You are on page 1of 22

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

dr. Riki Sukiandra, SpS.


PRINSIP TERAPI FARMAKA NYERI
Lucas Meliala
Secara patofisiologik, dalam buku ini, nyeri dibagi atas 3 jenis, yaitu:
1. Jenis I
Nyeri dengan stimulasi singkat dan tidak menimbulkan kerusakan jaringan. Pada
umumnya, tipe nyeri ini tidak memerlukan terapi khusus karena perlangsungannya
yang singkat.
2. Jenis II
Nyeri dengan stimulasi kuat atau berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
atau lesi jaringan. Nyeri tipe II ini dapat terjadi akut dan kronik dan pasien dengan
tipe nyeri ini, paling banyak datang ke fasilitas kesehatan.
3. Jenis III
Merupakan nyeri yang terjadi akibat adanya lesi sistem saraf perifer atau sentral dan
sering disebut nyeri neuropatik. Perbedaan nyeri tipe III dengan nyeri tipe II,
terutama dalam mekanisme dan terapi.
Terapi
Nyeri Akut
Penyebab nyeri akut antara lain operasi, kolik renal, infark miokard, nyeri
punggung bawah, artritis reumatoid, kanker, trauma, luka bakar, proses melahirkan, gigi
geligi dan sebagainya. Pada umumnya, pengobatan nyeri akut hanya dengan terapi
farmaka. Berbagai intervensi untuk nyeri akut dapat dilihat dalam bagan di bawah ini.

Nyeri Akut: Intervensi


METODE TERAPI
Menghilangkan
Medikasi
penyebab nyeri

Operasi
"Splinting"

Opioid
Morphine
Lain-lain

Non-opioid
Aspirin &
AINS
Paracetamol
Kombinasi

Analgesia regional

Cara sederhana
Blok saraf
Anestesi lokal
opioid
Teknologi tinggi
Epidural infusion
Local anaesthetic
opioid

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

Metode
secara fisik

Pendekatan
psikologis
Fisioterapi
Manipulasi
TENS
Akupunktur
Es

Relakasasi
Psikoprofilaksis
Hipnosis

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

Bagan I. Intervensi Nyeri Akut (McQuay and Moore, 1999 - terjemahan bebas penulis)
Nyeri akut akibat lesi jaringan dapat berlangsung singkat, namun terkadang,
seiring berjalannya waktu, nyeri akut dapat menjadi nyeri kronik. Hal ini disebabkan lesi
jaringan akan memacu berbagai respon fisiologik yang dapat bertahan lama dan bahkan
ireversibel. Oleh karena itu penanganan nyeri akut yang tepat disertai rekaman medik
sederhana merupakan usaha yang baik.
Berikut adalah contoh kartu penderita yang sangat berguna untuk peningkatan
kualitas penatalaksanaan nyeri. Kartu ini hanya contoh, dapat dimodifikasi sendiri oleh
masing-masing fasilitas kesehatan atau dokter.
Oxford Pain Chart
Tanggal
Intensitias Nyeri
Seberapa beratkah nyeri
anda hari ini?

Efek Pengobatan
Bagaimana efek obat
penghilang nyeri yang
anda minum hari ini?

Berat
Sedang
Ringan
Tidak nyeri
Sempurna
Baik
Sedang
Sedikit
Tidak ada

Efek samping

Bagaimana hasil pengobatan minggu ini?


Jelek, sedang, baik, baik sekali (lingkari sesuai dengan pilihan anda)

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

Nyeri Kronik
Berbagai intervensi penanganan nyeri kronik, baik nosiseptif/inflamasi maupun
neuropatik dapat dilihat dalam bagan di bawah ini.

Nyeri Kronik: Intervensi


METODE TERAPI
Terapi farmaka
Analgesik
NSAID/
Paracetamol
- opioid
Ajuvan analgesik
Antidepresan
Antikonvulsan
Dan lain-lain

Blok Transmisi
saraf
Ireversibel
Operasi
Alternatif
Destruksi saraf

Reversibel
Injeksi anestesi lokal
steroid

Stimulator
Akupunktur
Hipnosis
Psikologi

Bagan II. Intervensi Nyeri Kronik (McQuay and Moore, 1999 - terjemahan dan modifikasi
penulis)
Sebagian besar intervensi di atas dapat dikerjakan oleh dokter umum maupun
dokter spesialis kecuali tindakan-tindakan seperti operasi atau destruksi saraf yang
ireversibel, yang merupakan wewenang spesialis tertentu. Untuk memilih tindakan yang
paling tepat, sebaiknya dilakukan asesmen untuk masing-masing pasien dengan nyeri
kronik.
Nyeri kronik berbeda dengan nyeri akut. Nyeri akut jelas merupakan simtom.
Pada beberapa jenis nyeri kronik tampak di mana etiologi sudah berlalu, seperti pada
nyeri pasca herpes, tetapi nyeri tetap mengganggu. Untuk jenis-jenis nyeri kronik
tertentu, sebaiknya dipikirkan bahwa nyeri kronik itu adalah penyakit dengan tandatanda (signs) seperti raut muka merengut, postur abnormal, pincang, doctor shopping,
dan sebagainya
Sebagai simtom, misalnya cemas, ansietas, gangguan tidur, marah, depresi dan
sebagainya. Dari gambaran ini tampak bahwa penanganan kedua jenis nyeri tersebut,
terdapat perbedaan untuk akut dan kronik . Pada nyeri akut mungkin cukup dangan
analgetik, sedangkan untuk nyeri kronik selain analgetik, mungkin diperlukan ajuvan
analgetik seperti antikonvulsan, antidepresan maupun intervensi lain seperti
biofeedback atau pain coping lainnya.
Komponen Nyeri
Pengenalan komponen nyeri sangat penting untuk terapi. Berdasarkan definisi, nyeri
merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk
kerusakan tersebut. Terdapat 2 komponen utama nyeri yaitu komponen sensorik dan
komponen emosional. Komponen sensorik dapat dikatakan merupakan dasar dari nyeri,
tetapi sensorik saja tidak cukup untuk menimbulkan fenomena nyeri. Stimuli dengan

