You are on page 1of 14

PERCOBAAN I

PENGUJIAN KADAR GLUKOSA URIN


(UJI BENEDICT SEMI KUANTITATIF)
A. Tujuan
1. Urin
Urin merupakan hasil filtrasi darah oleh glomerulus ginjal. Tujuannya
adalah membersihkan darah dari sisa-sisa metabolisme dan mengatur jumlah air
dan elektrolit dalam tubuh. Fungsi ini disebut sebagai fungsi homeostatik tubuh
oleh ginjal yang dijalankan oleh glomerulus oleh tubuli. Tubuli merupakan bagian
ginjal yang menyeleksi dan mengatur bahan-bahan dengan mekanisme ekskresi
dan absorbsi bahan-bahan termasuk air. Volume urin normal adalah 600-2500
mL/24 jam. Volume urin 24 jam dipengaruhi oleh asupan cairan, temperatur
lingkungan, kelembaban, diet, mental, kerja dan ukuran fisik (Panii, 2007).
2. Urinalisis
Pemeriksaan urin tidak hanya dapat memberikan fakta-fakta tentang ginjal
dan saluran urin, tetapi juga mengenai faal pelbagai organ dalam tubuh seperti
hati, saluran empedu, pankreas, cortex adrenal dan lain-lain. Jika kita melakukan
urinalisis dengan memakai urin kumpulan sepanjang 24 jam pada seseorang,
ternyata susunan urin itu tidak banyak berbeda dari susunan urin 24 jam
berikutnya (Gandosoebrata, 1969).
a. Urin sewaktu
Untuk bermacam-macam pemeriksaan dapat digunakan urin sewaktu,
yaitu urin yang dikeluarkan pada satu waktu uang tidak ditentukan dengan khusus.
b. Urin pagi
Yang dimaksud dengan urin pagi ialah urin yang pertama-tama
dikeluarkan pada satu waktu yaitu pagi hari sebelum tidur. Urin ini lebih pekat
dari urin yang dikeluarkan siang hari. Jadi baik untuk pemeriksaan sedimen, berat
jenis, protein dan lain-lain, dan baik juga untuk tes kehamilan berdasarkan adanya
HCC dalam urin.
c. Urin postprandial
Sampel urin ini berguna untuk pemeriksaan terhadap glukosauria, ia
merupakan urin yang pertama kali dilepaskan 1-3 jam sehabis makan. Urin pagi
tidak baik untuk pemeriksaan penyaring terhadap adanya glukosauria.

d. Urin 24 jam
Apabila diperlukan penetapan kuantitatif sesuatu zat dalam urin, urin
sewaktu sama sekali tidak bermakna dalam menafsirkan proses-proses metabolik
dalam badan. Hanya jika urin itu dikumpulkan selama waktu yang diketahui,
dapat diberikan sesuatu kesimpulan agar angka analisa dapat dianalisa, biasanya
dipakai urin 24 jam.
(Gandosoebrata, 1969)
Memperhatikan warna urin bermakna karena kadang-kadang didapat
kelainan yang berarti untuk klinik. Berikut beberapa sebab warna urin:
a. Kuning
1) Zat warna normal dalam jumlah besar : uribilin, urochrom
2) Zat warna abnormal : bilirubin
3) Obat-obat dan diagnostika : santonin, PSP, riboflavin
b. Hijau
1) Zat warna normal dalam jumlah besar : indikan
2) Obat-obat dan diagnostika : methylen blue, evans blue
3) Kuman-kuman : Ps. aeruginosa (B pyocyaneus)
c. Merah
1) Zat warna normal dalam jumlah besar : ureorythrin
2) Zat warna abnormal : hemoglobin, porfirin, porfobilin
3) Kuman-kuman : B. prodigiosis
4) Obat-obatan dan diagnostika : santonin, PSP, amidopyrin congored, BSP
d. Coklat
1) Zat warna normal dalam jumlah besar : urobilin
2) Zat warna abnormal : bilirubin, hematin, porfobilin
e. Coklat tua atau hitam
1) Zat warna normal dalam jumlah besar : indikan
2) Zat warna abnormal : darah Na, alkapton, melamin
3) Obat-obat : derivate-derivat fenol, argyrol
f. Serupa susu
1) Zat warna normal dalam jumlah besar : fosfat, urat
2) Zat abnormal : pus, getah prostat, cylus, zat-zat lemak, bakteri-bakteri,
protein yang membeku
(Gandosoebrata, 1969)
e. Glikosuria
Glukosa difiltrasi oleh glomerulus dan reabsorbsi tubulus normal rata-rata
lebih dari 90 persen glukosa yang memasuki filtrat glomerulus. Tubulus
proksimalis ginjal bertanggungjawab bagi kembali glukosa ke sirkulasi. Jika
aliran plasma ginjal normal dan ginjal sehat, maka pada konsentrasi glukosa darah
kapiler lebih dari sekitar 10 mmol/L, cukup glukosa yang difiltrasi ke tubulus
ginjal untuk menjenuhkan proporsi bermakna dari kapasitas reabsorbsi yang

