Professional Documents
Culture Documents
1
1.1
Adrenokortikotropin (ACTH)
Biosintesis, Kimia dan Pengaturan Sekresi
ACTH merupakan suatu rantai lurus polipeptida, yang pada manusia
ACTH
akan
meningkat.
Pengaturan
sekresi
ACTH
juga
diatur
Mekanisme Kerja
Setelah ACTH bereaksi dengan reseptor hormon yang spesifik di
Pengaruh ekstra-adrenal ACTH antara lain dapat dilihat pada warna kulit
kodok yang diisolasi. Hormon ini dapat menyebabkan warna kulit tersebut menjadi
lebih hitam. Hal ini mungkin disebabkan karena pada hewan gugus asam amino ke1 sampai ke-13 identik dengan gugus asam amino yang terdapat pada -MSH
(melanocyte-stimulanting hormone). Pada manusia hiperpigmentasi akibat ACTH
dapat terjadi pada penyakit Addison karena adanya aktifitas -MSH intrinsik pada
ACTH.
1.3
Farmakokinetik
ACTH tidak efektif bila diberikan per oral karena akan dirusak oleh enzim
proteolitik dalam saluran cerna. Pada pemberian IM, ACTH diabsorbsi dengan baik.
Setelah pemberian IV, ACTH cepat menghilang dari sirkulasi; pada
manusia masa paruhnya kira-kira 15 menit. ACTH yang ditemukan dalam urin tidak
mempunyai aktivitas biologis yang berarti. Ini menunjukkan bahwa hormon tersebut
mengalami inaktivasi di jaringan.
Besarnya efek ACTH pada korteks adrenal tergantung dari cara
pemberiannya. Pemberian infus ACTH 20 unit terus-menerus selama waktu yang
bervariasi dari 30 detik sampai 48 jam, menyebabkan sekresi adrenokortikosteroid
yang linier sesuai dengan waktu infus. Bila ACTH diberikan secara IV cepat,
sebagian besar hormon ini tidak akan bekerja pada korteks adrenal.
Saat ini ada ACTH sintetik yang lebih terpilih untuk pemakaian klinik yaitu
kosintropin.
1.4
Indikasi
ACTH banyak digunakan untuk membedakan antara insufiensi adrenal
primer dan sekunder. Pada isufiensi primer kelenjar adrenal mengalami gangguan,
sehingga pemberian ACTH tidak akan menyebabkan peninggian kadar kortisol
dalam darah. Sebaliknya, pada isufiensi sekunder gangguan terletak di kelenjar
hipofisis, sehingga pemberian ACTH akan menyebabkan peninggian kadar kortisol
darah.
Dahulu ACTH sering digunakan untuk mengobati isufiensi adrenal dan
penyakit nonendokrin lain yang memerlukan glukokortikoid, tetapi hasilnya kurang
dapat dipercaya dan kurang menyenangkan bila dibandingkan dengan pemakaian
kortikosteroid. Pemberian ACTH juga akan merangsang sekresi mineralokortikoid
sehingga dapat menyebabkan retensi air dan elektrolit. Berbeda dengan pemberian
glukokortikoid, penggunaan ACTH menyebabkan jaringan memperoleh bukan hanya
Efek Samping
ACTH dapat menyebabkan timbulnya berbagai gejala akibat peningkatan
sekresi hormon korteks adrenal. Selain itu, hormon ini dapat pula menyebabkan
reaksi hipersensitivitas, mulai dari yang ringan sampai syok dan kematian. Reaksi
terhadap kosintropin lebih jarang terjadi. Peningkatan sekresi mineralokortikoid dan
androgen menyebabkan lebih sering terjadi alkalosis hipokalemik (akibat retensi Na)
dan akne bila dibandingkan dengan pemberian kortisol sintetik.
1.6
Kortikotropin USP, larutan steril untuk pemakaian IM atau IV. Sediaan ini
berasal dari hipofisis mamalia.
Kosintropin, peptida sintetik yang dapat diberikan IM atau IV, dosis 0,25 mg
ekuivalen dengan 25 unit.
Meskipun kelenjar adrenal dapat mensintesis androgen, pada wanita sekitar 50%
androgen plasma berasal dari luar kelenjar adrenal. Meskipun demikian pada kasus
hipofungsi korteks adrenal penambahan dehidroepiandrosteron (DHEA) bersama
glukokortikoid dan mineralokortikoid akan memperbaiki well being dan seksualitas
wanita. Pada pria androgen dari adrenal hanya sebagian kecil dari seluruh androgen
plasma. Meskipun androgen adrenal tidak esensial untuk survival, kadar DHEA dan
derivat sulfatnya (DHEAS) mencapai kadar puncaknya pada usia 30 tahunan dan
menurun sesudahnya. Pasien dengan penyakit kronis pun mempunyai kadar yang
sangat rendah, sehingga muncul hipotesa bahwa pemberian DHEA mungkin akan
mengurangi akibat buruk proses penuaan. Meskipun data belum mendukung, saat
ini DHEA banyak dijual sebagai suplemen pangan dengan tujuan mempengaruhi
proses penuaan.
