You are on page 1of 36

BAB I

PENDAHULUAN
Sindroma nefrotik bukan merupakan suatu penyakit. Istilah sindrom
nefrotik dipakai oleh Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai
dengan proteinuria berat, hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan
fungsi renal yang normal.1
Istilah sindrom nefrotik kemudian digunakan untuk menggantikan istilah
terdahulu yang menunjukan keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukan
suatu penyakit yang mendasarinya.2
Sampai pertengahan abad ke 20 morbiditas sindrom nefrotik pada anak
masih tinggi yaitu melebihi 50%. Dengan ditemukannya obat-obat sulfonamid dan
penicilin tahun 1940an, dan dipakainya obat adrenokortokotropik (ACTH) serta
koertikosterid pada tahun 1950, mortalitas penyakit ini mencapai 67%. Dan
kebanyakan mortalitas ini disebabkan oleh komplikasi peritonitis dan sepsis. Pada
dekade berikutnya mortalitas turun sampai 40%, dan turun lagi menjadi 35%.
Dengan pemakaian ACTH atau kortison pada awal 1950 untuk mengatasi edema
dan mengurangi kerentanan terhadap infeksi, angka kematian turun mencapai
20%. Pasien sindrom nefrotik yang selamat dari infeksi sebelum era sulfonamid
umumnya kematian pada periode ini disebabkan oleh gagal ginjal kronik.2
Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada
glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder. Istilah
sindrom nefrotik primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik idiopatik
dikarenakan etiologi keduanya sama termasuk manisfestasi klinis serta
histopatologinya.3 Dalam refrat ini selanjutnya pembahasan mengenai maisfestasi
klinik, diagnosis dan penatalaksanaan akan dititk beratkan pada sindrom nefrotik
primer. Terutama sub kategori minimal change nephrotic syndrome (MCNS),
fokal

segmental

glomerosclerosis

(FSGS)

serta

membrano

proloferatif

glomerulonephritis (MPGN).2

BAB II
SINDROM NEFROTIK
I.

DEFENISI
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit

glomerular yang ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24jam/1.73 m 3


disertai hipoalbuminemia, edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan
hiperkoagulabilitas.3
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai
oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari),
hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria,
hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer
(idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab
tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Saat ini
gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal
ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio
neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer
pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T.4
II.

EPIDEMIOLOGI
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi

minimal(75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat
diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang
dewasa paling banyak nefropati membranosa(30%-50%), umur rata-rata 30-50
tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3
kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun.Sindrom
nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes
mellitus.3,4
Berdasarkan kelainan histopatologis, SN pada anak yang paling banyak
ditemukan adalah jenis kelainan minimal. International Study Kidney Disease in
Children (ISKDC) melaporkan 76% SN pada anak adalah kelainan minimal.

Apabila penyakit SN ini timbul sebagai bagian dari penyakit sistemik dan
berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindroma nefrotik sekunder.
Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan
etiologinya, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan
responnya terhadap pengobatan. Angka mortalitas dari SNPM telah menurun dari
50 % menjadi 5 % dengan majunya terapi dan pemberian steroid.3,4
III.

KLASIFIKASI
Umumnya sindrom nefrotik diklasifikasikan berdasarkan histologik,

penyebab, dan terjadinya.2,4,5


A. Histologik
International Collaborative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)
telah menyusun klasifikasi histopatologik SNI atau disebut juga SN Primer
sebagai berikut:2,4,5
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomeruloskerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intra membran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/ subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Dari

klasifikasi

bentuk

kelainan

histologik

SNI

ini

maka

SNKMmerupakan kelainan histologik yang paling sering dijumpai (80%).2,4,5


B. Penyebab
Nefrotik sindrom dapat bersifat primer, sebagai bagian dari penyakit
sistemik, atau sekunder karena beberapa penyebab.2,4,5
1. Penyebab primer :
Umumnya tidak diketahui kausanya dan terdiri atas SNI dengan kelainan
histologik menurut pembagian ISKDC.
2. Penyebab sekunder, dari penyakit/kelainan:

a. Sistemik:
1) Penyakit kolagen, seperti Systemic Lupus Erythematosus, ScholeinHenoch Syndrome.
2) Penyakit perdarahan: Hemolytic Uremic Syndrome
3) Penyakit keganasan: Hodgkins disease, Leukimia.
b. Infeksi:
Malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute Bacterial Endocarditis,
Cytomegalic Inclusion Disease.
c. Metabolik:Diabetes Mellitus, Amyioidosis
d. Obat-obatan/Alergen:
Trimethadion, paramethadion, probenecid,

tepung

sari,

gigitan

ular/serangga, vaksin polio.


