You are on page 1of 28

MODEL STRATEGI PENGAWASAN INTERNAL PEMERINTAH DALAM

MEWUJUDKAN TATA KELOLA PEMERINTAH YANG BAIK


(GOOD
GOVERNANCE)

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Tema sentral dari rancangan proposal disertasi ini alah Pengawasan Internal
Pemerintah (PIP) dalam mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik (good governance).
Pelaksanaan pengawasan internal pemerintah prakteknya menunjukan dinamika dengan
mengalami evolusi yang mengikuti evolusi internal auditor (IA) sektor private yakni yang
semula lebih pada pengujian administratif berupa pengecekan transaksi, pengujian sebelum
pembayaran, menghitung aset dan lain-lain telah begeser pada level yang lebih tinggi yakni
akuntabilitas penggunaan dana publik dan efisiensi pelayanan publik 1.i Lebih lanjut aktivitas
ini telah mendorong (enhance) terwujudnya governance antara lain dalam meningkatkan
transparansi, fairness, mencegah/meminimalisir korupsi hingga meyakinkan efisiensi dan
efektivitas uang publik. Effektivitas fungsi Pengawasan Internal Pemerintah menjadi sangat
penting dalam rangka membangun Good Governance (GG), hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Lapointe (2007) bahwa An effective of audit function is a basic
requirement of sound governance and strong accountability 2. Lebih lanjut dikemukakan pula
peran fungsi audit dalam sektor publik adalah oversight, insight dan foresight. Oversight
dalam rangka mengevaluasi kinerja, insight adalah dalam rangka mengevaluasi program dan

Internal Audit in the public sector: the quiet revolution, February 2011, p. 41,
www.deloitte.com/assets/Dcom-Lebanon (akses 270813;07:35)
2
La Pointe, Jacques, The Role of Auditing in Public Sector Governance, IIAs International
Conference in Amsterdam, July 2007

kegiatan dan memberikan usulan penyempurnaannya, serta foresight dalam rangka


memprediksi risiko dan peluang yang akan terjadi.
Pengawasan Internal Pemerintah (PIP) sebagai

organisasi yang

diimplementasikan melaului Internal Auditor (IA) yang sering disebut sebagai mata dan
telinga pimpinan tertinggi dalam mewujudkan tujuan organisasi, telah megalami berbagai
evolusi dalam perannya dari repressif watchdog yang lebih menekankan pada ketaatan
hingga lebih menekankan pada yang preventive (consultant dan catalyst), dengan perannya
sebagai consultant dan catalyst. Peran watchdog, merupakan fungsi pengawasan untuk
meyakinkan bahwa tidak ada kesalahan dan penyimpangan terjadi atas pelaksanaan program
dan kegiatan sangat penting dalam tahap penegakan kebijakan (compliance). Peran
consultant, melengkapi peran sebelumnya, yaitu mengevaluasi dan memberikan masukan
kecukupan dan keandalan pengendalian.

Sedangkan peran catalyst merupakan peran

Internal Auditor untuk meyakinkan bahwa program dan kegiatan secara berkelanjutan
memperlihatkan perbaikan kinerja (performance) yang seyogyanya mampu membawa
mencapai nilai, tujuan dan sasaran utama melalui proses quality assurance.
Internal Auditor

telah dikenal sebagai contributor yang penting (valuable) atas

implementasi governance pada organisasi yang tidak hanya pada level operasional namun
juga level stratejik melalui peran assurance, kepatuhan hingga mencegah dan mendeteksi
adanya fraud serta peran sebagai consultantii. Kehadiran IA menjadi suatu hal yang esensial
bagi organisasi dalam memberikan pelayanan yang independen, untuk menambah nilai dan
meningkatkan operasional organisasi serta mendorong tercapainya tujuan melalui evaluasi
efektivitas manajemen risiko, pengendalian dan proses tata kelola. Hal ini sebagaimana
didefinisikan oleh The Institute of Internal Auditor (IIA) sebagai berikut:

Internal auditingiii is an independent, objective assurance and consulting activity


designed to add value and improve an organizations operations. It helps and
organization accomplished its objectives by bringing a systematic, disciplined
approach to evaluate and improve the effectiveness of risk management, control and
governance process
Demikian pula halnya dengan Internal Auditor Pemerintah yang dikenal di Indonesia
dengan sebutan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) telah mengalami evolusi
yang mengikuti evolusi IA sektor private yakni yang semula lebih pada pengujian
administratif berupa pengecekan transaksi, pengujian sebelum pembayaran, menghitung
assets dan lain-lain telah begeser pada level yang lebih tinggi yakni akuntabilitas penggunaan
dana publik dan efisiensi pelayanan publik.iv Lebih lanjut dikemukakan bahwa Internal
auditor mendorong (enhance) terwujudnya governance antara lain dalam meningkatkan
transparansi, fairness, mencegah/meminimalisir korupsi hingga meyakinkan efisiensi dan
efektivitas uang publik. Efektivitas fungsi internal audit menjadi sangat penting oleh karena
merupakan dalam rangka membangun good governance, sebagaimana dikemukakan oleh
Lapointe (2007) bahwa An effective of audit function is a basic requirement of sound
governance and strong accountabilityv . Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa peran fungsi
audit dalam sektor publik adalah oversight, insight dan foresight. Oversight dalam rangka
mengevaluasi kinerja, insight adalah dalam rangka mengevaluasi program dan kegiatan dan
memberikan usulan penyempurnaannya, serta foresight dalam rangka memprediksi risiko dan
peluang yang akan terjadi. Ekspektasi peran APIP lebih effektif dalam suatu organisasi
pemerintahan antara lain tertuang dalam berbagai regulasi baik dalam UU maupun Peraturan
Pemerintah yang mengemukakan antara lain:
1) Penempatan APIP pada struktur organisasi yang bertanggung jawab langsung pimpinan
tertinggi, agar independen dan objektif