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

P
S
Y
C
H
O
L
O
G
I
C
A
L

kekuatan yang sama, yang menimpa dua orang belum tentu menimbulkan persepsi
yang sama untuk kedua orang tersebut.
Sebagai contoh kasus, misalnya dalam suatu peperangan, kadang ditemukan
seorang serdadu tertembak peluru di tubuhnya namun nyeri baru dirasakan setelah
istirahat (ada selang waktu antara terjadinya lesi dengan munculnya persepsi nyeri).
Dari contoh ini tampak jelas peranan emosional (psikologik) sangat menonjol. Pada
penderita nyeri, khususnya yang kronik, tidak jarang ditemukan kelainan psikiatrik
seperti depresi, ansietas, gangguan tidur dan sebagainya yang merupakan komponen
psikologik. Oleh karena itu bagi seorang klinisi sangat penting untuk melakukan
assesmen untuk masing-masing komponen nyeri tersebut.
Secara umum, perlu dibuat suatu model seperti gambar berikut ini.

SUFFERING

NOCICEPTIVE
NOCICEPTIVE
Gambar 1. Keterangan

lihat teks
Model ini menggambarkan derajat penderitaan (suffering) dari seseorang dengan
nyeri yang dipengaruhi oleh komponen sensorik dan komponen psikologik. Aspek
psikologik dipengaruhi tipe kepribadian premorbid, sosial, budaya dan sebagainya.
Kepentingan Model Nyeri
A

PSYCHOLOGICAL

NOCICEPTIVE
Gambar 2. Keterangan lihat teks

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

Sebagai contoh, dalam gambar 2 ini, ada dua orang penderita A dan B yang
mengalami penderitaan yang sama (dalam satu arkus). Penderita A mengalami nyeri
karena proses keganasan sehingga sangat mengganggu secara psikologik. Akibatnya,
komponen psikologiknya lebih besar dari komponen sensoriknya. Penderita B
mengalami nyeri oleh karena patah tulang. Penderitaan (suffering) pada kedua
penderita lebih kurang sama (dalam 1 arkus), akan tetapi komponen psikologik
(emosional) dan nosiseptif (sensorik) masing-masing berbeda. Penanganan nyeri kedua
penderita memerlukan intervensi pengobatan yang berbeda. Penderita A lebih
memerlukan konseling dan penderita B cukup dengan analgetik.
Penilaian masing-masing komponen nyeri dapat dilakukan dengan berbagai
instrumen. Asesmen nyeri VAS (Visual Analog Scale) berguna untuk pengukuran nyeri
sensorik. MPQ (McGill Pain Questionnaire) berguna untuk penilaian sensorik maupun
mood dan motivational, MMPI untuk komponen psikologik sedangkan Back Depression
Inventory untuk penilaian depresi.
Terapi Farmaka
Tidak semua nyeri harus diberikan terapi farmaka (TF). Ada beberapa keadaan
dimana nyeri dapat dihilangkan dengan terapi fisik misalnya dengan pijatan, kompres es
dan sebagainya. Bila harus memberikan TF maka perlu dipertimbangkan yang paling
efektif. Untuk itu sebaiknya dilakukan penilaian sifat dan derajat nyeri, akut atau kronik,
benigna atau maligna, organik atau psikogenik.
Pemberian TF umumnya didasarkan atas derajat nyeri. Banyak metode yang
lazim diperkenalkan untuk menentukan derajat nyeri, antara lain:
1. Numeric Rating Scale
Pasien diminta untuk menentukan berat nyeri yang diderita saat diperiksa
dengan memilih angka dari 0-10 di mana angka 0 berarti tidak ada rasa
nyeri dan 10 berarti nyeri paling berat.
<4
: Nyeri ringan
4.6
: Nyeri sedang
7.10
: Nyeri berat
2. Visual Analog Scale (VAS)
0 - <4 : Ringan
>4 - <7 : Sedang
>7 10 : Berat
3. Skala Kategori
Pasien diminta memilih kata-kata yang sesuai dengan kualitas nyeri yang diderita,
yaitu : ringan sedang berat berat sekali
Tabel di bawah ini melukiskan penggunaan analgetik maupun OAINS untuk
masing-masing nyeri dengan derajat ringan sampai berat, kecuali nyeri akut dan berat
sekali.

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

Bagan Farmakoterapi
OBAT

INDIKASI

MEKANISME

DOSIS

EFEK SAMPING

NYERI RINGAN
Farmakoterapi Tingkat I
ASPIRIN

ASETAMINOFEN

Analgesik
Anti inflamasi
Anti Piretik
Anti Platelet

Inhibisi
Sintesis
Prostaglandin

Usia
(Tahun)

Takaran

<2
2 -11
> 11 dan
Dewasa

Analgesik
Antipiretik
Toleransi
terhadap
aspirin (-)

Inhibisi sintesis
prostaglandin
dengan efek anti
inflamasi
minimal

Dewasa

Dasar BB
64 mg/kg/hari 46X
325 - 650 mg
tiap 4 jam
maksimal 4 g/
hari
325-650 mg/4-6
jam
480 mg
400 mg
320 mg
240 mg
160 mg
120 mg
80 mg
40 mg

Menurunkan
konsentrasi
prostaglandin
jaringan

Dewasa

Menurunkan
konsentrasi
prostaglandin
jaringan

Dewasa

11
9-10
6-8
4-5
2-3
1-2
4-11 bulan
< 4 bulan

Perdarahan
gastrointestinal
Gangguan
pendengaran
s/d tuli
Depresi AL
Anemia hemolitik

