Professional Documents
Culture Documents
atau bahwa dingin ada tanpa status ontologis, apa yang Anda lakukan adalah
menunjukkan bahwa dingin adalah istilah subjektif. Hapuskanlah konsep subjektif
tersebut, dan suhu yang kita sebut dingin akan tetap ada. Menghapuskan istilah
yang kita gunakan untuk merujuk kepada suatu fenomena tidak menghapuskan
keberadaan fenomena tersebut.
Murid: (agak shock) Uh oke em, apakah gelap itu ada?
Professor: Anda masih mengulangi kesesatan logika yang sama, hanya kualitas
sekundernya yang diganti.
Murid: Jadi menurut professor kegelapan itu ada?
Professor: Apa yang saya katakan adalah bahwa Anda mengulangi kesesatan yang
sama. Kegelapan adalah kualitas sekunder.
Murid: Professor salah lagi. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana
tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan
prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan
mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa
mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas
cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan
ketiadaan cahaya.
Professor: Gelap dan terang adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk
mendeskripsikan bagaimana manusia mengukur foton atau partikel dasar cahaya
secara visual. Foton itu memang ada, sementara gelap dan terang hanyalah
penilaian subjektif kita yang sekali lagi terkait dengan interaksi antara sistem
saraf manusia dengan fenomena alam yang lain, yaitu foton. Jadi, sekali lagi,
hapuskanlah istilah subjektif itu dan foton akan tetap ada. Jika manusia menyebut
foton sebanyak x sebagai gelap sementara kucing menyebutnya cukup terang
untukku, foton sebanyak x yang kita sebut sebagai gelap tetap ada, dan akan
tetap akan ada walaupun kita tidak menyebutnya gelap. Sudah paham, atau masih
kurang jelas?
Sang murid tampak tercengang. Sang professor berkata, Tampaknya Anda masih
bingung dengan kesesatan dalam argumen Anda. Tapi silakan lanjutkan, mungkin
Anda akan paham.
Sang murid berkata, Professor mengajar dengan dualitas. Professor berargumen
tentang adanya kehidupan lalu mengajar tentang adanya kematian, adanya Tuhan
yang baik dan Tuhan yang jahat. Professor memandang Tuhan sebagai sesuatu yang
dapat kita ukur.
Professor langsung memotong, Berhati-hatilah. Jika Anda menempatkan Tuhan di
luar jangkauan nalar, logika dan sains dan membuatnya tak terukur, maka yang
tersisa hanyalah misteri yang Anda buat sendiri. Jadi jika Anda menggunakan dalih
bahwa Tuhan ada di luar jangkauan untuk menyelesaikan masalah, Anda juga tak
bisa mengatakan bahwa Tuhan Anda bermoral. Bahkan Anda tak bisa menyebutnya
sebagai apapun kecuali tak terukur. Jadi solusi Anda tidak ada bedanya dengan
membersihkan ketombe dengan memangkas rambut.
Murid tersebut tercengang, namun tetap berusaha melanjutkan, Professor, sains
bahkan tidak dapat menjelaskan sebuah pemikiran. Ilmu ini memang menggunakan
listrik dan magnet, tetapi tidak pernah seorangpun yang melihat atau benar-benar
memahami salah satunya..
Professor: Anda mengatakan bahwa sains tak bisa menjelaskan pikiran. Saya
sendiri kurang paham apa yang Anda maksud. Apakah Anda mencoba mengatakan
bahwa masih banyak misteri dalam neurosains?
Murid: Begitulah.
Dan bahwa pikiran, listrik dan magnetisme itu kita anggap ada walaupun tak
pernah kita lihat?
Benar!
Sang professor tersenyum dan menjawab, Bukalah kembali bukumu mengenai
kesesatanfalse presumption. Perhatikan bab kesalahan kategoris. Kalau Anda
pernah membacanya, Anda akan ingat bahwa kesalahan kategoris adalah saat Anda
menggunakan tolak ukur yang salah untuk suatu entitas, misalnya menanyakan
warna dari suara. Meminta seseorang melihat magnetisme secara langsung
merupakan kesalahan kategoris.
