You are on page 1of 42

BIOFARMASI

Nasib obat dalam tubuh


Bentuk obat (tablet)
Dengan zat aktif

Tablet pecah (liberasi)


Menjadi granul, zat aktif
Terlepas dan larut

Ketersediaan
farmasi
obat untuk diabsorpsi

fase biofarmasetika

Zat aktif mengalami:


Absorpsi
Distribusi
Metabolisme
Ekskresi
Fase farmakokinetik

ketersediaan hayati

Terjadi:
Interaksi
Obat dengan reseptor
Di tempat kerja

obat utk memberi efek

fase farmakodinamika

efek

Tiga fase yang dilalui obat:


1. Farmasetika
2. Farmakokinetika
3. Farmakodinamika

Farmasetika
Disintergrasi
Pemecahan tablet/pil menjadi partikel-partkel yang
lebih kecil.
Disolusi
Melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil dalam
cairan gastrointestinal.
Rate limiting
Waktu yang diperlukan oleh suatu obat untuk
berdisintegrasi & sampai menjadi siap diabsorpsi
oleh tubuh.

Farmakokinetika
Merupakan proses pergerakan obat utk
mencapai kerja obat (pengaruh tubuh thdp
obat), yg tdd :
1. Absorpsi
2. Distribusi
3. Metabolisme
4. Ekskresi

Absorpsi
Merupakan pergerakan partikel-partikel obat dari
saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh.
Kecepatan absorpsi obat dapat dipengaruhi oleh:
Kekosongan lambung
Adanya makanan dalam lambung dapat
memperlambat absorpsi obat; obat biasanya dianjurkan
untuk diminum pada saat lambung dalam keadaan
kosong.
Obat yang diberikan secara sublingual atau rektal
tidak dipengaruhi proses pencernaan.
Obat yang diberikan per oral mempunyai aksi yang
lebih lambat bila dibandingkan dengan pemberian
secara intravena.

lanjutan
Bentuk sediaan, konsentrasi obat
Untuk dapat diabsorpsi, obat harus dalam
bentuk larutan.
Obat dengan konsentrasi yang tinggi dlm
larutan akan lebih cepat diabsorpsi daripada
obat dengan konsentrasi rendah.

Lanjutan

Aliran darah, rasa nyeri, stres, makanan & pH.


Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obatan
vasokonstriksi, atau penyakit yang merintangi absorpsi.
Rasa nyeri, stres, dan makanan yang padat, pedas,
dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan
lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam
lambung.

lanjutan
Kemampuan melalui membran sel
Makin mudah trjd difusi & makin cpt melintasi
sel membran, makin cpt obat diabsorpsi.
1. Secara pasif : tanpa menggunakan energi
(filtrasi & difusi)
2. Secara aktif : menggunakan energi

Lanjutan
Luas permukaan kontak obat
Obat lbh cpt diabsorpsi oleh bag. tubuh yg
mempunyai luas permukaan yg besar.
Rute cara pemakaian obat

Lanjutan
Ionisasi Asam Lemah dan Basa Lemah
Bentuk obat yang tak terionisasi lebih mudah melintasi
membran dibandingkan bentuk terion. Muatan
elektrostatik molekul yang mengalami ionisasi akan
menarik air dan menghasilkan bahan kompleks yang
polar, relatif larut air, dan tidak larut lemak.
Karena difusi di dalam lemak secara relatif bergantung
pada kelarutan di dalam lemak yang tinggi, maka
ionisasi obat jelas mengurangi kemampuannya
melintasi membran.
Sangat banyak fraksi obat yang digunakan berupa
asam lemah dan basa lemah.

Lanjutan
Beberapa obat tidak langsung masuk ke
dalam sirkulasi sistemik setelah absorpsi,
tetapi masuk ke hati melalui vena porta.
Efek first-pass (first-pass hepatik):
Proses dimana obat melewati hati terlebih
dahulu.
Contoh : morphin, lidocain, nitrogliserin.

Distribusi
Distribusi obat adalah proses suatu obat yang
secara reversibel meninggalkan aliran darah dan masuk
ke intertisium (cairan ekstrasel) dan/atau ke sel-sel
jaringan.
Pengirimaan obat dari plasma ke intersisium
terutama tergantung pada aliran darah, permeabilitas
kapiler, derajat ikatan obat tersebut dengan protein
plasma atau jaringan, dan hidrofobitas obat tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi :


1. Aliran darah
Kecepatan aliran darah kapiler jaringan sangat
bervariasi sebagai akibat dari distribusi output jantung
yang tidak sama ke berbagai organ.
Aliran darah ke otak, hati dan ginjal lebih besar
daripada aliran darah yang ke otot rangka, sedangkan
jaringan adiposa mempunyai aliran darah yang lebih
sedikit.