C. Terjadinya
1.
Sindrom Nefrotik Kongenital
Pertama kali dilaporkan di Finlandiasehingga disebut juga SN tipe
Finlandia. Kelainan ini diturunkan melalui gen resesif. Biasanya anak
lahir premature (90%), plasenta besar (beratnya kira-kira 40% dari berat badan).
Gejala asfiksia dijumpai pada 75% kasus. Gejala pertama berupa edema, asites,
biasanya tampak pada waktu lahir atau dalam minggu pertama. Pada pemeriksaan
laboratorium

dijumpai

hipoproteinemia,

proteinuria

massif

dan

hipercolestrolemia. Gejala klinik yang lain berupa kelainan congenital pada muka
seperti hidung kecil, jarak kedua mata lebar, telinga letaknya lebih rendah dari
normal. Prognosis jelek dan meninggal karena infeksi sekunder atau kegagalan
ginjal. Salah satu cara untuk menemukan kemungkinan kelainan ini secara dini
adalah pemeriksaan kadar alfa feto protein cairan amnion yang biasanya
meninggi. 2,4,5
2.

Sindrom Nefrotik yang didapat:


Termasuk disini sindrom nefrotik primer yang idiopatik dan sekunder. 2,4,5

D. PATOGENESIS
Pada pembahasan selanjutnya yang dimaksud dengan SN ialah SN yang idiopatik
dengan kelainan histologik berupa SNKM. Terdapat beberapa teori mengenai terjadinya
SN pada anak yaitu:2
1. Soluble Antingen Antibody Complex (SAAC)

Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibody sehingga terjadi reaksi


antigen antibody yang larut (Soluble) dalam darah. SAAC ini kemudian menyebabkan
system komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga komplemen C 3 akan bersatu dengan
SAAC membentuk deposit yang kemudian terperangkap di bawah epitel kapsula bowman
yang secara imunofloresensi terlihat berupa benjolan yang disebut HUMPS sepanjang
membrana basalis glomerulus (mbg) berbentuk granuler atau noduler. Komplemen C 3
yang ada dalam HUMPS inilah yang menyebabkan permealibilitas mbg terganggu
sehingga eritrosit, protein dan lain-lain dapat melewati mbg sehingga dapat dijumpai
dalam urin. 2
2. Perubahan elektrokemis
Selain perubahan struktur mbg, maka perubahan elektrokemis dapat juga
menimbulkan proteinuria. Dari beberapa percobaan terbukti bahwa kelainan terpenting
pada glumerulus berupa gangguan fungsi elektrostatik (sebagai sawar glumerulus
terhadap filtrasi protein) yaitu hilangnya fixed negative ion yang terdapat pada lapisan
sialo-protein glomeruli. Akibat hilangnya muatan listrik ini maka permeabilitas mbg
terhadap protein berat molekul rendah seperti albumin meningkat sehingga albumin dapat
keluar bersama urin. 2
E. PATOFISIOLOGI

Edema
Keterangan klinik pembentukan edema pada sidnrom nefrotik sudah

dianggap jelas dan secara fisiologik memuaskan, namun beberapa data


menunjukkan bahwa mekanisme hipotesis ini tidak memberikan penjelasan yang
lengkap. Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory)
adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang

menyebabkan cairan

merembes keruang interstisial. Dengan meningkatnya permealiblitas kapiler


glomerulus, albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia menyebabkan menurunya tekanan onkitik koloid plasma
intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati
dinding

kapiler

dari

ruagn

intravaskular

ke

ruang

interstial

yang

menyebabkanterbentuknya edema.2,5,6,7
Kelainan glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik hidorpatik koloid plasma

Volume plasma

Retensi Na renal sekunder

Edema
Terbentuknya edema menurut teori underfilled
Sebagai akibat pergeseran cairan volume plasma total dan volume darah
arteri dalam peredaran menurun dibanding dengan

volume sirkulasi efektif.

Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi


timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai
usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal
dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang
secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan
protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan
akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstisial. Keadaan ini jelas
memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil. 2,5,6,7
Dengan teori underfilled ini diduga terjadi terjadi kenaikan kadar renin
plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak
ditemukan pada semua pasien dengan SN. Beberapa pasien SN menunjukkan
meningkatnya volume plasma dengan tertekannya aktivitas renin plasma dan
kadar aldosteron, sehingga timbul konsep teori overfilled. Menurut teori ini retensi
natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak
bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer
mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan
edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam ruang interstiasial. Teori
overfilled ini dapat menerangkan adanya volume plasma yang tinggi dengan
kadar renin plasma dan aldosteron menurun seukunder terhadap hipervolemia.

