Professional Documents
Culture Documents
Serat
ANGLINGDARMA
1
Alih Bahasa
SUJADI PRATOMO
Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia
Balai Pustaka
D i t e r b i t k a n oleh
Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah
Hak pengarang dilindungi u n d a n g - u n d a n g
KATA PENGANTAR
Bahagialah kita, bangsa Indonesia, bahwa hampir di setiap daerah di
seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama,
yang pada hakikatnya adalah cagar budaya nasional kita. Kesemuanya
itu merupakan tuangan pengalaman jiwa bangsa yang dapat dijadikan
sumber penelitian bagi pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan
ilmu di segala bidang.
Karya sastra lama akan dapat memberikan khazanah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Penggalian karya sastra lama
yang tersebar di daerah-daerah ini, akan menghasilkan ciri-ciri khas
kebudayaan daerah, yang meliputi pula pandangan hidup serta landasan
falsafah yang mulia dan tinggi nilainya. Modal semacam itu, yang tersimpan dalam karya-karya sastra daerah, akhirnya akan dapat juga
menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya.
Pemeliharaan, pembinaan, dan penggalian sastra daerah jelas akan
besar sekali bantuannya dalam usaha kita untuk membina kebudayaan
nasional pada umumnya, dan pengarahan pendidikan pada khususnya.
Saling pengertian antardaerah, yang sangat besar artinya bagi
pemeliharaan kerukunan hidup antarsuku dan agama, akan dapat tercipta pula, bila sastra-sastra daerah yang termuat dalam karya-karya
sastra lama itu, diterjemahkan atau diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Dalam taraf pembangunan bangsa dewasa ini manusia-manusia
Indonesia sungguh memerlukan sekali warisan rohaniah yang terkandung dalam sastra-sastra daerah itu. Kita yakin bahwa segala sesuatunya
yang dapat tergali dari dalamnya tidak hanya akan berguna bagi daerah
yang bersangkutan saja, melainkan juga akan dapat bermanfaat bagi
seluruh bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu, ia akan dapat menjelma
menjadi sumbangan yang khas sifatnya bagi pengembangan sastra
dunia.
Sejalan dan seirama dengan pertimbangan tersebut di atas, kami sajikan pada kesempatan ini suatu karya sastra daerah Jawa, yang berasal
dari Sasana Pustaka, Kraton Surakarta, dengan harapan semoga dapat
menjadi pengisi dan pelengkap dalam usaha menciptakan minat baca
dan apresiasi masyarakat kita terhadap karya sastra, yang masih dirasa
sangat terbatas.
Jakarta, 1981
Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah
PNRI
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
Mijil
Durma
Pangkur
Dandanggula
Durma
Asmarandana
Pangkur
Kinanti
171,
177,
182,
185,
190,
193,
197,
200,
PNRI
424
432
439
442
449
454
460
463
KATA PENDAHULUAN
n
Penyunting
7
PNRI
PNRI
1. ASMARANDANA
1. Dalam pupuh Asmarandana ditulis awal sebuah buku bernama
Anglingdarma. Milik paduka Sri Baginda, yang bertahta ke
sepuluh di negeri Surakarta. Beliau berkenan menghimpun
buku-buku Babad dan bukuPetunjuk.
2. Semua tulisan tersimpan baik-baik dalam ruang Sana Pustaka.
Waktu dimulainya penulisan ini jatuh pada hari Senin, tanggal 10 bulan Dulka'idah, tahun Jimakir. Diberi catatan Sangkala LUHUR TATA NGESTI NATA. (1859 Caka).
3. Meskipun cerita yang dipaparkan tentang ihwal Pulau Jawa
ketika jaman Budha, tetapi telah dipilih Budha yang baik,
yang patut dilestarikan. Riwayatnya berlangsung pada waktu
seorang Raja bernama Anglingdarma bertahta di Malawa.
4. Tidak ada negara lain yang kewibawaannya seimbang selama
Baginda bertahta. Raja-raja di tiga benua takut bermusuhan,
tidak satu pun yang berani. Kehendak Baginda direstui oleh
para Dewa. Maka benar-benar Anglingdarma termashur dan
disebut sebagai Ratu Bathara.
5. Adapun nama negara Sang Baginda ialah Malapati. Letaknya
melingkupi daerah bukit dan pantai. Membelakangi pegunungan dan menghadap ke muara sungai. Segala yang ditanam di
sana tumbuh subur, sehingga rakyatnya hidup dengan rasa
tenteram.
6. Diceritakan, bahwa penduduk negara Malapati sangat banyak,
petugas negaranya beijumlah lebih dari 800 orang. Terdiri dari
punggawa yang pandai berulah perang. Mereka tersebar di daerah-daerah. Para manggala serta para pemimpinnya mempunyai
pengalaman dalam memperluas daerah taklukan.
9
PNRI
7. Adapun nama julukan Sri Baginda ialah Maharaja Anglingdarma, berwajah bagus tiada bercela dan memiliki kesaktian yang
luar biasa, Beliau memegang tampuk kekuasaan penuh wibawa,
mendapat restu dari kedua ayah-bunda serta neneknda yang
telah melakukan darma sebagai pertapa.
8. Baginda berasal dari keturunan ahli tapa yang berdarah bangsawan. Yang berbuat baik menolong sesama Diceritakan bahwa
wajah Sang Baginda Anglingdarma sangat tampan lagi rupawan, seperti wajah Bathara Marmata.
9. Baginda mengangkat seorang Patih bernama Batik Madrim,
seorang keluarga dekat darah bangsawan. Kesaktiannya pun
luar biasa. Mahir dalam berulah perang, oleh karenanya Sang
Baginda mampu memiliki angkatan yang terdiri dari sesama
raja.
10. Semuanya karena jasa dan hasil peijuangan Patih Batik Madrim. Yang memperoleh tambahan daerah jajahan dengan jalan
perang. Semua raja-raja takluk kepada Sang Baginda. Mereka
menyerahkan puteri-puterinya sebagai isteri yang dipertuan.
11. Jumlah puteri-puteri itu mencapai delapan ratus orang. Semuanya dipersembahkan kepada Sang Baginda, berwajah
cantik lagi muda-muda usianya. Sang Patih menerima pula hadiah seorang puteri keluarga dekat Sang Baginda yang cantik
rupanya.
12. Ia bernama Dewi Ranggawati. Ada adiknya seorang berwajah
tampan laki-laki bernama Arya Wijanarka. Oleh Baginda dia ditangkap menjadi penggawa kerajaan dan kepadanya diberi tanah seluas dua ribu bahu.
13. Diceritakan bahwa Patih Batik dan Sang Baginda sama-sama
berguru pada seorang pertapa yang sama. Oleh karenanya keduanya memiliki kesaktian yang luar biasa. Wajah Sang Patih
mirip dengan wajah Sang Baginda. Muda perwira dan tampan.
Sayang ia bersuara parau dan kurang jelas didengar orang.
10
PNRI
14. Guru yang mendidik Sang Baginda bertempat tinggal di Rasamala. Sebuah daerah pegunungan termashur. Dahulunya beliau
juga seorang raja yang setelah berusia lanjut bertapa dan bergelar Begawan Maniksutraku. Kesaktiannya tidak ada ubahnya
dengan dewa.
15. Sang Pendeta mempunyai seorang puteri rupawan bernama
Ambarawatya. Ia biasa disebut Dewi Setya. Tiada terkira kecantikannya, sampai-sampai sesama perempuan pun termangu
apabila memandang kecantikan Sang Puteri.
16. Kerling matanya tajam dan sangat memikat hati menjadi buah
percakapan orang. Apabila kecantikannya digambarkan dengan
kata-kata, maka orang akan kesulitan menperoleh kata-kata
yang tepat. Ibarat kecantikan Dewi Ratih di Kahyangan tak
mampu mengimbangi kecantikan Sang Puteri.
17. Seandainya orang berkeliling seribu negeri untuk mencari wanita yang secantik dia pasti nihil. Ia paling cantik di seluruh
Tanah Jawa meskipun kelahiran dari gunung. Tiada yang patut
untuk dibuat perbandingan, benar-benar ratu wanita.
18. Diceritakan bahwa Puteri yang berparas bidadari itu telah
beberapa lamanya diperisteri oleh Sang Baginda Anglingdarma
di negeri Malawa. Ia diboyong masuk ke dalam istana dan dijadikan Ibu Suri, yang menguasai seisi istana.
19. Semua puteri yang dijadikan isteri Sang Baginda diperintah
oleh puteri yang berasal dari pertapaan di gunung. Namun
demikian selama ia menjadi isteri raja belum pernah tidur bersama dengan Sri Baginda.
20. Diceritakan bahwa Sang Puteri memiliki tabiat yang sulit ditebak. Karena selama menjadi permaisuri Baginda belum pernah duduk bercakap-cakap seperti biasa. Bahkan ia melarang
semua isteri dan simpanan wanita mendekati Sang Raja.
21. Yang diperkenankan menghadap Sang Raja hanyalah wanitawanita pengasuh yang telah berusia tua, yang telah melampaui
11
PNRI
28. Yang telah dikenal oleh banyak orang di Pulau Jawa, bahwa
saya Raja yang berwibawa seperti bathara. Namun ada kurangnya ialah ditampik cintanya oleh wanita. Celaka sungguh nasib
saya karena selama saya mempunyai permaisuri belum pernah
tidur bersama dia.
29. Kehendak hati ingin marah dan mengajar yang benar, tetapi
hatiku tak sampai, mengingat dia sangat saya sayang. Ia anak
Sang Pendeta dan masih keluarga dekat saya, ialah puteri Begawan Maniksutra sendiri." Sang Patih berdatang sembah.
Seyogyanya Paduka suka bersabar.
30. Karena telah sama-sama kita ketahui, bahwa wanita mempunyai tabiat angkuh. Kita harus pandai melayani kehendaknya
sampai terkena hatinya. Pasti dia akan menuruti kehendak
Baginda. Apabila Baginda sampai hati memurkai permaisuri
sendiri, maka tidak patut tindakan itu bagi seorang Raja."
31. Mendengar kata-kata Sang Patih terhiburlah hati Sang Baginda.
Selanjutnya berkatalah Sang Raja kepada Patih, "Kehendakku
Patih, ingin bercengkerama ke Taman Bagenda. Untuk itu siapkan gajah kendaraanku dan aturlah pengawal secukupnya."
Sang Patih menjawab "siap" melaksanakan perintah.
32. Gajah telah siaga, dengan alas beludru merah di atas punggungnya, bertepi kain suter kuning dengan umbai-umbai manis
di ekornya. Pada leher gajah itu tergantung untaian kalung
berhias emas berseling intan berlian, sinar intan itu sangat cemerlang.
33. Indah dan bagus tampaknya gajah kendaraan Baginda berbelalai yang terbalut oleh sutra berwarna merah dan hijau. Bagaikan pelangi pagi jika ia berdiri, melengkung tampak seperti
bianglala, malang bagaikan sinar senja dan bila melenggang
kelihatan seperti celeret tahun.
34. Naik sudah Sang Baginda di atas gajah kerajaan. Raja Anglingdarma tampak seperti bukan manusia biasa, tetapi mirib dengan dewa di suralaya yang bernama Bathara Cakra. Yang
13
PNRI
41. Sangat senang Baginda menyaksikan keterampilan para punggawa. Mereka berani-berani dan mahir menggunakan senjata.
Begitu juga peijurit yang menyaksikan tampak gembira, mereka bersorak-sorak gemuruh tanda kegirangan.
15
PNRI
2. SINOM
Sambil marah Baginda menanyakan sebab mengapa para pengawal tidak langsung masuk tetapi terhenti di depan pintu
gerbang. Arya Manunjaya mendapat perintah untuk mengadakan pemeriksaan ke barisan depan. Dengan khidmat Mangunjaya menyembah kemudian mengadakan pemeriksaan.
8.
Sedang si ular kecil pun tidak tahu diri merasa bahwa samasama dirinya besar. Baiklah kalian pasti celaka. Baginda mengambil busur dengan anak-panahnya. Dipentangnya dan terlepaslah anak-panah dari busur.
12. Kenalah ular tampar itu, tepat mengenai lehernya dan putus
kepalanya. Sedang Sang Nagagini terkena pucuk ekornya.
Ia terperanjat dan melihat ke arah datangnya panah. Tahulah
ia bahwa Raja Anglingdarma yang telah berbuat melepaskan
anak panah kepadanya. Cepat-cepat ia lari menembus barisan.
13. Ia merasa malu bukan kepalang. Di dalam hati mengutuk Baginda, mengapa sampai hati membunuh makhluk yang tengah
berpadu kasih. Perlakuan itu tak dapat ia terima dengan rela.
Ia akan mengadukannya kepada jantannya Sang Nagapratala
dan minta agar pelakunya dihukum pati. Melihat kelakuan
Nagagini Baginda Anglingdarma heran.
14. Mengapa Sang Naga lari tunggang-langgang ketakutan. Maka
berteriaklah Sang Baginda, minta agar Sang Nagagini mau kemali dan diobati luka pada ekor yang terkena panah. Namun
Sang Nagagini tidak mau berpaling kembali dan menjawab
panggilan Baginda. Ia lari terus melompati pagar bata.
15. Melihat semuanya itu Baginda berpikir di dalam hati. Pasti
akibatnya akan membuat diriku dalam bahaya. Sekiranya Nagagini tiba di tempat tinggalnya, ia pasti mengadu kepada jantannya dengan dalih yang tidak benar. Apa yang diceritakan
tidak sesuai. Nagapratala bagaimana ia bisa tahu yang sesungguhnya teijadi. Namun begitulah peristiwanya.
16. Bagina melanjutkan perjalanan dengan perasaan sedih. Kemudian melihat-lihat tanaman bunga-bunga yang tumbuh indah
di dalam taman sari. Selanjutnya Baginda berkenan mandi di
kolam taman. Semua pengawal menjaga dengan ketat di sekitar
taman.
17. Hanya para keluarga dekat dan Patih Raja yang diperkenankan
turut serta masuk ke dalam taman. Melihat berbagai bunga-bu18
PNRI
nga Baginda sangat senang. Dipetiknya sekuntum untuk sunting telinga. Kemudian beliau melihat wajah beliau di permukaan air. Aku Raja muda lagi tampan, katanya dalam hati, tidak sepatutnya ditolak oleh seorang perempuan.
18. Jika demikian halnya aku lebih baik mati, begitu cipta di
dalam hati Baginda. Maka dihiburnya hati yang gundah dengan
bercengkerama melihat bunga-bunga indah, seperti: Argula,
Nagasari, Tanjung, Sumarsana dan Bunga Tutur. Angin bertiup
melanda bunga hingga beijatuhan, menyebarkan bau harum.
Ada yang jatuh ke air tampak seperti buih yang terapung.
19. Berbagai macam bunga terdapat di sana. Bunga Jelamprang,
Jati Kemuning, Pudak, Kenanga, Noja, Menur, Mandakaki,
Andul, Gambir dan Melati. Juga terdapat bunga Srigading, Pacar-air, Seruni. Tanjung serta Pacar, di samping Walikadep dan
Nagasari. Banyak sekali jika disebut satu persatu.
19
PNRI
3.
DANDANGGULA
21. Akhirnya Sang Kalawerdati ganti diserang oleh Madrim, Dipukul remuk mukanya pecah mengeluarkan darah merah.
Matilah raja raksasa itu. Pengawalnya sebanyak empat puluh
maju bersama hendak mengeroyok Sang Patih. Mereka mengepung Madrim dari segala jurusan hingga membuat Sang
Patih terkejut. Berkatalah Madrim kepada empat puluh raksasa
yang dengan gigih mengerubutinya,
22. "Jangan kalian hindari anak panahku ini," katanya seraya
melepaskan anak panah ke arah raksasa raksasa itu. Semuanya
mati tidak ada yang dapat meloloskan diri. Sementara itu tibalah waktu pagi dan Sang Patih kembali pulang ke dalam taman.
Para peijurit telah bangun tetapi seorang pun tidak tahu bahwa
Sang Patih habis berperang melawan raksasa. Matahari telah
terbit sementara para mantri siap menghadap di depan tempat
bersemayam raja.
23. Gajah, kenaikan Baginda, telah siap dilengkapi pelana sementara para peijurit mengira bahwa Sang raja berkehendak kembali pulang ke istana. Diceritakan Sang raja telah bangun dan
terkenang kepada istrinya. Baginda memerintahkan untuk segera menyiapkan gajah kenaikannya. Patih pun segera menjalankan perintah untuk menyiapkannya.
24. Tanda berangkat dibunyikan dan barisan segera bergerak maju,
sepanjang jalan kelihatan gembira meliputi semua punggawa
dan para mantri. Baginda dengan gajah kenaikannya dikelilingi
beberapa peijurit kelihatan sangat indah. Tak lama Sang raja
bersama barisan pengawal tiba di negara. Selanjutnya para dipati diperintahkan semuanya agar tidak tidur di dalam rumah
mereka.
25. Mereka mendapat tugas beijaga di dalam istana. Hati-hatilah,
kata Sang Patih, Nagapratala sangat sakti mampu menjelma
berbagai macam binatang. Bila kau lihat binatang senuk, banteng, kijang, serta kancil, atau pun berupa ular bunuhlah itu.
Pasti dia penjelmaan Sang Nagapratala yang sangat sakti serta
mampu mewujutkan segala ciptanya. Semuanya menjawab
siap melaksanakan perintah.
24
PNRI
26
PNRI
4. DURMA
6. Jika begitu halnya kakanda lebih berat cintanya kepada Anglingdarma. Apa gunanya mempunyai isteri? Sang Nagapratala
mendengar jelas kata-kata isterinya. Ia tersentak dan terasa sakit di hati, mengingat selama ini isterinya belum pernah berbuat tidak baik.
7. Telinganya serasa dipotong dengan pisau tajam. Ia menjadi
beringas dan marah sehingga matanya tampak sangat merah
seperti bola matahari. Satu di kiri satu di kanan sangat menakutkan. Tubuhnya seolah-olah membesar, ekornya bergetar
sangat cepat.
8. Sisiknya sangat tajam bagaikan pisau cukur, bisa yang berada
di lidah bagaikan mirah berwarna kuning tua. Kedua matanya
seperti matahari. Lidahnya bagaikan petir berlalu, sedang gigigiginya menyerupai bintang-bintang yang beredar; adapun besar ekornya sama dengan batang pohon tal.
9. Giginya tajam merata dan sangat kuatnya, bertaring seperti
taring gajah. Bentuk wajahnya seperti belahan pedang sedang
hidungnya berlubang bagaikan mulut gua sepasang. Dibukanya
mulutnya dan keluarlah suara yang menakutkan. Tinggallah
kau Nagagini, katanya keras-keras.
10. Keluarlah Nagapratala dari tempat tinggalnya, ia terapung di
atas pantai sambil menjulurkan lidah ke kanan kiri dibarengi
oleh desisan suara keras.Berputer sebentar di atas pasir kemudian keluar dan langsung pergi menuju ke arah negara Malawati.
11. Ia iupa sudah akan segala kasih sayangnya terhadap sahabat
baiknya, ialah Sang Baginda. Kehendaknya Sang Baginda
hendak dibunuhnya oleh karena telah berbuat jahat terhadap
isterinya. Isteri Sang Nagagini yang cintanya tak terkatakan
terhadap suaminya.
12. Peijalanan Sang Nagapratala sangat cepat, seperti kilat, sebentar kemudian telah sampai di negara Malawati. Ia masuk ke dalam kota dan terhenti sejenak di balai penghadap yang penuh
28
PNRI
dengan orang-orang beijaga. Memang para peijurit telah menjalankan perintah Patih Batik Madrim.
13. Para peijurit dan para nayaka semuanya beijaga-jaga, siap dengan peralatan perang. Demikian perintah Sang Patih, "Wahai
para penggawa, kalian semua harus siap siaga dan berhati-hati.
Jangan sampai ada seorang pun yang lalai. Ketahuilah olehmu
bahwa Nagapratala itu sangat sakti."
14. Nagapratala tersenyum mendengar perintah Sang Patih Dalam
hatinya berpikir, "Benar Sang Raja Anghngdarma telah berbuat jahat, tandanya semua penggawa dikerahkan untuk berjaga-jaga. Mereka kini siap siaga. Macam-macam ulahnya.
15. Jika ada keinginan Nagapratala hendak berbuat jahat terhadap
para penggawa raja, pastilah mereka dengan mudah dikalahkan
dan mati semuanya. Tetapi Nagapratala tidak bermaksud
membunuh-bunuh. Para perjurit tidak bersalah, jika mereka
terbunuh ia akan dikutuk oleh para dewa.
16. Maka undurlah Nagapratala, kemudian ber"tiwikrama" berdiri
ia di atas pohon Beringin kembar. Ia mampu mengelilingi jagad, kesaktiannya menyamai para dewa dan pendeta. Maka
seorang pun tidak ada yang melihat ketika ia masuk ke dalam
pura Sang Raja.
17. Berkat kesaktiannya yang luar biasa, ia tidak memerlukan bantuan berupa jalan ataupun diiringi oleh suara yang berisik. Tahutahu telah berada di balai bangunan indah tempat bersemayam
Baginda. Ia telah dapat memastikan di mana Sang Raja berada
ketika itu.
18. Tiba-tiba timbul rasa ragu-ragu di dalam hati Nagapratala. Ia
teringat janji-janji dengan Baginda ketika sama-sama menuntut
ilmu di hadapan guru yang sama. Teringat ketika sama-sama
duduk, saling mengikat janji sebagai sahabat seperguruan yang
lebih erat daripada s a h a b a t yang lain.
29
PNRI
jang saja apa yang ada di dekatnya tidak memperdulikan sesuatu dan tak mau mendengarkan seruanku agar kembali.."
26. Sang Puteri nyela kata, "Paduka telah keliru bertindak, menghalang-halangi orang yang tengah berpadu kasih." Dijawab oleh
Sang Raja, "Memang benar kata-katamu itu sayang. Tetapi
hendaknya kau ketahui, bahwa Si naga betina, tidak lain adalah Nagagini.
27. Isteri dari naga besar Nagapratala. Dia telah menjadi sahabat
karibku, kuangkat menjadi saudaraku tua. Tidak lagi membedakan pangkat dan kedudukan, seperti saudara sendiri. Bagaimana bila kuberdiam diri menyaksikan isterinya berbuat serong dengan ular kecil?
28. Dan jika aku tak berani menghukum kepada si ular Tampar,
apa kata orang terhadap diriku? Belum terhadap ular besar,
sedang terhadap ular kecil saja aku tidak berani bertindak.
Apalagi terhadap ular lain yang berkehendak serong terhadap
isteri sahabatku.
29. Itu berarti merendahkan martabat sahabatku. Begitulah pikiranku. Maka kupanah Si Ular Tampar hingga mati. Namun aku
kira Nagagini pasti berkata tidak sesungguhnya kepada lakinya, apabila dia telah tiba di rumah. Ia akan mengadu kepada
sang suami tentang kebaikannya.
30. Sungguh-sungguh sulit terjadi bila ia mengatakan telah berbuat serong. Ia pasti memburuk-burukkan saya. Dan jika Kakak Naga bertindak gegabah tidak mengadakan pemeriksaan
lebih dulu, tentu aku mati karenanya. Itulah sebabnya aku
merasa pedih hati."
