You are on page 1of 3

indoprogress.

com

http://indoprogress.com/2015/05/dua-kiri-dan-hukuman-mati/

Dua Kiri dan Hukuman Mati


Oase

ADALAH lazim ketika kelas yang berkuasa, cepat atau lambat, mengadopsi sebagian gagasan dan praktik yang
diperjuangkan kelas tertindas. Beberapa berakhir indah. Sisanya bencana.
***
Pada suatu malam di bulan Agustus 1927, dua imigran Italia, Nicola Sacco dan Bartolomeo Vanzetti meregang
nyawa di kursi listrik. Pengadilan negara bagian Massachussets sudah beberapa kali menolak upaya banding,
dan selama enam tahun semenjak vonis mati dijatuhkan, ribuan buruh, intelektual, seniman dan aktivis seluruh
dunia beramai-ramai membela seorang pekerja pabrik dan seorang pedagang ikan keliling itu.
Mengapa Sacco dan Vanzetti diganjar hukuman mati sekilas lumrah dan setimpal: perampokan dan
pembunuhan, yang dibuktikan dengan kepemilikan sejata api dan setumpuk terbitan radikal.
Sejarawan Howard Zinn mencatat konteks yang lebih detil tentang kasus tersebut. Selama beberapa hari, Nicola
dan Bartolomeo memang sempat mengantongi pistol untuk berjaga-jaga, setelah seorang anarkis dan juru ketik
dijebloskan ke tahanan lalu jatuh dari lantai 14 kantor polisi. Andrea Salsedo, nama anarkis itu, dikabarkan tidak
mendapat perlakuan adil selayaknya tahanan lain. Ia bahkan dilarang menghubungi keluarga dan pengacara.
Keterangan resmi FBI: ia bunuh diri.
Penangkapan dan pengadilan Nicola dan Bartolomeo terjadi saat polisi sedang sibuk menggrebek rapat-rapat
serikat buruh. Tahun 1919, ketika pertama kali perkara mereka dipersidangkan, Amerika tengah dilanda
gelombang red scare, seiring pengaruh Revolusi Bolshevik di Rusia meluas ke dalam negeri. Penangkapan,
penyiksaan, dan deportasi tiba-tiba jadi makanan sehari-hari buat pekerja, terlebih lagi buruh migran.
Rekaman situasi persidangan menunjukkan, tulis Zinn, Sacco dan Vanzetti dijatuhi hukuman mati hanya karena
keduanya anarkis dan orang asing.
Ada kesempatan grasi yang mereka tolak. Alasannya tepat: menerima grasi sama artinya dengan mengakui
kejahatan yang tidak pernah mereka lakukan.
***
Pada 1971, sutradara Italia Giulano Montaldo, memfilmkan kisah kedua terpidana mati ini. Ennio Morricone,
seorang komponis yang lebih dikenal dengan aransemennya untuk film The Godfather, menyumbangkan musik
pengiring. Adapun di penghujung cerita, biduanita Joan Baez melantunkan balada Heres to you. Terdiri dari
empat larik yang dinyanyikan secara berulang-ulang, dua baris pamungkas lirik Baez menyadur surat wasiat
Bartolomeo.

Heres to you, Nicola and Bart


Rest forever here in our hearts
The last and final moment is yours
That agony is your triumph

Tapi Montaldo, Morricone dan Baez tidak sedang merayakan penjahatsebuah tradisi khas sebagian
masyarakat Anglo-Saxon yang digelar untuk mengolok-olok kesewenang-wenangan negara.
Jika lagu Baez segera menjadi anthem perjuangan hak-hak sipil di Amerika awal 1970-an, sebabnya adalah satu