Kelainan glomerulus

Retensi Na renal primeri

Volume plasma

Edema

Albuminuria
Hipoalbuminemia

Terjadinya edema menurut teori overfilled


Melzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisologi SN, yaitu tipe nefrotik dan
tipe nefritik. Tipe nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan
vasokonstriksi perifer denan kadar renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju
filtrasi glomerulus (LFG) masih baik dengan kadar albumin yang rendah dan
biasanya terdapat pada SNKM. Karakteristik patofisiologi kelompok ini sesuai
dengan teori tradisional underfilled

yaitu retensi natrium dan air merupakan

fenomena sekunder. Di pihak lain, kelompok kedua atau tipe nefritik, ditandai
dengan volume plasma tinggi, tekanan darah tinggi dan kadar renin plasma dan
aldosteron rendah yang meningkat sesudah persediaan natrium habis. kelompok
kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik denganLFG yang relatif lebih
rendah dan albumin plasma lebih tinggi dari kelompok petama. Karakteristik
patofisiologi kelompok keduaini sesuai dengan teori overfilled pada SN dengan
retensi air dan natrium yang merupakan fenomena primer intrarenal. 2,5,6,7
Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan
mungkin saja kedua proses underfilled berlangsung bersamaan atau pada waktu
berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus
mungkin suatu kombinasi rangsangan yang

lebih dari satu dan ini dapat

menimbulkan gambaran nefrotik dan nefritis. Akibat mengecilnya volume


intravaskular akan merangsang kelarnya renin dan menimbulkan rangsangan non
osmotik untuk keluarnya hormon volume urin yang sedikit dan pekat dengan
sedikit natrium. 2,5,6,7
Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron yang
tinggi umumnya menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan

mereka dengan volume darah normal atau meningkat disertai renin dan aldosteron
rendah umumnya menderita kelainan BKM dan tidak responsif steroid, maka
pemeriksaan renin dapat merupakan petanda yang berguna untuk menilai seorang
anak dengan SN responsif terhadap steroid atau tidak disamping adanya SNKM.
Namun derajat tumpang tindihya terlalu besar, sehingga sukar untuk membedakan
pasien antara kedua kelompok histologis tersebut atas dasar pemeriksaan renin.
Peran peptida natriuretik atrial (ANP) dalam pembentukan edema dan diuresis
masih belum pasti. 2,5,6,7
2

Proteinuria

Ada dua sebab yang menimbulkan proteinuria:


a. Permeabilitas kapiler glumerulus yang meningkat akibat kelainan/kerusakan mbg.
b. Reabsorpsi protein di tubulus berkurang.
Proteinuria merupakan gejala utama sindrom nefrotik, proteinuria yang terjadi
lebih berat dibandingkan proteinuria pada penyakit ginjal yang lain. Jumlah protein dalam
urin dapat mencapai 40mg/jam/m2 luas permukaan tubuh (1gr/m2/hari) atau 2-3,5
gram/24 jam. Proteinuria yang terjadi disebabkan perubahan selektifitas terhadap protein
dan perubahan pada filter glomerulus. 2,5,6,7
Perubahan selektifitas terhadap protein dan perubahan filtrasi glomerulus
bergantung pada tipe kelainan glomerulus. Tetapi secara garis besar dapat diterangkan
bahwa, pada orang normal

filtrasi plasma protein berat molekul rendah bermuatan

negatif pada membran basal glomerulus normalnya dipertahankan oleh muatan negatif
barier filtrasi. Muatan negatif tersebut terdiri dari molekul proteoglikan heparan sulfat.
Pada orang dengan nefrotik sindrom, konsentrasi heparan sulfat mucopoly sakarida pada
membrana basal sangat rendah. Sehingga banyak protein dapat melewati barier. Selain itu
terjadi pula perubahan ukuran celah (pori-pori) pada sawar sehingga protein muatan
netral dapat melalui barier. 2,5,6,7
Pada SN, proteinuria umumnya bersifat masif yang berarti ekskresi protein > 50
mg/kg BB/hari atau > 40 mg/m2/jam, atau secara kualitatif proteinuria +++ sampai ++++.
Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan mbg, maka proteinuria dapat dipakai
sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat kerusakan glomerulus. Jadi yang

diukur adalah Index Selectivity of Proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan dengan cara
mengukur rasio antara Clearance IgG dan Clearance transferin. 2,5,6,7

Clearance IgG
ISP =
Clearance transferin

Bila ISP < 0.2 berarti ISP meninggi (Highly Selective Proteinuria) yang
secara klinik menunjukkan kerusakan glomerulus ringan dan respons terhadap
kortikosteroid baik. Bila ISP > 0.2 berarti ISP menurun (Poorly Selective
Proteinuria) yang secara klinik menunjukkan kerusakan glomerulus berat dan
tidak respons terhadap kortikosteroid. 2,5,6,7
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung
pada kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir
seluruhnya terdiri atas albumin dan disebut sebagai proteinuria selektif. Derajat
selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara sederhana dengan membagi rasio
IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin plasma transferin (BM
88.000). Rasio yang kurang dari 0.2 menunjukkan adanya proteinuria selektif.
Pasien SN dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif
terhadap steroid. Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi
maka agak sulit untuk membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan
minimal) dengan pemeriksaan ini dianggap tidak efisien. 2,5,6,7