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis
terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit
saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan normal. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan
kecepatan sekresinya. Tabel 32-1 menunjukkan kecepatan sekresi dan kadar plasma
kortikosteroid terpenting pada manusia.
Tabel 32-1 Kecepatan Sekresi dan Kadar Plasma Kortikosteroid Utama Pada
Manusia
Kecepatan
Kadar plasma (/100mL)
sekresi
dalam Jam 8:00
Jam 16 : 00
keadaan optimal
(mg/hari)
Kortisol
20
16
Aldosteron
0,125
0,01
Akibat pengaruh ACTH, zona fasikulata korteks adrenal akan mensekresi kortisol
dan kortikosteron. Bila kadar kedua hormon tersebut dalam darah meningkat,
terutama kortisol, maka akan terjadi penghambatan sekresi ACTH. Keadaan
tersebut tidak berlaku untuk aldosteron, yang disekresikan oleh zona glumerulosa.
Peninggian kadar aldosteron dalam darah tidak menyebabkan penghambatan
sekresi ACTH.
Sekresi aldosteron terutama dipengaruhi oleh sistem renin angiotensin dalam
darah. Angiotensin II merupakan oktapeptida yang dibentuk dari dekapeptida yaitu
angiotensin I (berasal dari globulin plasma). Reaksi yang terakhir ini dikatalisis oleh
converting enzyme dalam paru-paru. Untuk perubahan ini dibutuhkan renin yang
dihasilkan ooleh ginjal. Pengeluaran renin ini diatur oleh tekanan perfusi ginjal dan
sistem saraf yang mekanismenya belum jelas. Penghambatan sekresi renin tidak
dipengaruhi oleh kadarnya dalam darah tetapi oleh volume darah.
Adanya regulasi sekresi kortisol dan aldosteron yang terpisah, dapat dilihat pada
pasien edema, dimana ekskresi metabolit kortisol normal, sedangkan metabolit
aldosteron meningkat.
2.3 MEKANISME KERJA
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya
dijaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam
sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami
perubahan konfirmasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan
kromatin. Ikatan ini
Induksi sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan
efek fisiologik steroid.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi
dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sell limfoid dan fibroblas
hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik
terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.
2.4 FAAL DAN FARMAKODINAMIK
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak; dan
mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal , otot lurik, sistem saraf dan
organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya penting bagi organisme
untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi perubahan lingkungan.
Dengan demikian, hewan tanpa korteks adrenal hanya dapat hidup apabila
diberikan makanan yang cukup dan teratur, NaCl dalam jumlah cukup banyak dan
temperatur
sekitarnya
dipertahankan
dalam
batas-batas
tertentu.
Fungsi
optimal,
maka
dibutuhkan
dosis
obat
yang
lebih
tinggi
untuk
mempertahankan hidupnya. Bila dosis obat yang relatif tinggi ini diberikan berulang
kali pada hewan yang sama dalam keadaan optimal, akan terjadi hiperkortisisme,
yaitu gejala kelebihan kortikosteroid. Diduga, adanya variasi aktivitas sekresi
kortikosteroid
pada
orang
normal
menunjukkan
adanya
variasi
macam
aktivitas
kebutuhan
kortikosteroid
mempunyai
berbagai
biologik,
umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya
efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti
inflamasinya. Pada tabel 32-2 dapat dilihat perbandingan potensi relatif beberapa
kortikosteroid, berdasarkan ketiga hal di atas. Perlu diingat bahwa nilai-nilai
tersebut bukanlah merupakan rasio yang tetap, tetapi tergantung cara peneraan
hayati yang digunakan. Potensi steroid untuk mempertahankan hewan tanpa
adrenal agar tetap berada dalam keadaan seha, dan untuk meretensi natrium
nilainya hampir sama. Pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar, efek
antiinflamasi, efek pada kapasitas kerja hepar, efek anti-inflamasi, efek pada
kapasitas kerja otot lurik, dan pada jaringan limfoid, hampir sejajar.
Tabel 32-2. Perbandingan Potensi Relatif dan Dosis Ekuivalen Beberapa Sediaan
Kortikosteroid
Kortikosteroid
Potensi
Lama Kerja
Dosis
Ekivalen
(mg)*
Retensi
Natrium
Antiinflamasi
Kortisol
(hidrokortison)
20
Kortison
0,8
0,8
25
Kortikosteron
15
0,35
6-metilprednisolo
n
0,5
Fludokortison
(mineralokortik
oid)
125
10
Prednison
0,8
Prednisolon
0,8
Triamsinolon
Parametason
10
Betametason
25
0,75
Deksametason
25
0,75
Ket :
*hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV
S = Kerja Singkat (t blokir 8-12 jam)
I = Intermediate, kerja sedang (t biologik 12-36 jam)
L = Kerja lama (t biologik 36-72 jam)
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar
yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid ialah pada
penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada
keseimbangan air dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini ialah kortisol.
