You are on page 1of 13

MAKALAH

SENJATA TRADISIONAL DI INDONESIA

Di susun Oleh :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Nur Roniah
Resi Yani
Nur Cahyani
Lutfil Khakim
Pandu Prasetyo
Trimurdiyono

SMA BUDILUHUR TANGGUNGHARJO


KABUPATEN GROBOGAN
2014 / 2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami sampaikan kepada Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunianya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang Senjata
Tradisional Di Indonesia .
Dan tidak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada semua kalangan
yang telah berpartisipasi dan memberikan bantuan, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan, sehingga di butuhkan kritik dan saran yang konstruktif dari
berbagai kalangan demi perbaikan dan sekaligus memperbesar manfaat tulisan ini
sebagai sebuah referensi.
Akhirnya, Semoga makalah yang telah penulis susun dapat bermanfaat dan
berguna bagi semua kalangan.
Penulis

Keris Senjata Tradisonal Jawa Tengah


Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua
sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat
dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena
tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berkelok-kelok, dan
banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan
logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris
adalah badik. Senjata tikam lain asli Nusantara adalah kerambit.

Sebilah keris Jawa (kanan) dengan sarung keris (warangka).


Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan, sekaligus
sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan
benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau
menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah terpengaruh
oleh Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, pesisir Kalimantan,
sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan
(Mindanao). Keris Mindanao dikenal sebagai kalis. Keris di setiap daerah memiliki
kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan.
Keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia NonBendawi Manusia sejak 2005.

Mandau Senjata Tradisonal Suku Dayak


Mandau adalah senjata tajam sejenis parang berasal dari kebudayaan Dayak di
Kalimantan. Mandau termasuk salah satu senjata tradisional Indonesia. Berbeda dengan
arang, mandau memiliki ukiran - ukiran di bagian bilahnya yang tidak tajam. Sering
juga dijumpai tambahan lubang-lubang di bilahnya yang ditutup dengan kuningan atau
tembaga dengan maksud memperindah bilah mandau.
Menurut legenda, mandau berasal dari asal kata "MAn-Da-U" adalah nama seseorang
yang datang ke pulau kalimantan yaitu dari suku kuno china "Namman" atau Barbar
Selatan. Man Da U adalah nama seseorang yang pertama membuat bentuk senjata
pedang yang menyerupai bentuk bilah pedang/parang mandau saat ini.

Mandau lengkap dengan pisau rautnya, Langgei Puai.


Kumpang adalah sarung bilah mandau. Kumpang terbuat dari kayu, dilapisi tanduk rusa,
dan lazimnya dihias dengan ukiran. Pada kumpang mandau diberi tempuser undang,
yaitu ikatan yang terbuat dari anyaman uei (rotan). Selain itu pada kumpang terikat pula
semacam kantong yang terbuat dari kulit kayu berisi pisau penyerut dan kayu gading
yang diyakini dapat menolak binatang buas. Mandau yang tersarungkan dalam kumpang
biasanya diikatkan di pinggang dengan jalinan rotan.
Ambang adalah sebutan bagi mandau yang terbuat dari besi biasa. Sering dijadikan
cinderamata. Orang awam atau orang yang tidak terbiasa melihat atau pun memegang
mandau akan sulit untuk membedakan antara mandau dengan ambang karena jika
dilihat secara kasat mata memang keduanya hampir sama. Tetapi, keduanya sangatlah
berbeda.

Kujang Senjata Tradisonal Jawa barat


Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat.
Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari
besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm
dan beratnya sekitar 300 gram.
Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan
daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan
keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri
khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan,
ataupun cindera mata. Menurut Sanghyang siksakanda ng
karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum petani dan
memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda.
Beberapa peneliti[siapa?] menyatakan bahwa istilah "kujang"
berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang. Kujang (juga)
berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa.
Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.
Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang
mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak
bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari
bahaya/penyakit[butuh rujukan]. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang
digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah
peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat
tidur (Hazeu, 1904 : 405-406). Sementara itu, Hyang dapat disejajarkan dengan
pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang
mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran Dasa
Prebakti yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian
disebutkan Dewa bakti di Hyang. Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai
filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam
beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai
pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula
oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.

