan atau asma bronkial). Kelainan kulit
berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi,
distribusinya di lipatan (fleksural). Kata 'atopi' pertama kali diperkenalkan oleh Coca
(1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang
mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya. Misalnya: asma bronkial, rinitis
alergik, dermatitis atopik, dan konjungtivitis alergik. Diagnosis D.A. ditegakkan
dengan syarat harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang
tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok. Ditambah 3 atau lebih
kriteria berikut:
a. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut, bagian
depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia di
bawah 10 tahun).
b. Riwayat asma bronkial atau hay fever pads penderita (atau riwayat
penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dan anak di bawah 4 tahun).
c. Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir.
d. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pads pipi/dahi dan
anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).
e. Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4 tahun).
D.A. harus dapat dibedakan dengan penyakit lainnya, seperti dermatitis
seboroik dan scabies dengan gejala klinisnya yang hampir mirip dengan D.A.
penyebab D.A. belum diketahui secara pasti tetapi faktor turunan merupakan dasar
pertama untuk timbulnya penyakit disamping faktor pendukung yang lain. D.A.
cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi akan mengalami D.A. pada masa kehidupan 3 bulan pertama. Bila salah
satu orang menderita atopi, lebih separuh jumlah anak akan mengalami gejala
alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua
menderita atopi. Risiko mewarisi D.A. lebih tinggi bila ibu yang menderita
D.A. dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila D.A. yang dialami berlanjut
hingga masa dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja
yaitu kira-kira 50%.
Berbagai faktor ikut berinteraksi dalam patogenesis D.A., misanya faktor
genetik, lingkungan, sawar kulit, farmakologik, dan imunologik. Kulit penderita D.A.
21

umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis berkurang, dan kehilangan air
lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin. Penderita D.A.
cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering merasa
cemas, egois, frustrasi, agresif, atau merasa tertekan. Gejala utama D.A. ialah
(pruritus), dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada
malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi,
eksudasi, dan krusta. D.A. dapat dibagi menjadi tiga face, yaitu: D.A. infantil
(terjadi padausia 2 bulan sampai 2 tahun), D.A. anak (2 sampai 10 tahun) dan D.A.
pada remaja dan dewasa.
Pengobatan D.A dapat secara topical, sistemik dan fototherapi. Sulit
meramalkan prognosis D.A. pada seseorang. Prognosis lebih buruk bila kedua
orang tuanya menderita D.A. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak,
dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Pencegahan untuk mengurangi
kekambuhan dapat dilakukan dengan mudah, seperti Pakaian baru sebaiknya dicuci
terlebih dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan formaldehid atau bahan kimia
tambahan, mencuci pakaian dengan detergen harus dibilas dengan baik, sebab
sisa detergen dapat bersifat iritan, dll.

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Ilmu kesehatan anak Nelson. Ed 15th. Jilid II. Jakarta: EGC; 2000.1382-95.
2. Diagnosa fisik pada anak. Edisi 2nd. Jakarta: CV Sagung Seto; 2003.
3. Siregar R.S. Saripati penyakit kulit. Edisi 2nd. Jakarta: EGC; 2004.115-7.
4. Dermatitis atopic pada anak. 17 Mei 2009. Diunduh

dari

www.

childrenallergyclinic.wordpress.com, 26 April 2011.


5. Sularsito SA, Djuanda S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 6 th. Jakarta: FKUI;
2010.138-47.
6. Stawiski MA. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Ed 6 th. Volum 2.
Jakarta: EGC; 2005.1430-2.
7. Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 6th. Jakarta: FKUI; 2010.200-2.
8. Handoko RP. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 6th. Jakarta: FKUI; 2010.122-5.

23

You might also like