bervariasi dan timbul glikosuria yang bisa dideteksi. Konsentrasi 10 mmol/L ini
dikenal sebagai ambang ginjal bagi glukosa. Pengurangan kapasitas reabsorbsi
tubulus untuk glukosa, yang bias akibat abnormalitas fungsi tubulus spesifik atau
generalista ataupun akibat penyakit tubulus yang berat, dapat menyebabkan
glikosuria bila kadar glukosa darah normal (Baron, 1984).
Glikosuria berarti terdapat glukosa yang mencukupi untuk bias dideteksi
dengan tes klinis yang sederhana. Penyebab glikosuria bias diringkaskan sebagai
berikut :
a. Hiperglikemia disertai dengan kelemahan toleransi glukosa
b. Hiperglikemia sementara
c. Ambang ginjal yang rendah
(Baron, 1984)
Kadar glukosa pada urin sehat tidak pernah melebihi 10 mg per 10 mL
atau antara 0 sampai 250 mg dalam 24 jam. Pada ginjal yang sehat rata-rata tidak
didapatkan glukosuria dalam darah mencapai 180 mg/100 mL. Pada orang usia
lanjut yang sering terjadi penurunan glomeruli yang disebabkan oleh
glomerulosklerosis. Keadaan ini dapat menyebabkan peningkatan nilai ambang
ginjal terhadap glukosa atau glukosuria tidak terjadi walaupun glukosa darah
meningkat lebih tinggi dari 180 mg per 100 mL. sebaliknya, gangguan reabsorbsi
oleh tubulus proximalis karena kelainan bawaan (sindroma fanconi) atau
kerusakan oleh suatu penyakit (penyakit Wilson, dielonefritis), akan menyebabkan
penurunan nilai ambang ginjal dan glukosuria terjadi walaupun kadar glukosa
darah masih dibawah 180 mg per 100 mL, keadaan ini disebut renal glukosuria
(Tjokroprawiro, 1986).
f. Metode Pengujian dan Pemeriksaan
Tujuan penurunan kadar glukosa dalam urin adalah untuk menetukan
secara tidak langsung glukosa dalam darah. Untuk tujuan itu, metode pemeriksaan
harus praktis, artinya harus lebih mudah dikerjakan dari penentuan kadar glukosa
dalam darah sendiri. Selanjutnya harus mampu memberikan kadar glukosa darah
pada saat pemeriksaan. Kemudia harus diusahakan metode yang teliti (precise),
tepat (accurate), peka (sensitive, detectable) dan murah (cheap). Saat ini dikenal 2
kelompok metode penetuan glukosa dalam urin yang bersifat kualitatif dan semi
kuantitatif (Tjokroprawiro, 1986).
a. Kelompok semikuantitatif