hal: empat puluh tahun setelah Sacco dan Vanzetti dieksekusi, pemerintah Amerika terbukti telah keliru mengirim
orang ke kursi listrik. Kedua pistol berikut jenis peluru yang dicari polisi ternyata berbeda dengan pistol milik
Nicola dan Bartolomeo.
Zinn benar: pengadilan itu tak punya tujuan lain kecuali menggertak gerakan buruh.
***
Kita harus melakukannya, agar rakyat tak perlu menjadi kejam, bisik Danton kepada Robespierre.
Juli 1793, 134 tahun sebelum eksekusi Sacco dan Vanzetti, gilotin mulai dipancangkan di sejumlah titik kota
Paris. Selama fase paling radikal dalam Revolusi Prancis itu, ribuan kepala terpancung. Prancis mandi darah.
Di tangan kaum revolusioner Jacobin, sistem Republik menjadi percobaan emansipasi teranyar dan paling maju,
yang kelak diikuti di banyak tempat lain. Dalam dokumen-dokumen resmi disebutkan, pendirian Republik
Pertama di Prancis dilandasi Bonheur Commun, atau kebahagiaan orang banyak di atas individu, massa alihalih-alih segelintir elit, seperti yang tertulis dalam Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warganegara (1793). Di
masa-masa sulit itu, seorang sejarawan pernah menulis: orang-orang memang jauh lebih bahagia pada hari-hari
itu.
Ada benarnya. Biarpun melarat, orang berdebat dan protes setiap hari. Partisipasi publik dibuka seluas-luasnya.
Namun Republik tak luput dari ancaman. Sekutu-sekutu Louis XVI dan Marie Antoinette merongrong dari
perbatasan untuk merestorasi monarki. Para saudagar berkomplot melakukan sabotase pasokan roti, kopi, gula,
dan kebutuhan pokok lainnya. Sementara itu, belasan milisi kaum tak berpunya berkeliaran di jalan, menuntut
agar revolusi bergulir lebih dalam lagi. Negara dalam kondisi darurat.
. Agar rakyat tak perlu menjadi kejam, demikian saran Danton kepada Robespierre, pemimpin revolusi dan
bekas pengacara yang dulunya gencar mengadvokasi penghapusan hukuman mati. Dalam sebuah pidatonya di
depan Konvensi Nasional, menjelang eksekusi keluarga kerajaan, Robespierre mengatakan, bahwa teror negara
tidak lain adalah keadilan yang lekas, keras, dan kaku yang bukan prinsip khusus, melainkan konsekuensi dari
prinsip umum demokrasi yang diterapkan untuk kebutuhan-kebutuhan mendesak negeri kita.
Namun perubahan Robespierre dari seorang pengacara lembut hati ke algojo nasional nampaknya tidak
semerta-merta, tidak pula esensial mengingat kebutuhan-kebutuhan mendesak itu. Bahkan gilotin pun dipilih
karena sifatnya yang praktis, cepat, efektif, sehingga si pesakitan tak perlu berlama-lama meregang nyawa.
Meski sulit dibenarkan dengan standar etis masa kini, menurut Robespierre, inilah metode paling manusiawi dari
hukuman mati di jamannyadengan catatan, jika dibandingkan dengan prosedur rejim sebelumnya yang
menggantung, memutilasi, membakar, memasukkan narapidana ke cairan mendidih, atau menarik kedua tangan
dan kakinya dengan empat kuda ke empat penjuru mata angin.
Danton pun tak salah perhitungan. Pancung-memancung itu memang didukung rakyat banyak. Beberapa
karikatur reaksioner yang terkenal dari era tersebut menggambarkan sosok tricoteuse, para perempuan paruh
baya yang tengah merajut di samping satu-dua kepala yang menggelinding.
Akan tetapi, hanya dalam hitungan bulan nasehat . agar rakyat tak perlu menjadi kejam berbalik
menghancurkan para penganjurnya. Robespierre memenggal Danton. Tiga bulan kemudian, pemerintahannya
jatuh. Robespierre ditembak, ditangkap, dan digilotin dengan wajah menengadah ke langit. Yang lebih tragis,
jumlah kepala rakyat yang dipenggal oleh kaum kontra-revolusioner sepanjang minggu-minggu penggulingan itu
belasan kali lipat banyaknya dari jumlah tuan tanah dan bangsawan yang dieksekusi selama dua tahun di bawah
Rejim Teror Jacobin.
***
Sebuah keputusan jangka pendek demi menyelamatkan revolusi, ternyata klop dengan rumusan bahwa negara
mesti menyerap segala kehendak rakyat, termasuk ketika ia harus memainkan peran algojo. Dari sana pula
pelaksanaan hukuman mati menjadi penubuhan yang paling ekstrem dari kedaulatan negara modern, karena

dengan itu ia bisa menarik garis tegas antara siapa yang disebut warganegara dan siapa musuh negara; siapa
yang berhak hidup, siapa yang wajib dikubur.
Argumen kedaruratan, yang dulu dipakai dalam situasi perang, kini dikutip untuk menyelesaikan segala masalah
sosial dalam bingkai keamanan nasional, yang diwujudkan lewat pernyataan perang terhadap ini dan terhadap
itu. Terorisme relijius yang berakar dari kesenjangan ekonomi, diselesaikan dengan peluru Densus 88. Narkotika,
yang notabene adalah masalah kesehatan, diselesaikan dengan hukuman mati. Prahara di Papua yang
bersumber dari eksploitasi sumberdaya alam, dibereskan dengan pendirian kodam-kodam baru.
Dan sekarang kita tahu, jika semasa Revolusi Prancis dulu hukuman mati berpijak pada kehendak rakyat, kini
mengamankan kehendak rakyat bisa digunakan penguasa culas sebagai dalih untuk membunuh orang-orang
seperti Sacco dan Vanzetti.
Mungkin juga Mary Jane.***

You might also like