31. Sangatlah heran Sang Puteri di dalam hati setelah mendengarkan cerita Baginda. Air matanya berlinang-linang, dan segera ia
mencium kaki Sang Raja. Baginda sangat kasihan melihat
permaisuri duduk di bawah sambil mengeluarkan bercucuran.
31
PNRI
5. MIJIL
1. Segera dipegangnya tangan permaisuri, sambil berkata perlahan-lahan. Wahai intanku, janganlah kau cemas di hati. Percayalah kepada Dewa pengasih. Siapa pun tidak dapat menghindar, apabila saat kematiannya telah datang.
2. Sang Nagapratala mendengar semua percakapan Baginda, Ia
tidak jadi bertindak. Tak habis dia berfikir, bagaimana jika ia
terlanjur membunuh sahabatnya. Hukum apa yang ditimpakan jika gigitannya membuat orang mati.
3. Yang pasti ia kehilangan sahabat dan mendapatkan murka dari
Dewa. Utang pati besar dosa yang dipikulkan kepada si pelaku.
Sedang orang yang berbuat baik, bagaimana pun juga akan
menemui kebajikan. Baiklah adinda Raja.
4. Telah nyata Nagagini berdusta terhadap diriku. Apa yang diceritakan semuanya bohong. Bercerita yang bukan-bukan agar
supaya dirinya terlindung. Ah seandainya adinda Raja terbunuh, tak urung Nagagini pun saya beri hukuman mati.
5. Sementara itu Nagapratala telah pergi menuju ke luar ruangan
di mana Sang Raja beradu. Ia kembali berupa seekor ular naga
dan bersuara keras mendesis-desis. Seluruh penghuni gedung
menjadi ketakutan karena bunyi ular tersebut.
6. Mereka berfikir bahwa ajalnya telah sampai. Hiruk pikuk seisi
istana memberitahukan tentang kedatangan Nagapratala. Berkata Nagapratala kepada adinda Raja dari halaman bagian
belakang Taman Bunga.
32
PNRI
kepada sanak keluarga yang lain, itulah pesanku sungguhsungguh. Sebab jika adinda sampai mengajarkannya kepada
orang lain. Akibatnya tidak baik, aku akan menemui ajalku."
22. Sang Baginda Anglingdarma menyanggupi segala pesan Nagapratala dan berjanji akan melaksanakannya. Ibaratnya seperti
terikat erat di pucuk rambut, sebagai ajimat yang dikeramatkan untuk selama-lamanya.
23. Berkatalah Sang Naga lebih lanjut, "Adinda Raja, apabila
telah adinda setujui syarat-syaratnya dengan jelas. Marilah
kita pergi ke dalam hutan yang sunyi. Adinda boleh naik di
atas punggung kakanda."
24. Sang Raja tak menolak ajakan Sang Naga, segera tubuhnya
mendekat dan dinaikkan ke atas punggung Sang Ular Besar.
Nagapratala menuju ke luar istana. Cepat jalannya bagaikan
bintang beralih.
25. Hanya sebentar mereka telah tiba di tengah hutan. Maka berkatalah Sang Naga kepada Baginda, "Marilah adinda turun
dari punggung, kita telah sampai di tengah hutan. Jauh dari
Utara dan Selatan, tiada makhluk lain yang tahu.
26. Di sinilah tempat yang paling baik." Maka turunlah Sang
Raja dari punggung Sang Ular kemudian duduk di hadapannya. Berkatalah Sang Naga pelan-pelan, "Wahai adinda terimalah aji-aji saya bernama Aji Suleman yang sangat keramat.
27. Dekat-dekatlah duduk adinda dan pejamkanlah mata." Baginda pun mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Sang Naga
saling mendekat dan saling memejamkan mata mereka. Nagapratala berkata perlahan-lahan sambil mencucurkan air mata,
diperhatikan oleh Baginda dengan penuh perasaan.
35
PNRI
6. ASMARANDANA
1. Maka diturunkanlah ilmu Suleman kepada Sang Raja Anglingdarma. Sang Naga membisikkan rapal ke telinga Baginda. Tidak begitu lama berlangsung, Sang Raja telah menanggapi
segala kata-kata keramat dalam hati, seolah-olah masuk ke
dalam dada Sang Raja.
2. Perasaan di dada terasa lain dari sebelum menerima ilmu itu
Raja Anglingdarma merasakan sesuatu yang lain dari biasanya, berkat aji Suleman yang telah diturunkan kepadanya.
Pendengarannya terasa mampu menjangkau jauh. Maka bertanyalah Nagapratala kepada Raja Anglingdarma,
3. Apakah telah adinda pahami segala tanda-tanda yang terasa
lain di dalam hati adinda?" Yang ditanya memberikan jawaban, "Kakanda berkat ajaran kakanda adinda telah menangkap
segalanya. Perasaan hati adinda berbeda dengan sebelumnya.
4. Sangat berlainan dengan sebelum kudapat ilmu Suleman, langsung ke dalam pendengaran." Sang Nagapratala sangat senang
mengetahui Baginda telah terbuka hatinya dan betul-betul
memahami hingga sedalam-dalamnya. Marilah adinda, katanya
lebih lanjut, kita sama-sama pulang ke tempat tinggal kita
masing-masing.
5. Baginda hanya memikirkan keadaan Sang Permaisuri yang
menunggu kedatangannya di istana. Langkahnya dipercepat.
Dalam hati Baginda berkata, "Apabila hari ini saya tidak tiba
di istana, saya tak dapat mengira-ngirakan bagaimana akibatnya.
6. Saya kira isteriku akan bunuh diri dengan menusuk tubuhnya
36
PNRI
sendiri. Ia berada di dalam istana dan mengira bahwa Nagapratala telah membunuh diriku. Di dalam hutan. Kupinta kepada
Dewa Agung, semoga permaisuriku tidak membunuh dirinya
sendiri dengan keris.
7. Semoga ada yang memberinya peringatan dan menghibur hatinya." Begitulah perasaan Baginda sambil menuju kembali
ke istana. Maka diceritakan keadaan Sang Puteri yang ditinggalkan, ialah permaisurinya anak Sang Pendeta di gunung.
8. Ketika itu Sang Dewi sedang bersemayam di kelilingi oleh
dayang-dayang dan para isteri Sang Raja. Duduk paling depan
ialah Inya Mandala. Tidak terkecuali para penghuni istana
yang lain, semua babu dan inya-inya. Berkatalah Permaisuri
kepada Inya Mandala.
9. "Ibu Mandala bagaimana gerangan kabar Paduka Sri Baginda?
Hatiku sangat sedih karena hingga sekarang belum juga kembali. Apabila Sri Baginda tidak datang pada hari ini, pasti telah
termakan oleh tipu daya Nagapratala dan dilarikan pergi ke
dalam hutan belantara.
10. Dibunuh Baginda di dalam hutan itu oleh Si Nagapratala. Apabila benar-benar Baginda berpulang, aku akan bela mati pula.
Tak ada faedahnya aku hidup terus, lebih baik bunuh diri."
Sang Puteri berkata sambil berlinang air matanya.
11. Inya Mandala bersembah sambil menyambung kata-kata "Meski hambamu hanya pelayan yang terendah, tetapi jika Tuan
Puteri bela diri ikut mati Sang Raja, pasti hambamu tak ingin
tinggal. Ingin juga bela bersama-sama, hamba tidak bisa mengabdikan diri pada orang lain."
12. Demikian pula halnya dengan penghuni keputerian itu, semuanya menyampaikan hasratnya untuk ikut bela pati. Namun,
kata Inya Mandala, sebaiknya Puteri bersabar dan menanti
sampai hari ini. Mohon kiranya Puteri menuruti saran hamba
ini.
37
PNRI
13. Baiklah Inya Mandala, saut Puteri. sekarang telah pukul berapa? Dijawab, bahwa hari telah rembang petang. Maka diajak
lah Sang Puteri menghibur hati, menuju ke Pintu Selatan.
Mungkin Baginda sebentar lagi tiba, semua telah siap untuk
menyongsongnya.
14. Dengan perasaan semakin duka Sang Puteri beserta para dayang-dayang pergi menuju ke Pintu Selatan. Jalannya bergontai, tidak bergairah, karena rasa hati yang sangat gundah. Tak
henti para dayang-dayang menjaga jangan sampai Sang Puteri
terjatuh hampir semuanya tidak dapat menahan jatuhnya air
mata.
15. Mereka merasa kasihan menyaksikan penderitaan tuannya. Tibalah para dayang-dayang di Pintu Selatan. Rombongan berhenti di bawah pintu. Puteri tak henti-henti mengharap kedatangan Sri Baginda dengan hati rindu. Sementara para babu
dan inya mengawal di dekat Sang Puteri.
16. Sang Puteri berkata sambil menahan airmatanya: Mamanda
telah bulat dalam hatiku aku akan menusukkan keris ini ke
tubuhku, apabila sampai sore hari Sang Baginda tidak tiba
di istana. Aku tujukan tepat ke arah ulu hatiku.
17. Semua yang berada di dalam puri tergerak rasa sedih yang
mendalam mendengar kata-kata Sang Puteri. Mereka bergumam satu sama lain membicarakan yang sedang di rundung
duka. Tiba-tiba Sang Baginda muncul berjalan ke arah pintu
sambil memegang ujung kainnya, bagaikan Hyang Asmara.
18. Dewa Asmara yang tengah mencari Dewi Ratih. Begitu keadaan Maharaja Anglingdarma, tampak parasnya bercahaya
seperti bulan yang sedang purnama. Tampan dan menarik.
Baginda sangat terkejut melihat permaisuri berada di pintu
dikerumuni oleh semua isi puri.
19. Apalagi permaisuri menggegam keris pendek siap untuk
bunuh diri. Tidak salah penglihatan Sang Puteri, bahwa Sang
38
PNRI
dengar kata-kata semut Baginda tersenyum sendiri tak menghiraukan pandangan Sang Puteri. Bertanya Puteri kepada Baginda mengapa tersenyum tanpa sebab, adakah sesuatu yang
luar biasa? Maka menjawablah Sang Raja Anglingdarma,
27. Aku tersenyum sayang, demikian kata Sang Raja, teringat peristiwa yang terjadi di dalam hutan. Aku dengan Nagapratala
berkeliling di dalam hutan. Melihat berbagai macam pohonpohonan. Kami tidak tahu kegunaan pohon-pohon itu barang
sedikit saja.
28. Itulah sebabnya aku tertawa sendiri. Mendengar jawaban Baginda puaslah hati Sang Puteri. Maka sampailah mereka di
ruang dalam istana. Tempat Sang Raja duduk-duduk bersama.
Baginda bersemayam di samping permaisuri di atas permadani.
29. Hidangan pun disajikan untuk dahar Sang Raja bersama permaisuri. Semuanya merasa gembira, demikian juga isteri-isteri
Baginda yang lain. Melimpah banyaknya hidangan tanda rasa
senang karena Sang Raja telah kembali selamat. Tidak seorang
pun merasa susah.
30. Sementara itu terdengar suara gamelan yang merdu, yang dipukul para penabuh di ruang pendapa. Mengiringi dua barisan
bedaya penari istana. Sampai selesai menghibur Sang Baginda.
Maka permaisuri dibawa Sang Raja ke peraduan.
31. Nyi Inya menutup kain tirai dan membiarkan Sang Raja berdua memadu cinta. Terdengar rayuan Sang Raja terhadap Sang
Puteri, ibarat kumbang mencium bunga guna memperoleh madunya. Banyak dayang-dayang yang tergiur hatinya mendengarkan, yang tidak tahan segera keluar meninggalkan ruangan.
40
PNRI
7. MIJIL
hatinya marah. Dikiranya pasti Sang Raja tidak puas oleh layanan yang telah diberikan.
14. Segera Sang Puteri bangun dan duduk dengan wajah cemberut.
Ia berdatang sembah katanya, "Mengapa Baginda tersenyum
di kulum sehabis mencumbu diri saya? Apakah tidak selayaknya Baginda telah tidur bersama dengan hamba?
15. Hamba akui bahwa hamba adalah anak kelahiran gunung yang
diperisteri oleh Baginda. Jadinya membuat repot orang saja tidak patut untuk menjadi isteri seorang raja. Sekiranya hamba
tidak layak untuk menjadi abdi raja, sebaiknya Tuan pulangkan kembali ke gurfung.
16. Bukankah banyak jumlahnya isteri Paduka Raja, yang terdiri dari puteri-puteri pilihan. Sedang hamba sendiri perempuan dari keturunan rendah." Berkatalah Sang Baginda dengan
manis, "Wahai adik intan juwitaku. Ketahuilah.
17. Biarpun banyak jumlah wanita yang berparas cantik, puteriputeri raja di sekitar. Tidak seorang pun yang menyamai
adinda sayang. Kuibaratkan sekuntum bunga untuk sumping
di telinga kakanda. Pantas dan kuhormati selalu.
18. Aku akan senantiasa setia terhadapmu, sampai akhir hayatku.
Menjelmalah sampai tujuh keturunan, penjelmaanku selalu
akan mempersuntingmu. Aku tak takut membelinya dengan
nyawa, demi untuk tetap berada di sampingmu.
19.Janganlah adinda keliru menanggapi ulah kakanda, karena
kakanda tersenyum sendirian. Aku telah melihat sepasang
cicak yang bertengkar, yang menyebabkan kakanda tersenyum.
Ki Srepana nama cicak yang jantan, betinanya bernama Srepani. Si Jantan minta betinanya melayani kehendaknya. Tetapi betinanya enggan melakukannya.
20. Ia ingin melakukan sanggama seperti yang kita lakukan. Betinanya sedang mengandung tua, maka tidak mau menurutinya. Si Jantan terus saja memaksakan kehendaknya sehingga
terjadilah kecelakaan. Pada waktu betinanya menghindari
sergapan ia terjatuh di atas bantal dan putuslah ekornya.
43
PNRI
35. Besar guna dan manfaat aji yang akan kuberikan kepadamu.
Jika kau ingin bepergian jauh, kau dapat menjelma menjadi
apa yang kauinginkan, baik besar maupun kecil. Itulah sebaiknya kau miliki aji yang utama. Marilah adinda sayang
kuturunkan aji itu kepadamu."
36. Dewi Setiawati menolak keras dan tidak mau menerima aji
utama yang akan diturunkan oleh Baginda. Ia hanya minta
aji Suleman untuk diturunkan kepadanya. Demikianlah diceritakan Sang Puteri senantiasa minta kepada Baginda selama
tujuh hari, namun Baginda tetap memegang janjinya.
46
PNRI
8. SINOM
1. Tak terkirakan rusuh hati Sang Baginda berusaha menenangkan hati Sang Puteri yang tetap minta aji Suleman. Selama tujuh hari Baginda tidak menerima laporan para penggawa di
Balai Penghadapan. Marah Sang Puteri semakin menjadi-jadi,
parasnya seakan-akan berwarna merah dan bibirnya selalu
bergetar hendak mengatakan sesuatu yang tertahan.
2. Maka keluarlah kata-katanya penuh rasa marah dan kasar,
"Apa jadinya Baginda tidak mengindahkan kata-kata hamba.
Apa gunanya Paduka beristerikan hamba, rupa jelek tak
tahu diri. Pulangkanlah hamba ke gunung saja. Tidak ada
faedahnya orang bersuami tetapi tidak mendapatkan cinta kasih." Sembari memeluk pinggang Sang Puteri bersabdalah Raja,
3. "Sampai kauhancur luluh di tanganku, kau tak akan kubawa
pulang ke gunung asalmu." Maka berkatalah Puteri sambil
menangis, "Jika demikian kehendak Baginda lebih baik hamba mohon pamit untuk mati. Sekiranya hamba tidak diperkenankan pulang kembali ke gunung, maka izinkanlah hamba
masuk ke dalam perapian.
4. Hamba sangat malu terhadap Dewa serta tak tahan melihat
pandangan orang terhadap hamba." Maka Sang Baginda mengusap dada seraya berkata, "Aduhai juwita hatiku. Aku masih
selalu ingat pesan Sang Tapa orang tuamu, agar aku selalu di
sampingmu, biarpun dikau masuk ke dalam api sekali pun.
Jangan kakanda disebut orang yang mengingkari janji.
5. Seandainya dikau hancur dimakan api jangan sampai kita
terpisah satu sama lain." Berkatalah Sang Puteri, "Segeralah
47
PNRI
Patih keheran-heranan, "Paduka sudilah menjelaskan perintah Paduka, hamba belum dapat menangkap. Paduka menghendaki adanya perapian besar lengkap dengan panggung.
Siapa yang akan masuk ke dalam api itu?" Bersabdalah Raja
Anglingdarma,
11. "Ketahuilah Kakak Patih, adinda Sang Ayu Setiawatilah yang
bermaksud masuk ke dalam api. Dan saya akan membela dia."
Mendengar kata-kata itu Ki Patih menyembah sambil mencucurkan air mata, "Aduh Sang Dewa Malawa. Paduka adalah
Raja besar dan termashur. Tidak sepantasnya membela mati
isterinya. Pekerti demikian adalah nista di mata orang banyak.
12. Telah jamak bagi perempuan umumnya, berbuat macammacam terhadap laki-laki, tetapi itu tidak dimaksudkan dengan sungguh. Jika hati tidak dikekang dengan teguh. Wahai
Tuanku Puteri yang cantik. Janganlah diperturut kehendak
hawa nafsu. Akibatnya tidak baik. Ibarat putri yang utama
pasti dia akan tunduk dan patuh terhadap kehendak lakinya.
13. Banyak lagi saran dan permintaan Sang Patih Batik Madrim
kepada Puteri Raja untuk menangguhkan kehendaknya.
Namun Sang Kesuma menjawab dengan lantang, "Diamlah
kau Patih janganlah banyak bicara. Bila tidak kaukeijakan
perintah Baginda. Aku lebih baik mati dengan jalan yang lain.
14. Pasti Dewa yang Agung telah menggariskan nasib kami."
Sang Raja tak tahu apa yang hendak dilakukan, kata Baginda
pelan-pelan," Hanya pesanku kepadamu Patih, apabila aku
telah tiada, kaulah yang menggantikan diriku menjadi Raja.
Perintahlah selanjutnya negara Malawapati ini.
15. Patih bukan orang lain, kaulah sahabatku sendiri. "Maka
menangislah Ki Patih mendengar pesan-pesan Baginda itu.
Ia mencium kaki Sang Raja meratap seperti wanita." Hamba
tidak mampu menjadi raja," sembahnya," pengetahuan hamba
nihil, bagaimana hamba dapat menguasai para perjurit Malawapati. Apalagi hamba takut terhadap kutukan Dewa.
49
PNRI
16. Hamba bukan pewaris mahkota, akibatnya mengundang bahaya besar jika hambamu diangkat sebagai Raja. "Baginda menyambung, "Bukankah kau keluargaku sendiri? Lagi pula seperguruan dengan diriku. Kukira kau kuat melaksanakan
dan dijauhi bahaya. Maka terimalah tugas ini dengan baik."
Semakin keraslah tangis Sang Patih didesak oleh perasaan
duka.
17. Sang Baginda melanjutkan perintahnya, "Segeralah kau keluar
menuju tanah lapang." Dan menyembahlah Batik Madrim
mohon diri, beijalan sambil mencucurkan air mata. Semua heran menyaksikan peristiwa itu, para punggawa dan para
peijurit. Mengapa Sang Patih kembali dari penghadapan Raja mencucurkan air mata?
18. Hati mereka bergetar penuh dengan tanda tanya. Pasti
Ki Patih mendapat murka dari Baginda. Soal apa? Tiba di
Balai penghadapan Sang Patih berkata dengan berat, "Perintah Sang Baginda tegas wahai semua punggawa. Buatlah segera perapian yang besar beserta dengan panggung. Keijakanlah secepat mungkin.
19. Di alun-alun tak jauh dari tempat rakyat menghadap raja.
Baginda berhasrat akan masuk ke dalam perapian, membela
isterinya. Dan kalian para menteri siapkan segera minyak dan
ijuk secukupnya. Sekiranya Baginda mangkat dalam melakukan belapati terhadap isterinya, maka akulah diperintahkan
Baginda untuk menggantikannya.
20. Memerintah semua punggawa di Melawa, "demikianlah perintah Sang Baginda." Aku sangat pusing mendapat perintah
yang berat dan mendadak ini, maka aku tidak bisa menahan
tangisku." Tidak terkirakan rasa haru para mantri dan punggawa, mereka hanya menjawabnya dengan kata"ya tuanku"
bersama-sama. Mengapa Sang Raja berkehendak masuk ke dalam api besar?
21. Dan apa sebabnya bersama-sama dengan permaisuri? Maka
berkatalah Patih Batik Madrim kepada semua punggawa dan
50
PNRI
51
PNRI
9.
DANDANGGULA
1. Bila Baginda tak mau mendengarkan saran yang baik, kita rebut saja bersama-sama. Baik para peijurit, maupun para keluarga Raja sendiri harus ikut serta merebut Sang Baginda.
Mencegah teijadinya rencana membakar diri. Khusus Sang
Raja saja yang kita rebut." Ki Patih Madrim membenarkan saran-saran tersebut, tetapi tidak berani berbuat lebih lanjut.
2. Aku takut dikutuk oieh Baginda. Saran dan permohonanku
tidak ada yang diterima sedikit pun. Mengapa Baginda sampai
berbuat demikian? Pertama Dewi Setiawati adalah puteri guru nata yang kini bertapa di gunung. Kedua, Sang Raja sendrii telah bersumpah sebelumnya akan mati bersama-sama.
Yang ketiga, keduanya sedang dirundung asmara, saling berkasih-kasihan tidak dapat dipisahkan.
3. Para Bupati tidak mampu pula menahan deras air mata yang
bercucuran, tidak terkecuali para keluarga yang mendengar
penegasan itu. Batik Madrin melanjutkan perintahnya, "Mari
janganlah kalian terus-terusan menangis, tidak patut dilihat.
Jangan lagi membicarakan soal ini. Kita serahkan kepada kehendak Dewata. Bekerjalah dengan cepat-cepat agar panggung
segera terwujud.
4. Kalau-kalau Baginda nanti murka melihat kelalaian kita semua." Maka mulai para perjurit dan punggawa bekeija sambil
menangis. Panggung beserta dengan gunung api telah siap
seperti yang dikehendaki. Ki Patih segera menuju ke istana
melaporkan tugasnya kepada Baginda. Panggung beserta
gunung api telah selesai disiapkan di depan Balai Penghadapan.
5. Sang Raja serta permaisuri mengambil air "jamas" untuk meng52
PNRI
demikian juga Kawah Candradimuka bergumpal-gumpal mengeluarkan suara keras, bayu-bajra menyerang bertubi-tubi
kuatnya, sehingga menyebabkan pohon-pohon besar tumbang
atau patah cabangnya maupun terbelah batangnya. Sedang
Kayu Dewandaru tak kecuali, patah terpenggal batangnya
oleh tiupan angin. Banyak Dewa berlari-larian karena bumi
Suralaya berguncang oleh gempa.
16. Bidadara dan bidadari pergi mengungsi membawa peralatan
tidur mereka. Tahukah adinda Endra sebab-musababnya?
"Sang Surapati menjawab, "Jika kakanda setujui sebaiknya
kita ke atas mohon kepada Hyang Guru petunjuk selanjutnya." Keduanya pergi menuju ke kamuksan tempat Hyang
Guru bersemayam dan menyampaikan pertanyaan. Maka bersabdalah Sang Hyang Guru menanyakan maksud kedatangannya.