Sebaliknya mineralokortikoid efek utamanya adalah terhadap keseimbangan air dan
elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.
Prototip
golongan
ini
ialah
desoksikortikosteron.
Umumnya
golongan
mineralokortikoid tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 fluorokortisol. Meskipun demikian sediaan ini tidak pernah digunakan sebagai obat
anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar.
Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa
kerjanya. Tabel 32-2 menunjukkan penggolongan kortikosteroid berdasarkan masa
kerja masin-masing sediaan sesuai dengan aktivitas biologisnya.
Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam,
sediaan kerja lama masa paruhnya lebih dari 36 jam, sedangkan yang kerja sedang
mempunyai masa paruh antara 12-36 jam.
Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh ialah sebagai berikut :
Metabolisme Karbohidrat dan Protein
Pengaruh kortikosteroid pada metabolisme karbohidrat terlihat pada hewan
yang di adrenalektomi. Hewan ini hanya dapat bertahan hidup, tanpa penurunan
kadar glukosa darah dan glikogen hepar., bila diberi makanan cukup. Bila hewan
tersebut dipuaskan sebentar saja maka cadangan karbohidrat berkurang dengan
cepat. Glikogen hepar dan otot akan berkurang, timbul timbul hipoglikemia serta
peningkatan sensitivitas terhadap insulin. Gambaran gangguan metabolisme
karbohidrat ini mirip dengan gejala yang dijumpai pada pasien Addison. Pemberian
glukokortikoid, misalnya kortisol, dapat memperbaiki keadaan diatas; cadangan
glikogen terutama di hepar bertambah, glukosa darah tetap normal pada keadaan
puasa, dan sensitivitas terhadap insulin kembali normal. Peningkatan produksi
glukosa ini diikuti oleh bertambahanya ekskresi nitrogen. Hal ini menunjukkan
terjadinya katabolisme protein menjadi karbohidrat. Perubahan diatas terjadi pada
seseorang yang diberi kortikosteroid dosis besar untuk waktu lama, yang dapat
menimbulkan gejala seperti diabetes mellitus. Pada keadaan tersebut glukosa darah
cenderung meninggi,
hasil
akhirnya
adalah
peningkatan
deposit
lemak,
peningkatan
penglepasan asam lemak dan gliserol. Efek ini paling nyata pada kondisi puasa,
dimana
kadar
glukosa
otak
dipertahankan
dengan
cara
glukoneogenesis,
terjadi
glukokortikoid
untuk
jangka
lama
dapat
menyebabkan
akibat
hiperglikemia
yang
ditimbulkan
glukokortikoid,
insulin
ini
mempunyai efek lipogenik dan antilipolitik pada jaringan lemak di batang tubuh
sehingga lemak terkumpul di tempat-tempata yang disebut tadi. Sedangkan sel
lemak di ekstremitas kurang sensitif terhadap insulin dan lebih sensitif terhadap
efek lipolitik hormon lain (epinefrin, noreepinefrin, hormon pertumbuhan) yang
diinduksi oleh glukokortikoid.
Kesimbangan Air dan Elektrolit
aldosteron
per
hari
pada
hewan
tanpa
kelenjar
adrenal
dapat
mempertahankan kadar plasma Na+ dan K+, dan tekanan darah dalam batas-batas
normal. Sedangkan untuk kortisol, dosis yang dibutuhkan untuk keadaan diatas
lebih besar, sekitar 5.000 g. Peranan aldosteron dalam mengatur keseimbangan
Na+ dan K+ plasma, dibuktikan dengan adanya keseimbangan elektrolit yang relatif
normal
pada
hewan
yang
mengalami
hipofisektomi.
Keseimbangan
ini
Satu jam setelah pemberian aldosteron IV pada orang normal atau pada
pasien penyakit Addison, akan terjadi penurunan ekskresi Na + melalui ginjal dan
sebaliknya ekskresi K+ dan H+ akan meningkat. Apabila diberikan dosis aldosteron
yang cukup besar dan terus menerus selama 2 atau 3 hari, ternyata ekskresi
Na+ seimbang lagi dengan pemasukkan Na+, tetapi ekskresi K+ dan H+ akan tetap
tinggi sehingga akhirnya timbul alkalosis-hipokalemik-hipokloremik. Keadaan ini
dikenal sebagai escape phenomenon dari resistensi Na +. Sebab dan mekanisme
terjadinya fenomena ini belum jelas, tetapi hal ini bukan merupakan akibat supresi
sistem renin-angiotensin.