Hepatotoksik
Perdarahan
gastrointestinal
Anemia
Ruam kulit
Nefrotoksik

Farmakoterapi Tingkat II

IBUPROFEN

SODIUM
NAPROKSEN

Bila
respon
terhadap
aspirin
&
asetaminofen
(-)
Analgesik
Anti-inflamasi
Anti-platelet
Analgesik
Anti-inflamasi
Anti-piretik
Anti-platelet

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

11-15,9
16-21,9
22-26,9
27-31,9
32-42,9

>65
>13 kg
>25 kg
>38 kg

kg
kg
kg
kg
kg

200 mg / tiap 46 jam


100 mg
150 mg
200 mg
250 mg
300 mg
D/ awal 440 mg
Selanjutnya
220 mg/8-12 jam
220 mg/8-12 jam
25 mg
50 mg
75 mg

Asma
Polip hidung
Tukak lambung
Gangguan perdarahan /
Gangguan sel darah
Kerusakan ginjal
Gangguan
pola
menstruasi
Iritasi gastrointestinal
Komplikasi hati dan ginjal
Tukak lambung aktif
Gangguan perdarahan
Gangguan sel darah

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

KETOPROFEN

Nyeri pada
demam
Nyeri
punggung
bawah
ringan
Nyeri gigi
Kram
menstruasi
Nyeri otot
Nyeri
ringan
pada
arthritis

Dewasa
3 bl-14 th

NYERI SEDANG
Farmakoterapi Tingkat III
ASETAMINO-FEN

12,5 mg/ 4-6 jam


0,5-1,0 mg/kg

Penyesuaian dosis
(Misal: Aspirin 1000 mg)

Iritasi gastrointestinal

Iritasi
gastrointestinal

IBUPROFEN
SODIUM
NAPROKSEN
KETOPROFEN

OBAT

INDIKASI

MEKANISME

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

DOSIS

EFEK SAMPING

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

Farmakoterapi Tingkat IV
Jika farmakoterapi tingkat III gagal, AINS yang dipilih dapat diganti. Pilihan AINS ke-2 sebaiknya
dari kelompok kimia yang berbeda
(Lihat tabel analgetik non-opioid yang paling sering digunakan) (hal. 12)
Farmakoterapi Tingkat V
OPIOID
Analgesik
Ikatan & aktivasi
Efek
(Mis. Kodein)
reseptor stereogastrointestinal:
specifik pada
nausea,
sistem saraf
konstipasi, distres
lambung
Depresi
pernafasan
Euforia
Dependensi fisis
Farmakoterapi Tingkat VI
TRAMADOL
Aktivasi
receptor
50-100
mg/4-6 Hepatotoksik
jam
Perdarahan
opioid-
gastrointestinal
Inhibisi reuptake
Anemia
norepinefrin
Ruam kulit
Nefrotoksik
NYERI BERAT
Farmakoterapi tingkat VII
MORFIN
Bila terapi
Agonis murni
dengan nonnarkotik tak
efektif
Bila terdapat
riwayat terapi
narkotik untuk
nyeri
CAMPURAN
Blok aktivasi
Agoniskomponen
antagonis
kompleks receptor
pentazosin
AGONIS
Blok aktivasi
PARSIAL
komponen
kompleks receptor

Tabel 1.Analgetik Non Opioid Yang Paling Sering Digunakan


Nama Obat
Aspirin
Kalium Diklofenak
Natrium diklofenak
Ibuprofen
Indometasin
Ketoprofen
Asam mefenamat
Naproxen
Piroksikam
Tenoksikam
Meloksikam
Celecoxib
Nimesulfid
Ketolorak
Asetaminofen
Tramadol

Dosis
325-1000 mg
50-200 mg
50 mg
200-800 mg
25-50 mg
25-75 mg
250 mg
250-500 mg
10-20 mg
20-40 mg
75 mg
100 mg
100 mg
10-30 mg
500 mg
50-100 mg

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

Jadwal
4-6 jam sekali
8 jam sekali
8 jam sekali
4-8 jam sekali
8-12 jam sekali
6-12 jam sekali
6 jam sekali
12 jam sekali
12-24 jam sekali
24 jam sekali
24 jam sekali
12 jam sekali
12 jam sekali
4-6 jam sekali
6-8 jam sekali
8 jam sekali

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

Pemilihan Analgesik
Obat-obat yang sering dipergunakan sebagai analgesik standar untuk nyeri akut
dan nyeri nosiseptif kronik ialah morfin untuk pemberian parenteral, parasetamol,
aspirin dan ibuprofen untuk pemberian per oral. Untuk nyeri neuropatik tidak ada obat
yang dapat dipergunakan sebagai standar walaupun antidepresan trisiklik dan
karbamasepin dapat mencapai status tersebut. Karbamasepin merupakan satu-satunya
anti konvulsan yang diizinkan oleh FDA (Food and Drug Administration) di Amerika
sebagai terapi nyeri.
Selama ini kita mengenal berbagai hasil uji klinik obat dengan istilah-istilah
statistik seperti nilai P tertentu, odds ratio, relative risk dan sebagainya, yang kadangkadang sangat membingungkan. Untuk mempermudah bacaan hasil uji coba klinik, akhir
akhir ini dipergunakan istilah NNT (number needed to treat). NNT melukiskan jumlah
penderita yang diterapi dengan obat tertentu untuk mendapatkan hasil satu orang
diantaranya dengan pengurangan nyeri minimal 50 % selama 4 - 6 jam yang bukan
karena efek plasebo.
Perhitungan NNT untuk uji coba analgesik ialah dengan rumus berikut:
NNT =
1

Proporsi penderita yang


mendapatkan pengurangan
nyeri minimal sebesar
50% dengan analgesik
tertentu

Proporsi penderita dengan


pengurangan nyeri minimal
50% dengan plasebo

Nilai NNT yang terbaik pada umumnya antara 2 sampai 5. Nilai NNT 2 berarti
setiap dua orang diterapi dengan obat tersebut satu orang akan mendapat pengurangan
nyeri minimal 50 % selama 6 jam. Makin kecil nilai NNT makin efektif obat tersebut.
Untuk menilai efek samping dipergunakan istilah NNH (number needed to harm),
di mana makin kecil angkanya makin besar efek sampingnya. Dalam gambar 3 dapat
dilihat nilai NNT untuk berbagai obat dan dosisnya.