Namun, masih ada kesalahan lain dalam argumen Anda. Anda berasumsi bahwa
empirisisme atau bahkan sains hanya didasarkan kepada pengamatan langsung. Ini
tidak tepat. Penglihatan bukanlah satu-satunya cara untuk memahami dunia, dan
sains juga bukan ilmu yang mempelajari apa yang kita lihat. Kita dapat
menggunakan indera lain untuk melacak suatu fenomena. Dan kita juga dapat
mempelajari pengaruh fenomena tersebut terhadap dunia.
Lebih lagi, Anda kembali melakukan kesalahan dengan menyatakan bahwa karena
sains itu belum lengkap berarti Tuhan itu ada. Mungkin Anda perlu mempelajari
kembali kesesatan argumentum ad ignoratiam atau argumen dari ketidaktahuan.
Dan juga, seperti yang dikatakan oleh Neil deGrasse Tyson, gunakanlah contoh
yang lebih baik karena sains sudah mampu menjelaskan bagaimana pikiran
terbentuk dan bahkan Maxwell sudah lama menggabungkan elektrisme dan
magnetisme menjadi elektromagnetisme. Contoh yang lebih baik itu misalnya
materi gelap yang membuat perluasan alam semesta menjadi begitu cepat.
Fisikawan tak bisa menjawab itu, dan mungkin Anda akan mengatakan jawabannya
Tuhan. Namun dengan begitu, Anda justru sedang menyusutkan Tuhan. Anda
melakukan kesesatan ad ignoratiam bahwa yang belum dijelaskan sains itu adalah
keajaiban Tuhan, dan itu berarti Anda menempatkan Tuhan untuk mengisi gap
dalam sains. Nah, dahulu manusia juga tak mampu menjawab mengapa hujan
terbentuk atau mengapa gunung meletus, dan orang-orang dulu menyebutnya
karena Tuhan. Kini kita sudah memahami hujan dan gunung meletus, begitu pula
pikiran, listrik dan magnetisme, dan ke depannya materi gelap juga mungkin akan
kita pahami. Dengan begitu Tuhan yang mengisi gap pun terus menciut.
Masih ada yang mau ditambahkan? Apakah penjelasan saya sudah cukup jelas?
Sang murid tampak bingung dan mencoba melakukan ad nauseam, Em kembali
ke diskusi awal kita. Untuk menilai kematian sebagai kondisi yang berlawanan
dengan kehidupan sama saja dengan melupakan fakta bahwa kematian tidak bisa
muncul sebagai suatu hal yang substantif. Kematian bukanlah kontradiksi dari
hidup, hanya ketiadaan kehidupan saja.
Professor pun berkata, Apakah Anda jatuh cinta dengan kesesatan kualitas
sekunder? Lagi-lagi Anda melakukan kesalahan yang sama. Kematian dan
kehidupan adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan
fenomena keadaan-keadaan biologis. Menghapuskan istilah subjektif kematian tidak
menghapuskan keberadaan kematian.
Si murid pun mencoba mengalihkan pembicaraan, Apakah imoralitas itu ada?
Si professor menggelengkan kepalanya dan berkata, Keledai pun tidak akan jatuh
ke dalam lubang yang sama. Ada yang masih kurang jelas, atau perlu saya ulangi
lagi?
Sang murid yang terus berusaha menjustifikasi kepercayaannya berkata, Begini..
imoralitas itu adalah ketiadaan moralitas. Apakah ketidakadilan itu ada? Tidak.
Ketidakadilan adalah ketiadaan keadilan. Apakah kejahatan itu ada? Bukankah
kejahatan itu ketiadaan kebaikan?
Sang professor menanggapi, Jadi, jika seseorang membunuh ibumu malam ini,
tidak terjadi apa-apa? Hanya ada ketiadaan moralitas di rumah Anda? Tunggu dia
tidak mati cuma ketiadaan hidup kan?
Si murid berkata, eh
Sekarang sudah mengerti di mana salahnya?, ujar sang professor, Anda
mencampur kualitas sekunder dengan fenomena. Imoralitas adalah istilah
deskriptif untuk perilaku. Istilah tersebut bersifat sekunder, namun perilaku tetaplah
ada. Jadi jika Anda menghapuskan kualitas sekunder itu, Anda tidak menghapuskan
perilaku yang sesungguhnya terjadi. Dengan mengatakan imoralitas sebagai
ketiadaan moralitas, Anda tidak menghapuskan keinginan atau perilaku imoral,
tetapi hanya istilah subjektifnya. Begitu lho.
Si murid masih kukuh, Apakah professor pernah mengamati evolusi itu dengan