17. "Apakah gerangan maksud kalian menghadap dengan tiba-tiba?" Resi Narada menjawab dengan khidmat, "Pukulun adinda Guru, hamba laporkan teijadinya huru-hara di kediaman
para dewa. Kami tidak tahu yang menjadi sebabnya, sehingga
dewasa ini keadaan di Suralaya bagaikan di guncang-guncang.
Berilah kami keterangan."
18. Dengan manis Hyang Guru bersabda, "Ketahuilah Kakak
Narada asal-mula teijadinya huru-hara sehingga terasa perbawanya. Ada Raja yang ingin bunuh diri bersama-sama dengan
permaisurinya. Mereka sedang saling bercinta satu sama lain.
Nama raja itu Anglingdarma, terkenal kesaktiannya dan menjadi kesayangan Sang Hyang Tunggal. Raja yang bertakhta di
Malawapati itu tidak ada yang menyamai di seluruh jagad.
19. Ia diperanakkan dari keturunan yang istimewa sebagaimana
telah ditulis dan diuraikan dalam purwa-wasana." Narada sangat tercengang mengetahui sebab terjadinya kekalutan itu.
Maka bersabdalah Sang Hyang Guru, "Kakak segera turun ke
Marcapada dan bawalah serta Bathara Indra. Ketahuilah bahwa
Anglingdarma merupakan penerus raja-raja di Jawa. Apabila
ia meninggal, akan terputuslah jalur keturunannya."
55
PNRI
20. Begitulah perintah Sang Bathara Guru kepada Narada dan Indra. Keduanya mohon diri bersama-sama pergi turun ke bumi.
Kembali diceritakan Raja Anglingdarma dan permaisurinya.
Permaisuri mendesak kepada Sang Raja agar supaya segera masuk ke dalam perapian. Apa lagi yang masih kita tunggu?
begitu desak Sang Permaisuri.
21. Sekiranya Baginda memang tidak ingin masuk ke dalam api,
hamba sendirilah yang masuk. Tinggallah Baginda di dunia,
memerintah negara Malawapati. Dikelilingi para wanita, kawinlah dengan puteri yang cantik dari keturunan raja-raja.
Apa gunanya kawin dengan orang gunung yang kasar, tak tahu
sopan-santun. Jahat dan berhati angkara.
22. Cepat-cepat Sang Dyah ingin teijun ke bawah dan masuk api
yang berkobar-kobar. Namun Sang Raja tidak melepaskannya.
semakin erat permaisuri dipeluk pinggangnya. Seraya berkata,
"Tunggulah sebentar sayang. Sebaiknya kau ingat-ingat pesan
ayahanda Wiku bagaimana seorang yang akan meninggal
dunia harus berbuat. Jangan sampai keliru yang diucapkan
Itulah maka saya terhenti, bukan karena takut mati.
23. Demi mengindahkan pesan dan petunjuk Sang Pendeta, menghindari kekeliruan dalam moksa. Mengingat banyaknya orang
yang tidak tahu jalan benar dalam menghadapi maut. Tidak
melihat dengan awas mana sesungguhnya yang dituju." Dewi
Setiawati menjawab, bahwa semuanya itu telah direnungamalkan ketika di istana. Segala petunjuk ayahanda yogi tentang moksa dan maut telah dihafalkan dengan baik.
24. Tiba-tiba Sang Raja dikejutkan oleh munculnya sepasang kambing berkulit putih. Entah dari mana datangnya, kambing
sepasang itu telah berada di luar pagar janur kuning. Percakapan kedua binatang itu didengar jelas oleh Sang Raja. Si
betina bertanya, "Wahai jantanku, aku ingin menanyakan kepadamu. Apakah maksudnya orang membuat api sebesar ini?
25. Besarnya bagaikan gunung yang tinggi, dikelilingi oleh pagar
dari daun kelapa muda berwarna kuning. Bertangga tingkat
56
PNRI
58
PNRI
10. MIJIL
64
PNRI
11. KINANTI
21. Sedang istananya yang bagus tiada tampak lagi. Tertutup oleh
pemandangan yang lain, ialah semak belukar. Ingatlah Baginda
bahwa Dewa telah mencoba keteguhan hatinya. Maka berkatalah di dalam hati, "Kiranya telah dikehendaki oleh Dewa
Agung, bahwa negaraku berubah menjadi hutan sepeninggal
bidadari.
68
PNRI
12. PANGKUR
1. Mungkin semua peijuritku telah menemui ajalnya sesuai dengan suratan takdir. Dan habislah riwayat negara Malawapati.
Itu semuanya Dewalah yang mengatur," demikianlah pikir
Baginda. Maka Baginda pun turun dari panggung, menuju ke
alun-alun dan berjalan entah ke mana.
2. Sementara itu di sebelah Timur Sang Matahari terbit. Sang
Anglingdarma terus saja melanjutkan beijalan tidak tahu yang
dituju, seperti layang-layang yang terputus talinya. Siang dan
malam Baginda tidak berhenti, tidak pula makan dan minum,
sehingga tubuhnya kurus kering seperti mayat beijalan.
3. Berkatalah Baginda di dalam hatinya, "Aku ini semula adalah
seorang Raja yang besar, yang memerintah banyak raja-raja.
Dewasa ini terlunta-iunta tak menentu oleh karena ditinggal
mati isteri tercinta. Alangkah nistanya. Lebih baik aku tidak
lagi hidup di dunia apabila aku tidak kembali menjadi raja."
4. Demikianlah Sang Nata melupakan segalanya, di dalam hati
hanya satu tujuannya ialah mati di dalam belantara. Tiba-tiba
peijalanannya terhenti. Ia terheran-heran menyaksikan adanya
sebuah kota besar di depan mata, namun sunyi-senyap keadaannya. Kiranya kota itu kediaman raksasa.
5. Berpikir Baginda di dalam hati, "Kemana gerangan aku dapat
menanyakan sesuatu kepada penghuni kota ini. Tidak terdengar batuk seseorang." Maka tampak sebuah rumah di kejauhan, Raja pergi ke tempat itu. Tiba-tiba keluarlah seorang nenek-nenek dari bawah balai-balai. Ia tidak mengetahui kedatangan Raja.
69
PNRI
12. Semoga Dewa mengabulkan permohonan hamba. Baginda tetap menjadi Raja Besar yang memerintah seluruh Tanah Jawa
ini. Lestari hendaknya sampai kepada anak cucu dan cicit
keturunan Baginda di kemudian hari. Tidak ada orang lain
yang menggantikannya. Maka berkatalah Sang Baginda,
13. "Baik nenek pujimu terhadap Dewa Agung saya terima, Dewalah yang mengatur segalanya. Kini aku hendak bertanya kepadamu negara mana kota ini? Mengapa keadaannya sunyi
senyap tiada penghuninya seorang pun?" Maka nenek menyembah dengan khidmatnya, katanya,
14. "Negeri ini dahulu bernama Mlayakusuma. Sunyi-senyap keadaannya karena Sang Nata kalah perang, dihancur-binasakan
oleh Raja Raksasa yang sakti dan banyak peijuritnya. Para
punggawanya gagah dan perkasa dan ditakuti oleh musuh.
Adapun sebutan raja tersebut ialah Prabu Kalawerdati.
15. Semua penghuni Mlayakusuma habis terbunuh. Mati membela
rajanya dan hancur bersama-sama. Kemudian raja Raksasa itu
menempati istana yang telah dikalahkannya. Tetapi dewasa
ini Raja Kalawerdati telah berubah menjadi siluman. Tiada
lagi beritanya setelah selama sebulan lebih meninggalkan
istana bersama-sama empatpuluh perjuritnya."
16. Berkatalah Raja Anglingdarma, "Apakah dewasa ini Raja Kalawerdati berada di dalam kedaton?" Dijawab oleh si Wanita
tua tersebut, seraya menyembah dengan khidmat, "Sang Raja
telah meninggalkan kota ini bersama dengan perjurit pengawal
sebanyak empat-puluh orang kira-kira sebulan yang lalu.
Diduga keras raksasa itu pergi ke negara Malawapati.
17. Raja Kalawerdati bermaksud hendak membunuh Nata di
Malawapati sebagai pembayar utang pati, yang dilakukan oleh
neneknda Raja Malawa terhadap neneknda Raja Raksasa. Adapun sekarang ini yang masih tinggal di dalam kota hanyalah
puteri Raja sebanyak tiga orang. Masing-masing bernama Retna
Wiyata yang sulung, Retna Wiyati yang nomor dua, sedang
puteri yang bungsu bernama Retna Wintarsih.
71
PNRI
18.Ketiga puteri Raja tersebut berparas cantik." Sambil tersenyum Baginda berkata, "Saya ingin melihat mereka nenek.
Menyaksikan kecantikan Puteri ketiganya." Mendengar itu
Nenek tua menyembah, "Baginda jangan sekali-kali masuk ke
dalam kedaton, kalau-kalau Tuan mendapat bahaya.
19. Oleh karena ketiga puteri raksasa tersebut semuanya mempunyai kesaktian yang luar biasa. Ia biasa makan daging manusia,
mengingat mereka keturunan raksasa yang tidak menaruh belas
kasihan sedikit pun." Berkatalah Raja Anglingdarma, "Saya
sangat berterima kasih nenek, atas saran kasih sayang yang kau
persembahkan kepadaku.
20. Saya sangat bersyukur, apabila saya nanti menemui ajalku,
agar dengan demikian berakhir penderitaanku selama ini. Tinggallah nenek selamat di sini saja." Nenekpun menyembah
tanda setuju. Maka bexjalanlah Sang Nata menuju ke istana
raksasa. Sementara di angkasa terdengar bunyi burung hantu
bersaut-sautan, berbaur dengan bunyi burung-burung bubut.
21. Seekor buiung Merak tiba-tiba bersiul di cabang pohon yang
dilalui oleh Baginda. Seolah-olah menyapa kepada Sang Nata
dan memberi tahukan agar Baginda jangan masuk ke dalam
istana. Demikian pula halnya dengan burung-burung yang lain,
ingin pula memberitahukan kepada Sang Nata, seperti burung Cangak serta burung Cucur bak mencucurkan airmata.
22. Satwa-satwa itu seolah-olah mengetahui penderitaan Sang Baginda. Burung elang melayang-layang bagaikan membayangbayangi raja dari kejauhan. Raja Anglingdarma terus saja beijalan menuju ke tempat penghadapan, langsung masuk ke dalam
bangunan istana seraya berkata di dalam hati,
23. Benar juga apa yang diceritakan oleh nenek Tua. Sangat baik
dan bagus pengaturan pura ini. Sementara itu matahari hampir
silam di langit sebelah barat, cahyanya dipantulkan oleh mega
di atas daun-daunan. Baginda sangat senang melihat pemandangan yang indah, bunga-bungaan yang teratur baik dan
daun-daunannya yang lebat.
72
PNRI
13. SINOM
manis di atas pipi yang berbedak tipis. Berkatalah Baginda dalam hati, "Benar-benar cantik puteri Si Raja Raksasa ini.
Sayang makanannya daging manusia." Sekonyong-konyong
berhembuslah angin dari halaman meniup ke dalam pura.
6. Terciumlah bau Sang Baginda oleh si puteri raksasa. Puteri
Raksasa segera tahu, bahwa ada manusia yang mendekati
tempat tinggalnya. Aneh, pikirnya, selama aku tinggal di sini
belum pernah seorang manusia berani mendekat ke puraku.
Sementara itu Raja Anglingdarma telah membuka pintu
sambil berbatuk-batuk kecil.
7. Sang Retna tertegun sebentar melihat seorang laki-laki masuk
ke dalam ruangannya. Ia tidak dapat menduga, dari mana asal
manusia yang sedang dilihatnya. Bagusnya tidak terperi, seperti Dewa Asmara turun ke dunia. Mungkinkah orang itu
ingin mencari kematian, sehingga berani masuk ke istana raksasa. Sayang ia terlalu berani dan kurang memperhitungkan
mara-bahaya.
8. Di mana gerangan asal kedatangannya, dan apa maksudnya
ia datang kemari? Jika ia berkehendak tidak baik, pasti tidak
akan menemui diriku. Lagi pula raut mukanya kelihatan hendak bersahabat. Sepatutnya sayalah yang harus menegur lebih
dulu kepada pendatang itu, karena akulah si empunya rumah.
Maka bertanyalah Ken Wiyati dengan tegur sapa yang manis,
9. "Silakan Tuang duduk. Tidak baik seorang yang bagus rupanya duduk di tanah." Baginda tidak menolak permintaan itu,
beliau segera mengambil tempat duduk. Sementara itu Sang
Retna sangat terpesona oleh ketampanan tamu yang baru datang. Sampai-sampai tak terasa bahwa gelung rambutnya
terurai, dan kain penutup dadanya bergantung sebelah.
10. Kepada tamunya dihidangkan tempat makan sirih, yang diterima dengan mengambil pinang pemerah, bertanyalah Ken
Retna Wiyata, "Bagaikan pelangi di waktu pagi hari, yang dibawa oleh seorang berhati mulia. Hamba baru melihat wajah
74
PNRI
Tuan pertama kali. Kemana gerangan tujuan Tuan, serta siapakah nama Tuan. Dari manakah asal negara tempat tinggal
Tuan?"
11. Baginda menjawab, "Rumahku jauh dari sini. Akulah Raja di
Negara Malawapati. Adapun namaku Maharaja Anglingdarma."
Sementara itu Sang Ayu tidak berbicara sepatah pun. Di dalam
hatinya telah menduga, pasti ayahanda telah menemui ajalnya
di Negara Malawapati, Ke sanalah tujuan ayahnya pergi tempo
hari.
12. Dahulu ayahanda ingin membunuh raja, yang kini malahan
datang ke mari dengan selamat. Bagaimana ayahanda bisa terkalahkan? Apakah yang datang ke mari ini anak Baginda? Maka bertanyalah Ken Retna kepada Anglingdarma, "Apakah
sebabnya Sang Baginda sampai hati meninggalkan negara."
"Aku telah terputus cinta," begitu jawab Sang Raja.
13. "Isteriku tercinta telah mati membakar diri. Ia bernama Ambarawati. Itulah sebabnya saya tinggalkan negara, karena amat
gundahnya perasaan hati, ingin untuk mencari kematian. Aku
tak tahu arah tujuan sampai tiba di puramu ini. Apakah nama
negerimu ini dan di manakan ayahmu yang menjadi raja di
negeri ini?"
14. Ken Retna tersenyum kemudian menjawab pertanyaan Baginda, "Malaya nama negeri ini Baginda. Sedang ayahanda telah
sebulan lamanya meninggalkan pura pergi ke negeri Malawapati." Berkatalah raja Anglingdarma, "Ayahmu telah meninggal di negaraku, dibunuh oleh Patih Kerajaan Batik Madrim.
Oleh karenanya kini aku ingin membalasnya dan menghukum
dirimu.
15. Ingin saya tonjok hatinya, pasti tidak akan luput. Kerisku
yang kunamai Lalijiwa tidak biasa membuat orang yang terkena mati, namun bisanya sangat mujarab, dapat membengkakkan perut besar. Aku sebaliknya ingin mengetahui namamu anak manis, demikian juga nama adik-adikmu yang tinggal
di sini."
75
PNRI
tamunya masih tidur di dalam rumah. Keluarlah ia segera mendapatkan adiknya kemudian diajaknya si adik duduk-duduk
di tengah pendapat, ruang menerima tamu.
22. Melihat wajah kakaknya, Retna Wiyati tersenyum, kemudian
berkata, "Aneh sekali kuperhatikan wajah kakak, hampirhampir adik tidak kenal, karena tampak lesu dan pucat seperti
bunga gugur dari tangkainya. Selain itu adikmu mencium bau
manusia, sangat tajam berada di dalam rumah. Dan agaknya
bau laki-laki."
23. Si Kakak menjawab dengan kata-kata manis, "Bagaimana
mungkin adinda. Bahwa manusia berani datang kemari, ke
tempat tinggal kakanda; kecuali mereka yang ingin menemui
kematiannya." Namun adiknya tetap bersikeras pendapat,
dan pertanyaannya ingin membenarkan adanya manusia. Si
kakak diam berpikir lebih lanjut.
24. Apa pun dalih saya pasti ketahuan, begitu pikirnya. Sebaiknya
ia kuberitahu saja, katanya, "Hai, adinda, janganlah kau bicara
keras-keras. Sebetulnya telah tiba di tempat kakak kemarin
petang seorang laki-laki bagus dan masih muda. Ia menjawab
pertanyaanku, konon bernama Raja Anglingdarma dari negeri
Malawa.
25. Tetapi aku sama sekali tidak percaya, jika ia benar-benar
seorang raja. Mengapa ia hanya datang seorang diri. Ia bercerita bahwa terpaksa meninggalkan negerinya, akibat kematian isterinya. Hatinya merana dan merasa selalu sunyi. Ia baru
datang kemarin sore." Mendengar jawab itu Ken Wiyati tidak
dapat menahan senyumnya.
26. Bolehkah adinda bertanya lebih lanjut," sekiranya adinda tidak salah, kakanda semalam telah tidur bersama dengan dia
bukan?" Maka dicubitnya Ken Wiyati sambil dibisikkan katakata, "Benar, semalam suntuk dia kupeluk. Dia sangat manja,
tak mau meninggalkan tempat tidur. Apa kehendaknya kupenulii agar dia tidak pergi.
77
PNRI
27. Sayang, dia bagus dan kuat. Segala ulahnya membuat diriku
tergila-gila." Kembali Ken Wiyati tersenyum mendengar katakata kakaknya. Lincah dan pandai bermain asmara. Semakin
tertarik Ken Wiyati, katanya sambil tersenyum, "Ah seperti
pengantin baru di malam pertama saja. Bolehkah aku melihat
Raja Malawati itu," kata adiknya. Dan Si kakak tidak ada alasan untuk menolaknya.
28. Keduanya meninggalkan tempat duduk, sementara Ken Wiyati
langsung menuju ke dalam ruangan dan membuka tirai penutup. Dilihatnya wajah tampan bagai dewa pujaan pujangga
sedang nyenyak tidur. Cahayanya cemerlang seperti bulan,
membuat hati Sang Wiyati terpesona. Ia tidak dapat mengendalikan hasratnya ingin tidur bersama Sang Raja.
78
PNRI
14. KINANTI
1. Cepat-cepat ia kembali ke tempat duduk, disambut oleh pertanyaan kakaknya, "Bagaimana adinda? Telah kaulihat sendiri
wajah iparmu?" "Benar kakak kata-katamu. Adinda telah
melihat sendiri "suamimu".
2. la sungguh bagus tidak terkira, seperti Sang Kamajaya yang
menitis ke dalam tubuhnya. Baru sebentar aku melihat keadaannya, aku tak tahu perasaan yang bergejolak di dalarn hati.
Mungkinkah aku telah terkena oleh guna-guna dan sihir?
3. Ibarat menyaksikan buah asam muda, ingin sekali aku bisa
mencicipnya Wahai kakakku sayang, berilah aku kesempatan
membeli, meskipun harganya kaunaikkan sedikit. Adikmu
sanggup melayani permintaannya."
4. Kakaknya cepat menangkap kehendak adiknya, katanya, "Sekiranya memang adik benar-benar menginginkannya, akan kakanda luluskan. Hanya saja aku berpesan, hematlah biar berlangsung lama." Hati adiknya senang bukan main, segera ia
kembali berganti pakaian.
5. Kain yang dikenakan bercorak limar menarik. Juga sampur
pelengkapnya diganti dengan yang baru serasi dengan penutup
dada. Ia beijalan bagai pohon pinang tertiup angin. Anggun
seperti puteri Banuwati.
6. Keduanya masuk ke dalam ruang tempat Sang Baginda sedang
nyenyak tidur, cantik-cantik bagai Dewi Ratih dan Dewi Supraba. Mereka mengambil tempat duduk tidak jauh dari tubuh,
menunggu yang tidur terbangun.
79
PNRI
Selama dua hari aku tidak melihat keduanya." Ditinggalkannya ruang tempat tinggalnya dan setibanya di halaman ia
memanggil keras-keras.
15. "Apakah kakak masih tidur?" Demikian terdengar suaranya
memecah kesunyian. Suara itu didengar oleh Ken Wiyati
dan ia pun segera keluar ruangan mendapatkan adiknya di
halaman rumah.
16. Sementara itu Baginda masih tidur nyenyak. Ken Wiyati
menunduk menjabat tangan adiknya dibawa duduk. Namun
tidak mengucapkan sesuatu kata seperti biasa. Ken Witarsih
heran melihat keadaan kakaknya, seperti orang yang sangat
kelelahan.
17. Katanya di dalam hati, "Mengapa kakak kelihatan sangat
kelelahan mukanya tampak hijau? Mungkin dia bersanggama
dengan laki-laki. Aku ingin tahu siapa gerangan lawannya
memadu kasih. "Maka sambil tersenyum ia bertanya, "Apakah
kakanda sedang sakit?"
18. Perlahan-lahan kakaknya menjawab, "Memang benar dugaanmu adinda. Kakanda sedang menderita suatu penyakit. Berulang-ulang mendapat serangan. Aaapun penyakitnya bermacam-macam. Pusatnya pada ulu hati
19. Semalam suntuk aku tidak dapat memejamkan mata." Tersenyum adiknya, kemudian berkata, "Kakanda hidungku
mencium sesuatu. Bau manusia berasa dari tempat kakanda
tidur." Berkata kakaknya menyela.
20. "Janganlah adik bicara yang bukan-bukan. Mungkinkah di
sini terdapat manusia? Siapa lagi berani datang ke negara ini,
jika ia ingin selamat." Tetapi Ni Ken Witarsih tetap pada
dugaannya. Ia ingin menyaksikan sendiri ke dalam rumah.
21. Maka berkatalah Niken Wiyati, "Aku akan mengatakan yang
sebenarnya kepadamu. Kakanda telah menemukan laki-laki
bagus dan masih muda. Namanya Raja Anglingdarma. Konon
ia berasal dari negeri Malawapati.
81
PNRI
reka bersama-sama berjalan menuju ke tempat tinggal Witarsih, langsung masuk ke peraduan.
30. Sang Kusuma tidak henti-henti dirayu dengan kasih mesra.
Mereka menikmati malam itu dengan saling memadu cinta.
Maka ganti diceritakan keadaan Ken Wiyata, anak yang sulung.
Telah dua hari Anglingdarma tidak kembali pulang ke tempatnya.
31. Adiknya ternyata tidak menepati janji, yang sama-sama disepakati. Ialah "meminiam" Sang Raja selama satu malam.
Ia tidak membenarkan jika Anglingdarma hendak dimiliki
sendiri. Dengan maksud menjemput Sang Raja ia pergi ke tempat adiknya.
32. Didapatinya Si Adik duduk termenung seorang diri. Bertutup
kain sampur berwajah murung. Bertanyalah Ken Wiyata kepadanya, "Hai, mengapa termenung sendiri? Di mana suamimu? Ia berusaha menutupi kemarahannya." Maka Retna Wiyati menjawab apa adanya.
33. "Maaflah adinda, kakak. Kakanda Sang Raja dipinjam oleh
adik Ken Witarsih. Ia ingin pula menghamba kepadanya.