2. Permeabilitas Kapiler
Struktur kapiler sangat bervariasi dalam hal fraksi
membran basalis yang terlihat di antara celah
sempit antara sel-sel endotel.
Misalnya dalam otak, struktur kapiler bersifat
kontinu dan tidak ada celah sempit antara sel-sel
endotel. Sedangkan pada hati dan limpa, terdpt
bagian besar dari membran basalis disebabkan
oleh kapiler yang terputus-putus.

3. Hidrofobitas Obat
Sifat kimia obat sangat mempengaruhi
kemampuannya untuk menembus membran sel.
Obat-obat hidrofobik dan tidak bermuatan mudah
bergerak melewati kebanyakan membran biologik.
Obat-obat ini dapat larut dalam membran lipid
dan karena itu mampu menembus permukaan sel.
Faktor utama yang mempengaruhi distribusi obat
hidrofilik adalah aliran darah ke daerah itu.
Sebaliknya, obat-obat hidrofilik atau dengan
muatan positif atau negatif tidak mudah menembus
membran sel dan harus melewati celah sempit.

4. Pengikatan Obat-obat pada Protein


Pengikatan yang reversibel pada protein
plasma membuat obat dalam bentuk tidak dapat
berdifusi dan memperlambat transfernya keluar
dari kompartemen vaskular.
Pengikatan bersifat non-selektif secara
struktur kimia dan berlangsung pada sisi protein
dengan senyawa endogen seperti bilirubin yg
biasanya menempel.
Albumin plasma adalah protein pengikat obat
yang utama.

Molekul obat bisa berikatan dengan protein plasma


(biasanya albumin). Obat yang terikat adalah inaktif secara
farmakologi, hanyalah obat bebas (tidak terikat) yang dapat
bekerja pada target dalam jaringan dan menghasilkan respon
biologik.
Jadi, dengan berikatan dengan protein plasma, obat
menjadi terperangkap dan dalam efek menjadi tidak aktif.
Pengikatan obat pada albumin bersifat reversibel dan
dapat menunjukkan kapasitas rendah atau kapasitas tinggi.
Albumin mempunyai afinitas terkuat terhadap obat-obat
anion (asam-asam lemah) dan hidrofobik. Obat-obat yang
bersifat basa mempunyai afinitas untuk berikatan dengan
asam--glikoprotein mis. Globulin.

Obat2 yg mempunyai afinitas tinggi dg albumin


dapat dibagi menjadi 2 kelas :
1.Obat kelas I ; jika dosis obat lebih kecil daripada
kapasitas pengikatan albumin. Rasio dosis/kapasitas
adalah rendah. Terdapat tempat pengikatan yang
berlebihan dan fraksi obat yang terikat tinggi.
1.Obat kelas II ; Obat-obat ini diberikan dalam
dosis yang jauh melampaui jumlah tempat pengikatan
albumin. Rasio dosis/kapasitas adalah tinggi dan
terdapat proporsi obat yang relatif tinggi yang berada
dalam bentuk bebas.

Skema Distribusi Obat

Lanjutan

Dengan menurunnya kadar obat bebas dalam jaringan,


maka lebih banyak obat yang berada dalam ikatan
dibebaskan dari ikatannya dengan protein untuk
menjaga keseimbangan dari obat yang dalam bentuk
bebas.
Jika ada dua obat dg afinitas tinggi dengan protein
diberikan bersama-sama maka terjadi persaingan untuk
mendapatkan tempat pengikatan dengan protein,
sehingga lebih banyak obat bebas yang dilepaskan ke
dalam sirkulasi.
Kadar protein yang rendah menurunkan jumlah tempat
pengikatan dengan protein, sehingga meningkatkan
jumlah obat bebas dalam plasma
kelebihan dosis.

Metaboslisme
Metabolisme obat adalah proses perubahan
senyawa aktif yang larut lemak menjadi senyawa larut
air yang tidak aktif, yang nantinya akan diekskresi
terutama melalui ginjal.
Dalam hal ini untuk menghasilkan efek sistemik
dalam tubuh, obat harus mencapai reseptor, berarti
obat harus dapat melewati membran plasma. Untuk itu
obat harus larut lemak.