Efek aldosteron dalam jumlah berlebihan dan berlangsung terus menerus
dapat
dilihat
pada
sindrom
Conn
(aldosteronisme
primer).
Keseimbangan
disebabkan oleh berkurangnya massa jaringan otot, jadi bukan karena kehilangan
K+.
Sistem Kardiovaskular
Gangguan sistem kardiovaskular yang timbul pada insufisiensi adrenal atau
pada hiperkortisisme sebenarnya sangat kompleks dan belum semua diketahui
dengan jelas.
Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular secara langsung
maupun tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah terhadap keseimbangan air
dan elektrolit; misalnya pada hiperkortisisme, terjadi pengurangan volume yang
diikuti peningkatan viskositas darah. Bila keadaan ini didiamkan akan timbul
hipotensi dan akhirnya kolaps kardiovaskular. Pengaruh langsung steroid terhadap
sistem kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol, dan miokard.
Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut :
permeabilitas dinding kapiler meningkat, respons vasomotor pembuluh darah kecil
berkurang, fungsi jantung menurun dan curah jantung menurun, sehingga pasien
harus dimonitor untuk gejala atau tanda-tanda edema paru. Pada hewan yang
diadrenalketomi, pembuluh darah kecil akan kehilangan tonus vasomotornya.
Pemeberian
kerusakan
epinefrin
pembuluh
dan
darah
norepinefrin
kecil,
yang
berulang-ulang
dapat
dicegah
dapat
menimbulkan
dengan
pemberian
kortikosteroid.
Pada aldosteronisme primer dimana sekresi aldosteron berlebihan, efek
mineralokortikoid terlihat jelas. Gejala yang mencolok ialah hipertensi dan
hipokalemia. Diduga hipokalemia ini disebabkan oleh efek langsung aldosteron pada
ginjal, sedangkan mekanisme terjadinya hipertensi belum jelas; hanya diketahui
bahwa untuk menimbulkan keadaan ini dibutuhkan mineralokortikoid dosis besar
untuk waktu lama dan asupan Na+ yang berlebihan dan berlangsung lama yang
dapat menimbulkan edema di antara dinding arteriol, akibatnya diameter lumen
berkurang dan resistensi pembuluh perifer akan bertambah. Kemungkinan lain ialah
bahwa retensi garam atau mineralokortikoid itu sendiri menyebabkan pembuluh
darah menjadi lebih sensitif terhadap senyawa yang dapat meningkatkan tekanan
darah, terutama angiotensin dan katekolamin. Pada sindrom Cushing, peningkatan
substrat renin dapat berperan dalam peningkatan tekanan darah.
Otot Rangka
Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi dengan baik,
dibutuhkan kortikosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila hormon ini berlebihan,
timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut.
mempengaruhi kadar Na+ dan K+ otak. Pada insufisiensi adrenal dapat terjadi
penurunan
ambang
rangsang
untuk
persepsi
rasa,
bau
dan
bunyi.
Pada
jaringan
limfoid
berkurang.
Meskipun
pada
manusia
glukokortikoid
tidak
menyebabkan lisis jaringan limfoid yang masif, golongan obat ini dapat mengurangi
jumlah sel pada leukimia limfoblastik akut dan beberapa keganasan sel limfosit.
Kortikosteroid bukan hanya mengurangi jumlah limfosit tetapi juga respons
imunnya.
Glukokortikoid dan ACTH dapat mengatasi gejala klinik hipersensitifitas. Belum
dapat dipastikan apakah dosis terapi kortikosteroid mempunyai efek yang berarti
titer antibodi lgG atau lgE yang berperan aktif pada reaksi alergi atau reaksi
autoimun.
PERTUMBUHAN
Penggunaan glukokortikoid pada anak dalam waktu yang lama, dapat
menghambat pertumbuhan , karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon
pertumbuhan diperifer. Eek ini berhubungan dengan besarnya dosis yang dipakai.
Pada beberapa jaringan, terutama diotot dan tulang, glukokortiroid menghambat
sintesis dan menambah degradasi protein dan RNA. Hal ini lah yang menyababkan
kegagalan
fungsi
hormon
pertumbuhan
bila
digunakan
bersama-sama
kortikosteroid. Meskipun demikian pada beberapa pasien yang diobati untuk jangka
lama tinggi badan normal juga tidak dicapai.
Penghambatan pertumbuhan pada pemakaian kortikosteroid
oleh
kombinasi
berbagai
faktor,
hambatan
somatomedin
disebabkan
oleh
hormon
yang terikat albumin dan bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat globulin
sedikt
mengalami
perubahan.
Kortikosteroid
berkompetisi
sesamanya
untuk
Telah
diketahui
bahwa
hal
ini
tidak
terlalu
bermakna
dalam
tubuh.
nitrogen
(nitrogen
wasting)
dan
retensi
Na.