Aku tidak mampu menolak kehendaknya mengabdi kepada
Raja Anglingdarma."
34. Retna Wiyati menjawab pertanyaan kakaknya dengan polos,
tanpa menaruh rasa segan. Si Kakak pun menyetujui putusan
adiknya. "Sukur jika demikian," katanya. "Apa salahnya kita
sama-sama menjadi madu/isteri Baginda Anglingdarma. Marilah kita tengok bersama ke sana."
35. Tak berapa lama kemudian keduanya tiba di tempat Ken
Witarsih. Didapatinya Baginda sedang duduk berdampingan
dengan si Bungsu. Baginda mempersilakan mereka mengambil tempat duduk.
36. Silakan kalian duduk sayang. Keduanya segera menyembah
dan mengambil tempat. Baginda selanjutnya berkata terha83
PNRI
85
PNRI
15 . ASMARANDANA
1. Baginda yang menjelma sebagai burung hitam hinggap kemudian pada sebatang cabang pohon untuk melihat ulah isteriisterinya. Betulkah ia sungguh-sungguh makan daging manusia? Seperti yang diceritakan oleh Nenek Tua.
2. Tampak ketiga isterinya bersama-sama menikmati mayat
seorang manusia. Mereka saling memotong bagian-bagian
tubuh yang disukai, dipanggang kemudian di atas api untuk
dimakan. Menyaksikan kejadian itu Si Burung Nila percaya
akan cerita Sang Nenek Tua.
3. Sangat terharu hati Baginda melihat ulah ketiga isterinya.
Kata di dalam hatinya, "Sayang sekali kalian berparas cantik
namun bertabiat tidak baik." Sang Burung ingin mencoba
isteri-isterinya dan turunlah ia mendekati tempat mereka.
4. Pertama-tama dihampirinya Ken Wiyata puteri yang paling
tua, berlalu Si Burung di sampingnya. Kemudian berdiri di
depan Si Puteri. Sekiranya burung Hitam itu berkata, "Wahai
puteri kekasih kakanda, sebaiknya dinda jangan makan daging manusia."
5. Sang Puteri berkata seorang diri, "Banyak jumlah burung gagak di tempat ini. Tetapi tidak seperti burung ini. Ia sangat
malas terbang, tidak mau pindah tempat, mengganggu orang
sedang makan. Sebaiknya kepalamu diunjamkan ke tanah."
Dan dilemparlah burung itu dengan sekerat daging.
6. Kiranya yang dilemparkan sekerat hati. Segera dicengkeram
oleh Burung jadian itu di kaki kanan. Setelah itu pergilah Si
Burung ke sebelah Utara, ke tempat Ken Wiyati berada. Juga
86
PNRI
13. Benar juga apa yang dikatakan oleh Nenek Tua. Aku sendiri
yang sengaja tidak mempercayai petuahnya." Demikianlah
pikir Maha Raja Anglingdarma di tempat peraduan. Hatinya
sangat menderita, namun ia berbuat seolah-olah sedang tidur
nyenyak.
14. Maka diceritakan kembali puteri-puteri yang berada di Setra Mandala. Mereka telah makan sampai puas dan kenyang.
Berkatalah Ken Wiyata, "Bagaimanakah kehendak adinda sekarang. Sudahkah adinda kenyang dan merasa puas?
15. Sebaiknya kita jangan terlalu lama berada di sini, aku takut
kalau-kalau Baginda telah bangun." Retna Wiyati menyetujui
saran kakaknya untuk segera pulang kembali ke rumah. "
Marilah kita kembali dengan segera," katanya. Dan ketiganya pun pulang bersama-sama, melalui jalan yang ditempuh
sebelumnya.
16. Ketika ketiga puteri raksasa tiba di puri mereka Sang Raja
masih tidur. Maka senanglah ketiga puteri itu. Mereka segera
mandi dan ingin memakai wangi-wangian. Alangkah terkejut
hatinya ketika mereka mengambil kotak hias serta membuka
cupu tempat wangi-wangian.
17. Di sana ditemuinya hati manusia di dalam cupu, bercampur
dengan minyak wangi. Di dalam hati puteri bertanya, "Apakah sebabnya minyak ini bercampur dengan hati mentah. Pada
hematku hati ini pernah juga saya berikan kepada gagak putih di pasetran.
18. Tidak salah lagi bahwa aku .telah memberikan hati mentah
ini ketika di pasetran kepada gagak putih." Maka tahulah
puteri mengapa hati itu sekarang sampai di sana. Ia kemudian pergi ke tempat adiknya, Ken Wiyati. Didapatinya adiknya sedang mengambil kotak hias, ingin memakai wangiwangian.
19. Sang Puteri sangat terperenjat, karena di dalam cupu minyak
terdapat jantung manusia. Jantung yang dilemparkan kepada
88
PNRI
26. Ken Witarsih mengutarakan kemudian bahwa minyak wanginya bercampur dengan limpa manusia. Ketiga puteri itu tahu
sudah bahwa rahasianya telah diketahui orang. Maka berkatalah Ken Wiyata, "Wahai adik-adikku. Kita tahu sudah
sesungguhnya Maharaja Anglingdarma yang telah mengetahui
rahasia kita.
27. Baginda hanya pura-pura tidur, tetapi terus melihat-lihat keadaan kita bertiga. Tahu bahwa kita adalah anak raksasa.
Dan dia pandai mencari jalan mengikuti segala langkah kita."
Kedua adiknya belum juga percaya, bagaimana Baginda
tahu hal itu?
28. Bukankah dia masih tidur ketika ditinggal pergi? Berkata
Retna Wiyata, "Ketahuilah adikku. Burung Gagak putih itulah penjelmaan Sang Raja Anglingdarma. Hati, limpa, serta
jantung manusia semuanya bercampur dengan minyak akibat
perbuatan kita sendiri.
29. Kita semua merasa dibuat malu besar dan menyakitkan hati.
Bagaimana kehendakmu sekarang?" Kedua adik itu menjawab
hampir bersamaan. "Mari kita bunuh saja Anglingdarma itu."
Dijawab oleh kakaknya, "Bukan maksud saya membunuh
Anglingdarma.
30. Dia bukan berhutang pati kepada kita. Dia membuat kita
malu dan cemar, sebab itu harus kita bayar dengan membuatnya malu dan cemar pula. Kita tidak akan membuat dia mati,
hanya sekedar pembayar utangnya. Mari kita usir dia jangan
lama-lama kita dibuatnya malu."
31. Retna Wiyata kemudian memetik sehelai daun tal, ditulis di
atasnya dengan kuku sebuah aji kemayan, panjang daun itu
dua jari tangan (sekilan). Selain itu diambilnya pula daun
tal yang lain sebagai penguat (salang).
32. Dalam helai daun itu dibuatnya gambar manusia yang terbalik,
kemudian digantungkannya daun itu di tengah pintu masuk,
yang menuju ruangan tempat tidur Maharaja Anglingdarma.
90
PNRI
91
PNRI
15. DURMA
7. Dalam hati ia sangat heran dan tak terperi rasa malu yang dideritanya. Katanya di dalam hati, "Aku adalah seorang Raja
yang tersohor sebagai batara. Disembah oleh sesama raja. Aku
tinggalkan kemuliaan dan negaraku. Kini aku malahan berubah menjadi belibis.
8. Kiranya telah menjadi kehendak Hyang Kuasa, bahwa diriku
kini memegang peran dalam perjalanan hidup yang penuh
derita." Di dalam hati Raja Anglingdarma merasa dirinya tak
berarti lagi. Tercetus pengharapan dalam hatinya untuk
membiarkan dirinya menemui ajalnya, apabila dirinya tidak
kembali berupa manusia dalam waktu yang dekat.
9. Demikianlah Belibis Putih cepat-cepat menjejakkan kakinya
pada tanah, terbang menuju ke langit tinggi. Ketiga puteri
raksasa mengacung-acungkan tangannya sambil berteriak,
"Nah rasakan balasan kami Anglingdarma. Ibarat dirimu bagaikan emas yang terapung-apung tak tentu akhir sudahnya."
93
PNRI
17. MASKUMAMBANG
8. Banyak sekali kulihat telur belibis di sini. Jumlahnya ratusan. Sekiranya ada orang yang mengetahui, pasti diambil manfaatnya."
9. Belibis Putih berada di tengah rawa itu selama satu hari satu
malam. Membuat terkejut semua belibis yang menghuni pulau
itu. Baru pertama melihat hadirnya belibis berbulu putih.
10. Mereka saling berkata kepada sesama belibis, "Lihatlah kawankawan. Di sebelah timur. Hadir di tengah-tengah kita seekor
belibis berbulu putih dan parasnya bercahaya gemilang.
11. Tiada yang tahu kapan ia berada di tengah-tengah kita. Begitu saja entah dari mana. Marilah kita angkat dia menjadi
raja kita. Sebagai kepala yang kita junjung segala perintahnya.
12. Segala keperluan makannya, kitalah yang mengadakan tiaptiap hari." Semua belibis setuju. Mereka terbang ke arah timur,
saling dulu mendahului.
13. Tiba di depan Belibis Putih belibis semuanya menghadap dengan rasa takut. Yang tertua menyembah dan berkata, "Hamba sangat senang menerima kedatangan Tuan yang berbulu
bagus.
14. Sekiranya berkenan di hati Tuan hamba ingin menjadikan
Tuan sebagai Raja kami. Apa pun kehendak paduka, hamba
semua yang mengadakan. Semua belibis di sini menjadi bawahan paduka."
15. Sang Belibis Putih menjawab dengan suara nyaring, "Baiklah aku terima kasih-sayangmu kepada ku. Aku sekarang ini
sedang menderita.
16. Oleh karena itu aku tidak dapat menerima permohonanmu
untuk menjadi Rajamu. Akibatnya hanya membuat kalian
susah. Aku hanya mampir sebentar di sini, sebelum meneruskan perjalanan.
95
PNRI
17. Melihat-lihat pemandangan yang menarik hati." Sehabis bicara demikian Belibis Putih segera terbang kembali ke angkasa,
melintasi sawah-sawah yang datar.
18. Yang terletak di pinggiran desa. Di sana tempat para petani
bekerja. Dilihatnya sebidang yang bertanaman hijau. Pohon
padi muda sangat subur daunnya.
19. Luas sawah itu tidak kurang dari satu jung *), berdekatan dengan desa tempat Bapak Tani. Bernama Dukuh Wanasari, yang
terjadi dari tujuh buah rumah kepala keluarga.
20. Wilayah tersebut termasuk daerah Negara Bojanegara. Dikepalai oleh seorang Demang bernama Kalungsur. Ia semua menjadi
pegawai mantri yang berpusat di Bojanegara.
21. Tetapi ia mendapat murka Raja kemudian ditempatkan jauh
di luar kota. Jauh dari keramaian kota, diikuti oleh beberapa
keluarga dekat yang membuat rumah di dekatnya.
22. Mereka adalah keluarga kurang mampu, tetapi menaruh kasih
kepada Demang Kalungsur. Hartanya hanya berupa sepasang
kerbau, digunakan untuk bersawah bergantian.
23. Isteri-isteri mereka berjualan daun jati, demikian juga isteri Demang Kelungsur sendiri. Berjualan daun jati juga dibantu oleh
kemanakannya laki-laki bernama Jaka Gedug.
24. Ketika itu Jaka. Gedug sedang menggembala di sawah. Ia membawa sebuah jaring penangkap burung. Dilihatnya seekor
belibis putih berada di pinggir sawah.
25. Ia bertengger di atas pematang dan sibuk menyisir bulu sayap. Cepat-cepat Jaka Gedug menghampiri burung belibis
tersebut, dihalau ke arah jaring yang telah dipasangnya.
*) 1 jung = 4 bau = + 2,8 ha.
96
PNRI
97
PNRI
18. DANDANGGULA
1. Demang Kelungsur menyambutnya dengan tersenyum, katanya, "Tak banyak manfaatnya jika kita sembelih, tidak seimbang dengan kecantikan bulunya. Sebaiknya kaubuatkan
kurungan saja, untuk kita pelihara, mengingat rupanya yang
bagus." Maka berkatalah Belibis Putih, "Wahai Ki Demang
janganlah aku dikurung. Aku tidak akan pergi melarikan diri."
2. Seperti orang mimpi Ki Demang tercengang-cengang mendengar kata Belibis Putih. Dalam hatinya ia berkata, "Selama ini
aku belum pernah mendengar adanya burung yang dapat berkata-kata seperti manusia." Maka berkatalah ia kepada isterinya, "Wahai isteriku. peliharalah Belibis Putih dengan kasih
sayang. Ia berhendak baik terhadap keluarga kita. Semoga
membawa untung."
3. Sang Belibis berkata lagi, "Sesungguhnya aku sengaja masuk
ke dalam jaring, oleh karena ingin menumpang hidup pada
paman. Lagi pula aku kasihan melihat nasib Joko Gedug serta
nasib paman berdua. Tiap-tiap hari memasang jaring burung
di sawah. Bagaimana mungkin dapat mencukupi kebutuhan
makan paman sekeluarga. Bahkan hanya menambah penderitaan saja."
4. Tak habis-habis isteri Ki Demang menyaksikan kecantikan Belibis Putih. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Pasti ini
bukanlah sembarang burung, begitu kata-kata dalam hatinya.
Kukira seorang pertapa yang salah dan menjelma menjadi
burung. Ia sangat gembira mendengarkan Belibis Putih itu bicara. Kata Belibis lebih lanjut,
98
PNRI
15. Selama ia tidak bekerja di negara, kehidupannya tidak menentu. Kini apa yang dikehendaki terbeli. Ia dapat makan
ketupat kegemarannya, beserta cabuk dan krupuk. Mereka
tidur dengan rasa puas. Sang Belibis tidak bisa tidur. Ia minta
petunjuk kepada dewa, lama-lama ia merasa mengantuk.
16. Keluar ia ke halaman rumah, lalu terbang dan hinggap di
bubungan. Ia siap ingin tidur, terlena oleh embusan angin
malam. Didengarnya suara dalam keadaan tidur, "Wahai Raja
Anglingdarma. Ketahuilah olehmu, bahwa isterimu tercinta
Dewi Setia, kini telah menitis di Bojanegara, bernama Ni
Ken Srenggana.
17. Sebabnya engkau berubah rupa menjadi burung belibis. Oleh
karena engkau telah melanggar hukum dewa sebanyak empat
kali. Pertama kau telah memanah Sang Nagagini ketika sedang
memadu kasih, keduanya kau bunuh si burung kutilang, yang
ketiga kautolak permintaan Ken Uma. Dan yang keempat
kautelah menyakitkan hati ketiga puteri raksasa.
18. Engkau memang telah ditakdirkan kelak untuk kawin dengan
puteri dari Bojanegara. Tetapi kau harus tetap waspada. Janganlah kaulupakan pesan ini, bahwa jangan sekali-kali berhutang pati kepada sesama hidup, baik manusia ataupun binatang, Janganlah kau merasa kurang menerima kasih-sayang
Hyang Pramesthi. Sesungguhnya kau sedang menjalani tugas
memerankan suatu peristiwa."
19. Terbangun Sang Belibis dan telah memahami isi suara yang
didengarnya dalam tidur. Ia sangat bersyukur seraya berkata,
"Maaflah Dewa Agung akan segala kekhilafan hamba. Semoga
hamba selalu diingatkan sebelumnya." Demikianlah hari telah menjelang pagi. Kedua laki-isteri Demang telah bangun.
Sang Belibis berada di halaman rumah.
20. Demang Kalungsur menegurnya, "Apakah gerangan kerjamu
di halaman rumah?"Dijawab oleh Belibis, "Semalam suntuk
aku berada di halaman rumah menjaga pencuri." Tersenyum
Ki Demang lalu berkata, "Ah kalau-kalau ular menggigitmu.
101
PNRI
26. Maka menyambunglah Joko Gedug dalam pembicaraan, "Paman, bagaimana mungkin kakakku berkata bohong. Marilah
kita gali segera. Berapa sukarnya pekeijaan itu, saya sendiri
yang akan menggali." Ki Demang tertawa mendengar ucapan
Joko Gedug, katanya, "Bila nanti kugali dan kosong, sebaiknya kaupukul saja kemaluan si belibis dengan linggis."
27. Menjawab Joko Gedug, "Baiklah paman saksikan nanti setelah
kita buktikan terlebih dulu. Tidak pernah aku bohong disebabkan menuruti bunyi burung." Ki Demang kemudian
mengambil pacul beserta linggis seraya berkata, "Nah di mana
tempat emas itu, tunjukkan kepadaku." Maka Sang Belibis
pun menunjukkan tempat di bawah tiang timur. Ki Joko
dengan keras mengayunkan paculnya ke tanah dan berhamburanlah emas keluar dari guci yang pecah.
28. Ki Demang tertegun tak berkata sepatah, melihat banyaknya
emas terserak di depan matanya. Paculnya diletakkan, tangan
direntangkan karena kegirangan. Sedang Joko Gedug menjatuhkan diri, kepalanya beijungkir balik di tanah, bergulingguling tak terperi girang hatinya. Sementara itu Nyi Demang
keluar dari dalam rumah datang ke tempat tanpa bisa berkatakata, menyaksikan emas yang banyak.
29. Dua guci penuh dengan emas kencana. Rasa hati Nyi Demang
seperti mimpi. Tak keruan rasa di dalam hati. Emas itu segera
dijamahnya, kemudian diangkut ke dalam rumah. Katanya,
"Kini kau percaya tidak terhadap bicara Belibis. Memang
benar kata Joko, bahwa segala kata-kata Belibis Putih tidak
ada yang tidak benar."
30. Dalam pada Ki Demang segera menghampiri si Belibis Putih.
Dipeluk dan ditempatkan di atas kepalanya. Di bawanya mondar-mandir. Kata Belibis, "Baik turunkan aku ke tanah. Tidak
patut ditenggerkan di atas kepala." Ki Demang menjawab,
"Sepatutnya aku tempatkan di atas kepala, sebagai nadarku.
Karena kau dapat mampu melihat jauh seperti pekerti pendeta sakti. Pandanglah aku ini sebagai bapakmu."
103
PNRI
36. Berkata Ki Byantara agak mer.yindir; di dalam hati ia menghina kemampuan beLi Ki Demang, katanya seraya tersenyum,
"Harga rumahku seribu reyal, termasuk rumah di muka dan di
belakang. Namun yang satu jika kau yang akan membeli
aku berikan harga dua ratus reyal. Kau tidak melihat diri,
seperti pekerti orang mabuk. Kainmu saja sudah robek-robek, bagaimana mungkin mendapat uang sebanyak dua ratus
reyal.
37. Pekexjaan isterimu beijualan daun jati. Penghidupanmu dari
menjaring burung." Tanpa menghiraukan kata-kata Ki Demang segera menyerahkan uang sebanyak dua ratus reyal.
Maka Ki Byantara duduk mundur dan berkata, "Aku tidak
menjual rumahku, tidak kuperbolehkan kau beli." Maka membentaklah Ki Demang, "Sampai hati kau jika kuadukan hal ini
kepada Ki Patih?
38. Karena kau sendiri telah mengatakan akan menjual kepadaku.
Aku laporkan segalanya kepada Kyai Jaksa. Pasti kamu yang
disalahkan, akhirnya mendapat hukuman yang setimpal." Takut juga Ki Byantara, katanya, "Baiklah kau pindahkan rumahku, asal tidak kau melapor pemerintah." Cepat-cepat Ki
Demang kembali pulang, minta bantuan tenaga kepada orang
kalang.
39. Orang-orang kalang di desa itu berdatangan ikut membantu
memindahkan rumah dengan menerima upah. Dibawah pimpinan ketuanya. Selesailah tugas memindahkan rumah dalam
waktu sehari. Kemudian didirikan kembali rumah Ki Demang
yang baru dibeli oleh para undagi.Tinggidanbagus. Ki Demang
kaya raya sudah, banyak memberi makan kepada orang-orang
miskin, dananya banyak.
40. Demikian pula Nyi Demang tak bosan-bosan memberikan
sumbangan kepada orang yang sedang keputusan rejeki. Banyak yang kemudian bangkit menjadi orang kaya. Dagang
niaganya berkembang menghimpun banyak pedagang. Masingmasing diberi pekeijaan sesuai dengan keinginannya hingga
105
PNRI
108
PNRI
19. ASMARANDANA.
1. Kita tinggalkan cerita Demang Kelungsur yang hidup bahagia
dan membangun kemakmuran desanya. Kita ceritakan peristiwa yang lain di negeri Bojanegara. Tanahnya subur, tenteram
dan banyak penduduknya. Para peijurit dan rakyat kecil hidupnya senang.
2. Tanahnya subur berkat aliran air sungai, kotanya meluas
dari pantai hingga pegunungan, menghadapi sungai besar. Tenteram kehidupan para penggawa kecil, karena sandang dan
pangan melimpah dan murah. Tidak ada orang mencuri. Adapun nama Sang Baginda ialah Maharaja Darmawasesa.
3. Diceritakan, bahwa Sri Baginda tidak berputera laki-laki.
Hanya berputera seorang wanita yang cantik rupanya tiada
tandingannya. Parasnya seperti Dewi Ratih yang turun ke dunia. Ia bernama Retna Srenggana.
4. Kemana pun kita mencari wanita seperti dia, tidak akan bersua. Tingginya cukup lurus menarik, dikenal oleh hampir
seluruh jagat. Karena kecantikan Puteri Bojanegara benarbenar tiada yang menyamainya.
5. Banyak sudah para menteri pejabat tinggi di dalam Jawa
maupun di luar Jawa (Seberang) yang melamarnya untuk menjadi suami Sang Retna, tetapi ditolak beralasan masih ingin
sendirian saja. Ia dimanja sepenuhnya oleh paduka ayahanda
dan ibunda.
6. Puteri itu memiliki ketrairtpilan yang luar biasa, mahir pula
dalam ilmu sastra. Suaranya demikian merdu apabila ia membaca buku. Kawan sejenisnya pun tergila-gila padanya. Diceritakan ketika matahari tenggelam di langit barat.
109
PNRI
14. "Itulah hasilnya orang yang tidur semalam suntuk. Tidak mendapat bagian cahaya. Aku bangun sendirian, duduk sambil
memejamkan mata sekejap. Tiba-tiba segumpal cahaya masuk
ke dalam diriku." Sementara itu hari telah pagi, maka bersiaplah Sang Kesuma menghadap ayahanda.
15. Tiba di penghadapan ayahanda Sang Raja, ia lihat ayahanda
melambaikan tangan untuk mendekat. Sampai di depan ayahanda iapun berjongkok mencium kaki. Sementara Sang Ayah
memeluk leher puterinya, kemudian mencium ubun-ubunnya.
16. Berkatalah Sang Baginda kepada puteri jantung hatinya, "Mengapa ananda sayang, selama tiga hari kau tidak menghadap
ayahanda. Ayahanda sangat kawatir, jangan-jangan ananda
terserang penyakit. Ayahanda telah bermaksud untuk mengirimkan suiuhan ke sana.
17. Dan sungguh heran ayahanda hampir-hampir tidak kenal wajah
ananda sendiri. Sangat hijau tampaknya seperti bunga yang layu, bercahaya lembut menambah kecantikan ananda. Aku
tidak dapat memastikan mungkinkah karena ananda pandai
bersolek diri."