Perubahan pada filter kapiler glomerulus


Umumnya

karakteristik

perubahan

permeabilitas

membran

basal

bergantung pada tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat
penurunan klirens protein netral dengan semua berat molekul, namun terdapat
peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin. Keadaan ini

menunjukkan bahwa di samping hilangnya sawar muatan negatif juga terdapat


perubahan pada sawar ukuran celah pori atau kelainan pada kedua-duanya. 2,5,6,7
Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada
lamina rara interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya
molekul muatan negatif, seperti albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat
heparan dengan hepartinase mengakibatkan timbulnya albuminaria. 2,5,6,7
Di samping itu sialoprotein glomerulusyaitu polianion yang terdapat pada
tonjolan kaki sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini
yang penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan
kaki sel epitel. Suatu protein dengan berat molekul 140.000 dalton, yang disebut
podocalyxin rupanya mengandung asam sialat ditemukan terbanyak kelainan pada
model eksperimenal nefrosisis aminonkleosid. Pada SNKM, kandungan
sialoprotein kembali normal sebagai respons pengobatan steroid yang
menyebabkan hilangnya proteinuria. 2,5,6,7
2

Hipoalbuminemia/hipoproteinemia
Hipoalbuminemia ialah apabila kadar albumin dalam darah <2,5gram/100ml.

Pada SN kelainan dapat disebabkan oleh:


a. Proteinuria
b. Katabolisme protein yang berlebihan
c. Nutritional deficiency

Pada SN ternyata katabolisme protein meningkat akibat katabolisme


protein yang terjadi di tubuh ginjal. Peningkatan katabolisme ini merupakan
faktor tambahan terjadinya hipoalbuminemia selain dari proteinuria. Pada SN
sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus sehingga intake
berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan defisiensi nutrisi. Pada
umumnya edema anasarka terjadi bila kadar albumin darah <2 gram/100 ml, dan
syok hipovolemia terjadi biasanya pada kadar <1gram/100ml. 2,5,6,7
3

Hiperkolestrolemia/hiperlipidemia
Disebut hiperkolestrolemia bila kadar kolesterol > 250 mg/100 ml. Akhir-

akhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia oleh karena bukan hanya kolesterol

10

saja yang meninggi tetapi juga beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah.
Konstituen lemak itu adalah: 2,5,6,7
a.
b.
c.
d.

Kolesterol
Low Density Lipoprotein (LDL)
Very Low Density Lipoprotein (VLDL)
Trigliserida (baru meningkat bila plasma albumin < 1 gram/100 ml)
Kolesterol serum, Very Low Density Lipoprotein (VLDL), Low Density

Lipoprotein (LDL), Trigliserida meningkat sedangkan High Density Lipoprotein (HDL)


dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di
hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL,
kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis
lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan
onkotik. 2,5,6,7
F. MANIFESTASI KLINIK
Gejala awal dari sindroma nefrotik meliputi menurunnya nafsu makan, malaise,

bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropy dan urin
berbusa. Abdomen mungkin membesar karena adanya akumulasi cairan di
intraperitoneal (ascites), dan sesak napas dapat terjadi karena adanya cairan pada
rongga pleura (efusi pleura) ataupun akibat tekanan abdominal yang meningkat
akibat asites. Gejala lain yang mungkin terjadi adalah bengkak pada kaki, scrotum
ataupun labia mayor. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikasis
dan prolaps ani. 1,5
Seringkali cairan yang menyebabkan edema dipengaruhi oleh gravitasi
sehingga bengkak dapat berpindah-pindah. Saat malam cairan terakumulasi di
tubuh bagian atas seperti kelopak mata. Disaat siang hari cairan terakumulasi
dibagian bawah tubuh seperti ankles, pada saat duduk atau berdiri. 1,5
Pada anak tekanan darah umumnya rendah dan tekanan darah dapat turun
sekali saat berdiri (orthostatic hypotension), dan shock mungkin dapat terjadi.
Produksi urin dapat menurun dan renal failure dapat terjadi jika terjadi kebocoran
cairan dari dalam pembuluh darah kejaringan sehingga suplai darah ke ginjal
berkurang. Biasanya renal failure dengan kurangnya produksi urin terjadi tibatiba. 1,5

11

Defisiensi zat gizi dapat terjadi karena hilangnya nutrien dalam urin serta
anoreksia, dapat terjadi gagal tumbuh serta hilangnya kalsium tulang. Diare sering
dialami oleh pasien dalam keadaan edema, keadaan ini rupanya bukan berkaitan
dengan adanya infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus.
Hepatomegali dapat ditemukan, hal ini dikaitkan dengan sintesis protein yang
meningkat atau edema, atau keduanya. Kadang terdapat nyeri perut kuadran kanan
atas akibat hepatomegali dan edema dinding perut. 1,5
Pada anak dengan sindroma nefrotik dapat terjadi gangguan fungsi
psikososial yang merupakan akibat stress nonspesifik terhadap anak yang sedang
berkembang. 1,5
G. DIAGNOSIS
Pada umumnya tipe SNKM mempunyai gejala-gejala kinik yang disebut
diatas tanpa gejala-gejala lain, oleh karena itu secara klinik SNKM ini dapat
dibedakan dari SN dengan kelainan histologis tipe lain yaitu pada SNKM
dijumpai hal-hal sebagai berikut pada umumnya:2
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Anak umur 1-6 tahun