2) Peran APIP yakni melakukan pengawasan internal atas Kinerja dan Keuangan, melalui
audit, evaluasi, pemantauan, evaluasi dan lainnya,
3) PP 60/2008 yang menggambarkan APIP sebagai unsur terpenting dalam pengendalian
intern.Lebih lanjut dikemukakan persyaratan APIP yang effektif yang dapat dikatakan
menyerupai definisi universal pada umumnya yakni menilai efektivitas 3 pillar yakni
governance, control and Risk Management melalui consultancy and assurance services vi.
Keberadaan APIP diharapkan akan menambah value organisasi serta secara agregasi
mendorong terciptanya good government governance danclean governmentsertapublic
services yang baik.
4) Berdasarkan PP 81/2010, Pemerintah telah menetapkan APIP adalah sebagai salah satu
variabel dari 8 (delapan) variabel yang perlu dilakukan reformasi Birokrasi.
5) Pemerintah sedang memproses RUU SPIP (Sistem Pengawasan Internal Pemerintah).
6). Presiden mengemukakan pentingnya APIP untuk mengawasi penerimaan dan belanja
Negara yang telah mencapai Rp. 1.817 Trilyun, agar efisien, efektif dan akuntabel (Nota
Keuangan 2013)
Pada sisi yang lain prakteknya kondisi tata kelola Pemerintahan Indonesia saat ini
belum menunjukkan suatu keadaan yang makin baik, hal ini dapat dilihat antara lain dari sisi
akuntabilitas keuangan, pelayanan publik,

permasalahan korupsi dan lain-lain

yang

kesemuanya memerlukan pengawasan agar kinerja pembangunan negara dapat mencapai


tujuan. Berikut ini dapat dilihat beberapa data menunjukkan sebagai berikut:
1) Persoalan Korupsi
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2012 adalah 3.0 dari skala 1-10 (angka 10
adalah bebas korupsi), yang dapat diartikan termasuk negara yang korup. Dampak dari
korupsi yang belum tertangani serta Birokrasi yang tidak efisien adalah daya saing
nasional yang semakin menurun. Menurut World Competitive Index (WCI) viioleh World
Economic Forum (WEF) Indonesia berada pada peringkat 50 dari 144 negara. Pejabat

tinggi setingkat Menteri, hingga kepala Daerah Gubernur, Bupati dan Walikota turut
tersangkut kasus korupsi. Dalam kurun waktu 2004-2012 (D Andhi, Nirwanto, 2013),
173 Kepala daerah atau 33 % kepala daerah tersangkut kasus korupsi dan 70 % telah
diputus bersalah. Bahkan sejak otonomi khususdiberlakukan, dana yang digulirkan
sebesar Rp 33 Trilyun untuk Papua dan Rp. 7,5 Trilyun untuk Papua Barat namun belum
mampu untuk menyejahterakan masyarakat Papua yang ternyata 37,5 % masih tergolong
miskin. Terlebih indikasi penyimpangan yang berkaitan dengan keuangan Negara yang
ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebesar Rp. 4,28 Trilyun untuk periode 2002
sd 2010.

2) Pelayanan Publik belum membaik terlihat dari Survey Integritas Nasional yang dilakukan
KPK pada tahun 2012, masih dalam kisaran angka index 6,86 untuk Pusat serta 6,32
untuk pemerintah Daerah, sedangkan target 2014 adalah 8. Hal ini terlihat pula dari
kasus-kasus perijinan, sebagai misal Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang lebih dari 41 %
mengalami pertambangan dan lebih dari 4000 pemegang ijin belum memiliki NPWP dan
lain-lain.
3) Kualitas akuntabilitas Laporanviii Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)masih belum
membaik, terlihat pada baru LKPD atau

23 % dari 524 LKPD

yang mendapat

pernyataan pendapat akuntan yang Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK. Demikian pula
Kualitas akuntabilitas kinerja masih dikatakan belum cukup baik, yakni untuk tahun 2013
dari 451 kabupaten dan kota yang dievaluasi, baru 153 pemkab/kot atau 33,92 % yang
akuntabel dengan nilai rata-rata keseluruhan 43,78ix.

PREDIKAT
AA

2013

2012
--

--

A
B
CC
C
D
Jumlah dievaluasi
% akuntabel
Nilai rata-rata

4)

-4
149
244
54
451
33,92 %
43,78

-2
102
254
77
435
23,91 %
40,54

Kemudahan berusaha di Indonesia juga terlihat masih memerlukan waktu yang lama
dibandingkan dengan negara-negara lain yakni untuk tahun 2012 sebesar 130 hari
sedangkan target 2014 adalah 75 hari, yang pada akhirnya akan mengurangi minat
investasi asing.
Rangkaian korelasi dari Kebijakan Pengawasan Internal Pemerintah yang effektif

Sebagai Bentuk Tata Kelola Pemerintah yang baik (Good Governance) sudah seharusnya
secara umum akan memberikan kontribusi penting pada organisasi pemerintah.

Secara

agregasi hal tersebut seharusnya juga merupakann cerminan dari pelaksanaan agenda
nasional berkenaan dengan reformasi birokrasi untuk meujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik dan bersih (Good Governance). Akan tetapi berdasarkan data dari kondisi
Indikator kinerja sebagaimana telah dikemukakan, memperlihatkan kondisi yang kontra
produktif atau gap berkenaan dengan effektifitas APIP dalam memberikan kontribusi nilai
terutama pada organisasi pemerintahan. APIP seharusnya sangat berperan dalam mendukung
efektivitas manajemen risiko (effectiveness of risk management), pengendalian (control) dan
governance proces yang pada akhirnya akan menciptakan akuntabilitas, transparansi,
efektifitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan bernegara.
Untuk mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik (good governance) maka
diperlukan model strategi Pengawasan Internal Pemerintah (PIP). Model strategi sendiri
merupakan rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau

konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Penomena ini menurut
peneliti hal ini sangat menarik dan perlu untuk dikaji, sehingga

pada kesempatan ini

Peneliti menyampaikan usulan penelitian dengan judul:


MODEL STRATEGI
PENGAWASAN INTERNAL PEMERINTAH DALAM
MEWUJUDKAN TATA KELOLA PEMERINTAH YANG BAIK (GOOD
GOVERNANCE)

1.2. Identifikasi Dan Perumusan Masalah


Sebelum diajukan
(problem question),

identifikasi masalah penelitian berupa pertanyaan masalah

terlebih dahulu akan dikemukakan pernyataan masalah (problem

statement) dengan asumsi bahwa tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih,
memerlukan pengawasan internal pemerintah yang handal dan effektif, yang secara terus
menerus mengawal efektivitas pengendalian, manajemen risiko dan tatakelola organisasi
birokrasi. Sehingga yang menjadi problem statement adalah bahwa: Model Strategi
Pengawasan Internal Pemerintah (PIP) yang effektif dalam mewujudkan tata kelola
pemerintah yang baik (Good Governance)

kurang

memenuhi harapan.

Dalam

kerangka ini beberapa problem yang mengemuka antara lain dilihat dari: Pengawasan
internal pemerintah kurang memberikan kontribusi nilai pada organisasi, sistem
pengawasan internal pemerintah masih bersifat parsial, belum holistik dan belum
sinergis; Belum adanya rumusan model strategi pengawasan internal pemerintah yang
efektif yang dapat mendorong pemerintahan yang baik dan bersih. Hal ini juga tercermin
dari gap antara apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi seperti tingkat korupsi yang
tinggi, pelayanan publik yang rendah, kualitas akuntabilitas Laporanx Keuangan terutama
di Pemerintah Daerah (LKPD) masih belum membaik, kemudahan berusaha juga terlihat
masih masih perlu semakin ditingkatkan.