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

Pethidine Inj.(i.m)100 mg

Gambar 3. NNT untuk berbagai obat dan dosisnya

Untuk Nyeri Akut dan Berat


Obat pilihan morfin
Berikan injeksi i.m atau s.c. 10-20 mg untuk orang dewasa
Tiap 4-6 jam, dengan prinsip descending the ladder
Kemudian dosis diturunkan pelan-pelan.
Bila perlu pemberian morphin jangka panjang, untuk selanjutnya lebih baik
diberikan peroral dan dipilih obat yang long acting.

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

10

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

Gambar 4. Analgesic Dosing Ladder


Untuk Nyeri Kronik Berat
Obat pilihan morphin sulfat peroral
Parenteral, dapat diberikan bila ada gangguan pemberian oral.
Dosis peroral dari 10-100 mg, tergantung beratnya nyeri
(Catatan: Makin tinggi dosis makin tinggi efek analgesik)
Pemberian obat around the clock lebih menguntungkan daripada
pemberian as needed.
Nyeri Kronik Maligna
Ikuti Three Step Analgesic Ladder (gambar 5)
Langkah pertama
Aspirin, asetaminofen atau OAINS dikombinasikan dengan obat-obat ajuvan analgesik.
Ajuvan Analgesic:
Sebagai analgesik :
- Antidepresant TCA
- Anti konsulvan
Memperkuat efek analgesik dari narkotik.
Misal: TCA, Coffein, Dextroamphetamin
Anti nausea :
- Anti histamin
- Phenothiazines
Anti sedasi :

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

11

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

- Amphetamin
Mengurangi kompresi pada serabut saraf:
- Kortikosteroid
Mengurangi konstipasi:
- Laxansia
Mengurangi rasa gatal:
- Anti histamin
Langkah kedua
Bila langkah pertama kurang efektif, maka obat pada langkah pertama
diteruskan ditambah dengan narkotik oral dan ajuvan analgesik
Narkotik pilihan adalah Codein. Bisa dikombinasikan dengan aspirin,
Asetaminofen atau OAINS.
Langkah ke 3
Langkah ketiga diambil bila langkah kedua kurang efektif. Obat-obatan di
langkah kedua dihentikan, obat di langkah pertama diteruskan, ditambah
dengan grup narkotik yang lebih poten. Obat pilihan adalah morfin dengan
dosis dapat dinaikkan tanpa batas, sementara diawasi respirasi, mental
status dan kesiagaan.
(Catatan: Pada penderita kanker dengan fase terminal, pemberian morfin
dosis tinggi dapat menyebabkan komunikasi terganggu, maka dapat
diberikan stimulan, misalnya methylphenidate (Ritalin)

Gambar 5. Three-Step Ladder


636
257
Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

12
3

1167
816
5061
2283
790
963
2898
946

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

KHUSUS NYERI NEUROPATIK


Sampai saat ini banyak obat yang digunakan untuk terapi nyeri neuropatik (NN)
seperti antikonvulsan, antidepresan, anestesi lokal dan sebagainya. Walaupun banyak
obat yang digunakan, belum satu pun dari obat-obatan tersebut dapat dikatakan sebagai
obat pilihan (drug of choice) untuk nyeri neuropatik.
McQuay and More (1999) mengatakan, analgesik standar untuk nyeri akut dan
nyeri nosiseptik kronik ialah morfin secara parenteral, sedangkan parasetamol, aspirin
dan ibuprofen untuk pemberian per oral. Belum ada obat standar untuk nyeri neuropatik
walau pun antidepresan trisiklik (amiptriptilin) dan karbamasepin dapat dikatakan telah
mencapai status tersebut. Oleh karena itu sampai saat ini, sebagai obat pilihan pertama
(first line) hanya amitriptilin dan karbamasepin.
Mekanisme Nyeri Neuropatik Sebagai Dasar Farmakoterapi
Banyak pakar menyatakan bahwa pemahaman patofisiologi nyeri neuropatik
yang mendasari timbulnya simtom sangat membantu dalam penanganan nyeri
neuropatik . Pengobatan berdasarkan mekanisme merupakan hal yang penting,
mengingat banyak pasien dengan sindroma nyeri neuropatik yang sama, misalnya
menderita neuropati diabetika tetapi menunjukkan simtom yang berbeda. Satu penderita
neuropati diabetika dengan simtom panas yang berkepanjangan di kaki (spontaneous
burning pain) dan penderita neuropati diabetika lainnya menunjukkan gejala disestesia
(spontan) Kedua gejala tersebut yaitu panas dan disestesia menggambarkan
mekanisme yang berbeda. Oleh karena itu pengobatan untuk masing-masing simtom
tersebut sebaiknya ditujukan kepada mekanisme yang mendasari terjadinya simtom
tersebut.
Seperti sudah banyak diterangkan dalam bab patofisiologi nyeri (dalam buku ini),
terdapat tiga proses utama dalam mekanisme atau patofisiologi nyeri yaitu :
1. Sensitisasi perifer
2. Sensitisasi sentral
3. Disinhibisi sentral
Sensitisasi Perifer
Dalam mekanisme sensitisasi perifer, proses yang paling banyak berperan ialah
aktivitas ektopik (AE). Terdapat 3 tempat munculnya AE yaitu:
1. Neuroma
2. Serabut saraf yang lesi, misalnya akibat kompressi
3. Neuron di ganglion radiks dorsalis dari serabut saraf yang lesi
AE menimbulkan NN melalui :
1. Aliran impuls yang abnormal ke susunan saraf pusat (SSP) yang langsung dapat
menimbulkan simtom parestesia, disestesia dan nyeri.
Misalnya: - Aktivitas yang dijalarkan melalui serabut saraf C menyebabkan
timbulnya persepsi panas (burning pain)
- Aktivitas spontan yang intermitten di serabut A atau A
menyebabkan nyeri seperti ditikam (lancinating) disestesia atau
parestesia.
2. Adanya saluran-saluran ion baru di daerah lesi (neuroma, lokasi lesi, ganglion radiks
dorsalis) menyebabkan timbulnya reseptor-reseptor yang sensitif terhadap impuls
mekanikal, termal maupun kemikal. Kumpulan reseptor yang ektopik ini
menyebabkan terjadinya hiperalgesia, misalnya ketukan ringan di lokasi ektopik
dapat menimbulkan nyeri seperti pada sindroma terowongan karpal (Tinel sign).