Tak ada hipertensi
Tak ada hematuria makroskopis atau mikroskopis
Fungsi ginjal normal
Titer komplemen C3 normal
Respons terhadap kortokosteroid baik sekali
Oleh karena itulah bila dijumpai kasus SN dengan gejala-gejala diatas dan

mengingat bahwa SNKM terdapat pada 70-80% kasus, maka pada beberapa senter
tidak lagi dilakukan biopsy ginjal.2
Pemeriksaan laboratorium: 2
1. Urin
Albumin

:
: Kualitatif
Kuantitatif

Sedimen

: Oval fat diabetes

: ++ sampai ++++
: > 50 mg/kgBB/hari (diperiksa memakai
reagensESBACH)
: Epitel sel yang mengandung butir-butir
lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit,
leukosit, toraks hialin dan toraks eritrosit.

12

2. Darah :
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
a. Protein total menurun
(N: 6,2-8,1 gm/100ml)
b. Albumin menurun
(N: 4-5,8 gm/100ml)
c. s1 globulin normal
(N: 0,1-0,3 gm/100ml)
d. 2 globulin meninggi
(N: 0,4-1 gm/100ml)
e. globulin normal
(N: 0,5-0,9 gm/100ml)
f. globulin normal
(N: 0,3-1 gm/100ml)
g. Rasio albumin/globulin <1
(N: 3/2)
h. Komplemen C3 normal/rendah
(N: 80-120 gm/100ml)
i. Ureum, keratin dan klirens kreatinin normal
H. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari sindroma nefrotik adalah :
a. Sebab non-renal : Gagal jantung kongestif, Gangguan nutrisi, Edema
hepatal.
b. Glomerulonefritis akut
c. Lupus sistemik eritematosus
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul pada penderita SN tergangung faktor-faktor
sebagai

berikut: histopatologi renal, lamanya sakit, umur dan jenis kelamin

penderita.2,6
1. Infeksi
Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik, komplikasi ini
akibat dari meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri selama kambuh.
Peningkatan kerentanan terhadap infeksi disebabkan oleh: 2,6
a. Penurunan kadar imunoglobulin
Kadar IgG pada anak dengan sindrom nefrotik sering sangat menurun,
dimana pada suatu penelitian didapkan rata-rata 18% dari normal. Sedangkan
kadar IgM meningkat. Hal ini menunjukan kemungkinan ada kelainan pada
konversi yang diperantarai sel T pada sintesis IgG dan IgM,
b. Cairan edema yang berperan sebagai media biakan,

13

c. Defisiensi protein,
d. Penurunan aktivitas bakterisid leukosit,
e. Imunosupresif karena pengobatan,
f. Penurunan perfusi limpa karena hipovolemia,
g. Kehilangan faktor komplemen (Faktor properdin B) dalam urin yang meng
oponisasi bakteria tertentu.
Pada Sindrom nefrotik terdapat peningkatan kerentanan terhadap bakteria
tertentu seperti: 2,6
a. Streptococcus pneumoniae,
b. Haemophilus influenzae,
c. Escherichia coli,
d. Dan bakteri gram negatif lain
Peritonitis spontan merupakan jenis infeksi yang paling sering, belum jelas
sebabnya. Jenis infeksi lain yang dapat ditemukan antara lain; sepsis, pnemonia,
selulitis dan ISK. Terapi profilaksis yang mencakup gram positif dan gram negatif
dianggap penting untuk mencegah terjadinya peritonitis. 2,6
2.

Syok
Terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gm/100 ml)

yangmenyebabkan hipovolemia berat sehingga terjadi syok. 2,6


3. Kelainan koagulasi dan trombosis
Kelainan hemostatik ini bergantung dari etiologi nefrotik sindrom, pada
kelainan glomerulopati membranosa sering terjadi komplikasi ini, sedang pada
kelainan minimal jarang menimbulkan komplikasi tromboembolism. Pada
sindrom nefrotik terdapat peningkatan faktor-faktor I, II, VII, VII, dan X yang
disebabkan oleh meningkatnya sintesis oleh hati dan dikuti dengan peningkatan
sintesis albumin serta lipoprotein. Terjadi kehilangan anti trombin II, menurunya
kadar plasminogen, fibrinogen plasma meningkat dan konsentrasi anti koagulan
protein C dan protein S meningkat dalam plasma. Secara ringkas kelainan