Bila keadaan ini tidak segera diupayakan jalan keluarnya dikhawatirkan akan
menimbulkan berbagai masalah kenegaraan terutama dari aspek sosial ekonomi.

2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Merancang model strategi pengawasan internal
pemerintah berdasarkan prinsip-prinsip manajemen strategi dalam mewujudkan tata
pemerintahan yang baik (good governance),
(2) Merancang sistem manajemen
pengawasan internal pemerintah berdasarkan evaluasi kinerja suatu lembaga pemerintah
yang berbasis pada sumberdaya aparatur dan stakeholder lainnya.

3. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk keperluan membangun model strategi pengawasan


internal pemerintah dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) di
Indonesia, khususnya pada peran tugas pokok dan fungsi institusi pengawasan
internal pemerintah. Verifikasi dan validasi terhadap strategi pengawasan internal
pemerintah sebagai model evaluasi kinerja ya n g a k an dilakukan pada unit kerja lembaga
pengawasan internal pemerintah di pusat dan di daerah.

Model strategi pengawasan internal pemerintah dalam mewujudkan tata


pemerintahan yang baik (good governance) dibangun
dengan
menggunakan
pendekatan sistem manajemen
strategi yang terdiri atas tiga tahap:
Tahap pertama adalah studi
pendahuluan
yang
bertujuan
untuk
mengidentifikasi indikator kinerja yang dianggap Penting
dari suatu strategi
pengawasan internal pemerintah dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good
governance).
Tahap kedua adalah penggunaan strategi berbasis sumberdaya aparatur dan
pengetahuan
yang
bermanfaat
dalam
mentransformasikan
data
mengenai karakteristik
teknis
standar
dan
indikator
kinerja kunci dengan
menggunakan teknik Ordered Weighted Averaging (OWA) Operators. Pada tahap
ini
juga
dilakukan penentuan bobot kepentingan indikator kinerja kunci yang
didasarkan pada teknik Proses Hirarki Analitik yang bersifat fuzzy (Fuzzy
Analytical Hierarchy Process) untuk memperoleh informasi tentang indikator yang
harus diperbaiki, tingkat hubungan indikator kinerja kunci dan karakteristik teknis.
Tingkat kepentingan perbaikan indikator kinerja kunci dan alternatif rekomendasi
perbaikan kinerja diolah dengan teknik OWA Operators.
Tahap ketiga adalah perancangan model strategi pengawasan internal pemerintah
dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Model pengukuran

kinerja menggunakan teknik Pengukuran yang Berimbang (Balanced Scorecard).


selain itu dilakukan penetapan target level kinerja dengan menggunakan metode
benchmarking dan teknik Fuzzy Analytical Hierarchy Process. Model perbaikan
terhadap indikator kinerja pengawasan internal pemerintah dalam mewujudkan tata
pemerintahan yang baik (good governance) dilakukan dengan menggunakan
teknik Penyebaran Fungsi Kualitas (Quality Function Deployment - QFD).
Penggunaan
strategi berbasis risiko dilakukan melalui perancangan model
pemeringkatan (rating) lembaga pengawasan internal pemerintah dalam mewujudkan tata
pemerintahan yang baik (good governance) dan deteksi dini level kinerja aparatur
pengawasan internal pemerintah. Model pemeringkatan menggunakan teknik
Perbandingan Indeks Kinerja (Comparative
Performance Index CPI) untuk mengetahui kondisi kinerja aparatur pengawasan internal
pemerintah saat ini dan mengelola (mengatasi) masalah yang telah terjadi. Model
deteksi dini dilakukan melalui penentuan level kinerja lembaga aparatur pengawasan
internal pemerintah pada berbagai kondisi lingkungan eksternal yang dinamis dengan
menggunakan teknik Jaringan Syaraf Tiruan (JST). Deteksi dini ditujukan untuk
mengelola (mencegah) resiko yang belum terjadi.
Kedua pendekatan tersebut ditujukan untuk menghasilkan informasi
yang
akurat
tentang berbagai indikator kinerja lembaga pengawasan internal pemerintah
dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance)
dan sebagai input penentuan tingkat kinerja optimum. Implementasi model strategi
lembaga pengawasan internal pemerintah dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik
(good governance) dilakukan terhadap aparatur dan lembaga pengawasan internal
pemerintah untuk mengetahui apakah model dapat bekerja pada level unit
operasional.

4. Manfaaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat ilmiah bagi pengembangan


teori evaluasi kinerja pengawasan internal pemerintah di Indonesia melalui
deskripsi indikator dan integrasi teknik perbaikan kinerja yang mampu memberikan
evaluasi kinerja secara optimum. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan manfaat praktis bagi
pemerintah
dan
pemerintah
daerah
dalam penentuan strategi evaluasi kinerja aparatur pemerintah, serta sebagai dasar
pengambilan
kebijakan bagi pemerintah
dan
pemerintah
daerah
dalam upaya pengembangan model strategi pengawasan internal pemerintah dalam
mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) di Indonesia.

5. Landasan Konseptual

Model
strategi merupakan alat penting dalam rangka mencapai keunggulan.
Model
strategi juga merupakan suatu rencana yang disatukan, menyeluruh, dan terpadu,
untuk menjamin pencapaian tujuan organisasi (Wheelen dan Hunger, 1996; Jauch

dan Glueck, 1997; Blocher et al., 1999).