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

13

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

Stres menyebabkan nyeri memberat karena katekolamin yang mengaktivasi reseptor


adrenergik.
3. AE menyebabkan sensitisasi sentral sebagai penyebab utama hiperalgesia maupun
allodinia.
Peranan Saluran Ion Na (Na+ Channel)
Saluran ion Na (SI-Na) terdapat di seluruh sel saraf yang merupakan generator
impuls utama. Penjalaran impuls di akson sangat tergantung dari fungsi SI-Na. Adanya
AE disebabkan oleh munculnya SI-Na di daerah lesi, neuroma mau pun ganglion radiks
dorsalis. Sampai saat ini terdapat lebih dari 12 macam SI-Na yang telah ditemukan.
Semua SI-Na dibagi atas 2 bagian besar yaitu:
1. SI-Na - TTX-s
Yaitu saluran ion natrium yang sensitif terhadap tetrodotoksin
2. SI-Na - TTX-r
Yaitu saluran ion NA yang resisten terhadap tetrodotoksin
Masing-masing jenis SI-Na tersebut terdiri atas berbagai SI-Na. SI-Na TTX-s sangat
sensitif terhadap tetrodotoksin. Pada binatang percobaan dengan nyeri neuropatik,
pemberian tetrodotoksin (TTX) menyebabkan penghambatan aktivitas neuronal dengan
memblok SI-Na TTX-s di lokasi lesi. Akan tetapi, SI-Na TTX-s di seluruh serabut
saraf juga turut diblok dan menyebabkan efek samping yang berat. SI-Na TTX-r sering
disebut dengan istilah PN3, yang terdapat di neuron-neuron kecil di ganglion radiks
dorsalis. Diperkirakan PN3 berfungsi sebagai transmisi nyeri. Dari berbagai percobaan
ditemukan bahwa PN3 dari neuron kornu dorsalis menyebar ke serabut saraf C dan A
yang mengalami lesi dan menimbulkan aktivitas ektopik.
Redistribusi yang dinamis SI-Na yang spesifik nyeri menggambarkan adanya
perbedaan molekul
SI-Na yang terdapat di serabut aferen nilai ambang rendah
maupun yang terdapat di jantung dan otak. Perbedaan ini memungkinkan pencarian
obat baru yang selektif memblok SI-Na spesifik nyeri (silent nociceptors).

Proses Sentral dalam Mekanisme NN


Seperti telah diterangkan dalam patofisiologi nyeri (dalam bab patofisiologi) ada
2 gejala utama sebagai akibat adanya perubahan fungsi maupun struktural di sistem
saraf pusat (SSP), yaitu hiperalgesia dan allodinia. Dalam proses di SSP, yang sangat
berperan ialah neurotransmiter glutamat sebagai eksitatori, GABA sebagai inhibitori
dengan masing-masing reseptornya dan saluran ion yang dinamakan voltage sensitive
sodium channel (VSSC) dan voltage sensitive calcium channel (VSCC). Peran,
glutamat, GABA. VSSC dan VSCC beberapa kelainan di SSP dapat dilihat pada tabel
berikut (lihat tabel 1).
Tabel 2. Peranan glutamat, GABA, VSSC, VSCC pada gangguan SSP
Glutamat
Seizures
(bangkitan)
Nyeri neuropatik
Neurotoksisitas
Penyakit
degeneratif
Migren

GABA
Seizures

VSSC
Seizures

VSCC
Seizures

NN
Gangguan bipolar

NN
Neurotoksisitas
Penyakit
degeneratif
Gangguan bipolar

NN
Neurotoksisitas
Penyakit degeneratif

Migren

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

Migren

14

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

Di samping sensitisasi sentral, mekanisme lain yang terjadi di SSP yaitu disinhibisi.
Penurunan inhibisi berarti eksitasi. Penurunan inhibisi, misalnya konsentrasi GABA/glisin
menurun dan penurunan fungsi opioid. Penurunan fungsi opioid diperkirakan oleh
penurunan aktivitas inhibisi desendens, di mana yang berperan adalah serotonin dan
noradrenalin
Pemeriksaan Sensorik Kuantitatif
Pemeriksaan neurologik harus dilakukan untuk setiap penderita NN. Pada bab ini
secara singkat dibicarakan pemeriksaan sensorik secara kuantitatif khusus untuk tujuan
pengobatan (lihat tabel 3)
Tabel 3. Pemeriksaan Sensorik Kuantitatif
Hiperalgesia
Sub tipe
Tusukan mekanik
Temperatur (dingin)
Temperatur (panas)

Prosedur tusuk kulit


Tusukan kulit secara manual
dengan jarum
Kontak kulit dengan pendingin,
mis: aseton
Kontak kulit dengan objek 46C

Respon klinis
Nyeri tajam superfisial

Prosedur
Tekanan ringan pada kulit secara
manual
Tusukan ringan secara manual
(dengan filamen von Frey, tusuk
gigi)
Rabaan kulit (dengan si
kat, cotton bud/lidi kapas)

