You are on page 1of 4

Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit


yang mendasarinya. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi,
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfitrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Fungsi renal menurun menyebabkan produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalamdarah. Akibatnya terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.Semakin banyak timbunan produk
sampah, maka gejala akan semakin berat.
Retensi cairan dan natrium akibat dari penurunan fungsi ginjal dapat
mengakibatkan edema, gagal jantung kongestif/ CHF, dan hipertensi. Hipertensi juga
dapat terjadi karena aktivitas aksis rennin angiotensin dan kerjasama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron.
CKD juga menyebabkan asidosis metabolik yang terjadi akibat ginjal tidak
mampu mensekresi asam (H-) yang berlebihan. Asidosis metabolik juga terjadi akibat
tubulus ginjal tidak mampu mensekresi ammonia (NH 3-) dan mengabsorpsi natrium
bikarbonat (HCO3). Penurunan ekresi fosfat dan asam organik lain juga dapat terjadi.
Selain itu CKD juga menyebabkan anemia yang terjadi karena produksi
eritropoietin yang tidak memadai, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi
nutrisi, dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien,
terutama dari saluran pencernaan.Eritropoitein yang diproduksi oleh ginjal,
menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah jika produksi
eritropoietin menurun maka mengakibatkan anemia berat yang disertai keletihan,
angina, dan sesak napas.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme
akibat penurunan fungsi ginjal. Kadar serum kalsium dan fosfat dalam tubuh memiliki
hubungan timbal balik dan apabila salah satunya meningkat, maka fungsi yang lain
akan menurun. Akibat menurunya glomerular filtration rate (GFR) kadar fosfat akan

serum meningkat dan sebaliknya kadar serum kalsium menurun. Terjadinya


penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar
paratiroid. Tetapi, gagal ginjal tubuh tidak merespon normal terhadap peningkatan
sekresi parathormon. Sehingga kalsium di tulang menurun, yang menyebabkan
terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang. Demikian juga dengan vitamin D
(1,25 dihidrokolekalsiferol) yang dibentuk diginjal menurun seiring dengan
perkembangan gagal ginjal.
Penyakit tulang uremik/ osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks
kalsium, fosfat, dan keseimbangan parathormon.
Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) tanda dan gejala penyakit ginjal kronik
didapat antara lain :
1. Kardiovaskuler: hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, sekrum),edema
periorbital, pembesaran vena leher.
2. Integumen : warna kulit abu-abu mengkilat, kulit terang dan bersisik, pruritus,
ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
3. Pulmoner : krekles, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernafasan
kussmaul.
4. Gastrointestinal: nafas berbau amonia, ulserasi dan perdarahan pada mulit,
anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran GI.
5. Neurologi: kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan
pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, perubahan perilaku.
6. Muskuloskeletal: kram otot, kekuatan otot hilang, faktor tulang.
7. Reproduktif: amenore, atrofi testikuler.
Pemeriksaan Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik biasanya tidak menampakkan gejala-gejala pada tahap awal
penyakit. Untuk menegakkan diagnosa GGK, anamnesis merupakan petunjuk yang sangat
penting untuk mengetahui penyakit yang mendasari. Namun demikian pada beberapa
keadaan memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan khusus. Dengan hanya melakukan
pemeriksaan laboratorium bisa dikesan kelainan-kelainan yang berlaku. Individu-individu