18. Sang Puteri menyembah sambil berkata
kan segala sesuatu yang dialami, ketika
seolah-olah menerima gumpalan cahaya
dari awal hingga akhir. Sang Baginda tak
kan rasa heran, katanya,
19. Wahai Sebetan kau undangkan segera kepada seisi istana, bahwa ananda puteri sekarang bernama Dewi Ambarawati. Sampaikan berita ini kepada Sang Patih, agar diumumkan pula kepada semua penduduk di negara ini."
20. Yang mendapat perintah segera keluar setelah menyembah
kepada Baginda. Diundangkan berita itu oleh menteri yang
berwenang, serta disampaikan pula kepada Sang Patih. Begitulah Sang Retnayu Srenggana sejak itu berganti namanya.
111
PNRI
21. Namanya kini menjadi Dewi Ambara. Berita itu segera tersebar
ke seluruh negara, termasuk para pegawai tinggi di Bojanegara
sendiri. Diceritakan, ketika itu bertempat seorang pendatang
dari seberang bernama Bremana dan Bremani, yang tinggal
di Giringwana.
22. Ia diberi kedudukan sebagai petinggi di sana, bertempat di
pekarangan yang banyak ditumbuhi pohon besar. Tidak
banyak orang yang tinggal sedesa dengan dia. Isterinya sedang
mengidam. Ia minta kepada suaminya untuk dicarikan madu
lebah.
23. Aku ingin sekali makan lebah yang muda serta madunya, kata
isteri Bramana. Hendak kubuat pecal lebah. Seraya mencium
kening isterinya Bramana minta kepada isterinya untuk menjaga rumah. Ia sendiri akan pergi mencari madu.
24. Maka pergilah Bramana ke hutan membawa bumbung serta
kudhi, yang digantungkan di bahu. Diceritakan bahwa belum
lama Bramana pergi ke hutan datanglah ke rumah Bramana
seorang penjelmaan jin (gandarwa). Ia baru turun dari pohon.
25. Kepergian Bramana telah diketahuinya, sebab itu ia hendak
meniduri isteri Bramana dengan merupakan dirinya seperti
rupa suami Bremani. Lengkap dengan pakaiannya sekali. Iapun
membawa bumbung dan mendekati rumah kediaman Bremani.
26. Tiba di rumah ia pun duduk di balai-balai seperti biasanya.
Bremani sama sekali tidak tahu bahwa manusia itu bukan lakinya, tetapi gandarwa yang menjelma. Apalagi dibawanya
lebah beserta madu. Rupanya tidak berbeda dengan Bramana.
27. Bramani bertanya agak tercengang, "Alangkah cepatnya kau
tiba kembali dengan membawa madu dan lebah." Yang menjelma menjawab, "Sudah untungmu adinda. Sebab di hutan
sebelah pinggir itu terdapat sebungkah sarang lebah.
28. Maka kuambil dengan lebahnya sekali. Sangat banyak madu
di dalamnya. Aku cepat-cepat pulang karena merasa rindu
112
PNRI
114
PNRI
20. DURMA
14. Bukankah Raja itu pengganti dari Dewa. Beliaulah yang mampu bertindak secara adil. Kalian berdua bertengkar karena
memperebutkan diriku. Sekiranya kalian berdua sama-sama
meninggal dalam perkelahian, maka orang lain yang mengambil
keuntungan.
15. Jika kalian berdua benar-benar sayang kepada diriku. Rebutlah
saya jangan dengan kekerasan. Turutilah kata-kata saya, marilah kita bersama-sama ke kota." Bramana asli berkata, "Apa
yang saya takutkan, karena sayalah yang mempunyai isteri."
16. Demikian juga Bramana setan berkata keras, "Aku pun tidak
takut membawa kau ke perdata, karena dia sungguh benar
isteriku. Keduanya dan Bramani segera pergi menuju ke kota.
Tak henti-henti mereka selalu bertengkar sepanjang perjalanan.
17. Untuk menenangkan keduanya Bremani berjalan di tengah.
Bramana asli memegang tangan kanannya, yang palsu memegang tangan kiri. Sampai bosan Bramani melerai keduanya.
Bramana asli berkata manis,
18. "Janganlah adinda kawatir tentang diriku. Akulah lakimu yang
benar. Bersakit-sakit kita pada waktu di tanah seberang, sampai kita bertempat tinggal kemudian di Tanah Jawa. Akhirnya
kau diaku isteri oleh seseorang yang memalsukan dirinya."
19. Bramana setan menyela pembicaraan itu, "Jangan kaudengarkan kata-kata itu adinda, bisa-bisa kau tertipu karenanya. Akulah suamimu yang sungguh." Bramani sudah bosan melerai
mereka. Ia diam menjadi tontonan orang selama perjalanan.
117
PNRI
21. DANDANGGULA
1. Setiba mereka di dalam kota langsung menghadap ke kepatihan. Mereka menunggu di depan pintu pagar, Sang Patih tengah
bercakap-cakap dengan isterinya. Sekonyong-konyong seorang
pelayan datang menghadap, memberitahukan bahwa di luar
pagar terdapat tamu yang saling bertengkar. Mereka adalah
Petinggi Bramana yang datang dari luar kota.
2. Katanya, mereka minta pengadilan Sang Patih. Sang Patih
mengisyaratkan agar tamu-tamunya diminta untuk menghadap
dan diperintahkan agar masuk. Kedua Bramana duduk menundukkan kepala di hadapan Sang Patih. Terbengong-bengong
Sang Patih melihat keduanya. Karena rupa dan pakaian mereka
kembar tidak berbeda.
5. Mereka sepakat untuk membawa peristiwa tersebut ke hadapan Sang Baginda. Mengingat Sang Baginda terkenal berpandangan jauh. Di hari Senin mendatang semua diharapkan
menghadap di bawah pohon beringin kembar. Patih Purwanegara menyetujui usul tersebut. Maka pertemuan hari itu
dibubarkan, menunggu tibanya hari Senin.
6. Pada hari yang ditentukan Sang Baginda menerima para penggawa menghadap. Para nayaka dan bupati serta para satriya
duduk memenuhi balai penghadapan. Tidak terkecuali para
tumenggung, .demang, arya serta para ngabehi. Paling depan
duduk Ki Patih Purwanegara dan Tumenggung Natapraja.
Didampingi oleh Ki Arya Kumitir serta Demang Kulan dara
di belakangnya.
7. Di samping agak sebelah kiri, berturut-turut duduk Demang
Padasarana, Arya Wahana, Demang Sabawinarna, serta Rangga
Janur. Disambung selanjutnya oleh Arya Jurudemung. Tak lama kemudian Sang Baginda tampak memasuki ruangan pangrawit dari arah manguntur. Siap sudah Baginda menerima pelaporan.
8. Maka bersiagalah semua peijurit yang mengawal, semuanya
mengambil tempat masing-masing. Sementara Sang Baginda
langsung menuju ke kursi berwarna kuning terbuat dari emas
dan dihiasi dengan bermacam permata indah. Di atas hamparan
permadani, dikelilingi oleh dayang-dayang lengkap dengan peralatan upacara. Di hadapan Baginda duduklah para neyaka.
9. Semuanya yang menghadap duduk dengan menunduk. Demikian rendah mereka menunduk seolah-olah berdekatan kepalanya dengan tanah. Maka berdatang sembahlah Sang Patih,
"Maafkanlah hamba Baginda karena hamba menghadapkan
seorang penggawa Paduka bernama Bramana yang berasal
dari seberang. Dewasa ini ia bertempat tinggal di Randulawang dan berkedudukan sebagai petinggi.
119
PNRI
13. Itulah mengapa hamba sangat mohon marah untuk memilihnya. Terserah kepada keputusan Baginda, mana kiranya yang
paling tepat." "Sebaiknya kuadu keduanya," kata Baginda.
"Berperang satu lawan satu, siapa yang menang itulah yang
memiliki dirimu." Maka menyembahlah Bramani,
isteri. Semua nayaka dan jaksa tak seorang pun yang mampu
memberi keputusan nasib Bramana itu. Menghadaplah paman
segera kepada Baginda, masuklah ke kota.
26. Jika pamanda dapat menyelesaikan masalah ini dan membedakan Bramana yang kembar, pasti Sang Raja akan sangat gembira." Ki Demang menjawab, "Apakah yang kuandalkan."
"Aku akan memberitahukan sesuatu kepada paman," kata
Belibis. Seraya dibisikkan kata-kata yang membesarkan hati Ki
Demang, segala yang didengarnya dari burung gagak di tengah
hutan.
27. Setelah Ki Demang berganti pakaian, ia minta diri pergi menuju ke kota Bojanegara. Tiba di sana terus saja berjemur diri
di bawah pohon beringin kurung, menunggu panggilan Sang
Baginda. Ketika itu Baginda sedang menerima laporan para
penggawa. Bersemayam di pasewakan di hadap lengkap oleh
semua nayaka. Bramani juga telah duduk paling depan, diapit
oleh dua laki-laki di kiri dan kanan yang tak henti-henti
bertengkar.
28. Menyembah Bramani seraya berkata, "Dewaji hamba mohon
paduka dengan sangat menitahkan adanya keadilan yang tepat. Jika tidak hambamu akan cepat-cepat mati, akibat bersuami dua orang. Malam-malam minta tidur kedua-duanya.
Bagaimana harus hamba turuti mereka. Masing-masing minta
kepada saya untuk meninggalkan salah satu."
12?
PNRI
22. PANGKUR.
19. "Janganlah Bibi Demang was-was dalam hati, karena Ki Demang kini telah diangkat menjadi priyayi. Kukira paman diangkap menjadi Patih. Sekiranya paman tetap memegang
jabatannya, kuingatkan Nyi Demang jangan melupakan nasib
si miskin, sayangi mereka.
20. Dan bila sungguh-sungguh paman telah menjadi Patih di
Bojanegoro, saya dan Joko Gedug tetap tinggal di Wanasari,
menjaga dukuh. Berdua-duaan dengan Joko Gedug." Tibatiba mereka dikejutkan oleh tibanya utusan yang mengiringkan tandu untuk isteri Ki Patih.
21. Suara para pengawal hiruk-pikuk, mereka menunggu di luar
pintu. Pimpinan rombongan masuk ke dalam pekawangan,
maka terbanglah Belibis Putih menghindari orang banyak.
Nyi Demang menyongsong kedatangan pimpinan dan diberitahukan bahwa kini Ki Demang telah diangkat menjadi Patih
oleh Sri Baginda.
r
22. Nyi Demang mempersiapkan sesuatu kemudian naik joli (tandu) diiringkan oleh beberapa orang pengawal. Lengkap dengan
bunyi-bunyian (gamelan) seperti orang mengiringkan pengantin. Ni Demang mencucurkan air mata bahagia teringat kepada
jasa Si Belibis.
23. Peijalanan lancar tibalah Nyi Patih di Bojanegoro dan bertemu
dengan suaminya. Ki Patih pertama-tama menanyakan keadaan
anak-emasnya Belibis Putih. Dijawabnya, bahwa Belibis Putih
tetap tinggal di dukuh bersama-sama Joko Gedug. Ki Patih
hanya menunduk sedih tidak meneruskan bicara.
128
PNRI
23. KINANTI.
9. Dijatuhkan bunga cempaka itu di depan Sang Puteri. Dan dipungutlah bunga itu segera. '"Biang, aku memperoleh bunga
jatuh di depanku," kata Sang Puteri.
10. "Kubuat sebagai sunting di rambutku." Melihat itu Sang Belibis memetik lagi bunga cempaka sepasang, kemudian dijatuhkan di pangkuan Puteri. Berkatalah Sang Puteri,
11. "Tiada angin dan tiada hujan, mengapa bunga berjatuhan
satu persatu? Mengapa teijadi demikian?" Sambil menengadah
ke atas maka tampaklah giginya putih bersih. Ia tidak melihat
burung yang menjatuhkan bunga.
12. Sebab terhalang oleh daun-daunan. Maka berpikirlah Sang
Belibis, "Benar-benar cantik puteri ini. Alangkah bahagianya
orang yang berhasil menyunting puteri Bojanegoro,
13. Senyumnya manis bukan kepalang, kerling matanya seperti
kilat menyambar. Apakah dia belum melihat saya ketika menengadah. Akan kubuat dia marah puteri Raja ini."
14. Maka dipilihnya bunga yang banyak dikerumuni oleh semut
merah. Dicocoknya dan dijatuhkan di atas dada Sang Puteri,
persis mengenai buah dadanya.
15. Beijingkat Sang Puteri karena terkejut, tidak tahu asal jatuhnya bunga itu. Merayaplah semut merah di dadanya, cepat
dibuangnya kain penutup, ia berlari ke sana ke mari tak
menghiraukan gelungnya yang terlepas.
16. Tak henti-henti buah dadanya digaruk. "Biang tolonglah
saya, habis hancur payudaraku. Bengkak-bengkak duapuluh
buah digigit oleh semut merah, kiranya setan si burung belibis.
17. Telah menjatuhkan semut merah kepadaku. Di mana asal
si belibis" semoga disambar geledeg dia, dipukul dengan lembing. Dihajar dengan empat buah kayu pemukul dan diunjamkan kepalanya.
130
PNRI
27. Jika sampai terlepas dia, kalian kupenggal leher masingmasing." Semuanya beramai-ramai terjun ke kolam, ingin menangkap belibis, yang tidak dapat berenang terminum air.
28. Belibis kelihatannya jinak, tetapi menghindar cepat jika didekati. Dalam hatinya ia merasa senang menyaksikan para
dayang-dayang yang tak berdaya terminum air kolam.
29. Ada dayang yang berseloroh, "Mungkin belibis setan yang
membuat kita semua kelelahan. Ulahnya memanaskan rasa
hati." Yang lain pun menyaut, "Jika tertangkap nanti olehku.
30. Kuputar lehernya biar mampu dia. Kubenamkan tubuhnya dalam lumpur. Jika ditanya oleh Puteri, kukatakan dia hilang
di dalam taman." Mendengar kata-kata itu Belibis keluar
suaranya,
31. "Tidak enak kudengarkan suara-suara kalian terhadap diriku.
Apakah dosaku. Aku tidak berhutang tidak juga meminjam,
mengapa kau kejar-kejar diriku?" Semuanya terbengongbengong.
32. Seseorang terlompat kata-katanya, "Baru kali ini aku tahu.
Seekor belibis bisa bicara. Lagi pula anehnya ia berbulu putih.
Kiranya dia seorang pertapa yang khilaf, menjelma menjadi
belibis."
33. Sementara itu Belibis mengira bahwa ajinya asmara tidak mengenai sasaran, tandanya Sang Puteri sendiri tidak ikut serta
terjun ke kolam, bukti cintanya tidak terbalas.
34. Lebih baik aku kembali pulang, demikian pikir Sang Belibis.
Maka terbanglah ia ke angkasa, pulang ke dukuh Wanasari.
Tertegun para dayang menyaksikan, ucapan mereka bercampur
tangis.
35. Entah bagaimana marah Sang Puteri, ternyata lepas terbang
belibis putih. Dia punya sayap, saut yang lain, bagaimana
132
PNRI
133
PNRI
24. MIJIL
1. Atau puteri menginginkan perhiasan yang bagus-bagus, isi kotak hias yang jarang ditemui serta pakaian yang serba indah.
Diamlah dan jangan menangis, sayang, sabda Baginda menghibur.
2. Mendengar kata-kata Baginda tangis Puteri semakin keras,
membuat Baginda kesal. Bertanya beliau kepada Jelamprang
agak marah, "Apa permintaan puteri, hingga ia menangis
tersedu-sedu?"
3. "Ampunilah hamba Baginda," sembah Jelamprang. "Sang
puteri tidak memohon perhiasan atau pakaian. Asal mula
puteri menangis karena minta belibis berwarna putih.
4. Burung itu ditemukan di dalam Tamansari. Membekas dalam
hati Tuan Puteri karena pandai berkata-kata. Kira hamba
bukan burung yang sungguh. Jinak-jinak menarik, tetapi
enggan ditangkap."
5. Meledak tertawa Baginda, dihiburnya Sang Puteri, "Hapuslah
air matamu puteri sayang. Aku tak bisa menduga bahwa
puteri yang telah berusia dewasa menangisi seekor burung.
6. Baiklah, kuperintahkan nanti untuk mencari burung itu.
Berhentilah menangis." Maka Baginda memerintahkan Sebetan
agar memanggil Sang Patih Jaksanegara. Yang diperintah pun
berlalu.
7. Tak lama Ki Patih tiba bersama-sama menghadap diiring oleh
Sebetan. Terus saja ia masuk ke dalam istana. Sesampai di
hadapan Baginda ia berdatang sembah.
134
PNRI
8. Ki Patih mengadap dengan rasa takut. Ia tunduk dan menantikan perintah Baginda sambil duduk tegap. Seolah-olah mukanya menyentuh tanah. Sabda Baginda kemudian,
9. "Ki Patih kuminta datang menghadap ke mari untuk suatu
tugas ke luar kota. Carilah seekor burung belibis yang bisa
berbicara seperti manusia. Jangan sampai kau pulang tanpa
hasil.
10. Pulanglah jika telah berhasil, bagaimana pun usahamu agar
burung itu tertangkap hidup. Semula burung itu berada di
Tamansari dan dilihat oleh Puteriku. Tetapi kemudian terbang
menghindar.
11. Itu sebabnya puteriku sedih hatinya, semakin menjadi-jadi
tangisnya dan mendesak kepadaku untuk mencarikannya."
Ki Patih menyembah siap untuk melaksanakan perintah Sang
Raja.
12. Setelah Ki Patih ke luar dari istana, beliau mulai merencanakan upaya. Berpikir beliau, bahwa "anaknya" sendiri, si belibis
Putih pasti telah bermain-main di dalam Tamansari.
13. Segera saja menuju ke kepatihan kemudian duduk bercakapcakap dengan isterinya. Apa kiranya berita yang dibawa oleh
Ki Patih dari istana? Tanya sang isteri kepadanya. Mengapa
langsung menghadap ke istana.
14. Apakah yang terjadi di dalam pura. Ki Patih bercerita, bahwa
Baginda telah memerintahkan kepadanya untuk mencari dan
menangkap burung belibis putih yang bisa bicara. Puterinya
yang mendesak.
15. Puteri mendesak Baginda sambil menangis. Nyi Patih menyela, "Di mana Sang Puteri tahu burung belibis bisa bicara.
Di mana ia ketemu dia?" Ki Patih meneruskan bicaranya,
16. "Ketika itu Sang Puteri mandi di Tamansari, menjelang hari
135
PNRI
25.Kemarin diriku dikejar-kejar oleh para dayang-dayang. Dikerahkan banyak pelayan hingga aku masuk ke air kolam.
Hampir saja aku tertangkap. Terbanglah aku terus kembali
pulang."
26. Joko Gedug menyesal sekali atas teijadinya peristiwa itu.
Ia kawatir kalau-kalau tertangkap. Tetapi bagaimana nanti
jika mereka menggunakan getah pelekat untuk menangkapnya?
27. Ia akan tinggal seorang diri di rumah, begitu katanya. Sekonyong-konyong tibalah Ki Patih di sana. Ia terus saja lari
mendapatkan Belibis Putih. Dipeluknya dengan mesra. Katanya,
28 "Aduh ananda Ki Belibis, jantung hati ayahanda." Belum habis Ki Patih bicara, Belibis menyela, "Apakah gerangan
maksud Ki Patih keluar dari istana? Apakah Sri Baginda murka
kepada ayahanda?
29. "Sebenarnya bukan karena dimurkai aku pergi ke mari," jawab
Ki Patih. "Baginda telah memerintahkan kepadaku untuk
mencari seekor burung belibis yang berbulu putih.
30. Lagi pula belibis itu mampu bicara seperti manusia. Itu adalah
kehendak puterinya. Ia sangat jatuh cinta kepada Si Burung
yang dilihatnya ketika tempo hari puteri berada di tamansari.
31. Burung itu ditangkapnya tetapi tidak berhasil. Sebab itu aku
diperintah Baginda untuk mencarinya sampai ketemu dan tidak diperkenankan kembali tanpa membawanya pulang.
Bagaimana kehendakmu?
32. Hanya kepada kau kuminta kebijaksanaan. Aku tidak tahu
apa-apa. Dan menjadi Patih pun karena jasamu, saya hanya
sekedar melakukannya. Kini mendapat tugas yang sulit.
137
PNRI
138
PNRI
25. DANDANGGULA
1. Akulah yang membuat dosa," lanjutan kata Belibis. Maka sampaikan ke penghadapan raja. Aku bersedia menerima hukuman
mati dari Baginda." Ki Gedug segera berteriak, "Ah bagimana
aku nanti, hidup sendiri tanpa kakak. Marilah kita pergi saja
dari Bojanegoro." Ki Patih menangis sejadi-jadinya.
2. Tak perlu diceritakan bagaimana ketiga-tiganya menanggung
duka, akibat perpisahan itu. Ki Patih telah tiba kembali di kota, dengan membawa Si Behbis Putih. Di rumah ia disongsong
oleh isterinya. Ia segera memeluk erat-erat behbis tercinta sambil mencucurkan airmata." Kau satu-satunya tambatan hatiku,
tak ubahnya seperti anak yang kulahirkan.
3. Jika kau jadi dipisahkan dengan aku, bagaimana ulahku nanti?"
"Janganlah Nyai menangis," Behbis menghibur," telah menjadi
kehendak dewata, aku harus memerankan hidup yang penuh
dengan derita." Nyi Patih berhenti menangis. Behbis Putih itu
kemudian dipangkunya dengan sayang serta diciumnya berulang-ulang.
4. Setelah itu Ki Patih pergi menghadap Sri Baginda, disertai
oleh Nyi Patih. Keduanya berhenti sebentar di pintu Sripanganti, menyampaikan maksudnya kepada ajudan raja. Baru
setelah diizinkan oleh raja keduanya masuk ke dalam istana.
Ki Patih duduk sambil menundukkan kepala menunggu perintah. "Agaknya kau berhasil tugasmu Patih," Sabda Raja,"
engkau cepat kembali ke istana."
5. Menyembahlah Ki Patih, "Sebelumnya hamba mohon maaf,
karena kekhilafan hamba. Permintaan paduka berupa burung
behbis putih, sesungguhnya telah hamba piara agak lama.
Burung itu kini hamba persembahkan kepada Baginda, sekira139
PNRI
143
PNRI
26. KINANTI
1. Pendek kata Sang Belibis kemudian dibawa pulang ke keputerian. Ia diemban oleh Sang Puteri dengan sayang, diikuti oleh
segenap dayang-dayang. Semuanya tampak bergembira menyaksikan Sang Puteri telah memperoleh yang diharapkan.
2. Tak lama iring-iringan itu tiba di keputrian. Para pengiring meninggalkan puteri dengan belibis kesayangannya. Puteri tampak sangat sayang terhadap belibis dan selalu berada di dekatnya.
3. Tangan puteri tak henti membelai-belai bulunya. Bahkan diberinya wangi-wangian, bulunya tampak agak kekuning-kuningan akibat banyaknya minyak jebat dan kesturi. Baunya sangat
harum sekali.
4. Belibis dipangkunya dengan kasih mesra. Didekatnya tersedia
makanan berupa buah-buahan aneka macam yang serba manis.
Demikianlah keadaan di keputrian beberapa lamanya.