Sebaliknya
6--
pada
menyebabkan
desoksikortikosteron.
pengurangan
Oksidasi
aktivitas
yang
11--hidroksi
nyata,
menjadi
misalnya
bila
11-keto
kortisol
Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial
and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan
penyakit
2.
3.
4.
Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis melebihi
dosis substitusi, insiden efek samping dan efek letal potensial akan bertambah;
dosis ekivalen hidrokortisol 100 mg/hari lebih dari dua minggu hampir selalu
menimbulkan iatrogenic cushing syndrome. Bila terpaksa pasien harus juga diberi
diet tinggi protein dan kalium. Awasi dan sadari risiko pengaruhnya terhadap
metabolism, terutama bila gejala terkait telah muncul misalnya diabetes yang
resisten insulin, osteoporosis, lambatnya penyembuhan luka
5.
6.
Penghentian pengobatan tiba2 pada terapi jangka panjang dengan dosis besar,
mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa
pasien.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan untuk
jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif. Dosis ini
ditentukan secara trial and error. Pada keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien,
misalnya untuk mengurangi nyeri pada arthritis rheumatoid, dosis awal harus kecil
kemudian secara bertahap ditingkat sampai keadaan tersebut mereda dan dapat
ditoleransi pasien. Kemudian dalam periode singkat dosis harus diturunkan
bertahap sampai tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul kembali. Bila
terapi bertujuan mengatasi keadaan yang dapat mengancam pasien misalnya
pemfigus maka dosis awal haruslah lebih besar. Bila dalam beberapa hari belum
terlihat efeknya, dosis dapat dilipatgandakan. Dalam hal ini, sebelum mengambil
keputusan, dokter harus dapat mempertimbangkan antara bahaya pengobatan dan
bahaya akibat penyakit sendiri.
Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis besar
dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik.
Besarnya dosis glukokortiroid yang dapat menyebabkansupresi hipofisis dan
korteks adrenal ternyata sangat bervariasi dan belum dapat dipastikan dengan
tepat. Umumnya, makin besar dosis dan makin lama waktu pengobata, makin besar
kemungkinan
terjadinya supresi
tersebut.
Untuk
mengurangi
resiko supresi
yang dapat menahan Na dan air. preparat sintesis yang kecil efek menahan airnya
jangan dipakai untuk kondisi ini.
Bila yang terjadi insufisiensi akibat kortikostreroid dosis besar jangka
lama yang dihentikan tiba-tiba pasien harus secepatnya diberi: air, natrium, klorida,
glukosa, ortisol serta pencegahan terhadap infeksi, trauma, dan pendarahan.
Gejalanya cukup berat antara lain berupa gangguan saluran cerna, dehidrasi, rasa
lemah dan hipotensi. Pasien mudah mengalami intoksikasi air, karena menurunnya
fungsi dieresis sehingga sering terjadi hidrasi sel. Selain pemberian larutan NaCl
isotonic IV,dapat ditambahkan glukosa untuk mengatasi hipoglikemia. Jumlah cairan
yang diberikan dalam waktu 24 jam pertama tidak boleh lebih dari 5% dari berat
badan ideal. Pasien harus terus dimonitor karena sewaktu-waktu dapat terjadi
peninggian tekanan vena dan edema paru, mengngat kapasitas kerja system
kardiovaskular dapat menurun. Hidrokortison (kortisol) diberikan secara bolus IV
awal 100 mg dan dilanjutkan dengan pemberian dalam cairan IV yang diberikan
dengan kecepatan 100 mg tiap 8 jam sampai pasien stabil. Jumlah ini sesuai
dengan sekresi kortisol maksimal per hari dalam keadaan stress. Setelah pasien
stabil, dosis hidrokortison dikurangi hingga 25 mg tiap 6-8 jam. Selanjutnya pasien
diperlakukan sama dengan pasien insufisiensi adrenal kronik.
Insufisiensi adrenal kronik
Kelainan akibat operasi atau lesi korteks adrenal ini dapat diatasi dengan
pemberian 20-30 mg per hari dalam dosis terbagi (20 mg pada pagi hari dan 10 mg
sore hari). Banyak pasien memerlukan juga mineralkortikoid fluorokortison asetat
dengan dosis 0,1-0,2 mg per hari; atau cukup dengan kortison dan diet tinggi
garam. Terapi tergantung dari keadaan pasien dalam rasa kesegaran badannya
(well being), nafsu makan, berat badan,
tipe
hipertensif,
aktivitas
enzim
11-hidroksilase
berkurang,
kerusakan
yang
parah
dan
menimbulkan
kecacatan,
paru
pada
fetus
yang
akan
dilahirkan
premature
sehingga
risiko
misalnya prednisone atau prednisolon, bukan deksametason yang bekerja lama. Hal
ini akan mempermudah tapering off atau pengurangan dosis menjadi tiap 2 hari
sekali.