Fase-fase Metabolisme Obat :


1. Fase I
Reaksi-reaksi fase I, berfungsi untuk mengubah molekul
lipofilik menjadi molekul yang lebih polar dengan
menambahkan suatu gugus polar atau membuka
gugus polar.
Reaksi fase I melibatkan enzim mikrosomal hati yang
berada di endothelium, menghasilkan metabolit obat
yang lebih larut dalam air.
Metabolisme fase I dapat meningkatkan, mengubah atau
tidak mengubah aktivitas farmakologik obat.

Dalam reaksi fase I yang paling sering terlibat


dalam metabolisme obat yaitu sistem sitokrom
p-450 (disebut jg fungsi campuran mikrosomal
oksidase) reaksi oksidase.

2. Fase II
Fase II terdiri dari reaksi-reaksi konjugasi. Jika metabolit
fase I sifatnya sudah cukup polar, metabolit tersebut
dapat diekskresikan melalui ginjal.
Namun, banyak metabolit yang sangat lipofilik untuk
ditahan dalam tubuli ginjal. Reaksi lanjutan dengan
suatu substrat endogen seperti asam glukoronat, asam
sulfurat, asam asetat atau asam amino dapat
menghasilkan persenyawaan polar yang biasanya lebih
larut air yang paling sering bersifat tidak aktif secara
terapeutik.

Metabolisme
Metabolit Aktif
Aksi farmakologis

metabolit non-aktif
non-aksi farmakologis

Lanjutan

Metabolisme dapat mengalami gangguan


(metabolisme yang lambat).
Beberapa penyebabnya antara lain :
1. Penyakit hati, jantung, ginjal
2. Usia lanjut
3. Bayi

Waktu paruh Obat (t ) :


waktu yang diperlukan oleh konsentrasi obat dalam
plasma untuk berkurang menjadi 50 % dari konsentrasi
awal .
Contoh:
Obat 5000 unit; waktu paruh 6 jam
Konsentrasi awal= 100%=5000 unit
Setelah 6 jam = 50%= 2500 unit
Setelah 12 jam = 25%= 1250 unit
Setelah 18 jam = 12,5%= 625 unit
Setelah 24 jam = 6,25%= 312,5 unit

Ekskresi
Proses fisiologis dimana obat dan metabolit
dikeluarkan dari tubuh.
Sebagian besar ekskresi berlangsung melalui
ginjal dalam bentuk urin.
Obat juga dikeluarkan melalui paru-paru
(anestesi), feses, keringat, air mata, ASI dan saliva.

Lanjutan

Obat bebas yang tidak berikatan, yang larut


dalam air, dan obat-obatan yang tidak diubah,
difiltrasi oleh ginjal.
Sekali obat dilepaskan ikatannya dengan
protein, maka obat menjadi bebas dan
akhirnya akan diekskresikan melalui urin.

Farmakodinamika
Pengaruh obat terhadap tubuh
Mekanisme kerja obat
Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah ada
tidaknya gangguan interaksi obat terhadap
tempat reseptor.
Reseptor: komponen dari sel/organisme yang
mengikat obat secara kimiawi.

Lanjutan

Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat :


Meneliti efek utama obat
Mengetahui interaksi obat dengan sel
Mengetahui spektrum efek dan respons yang
terjadi
Interaksi obat-reseptor

EFEK

Lanjutan

EFEK
Primer

Sekunder
Diinginkan
Tidak diinginkan

Lanjutan

Parameter mekanisme kerja obat:

T0 T1 = Mula
T0 T2 = Puncak
T1 T3 = Lama

Konsentrasi obat

Kunci :

T0

MTC

Puncak Kerja

MEC

T1

T2

T3

Interaksi obat
Obat-obat baru yang efektif secara terapeutik
berkembang pesat sekali dalam beberapa dekade
terakhir ini.
Tetapi keuntungan dari segi terapi ini membawa
problem tersendiri dengan meningkatnya pula
problem baru yang menyangkut obat yaitu interaksi
obat.

Dalam hal terjadi interaksi obat maka hasil


farmakologisnya dapat sbb:
1.