5. Suatu ketika Sang Puteri berada di dalam rumah. Hari telah
petang, para dayang-dayang menghadap Sang Puteri. Semuanya tampak senang melihat Sang Puteri yang tak terpisahkan
dengan Belibis Putih.
6. Segala gerak dan ulah Belibis itu sangat berkesan di hati para
dayang-dayang. Mungkin dia seorang pertapa sakti yang menitis menjadi binatang, pikir mereka. Tiba-tiba Belibis berkata
kepada mereka,
7. "Marilah para Nyai. Daripada kita menganggur, sebaiknya kita
saling menebak teka-teki." Maka menjawablah Nyi Jalam144
PNRI
16. Belibis berganti memberikan tebakan, "Mari kau beri jawabannya tebakanku ini. Ada tangis yang mengharapkan sa'kit, ketika malam tiba. Jika sakitnya telah datang maka berhentilah
tangisnya.
17. Ada lagi sebuah tebakanku. Terdapat makanan yang berasal
dari dubur, tampak sebagai sarana memperoleh makan. Apakah jawabannya?" Menunduklah Nyi Jelamprang. Sementara
itu Si Belibis Putih.
18. Beijalan-jalan di depan Sang Puteri. Gembira ia mengembangkan bulu sayap, sambil menyindir, "Aduh habis sudah bulubuluku tercabut tak satu pun tinggal di badan.
19. Biarpun aku berupa seekor burung. Aku tak pernah mencari
makan di rawa, sebab aku bukan burung liar. Sekiranya
aku alah beradu pandang dengan wanita. Apa faedahnya berada di dalam istana.
20. Puteri membenarkan ucapan Si Belibis, sambil minta kepada
para dayang-dayangnya untuk memberikan jawaban teka-teki
Sang Burung. Maka menyembahlah Nyi Dayang, "Baiklah
Tuan Puteri.
21. Yang menangis tak henti-henti, kata Nyi Jelamprang. Itulah
Gareng, jenis sadpada di pohon. Sedang makanan berasal dari
dubur, itulah musang. Nah kalah sekarang kau belibis."
22. Sang Belibis berteriak kecil, "Aduh putus buluku Nyai, karena
kau putar ke bawah." Sang Puteri pun menyela, "Baru aku tahu sekarang Nyi manusia dikalahkan oleh burung. Aku sendiri
yang akan menjawab teka-teki si Belibis Putih.
23. Wahai Belibis Putih. Kini aku yang akan menjawab teka-tekimu. Jika kau kalah nanti, apa yang kaujadikan barang serahan?
Maka menjawab Sang Belibis, "Hanya diri hamba Gusti.
24. Bila Tuan Puteri benar jawabannya, jadikanlah hamba abdi
Puteri. Puterilah yang memiliki badan hamba." Mulailah Sang
146
PNRI
40. "Baiklah jika demikian," Dan Belibis Putih segera mengalunkan suara membawakan irama tembang pamijil. Suaranya manis bagaikan madu, masuk menyentuh hati Sang Puteri cantik.
41. Rasanya diri seperti mati terduduk, menikmati irama lagu yang
membuat seluruh sendinya lunglai. Keringat keluar sangat deras dari tubuh membayangkan wajah dan kemudaan Sang Anglingdarma.
149
PNRI
27. SINOM
1. Setelah beberapa lamanya Belibis Putih berada di istana Bojanegoro, Sang Puteri semakin sayang kepadanya. Sampai lupa
Puteri kepada ayahanda dan ibunda. Siang dan malam burung
ajaib itu selalu berada di sampingnya. Tidur pun burung berada
dekat ujung kaki.
2. Jika tiba waktu makan Si Burung makan sama-sama dalam sebuah piling. Suatu ketika Puteri bertanya, "Wahai burung belibis. Ingin kutanyakan kepadamu. Apakah sebab-musababnya
Gustimu meninggalkan istana." Belibis menceritakan mengapa
Anglingdarma pergi meninggalkan istananya.
3. Karena terputus cintanya dengan permaisuri yang tercinta
yang bernama Dewi Setiawati. Setiawati telah masuk ke dalam
api dan hal itu menyebabkan hati Baginda sangat duka. Yang
meninggal cantiknya luar biasa, melebihi dari semua isterinya.
Disela oleh Puteri, "Bagaimana pun alasan Baginda meninggalkan negara tidaklah patut.
4. Beliau termasuk raja yang semena-mena, membuat rakyatnya
menderita. Jika hanya ditinggal mati oleh isterinya, mengapa
tidak seperti lazimnya raja-raja yang lain. Beliau dapat kawin
lagi, apalagi beliau adalah seorang raja." "Aduh,"kata Belibis,
"jumlah isterinya delapan ratus, semuanya terpilih dan cantikcantik.
5. Namun semuanya itu dianggap tidak ada. Baginda memilih
jalan meninggalkan negaranya. Menurut hemat hamba, paras
Sang Puteri Setiawati banyak mirib dengan wajah paduka.
Sebenarnya beliau tidak perlu mencari ke mana-mana." Puteri
pun menyela, "ah kamu bicara yang bukan-bukan, belibis.
150
PNRI
irama kidung. Tak mengira bahwa burung seperti manusia mahir merangkai kata. Diteruskan dengan cerita-cerita menarik,
yang menambah rasa hati Sang Puteri semakin gundah tak
terkira.
20. Sang Puteri Bojonegoro tergolek di atas peraduan dengan rasa
hati tidak karuan. Dalam hatinya ia berfikir, "Alangkah mahirnya Sri Raja Malawa berdendang membawakan kidung. Sedang
burung piaraannya saja mampu menyentuh rasa hati. Tentu
Gustinya sangat pandainya."
21. Puteri telah tidur dengan pulas, akibat kantuk yang tak tertahan. Lama beliau lupa makan dan minum serta tidur. Hatinya
terserang rasa rindu asmara. Ia sangat lelah tak tahu diri, hingga penutup dadanya terkuak dan tampaklah payudaranya separo, seperti buah maja kekuning-kuningan.
22. Sang Belibis melihatnya, rasa hatinya tak keruan bagaikan mati
tanpa menderita luka. Bagaimana harus kuperbuat? Katanya
dalam hati. Jika terlalu lama kulihat, bisa hatiku menjadi
membara. Lebih baik kuberitahukan, agar aku sendiri bisa
lekas istirahat. Maka penutup dada itupun dicocoknya.
23. Disebabkan oleh rasa hati yang harnpir-hampir meledak, melihat yang menonjol di dada lalu digigitlah pucuknya. Terkejut
bangunlah Sang Dewi. "Jangan kauganggu aku, belibis. Aku
baru bisa tidur, kantukku tak tertahan. Jangan mencucuk yang
bukan-bukan." Maka berkatalah Sang Belibis Putih,
24. "Maaflah Gusti, hamba tidak sengaja mencucuknya. Hamba
sedang membersihkan bulu-bulu. Tak tahu tercocok penutup
dada. Benar-benar tidak sengaja, karena hamba seekor burung.
Maaflah hamba dan sekiranya tiada ampun bagi hamba. Lebih
baik hamba mohon pamit akan mencari Raja Anglingdarma."
25. Maka mengucaplah Retna Srenggono, "Heran aku memikirkan,
sedikit-sedikit minta pamit. Harap jangan terlalu manja. Ya sedapat-dapat kululuskan permintaanmu. Kapankah kau men153
PNRI
154
PNRI
28. MIJIL.
8. Jika tidak ada maaf bagi hamba, maka izinkanlah hamba mohon pamit mencari Sang Raja Anglingdarma. Entah kemana?"
Tersenyum Sang Puteri, hatiku sakit, sedikit-sedikit patah
semangat, katanya.
9. Tidak dibenarkan orang lain menegur. Gustinya untuk tameng,
perisai agar bisa menghindar pergi. Mencari yang telah meninggalkan istana. Jika sudah kantuk, tidurlah."
10. Berkata Behbis Putih dengan nada manis, "Aduh Gustiku yang
muda. Hamba kantuk bukan karena kurang tidur, tetapi badanku terasa dingin." Sang Puteri tersenyum, tahu akan maksud Si Behbis.
11. "Betul katamu, akulah yang lupa kepada kekasihku." Puteri
pun turun menarik sepotong kain batik yang tersampir.
Baunya harum dan wangi, diselimutkan kepada behbis.
12. "Sudah-sudah. Kau tidur sekarang burung. Kusehmuti dikau
dengan kain panjang (dodot). Jangan kau cocor sana cocor
sini. Membuat aku terkejut. Jika kau kantuk, tidurlah sejajar
dengan guling."
13. Burung pun diselimuti dengan kain dodot. Kain itu dicocornya sebentar saja sobek compang-camping, akibat cocoran
yang keras. Mehhat itu Puteri mengucap keras,
14. "Katamu kau kantuk, mengapa tidak juga tidur?" Behbis
bertanya, "Kain macam apa itu ananda, gatalnya di kuht
bukan main." Sang Dyah menjawab, "Baik-baik, kau tinggi
hati benar.
15. Apalagi orang yang memeliharanya dulu. Sedang piaraannya
saja begini baiknya. Baiknya terlalu manja," maka menyela
Behbis, "Bagaimana hamba bisa tidur, jika kainnya gatal di
badan.
16. Betul-betul kampuhnya menyebabkan rasa gatal." Bertanya
156
PNRI
159
PNRI
29. DANDANGGULA
1. Begitu pulas tidur Sang Puteri, hingga tak ingat segala sesuatu.
Bibirnya dicocor oleh belibis berkali-kali. Dan merata dicocornya seluruh badan Sang Ayu. Semua bagian tak ada yang terlupa. Bahkan subang Sang Kusuma sampai terjatuh. lepas dari
daun telinganya. Belibis kemudian mencocor hidung dan terkejut sang puteri hingga terbangun dan terus duduk. Marahnya
tiada terkira.
2. Setengah kantuk ia membentuk dengan rasa marah, "Minum
tuakkah kau? Ulahmu seperti tidak wajar. Mabuk gadung dan
ganja, mungkin minum air lendir. Apakah kau belibis yang ke
sasar. Ulahmu tak keruan sodok sana-sini, melanggar perjanjian. Apa maksudnya kau lewati guling untuk menjamah tubuhku?
3. Alasan apa kaucocor telingaku, rasanya nyeri bagai disengat
oleh kelemayar. Gila tahun memang dikau. Mengapa pula
kaucocor hidungku, sehingga nafasmu keluar dari kuping. Bukankah kau binatang bukan manusia, mengapa berbuat sekehendak hati tak patut dilihat dan tidak pada tempatnya, sampai-sampai kauberani menjamah tubuhku. Kau anggap siapa
aku ini?"
4. Sang Puteri meraih patrem, kemudian ditariknya keris kecil
itu, siap untuk ditusukkan. Bentaknya keras, "Mari kutoreh
isi perutmu. Keluarlah engkau segera, jangan dekat-dekat
dengan aku. Tempatmu di lantai." Dan cepat-cepat Belibis
turun sambil mengibaskan sayapnya. Ia mengaduh,
5. "Aduh kemana gerangan Gustiku Anglingdarma pergi? Bawalah diri patik bersama Tuan. Tidak enak mengabdi kepada
160
PNRI
11. Esok hari patih mohon pamit dan mohon dimaafkan segala
kesalahan hamba. Patik akan pergi mencari Baginda Anglingdarma entah ke mana? Mati atau hidup hamba kan mengikuti
Baginda." Sang Puteri sangat takut kehiiangan Si Belibis. "Dan
aku pasti tidak akan membiarkan dikau pergi," katanya sambil
memeluk tubuh burung itu.
12. "Aku berjanji padamu, tidak akan marah-marah lagi. Kuharap
jangan sekali-sekali meninggalkan istana ini. Benar aku merasa
jera, tidak akan berbuat dua kali. Bagaimana ulahku jika dikau
pergi dari sini. Kosong isi di dalam dada. Semoga kita selamat
dan dilindungi oleh Dewa."
13. Maka dibawalah Sang Belibis naik ke atas tempat tidur. Berkata Sang Puteri setengah berbisik, "Tidurlah dikau di atas
kasur. Kutaruh guling di kanan-kirimu. Kulengapi dengan bantal bersusun berbau harum." Si Belibis berkata, "Dulu ketika
masih di negara Malawapati patik mempunyai kebiasaan tak
seorang pun membangunkan hamba selagi enak tidur.
14. Biarpun Baginda sendiri, tidak berani membangunkan diriku,
sampai waktunya patih bangun sendiri. Mungkin selama setahun. Dan mungkin hanya sebentar sama dengan orang makan
sirih lamanya patik pun segera bangun. Jika hamba dibangunkan dengan tiba-tiba bisa menyebabkan sakit dan bisa meninggal. Itulah kelemahan patik.
15. Dahulu," cerita Si Belibis, "ketika hamba masih di Malawapati.
jika Baginda menginginkan hamba lekas tidur, maka para isteri
Raja bergantian mengipasi diri hamba." Sang Puteri menyela,
"Aku sendiri yang mengipasi, tetapi kau harus berjanji, tidak
mudah cepat patah hati. Semuanya ini kulakukan hanya karena kasih dan sayangku kepadamu."
16. Sang Belibis segera pura-pura tidur. Dan tibalah waktu pagi
hari. Puteri telah lama bangun. Namun ia takut membangunkan Si Belibis. Hatinya telah lama menanggung rasa rindu
kepasa Sang Raja Anglingdarma, akibat dari cerita-cerita Si
Burung. Dalam hatinya hanya satu yang terpikir, yaitu Raja
Malawa.
162
PNRI
23. Dalam pada itu Sang Puteri tiba-tiba berdiri, pura-pura tergelincir dari tempat tidur, membuat terkejut Si Belibis Putih,
ia bertanya, "Apa sebabnya Tuan jatuh." Dijawab oleh Sang
Puteri, "Pandanganku kunang-kunang dadaku terasa sempit.
Aku ingin membetulkan kainku, dan terpijaklah bagian ujungnya."
24. "Aduh, syukurlah jika Tuanku tidak mendapat luka. Jika sampai terjatuh dan patah tulang, pasti ayahanda akan murka kepada patik. Mungkin malahan hamba dibunuh, karena lalai
menjaga Tuan. Berkata Sang Puteri lebih lanjut, "Saya ingin
pergi mandi ke kolam di dalam taman. Engkau kubawa untuk
kumandikan dan kubersihkan kepalamu.
25. Aku sendiri yang akan mencuci rambut di kepala kekasihku."
Pelahan Belibis berdatang sembah, "Patik hanya siap melakukan perintah. Tetapi mohon agar seorang pun tidak ada yang
melihat Puteri mencuci rambut kepala hamba. Sebaiknya berada di tempat tertutup." Sang Puteri merasa, tentu ada sesuatu
rahasia. Maka dibawanya Sang Burung keluar.
26. Para dayang-dayang diperintahkan agar menyiapkan segala keperluan mandi di dalam taman. Seperti bedak pelumas serta
air pencuci dari tangkai padi yang dibakar (landa). Kain basahan dan kain untuk ganti. Setelah itu rombongan dayangdayang siap mengiringi Sang Puteri. Belibis Putih terbang rendah di atas Kusuma Srengganawati.
27. Rombongan dayang-dayang beserta Sang Puteri dan burung
belibis tiba di dalam Tamansari. Di sana terdapat kolam yang
luas, kanan-kirinya tertutup oleh pagar bata yang tinggi.
Sang Belibis hinggap agak jauh dari Sang Puteri. Pintu Kolam
dibuat seperti kupu-kupu yang bertarung. Dilengkapi dengan
kumuda.
164
PNRI
30. KINANTI
1. Jika kedua daun itu tertutup tampak seolah-olah saling berdekapan. Dan jika kedua daunnya terbuka, tampak seperti saling membuat janji. Srengganawati kemudian masuk ke dalam
pagar melalui pintu yang terbuka.
2. Belibis ikut di belakangnya, tidak pernah berpisah dengan
Tuannya. Setelah itu daun pintu pun tertutup, segera dikunci
dari dalam oleh Sang Puteri. Semua dayang-dayang berada di
luar, tidak seorang pun diperkenankan turut masuk.
3. Ada yang pergi ke utara kolam ada yang berada di selatan.
Ada pula yang mengumpulkan bunga-bunga, sebagian saling
mencari kutu rambut. Yang lain bermain dakon atau bermain sengguring. Tersebutlah Sang Puteri yang mandi di kolam.
4. Berkata Sang Puteri kepada Si Belibis, marilah kau dekat padaku untuk saya cuci jambul di kepalamu. Sang Behbis bersiap melakukan perintah, "Silakan Tuanku Puteri jika benarbenar puteri mengasihi Patik.
5. Tariklah kuncung hamba pelan-pelan tetapi sedikit keras."
Maka dipeganglah kuncung Si Behbis, dicuci dan disisir hingga
terlepaslah daun tal tertuhs yang melekat pada kuncung Si Behbis Putih.
6. Gelungnya telah terlepas dan lenyaplah rupa burung behbis,
berubah kembali menjadi seorang manusia. Tercengangcengang Puteri tak dapat mengucapkan kata-kata. Apakah ia
tidak mimpi, mehhat seorang kesatria tampan di depannya.
165
PNRI
15. Tiada tujuan tertentu dalam hati. Yang mau memanggil namaku ialah Maharaja Anglingdarma. Karena dahulunya pernah
menjadi raja. Tetapi kini sangat kasihan nasibnya, karena berubah rupa menjadi seekor burung belibis.
16. Disebabkan oleh tenung raksasa perrempuan terhadap diri
hamba. Kini hamba kembali kepada rupa semula berkat pertolongan Tuan." "Jika demikian betul perkiraaan saya sebelumnya," pikix Puteri.
17. Ketika masih berupa burung, manjanya bukan buatan. Meskipun kecil tetapi akalnya banyak. Petunjuknya sangat tepat,
maka semakin berkobarlah api asmara dalam hati Sang Puteri.
18. Hatinya tergerak mendengar cerita Sang Raja Anglingdarma,
badannya terasa lunglai akibat usianya yang telah dewasa.
Seorang puteri berdekatan duduk dengan laki-laki tampan.
19. Ia tenggelam dalam kata-kata manis yang diucapkan dari seorang laki-laki yang telah lama diimpikannya. Bagai mati terduduk, pikirannya terbang ke alam bahagia karena senangnya.
Maka ia pun menyembah sambil berkata,
20. "Sekiranya Tuanku setuju atas saran hamba. Marilah kita berdua menghadap kepada ayahanda dan bunda. Pasti beliau sangat berkenan hatinya mendapat menantu Tuan. Beliau tidak
akan murka."
21. Raja Anglingdarma menjawab, "Wahai Kusumaku sayang. Aku
tidak dibenarkan bertempat tinggal di kota oleh para Dewa.
Dahulu aku pernah mendapat kutukan Dewi Uma dan Dewi
Ratih.
22. Selama delapan tahun aku dilarang berada di dalam negara.
Oleh sebab itu jika memang kau menaruh kasih kepadaku dan
setuju hatimu, siang hari aku berupa burung dan pada waktu
malam aku berupa seorang manusia biasa."
167
PNRI
23. Maka tunduklah Sang puteri tidak segera memberikan jawaban. Ia bingung karena berbagai pertimbangan yang rumit.
Raja tak sabar. Maka diembannya Sang Kesuma. Dirayunya
dengan kasih mesra dan diciumnya berulang-ulang. Diucapkan
kalimat dari syair-syair yang indah.
24. Aduhai Gusti perutusan Dewa. Orang yang benar-benar cantik
lagi manis, menarik hati dan lincah membuat yang melihat
menjadi terpesona. Hati terkuasai oleh pandangan yang memikat.
25. Pandangan mata yang tampak sangat manis seperti manisnya
madu. Madu dari segala bunga di dalam taman telah hampa.
Semuanya terisap dan terkumpul padamu gustiku seorang.
26. Hamba serahkan jiwa dan ragaku kepadamu Gusti. Terserah
apa yang akan Gusti perbuat. Hamba mohon mengabdikan diri
dan sanggup di caci dan dimarahi, belahlah dan potonglah diri
hamba. Sementara Puteri berusaha membebaskan dari pelukan.
27. Baginda mencium lebih keras, terhalang oleh gelung. Lepaslah
gelung puteri dan tercium bau yang harum. Keringatnya keluar banyak karena meronta-ronta diemban Baginda. Lamalama lunglai tubuh Sang Ayu. Ia tidak lagi mencubit atau
menangkis.
28. Ia pelan-pelan menyebut ayahanda dan ibunda dan semakin
rapat desakan baginda, seraya mengucapkan kata-kata yang
memikat. Ibarat kumbang menghisap madu bunga yang masih
kuncup, dengan sabar menunggu keluarnya cairan manis.
29. Wahai buah hati pujaan kanda. Hamba mengembara ke seluruh
bumi. Keliling menaklukkan beberapa negara. Sesungguhnya
hanya untuk mencari dirimu. Penjelmaan Ken Dewi Setiawati.
Permata di Bojonegoro. Demikianlah Baginda merayu Puteri
di pinggiran kolam Taman Sari.
168
PNRI
170
PNRI
31. MIJIL
1. Marilah kita kembali ke istana." Maka berangkatlah rombongan menuju ke istana. Puteri berjalan paling depan sambil mengemban burung belibis sendiri. Para dayang-dayang saling
berbisik bersartia teman,
2. "Aku tak tahu sebabnya. Mengapa Gustiku Sang Puteri sampai
lupa menghadap Sang Raja. Terserap waktunya penuh untuk
memelihara Belibis Putih, baik siang hari maupun malam hari."
3. Semuanya tidak ada yang tahu. Mereka sampai sudah di pura.
Puteri memerintahkan kepada para dayang-dayang untuk
membuat rangkaian bunga-bunga yang ditempatkan di atas
balai terapung. Puteri hendak tidur semalam di tengah kolam
dalam Taman Sari.
4. Mohon kepada Dewa Agung, demikian kata Puteri, semoga aku
kelak dipersunting oleh seorang Raja yang berusia muda lagi
tampan rupanya. Dayang-dayang tersenyum, sembahnya,
6. Semua saja tidak terkecuali, baik parekan atau ceti. Tidak diperbolehkan ikut dan tetap tinggal di istana besar. Aku hendak
tidur sendiri di atas balai kambang. Para inya dan bibi menjawab siaga.
5. "Aduh-aduh Gustiku tengah birahi penuh, cantiknya bukan
kepalang. Perlukah harus kawin dengan raja sayang?" Sang
Puteri tersenyum mendengar kata-kata itu. Aku akan semadi,
katanya, tidak seorang pun diperkenankan turut ke kolam.
7. Mereka beramai-ramai menyiapkan sebuah balai terapung, dihias dengan pelbagai untaian indah. Begitulah hari petang menjelang datang. Matahari telah berada di atas bukit. Bulan sabit
di ufuk timur mengganti menerangi bumi dengan sinar lembut.
171
PNRI
24. Begitulah Sang Kusuma tidur lelap di pangkuan dan disenandung oleh irama kidung. Kemudian dipindahkan dari pangkuan ke atas balai, diapit oleh guling di kanan-kirinya.
25. Sampai hari pagi keduanya bangun tidur dan menuju ke ruang mandi untuk berganti pakaian. Selesai mandi Baginda
membawa Sang Kusuma kembah ke tempatnya.
26. Demikianlah kehidupan Sang Kusuma bersama Sang Raja
Anglingdarma. Siang hari Sang Raja berupa burung behbis
putih. Jika malam hari Sang Raja berubah menjadi manusia.