Kelompok pertama adalah metode reduksi (fehling, benedict dan clinitest


tablet) dengan dasar reaksi reduksi cupri menjadi cupro. Metode ini tidak spesifik
terhadap pengujian glukosa sehingga ketepatannya rendah. Semua bahan dalam
urin yang bersifat reduktor akan menyebabkan reaksi positif palsu (false positive).
Salah satu keuntungan dari metode ini adalah kuantitasi untuk memperkirakan
kadar glukosa lebih baik disbanding metode enzimatik.
b. Kelompok kedua (kualitatif)
Kelompok kedua adalah metode enzimatik (test tape, dastcx, ainistix,
glukotest) dengan menggunakan enzim glukosa oksidase untuk mengubah
glukosa menjadi asam glukonat dan hidrogen peroksida. Enzim kedua,
peroksidase selanjutnya menguraikan hidrogen peroksida menjadi oksigen yang
langsung mengoksidasi zat warna ortotolidin yang berwarna merah menjadi biru.
Umumnya pereaksi-pereaksi tersebut diresapkan (impregnation) pada kertas
saring, sehingga metode ini sangat praktis. Metode enzimatik mempunyai
spesifitas dan kepekaan yang lebih tinggi disbanding metode reduksi..tetapi
interpretasi

semikuantitatif

pada

metode

ini

kurang

baik

dan

sering

membingungkan. Oleh karena itu, metode enzimatik sebaiknya hanya dipakai


untuk interpertasi kualitatif.
(Tjokroprawiro, 1986)
Analisis kimia urin umumnya dilakukan dengan cara uji dipstick yaitu
suatu tes yang menggunakan stik yang dibuat khusus yang terdiri atas trip untuk
mendeteksi glukosa, protein, bilirubin, urobilinogen, pH, berat jenis, darah, keton,
nitrit

leukosit.

Penggunaan

dipstick

pada

urinalisis

tidak

memerlukan

keterampilan khusus, selain itu hasilnya bisa didapat hanya dalam beberapa
waktu. Urin yang telah ditampung segera dengan dipstick dengan cara seperti
mencelupkan masing-masing contoh urin selama 0,5 sampai 1 menit, hingga
bagian warna-warninya terendam. Dipstick kemudian diangkat dari urin,
didiamkan sekitar 1 menit. Warna-warna yang timbul pada dipstick dibandingkan
dengan warna standar (Haryono, 2011).
a. Metode Benedict
Glukosa sebagai monosakarida paling sederhana kebanyakan bertindak
sebagai gula pereduksi, yang mampu mereduksi senyawa pengoksidasi. Senyawa
pengoksidasi yang selalu direduksi oleh monosakarida adalah Fe(CN) 2, H202 dan

ion kupri (Cu2+). Gula akan dioksidasi pada gugus karbonilnya. Metode yang
sering digunakan dalam analisa kadar gula suatu sampel, biasanya menggunakan
reagen Benedict. Reagen Benedict mengandung ion Cu2+ yang akan direduksi oleh
gula menjadi ion Cu2+ yang melalui proses pemanasan sehingga menghasilkan
endapan coklat atau merah bata (Indarti, 2011).
Diantara reagensi yang mengandung cupri untuk menyatakan reduksi,
reagen Benedictlah yang terbaik. Biarpun begitu, selalu hendaknya diingat bahwa
yang ditentukan ialah sifat reduksi sesuatu zat saja, yang tidak selalu berarti
glukosa. Zat bukan gula dalam urin yang memungkinkan mengadakan reduksi,
umpamanya formalin (pengawet, glucuronat, vitamin C) (Gandosoebrata, 1969).
1) Preparasi reagen Benedict
50 g natrium sitrat dan 86,5 natrium karbonat dalam air hangat sebanyak
300 mL dan tembaga sulfat sebanyak 8,65 g dilarutkan dalam 150 mL aquades.
Kedua larutan dicampur dalam labu ukur 500 mL, ditepatkan dengan aquades
sampai tanda batas.
2) Interpretasi
Perubahan warna
Biru jernih atau hijau
Keruh tanpa endapan
Hijau dengan
endapan
Kuning
Kuning sampai
jingga
Coklat
Jingga sampai merah