Karditis reumatik
Karena belum ada bukti kortikosteroid lebih baik dari salisilat, sedangkan
risiko penggunaan kortiosteroid lebih besar, maka pengobatan karditis reumatik
dimulai dengan salisilat. Kortikosteroid hanya digunaan pada keadaan akut, pada
pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan salisilat saja, atau sebagai terapi
permulaan pada pasien dalam keadaan sakit keras dengan demam, payah jantung
akut, aritmia dan perikarditis. Disini diberikan prednison 40 mg sehari dalam dosis
terbagi.
Dianjurkan
agar
sesudah
kortikosteroid
dihentikan
salisilat
tetap
umumnya
obat
ini
kurang
bermanfaat.
Glukokortikoid
dpat
mg/kg/hari untuk dewasa dan 1-2 mg/kg/hari untuk anak. Dosis harus diturunkan
bila telah terlihat adanya perbaikan.
Asma bronkial dan penyakit saluran napas lainnya. Respons asma terhadap
farmakoterapi bervariasi antar individu, sehingga dapat ditemukan pasien yang
resisten terhadap steroid meskipun jarang dan
tidak menunjukkan
hasil baik
dengan inhalasi steroid. Kortikosteroid saat ini diberikan segera pada serangan akut
pasien asma bronkial akut maupun bronkial kronik untuk mengatasi secara cepat
reaksi radang yang ternyata selalu terjadi pada saat serangan asma. Glukokortikoid
tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Tetapi sebagai anti inflamasi
obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat
sintesis eikosanoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil, dan leukosit lain
dijaringan paru-paru dan menurunkan permeabilitas vaskular, sehingga saat ini
kortikosteroid adalah obat paling efektif untuk asma bronkial. Pengobatan sistemik
beresiko tinggi untuk timbulnya efek samping serius, penemuan glukokortikoid
inhalasi merupakan kemajuan besar dalam terapi asma karena obat langsung
sampai ke target organ sehingga sangat efektif sedangkan resiko efek samping
sistemik sangat rendah.
Saat ini ada 5 preparat yang berbentuk inhalasi yaitu beklometason
dipropinoat, triamsinolon asetonid, flunisolid, budesonid, flutikason propinoat.
Indeks terapi semua preparat hampir tidak berbeda bila digunakan dalam dosis
yang dianjurkan. Inhalasi digunakan untuk pencegahan, tetapi dibutuhkan waktu
cukup lama dalam pengawasan dokter untuk mencapai keadaan berkurangnnya
hiper-reaktivitas paru. Pasien yang dianggap perlu ditangani dengan terapi inhalasi
kortikosteroid adalah pasien asma yang membutuhkan 2-adrenergik agonis 4 kali
atau lebih dalam satu minggu. Dosis untuk tiap individu harus dicari dan dapat
berbeda antar individu. Efek samping sistemik dapat terjadi bila obat tertelan,
tetapi preparat terkini mengalami metabolisme lintas pertama sehingga lebih kecil
kemungkinan efek sistemiknya.
Pada status asmatikus atau asma kronis yang berat, glukokortikoid dosis
besar harus segera diberikan; metilprednisolon-Na-suksinat 60-100 mg setiap 6 jam
dapat diberikan secara IV. Bila gejala mereda, dapat diikuti pemberian prednison
oral 40-60 mg/hari. Dosis diturunkan bertahap sampai hari ke-10 terapi dapat
dihentikan. Terapi nonsteroid dapat diberikan setelah keadaan mereda.
Eksaserbasi akut asma dapat dilatasi dengan prednison 30 mg, 2 kali sehari
selama 5 hari kemudian bila masih perlu terapi dapat diperpanjang dengan dosis
yang lebih rendah. Bila pemberian obat anti-asma lain memberikan respons baik,
kortikosteroid dapat dihentikan dengan cara yang benar. Gejala supresi fungsi
adrenal dapat timbul dalam waktu 1-2 minggu, tergantung besar dosis. Saat ini
hampir semua asma dapat diatasi dengan inhalasi kortikosteroid.
Pasien yang sedang menggunakan glukokortikoid oral harus menurunkan
dosis secara bertahap, bila akan memulai inhalasi beklometason. Inhalasi ini sering
menyebabkan kandiasis oofarings tanpa gejala, pencegahan diupayakan dengan
berkumur setiap kali pemakaian.
Resiko efek samping yang ditakuti misalnya penekanan sumbu hipotalamushipofisa-korteks adrenal tidak bermakna pada dosis budesonid atau beklometason
<1500 g/hari pada dewasa dan <400 g/hari pada anak. Begitu pula gangguan
metabolisme karbohidrat dan lipid tak nyata pada beklometason <1000 g/hari.