Respon Klinis
Nyeri tumpul

Tekanan ringan pada persendian


Kontak kulit dengan objek 20C
Kontak kulit dengan objek 40C

Nyeri dalam pada persendian


Nyeri serasa terbakar
Nyeri serasa terbakar

Nyeri serasa terbakar


Nyeri serasa terbakar

Allodinia
Sub tipe
Mekanik statis
Sentuhan mekanik
Mekanik dinamis

Mekanik somatis yang dalam


Temperatur (dingin)
Temperatur (panas)

Nyeri tajam superfisial


Nyeri tajam superfisial

Tolle, 2000; terjemahan bebas penulis


Farmakoterapi Berdasarkan Mekanisme Simtom
Telah diterangkan di atas bahwa SI-Na memegang peranan penting untuk
timbulnya AE. Oleh karena itu, obat-obatan yang berfungsi sebagai Na+channel blocker,
dianggap bermanfaat sebagai terapi. Obat-obat tersebut antara lain anestesi lokal
(lidokain), antiaritmia (mexiletin) dan antikonvulsan (karbamasepin). Dalam praktek, obat
yang paling banyak digunakan dan berdasarkan uji coba obat ialah antikonvulsan.
Antikonvulsan
Epilepsi dan NN timbul dari aktivitas yang berlebihan dari sistema nervorum.
Epilepsi dipicu oleh hipereksitabilitas SSP yang dapat menyebabkan bangkitan spontan
yang paroksismal yang sama dengan kejadian pada NN berupa nyeri spontan dan
paroksismal. Pada epilepsi, peran reseptor NMDA dalam influks Ca 2+ merupakan dasar
proses kindling, sama halnya dengan proses terjadinya wind-up pada NN. Epilepsi dan
NN juga menunjukkan adanya proses plastisitas (lihat tabel 2). Prinsip pengobatan pada

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

15

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

epilepsi adalah penghentian proses hiperaktivitas terutama dengan blok SI-Na atau
pencegahan sensitisasi sentral dan perubahan inhibisi.
Antikonvulsan yang memblok SI-Na ialah karbamasepin, okskarbasepin,
lamotrigin, fenitoin, sedangkan yang mampu mencegah sensitisasi sentral adalah
gabapentin (gambar 6, gambar 9, tabel 2)

Serabut aferen

Medula spinalis

Oxcarbazepine
Plastisitas
neuron

Lesi saraf

Aktivitas ektopik

C fiber

Sensitisasi sentral

A fiber
Aktivitas ektopik
Perubahan fenotip

Perubahan
sistem
modulasi
,

Lancet 1999
Woolf & Mannion,
Attal & Bouhassira, Acta Neurol Scand 1999

Gambar 6. Mekanisme Kerja Oxcarbazepine pada Nyeri Neuropatik


Dosis dan frekuensi antikonvulsan dapat dilihat dalam tabel 4.
Tabel 4. Dosis dan Frekuensi Pemberian Anti Konvulsan
Nama Obat
Dosis
Jadwal
Gabapentin
300 -1500 mg/ hari
BID-QID
Oxcarbazepin
900 -1800 mg/ hari
QID
Carbamazepin
100-1000 mg/hari
BID-QID
Lamotrigin
150-500 mg/hari
BID
Fenitoin
100-300 mg/hari
QID
Topiramat
25-200 mg/hari
BID
Asam Valproat
150-1000 mg/hari
TID
Klonazepam
1,5 - 6 mg/hari
TID
Efek Samping Obat:
1. Carbamazepin : diplopia, pusing, sakit kepala, mengantuk, neutropeni
hiponatremi
2. Feniton : nistagmus, ataksia, mual-muntah, hipertofi gusi, mengantuk, anemia
megaloblastik
3. Lamotrigin : diplopia, mengantuk
4. Gabapentin : somnolen, pusing dan ataksia

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

16

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

Asam Valproat: tremor, berat badan meningkat, dispepsia, mual-muntah dan


alopesia
6. Topiramat : kelelahan, nervous, ataksia, problem kognitif dan anoreksia.
7. Klonazepam: sedasi, ataksia, hipersalivasi, iritabel
Antikonvulsan tersebut di atas sering digunakan sebagi terapi NN. ganan Nyeri
Neuropatik. Dalam gambar 7 dapat dilihat NNT berbagai obat dan antikonvulsan.
5.

Gb.7. Nilai NNT Beberapa Obat Untuk NN


Imipramine optimal dose
Phenytoin
TCAs
Carbamazepine
Tramadol
Gabapentin
Capsaicin
SSRIs
0

NNT
Tinjauan Khusus
1. Karbamasepin dan Okskarbasepin
Amitriptilin dan karbamasepin merupakan obat yang memenuhi syarat sebagai
standar terapi untuk nyeri neuropatik. Karbamasepin merupakan satu-satunya
antikonvulsan yang diizinkan untuk beredar di Amerika Serikat sebagai terapi NN. Kedua
obat tersebut dalam penggunaannya untuk terapi NN dibatasi oleh efek samping yang
cukup tinggi yang kadang-kadang mengharuskan penghentian obat. Okskarbasepin
(Trileptal ) merupakan antikonvulsan yang struktur kimianya mirip dengan karbamasepin
maupun amitriptilin (gambar 8).
Dari beberapa uji coba klinik, pengobatan dengan okskarbasepin pada berbagai
jenis NN menunjukkan hasil sangat memuaskan, sama atau sedikit di atas
karbamasepin dengan efek samping minimal.

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

17

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

Gambar 8. Mekanisme kerja beberapa ikatan trisiklik

Ikatan Trisiklik
H

O
CH CH

CH3

CH2 CH2N

Ca++ channel
block

NH2

NH2

Carbamazepine

Oxcarbazepine

(L-type [?])