Keberhasilan organisasi mengelola kinerja
yang berbasis pada sumberdaya yang dimilikinya dapat dicapai apabila kombinasi
model
perencanaan strategi yang baik dengan pelaksanaan
model
strategi
yang
baik pula. Untuk itupengetahuan mengenai manajemen strategi yang berkaitan deng
an kinerja
aparatur
pemerintah
dan
pemerintah
daerah
dibutuhkan dalam rangka optimalisasi sumberdaya untuk mencapai kinerja
aparatur
pengawasan
internal
pemerintah
yang
efektif dalam lingkungan yang
berubah (Wheelen dan Hunger, 1996; Jauch dan
Glueck, 1997), karena lingkungan (eksternal) merupakan faktor kontekstual penting
yang mempunyai pengaruh terhadap kinerja aparatur (Hamel dan Prahalad, 1990;
Child, 1997). Untuk menjaga kesiapan pemerintah dalam menghadapi peruba
han
lingkungan eksternal yang bersifat makro, perlu dilakukan deteksi dini (peramalan)
terhadap level kinerja aparatur pengawasan internal pemerintah
pada berbagai kondisi lingkungan eksternal yang dinamis
dilakukan dengan menggunakan prinsip manajemen strategi berbasis resiko. Menurut
Gilad (2004), dengan melakukan deteksi dini maka lembaga akan dapat menjalankan
strateginya dengan resiko minimum. Dengan kata lain, kesesuaian antara lingkungan
organisasi dan strategi akan berpengaruh positif terhadap kinerja organisasi (Kelly,
1993).
Proses manajemen strategi meliputi empat elemen dasar, yaitu (1) pengamatan
lingkungan (eksternal dan internal), (2) perumusan strategi, (3) implementasi strategi,
(4) evaluasi dan pengendalian (Wheelen dan Hunger, 1996; Jauch dan Glueck, 1997).
Variabel lingkungan eksternal terdiri atas lingkungan sosial dan lingkungan tugas,
sedangkan variable lingkungan internal terdiri atas struktur, budaya dan sumberdaya
perusahaan. Kedua variabel tersebut memiliki hubungan dengan strategi perusahaan
dalam tujuan meningkatkan kinerjanya.
Variabel lingkungan eksternal terdiri atas variabel-variabel di luar organisasi
dan tidak secara khusus ada dalam pengendalian jangka pendek dari manajemen
puncak. Lingkungan internal terdiri atas variabel-variabel yang ada di dalam
organisasi tetapi biasanya tidak dalam pengendalian jangka pendek dari manajemen
puncak (Gupta dan Govindarajan, 1999; Wheelen dan Hunger, 1996; Jauch dan
Glueck, 1997).
Menurut Wheelen dan Hunger (1992), lingkungan eksternal terdiri atas dua
bagian, yaitu lingkungan sosial dan lingkungan kerja. Lingkungan sosial merupakan
kekuatan umum yang secara tidak langsung berhubungan dengan aktivitas-aktivitas
organisasi jangka pendek tetapi sering kali dapat mempengaruhi keputusan jangka
panjang, yaitu kekuatan ekonomi, kekuatan teknologi, kekuatan hukum-politik,
kekuatan sosio-kultural. Kekuatan hukum-politik dan sosio-kultural merupakan
kekuatan yang bersifat sensitif sehingga tidak termasuk dalam kapasitas pengkajian
penelitian ini. Lingkungan kerja meliputi elemen-elemen atau kelompok-kelompok yang
berpengaruh langsung kepada perusahaan dan pada gilirannya akan dipengaruhi oleh
perusahaan, yaitu pemerintah, komunitas lokal, pemasok, pesaing, pelanggan,
kreditur, tenaga kerja/serikat buruh, kelompok kepentingan khusus, dan asosiasi

perdagangan. Variabel-variabel dari lingkungan internal meliputi struktur, budaya,


dan sumberdaya organisasi.
Struktur adalah cara bagaimana perusahaan
diorganisasikan berkenaan dengan komunikasi, wewenang, dan arus kerja. Budaya
adalah pola keyakinan, pengharapan, dan nilai-nilai yang dibagikan oleh anggota
organisasi. Sumberdaya adalah aset yang merupakan bahan baku bagi produksi
barang dan jasa organisasi, meliputi keahlian, kemampuan, dan bakat manajerial.
Pada tahap perencanaan strategi akan dijabarkan strategi pilihan untuk
mewujudkan visi dan misi organisasi ke dalam sasaran-sasaran strategis, dengan
didasarkan pada hasil pengamatan terhadap lingkungan eksternal maupun internal,
karena perumusan strategi yang dimulai dengan analisis lingkungan
tidak dapa
t
dipisahkan dari proses perencanaan strategi perusahaan atau pada unit bisnis
(Wheelen dan Hunger, 1996; Jauch dan Glueck, 1997).
Penjaminan terhadap pencapaian kinerja yang baik membutuhkan suatu proses
evaluasi kinerja. Menurut Kaplan dan Norton (1996) evaluasi terhadap kinerja dapat
diawali dengan melakukan pengukuran kinerja yang didasarkan pada empat
perspektif, yaitu perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta
pertumbuhan dan pembelajaran. Tahap selanjutnya dari proses evaluasi kinerja adalah
tahap perbaikan (improvement). Menurut Cohen (1995) dan Dale (1995), untuk
memastikan bahwa kebutuhan dan keinginan stake holder dapat terpenuhi dalam
proses perbaikan kinerja, maka dibutuhkan prosesperbaikan yang berfokus pada stake
holder dan bermula dari suara stake holder tersebut.

Struktur Teori
Teori

Teori Kinerja berbasis strategi


(Anthony dan Dearden, 1976; Younker,
1993; Bernadin R, 1993, Kaplan dan
Norton, 1996)
Teori perbaikan (improvement) dengan
fokus strategi pada pengguna dan
penentuan prioritas perbaikan.
(Cohen, 1995; Dale, 1995)
Teori Sistem, Eriyatno (2003)
Sistem Manajemen Strategi;
Teori Pengukuran dan
Perbaikan Kinerja Berbasis Sistem;
Manajemen Strategi, Teori Sistem
Manajemen, Strategi Evaluasi Kinerja;

Kelompok/ Rumpun Teori

Teori Umum
(Grand Theory)

Teori Antara (Middle Range Theory)

Teori Teknik Aplikasi

Teori Model, Ackoff (1962)


Teori Strategi Berbasis
Sumberdaya (Resource-based
strategy) dan Strategi Berbasis
Pengetahuan (Knowledge-based
strategy) (Tiwana, 2000 )
Teori Strategi Berbasis Resiko
(Risk Strategy) (Gilad, 1995;
Simon, 1998)
Teori Manajemen Strategi
Teori Lingkungan Internal
Teori Lingkungan Eksternal
Teori Perencanaan Strategis
(Jauch dan Glueck, 1992;
Wheelen dan Hunger, 1992;
Christoper dan Thor, 1993;
Hamel dan Prahalad, 1990;
Gupta dan Govindarajan,
1994; David, 1998);
Teori Peramalan Kinerja (Haykin,
1994, Marimin, 2005);

Teori Penunjang:

10

Berdasarkan pemikiran awal dapat dikatakan bahwa kesesuaian antara model


dan

strategi akan berpengaruh terhadap perspektif kinerja

aparatur pengawasan

internal

pemerintah

dan proses pengukuran serta perbaikan yang tepat diharapkan dapat


menjadi dasar evaluasi kinerja yang optimum.Keterkaitan antara lingkungan,
rencana strategik, perspektif kinerja, proses pengukuran dan perbaikan kinerja
menjadi landasan pemikiran.
pemikiran

baru,

yaitu

akan

Untuk selanjutnya akan dilakukan transformasi suatu


bahwa teori pengukuran kinerja yang didasarkan pada

teknik pengukuran

berbasis

strategi (Balanced Scorecard), apabila delaborasi dengan berbagai pendekatan dari


teori manajemen strategi diharapkan dapat menghasilkan teori pengukuran kinerja
yang mampu menggambarkan secara komperensif level kinerja dari aparatur
pengawasan

internal

pemerintah.