Purpura atau penipisan kulit dapat terjadi dan terkait dengan dosis pemakaian
beklometasom 400-2000 g/hari. Disfoni hampir tak pernah terjadi, kandiasis <5%
dan menurun dengan penggunaan alat khusus (spacer device), hambatan
perumbuhan tidak terbukti dan sulit dipisahkan antara efek obat dari penytakitnya.
Kortikosteroid juga digunakan pada COPD (chronic obstructive pulmonary
disesase) terutama bila diduga masih reversibel. Hasil terapi tidak sebaik pada
kasus asma.
Penyakit alergi. Gejala penyakit alergi yang hanya berlangsung dalam
waktu tertentu, dapat diatasi dengan glukokortikoid sebagai obat tambahan
disamping obat primernya; misalnya pada hay-fever, penyakit serum, urtikaria,
dermatitis kontak, reaksi obat, edeme angioneurotik. Pada reaksi yang gawat ,
misalnya anafilaksis dan edema angioneurotik glotis, diperlukan pemberian
adrenalin dengan segera. Pada keadaan yang mengancam jiwa pasien, korikosteroid
dapat diberikan IV, misalnya deksametason natrium fosfat(8-12 mg). Pada penyakit
yang tidak begitu berat, seperti penyakit serum, hay-fever, antihistamin masih
merupakan pilihan obat utama.
Penyakit mata. Kortikosteroid dapat mengatasi gejala inflamasi mata
bagian luar maupun segmen anterior. Obat dapat diberikan pada kantung
konjungtiva yang akan mencapai kadar terapi dalam cairan mata, sedangkan pada
gangguan bagian mata posterior lebih baik diberikan sistemik. Umumnya dipakai
larutan deksametason fosfat 0,1% pagi dan siang; dan salep mata deksametason
fosfat 0,05% pada malam hari. Inflamasi segmen posterior diatasi dengan 30 mg
prednison oral per hari dalam dosis yang terbagi.
Korikosteroid dapat meningkatkan tekanan intraokular, maka bila obat
digunakan lebih dari 2 minggu dinjurkan untuk memeriksa tekanan intraokular
secara teratur.
Pada konjungtivitas karena bakteri, virus, atau fungus, obat ini dapat
menimbulkan masiking effect sehingga infeksi dapat terus menjalar kedalam dan
menimbulkan kebutaan. Hal ini yang membahayakan ini harus disadari saar
memberikan preparat kombinasi dengan antibiotik. Obat ini tidak boleh digunakan
pada herpes simples mata( dentritis keratitis), karena dapat memperburuk keadaan
dan menimbulkan kekeruhan kornea yang menetap.
Pada laserasi dan abrasio mata akibat trauma mekanik, kortikosteroid topikal
dapat memperlambat penyembuhan dan menyebarkan infeksi. Kortikosteroid tidak
boleh diberikan pada pasien glaukoma sudut sempit kecuali sangat diperlukan
(kontraindikasi relatif).
Penyakit kulit. Bermacam-macam kelainan kulit dapat diobati dengan
sediaan steroid topikal. Yang harus diperhatikan ialah kadar kandungan steroidnya.
Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Untuk
meningkatkan absorbsi dan efektivitasnya, krim atau salep ditutup dengan plastik
transparan.
Namun
cara
ini
dapat
memperbesar
absorpsi
sistemik
dan
memungkinkan timbulnya efek samping. Pada penyakit akut dan berat serta pada
eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara sistemik. Untuk itu
digunakan prednison 40 mg per hari. Pada pemfigus, pemberian prednison dapat
mencapai 120 mg, dan pada kasus ini kortikosteroid bersifat live saving. Pada
pembuatan
topikal
harus disadari
kemungkinan
timbulnya
efek
merugikan,
hepar. Uji
klinis
menunjukkan
bahwa
glukokortikoid
dapat
memperpanjang msa hidup pasien mekrosis hepar subakut dan hepatitis kronik
aktif, hepatitis alkoholik, sirosis non alkoholik pada wanita. Pada hepatitis kronik
aktif, dapat diberikan prednison 60-100 mg/hari. Dosis diturunkan bertahap bila ada
perbaikan penyakit. Kortikosteroid hanya diberikan pada hepatitis alkoholik yang
hebat, dengan gejala ensafalopati-hepatika, digunakan prednison 40 mg sehari
selama satu bulan, kemudian dihentikan selama 2 sampai 4 minggu. Pada
penurunan fungsi hepar yang berat lebih baik digunakan prednisolon daripada
prednison karena masih harus diubah hepar menjadi prednisolon.
15%
pasien
karsinoma
mamae
mengalami
regresi
setelah
diulang
sesudah
jam.
Untuk
syok
kardiogenik,
dapat
diberikan
serebal. Glukokortikoid
sangat
efektif
untuk
mencegah
atau
mengobati edema serebral karena parasit atau tumor otak. Terutama pada kasus
metastasis. Edema akibat abses memberikan respon yang baik terhadap steroid. Uji
klinik tidak membuktikan manfaat pada edema akibat trauma atau perdarahan otak
meskipun obat ini banyak digunakan.