(L-type)

(MHD blocks N-type)

(5-HT and NA reuptake


inhibition)

NMDA receptor
block
Increased
extracellular
5-HT

CH3

Amitriptyline
Na+ channel
block

C CH

Acetylcholine
receptor block

2. Lamotrigin
Merupakan antikonvulsan baru yang bekerja untuk stabilisasi membran melalui
voltage sensitive sodium channel (VSSC). Blok VSSC menghambat pelepasan glutamat.
Dalam uji coba klinik untuk penderita nyeri neuropati diabetika, lamotrigin unggul dari
plasebo, khususnya untuk simtom nyeri spontan.
3. Gabapentin
Pada tahun 1995 Gabapentin diizinkan beredar di AS sebagai adjunctive therapy
untuk epilepsi. Telah dilaksanakan uji coba klinis gabapentin terhadap nyeri neuropati
diabetika dan untuk nyeri pasca herpes dengan hasil yang memuaskan dengan efek
samping minimal. Mekanisme kerja gabapentin belum diketahui dengan pasti tetapi
diperkirakan kerja utama obat tersebut sebagai antagonis reseptor 2 yang merupakan
subunit dari saluran ion Ca2+ (gb.9)
Keterangan: . VGSC= Voltage-Gate Sodium Channel
VGCC= Voltage-Gate Calcium Channel
GBP=Gabapentin
CBZ=Carbamazepine

BRAIN
VGSC

CBZ
OXC
LTG

Opioids
GABA
VGSC
Altered Activity
GBP?
VGCC

GBP?
VGSC
VGSC

Ca++

GLUTAMATE

+
Altered Properties

Ca++
NMDA ++
AMPA
Kainate
Hyperexitability

PEPTIDES

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

18

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

OXC=Oxcarbazepine
LTG=Lamotrigin
Gambar 9. Diagram yang menunjukkan aksi antikonvulsan di saluran ion
Di samping sebagai antagonis dari 2, gabapentin diperkirakan juga bekerja
untuk peningkatan GABA. Oleh karena itu gabapentin sangat berguna sebagai terapi
allodinia. Selain sebagai terapi untuk NN dari uji coba klinis, gabapentin juga dapat
memperbaiki siklus tidur yang merupakan gejala ikutan nyeri neuropatik.
Akhir-akhir ini penggunaan gabapentin dalam pengobatan nyeri neuropatik
cukup meluas. Hal tersebut terutama disebabkan efektivitas gabapentin hampir sama
dengan farmakoterapi lini pertama, amitriptilin dan karbamasepin (gambar 7),
sedangkan insiden efek samping sangat rendah, mudah dimonitor, rentang dosis yang
luas dan jarang terjadi interaksi antar obat.
Beberapa obat antikonvulsan yang sering dipergunakan dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 5. Dosis dan Frekuensi Pemberian Anti Konvulsan
Nama Obat
Dosis
Gabapentin
300 -1500 mg/ hari
Oxcarbazepin
900 -1800 mg/ hari
Carbamazepin
100-1000 mg/hari
Lamotrigin
150-500 mg/hari
Fenitoin
100-300 mg/hari
Topiramat
25-200 mg/hari
Asam Valproat
150-1000 mg/hari
Klonazepam
1,5 - 6 mg/hari

Jadwal
BID-QID
QID
BID-QID
BID
QID
BID
TID
TID

Antidepresan Sebagai Analgetik Ajuvan


Cara penggunaan antidepresan dapat dilihat dalam bab khusus dalam buku ini
dan Penuntun Praktis Penanganan Nyeri Neuropatik. Mekanisme kerja antidepresan
terutama sebagai reuptake inhibition dari serotonin (5HT) dan norepinefrin (NE) di sinap
neuron SSP . Inhibisi terhadap reuptake 5HT dan NE menyebabkan kadar kedua zat
tersebut di sinap tetap tinggi sehingga memacu neuron pasca sinap untuk
mengeluarkan enkefalin yang berfungsi sebagai inhibisi. Mengingat fungsi antidepresan
terutama jenis trisiklik (TCA) yang memperkuat inhibisi, maka penggunaan TCA dapat
dikatakan cukup luas sebab dapat digunakan untuk terapi berbagai tipe nyeri. TCA
cukup efektif untuk terapi nyeri kanker, nyeri punggung bawah, berbagai nyeri kepala
dan nyeri kronik lainnya.
Dalam tabel di bawah ini dapat dilihat beberapa antidepresan yang sudah
digunakan untuk terapi NN

Tabel 6. Dosis dan Frekuensi Pemberian Obat Anti Depresan


1. Tertiary Amine
NAMA OBAT
DOSIS ORAL (MG/HARI)

JADWAL

Amitriptilin(Elavil)
Imipramine(Tofranil)

1-3X
1-3X

10-150mg/hari
25-75 mg/hari

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

19

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

Maproptilin
Clomipramine(Anafranil)
Nortriptilin

25-150 mg/hari
10-150mg/hari
10-30 mg/hari

2. Secondary Amine
NAMA OBAT
Nortriptyline(Pamelor)
Desipramine(Norpramin)
Maprotiline(Ludiomil)
Protriptyline(Vivactil)

1-3X
1-3X
1-3X

DOSIS
10-150mg/hari
10-300mg/hari
10-225mg/hari
15-40mg/hari

JADWAL
QD-BID
QD-BID
QD
TID-QID

3. Anti Depresan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)


NAMA OBAT
DOSIS

JADWAL

Paroxetine(Paxil)
Fluoxetine(Prozac)
Sertraline(Zoloft)
Fluvoxamine(Luvox)

