You are on page 1of 10

1

KEGUNAAN ILMU
Dipresentasikan untuk memenuhi tugas matakuliah
“Filsafat Ilmu”

Dosen : Gustiana Isya Marjani, Ph. D

Oleh
Miftah faridl
2.20910.008
Semester 1

Konsentrasi Ilmu Dakwah


Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Djati
Bandung
1430 / 2009
2

BAB I
PENDAHULUAN

Paul Natorp yang dikutip Muhammd Hatta 1 berpendapat : “Wahrheiten


wollen erkannt und fastgestelld. Eben bewahrheitet sein; die wahrheit selbst bedarf
dessen nicht, sondern sie ist es, die allein bewaehrt, was orgend als wahr erkannt
sein und gelten soll” Segala kebenaran maunya diketahui dan dinyatakan, dan juga;
kebenaran itu sendiri tidak perlu akan itu, karena ialah yang menunjukkan, apa yang
diakui benar dan harus berlaku.

Sebuah kebenaran yang terstruktur manjadikannya sebuah ilmu, ilmu yang


bersumber dari kebenaran yang diproses dengan benar dan digunakan dengan benar
merupakan tujuan yang benar.

Manusia diciptakan bukanlah untuk diri sendiri dan Ilmu ada bukanlah untuk
ilmu itu sendiri, manusia, ilmu dan amal harus terintegrasi dengan moral dan hikmah
sehingga manusi bisa mewarnai dunia dengan ilmu dan hikmah.

1
Dr. Muhammd Hatta, Alam Pikiran Yunani, Tintamas, Jakarta, 1986
3

BAB II
KEGUNAAN ILMU

A. Manusia, Akal dan Moral


Manusia bertanya tentang dirinya dan orang lain atau suatu gejala adalah
disebabkan oleh kegelisahan untuk berfikir, apa yang didengar atau dilihat tidak jelas
baginya. Dengan terdapat titik kesamaan yang mula, yaitu rasa ingin tahu.2
Manakala manusia melakukan, atau melihat segala sesuatu itu dengan penuh
perhatian dan minat, merasa heran dan menakjubkan bagi dirinya kemudian
mengajukan berbagai pertanyaan tentang apa yang dilakukan atau dilihatnya itu,
maka runtutan seperti itu menyatakan bahwa seseorang berfilsafat.3
Darimana rasa ingin tahu itu? Dalam al Quran4 Allah berfirman :

‫ا‬::‫ َدةَ قَلِيال َم‬::ِ‫ا َر َواأل ْفئ‬::‫ْص‬ ِ ‫ ِه ِم ْن ر‬::‫ َّواهُ َونَفَخَ فِي‬::‫ثُ َّم َس‬
َّ ‫ َل لَ ُك ُم‬::‫ ِه َو َج َع‬::‫ُوح‬
َ ‫ ْم َع َواألب‬::‫الس‬
)٩( َ‫تَ ْش ُكرُون‬

“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh


(ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.

Menurut Ahmad Tafsir5 (2009) yang didasari ayat di atas, rasa ingin tahu itu ada
pada manusia itu sudah built in dalam penciptaan manusia, manusia ingin tahu, lantas
ia mencari tahu, hasilnya ia mengetahui akan sesuatu. Dan ini adalah awal dari ilmu.
Keingintahuan adalah konsekwensi logis dari keberadaan akal bagi manusia.
Akal diberikan oleh Allah adalah sebuah potensi bagi manusia, menurut Ibu Rusyd

2
Jujun S Suryasumantri, Filsafat Ilmu, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 2005
3
Prof. Judistira Garna, Ph.D. Beberapa dasar Ilmu Sosial, PPS Unpad, Bandung, 1992, hlm 13
4
Surat Sajdah : 9
5
Prof. Dr. Ahmad tafsir, Filsafat Ilmu, Rosdakarya, Bandung, 2009, hlm, 5
4

akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) Manusia6, karena akal menurut
Ibn Bajjah adalah “Satu-satunya saran untuk memperoleh dan mendapatkan
pengetahuan yang benar dan mencapai kemakmuran dan membangun kepribadian”.7.
Mengapa manusia bertanya tentang dirinya atau orang lain, atau suatu gejala
adalah disebabkan oleh kegelisahan ia untuk selalu berfikir, apa yang didengar atau
dilihat tidak jelas baginya, dan karena itu ia bertanya kepada dirinya sendiri.
Menurut Taufik Ismail yang dikutip Jujun (2005) “Penalaran manusia sangat luar
biasa, namun mereka sangat curang dan serakah sedang sebodoh bodohnya umat
kerbau tidak curang dan serakah” sehingga apakah semakin cerdas, maka makin
pandai kita menemukan kebenaran? apakah makin benar maka makin baik perbuatan
kita? Ataukah makin cerdas kita akan semakin pandai kita berdusta?” Prof. Ace
Partadiredja berpendapat “Munculnya teori-teori ilmu ekonomi yang tidak
mengajarkan manusia untuk serakah”. 8 Ibn Rusyd berpendapat bahwa manusia yang
memiliki akal sebagai sumber kebenaran haruslah digunakan untuk memecahkan
persoalan, bukan menjadi “ persoalan baru” sedangkan menurut pandangan
Al Ghazali9 tentang etika, bahwa seorang sufi benar-benar berada di atas jalan yang
benar, berakhlaq yang baik dan berpengetahuan yang luas, seorang filusuf haruslah
menjadi seorang sufi yang benar, sehingga ia tidak terjebak dalam penggunaan akal
untuk pembenaran hawa nafsunya.
Dalam al Quran10 ditegaskan, bagaimana orang-orang yang menggunakan hawa
nafsu tanpa ilmu sebagai orang-orang yang disesatkan :

َ َ‫بَ ِل اتَّبَ َع الَّ ِذينَ ظَلَ ُموا أَ ْه َوا َءهُ ْم بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم فَ َم ْن يَ ْه ِدي َم ْن أ‬
‫ض َّل هَّللا ُ َو َما لَهُ ْم ِم ْن‬
)٢٩( َ‫َاص ِرين‬
ِ ‫ن‬

6
Sudarsono, SH. M.Si, Filsafat Islam, Rineka cipta, jakarta, 2004, Hlm. 102
7
MM. Syarif, MA (Ter) Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung, 1989, hlm156
8
Jujun, Ibid hlm, 229
9
Sudarsono, Ibid hlm 71
10
Ar Rum [30] : 29
5

“Tetapi orang-orang yang dzalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu


pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan
Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun”

Perkembangan ilmu sering melupakan manusia, dimana bukan lagi teknologi


yang berkembang seiring perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justeru
sebaliknya manusia akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi.
Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberkan kemudahan bagi
manusia melaikan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Suatu yang kadang-
kadang harus dibayar mahal oleh manusia yang kehilangan sebagian arti dari
kemanusiaanya sendiri. Dewasa ini ilmu menjadikan kita dehumanisasi, namun
bahkan kemungkinan mengubah hakikat manusia itu sendiri. Sehingga ilmu bukan
lagi sebagai sarana namun menjadi tujuan hidup itu sendiri.
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya; untuk
apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan?, di mana batas wewenang penjelajahan
ilmu? Kemana arah perkembangan ilmu harus diarahkan? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut tidak merupakan urgensi bagi Copernicus, Galileo, dan ilmuan seangkatanya.
Namun bagi yang hidup di abad 20, persoalan tersebut menjadi persoalan yang sangat
urgen yang tidakdapat dielakkan. Dan untuk menjawab persoalan tersebut maka
ilmuan berpaling pada hakikat moral.11
Pengetahuan tentang proses berfikir ilmiah ialah hakikat ilmu pengetahuan dan
aspek-aspeknya. Dengan demikian pengenalan ilmu menyangkut kognitif dan afektif
terhadap wujud ilmu12. Menurut Jujun :
“…Kegiatan pendidikan keilmuan, tidak boleh berhenti pada
kematangan intelektual semata. Melainkan harus menjangkau
kedewasaan moral dan sosia. Penilaian akhir seorang ilmuan tidak
boleh diletakkan kepada kemampuan berfikir saja melainkan harus
mengikutsertakan kedewasaan sikap dan tindakan”13
B. Aksiologi Ilmu Pengetahuan
11
Ibid hlm, 233
12
Ibid hlm 3
13
Ibid hlm 3
6

a. Kegunaan Pengetahuan Sain


Apa kegunaan sain? Pertanyan ini sama dengan apa kegunaan pengetahuan
ilmiah karena sain (ilmu) isinya teori (ilmiah). Secara umum, teori artinya pendapat
yang beralasan. Alasan tersebut bisa berupa argumen logis14, dan ini merupakan
landasan teori filsafat. Sedangkan alasan yang berupa argumen perasaan atau
keyakinan yang kadang kadang empiris merupakan teori dalam pengetahuan mistik.
Sedangkan toeri sain harus berDasar kan argumen logis yang empiris.
Sekurang-kurangnya ada tiga manfaat kegunaan ilmu.