Trauma sumsum tulang belakang (spinal cord injury). Uji klinik
multisentra membuktikan manfaat metilprednison dosis besar (30 mg/kgBB
dilanjutkan infus 5,4 mg/kgBB per jam selama 23 jam) sebelum 8 jam setelah
trauma akan mengurangi gejala neurologis.
sampai
sekarang
tidak
ada
kontra
indikasi
absolut
dua
penyebab
timbulnya
efek
samping
pada
penggunaan
edema, pengobatan dapat diteruskan dengan desertai dengan diet rendah garam
dan pemberian diuretic
Glikosuria dapat diatasi dengan diet dan pemberian insulin atau
hipoglikemik oral
Kepekaan terhadap injeksi pada pasien yang mendapat kortikosteroid
tidak bersifat spesifik untuk bakteri atau fungus pathogen tertentu. Bila terjadi
infeksi, dosis kortikisteroid harus tetap dipertahankan atau ditambah, dan harus
dilakukan pengobatan antibiotic/fungal yang terbaik terhadap infeksi tersebut
secara bersamaan
Tukak
peptic
ialah
komplikasi
yang
kadang-kadang
terjadi
pada
pengobatan dengan kortikosteroid. Sebab itu bila ada kecurigaan dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan rodiologi terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat
diberikan. Pemberian dosisi besar sebaiknya dilakukan pada waktu lambung berisi,
dan di antara waktu makan diberikan antacid bila perlu. Perforasi yang terjadi
sewaktu
terapi
kortikosteroid
dosis
besar
sangat
berbahaya
karena
dpat
timbul
dalam
berbagai
bentuk,
antara
lain
nervositas,
insomnia,
atau
gejala
osteoporosis
pengobatan
harus
dihentikan.
Hal
ini
perlu
diperhatikan pada wanita yang mati haid yang sedang mendapat pengobatan
kortikosteroid
Hiperkoagulabilitas darah dengan kejadian tromboemboli telah ditemukan
terutama pada pasien yang mempunyai penyakit yang memudahkan terjadinya
trombisis intravascular. Pengobatan kortikosteroid dosis besar pada pasien ini, harus
disertai pemberian antikoagulan sebagai terapi profilaksis.
2. 10. SEDIAAN DAN PASOLOGI
Sediaan kortikosteroid dapat diberikan secara oral, parental (IV, IM,
intrasinovial dan intralesi) dan topical pada kulit atau mata (dalam bentuk salep,
krim, losio) atau aerosol melalui jalan nafas. Pada semua cara pemberian topical
kortikosteroid dapt diabsorbsi dalam jumlah cukup untuk menimbulkan efek
sistemik dan menyebabkan penekanan andrnokortikosteroid.
Pada tabel 32-3 dicantumkan berbagai sediaan kortikosteroid dan cara
pemberiannya
PENGHAMBATAN KORTIKOSTEROID
Telah
ditemukan
beberapa
zat
yang
dapat
menghambat
sekresi
kortikosteroid, antara lain yang akan dibahas adalah metirapon dan aminoglutemid. Ketokonazol, suatu antifungal, menhambat steroidogenesis karena
menghambat enzim CYP17 (17 alfa hidroksilase), hal inii dapat menghambat
interaksi obat. Ketokonazol belum diketahui manfaat kliniknya untuk menghambat
produksi steroid. Mifepriston menghambt mekanisme umpan balik sehingga
meningkatkan
ACTH
dan
kortisol.
Karena
kemampuaannya
menghambat
digunakan
untuk
menguji
kemampuan
hipofisis
untuk
lama
dapat
menyebabkan
hipertensi
kerena
sekresi
Reaksi:
Kelas Tulisan : dunia farmasi, farmakologi, info apoteker, info farmasi, makalah, toksikologi
0 komentar:
:a:
:b:
:h:
:i:
:c:
:d:
:e:
:f:
:g
:o:
Poskan Komentar
:p:
:j:
:k:
:l:
:m:
:n
terjemahan
Blog Archive
2014 (1)
2013 (70)
Juli (2)
April (3)
Maret (2)
Januari (63)
Jan 23 (2)
Jan 22 (9)
Jan 21 (24)
Sulfonamida
Thiamphenicol
obat Hormone
psikofarmaka
Adrenokortikotropin (ACTH)
hormone insuline
Jan 20 (2)
Jan 19 (1)
Jan 18 (1)
Jan 13 (1)
Jan 07 (4)
Jan 06 (15)
Jan 05 (4)
299428
Jenis Artikel
medisinal latar
belakang makalah narkotika obat asli Indonesia obat bebas obat bebas terbatas obat
keras oral penelitianproposal psikotropika racikan sediaan
solidsediaan
steril sekedar
cair
sharing simbol
sediaan
galenik sediaan
semi