QD
QD
QD
QD- BID

20-40mg/hari
20 mg/hari
50 mg/hari
50-100mg/hari
KEPUSTAKAAN

1. Brune K, Zeilhofer HU: Antipyretic (non-narcotic) Analgesics. In Wall PD,


Melzack R (eds). Textbook of pain, Churchill Livingston,
Edinburgh, 1999, pp1139-53
2. Miyoshi HR: Systemic Nonopioid Analgesics. In Loeser JD, Butler SH,
3.
Fordyce WF: Back Pain in Workplace. IASP Press, Seattle, 1995,
pp5-9
4. Loeser, JD, Melzack R: Pain: An Overview, The Lancet, 353: 1999,
pp.1607-09
5. Fields. H, Baron R, Rowbotham MC: Peripheral Neuropathic Pain: An
Approach to Management. In Wall PD, Melzack R (eds).
Textbook of Pain, Churchill Livingston, Edinburgh, 1999, pp152333
6. Watt-Watson JH, Clark AJ, Finley GA, Watson CPN Canadian Pain
Society: Position Statement on Pain Relief. Pain Res Manage 4:
2, 1999, pp 75-8
7. Tollison CD: Pain and It's Magnitude. In Weiner RS (Ed): Pain
Management. CRC Press, Ill., 1998, pp3-6
8. Cervero F and Laird JMA: From Acute to Chronic Pain: Mechanisms and
Hypothesis. In: Carli G and Zimmermann, (eds) Progress in Brain
Research. Vol.110, Elsevier Amsterdam, 1996
9. Carr DB, Goudas LC: Acute Pain. Lancet 353, 1999, pp 2051-8

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

20

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

10. Turk DC, Okifuji A: Assessment of Patients Reporting of Pain: an


Integrated Perspective. The Lancet, 1999, pp 1784-88
11. Meliala L, Suryamiharja, Purba JS: Konsensus Nasional Penanganan
Nyeri Neuropatik. Kelompok Studi Nyeri, Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia, 2000.
12. Haddox JD, Psychological Aspects of Pain. In Abram SE, Haddox JD,
Kettler RE (eds.) The Pain Clinic Manual Tippincott Comp.
Philadelphia, 1990
13. McQuay HI, Moore RA: An Evidence-based Resource for Pain Relief,
Oxford University Press, 1999
14. McQuay HI, Moore RA: Method of Therapeuticals. In Wall PD, Melzack R
(eds). Textbook of pain, Churchill Livingston, Edinburgh, 1999,
pp1125-38
15. Moore Ra: Understanding Clinical Trials: What Have We Learned From
Systematic Review. In Devor M, Rowbotham MC, WiesenfeldHallin Z (eds). Proceedings of the 9th World Congress on Pain.
IASP Press Seattle, 2000, pp 757-70
Chapman CR, Turk DC (eds). Bonicas Management of Pain.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2001, pp1667-81
16. Meldrum B. Trileptal Rationale and Potential Role for Its Use Beyond
Epylepsy. Dibacakan di Satellite Symposium of the 17th World
Congress of Neurology, London,2001
17. Attal, N. The Potential Role of Oxcarbazepine in the Treatment of
Neuropathic Pain. Dibacakan di Satellite Symposium of the 17th
World Congress of Neurology, London, 2001
18. Serra, J., 1999. Overview of Neuropathic Pain Syndromes. Acta Neural
Scond: Suppl. 173, pp7-11
19. Rowbotham, M. C., Petersen, K.L., Davies, P.S., Friedman, E.K., & Fields,
H.L.,2000. Recent Development in The Treatment of
Neuropathic Pain. In: Devor, M., Rowbotham, M.C., &
Wiesenfeld-Hallin, Z. (ed).
Proceeding of the 9th World on Pain. IASP Press, Seattle, pp
833-855.
20. Attal, N., Nicholson, B., Serra, J., 2000. New Directions in Neuropathic
Pain: Focusing Treatment Symptoms and Mechanisms. Royal
Society of Medicine Press Ltd., London
21. Tolle, T.H., 2000. Mechanisms to Pain Management: The Issues of

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

21

Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001

Diagnosis. In: Highlights of Symposium Rationale Treatment


Strategies for the Succesful Management of Neuropathic Pain,
Cannes, France
22. Meliala, L., Suryamiharja, A., Purba, J.S., Anggraini, H., 2000. Penuntun
Praktis Penanganan Nyeri Neuropatik. Perdossi
23. Cummins, T.R., Dib-Hajj, S.D., Black, J.A., Waxman, S.G., 2000. Sodium
Channels as Molecular Targets in Pain. In: Devor, M.,
Rowbotham, M.C., & Wiesenfeld-Hallin, Z., (eds) Proceedings
of the 9th World Congress on Pain. IASP Press, Seattle, pp 7791
24. Rowbotham M.C. and Pettersen, K.L., 2001. Anticonvulsant and Local
Anaesthetic Drugs. In: William Loeser J.D. et al (eds) Bonicas
Management of Pain, Lippincott & Wilkins Philadelphia, pp
1727-35
25. Luria, Y., Brecker, C., David, D., Ishay, A., Eisenberg, E., 2000.
Lamotrigin in the Treatment of Painful Diabetic Neuropathy: A
Randomized Placebo-controlled Study. In: Devor & Rowbotham,
M.C., Wiesenfeld-Hallin, Z., Proceeding of the 9th World Congress
of Pain, IASP Press, Seattle, pp 857-62
26. Backonja, M., Beydoun, A., Edwards, K.R, et al, 1998. Gabapentin
Monotherapy for the Treatment of Painful Neuropathy: A
Multicenter, Double Blind, Placebo-controlled Trial in Patients with
Diabetes Mellitus. JAMA 280, pp 1831-36
27. Rowbotham M., Harden, N., Stacey, B., et al 1998. Gabapentin for the
Treatment of Postherpetic Neuralgia: A Multicenter Double-blind,
Placebo-controlled Study, JAMA 280 pp 1837-42
28. Harden, R.N., 1999. Gabapentin: A New Tool in the Treatment of
Neuropathic Pain. Acta Neural Scond: Suppl. 173, pp 43-47
29. Fields, H.L., Baron, R., Rowbotham, M.C., 1999. Peripheral Neuropathic
Pain: An Approach to Management. In: Wall, P.D and Melzack, R.
(eds), Textbook of Pain, Churchill Livingstone, London, pp 1523-48

Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001

22

You might also like