Apabila teori pengukuran kinerja tersebut

diintegrasikan
kinerja yang juga berbasis strategi, diharapkan

dengan teori perbaikan


mampu

kinerja baru, yaitu evaluasi kinerja berbasis manajemen strategi.

menghasilkan teori evaluasi

6. Tinjauan Pustaka

1). Pendekatan Sistem


Pendekatan sistem selalu mengutamakan kajian tentang struktur sistem
baik yang bersifat penjelasan maupun sebagai dukungan kebijakan. Menurut
Eriyatno (2003), sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang
mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama
dimensi ruang dan waktu.

Sedangkan menurut Simatupang (1995), terminologi

sistem dari sudut pandang rekayasa adalah suatu proses masukan (input) yang
ditransformasikan menjadi keluaran (output) tertentu. Hal ini bersesuaian dengan
prinsip dasar manajemen sebagai suatu aktivitas yang dapat mentransformasikan
sumberdaya (input) menjadi hasil yang dikehendaki (output) secara sistematis dan
terorganisasi guna mencapai tingkat efektivitas dan efisiensi dari strategi sistem
yang direkayasa.
Metodologi

ilmu

sistem

dinilai

sangat

erat

dengan

prinsip

dasar

manajemen melalui metode penyelesaian masalah yang terdiri atas lima tahapan
proses, yaitu (1) analisis sistem, (2) rekayasa model, (3) implementasi rancangan,
(4) implementasi model, dan (5) operasi sistem.

Manfaat metodologi siste

m
adalah untuk mendapatkan suatu gugus alternatif sistem yang layak untuk
mencukupi kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi dan diseleksi. Dilihat
dari struktur, maka pendekatan kesisteman berbeda dengan pendekatan agregasi
dimana bagian-bagian dijumlahkan sehingga paling tidak satu elemen tidak
berhubungan dengan elemen yang lainnya. Operasi dan elemen-elemen yang
biasanya

disebut

sebagai

sifat

transformatif

harus

dispesifikasikan

terperinci untuk menghubungkan input dengan output (Gambar 2).


input

PROSES

output

TRANSFORMASI
Gambar . Konsep Transfromasi dalam Pendekatan Sistem (Eriyatno, 2003)

secara

12

Analisis sistem dilakukan melalui enam tahapan, antara lain adalah (1)
analisa kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan
alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial, dan politik, dan (6)
penentuan kelayakan finansial.
Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan merupakan suatu langkah awal yang harus dilakukan
dalam mengkaji suatu sistem.

Pada tahap ini dilakukan identifikasi kebutuhan

setiap komponen yang terkait dalam sistem sehingga tercipta suatu sistem yang
dapat menciptakan keharmonisan seluruh komponen yang terlibat di dalamnya.
Pada tahap ini juga terjadi interaksi antara respon yang timbul dari
pengambil keputusan

(decision maker) terhadap jalannya sistem. Metoda

pengambilam data pada analisis sistem dapat berasal dari hasil survey, pendapat
pakar, observasi lapang, dan lain sebagainya.
Formulasi Masalah
Formulasi masalah merupakan tahap setelah penentuan informasi secara
terperinci yang telah dihasilkan melalui identifikasi sistem dilakukan secara
bertahap (Eriyatno, 2003. Pada tahap ini juga perlu diformulasikan dalam suatu
pernyataan

tentang

bagaimana

sistem

yang

dimaksud

dapat

bekerja

agar

memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk menentukan


output dan kriteria proses berjalannya sistem secara spesifik guna mencapai
kondisi yang optimal. Hasil rumusan masalah kemudian didefinisikan sebagai
gugus kriteria tingkah laku sistem untuk kemudian dilakukan evaluasi.
Identifikasi Sistem
Menurut Eriyatno (2003), identifikasi sistem merupakan suatu rantai
hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus
dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan

13

tersebut.

Tahap

identifikasi

sistem

juga

dapat

diartikan

sebagai

proses

transformasi input menjadi output. Input terdiri atas dua kategori, yaitu input yang
berasal dari luar sistem atau biasa disebut sebagai input lingkungan, dan input
yang

berasal

dari

dalam sistem itu

sendiri. Disamping

itu

output

juga

dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu output yang dikehendaki yang


merupakan pemenuhan dari analisis kebutuhan dan output yang tidak dikehendaki
yang merupakan hasil sampingan atau dampak yang ditimbulkan oleh sistem.
Jika sistem menghasilkan output yang tidak dikehendaki, maka input terkendali
dapat ditinjau kembali melalui kontrol manajemen.
Identifikasi

sistem

bertujuan

untuk

memberikan

gambaran

terhadap

perilaku sistem yang sedang dikaji. Identifikasi sistem dapat direpresentasikan


dalam bentuk diagram input-output. Identifikasi sistem menggunakan konsep
black-box untuk menyatakan transformasi sebagai kotak gelap yang mewakili
pengelompokan dari perincian-perincian karena ahli sistem tidak ingin terlibat
lebih mendalam atau karena tidak berkemampuan untuk menembus berbagai
batasan kotak gelap. Suatu kotak gelap sebenarnya adalah sebuah sistem dari
detail-detail (perincian) yang tidak terhingga yang mencakup struktur-struktur
terkecil yang paling mikro.

Karakter dari kotak gelap dengan demikian adalah

behavioristic (tinjauan sikap). Transformasi kotak gelap dapat diketahui melalui


tiga cara:
1.

Melalui

spesifikasi.

Apabila

observasi

telah

dipahami

betul,

maka

spesifikasi untuk operasi dapat ditimbulkan oleh yang lain, misalnya melalui
katalog atau buku standar.

Pada tingkat ini, kemampuan kotak gelap ini

jelas didefinisikan sebagai transformasi.


2.

Melalui analogi, kesepadanan dan modifikasi. Disini kita akan dituntut oleh
deskripsi teoritis, atau spesifikasi teknis untuk bagian-bagian dari prosesproses. Meskipun transformasi yang diusulkan oleh teori-teori umum tidak
begitu cocok oleh kotak gelap yang khusus, namun seringkali teori dapat
dimodifikasi dengan usaha yang tidak banyak daripada mulai dari awal.

3.