14

hemostatik pada Sindrom nefrotik dapat timbul dari dua mekanisme yang
berbeda: 2,6
a. Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:
1. Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein dalam urin seperti
anti trombin III, protein S bebas, plasminogen dan antiplasmin,
2. Hipoalbuminuria mengakibatkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2,
meningkatkan sintesis protein pro koagulan karena hiporikia dan tekanan
fibrinolisis.
b. Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor
jaringanmonosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler
glomerulus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan
agregasi trombosit.
3. Pertumbuhan abnormal
Pada anak dengan sindrom nefrotik dapat terjadi gangguan pertumbuhan
(failure to thrive), hal ini dapat disebabkan anoreksia hypoproteinemia,
peningkatan katabolisme protein, atau akibat komplikasi penyakit infeksi, mal
absorbsi karena edem saluran gastrointestinal. 2,6
Dengan pemberian kortikosteroid pada sindrom nefrotik dapat pula
menyebabkan gangguan pertumbuhan. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan
dalam jangka waktu yang lama, dapat menghambat maturasi tulang dan
terhentinya pertumbuhan linier; terutama apabila dosis melampaui 5mg/m 2/hari.
Walau selama pengobatan kortikosteroid tidak terdapat pengurangan produksi
atau sekresi hormon pertumbuhan, tapi telah diketahui bahwa kortikosteroid
mengantagonis efek hormon pertumbuhan endogen atau eksogen pada tingkat
jaringan perifer , melalui efeknya terhadap somatomedin. 2,6
J. PENATALAKSANAAN
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di
rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi

15

orangtua.1Sebelum

pengobatan

steroid

dimulai,

dilakukan

pemeriksaan-

pemeriksaan berikut: 1
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakitsistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksiINH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan
obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh
sekolah. 1
a) Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena
akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema. 1
b) Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan

16

hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan
pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. 1
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi
karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari
jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20
ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. Skema pemberian diuretik
untuk mengatasi edema tampak pada Gambar 1.intravena 1-2 mg/kgbb. Bila
pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari
secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi
dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selangsehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload
cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat
dilakukan pungsi asites berulang. Skema pemberian diuretik untuk mengatasi
edema tampak pada Gambar 1.1

17

Gambar 1. Algoritma pemberian diuretik.


c) Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/
hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien
imunokompromais.11 Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah
obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated
polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan
vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak
dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi
pneumokokus dan varisela. 1
PENGOBATAN DENGAN KORTIKOSTEROID

18

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali


bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon. 1
A.

TERAPI INSIAL
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa

kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison


60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis
terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose)
inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal)
atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid (Gambar 2). 1
B.

PENGOBATAN SN RELAPS
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu diberikan

prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan


dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami

Gambar 2. Pengobatan inisial kortikosteroid

proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari


lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi
diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak
perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ++

19

disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan. 1

Gambar 3. Pengobatan sindrom nefrotik relaps

Keterangan:
Pengobatan SN relaps: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi
(maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau
alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu. 1
C.

PENGOBATAN SN RELAPS SERING ATAU DEPENDEN

STEROID
Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid: 1
1.

Pemberian steroid jangka panjang

2.

Pemberian levamisol

3.

Pengobatan dengan sitostatik

4.

Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil


(opsi 4. terakhir)

5.

Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis,


infeksi di gigi, radang telinga tengah, atau kecacingan.

1.

Steroid jangka panjang


Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid,

setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5

20

mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2


mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5 mg/kgbb
alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 612 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat
bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah
sampai 1 mg/kgbb secara alternating. 1
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 0,5 mg/kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam
dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka
prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating,
kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau
relaps yang terakhir. 1
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan,
atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA). 1
Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini: 1
1.

Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau

2.

Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:


a. Efek samping steroid yang berat
b. Trombosis, dan sepsis diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3
mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.

2.

Levamisol

21

Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol


diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12
bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic
rash, dan neutropenia yang reversibel. 1
3.

Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak

adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. 1


Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari
dalam dosis tunggal (Gambar 4), maupun secara intravena atau puls (Gambar 5).
CPA puls diberikan dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam
250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak
7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).
Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis
hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan
keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar
hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit
<3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan
sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8
g/dL, trombosit >100.000/uL.1
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai 200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. 1
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 0,3 mg/kg bb/hari selama 8
minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik
berupa kejang dan infeksi. 1

22

Gambar 4. Pengobatan SN relaps sering dengan CPA oral

Keterangan:
Relaps prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating
(AD) 40 mg/m2 LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per oral, dosis
tunggal selama 8 minggu.

Gambar 5. Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid

Keterangan:
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu), kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750
mg/m2 LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan

23

prednison intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12


minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama
1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2
bulan) atau Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu), kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis
tunggal selama 12 minggu dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari
selama 12 minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1
mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1
bulan (lama tapering off 2 bulan). 1
4.

Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau

sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari


(100-150 mg/m2 LPB).15 Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar
siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau
dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga
pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten
steroid. 1
5.

Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)


Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau

sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 1200 mg/m2
LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 24 bulan.16 Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.
Ringkasan tata laksana anak dengan SN relaps sering atau dependen steroid dapat
dilihat pada Gambar 6. 1

24

Gambar 6. Diagram pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid

Keterangan:
1.

Pengobatan steroid jangka panjang

2.

Langsung diberi CPA

3.

Sesudah prednison jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA

4.

Sesudah jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA

D.

PENGOBATAN SN DENGAN KONTRAINDIKASI STEROID


Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid,

seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat,
maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat
diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara

25

intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan
dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL
0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). 1
E.

PENGOBATAN SN RESISTEN STEROID


Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum

memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan


biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi
anatomi mempengaruhi prognosis. 1
1.

Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat

menimbulkan remisi.16 Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan


pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena
SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada
pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau
menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin. Skema pemberian
CPA oral dan puls dapat dilihat pada Gambar 7. 1
2.

Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total

sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.1


Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis,
hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi
tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan
terhadap: 1
1. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
2. Kadar kreatinin darah berkala
3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun

26

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam


literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau
sangat selektif. 1

Gambar 7. Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid.

Keterangan:
1. Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6
bulan
2. Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian
siklofosfamid oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1
mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama
1 bulan (lama tapering off 2 bulan). Atau
3. Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui
infus satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung
keadaan pasien.
4. Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian
siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan

27

dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari


selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

3.

Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil

prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau


klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000
mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam. (Tabel 1)
Tabel 1. Protokol metilprednisolon dosis tinggi. 1

Keterangan:
Dosis maksimum metilprednisolon 1000 mg; dosis maksimum prednison
oral 60 mg. Siklofosfamid (2-2,5 mg/kgbb/hari) atau klorambusil (0,18-0,22
mg/kgbb/hari) selama 8-12 minggu dapat diberikan bila proteinuria masif masih
didapatkan setelah pemberian metilprednisolon selama 10 minggu.
4.

Obat imunosupresif lain


Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS

adalah vinkristin,20 takrolimus,21 dan mikofenolat mofetil.22 Karena laporan


dalam literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol,
maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia. 1
Skema tata laksana sindrom nefrotik selengkapnya seperti terlihat pada Gambar 8.

28

PEMBERIAN OBAT NON-IMUNOSUPRESIF UNTUK MENGURANGI


PROTEINURIA
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor
blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja
kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan
tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga
mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth
factor (TGF)-1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya
merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis.
Pada SNSS relaps, kadar TGF-1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS,
berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai

Gambar 8. Tatalaksana sindrom nefrotik.

Risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS.23


Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB
memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak. 1
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,

29

bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa
digunakan adalah: 1
Golongan 1. ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
Golongan 2. ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal.
TATA LAKSANA KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK
1.

INFEKSI
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat

infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama
adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya
disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu
diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin
generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari.12 Infeksi lain
yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran
napas atas karena virus. 1
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien
varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicellazoster, dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat
diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena (400mg/kgbb).28 Bila
sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi
3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7
10 hari,9 dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara. 1
2.

TROMBOSIS
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan

bukti defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat


trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis
telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin

30

secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih.


Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak
dianjurkan. 1
3.

HIPERLIPIDEMIA
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan

VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL
menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik,
sehingga

meningkatkan

morbiditas

kardiovaskular

dan

progresivitas

glomerulosklerosis. 1
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat
sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan
pengurangan

diit

lemak.

Pada

SN

resisten

steroid,

dianjurkan

untuk

mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan diit rendah
lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti inhibitor
HMgCoA reduktase (statin). 1
4.

HIPOKALSEMIA

Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena: 1


1. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan 1. osteoporosis dan
osteopenia
2. Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama
(lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari
dan vitamin D (125-250 IU).32 Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium
glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena. 1
5.

HIPOVOLEMIA
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat

terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan


sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan

31

cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1
g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila
hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2
mg/kgbb intravena. 1
6.

HIPERTENSI
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan

penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan


inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor
blocker) calcium channel blockers, atau antagonis adrenergik, sampai tekanan
darah di bawah persentil 90. 1
7.

EFEK SAMPING STEROID


Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang

signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan


orangtuanya. Efek samping tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan
pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi, retensi air dan
garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN harus
dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan
darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan
evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.1
INDIKASI BIOPSI GINJAL
Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan di bawah ini: 1
1.

Pada presentasi awal


a. Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun
b. Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten, atau kadar
komplemen C3 serum yang rendah
c. Hipertensi menetap
d. Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia
e. Tersangka sindrom nefrotik sekunder

2.

Setelah pengobatan inisial

32

a. SN resisten steroid
b. Sebelum memulai terapi siklosporin
INDIKASI MELAKUKAN RUJUKAN KEPADA AHLI NEFROLOGI
ANAK
Keadaan-keadaan ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada
ahli nefrologi anak: 1
1. Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit
sindrom nefrotik di dalam keluarga
2. Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan
fungsi ginjal, atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau
lesi di kulit
3. Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi
berat, toksik steroid
4. Sindrom nefrotik resisten steroid
5. Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid
XII.