1. Ilmu sebagai alat Eksplansi


Berbagai ilmu yang berkembang dewasa ini, secara umum berfungsi sebagai alat
untuk membuat ekspalanasi kenyataan yang ada. Filsafat ilmu dapat dianggap sebagai
suatu studi tentang masalah-masalah eksplanasi15. Menurut T Jacob yang dikutip
Ahmad Tafsir, “sain merupakan suatu sistem eksplanasiyang paling dapat diandalkan
dibanding dengan sistem lain dalam memahami masa lampau, sekarang, serta
mengubah masa depan.
Sebagai contoh, ketika itu ada sebuah sepeda motor tua, dengan kenalpot yang
berasap tebal berwarna putih dengan jalan terseok seok dan tidak bisa berlari
kencang. Dari gejala yang timbul ini seorang mekanik yang memiliki ilmu tentang
perbengkelan, bisa membuat eksplanasi atau penjeleasan kepada pemilik motor
mengapa begitu. Itulah manfaat ilmu sebagai eksplanasi.

2. Ilmu sebagai alat Peramal


Tatkala membuat ekplanasi, biasanya ilmuan telah mengetahui juga faktor
penyebab gejala tersebut. Dengan menganalisis faktor dan gejala yang muncul,
ilmuwan dapat melakukan ramalan. Dalam term ilmuwan ramalan disebut prediksi
untuk membedakan ramalan embah dukun. Sebagai contoh, motor tadi, seorang
mekanik bisa memprediksi jika pemilik motor tidak mau merawat motor dan lalai

14
Ahmad Tafsir, Ibdi Hlm 37
15
Judistira, ibdi hlm 13
7

mengganti oli, maka ring sehernya akan cepat menipis dan oli mesin akan terbakar
dan menyebabkan asap menjadi tebal dan berwarna putih.

3. Ilmu sebagai alat Pengontrol


Eksplanasi sebagai bahan membuat prediksi dan kontrol. Ilmuan selain mampu
membuat ramalan berDasar kan eksplanasi gejala, juga dapat membuat kontrol.
Contoh : Agar motor kita awet, motor kita harus diservis dan ganti oli tiap 2000 km,
sehingga tingkat keausan mesin dapat ditekan dan diperlambat. Sehingga motor kita
awet.
Menurut Ahmad Tafsir16, Perbedaan prediksi dan kontrol ialah prediksi bersifat
pasif, sedangkan kontrol bersifat aktif.

b. Cara Sain Menyelesaikan Masalah


Ilmu atau sains yang didalamnya terdapatteori, dibuat untuk memudahkan
manusia, bila kita mendapat kesulitan yang kita kenal dengan istilah masalah, kita
menghadapi dan menyelesaikannya dengan ilmu.
Sebagai contoh, dulu ketika televisi baru diketemukan dan listerik maih sanggat
jarang, jika kita ingin menonton televisi harus menggunakan accu yang cukup besar
dan berat. Jika listrik di accu tersebut sudah lemah maka kita harus mencasnya di
kampung sebelah dengan cara di gotong, dan ini sangat mensulitkan kita. Tapi ketika
listerik sudah masuk ke kampung kita, kita tidak usah menggotong accu yang berat
itu karena sudah tidak terpakai, tapi kita tinggal mencoloknya di stop kontak dan
tinggal “Jetrek”. Tapi inipun masih menjadi masalah pula, ketika kita akan merubah
cenel dan kita harus mondar mandir meenghapiri televisi sekedar memijit tombol
program agar pindah cenel, tapi itu sudah berlalu karena sekarang kita cukup memijit
remot yang ada di tangan kita. Mudahkan ?
Beberapa tahun kemudian, anak-anak dikampung kita menjadi jarang mengaji,
malah mereka berlkuyuran di jalan padahal waktunya mereka mengaji atau belajar.
Mengapa begini?