Obat yang satu memperkuat efek obat yang lain, sehingga efek
total obat melebihi dari jumlah aljabarnya.
Cth : terjadi bila dua obat yang memberikan depresi SSP diberikan
bersamaan, misalnya sedatif-hipnotik, atau dengan tranquilizer atau
juga dengan alkohol, maka efek total dari depresi SSP dapat
membahayakan penderita. Tetapi sungguh pun demikian potensiasi
ini dapat menjadi menguntungkan penderita, misalnya dalam hal
memberikan dua bakterisida secara bersamaan.

2.

Obat yang satu menghambat kerja obat yang lain, sehingga


efek berkurang.

Cth : Tetracyclin diberikan bersamaan dengan antasida (terutama yang


mengandung unsur Calcium dan Aluminium) akan mengurangi
kerja Tetracyclin, karena terjadi ikatan kompleks dengan Tetracyclin
yang tidak dapat melarut dalam cairan gastrointestinal. Contoh
lain, Luminal/Phenobarbital karena bekerja sebagai enzim-inducer
akan mengurangi efek phenytoin, Rifampicin, Corticosteroid, Pil KB
oral.

3.

Inaktivasi

obat

yang

satu

oleh

obat

yang

lain

menyebabkan obat pertama tidak/kurang memberi efek yang


dikehendaki.
Cth

Gentamycin

diberikan

bersamaan

menyebabkan inaktivasi dari Gentamycin.

dengan

Penicilin

Faktor-faktor penderita yang berpengaruh


terhadap interaksi obat :
1. Umur Penderita
Bayi dan balita: proses metabolik belum sempurna, efek
obat dapat lain.
Orang lanjut usia: relatif lebih sering berobat daripada
orang muda; lebih sering mendertia penyakit kronis seperti:
hipertensi, kardiovaskuler, diabetes, arthritis; seringkali
fungsi ginjal menurun, sehingga ekskresi obat terganggu;
juga kemungkinan fungsi hepar terganggu; diet orang lanjut
usia seringkali tidak memadai.

2. Faktor-faktor farmakogenetik penderita


Perbedaan suku bangsa dapat memberikan perbedaan
metabolisme obat.
Fast acetylator dan slow acetylator. Kebanyakan orang
Timur tergolong fast acetylator sedangkan kebanyakan
orang Barat tergolong slow acetylator.
Ada perbedaan respons obat yang berbeda terhadap
beberapa obat, antara lain Procainamid, Phenylbutazone,
Nortriptyline.
3. Penyakit yang sedang diderita
Pemberian obat yang merupakan kontra-indikasi untuk
penyakit tertentu, misalnya Obat flu yang mengandung
Coffein untuk penderita jantung.
4. Fungsi hati penderita
Fungsi hati yang terganggu akan menyebabkan metabolisme
obat terganggu karena biotransformasi obat sebagian besar
obat terjadi di hati.

5. Fungsi ginjal penderita


Fungsi ginjal terganggu akan mengakibatkan ekskresi obat
terganggu. Ini akan mempengaruhi kadar obat dalam peredaran
darah, juga dapat memperpanjang waktu paruh (t ) obat.
Dalam hal ini ada tiga hal yang dapat dilakukan, yaitu:
- Dosis obat dikurangi
- Interval waktu antara pemberian obat diperpanjang
- Kombinasi dari kedua hal di atas
6. Kadar protein dalam darah/serum penderita
Bila kadar protein dalam darah penderita dibawah normal, maka
akan berbahaya terhadap pemberian obat yang ikatan pada
proteinnya tinggi. Misalnya Phenytoin; kadar obat bebas akan
lebih tinggi sehingga efek obat juga akan lebih besar.

7. pH urine penderita
pH urine dapat mempengaruhi ekskresi obat dari tubuh, antara
lain : preparat Sulfa.
8. Diet penderita (interaksi dengan makanan/minuman)
Diet dapat mempengaruhi absorpsi dan efek obat, antara lain :
* Tetracyclin diminum dengan susu: sebagian dari Tetracyclin
tidak dapat diabsorpsi karena terikat pada unsur Calcium dalam
susu (chelate), akibatnya adalah penurunan konsentrasi
Tetracyclin dalam plasma.
* Valium/Diazepam atau Phenobarbital atau obat-obat lainnya
yang memberikan depresi pada SSP, kalau diminum bersamaan
minuman yang mengandung alkohol akan terjadi potensiasi efek
depresi SSP, dapat sampai menyebabkan koma.

You might also like