Dilaporkan
0

Perkiraan kadar
< 100 mg/dL

1+

250 mg/dL

2+

800 mg/dL

3+
4+

1400 mg/dL
7200 mg/dL
(Tjokroprawiro, 1986)

C.
1.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
2.
a.
b.
c.
d.
e.

Alat dan Bahan


Alat
Gelas kimia 1 L
Penangas air
Penjepit tabung
Pipet tetes
Pipet volume 5 mL
Pro pipet
Rak tabung
Tabung reaksi
Bahan
Larutan glukosa 0,3%
Larutan glukosa 1%
Larutan 5%
Pereaksi Benedict
Urin

D. Prosedur Kerja
1. Disiapkan 4 buah tabung reaksi.
2. Dipipet 2,5 mL pereaksi Benedict ke dalam 4 buah tabung reaksi yang telah
3.
4.
5.
6.

disiapkan.
Ditambahkan 10 tetes urin ke dalam tabung I.
Ditambahkan 10 tetes glukosa 0,3% ke dalam tabung II.
Ditambahkan 10 tetes glukosa 1% ke dalam tabung III.
Ditambahkan 10 tetes glukosa 5% ke dalam tabung IV.
Dipanaskan masing-masing tabung reaksi dalam penangas air mendidih

selama 5 menit.
7. Dibiarkan larutan menjadi dingin perlahan-lahan.
8. Diamati perubahan yang terjadi. Terbentuknya endapan hijau, kuning atau
merah menandakan reaksi positif, sedangkan perubahan warna larutan saja
menandakan bahwa reaksi negatif.
E. Hasil Pengamatan
1. Tabel Pengamatan
Tabung

Perlakuan

Benedict + urin

Warna
Awal
Biru

Setelah Pemanasan
Larutan biru
kehijauan

Penilaian
Negatif

Benedict +

II

glukosa 0,3%
Benedict +

III

glukosa 1%
Benedict +

IV

glukosa 5%

Biru
Biru
Biru

Endapan merah
bata
Endapan merah
bata
Endapan merah
bata

++
+++
++++

Keterangan :
++
: kadar 0,5%-1,0
+++
: kadar 1,0%-2,0%
++++
: kadar > 2%
2. Reaksi
CH2OH
H

OH

H
C
OH
OH H

+ 2Cu2+ + 4OH-

OH
H HO
D-Glukosa
3. Gambar

CH2OH
OH
OH
+ Cu2O
C
OH H
O
OH

+ 2H2O

H HO
Kuprioksida

D-Asam Glukoral

Kuprooksida

F. Pembahasan
Urin merupakan hasil filtrasi darah oleh glomerulus ginjal. Dengan tujuan
membersihkan darah dari sisasisa metabolisme dan mengatur jumlah air dan
elektrolit dalam tubuh. Tubuli merupakan bagian ginjal yang dijalankan oleh
glomerulus dan tubuli. Akan tetapi, tubuli mempunyai kemampuan yang terbatas
untuk menyerap glukosa, yaitu 350 mg per menit yang disebut dengan nilai
ambang ginjal terhadap glukosa yang setara dengan kadar glukosa darah 170 mg.
Prinsip dari uji benedict adalah pada metode reduksi, pereaksi benedict
akan bekerja sebagai gugus pengoksidasi yang mengalami reduksi dari kupri
oksida menjadi kupro oksida yang berwarna. Pereaksi benedict berisikan dua
larutan yaitu, tembaga sulfat yang dilarutkan dalam aquades dan natrium sitrat,
natrium karbonat yang dilarutkan dalam aquades kemudian dipanaskan. Setelah
itu pada saat dingin kedua larutan dicampurkan dan membentuk larutan benedict
berwarna biru dan stabil pada suhu ruangan.