yang mempunyai risiko besar untuk terpajannya penyakit harus melakukan pemeriksaan
rutin untuk mengesan penyakit ini. Menurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa
pada GGK dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium yaitu untuk menentukan
derajat kegawatan GGK, menentukan gangguan sistem dan membantu menegakkan
etiologi. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dilakukan untuk mencari apakah ada batuan,
atau massa tumor, dan juga untuk mengetahui beberapa pembesaran ginjal. Pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG) dilakukan untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri,
tanda-tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit.
Pemeriksaan urin termasuk di dalam pemeriksaan laboratorium. Antara
pemeriksaan urin yang dilakukan adalah urinalisa dan juga kadar filtrasi glomerulus.
Analisis urin dapat mengesan kelainan-kelainan yang berlaku pada ginjal. Yang pertama
dilakukan adalah dipstick test. Tes ini mengguanakan reagen tertentu untuk mengesan
sunstansi yang normal maupun abnormal termasuk protein dalam urin. Kemudian urin
diperiksa di bawah mikroskop untuk mencari eritrosit dan leukosit dan juga apakah
adanya kristal dan silinder. Bisanya dijumpai hanya sedikit protein albumin di dalam urin.
Hasil positif pada pemeriksaan dipstick menunjukkan adanya kelainan. Pemeriksaan yang
lebih sensitif bagi menemukan protein adalah pemeriksaan laboratorium untuk estimasi
albumin dan kreatinin dalam urin. Nilai banding atau ratio antara albumin dan kreatinin
dalam urin memberikan gambaran yang bagus mengenai ekskresi albumin per hari. Tahap
keparahan penyakit ginjal yang diukur berdasarkan Tes Klirens Kreatinin (TKK),
diklasifikasikan gagal ginjal kronik (chronic renal failure, CRF) apabila TKK sama atau
kurang dari 25 ml/menit. Penurunan fungsi dari ginjal tersebut akan berterusan dan
akhirnya mencapai tahap gagal ginjal terminal apabila TKK sama atau kurang dari 5
ml/menit.
Laju filtrasi glomerulus (LFG) adalah penunjuk umum bagi kelainan ginjal.
Dengan bertambah parahnya kerusakan ginjal, LFG akan menurun. Nilai normal LFG
adalah 100-140 mL/min bagi pria dan 85-115 mL/min bagi wanita. Dan ia menurun
dengan bertambahnya usia. LFG ditentukan dengan menentukan jumlah bahan buangan
dalam urin 24 jam atau dengan menggunakan indikator khusus yang dimasukkan secara
intravena.
The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National
Kidney Foundation (NKF) menyatakan gagal ginjal kronik terjadi apabila berlaku
kerusakan jaringan ginjal atau menurunnya glomerulus filtration rate (GFR) kurang dari
60 mL/min/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih. Berikut adalah tahap yang telah ditetapkan
menerusi (K/DOQI) pada tahun 2002 :

Stage 1: Kidney damage with normal or increased GFR (>90 mL/min/1.73 m 2)


Stage 2: Mild reduction in GFR (60-89 mL/min/1.73 m 2)
Stage 3: Moderate reduction in GFR (30-59 mL/min/1.73 m 2)
Stage 4: Severe reduction in GFR (15-29 mL/min/1.73 m 2)
Stage 5: Kidney failure (GFR <15 mL/min/1.73 m2 or dialysis)
Estimated GFR (eGFR) dilakukan dengan menghitung anggaran GFR
menggunakan hasil dari pemeriksaan darah. Adalah penting untuk mengetahui nilai
estimasi GFR dan tahap atau stage GGK penderita. Ini adalah untuk melakukan
pemeriksaan tambahan lain dan juga upaya panatalaksanaan.
Pemeriksaan darah yang dianjurkan pada GGK adalah kadar serum kreatinin dan
blood urea nitrogen (BUN). Ia adalah pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk monitor
kelainan ginjal. Protein kreatinin adalah hasil degradasi normal otot dan urea adalah hasil
akhir metabolisme protein. Hasil keduanya meningkat dalam darah jika adanya panyakit
pada ginjal. Electrolyte levels and acid-base balance ditentukan karena gagal ginjal akan
menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. Terutamanya kalium, fosfor dan kalsium
(Pranay, 2010). Hiperkalemia adalah yang perlu diberi perhatian. Keseimbangan asam
basa juga biasanya terganggu.
Blood cell counts dilakukan karena pada dasarnya, kerusakan ginjal menyebabkan
gangguan pada produksi eritrosit dan memendekkan jangka hayatnya. Ini menyebabkan
anemia. Sesetengah penderita juga mungkin mengalami defisiensi zat besi karena
kehilangan darah pada saluran gastrointestinal mereka.
Ultrasonografi (USG) adalah pemeriksaan gambaran yang tidak bersifat invasif.
Pada tahap kronik, ginjal biasanya mengerucut walaupun pada beberapa kelainan seperti
adult polycystic kidney disease, diabetic nephropathy, dan amiloidosis ia tampak
membesar dan mungkin normal. USG digunakan untuk mendiagnosa apakah terdapat
obstruksi, batuan ginjal, dan menilai aliran darah ke ginjal.

You might also like