Melalui observasi dan percobaan. Apabila tidak diketahui sama sekali


tentang kotak gelap tersebut, ahli sistem tidak punya pilihan selain
melakukan percobaan. Hal ini dikerjakan dengan melakukan observasi

14

beberapa kombinasi dari input dan output; kemudian mencatatnya secara


berurutan, dan mencoba mendeduksi hubungan-hubungan apa yang mungkin
untuk menjelaskan apa yang dipelajari.
Perancangan kotak gelap (black box) terdiri atas (1) peubah-peubah input,
(2) peubah-peubah output, dan (3) parameter-parameter yang membatasi struktur
sistem.

Peninjauan

terhadap

kotak

gelap

memerlukan

informasi

yang

dikategorikan menjadi tiga golongan, yaitu peubah input, peubah output, dan
parameter-parameter yang membatasi struktur sistem.

Input terdiridari

dua golongan, yaitu yang berasal dari luar sistem (eksogen) atau input
lingkungan dan overt input yang berasal dari dalam sistem. Overt input
adalah peubah endogen yang ditentukan oleh fungsi dari sistem. Hal ini dipastikan
oleh perancang atau pengelola sistem, untuk membantu klasifikasi lebih lanjut
mengenai gugusan dari peubah sistem, sehingga input yang non overt dapat
dikontrol sebagai sesuatu yantg mengubah kelakuan sistem selama operasi.
Input yang terkontrol dapat divariasikan

selama

operasi untuk

menghasilkan perilaku sistem yang sesuai dengan yang diharapkan. Sebagaimana


halnya overt input yang tidak terkontrol, perwujudan input dapat meliputi
manusia, barang, tenaga, modal, dan informasi. Output terdiri dari dua golongan
yaitu output yang dikehendaki (desirable output) dan yang tidak dikehendaki.
Output yang dikehendaki biasanya berasal dari adanya pemenuhan kebutuhan
yang ditentukan secara spesifik pada waktu analisa kebutuhan. Sedangkan output
yang

tidak

dikehendaki

adalah

merupakan

sampingan

ditimbulkan bersama-sama dengan output yang diharapkan.

atau

dampak

yang

15

Permodelan Sistem
Permodelan dengan pendekatan sistem didefinisikan sebagai representasi
dari suatu sistem dan menggambarkan bagaimana sistem itu bekerja pada kondisi
aktual (Law dan Kelton, 1982). Dalam pendekatan sistem, suatu pemodelan
terdiri atas tujuh tahapan, yaitu:
1)

Tahap seleksi konsep

2)

Tahap rekayasa model

3)

Tahap implementasi komputer

4)

Tahap validasi

5)

Tahap sensitivitas

6)

Tahap stabilitas

7)

Aplikasi model
Menurut Maarif dan Tanjung (2003), terdapat lima tipe model yang seringkali

diaplikasikan dalam dunia nyata, yaitu:


1.

Model Fisik

2.

Model Deskriptif

3.

Model Matematik

4.

Model Prosedural

5.

Model Simulasi
Pada beberapa perihal sebuah model dibuat hanya untuk semacam

deskripsi matematis dari kondisi dunia nyata. Model ini disebut model deskriptif
dan banyak dipakai untuk mempermudah penelaahan suatu permasalahan. Model
ini dapat diselesaikan secara eksak serta mampu mengevaluasi hasilnya dari
berbagai pilihan data input. Dalam model deskriptif, hal yang kompleks
umumnya mempunyai keterkaitan yang spasial dan temporal, maka gambaran
lengkap dari struktur sistem dapat diekspresikan melalui bahasa, grafis, dan
deskriptif matematik (Eriyatno, 2003).
Pemodelan struktur memberikan bentuk grafis dan perkataan dalam pola yang
secara hati-hati memotret perihal yang kompleks melalui dua tahap. Tahap
pertama yaitu penerapan suatu alat pembangkit dari sejumlah daftar elemen-

elemen yang berhubungan dengan perihal yang ditelaah. Tahap kedua adalah
pemilihan hubungan-hubungan yang relevan, dan suatu alat strukturisasi yang
tepat sehingga elemen-elemen tersebut dapat diformasikan. Alat pembangkit yang
dapat digunakan adalah:
1.

Diskusi ahli, dimana melalui proses musyawarah dan brainstorming


ditetapkan daftar elemen-elemen oleh para panelis yang terpilih dengan
ketat.

2.

Expert Survey, melalui in-depth interview dari berbagai pakar lintas


disiplin, didapatkan kesimpulan tentang daftar elemen (Brainwriting atau
Clinical Interview).

3.

Metoda Delphi, dengan mengumpulkan informasi terkendali, iteratif dan


berumpan balik.

4. Media elektronik seperti computerized conferencing, generating graphics


atau tele-conference

Manejemen Strategi dalam Evaluasi Kinerja


Menurut Blocher et al. (1999), manajemen strategi merupakan
pembangunan suatu posisi kompetitif yang berkelanjutan sehingga menciptakan
keberhasilan bersaing yang terus menerus. Selain itu Pearce dan Robinson
(1997), mendefinisikan manajemen strategi sebagai sekumpulan keputusan dan
kegiatan

dalam

memformulasikan

dan

mengimplementasikan

rencana

yang

dirancang dalam mencapai tujuan perusahaan. Manajemen strategi biasanya


dihubungkan dengan pendekatan manajemen yang integratif yang mengedepankan
secara bersama-sama seluruh elemen, seperti perencanaan, pelaksanaan, dan
pengendalian sebuah strategi bisnis (Ward, 1993).
Tujuan utama dari manajemen strategi adalah untuk mengidentifikasi
mengapa dalam persaingan beberapa perusahaan bisa sukses sementara sebagian
lainnya mengalami kegagalan. Peran manajemen strategi (Mulyadi, 2001) adalah
(1)

melakukan

pengamatan

terhadap

trend

(trendwatching)

dan

perubahan

lingkungan makro dan lingkungan industri untuk menggambarkan kondisi masa


depan perusahaan (invisioning), (2) penerjemahan visi dan strategi ke dalam
rencana tindakan (action plan), dan (3) pengelolaan sumberdaya (resource
management) untuk mewujudkan visi organisasi. Adapun komponen utama
proses manajemen strategi menurut Yuwono et al. (2004), meliputi: (1) penentuan
misi dan tujuan utama organisasi, (2) analisis lingkungan internal dan eksternal
organisasi, (3) pilihan strategi yang selaras dan sesuai antara kekuatan dan

kelemahan perusahaan dengan peluang dan ancaman lingkungan eksternal, dan


(4)

pengadopsian

struktur

organisasi

dan

sistem

pengendalian

untuk

mengimplementasikan strategi organisasi yang dipilih.