Penggunaan urin dalam uji kadar glukosa dikarenakan sebagi acuan kadar
glukosa darah memiliki batasan ialah 180 mg per 100 ml. Kemudian darah yang
disaring di glomerulus akan direabsorbsi, sehingga partikel atau molekul glukosa
pasti tersaring di glomerulus ginjal pada orang normal. Dan sebaliknya bila tidak
normal akan terdapat glukosa dalam urin yang didapatkan glukosuria
(peningkatan kadar glukosa dalam urin).
Penentuan kadar glukosa

dalam urin ini dilakukan dengan uji semi

kuantitatif. Uji semi kuantitatif adalah suatu metode uji yang digunakan untuk
menentukan ada tidaknya senyawa tertentu dalam sampel dengan melekukan uji
kualitatif terlebih dahulu. Uji kualitatif adalah uji yang dilakukan dengan
pengamatan organoleptis seperti pada pengamatan visual berupa perubahan warna
atau adanya endapan untuk menentukan keberadaan suatu senyawa pada sampel.
Perbedaan uji kualitatif dengan uji semi kuantitatif yaitu uji semi kuantitatif dapat
ditentukan perkiraan kadar yang berupa skala atau range yang berdasarkan
perbandingan warna endapan dengan larutan standar. Uji semi kuantitatif mampu
menunjukkan adanya perubahan warna atau terbentuknya endapan akibat ada
suatu senyawa atau kadar senyawa tersebut dapat diperkirakan jumlahnya. Uji
kuantitatif berbeda dengan uji semi kuantitatif karena ada dalam uji kuantitatif
kadar atau konsentrasi suatu senyawa dapat ditentukan secara pasti melelui
perhitungan dari data yang telah ada.
Sampel urin yang digunakan adalah urin pagi. Urin pagi yaitu urin yang
pertama kali dikeluarkan pada pagi hari setelah bangun tidur. Pemakaian urin pagi
sebagai sampel percobaan adalah karena urin ini lebih pekat yang mengandung
sisa hasil metabolisme dari semua senyawa yang oleh ginjal selama tidur . urin
pagi bersifat asam dan sangat baik untuk pemeriksaan medis seperti adanya
glukosa yang tidak diserap oleh jaringan, protein dan sedimen.
Percobaan dilakukan dengan menggunakan empat sampel, yaitu urin,
glukosa 0,3%, 1% dan 5%. Dari keempat sampel terlebih dahulu ada pereaksi
benedict kemudian dicampurkan dengan sampel. Perbedaan kadar glukosa pada
sampel menyebabkan pula hasil warna endapan yang berbeda. Karena pereaksi
Benedict yang tereduksi bergantung pada kekuatan gula pereduksi yang

disesuaikan dengan kadar atau konsentrasi gula pereduksi untuk mengubah gugus
kupri oksida menjadi kupro oksida.
Pengamatan penentuan kadar glukosa urin, tabung reaksi yang telah
berisikan sampel bercampur perekasi Benedict dipanaskan. Tujuan pemanasan
adalah mempercepat reaksi antara pereaksi dan sampel. Sehingga dengan
pemanasan gugus aldehid dan keton pada gula pereduksi akan lebih cepat
membebaskan gugus OH yang reaktif. Reaksi reduksi antara glukosa dan pereaksi
benedict ditunjukkan oleh adanya endapan.
Hasil pengujian diperoleh urin setelah direaksikan dengan pereaksi
benedict dan dipanaskan menghasilkan larutan berwarna biru kehijauan. Hal ini
menunjukkan bahwa urin yang diuji adalah urin normal karena perubahan warna
saja dan tidak terdapat glukosa dalam urin. Hasil pengujian pada tabung II
(larutan glukosa 0,3%), tabung III (larutan glukosa 1%), dan tabung IV (larutan
glukosa 5%) semua sampel memberikan warna endapan merah bata dengan hasil
pada larutan glukosa semakin meningkat kadarnya maka semakin pekat warna
endapan merahnya.
Endapan merah bata dari hasil reduksi kupri oksida menjadi kupro oksida
pada penentuan kadar glukosa urin dapat digunakan sebagai acuan penyakit
diabetes melitus (DM), kerusakan glomerulus pada ginjal dan kerusakan kelenjar
pankreas untuk menghasilkan hormon insulin. Adanya diabetes melitus
dikarenakan kadar glukosa dalam urin sekurang-kurangnya adalah 10 mg per 100
ml sudah dinyatakan glukosuria. Ditetapkan sebagai acuan ialah karena pada
proses metabolisme normal glukosa akan masuk ke dalam jaringan yang disimpan
dalam otot dan hati, dan digunakan sebagai sumber energi tubuh. Dan kemudian
darah yang mengandung banyak glukosa akan masuk pada filtrasi di ginjal, acuan
glukosa akan masuk berada di urin filtrasi atau penyaring di glomerulus juga
rusak, sehingga glukosa berada dalam urin, karena glomerulus memiliki ambang
batas menyaring glukosa. Kebanyakan glukosa, penyaring rusak dan glukosa
berada di urin.
Insulin adalah hormon yang dikeluarkan oleh hati untuk membuka kanal
bagi masuknya glukosa ke dalam jaringan. Insulin tidak sensitif atau kurang maka