Tak terhingga kasih sayang puteri kepadanya. Puas memadu
kasih.
27. Semua dayang-dayang tiada yang tahu bahwa gustinya telah
berlambangsari. Mereka hanya tahu bahwa gustinya tidur sendirian. Mereka tidak menduga gustinya bermain cinta dengan
laki-laki sampai mengandung sebulan usianya.
28. Sementara Nyai berbisik-bisik, "Aku melihat suatu yang tidak
wajar. Sang Ratna kini tubuhnya mengembang loyo parasnya
berwarna hijau. Jarang sekali ia keluar, mungkinkah jatuh sakit?"
29. Lama sudah kedua insan itu saling memadu kasih di atas balai
terapung, menyebabkan rusaknya pemandangan akibat banyaknya bunga layu di dalam kandaga. Demikian pula keadaan
Sang Puteri.
30. Parasnya pucat agak kehijau-hijauan, mengembang tulang pinggulnya. Sedang jarak jari-jarinya bertambah lebar. Dadanya
menonjol ke depan. Lambungnya mengendor, sementara payudaranya bertambah besar.
31. Pada suatu ketika Raja Darmawasewa duduk-duduk di halaman tengah bersama dengan permaisuri. Dipilihnya tempat
di bawah pohon Nagasari. Para dayang-dayang lengkap menghadap Sri Baginda.
174
PNRI
32.
Para manggung dan para ketanggung semuanya tidak ada
yang ketinggalan. Bersabda Sang Raja kepada permaisuri,
Adinda Ibu Suri apakah gerangan sebabnya, puterimu telah lama tidak datang menghadap. Mungkin teijadi sesuatu.
33. Hatiku kawatir kalau-kalau ia terserang penyakit. Maka perintah Sebetan untuk melihat ke sana." Segera diperintahkan
seorang Sebetan menengok ke keputrian tetapi kosong. Sang
Puteri tidak berada di rumah.
34. Disusulnya Sang Puteri ke Taman Sari,, namun Sebetan tidak
diperkenankan bertemu. Alasannya Sang Puteri sedang sakit.
Oleh karenanya Sebetan cepat-cepat menghadap Baginda kembali dan memberitahukan masalahnya. Bersabdalah Baginda.
35. Sebaiknya adinda Suri sendiri yang meninjau ke sana. Agar
supaya jangan berkepanjangan ia sakit. Dan Permaisuri pun
berangkat diiringkan oleh para ceti menuju ke keputrian.
36. Setelah mengetahui kedatangan ibu Suri maka Sang Puteri
segera menyosongnya. Permaisuri melihat wajah puterinya
yang pucat, beliau bertanya, "Sakit apakah anakku, sampaisampai ibumu tidak mengenal rupamu?
37. Pucat pasi warna wajahmu agak kehijau-hijauan. Mekar tulang
pinggulmu. Sakit apakah kau ini hingga terbuka sela-sela jarijemarimu." Menyembahlah Sang Putri, "Patik tidak sakit.
38. Telah lama hamba mengurangi makan dan minum, karena badan terasa berat." Namun Permaisuri tahu di dalam hati, bahwa Puterinya telah mengandung. Lemahlah rasa di dalam hati
Sang Ibu.
39. Mengingat bahwa. puterinya belum kawin. Aduhai anakku
sayang, kata Sang Ibu, marilah kuraba tubuhmu. Puterinya
menghindar. Maka Sang Ibu memaksanya dengan pandangan
yang marah.
40. Puterinya segera didekati dan dipegangnya, meskipun ia meng175
PNRI
elak. Namun terpegang sudah bagian pinggul yang mengembang. Terperanjat Sang Ibu berteriak, "Aduh Nini Puteri,
tidak salah dugaanku.
41. Sejak tadi aku telah menduga. Jika ini diketahui oleh Sang Raja, pasti beliau sangat marah." Puteri pun sangat malu dan
menangis seraya meratap, "Bunuhlah patik ini."
42. Permaisuri bertanya sambil mendesak, "Wahai nini anakku.
Jangan menangis, beritahukan siapa yang telah berbuat. Apakah dia seorang mantri, bupati atau seorang tumenggung?
43. Apakah dia kepala orang-orang yang terpilih, ataukah seorang
jejaka keturunan kesatria? Marilah kaukatakan yang sesungguhnya." Makin bertambah keras tangis Sang Puteri, ia tidak
mau menjawab pertanyaan Sang Permaisuri.
44. Lama Permaisuri berusaha memperoleh jawaban puterinya.
Namun tidak berhasil. Puterinya duduk di tanah. Sang Ibu
putus asa, menyaksikan puteri terus menangis. Ia tidak tahan,
kemudian pulang kembali ke istana besar.
176
PNRI
32. DURMA
7. Mereka belum tentu berbuat salah, apalagi jika sampai menemui ajalnya. Akulah sendiri yang menanggung salah karena
terlalu mempercayakan puteriku kepada mereka. Baginda kemudian memerintahkan supaya Patih Jaksanegara datang
menghadap.
8. Setelah Ki Patih duduk menghadap dengan tegap, Baginda bersabda, "Ketahuilah wahai Patih. Di dalam istana telah kemasukan pencuri ulung yang meniduri Ni Puteri. Maka undangkan kepada semua mantri dan tentara. Siapapun yang berhasil
menangkap pencuri itu,
9. Pasti kuberi hadiah wilayah Bojonegoro separo kerajaan. Dan
kuangkat dia menjadi Raja Muda. Kukawinkan dengan seorang
puteri kerajaan dan kubuatkan istana di sebelah utara pasar."
Ki Patih mohon idzin untuk melaksanaakn perintah Sri Baginda.
10. Kepada semua penggawa disampaikan perintah Baginda Bojonegoro. Semua yang mendengar menjadi kecewa atas ulah
Si Pencuri sakti. Para peijurit dan para mantri bersiap untuk
melaksanakan perintah. Mereka melengkapi peralatan bertempur untuk dapat berhasil dalam sayembara menangkap pencuri asmara.
11. Mereka masing-masing ingin menunjukkan kebolehannya.
Sebagian penjaga membawa pedang, perisai dan tombak kecil. Ada pula yang membawa lembing. Seorang pemberani
memihn-milin kumisnya.
12.Begitulah setelah matahari terbenam, semuanya telah siap
menjaga istana. Para mantri, penjaga dan para perjurit semuanya beijaga-jaga dengan membawa alat-alat serta senjata masing-masing.
13. Semua peristiwa itu diketahui oleh Sang Puteri dan Raja Anglingdarma. Bertanya Sang Puteri, "Bagaimana kehendak paduka menghadapi penjagaan ketat oleh para mantri dan barisan tentara.
178
PNRI
21. Mereka berjumlah empat puluh orang, namun tak seorang yang
masih memiliki keris di pinggang. Maka diperoleh kata sepakat
untuk melaporkan semuanya kepada Ki Patih ke istana. Si
Pencuri yang masuk ke dalam istana sungguh bertenaga luar
biasa.
22. Para kajineman keluar dari pura dan langsung menghadap kepada Ki Patih. Menyerahkan mati dan hidup karena tak berhasil menangkap pencuri. Patih marah-marah, "Kalian semuanya anjing yang tidak berguna. Gerak-geriknya saja menakutkan orang.
23. Siang hari tampaknya seperti harimau, bercambang hingga
telinga. Membuat anak-anak ketakutan melihat ulahnya seperti
barongan. Bila sedang menerima hadiah, janjinya tak terkirakan sampai meluap-luap. Kumisnya dipilih-pilin. Begitu Ki
Patih melampiaskan nafsu."
24. Semua kajineman tidak ada yang berani memandang wajah
Ki Patih. Tunduk dan takut, tiada mampu menjawab sepatah
kata. Dalam pada itu Ki Patih segera memerintahkan menjaga
pura lebih ketat lagi dikerahkan para mantri beijaga di dalam,
sedang para peijurit di luar pintu pura.
25. Selama tujuh hari tujuh malam pura dijaga luar dan dalam.
Namun demikian masih juga teijadi bermacam peristiwa yang
tidak bisa dimengerti. Banyak teijadi perkelaian antara kawan
sendiri, atau malahan sampai meninggal dipukul oleh pencuri yang sakti.
26. Sangat bingung Ki Patih mendengar laporan berbagai kejadian
dari para mantri. Maka diputuskan untuk menghadap Baginda
dan mengutarakan lebih lanjut tentang kegagalan tugasnya.
Begitulah Ki Patih berdatang sembah,
27. "Baginda Raja, hamba laporkan bahwa pencuri sangat sakti,
dan bukan pencuri sembarangan." "Memang Patih," sabda
Baginda," hanya saya benar-benar heran, mengapa dia raemadu kasih dengan puteri. Kesatria dari mana ia gerangan?
180
PNRI
28. Akibat perbuatannya negeriku menjadi tercemar, menonjolkan kepandaian dan kesaktiannya. Oleh karena itu wahai Patih, kuperintahkan kepadamu untuk mencari upaya ke luar
Bojonegoro. Siapa pun yang mampu menangkap si pencuri.
Kuberi hadiah negara beserta puteri.
29. Kupercayakan segalanya kepadamu Patih. Dan semoga kau
lekas berhasil memperoleh bantuan. Biarpun kau harus bekerja
keras. Kamu jangan pulang kembali. Naiklah kau ke atas gunung dan datangilah pertapaan di gunung Srenggana.
30. Kepada semua pertapa, ajar serta jejanggan, ataupun para wasi,
mohonlah kesediaannya untuk menangkap si pencuri. Bawalah mereka cepat-cepat ke negara Bojanegoro." Patih menyembah dan mohon diri.
31. Ki Patih hanya mampir sebentar ke rumah Kepatihan untuk
menyiapkan sesuatu. Ia berganti pakaian yang telah kumal,
berwarna hitam-hitam menyerupai rakyat biasa dan pergi
tidak membawa pengawal.
32. Ia tinggalkan kota pada waktu malam hari. melalui perbatasan
kota dan langsung menerobos hutan belukar. Menyusur tepi
jurang dan lereng-lereng gunung. Terkadang menuruni jurang
yang terjal.
33. Mantri pertama itu tidak takut menerobos jalan-jalan yang sulit dilalui, meski kadang-kadang terpaksa naik gunung atau
pun merambah hutan yang penuh bahaya. Akhirnya ia tinggalkan daerah kerajaan Bojonegoro.
181
PNRI
33. PANGKUR
12. Ternyata pohon itu tercabut disertai oleh sorak sorai segenap
yang melihat. Dilemparkan pohon tal itu ke atas sampai tidak
terlihat dan jatuhlah di tengah alun-alun. Kira-kira sepanjang
sepuluh asta terunjam di dalam tanah. Rombongan orangorang dan Patih Madrim pergi mendekati pohon tersebut.
13. "Sekali lagi kubuat pasang giri mengenai pohon tal ini. Kalian
semua menyaksikan. Jika setelah aku pergi mencari raja pohon
tal ini mati, itu tandanya bahwa aku kembali pulang tidak
bersama-sama dengan Sri Baginda. Tetapi jika ia tetap hidup,
tandanya aku akan kembali mengiringkan Sri Baginda."
184
PNRI
34. DANDANGGULA
1. Setelah itu Batik Madrin memanggil ketiga keluarga dekat yaitu Raden Handayaningrat dan Raden Wijanarka serta Raden
Mangunjaya. "Aku akan pergi mencari Baginda, kata Ki Patih. Kepada kalian bertiga kupercayakan penjagaan negara.
Lagi pula kutitipkan para teruna untuk dididik bekeija sesuai
dengan pengetahuannya.
2. Yang kedua, hendaknya kalian tetap waspada, mengingat banyaknya masalah yang teijadi di dalam negara. Memerintah
para penggawa. Carilah kata sepakat dalam menangani suatu
perkara. Dan jika datang musuh menyerang kota. Jagalah dengan ketat di sekeliling kota. Dan janganlah kalian keluar kurang perhitungan didorong oleh nafsu muda, berani tidak
memikirkan keselamatan umum. Kalian bisa mati sia-sia."
3. Ketiga kesatria itu menyembah. bersama-sama. Sanggup melaksanakan segala pesan Ki Patih. Setelah selesai memberikan pesan-pesannya Batik Madrim berganti pakaian serba hitam.
Ia tinggalkan kota kota pada waktu malam hari. Bulan telah
terbit menggantikan tugas matahari, dalam pada itu Ki Patih
telah meninggalkan Malawapati. Setengah bulan sudah Ki
Patih mengembara mencari Sang Raja.
4. Ia beijalan siang dan malam, menuruni jurang dan mendaki
gunung Jalannya tidak menentu arah yang dituju akibat hatinya yang rusuh. Ia sangat kelelahan dan terduduk di bawah
sebatang pohon. Ia terlelap karena kantuknya. Tiba-tiba ia
mendengar suara, "Batik Madrim, ketahuilah. Jika kau benar benar ingin mencari gustimu.
185
PNRI
11. "Aku sangat bersyukur bertemu dengan anak pendeta. Janganlah bekerja setengah-setengah pergi ke kota, untung jika berhasil ananda membantu kami. Kami mohon bantuannya untuk menangkap pencuri sakti di dalam pura. Ia terlalu tinggi
ilmunya, rnampu mengalahkan para menteri tanpa melalui
pintu masuk.
12. Meskipun telah dijaga dengan ketat namun tak seorang melihat
kedatangannya. Raja Bojonegoro sangat besar duka nestapanya. Itulah sebabnya aku mohon bantuan." Batik Madrim
terdiam, memikirkan si pencuri sakti. Siapa gerangan dia?
Ingin ia mengadu kesaktiannya dengan pencuri yang berani
masuk ke pura itu.
13. Jika aku nanti kalah bertanding dengan pencuri, biarlah aku
mati. Atau aku bisa bertemu dengan Sri Baginda. Akhirnya
ia menjawab, "Baiklah aku menyanggupi akan membantu
Sang Raja. Untuk bertanding dan menangkap si pencuri, bagaimanapun saktinya pencuri itu." Segera dipeluknya Ki Madrin
oleh Ki Patih karena girangnya, "Aduhai anakanda.
14. Hadiahnya pasti ananda akan dikawinkan dengan puteri istana.
Selain diberikan sebutan Raja Muda yang menguasai separo
wilayah kerajaan. Maka berangkatlah keduanya menuju kembali ke Bojonegoro. Peijalanan mereka cepat tiba di kota dan
langsung masuk ke dalam istana.
15. Ketika itu Sang Raja Bojonegoro tengah berada di balai pasewakan dihadap lengkap semua punggawa. Sang Baginda bersabda kepada Patih Purwanegara, "Bagaimana kabar beritanya
Patih Jaksanegara? Ia telah kuperintahkan untuk mencari
bantuan ke mana pun yang sekiranya bisa mengatasi kekacauan yang teijadi di istana dewasa ini. Bukankah telah agak lama
ia meninggalkan pura?"
16. Patih Purwanegara menyembah, "Menurut laporan yang
hamba terima Hamba paduka Patih Jaksanegara pergi tanpa
membawa pengawal dan tidak diketahui ke mana tujuannya." Belum selesai Patih melapor maka tiba-tiba Patih Jaksa187
PNRI
189
PNRI
35. DURMA
1. "Bagaimana kehendakmu sekarang Madrim?" "Sekiranya Baginda setuju", sembah Bathik Madrim," hamba mohon diperkenankan berjaga di dalam puri. Mungkin pencurinya bersembunyi di bunga-bunga.
2. Atau di tanam-tanaman hias di pinggir kolam. "Aku berikan
kau izin untuk berjaga nanti malam bersama-sama dengan Ki
Patih. Kuperkenankan pula kau membawa pengawal yang kauperlukan."
3. Begitulah pada waktu sore setelah matahari terbenam, kedua
patih itu telah siap untuk berjaga di pura. Baginda telah lama
meninggalkan pesewakan dan masuk ke dalam istana besar.
4. Baginda lama menunggu berita lanjutan hasil berjaga-jaga dari
dari kedua patihnya. Maka diperintahkannya untuk memanggil
keduanya dengan segera. Ketika mereka tiba bersabdalah Baginda.
5. "Bagaimana Batik Madrim? Adakah pencurinya di dalam pura?" Maka menyembahkalah Madrim, "Benar Gusti, di dalam
pura paduka telah kemasukan pencuri.
6. Dewasa ini pencurinya masih berada di dalam pura." "Apa
tandanya," tanya Baginda." Hamba dapat mengetahui dari
bau yang tercium." "Nah, jika demikian, tangkaplah dia cepatcepat.
7. Wahai Patih bawalah serta semua Bupati. "Bathik Madrim menyela sembah", Mohon ampun Baginda, pencuri itu akan hamba tangkap sendiri saja. Mohon semua nayaka hanya menunggu
di sini.
190
PNRI
16. Semua saja yang dimiliki oleh Puteri paduka, jika nanti hamba
kehendaki mohon diberikan, meskipun Puteri tidak setuju.
Di sanalah pencuri itu bersembunyi." Maka Baginda pun memerintahkan kepada Sebetan untuk memanggil Tuan Puteri.
17. Dipesankan dalam perintah agar semua binatang piaraan Sang
Puteri maupun benda-benada kesayangannya agar dibawa
serta. Demikian utusan itu tiba di kediaman Sang Puteri.
18. Beliau sedang duduk bersama Si Belibis Putih, sembahnya,"
Patih beritahukan bahwa kini ayahanda telah memperoleh bantuan seorang sakti untuk menangkap paduka.
19. Seorang Wasi berasal dari Gunung Rasamala. Ia telah sanggup
untuk menangkap paduka. Hamba sangat kawatir karenanya.
Marilah kita pergi saja dari sini." Sang Belibis tersenyum.
20. "Wahai Kesuma yang cantik jelita. Jangan dikau takut-takut.
Biar datang lagi wasi yang lain yang membantu ayahanda.
Mereka tidak akan melihat dan menemukan saya, sayang.
21. Nanti, apabila dikau dipanggil oleh paduka ayahanda, janganlah ragu-ragu, segeralah menghadap. Bawalah saya, karena
saya ingin melihat bantuan raja yang menghendaki kawin
dengan puteri."
22. Sebentar kemudian utusan Baginda pun datang. Sembahnya,
"Duhai Tuanku Puteri, paduka dipanggil oleh ramanda untuk
menghadap, dipesankan agar membawa serta burung piaraan
paduka.
23. Juga perhiasan-perhiasan yang paduka pakai, jangan ada yang
ketinggalan." Puteri melaksanakan perintah. Belibis ikut serta
bersama para dayang-dayang, tidak jauh dari Sang Puteri.
192
PNRI
36. ASMARANDANA
1. Setelah rombongan tiba di hadapan Baginda, segera Sang Puteri mencium kaki ramanda. Beliau duduk di kursi kuning diapit
kiri dan kanan oleh kedua patih.
2. Baginda tampak murka, bentaknya, "Janganlah dikau menyembah kepadaku. Dikau anak yang mursal, tidak mau kukawinkan dengan baik-baik. Kini ternyata menyimpan pencuri.
Tidak selayaknya kau dilahirkan dengan patut, melihat sinarnya matahari.
3. Aku samasekali tidak mau lagi mengakui dikau sebagai puteriku." Maka menyembahlah Sang Retna, "Bagaimanapun kehendak Baginda hamba terima. Tidak ada gunanya memelihara
orang jahat. Lebih baik bunuhlah, hamba agar hidup kami
tidak mencampuri kejahatan.
4. Patik seorang sundal anjing yang mencemarkan nama negara.
"Baginda kembali bersabda, "Aku heran memikirkan. Apabila
ia mendapat marah terus saja minta untuk dibunuh." Puteri
malu mendengar sabda Baginda.
5. Puteri undur sedikit berlindung di belakang pohon Nagasari.
Maka bersabda Baginda kepada puterinya, "Jika dikau meninggal dunia, siapa yang akan mewarisi negara Bojonegoro?"
Dalam pada itu Bathik Madrim memperhatikan wajah Sang
Puteri.
6. Ia teringat kepada almarhum Dewi Setiawati, katanya dalam
hati, "Jika puteri ini diketahui oleh Gustiku pasti sembuhlah
penyakit rindu-asmaranya. Mungkinkah ia penjelmaan dari
Dewi Setiawati yang membakar dirinya waktu lalu?"
193
PNRI
7. Setelah itu Baginda memerintah kepada Madrim, "Nah sekarang tangkaplah pencuri itu Madrim." Menyembah Bathik
Madrim, "Sebenarnya Patik takut melaksanakan, karena dia
tidak mau berpisah sebentar pun dengan Tuan Puteri.
8. Ia sangat dikasihi oleh puteri Paduka. Ketika Sang Belibis
melihat wajah Bathik Madrim, katanya dalam hati, " Mungkin
kehendak Dewa Madrim tidak kenal lagi kepadaku. Dan kini
bermaksud menandingi kesaktianku.
9. Mungkin ia bermaksud kawin dengan puteri, janganlah gegabah
kau mengemban puteri istana." Maka menyembahlah Madrim
tertuju kepada Sang Puteri, "Hamba mohon diberikan Si
Burung berbulu putih. Itulah pencurinya, yang mampu berupa
burung belibis."
10. Menjawab Sang Puteri, "Aku tidak akan memberikannya. Ini
behbis milikku, mengapa kaukatakan pencuri ulung? Sangat
tidak masuk akal. Kau berlebih-lebihan sombongmu, sehingga
minta burung kekasihku."
11. Bathik Madrim menyembah kepada Sang Raja, "Mohon Baginda tahu Sang Puteri enggan memberikan burung kesayangannya. Tandanya beliau menyimpan dan melindungi pencuri."
Baginda memerintah, "Segera kauberikan, jangan sampai aku
sendiri yang mengambil."
12. Cepat-cepat Sang Belibis membisikkan kata-kata kepada Sang
Retna, "Segera serahkan diriku kepada ayahanda. Aku akan
menjelma ke bunga tunjung yang berwarna kuning itu. Bunga
tunjung kegemaranmu." Menyembah Puteri kepada Ramanda.
13."Silakan ayahanda mengambil si burung putih, hamba tidak
akan mempertahankan sesuatu. Maka diterima burung itu oleh
Baginda dan matilah ia." Bathik Madrim cepat-cepat menyembah, "Baginda Raja, pencurinya kini berpindah ke bunga
tanjung kuning.
14. Hamba mohon Tuan Puteri memberikan bunga tunjung itu,
194
PNRI
"Jika dapat kutangkap ditangkap di tanganku pasti kuhancurkan tubuhnya. Kiranya ia dewa yang mampu menjadi halus
maupun menjadi cair membuat kesulitan hati orang lain."
23. Subang telah disampaikan kepada Baginda, maka pudahlah
sinar subang itu. Subang pun diteruskan kepada Bathik Madrim. Hamba mohon maaf Baginda, sembahnya, pencurinya
pindah ke cincin bermata merah muda.
24. "Hamba mohon puteri sudilah menyerahkan cincin bermata
merah yang paduka kenakan pada jari manis. Di situlah pencuri bersembunyi. Boleh atau tidak boleh sudilah puteri memberikan cincin itu cepat-cepat.
25. Akan hamba bakar cincin itu, karena di sanalah pencuri bersembunyi". Sang Puteri tajam dan keras jawabnya," Ini bukan
pemberian Baginda. Aku telah menemukan sendiri. Biar di
beli dua ribu tidak akan kuberikan.