Untuk perusahaan yang besar, strategi pada level korporasi, level bisnis,
dan level fungsional membentuk hirarki strategi. Strategi-strategi itu berinteraksi
erat, berkelanjutan dan harus diintegrasikan dengan baik demi kesuksesan
perusahaan. Tetapi pelaksanaan khusus hirarki strategi sangat bervariasi dari
suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Manajemen strategi dapat dimulai
dari satu atau semua level hirarki dalam organisasi (Hunger dan Wheelen, 2001).

Efektifitas proses manajemen strategi berkaitan erat dengan pendekatan sistem.


Alasan akan perlunya pendekatan sistem dalam pelaksanaan manajemen strategi
(Mulyadi, 2001) adalah (1) untuk menghadapi lingkungan bisnis yang kompleks
dan

turbulen,

(2)

perencanaan

dan

implementasi

rencana

membutuhkan

konsensus, dan (3) keluaran suatu organisasi bersifat maya dan tidak terstruktur.
Adapun proses manajemen strategi diawali oleh pengamatan lerhadap lingkungan
eksternal

dan

internal

perusahaan,

dilanjutkan

dengan

formulasi

strategi,

implementasi strategi, serta diakhiri oleh evaluasi dan pengendalian( Wheelen dan
Hunger, 1992).
Menurut Kaplan dan Norton (1996), terdapat empat hambatan dalam
mengimplementasikan strategi, yaitu (1) hambatan visi, (2) hambatan sumberdaya
manusia, (3) hambatan operasi, dan (4) hambatan pembelajaran.

Masing-masing

hambatan tersebut dapat ditanggulangi dengan penerapan komponen-komponen


manajemen strategi, yaitu memformulasikan dan mentransformasikan visi dan
strategi perusahaan, mengkomunikasikan dan menghubungkan tujuan-tujuan dan
tolok ukur strategi, menyusun dan melaksanakan target-target serta menyelaraskan
inisiatif-inisiatif strategis, dan mempertinggi umpan balik dan pembelajaran
strategis.
Dalam perspektif

manajemen strategi, lingkungan

merupakan faktor

kontekstual penting yang mempunyai dampak terhadap kinerja perusahaan (Child,


1997).

Konsep manajemen modern menunjukkan bahwa badan usaha yang

melakukan suatu kegiatan ekonomi tidaklah berdiri sendiri, melainkan berada


dalam lingkungan bisnis yang saling berpengaruh.

Pada umumnya perusahaan

berada di tengah lingkungan bisnis yang terdiri atas pemerintah,

masyarakat

sosial, pelanggan, pemasok, karyawan, dan industri sejenis yang merupakan

pesaing.

Strategi diperlukan perusahaan agar mampu mewujudkan suatu hasil

yang sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan sasaran perusahaan.


Kemampuan
perusahaan menempatkan posisinya dalam lingkungan dengan memperhitungkan
dan mengevaluasi kondisi dirinya dari faktor-faktor lingkungan yang saling
berpengaruh dan mempengaruhi,
perusahaan.

akan sangat menentukan

keberhasilan

Langkah memperhitungkan dan mengevaluasi kondisi dirinya dan

19

faktor lingkungan yang berpengaruh dan saling mempengaruhi dalam proses


pengambilan keputusan untuk suatu rencana tindakan ataupun kebijakan dalam
mengelola perusahaan adalah suatu bentuk manajemen strategis.
Perusahaan
mengembangkan strateginya dengan melakukan penyesuaian antara kemampuan
intinya dengan peluang industri yang ada. Gambar 4 memperlihatkan perumusan
strategi sebagai suatu proses evaluasi kekuatan dan kelemahan yang ada dalam
perusahaan yang dilakukan oleh eksekutif senior serta melihat kesempatan dan
ancaman saat ini (Anthony dan Govindajaran, 1998). Menurut Wheelen dan
Hunger (1992), lingkungan yang harus diamati perusahaan terdiri atas (1)
lingkungan yang ada di dalam perusahaan (internal enveronmental) yang terdiri
atas struktur, budaya, dan sumberdaya, (2) lingkungan yang berada di luar
perusahaan (external enveronmental) yang terdiri atas lingkungan sosial dan
lingkungan tugas (Gambar 5).

Strategi Berbasis Sumberdaya dan Strategi Berbasis Pengetahuan


(Resource-based Strategy dan Knowledge-based Strategy)
Menurut Savage (1996)
manajemen generasi
kelima
karakteristik
terkini fenomena globalisasi, dan ditandai oleh
yang paling menonjol adalah pentingnya membangun daya saing

merupakan
beberapa hal

melalui penciptaan pengetahuan oleh organisasi dan jaringan pengetahuannya


(knowledge creating organization and knowledge network).Intinya adalah
bahwa daya saing sebuah badan usaha sangat ditentukan oleh bagaimana
organisasi itu dapat mentransformasikan data untuk dianalisis sehingga menjadi
informasi, dan informasi diberi penilaian (judgement) hingga menjadi ide, lalu
ide tersebut diberi konteks, sehingga menjadi pengetahuan (knowledge), atau
lebih dipopulerkan dengan istilah pengelolaan pengetahuan (Tiwana, 2000).
Dari pengetahuan inilah daya saing organiasi dapat diwujudkan, dan pada
akhirnya barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan yang unggul
akan selalu bertumpu pada strategi yang berbasis sumberdaya (Resource-based)
dan berbasis pengetahuan (Knowledge-base).
Pendekatan resource-based yang dimotori oleh
Selznick

dan

dikembangkan

oleh

Hamel

dan

Prahalad,

pada

akhirnya

membuahkan konsep yang bermuara pada kompetensi inti (core competence).


Konsep inilah yang menjadi basis daya saing dan menjadikan perusahaan bisa
bertahan untuk jangka panjang. Pendekatan resource-based pada dasarnya
merupakan penyempurnaan dari pendekatan berbasis pasar (market-based).
Kajian tentang kedua pendekatan tersebut sebetulnya merupakan kajian tentang
sekeping uang logam yang nampak dari dua sisi yang berbeda dan keduanya
sebenarnya mengarah kepada penciptaan strategi kemenangan dalam penciptaan
nilai (winning strategies for value-creation) yang mempermasalahkan
bagaimana (how to) pada model market- based, dan tambahan tentang apa
(what is) pada resource-based approach.