16
Ibid hlm 41
8

Kemudian kita memanggil ilmuan untuk meminta bantuannya, mengapa bisa


begini? Kemudian ilmuan itu melakukan beberpa hal
Pertama, ia mengidentifikasi masalah yang ada, ia ingin tahu mengapa anak-anak
di kampung itu tidak mau belajar dan mengaji. Identifikasi biasanya dilakukan
dengan cara mengadakan penelitian. Yang hasinya dianalisis untuk mengetahui
secara persis segala sesuati dari gejaka tersebut.
Kedua ia mencari litelatur tentang sebab kemalasan anak-anak tersebut.
Ketiga ia mencari litelarur yang menerangkan cara memperbaiki kemalasan
anak-anak tersebut.

C. Aksiologi Pengetahuan Mistik


1. Kegunaan Pengetahuan Mistik
Mustahil pengetahuan mistik banyak pengikut yang begitu banyak, jika tidak
memiliki kegunaan. Pengetahuan ini sangat bersifat subjektif, yang paling tahu
kegunaan ilmu ini hanyalah pemiliknya. Bagi seorang sufi, pengetahuan mistik
menjadi jembatan untuk menentramkan jiwa mereka. bahkan mereka menikmati yang
luar biasa tatkala “berjumpa” dengan Tuhannya.
Pengetahuan mereka sering dapat menyelesaikan persoalan yang tidak
terselesaikan sain dan filsafat, jenis mistik lain berguna untuk seseorang sesuai
dengan kondisi dan situasi tertentu, terlepas benar tidak penggunaaanya.
Kegunaan pengetahuan mistik ini mulai tergeser, seiring kemajuan teknologi,
sekarang wanita cantik tidak cukup dipelet dengan “Semar Mesem” atau “Jaran
Giring” tapi mereka sangat tertari dengan “pelet Jepang” apalagi “pelet Jerman”.
Agaknya seleksi alamlah yang menentukan. Tapi mistik yang memembawa
ketenanganlah yang masih tetap akan bertahan.
9

2. Penggunaan Mistik untuk Menyelesaikan Masalah


Dari sisi penggunaanya, mistik ini terbagi menjadi dua penggunaan. Pertama
mistik-magis-putih yang digunakkan untuk hal kebaikan, seperti menolong orang,
mengobati, mendamaikan seseorang. Sedang yang kedua mistik-magis-hitam yang
digunakan untuk hal diluar mistik-magis-putih.
Orang mengatakan mistik putih karena manteranya diambil dari al Qur’an dan
ditulis dengan huruf arab, ada pula yang mengatakannya dari sisi tujuan yang hendak
dicapai.
Namun, secara teoritis, perbedan dapat dilihat dari sisi ontologi, epistimologi,
maupun aksiologi mistik magis tersebut. Bila ontologi, misalnya manteranya
melawan ajaran benar (misalnya agama) maka maka “ilmu” itu digolongkan hitam.
Pada sisi epistimologinya, jika “ilmu” itu harus didapat dengan cara melawan
yang ajaran benar maka itu pun dikatakan hitam. Misalnya untuk mencapai tujuan
ilmu itu diharuskan untuk berlari keliling kampung dengan telanjang.
Dari sisi aksiologi, juga demikian, bila “ilmu” ini digunakan untuk tujuan
melawan yang benar, maka dikatagorkan ilmu Magis-hitam, begitupun sebaliknya.
10

DAFTAR PUSTAKA

Al Quran dan Terjemah,

2009 Departemen Agama RI, As Syamil, Bandung,

Hatta, Muhammd, Dr.


1986, “Alam Pikiran Yunani”, Tintamas, Jakarta,

Judistira Garna, Prof. Ph.D.


1992 “Beberapa Dasar Ilmu Sosial”, PPS Unpad, Bandung.

Sudarsono, SH. M.Si,


2004 “Filsafat Islam”, Rineka cipta, Jakarta.

Suryasumantri, Jujun S,
2005 “Filsafat Ilmu”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta .

Syarif. MM, MA (Terjmh)


1989 “Para Filosof Muslim”, Mizan, Bandung.

Tafsir, Ahmad, Prof. Dr.,


2009 “Filsafat Ilmu”, Rosdakarya, Bandung.

--------

You might also like