26. Lebih baik kepalamu Madrim, dibakar dengan api agar supaya
meletus." Maka Sang Puteri pun menangis meratap mengibaiba," Bunuhlah saya, jangan memperpanjang rasa malu di
depan orang.
27. Madrim berlagak sebagai orang yang sakti. Ia mengada-ada
menunjuk yang bukan-bukan. Bagaimana mungkin cincin
untuk tempat bersembunyi." Baginda menyambung keraskeras," Aku kira betul kata Ki Madrim.
28. Mana pencurinya Madrim? Jika kau tidak berkata benar, pasti
kupenggal lehermu. "Bathik Madrim menyembah," Tinggal
sekali lagi Baginda. Pencurinya telah terpojok, Jika hamba
gagal terserah kehendak paduka.
29. Paduka cepat-cepat minta cincin permata itu." Dan Baginda
pun memerintahkan kepada puterinya," Hai puteriku segera
kau serahkan cincinmu kepada Madrim. Maka bingunglah hati
Sang Puteri ia berpaling sebentar.
196
PNRI
37. PANGKUR
199
PNRI
38. KINANTI
1. Mendengar suara menantang itu Ki Patih Bathik Madrim teringat kembali kepada suara Gusti Maharaja Anglingdarma. Tidak salah lagi itulah tuannya Raja Anglingdarma dari Malawapati.
2. Ia berpikir di dalam hati, "Biarpun beberapa tahun aku tidak
mendengarkan suaranya, aku masih mengenalnya dengan baik." Ia merasa tenteram hatinya, sejuk dan berharap hidup
kembali.
3. Maka berteriaklah ia keras-keras, sambil menangis dan memandang lurus ke arah langit." Aduhai Ambara Dewa dan Raja
patik Anglingdarma. Hamba mencari tuan setengah mati.
4. Saya turuni jurang yang terjal dan saya daki gunung yang tinggi. Kuterobos segala hutan hanya untuk mencari paduka raja.
Dari desa ke desa kuamati satu persatu, tanpa takut sakit
dan maut yang mengancam.
5. Belum juga dapat hamba temui. Kini di kota Bojonegoro hamba tidak cepat mengenal gusti, karena lamanya hamba dalam
peijalanan sepeninggal paduka dari Malawapati.
6. Maxa hamba mohon ampun dan menyerahkan pati dan hidup
hamba. Terserahlah kepada kehendak Paduka, karena Patik
telah memberanikan diri beradu kesaktian dengan paduka.
7. Hamba akan merasa bahagia pabila paduka berkenan menusukkan keris paduka ke tubuh patik." Mendengar ratap Ki Patih
Maharaja Anglingdarma timbullah rasa kasihan, hilanglah murkanya.
200
PNRI
8. Tiada lagi merasa diri bertanding kesaktian dan api pun kembali pulang ke Kahyangan Suralaya. Sang Raja Anglingdarma
turun dan. berdiri di bawah pohon angsana. Madrim melihatnya.
9. Tergopoh-gopoh ia lari mendapatkan Baginda. Tiba di depannya segera ia mencium kaki Raja sambil menangis seperti
perempuan, "Hamba sedikit pun tidak mimpi, bahwa Paduka
Raja yang menjelma pencuri ulung.
10. Sebab dalam hati hamba harapkan sekiranya hamba menang
perang akan menghaturkan puteri Bojonegoro kepada Paduka,
sebagai pelipur duka asmara." Maka bersabdalah Baginda.
11. "Diamlah kamu jangan menangis, sambil dipeluknya Ki Madrim. Sekarang kau kembali duduk yang baik dan ceritakan
sebab-musababnya kautinggalkan negara. Adakah musuh yang
menyerang?"
12. Hamba susul Paduka Gusti, sembah Ki Madrim, atas permohonan semua mantri dan punggawa. Selama hamba diperintahkan untuk menjaga negara. Banyak terjadi serangan penyakit.
13. Berpuluh-puluh orang telah menemui ajalnya, akibat datangnya musibah penyakit. Sakit pagi hari sorenya meninggal dunia, demikian sebaliknya. Banyak sawah-sawah yang kosong,
desanya sunyi."
14. Sembah Patih Madrim menyayat perasaan hati Baginda. Bersabda Sang Baginda, "Rusaknya kehidupan rakyat Malawapati
karena aku dikutuk oleh Dewa." Menyembah Ki Patih,
15. "Janganlah Paduka memikirkan rusaknya negara Malawapati
dewasa ini. Masih ada waktu untuk itu. Kini sebaiknya Paduka
menyerah kepada Raja Bojonegoro.
16. Sebagai jalan untuk minta Sang Puteri sebagai isteri. Sekiranya
Sang Raja menolak patiklah yang akan menggempur negara ini,
201
PNRI
205
PNRI
PNRI
Serat
ANGLINGDARMA
PNRI
PNRI
1. ASMARADANA
209
PNRI
5. Negarinira Narpati,
in gar an Malawapatya,
pasir mawukir prajane,
angungkuraken aldaka,
ngajengaken muwara,
tulus kang sarwa tinandur,
eca manahing kawula.
6. Negari Malawapati,
kalangkung gemah raharja,
kacarita punggawane,
dhomas cacahing nagara,
sami prawireng yuda,
manggala para gul-agul,
tate angelar jajahan.
7. Bisikanira Narpati,
Maharaja Anglingdarma,
tan kuciwa ing baguse,
dibya sekti mandraguna,
prawira kinawasa,
rama-ibu raja-ratu,
pan aeyang binagavvan.
8. Kadang sinangarya sami,
ratu wijiling atapa,
terahing andana-wareh,
rembesing madu kusuma,
Maharaja Nglingdarma,
warnane anom abagus,
kadya Bathara Marmata.
9. Pepatihira narpati,
santana anaking sanak,
Bathik Madrim kekasihe,
dibya sekti mandraguna,
prawira ngadilaga,
milanira sang aprabu,
abala samining raja.
210
PNRI
217
PNRI
2. SINOM
219
PNRI
3.
DHANDHANGGULA
231
PNRI
4. DURMA
235
PNRI
238
PNRI
5. MIJIL
243
PNRI
6. ASMARADANA
PNRI
250
PNRI
7. MIJIL
257
PNRI
8. SINOM
7.
9.
DHANDANGGULA
paran kersanipun,
gegeiing ing Suralaya,
gara-gara akathah ingkang dhatengi,
lesus gang pancawara.
15. Endhut blegdaba umob ngajrihi,
tuwin kawah pun Candradimuka,
sanget kumrangsang umobe,
bayu bajra sru nempuh,
wreksa ageng kathah rug dening,
barat suh pugel sempal,
kayu dewadaru,
katempuh epangnya sempal,
reh prakempa Suralaya lir ginonjing,
dewa keh kang gegeran.
16. Widadara lawan widadari,
sami ngili anggendhong kelasa,
yayi Endra paran rehe,
Sang Surapati muwus,
yen sembada lawan sireki,
nedha marang kamuksan,
matur ing Hyang Guru,
sigra kalih sareng mentar,
mring kamuksan Sang Hyang Guru wus kapanggih,
alon denya ngandika.
17. Sira padha baya ana kardi,
dene lumebu tanpa larapan,
Resi Narada ature,
pukulun ari Guru,
katiwasan atur upeksi,
seke kadewatan,
tan uninga ulun,
punapa kang dadya purwa,
Suralaya ing mangke kadi ginonjing,
pun Kakang jarwanana.
18. Sang Hyang Guru angandika aris,
kakang Nerada lamun tan wikan,
268
PNRI
273
PNRI
281
PNRI
11. KINANTKI
285
PNRI
12. PANGKUR
290
PNRI
13. SINOM
298
PNRI
14. KINANTHI
306
PNRI
314
PNRI
16. D U R M A
316
PNRI
17. M A S K U M A M B A N G
321
PNRI
18.DHANDHANGGULA
padagange agung,
dadi pangungsene kathah,
jalu-estri Ki Demang mardaweng budi,
magersarine kathah.
41. Agung dene lir toya amili,
mila wuwuh-wuwuhing kawiryan,
wus dadi bandar pasare,
saya keh ingkang kerut,
wong awisma wus notog rawi,
yata Sang malih warna,
semana pinangku,
tan pegat sinuba krama,
paturone kanthil kancana kinardi,
ingangkah putranira.
42. Sang malih warna amuwus aris,
manira paman arsa kesah,
sangking Wanasari mangke,
Kyai Demang sumaur,
sampun kesah-kesah Mas Gusti,
balik amemundhuta,
kang sarya di luhung,
punapa kinarsakena,
lamun ana kasisipane wak mami,
gusti aksamanira.
43. Lamun angger arsa mawi krami,
kumacelu solahing manungsa,
pun bapa kang ngrabekake,
prawan kang ayu-ayu,
nadyan lima ingsun sanggupi,
sumangga karsanira,
gumujeng sumaur,
wau kang amalih warna,
paman uwis katedha sihira maring,
kula tan arsa krama.
44. Benjing kula arsa krama bilih,
antuk putri ing Bojanegara,
333
PNRI
Srengganawati wastane,
nanging ta raganingsun,
lir ngrempelu tan mawang dhiri,
mokal yen kelakona,
dene ingsun manuk,
nanging sun tedha ing dewa,
lamun ingsun tan bisa arabi putri,
paman angur matiya.
45. Alon tumurun Sang malih warni,
adhedhe wonten ing penataran,
wonten Kapodhang areren,
mencok pratistheng kayu,
pan sesomah kang estri muni,
atanya mring kang priya,
yen jawane muwus,
heh kakang karane ngapa,
yen sun mulat ing natar ngisor kumuning,
sumingeppana ingwang.
46. Lawan senene singer asari,
sangandhape kang kajeng aletan,
heh kakang apa wadine,
Kapodhang lanang muwus,
wruhira ing kono yayi,
ana pendheman emas,
sangisoring kayu,
kehe iku rong tabela,
yata mesem mau Sang malih warni,
myarsa ujare podhang.
47. Tan samar sang malih warna putih,
mring jawane Kapodhang pocapan,
agya miber marang bale,
Ki Demang sinung weruh,
paman age dika mariki,
Kyai Demang gya medal,
lan Ki Jaka Gedhug,
Ki Emas wonten punapa,
animbali Maliwis putih nauri,
andika mendhet suwan.
334
PNRI
336
PNRI
19. ASMARADANA
20. D U R M A
21. DHANDANGGULA
1. Prapteng praja wau kang lumaris,
sami jumujug ing kapatihan,
kandheg ing paregolane,
Ki Patih lagya lungguh,
lawan garwa imbalan angling,
kasaru kang parekan,
alit nembah matur,
kawula tur uninga,
pun Pratinggi Bramana wonten ing jawi,
amawi pepabenan.
2. Mila sowan arsa nyuwun adil,
ngling Apatya sira timbalana,
mring ngarsaningsun ing kene,
gya tinimbalan malbu,
prapteng ngabyantara Ki Patih,
Bramana kalihira,
alinggih tumungkul,
Kyapatih datanpa ngucap,
aningali dhateng Bramana kekalih,
dene kembar kang warna.
3. Dinangu solah katur ing nguni,
purwa madya prapta ing wasana,
Apatih ngungun ing tyase,
ngagnya nimbali gupuh,
pra Nayaka pradata prapti,
myang sakathahing Jeksa,
pepak aneng ngayun,
miwah kang para nayaka,
tinimbalan ing ngarsa Anindyamantri,
Purwanagara nabda.
349
PNRI
Arya Jurudemung,
tedhak Sang Srinaranata,
sing menguntur dhumateng bangsal pangrawit,
Sang Nata magelaran.
8. Horeg wadya sagung kang anangkil,
tilar lampit epok lan kendhaga,
wus samya siningkirake,
pinarak Sang Aprabu,
ing dhedhampar denta rinukmi,
pinatik ing sesotya,
alelemek babud,
den ayap para biyada,
manggung ketanggung ngampil upacara Sri,
ngarsa para nayaka.
9. Pra sama andher bukuh alinggih,
muka kadya konjem ing pratala,
wangwang patih Ion sembahe,
umatur ing Sang Prabu,
patik Aji anuwun runtik,
kawula tur upiksa,
dhumateng pukulun,
wonten abdi Jeng Paduka,
Patinggi ing Randhulawang akekasih,
pun Bramana wong sabrang.
10. Somahipun wasta pun Bramani,
ingaken dening tetiyang liyan,
nanging akembar warnane,
tan salisir sarambut,
datan wonten saged mancasi,
pra nayaka pradata,
sadaya anuhun,
deduka tadhah mastaka,
sumangga ing karsa Paduka Narpati,
sangking bodho kawula.
351
PNRI
sareng kalihipun,
yen kawula turutana,
lamun dalu ting kathuwil ting kalesik,
angajak wewingkingan.
357
PNRI
22. P A N G K U R
23. K I N A N T H I
371
PNRI
24. M I J I L
umiber tumuli,
Sang Dyah keri muwun.
17. Ingsun duga kadi nora sisip,
yen atmajaningong,
ingkang saba marang udyanane,
angulata den kongsi mati,
mangsa tuka mliwis,
kang bisa amuwus.
18. Mung putranira aneh pribadi,
mangsanaa roro,
pelak warnane anyugihake,
Nyai Patih waspanira mijil,
anggaijiteng ati,
tan wande sutengsun.
19. Pinundhuta ing Srinarapati,
paran Polahingong,
Kyai Patih Ion pangandikane,
pageneya sira nyai nangis,
pupusen ing ati,
karsane Dewa gung.
20. Nadyan patinira lawan mami,
pinundhut ing Katong,
yekti sami sinumanggakake,
ratu sesilihing batharadi,
ila-ila prapti,
wong lengganeng Ratu.
21. Lah keriya babo aja nangis,
lunga dhewe ingong,
amarani atmajanta mrene,
mentar Kyapatih Jeksanegari,
marang Wanasari,
kuneng kang winuwus.
22. Jaka Gedhug lan Sang malih warni,
375
PNRI
alungguh karongron,
Jaka Gedhug alon ing ature,
dika wingi kakangmas mring pundi,
adangu tan prapti,
meh anangis ulun.
23. Risang malih warna anauri,
aleledhang ingong,
marang taman kepranggul kang duwe,
Sang Putri arsa siram mring beji,
tuhu yu linuwih,
putrine Sang Prabu.
24. Bener tuturmu tan ana sisip,
warnane Sang Sinom,
raga kerana sedheng dedege,
nora larang yen tohana pati,
cacade sawiji,
asugih pepisuh.
25. Ingsun wingi den beburu yayi,
dening para sinom,
binutuhaken marang wong akeh,
malebu ing tirta den langeni,
meh kabutuh mami,
miber banjur mantuk.
26. Jaka Gedhug gegetun ing ati,
awecana alon,
adhuh kakang dene katujone,
datan kena marase kang ati,
yen den piranteni,
yen kena ing pulut.
27. Kaya paran solahingsun keri,
eca gun em raos,
kesaru Kyana Patih praptane,
aneng latar sigra melayoni,
376
PNRI
378
PNRI
25. DHANDHANGGULA
1. Sang malih warna umatur aris,
kawula ingkang karya dosa,
lah aturna prayogane,
suka-lila wakingsun,
pinejahan dening Narpati,
Ki Gedhug asru mojar,
paran polahingsun,
kakang pisah lawan dika,
nedha minggat sangking tanah Bojanagri,
Ki Apatih karuna.
2. Tan winarna solahing prihatin,
Kyana Patih wus maluyeng praja,
ambekta Maliwis puteh,
tan kawarna ing ngenu,
prapteng wismanira apanggih,
lan rabi nyai Patya,
lara-lara muwus,
rinangkul Sang malih warna,
adhuh amung sira tuntunge tyas mami,
kadi geningsun yoga.
3. Kaya paran solah ingsun gusti,
yen estuwa pisah lawan sira,
Sang malih warna delinge,
nyai sampun amuwun,
wus kersaning bethara luwih,
kinarya lelampahan,
mangke raganingsun,
kendel denira karuna,
atmajane pinangku Sang malih warni,
tansah kinuswa-kuswa.
379
PNRI
kalangkung trisnaningwang,
ngandika sang Prabu,
mring Patih sira muliha,
den pracaya cakarwa aneng jro puri,
kang liningan manembah.
15. Wangwang mijil Rekyana Apatih,
sangking pura lawan rabinira,
samarga adres waspane,
angandika Sang Prabu,
heh Sebetan timbalana glis,
sutengsun nimas rara,
kang kinon agupuh,
manembah asigra-sigra,
kawarnaa Sang Putri tan kena lilih,
brangtanireng cakarwa.
16. Wus alami tajin dhahar guling,
amung Sang Maliwis kang kadriya,
kapirangu sasolahe,
sira Sang dewaning rum,
lagya lenggah ing made-rukmi,
ingayap de pawongan,
andher aneng ngayun,
tan adoh pra emban inya
lagi eca imbal wacana Sang Putri,
kesaru duta prapta.
17. Ken Sebetan manembah turnya ris,
gusti Paduka ngandikan enggal,
de rama Paduka Rajeng.
agepah kusumayu,
mentar arsa marek ing Aji,
ingiring de pra kenya,
upacara ngayun,
lir pendah Dewi Supraba,
arsa marek ing ngarseng Ywang Surapati,
praptaning byantarendra.
383
PNRI
Dewaji anuwun,
kawula atadhah duka,
datan saged angabdi priyagung estri,
Sang Nata angandika.
22. Ya pagene sira ta Maliwis,
nora gelem marang putraningwang,
Sang Malih warna ature,
mila anuwun bendu,
watekipun priyagung estri,
kirang ing pangaksama,
asugih pepisuh,
kamuktene tan pintena,
boten wande kawula minggat sing puri,
temah dados deduka.
23. Mesem ngandika Sang Raja Putri,
ngadi-adi temen sira si Cakarwa,
karuwan apa yen sugeh,
pepisuh awakingsun,
nuli sira nenacad dhingin,
matur Sang malih warna,
lawan malihipun,
ulun jrih dhateng pun inya,
kalanira neng taman angincih sami,
dhateng badan kawula.
24. Sang dyah ayu angandika sarwi,
ngelus-elus Sang malih warna,
sira kekasih ngong dhewe,
aja kakehan padu,
temah pegel rasaning ati,
sakelare wong dama,
sira ingsun ugung,
aja sira minggat-minggat,
lamun sira lunga ngong keri anangis,
tan ana kanthiningwang.
385
PNRI
26. K I N A N T H I
393
PNRI
27. S I N O M
400
PNRI
28. MIJIL
407
PNRI
29. DHANDHANGGULA
korengkuh apanira.
4. Nambut patrem saksana tinarik,
ingagagaken maring Cakarwa,
sarya sru pangandikane,
dhuh sun sudhet wadhukmu,
lah metuwa sira den aglis,
aja sandhing lan ingwang,
ing jogan anggonmu,
Sang malih warna tumedhak,
maring jogan akekipu asalisik,
wuwuse melas-arsa.
5. Gustiningsun baya marang ngendi,
Anglingdarma Raja ing Melawa,
binektaa kawulane,
katuwane wakingsun,
laraning wong asalin gusti,
ngawula ing wanodya,
kerenge kelangkung,
nora duwe pangapura,
emeh bae sun mati sinunduk keris,
patrem braja sutiksna.
6. Lara temen rasane kang ati,
katuwone wong salin bendara,
kaya mengkene dadine,
ing nguni raganingsun,
nora nedya ngawuleng putri,
ana ing Wanasekar,
eca adhedhukuh,
Sang Nateng Bojanegara,
kaniaya ingsun pinundhut mring puri,
wekasan pinaroga.
7. Gegebale sanget kawlas-asih,
dhuh dhuh Gusti Raja Anglingdarma,
baya mring ngendi parane,
andikane rumuhun,
409
PNRI
geregah awungu,
lamun kawula ginugah,
kaged lajeng agring malah arsa mati,
sanget apes kawula.
15. Duk kawula aneng Mlawapati,
lamun lekas nendra kinebutan,
dene pra garwa-garwane,
sang putri ngandika rum,
ingsun dhewe kang angebuti,
nanging panjalukingwang,
aja sok amutung,
kukus gunung kinapakna,
kendhal jeram kadereng-dereng wak mami,
kuduasih mring sira.
16. Sang Cakarwa api-api guling,
kongsi kulandaragni tumambang,
Sang Putri kewran ing tyase,
denira arsa mungu,
miwah sampun kandhuhan brangti,
marang Sri Anglingdarma,
kasmaran ing kalbu,
sangking pawarta kewala,
dadya muhung bumi nateng Mlawapati,
kang tumunjem ing nala.
17. Sang Juwita amicareng ati,
kaya paran goningsun anggugah,
Ki Maliwis lagi sare,
sun oyog yen anjumbul,
yekti temah apurik malih,
arsa sun kelonana,
adate ambesur,
arsa sundeng kewala,
bok karangkat runtuh atine melasi,
ingsun ingkang kelangan.
412
PNRI
415
PNRI
30. KINANTHI
423
PNRI
31.MI J I L
32. DURMA
33. PANGKUR
441
PNRI
34. DHANDANGGULA
448
PNRI
35. DURMA
453
PNRI
36. ASMARADANA
37. PANGKUR
38. KINANTHI
1. Atas pamiyarsanipun.
Kyai Patih Bathik Madrim,
tan samar ing ciptanira,
kang sesumbar neng wiyati,
Maharaja Anglingdarma,
Ratu ing Melawapati.
2. Angartika jroning kalbu,
nadyan pisahanem warsi,
manira mangsa samara,
ing swarane gusti mami,
kelangkung asrep ing driya,
angraos kelamun urip.
3. Bathik Madrim asru muwus,
tumengeng wiyat anangis,
manembah marang Ambara,
Dewa Susuhunan mami,
Maharaja Anglingdarma,
sun ulari anderpati.
4. Tumurun ing jurang teijung,
sumengkeng anggraning wukir,
manusup ing wana-wasa,
paduka ulun ulati,
milangkori jajah desa,
tan etang ing lara-pati.
5. Datan kepanggih Sang Prabu,
mangkya neng Bojanegari,
kawulane kesamaran,
463
PNRI
apa ta HyangKamajaya,
linggar sangking Suranadi.
28. Layak asiha Sang Ayu,
saestu pekik linuwih,
emut kelamun dinuta,
Ki Patih matur wotsari,
pukulun lampah kawula,
ingutus ramanta aji.
29. Nimbali paduka prabu,
dhumateng jro Kenyapuri,
ramanta srinaradipa,
yun-yunen arsa apanggih,
dangu ngantyeng palenggahan,
Sri Anglingdarma nabda ris.
30. Sandika wangwang lumaku,
kerid ing Patih kekalih,
ginarebeg ing punggawa,
Raja Darmawasesa glis,
tedhak sangking padmasana,
cundhuk aris ngacarani.
31. Dyang kinanthi astanipun,
noraga Sang tarunadi,
sampun atata pinarak,
munggeng amparan rinukmi,
Prameswari Nata prapta,
anganthi Sang Raja-putri.
32. Kakenan tyasira Prabu,
mulat ing citra linuwih,
amindha Sang Hyang Asmara,
pangan dikanira aris,
dhuh angger prapta andika,
ing praja Bojanegari,
468
PNRI
471
PNRI
PNRI