Pola berpikir strategi bisnis dengan

pendekatan market-based adalah meletakkan fokus penyusunan strategi bersaing


pada bagaimana memproteksi pasar (how to protect the market), sedangkan
pendekatan

resource-based

selalu

berupaya

meletakkan

jargon

bersaing

22

utamanya pada bagaimana menciptakan inovasi masa depan (how to invent to


market)

melalui

sumberdaya

yang

dimiliki

oleh

organisasi

untuk

dapat

ditingkatkan kapabilitasnya dalam bersaing melalui pemilihan kompetensi inti


sehingga dapat diciptakan strategi hambatan untuk para pesing, berupa kesulitan
untuk ditiru (barriers to imitation).
Menurut

Huseini

mengklasifikasikan

(1999),

sumberdaya

ke

Chatterjee
dalam

dan

tiga

Wernerfelt

kategori:

(1991)

fisik,

tak-wujud

(intangible), dan keuangan. Sedangkan Grant (1995) mengelompokkan sumber


daya tak-wujud ke dalam empat sub-kelas: sumberdaya manusia, sumberdaya
teknologi, reputasi dan aset organisasi. Aset-wujud organisasi juga sering
disebut

sebagai

pengatahuan

tersembunyi

(tacit

knowledge),

pengalaman,

reputasi dan nama baik (goodwill), kebiasaan (routine), dan keterampilan


organisasi. Held (1999) mengklasifikasikan sumberdaya tak-wujud sebagai
asset atau kompetensi. Aset-tak wujud mencakup kapabilitas kepemilikan
yang biasanya diperoleh karena regulasi (misalnya hak paten), atau posisi
tertentu (misalnya reputasi). Sedangkan keterampilan atau kompetensi tak
wujud berkaitan dengan kapabilitas pelaksanaan yang meliputi kapabilitas
fungsional dan kapabilitas kultural atau organisasional (misalnya kebiasaan).
Keterampilan tak-wujud biasanya bergantung pada orang, sedangkan asset takwujud tidak tergantung pada orang.

Strategi Berbasis Resiko (Risk Strategy)


Perubahan lingkungan yang sangat cepat mengakibatkan tingginya
dinamika lingkungan yang akan menimbulkan ketidakpastian yang dihadapi
organisasi.

Milliken (1987), mendefinisikan ketidakpastian sebagai ungkapan

terhadap ketidakmampuan individu memprediksi sesuatu secara tepat. Persepsi


ketidakpastian lingkungan bisnis didefinisikan sebagai persepsi individual atas
ketidakpastian yang berasal dari lingkungan eksternal yang dapat mempengaruhi
organisasi.

Menurut Gilad (2004), terdapat hubungan antara perubahan yang

23

terjadi pada lingkungan bisnis (industri) ketidakpastian, dan resiko atau peluang
yang terjadi dalam implementasi suatu strategi (Gambar 6).
Fischer (1988), menyatakan bahwa faktor kontekstual penting yang
mempengaruhi kinerja yaitu teknologi, ketidakpastian, strategi dan kompetensi.
Lebih lanjut BPS (2001), menyatakan bahwa perencanaan strategi sangat
berperan

dalam

meningkatkan

mengantisipasi

kinerja

ketidakpastian

perusahaan.

lingkungan

Pelaksanaan

strategi

sehingga

dapat

umumnya

selalu

dikaitkan dengan resiko yang menyertainya. Gilad (2004), mendefinisikan


resiko sebagai prospek kehilangan atau potensi kesalahan yang dihasilkan dari
suatu ekspektasi.

Resiko dari suatu strategi sangat jarang dieksploitasi,

meskipun merupakan suatu hal yang sangat penting dalam pengambilan


keputusan.

Menurut Simon (1998) mendefinisikan resiko dari suatu strategi

sebagai suatu kejadian yang tidak diharapkan

atau sekumpulan kondisi yang

secara nyata menurunkan kemampuan manajer dalam mengimplementasikan


strategi bisnisnya.

Untuk mengatasi resiko yang dihasilkan dari implementasi

suatu strategi maka dibutuhkan manajemen strategi yang didasarkan pada


resiko.

Menurut Gilad (2004), manajemen resiko strategi terdiri atas (1)

mengelola

(mengatasi)

resiko

setelah

terjadi

atau

disebut

juga

manajemen krisis, dan (2) mengelola (mencegah) resiko sebelum terjadi

sebagai
atau

disebut sebagai deteksi dini.


Sistem deteksi dini (early warning system) merupakan sekumpulan
aktivitas yang bertujuan untuk mencegah krisis yang terjadi dalam implementasi
suatu strategi.

Menurut Gilad (2004), dalam sistem deteksi dini resiko harus

dikelola secara proaktif, mulai dari pertama kali muncul tanda-tanda masalah
maupun pada tahap reaksi yang menunjukkan kerugian yang belum parah.
Tahapan deteksi dini terdiri atas tiga aktivitas, yaitu (1) tahap identifikasi resiko,
2) tahap monitoring secara cerdas, dan (3) tahap tindakan pengelolaan

26

Jadwal Dan Waktu Penelitian

N
o

Kegia
tan

Seminar
UP

Tahun 2014
6

2 Persia
pan
Peneli
tian
Lapa
ngan
3 Pengum
pulan
Data
4 Pengolahan Data
5 Penuli
san
Laporan
Peneli
tian
6 Konsul
tasi dan
Perbai
kan
7 Ujian
Naskah
Disertasi
8 Ujian
Disertasi

Tahun 2015

10
x

11

12

X
X

10 11

27

DAFTAR PUSTAKA

Internal Audit in the public sector: the quiet revolution, February 2011, p. 41,
www.deloitte.com/assets/ Dcom Lebanon (akses 270813; 07:35)

DSilva, Kenneth, Internal auditings international contribution to governance, International J.


Business Governance and Ethics, Vol 3, No 2, 2007
ii

The Institute of InternalAuditors Research Foundation (IIARF), Sawyers: Guide for Internal
Auditors, Volume 1, IIARF, Florida, USA, 2012, p.15
iii

Internal Audit in the public sector: the quiet revolution, February 2011, p. 41,
www.deloitte.com/assets/ Dcom Lebanon (akses 270813; 07:35)
iv

La Pointe, Jacques, The Role of Auditing in Public Sector Governance, IIAs International Conference
in Amsterdam, July 2007.
v

Asare, Thomas, Internal auditing in the Public Sector: Promoting Good Governance and
performance Improvement, International Journal on Governmental Financial Management, 2008
vi

Sources: Pengarahan Menteri Dalam Negeri pada Pembukaan Rakornas Pelayanan Terpadu
SatuPintu tahun 2013, Bidakara, Jakarta, 2 Desember 2013
vii

viii

Menteri PAN RB, Laporan hasil evaluasi akuntabilitas kinerja pemerintah kabupaten/kota dan gelar
inovasi pelayanan publik, 29 Januari 2014, Balai Kartini, Jakarta
ix

You might also like