pemasukan glukosa dalam tubuh tidak dapat dimasukkan semua ke dalam


jaringan.
Diabetes melitus adalah penyakit kencing manis atau penyakit gula darah.
Penyakit dengan tanda awalnya yaitu meningkatnya kadar gula dalam darah
sebagai akibatnya terganggu fungsi pankreas dalam menghasilkan hormon insulin
atau tidak mencukupi keberadaan hormon insulin. Diabetes melitus dibagi
menjadi tiga bagian atau tipe yaitu diabetes tipe I, diabetes tipe II dan diabetes
gestasional.
Diabetes tipe I adalah dimana system imun tubuh sendiri secara spesifik
menyerang dan merusak sel-sel penghasil insulin yang terdapat pada pankreas.
Diabetes tipe II adalah penyakit yang disebabkan oleh faktor genetik, pola hidup
dan makanan, tekanan darah tinggi, usia tua dan cenderung mengalami obesitas
sehingga insulin tidak sensitif terhadap datangnya glukosa untuk memasukkan ke
dalam jaringan. Sedangkan diabetes gestasional adalah sebab oleh perubahan
hormonal yang terjadi selama kehamilan. Peningkatan kadar beberapa hormon
yang dihasilkan sel-sel tubuh menjadi kurang sensitif terhadap insulin (resistensi
insulin). Karena plasenta terus berkembang selama kehamilan produksi
hormonnya juga semakin banyak dan memperberat resistensi insulin yang telah
terjadi.
Uji benedict adalah uji kimia untuk mengetahui kandungan gula
(karbohidrat) pereduksi. Gula pereduksi meliputi semua jenis monosakarida dan
beberapa disakarida seperti laktosa dan maltosa. Kelebihan uji benedict adalah
memberikan hasil uji yang jelas secara kualitatif, mudah dalam pembuatan larutan
pereaksi benedict. Kekurangan larutan pereaksi bendict adalah tidak spesifik
terhadap glukosa, namun untuk semua monosakarida dan sakarida.

G. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa:Kadar glukosa dalam urin dengan metode Benedict < 0,5.

DAFTAR PUSTAKA
Baron, D. 1984. Patologi Klinik. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Gandosoebrata, R. 1969. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat. Jakarta.
Haryono, I. 2011. Urinalisis Menggunakan Dua Jenis Dipstick (Batang Celup)
pada Sapi Bali. Jurnal Veterisier Volume 12 Nomor 1.
Indarti, D. 2011. Karakterisasi Film Nata De Coco-Benedict secara Adsorbsi
untuk Sensor Glukosa dalam Urine. Jurnal Ilmu Dasar Volume 12 Nomor 2.
Panii, Z. 2007. Memahami Teori dan Praktik Biokimia Dasar Medis. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Tjokroprawiro, A. 1986. Diabetes Melitus Aspek Klinik dan Epidemiologi.
Airlangga University Press. Jakarta.

You might also like