PROGNOSIS
Prognosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan

histopatologi. Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk, pada


banyak kasus dalam 2-18 bulan akan terjadi kematian karena gagal ginjal.
Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus sangat
baik. Karena pada kebanyakan anak respon tehadap terapi steroid; sekitar 50%
mengalami 1-2 kali relaps dalam 5 tahun dan 20% dapat relaps dalam kurun
waktu 10 tahun setelah didiagnosis. Hanya 30 % anak yang tidak pernah relaps
setelah inisial episode. Setidaknya sekitar 3% anak yang respon terhadap steroid
menjadi steroid resisten. Progresif renal insufisiensi terjadi pada kurang dari 1%
pasien, dan kematian pada pasien kelainan minimal biasanya disebabkan oleh
infeksi dan komplikasi ekstra renal.4,7
Hanya sekitar 20% pasien sindrom nefrotik dengan fokal segmental
glomerulonefritis sklerosis, yang mengalami remisi derajat protenurianya, banyak
pasien yang mengalamai relaps menjadi steroid dependen atau resisten. Penyakit

33

renal stadium akhir terjadi pada 25-30% pasien dalam lima tahun, dan 30-40%
dalam sepuluh tahun. 4,7
Lima puluh persen pasien dengan difuse mesangial proliferation
mengalami remisi komplit dari proteinuria dengan steroid terapi, sekitar 20%
terjadi delayed remisi. Dua puluh persen menjadi proteinuria yang berlanjut dan
sekitar 6% menjadi renal isufisiensi yang progresif. Prognosis pada pasien dengan
membranoproliferatif glomerulonephropaty

umumnya kurang baik, dan

keuntungan terapi steroid tidak begitu jelas. Pada beberapa study dinyatakan,
tidak ada perbedaan evidence hasil antara pemberian pengobatan dengan tampa
pengobatan pada pasien ini, karena sekitar 30% pasien akan menjadi penyakit
renal stadium akhir dalam 5 tahun. 4,7
XIII. KESIMPULAN
Sindroma nefrotik bukan merupakan suatu penyakit. Istilah sindrom
nefrotik dipakai oleh Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai
dengan proteinuria berat, hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan
fungsi renal yang normal.1
Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada
glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder.
Prevalensi nefrotik syndrome pada anak berkisar 2-5 kasus per 100.000 anak.
Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar 15,5/100.000. 1
Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori
underfilled dan teori overfille. Gejala awal pada sindroma nefrotik meliputi;
menurunnya nafsu makan, malaise, bengkak pada kelopak mata dan seluruh
tubuh, nyeri perut, atropi dan urin berbusa. 2,5,6,7
Subkategori atau klasifikasi nefrotik sindrom primer bedasarkan pada
deskripsi histologi dan dihubungkan dengan patologi klinis kelainan yang
sebelumnya telah diketahui. 2,4,5
Komplikasi pada sindromnrfrotik antara lain :2,6

34

1. Infeksi
2. Syok
3. Kelainan koagulasi dan trombosis
4. Pertumbuhan abnormal
Diagnosis ditegakan bedasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yang
didapat, pemeriksan laboratorium dan dikonfirmasi dengan renal biopsi untuk
pemeriksaan histopatologis. 2,4,5
Penatalaksanaan:1
1. Terapeutik, obat yang digunakan dalam penatalaksan nefrotik sindrom
mencakup kortikosteroid, levamisone, cyclosphospamid, dan cyclosporine.
2.

Pengobatan

supotif

(Hiperlipidemia,

Hiperkoagulabilitas,

edema,

Proteinuria dan hipoalbuminemi) serta terapi dietetik.


Prognosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan
histopatologi. Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk
Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus sangat
baik.4,7

DAFTAR PUSTAKA

35

1. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO.Konsensus Tatalaksana


Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Edisi 2. Unit Kerja Koordinasi
Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.2012
2. Rauf, Syarifuddin. Sindrom nefrotik. Catatan Kuliah Nefrologi Anak.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-UNHAS, Makassar. 2002
3. Handayani, dkk. Gambaran Kadar Kolesterol, Albumin, dan Sedimen
Urin Penderita Anak Sindrom Nefrotik.Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory, Vol. 13, No. 2. 2007
4. Cohen, Eric P. Nephrotic Syndrome. From:
www.emedicine.medscape.com. Last update: Juny 10, 2013.
5. Behram, Kleigman, Arvin. Nelson, Ilmu Kesehatan AnakEd 15. EGC
Jakarta.2000
6. Eddy A, Symons J. Nephrotic Syndrome in Childhood, The Lancet vol.
362. Departement of Neurology New Zealand and USA. 2003
7. Lane, Jerome C. Pediatric Nephrotic Syndrome. From:
www.emedicine.medscape.com. Last update: July 22, 2013.

36

You might also like