Rencong Senjata Tradisonal Aceh


Rencong (Bahasa Aceh : Rintjong) adalah senjata
tradisional milik Suku Aceh. Rencong merupakan simbol
identitas diri, keberanian, dan ketanguhan Suku Aceh.
Menurut catatan sejarah, Rencong merupakan senjata
tradisional yang digunakan di Kesultanan Aceh sejak
masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah yang
merupakan Sultan Aceh yang pertama. Kedudukan
Rencong di Kesultanan Aceh sangatlah penting, Rencong
selalu diselipkan di pinggang Sultan Aceh, selain itu para
Ulee Balang dan masyarakat biasa juga menggunakan
Rencong. Rencong emas milik Sultan Aceh dapat kita
jumpai di Museum Sejarah Aceh, dari bukti sejarah
tersebut dapat disimpulkan bahwa Rencong memang
sudah terlahir sejak masa Kesultanan Aceh namun pembuat pertamanya sampai saat ini
belum diketahui.
Dalam acara adat Kesultanan Aceh, Rencong biasanya digunakan saat acara pernikahan,
Meugang, Peusijuk, Tung Dara Baro (Mengunduh Mantu), dan dalam setiap acara
penting lainnya.
Rencong Kerajaan Aceh, terbuat dari emas dengan mata pisau berukir ayat suci
Alquran. Saat ini Rencong emas milik Sultan Aceh tersimpan dengan sangat baik di
Museum Negeri Aceh Rencong memiliki berbagai tingkatan, untuk Sultan terbuat dari
emas yang berukirkan sekutip ayat-ayat suci Al-Qur'an, sedangkan Rencong lainnya
biasanya terbuat dari perak, kuningan, besi putih, kayu dan gading.
Masyarakat Aceh menghubungkan kekuatan mistik dengan senjata Rencong. Rencong
masih digunakan dan dipakai sebagai atribut busana di dalam setiap upacara-upacara
adat Aceh. Masyarakat Aceh mempercayai bahwa bentuk dari Rencong mewakili
simbol dari Bismillah dalam kepercayaan Agama Islam.
Karena sejarah dan kepopuleran Rencong, maka masyarakat dunia menjuluki Aceh
sebagai "Tanah Rencong" Saat ini Rencong telah diusulkan menjadi Warisan Karya
Budaya Dunia UNESCO oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh.

Badik Senjata Tradisonal Suku Bugis


Badik atau badek adalah pisau dengan bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat
Bugis dan Makassar. Badik bersisi tajam tunggal atau ganda, dengan panjang mencapai
sekitar setengah meter. Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap kali dihiasi
dengan pamor. Namun, berbeda dari keris, badik tidak pernah memiliki ganja
(penyangga bilah).
Menurut

pandangan

orang

Bugis

Makassar, setiap jenis badik memiliki


kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat
memengaruhi

kondisi,

keadaan,

dan

proses kehidupan pemiliknya. Sejalan


dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa
badik

juga

mampu

menimbulkan

ketenangan, kedamaian, kesejahteraan


dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang
menyimpannya. Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai
senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu
kelompok etnis atau kebudayaan. Badik ini tidak hanya terkenal di daerah Makassar
saja, tetapi juga terdapat di daerah Bugis dan Mandar dengan nama dan bentuk berbeda.
Secara umum badik terdiri atas tiga bagian, yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta
sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung badik. Disamping itu, terdapat pula
pamor yang dipercaya dapat memengaruhi kehidupan pemiliknya.
Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta
cappa (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari. Badik
Sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa kale (tubuh badik) dan banoang
(sarung badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di daerah ini badik disebut dengan
kawali, seperti Kawali Raja (Bone) dan Kawali Rangkong (Luwu).
Badik Bugis Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan
bentuk agak melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih
dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi
(bilah) dan wanua (sarung).

Clurit Senjata Tradisonal Madura


Clurit adalah alat pertanian yang berfungsi sebagai alat potong yang berbentuk
melengkung menyerupai bulan sabit. Meskipun memiliki bentuk yang sama dengan
arit/sabit, Clurit lebih mengacu pada senjata tajam sedangkan Arit atau Sabit cenderung
bersifat sebagai alat pertanian.

Clurit merupakan senjata khas dari suku Madura Provinsi Jawa Timur digunakan
sebagai senjata carok. Legenda senjata ini adalah senjata yang biasa digunakan oleh
tokoh yang bernama Sakera yang kontra dengan dengan penjajah Belanda. Kini senjata
clurit sering digunakan masyarakat Madura untuk carok. Sebelum digunakan clurit diisi
dulu dengan asma / khodam dengan cara melafalkan doa-doa sebelum melakukan
carok. Carok dan celurit tak bisa dipisahkan. Carok merupakan simbol kesatria dalam
memperjuangkan harga diri ( kehormatan ). Hal ini muncul di kalangan orang-orang
Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M. Celurit digunakan Sakera sebagai
simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda.
Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.
Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu
menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga
diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati
berkalang tanah daripada menanggung malu. Penyelesaian dengan cara carok pasti salah
satu ada yang mati. Oleh karena itu walaupun salah satu khasanah budaya rakyat
Indonesia, Pemerintah tetap menetapkan sebagai pelanggaran hukum.

Siwar Senjata Tradisional Sumatera Selatan


Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Di daerah ini
terdapat suatu senjata tradisional yang disebut sebagai siwar. Siwar atau sering juga
disebut tumbak lado adalah suatu artefak yang berupa senjata tusuk genggam yang
bentuknya menyerupai golok panjang dengan tajaman di salah satu sisi bilahnya.
Senjata ini mempunyai kedudukan yang penting bagi seseorang, sehingga fungsinya
tidak hanya sebagai alat untuk mempertahankan diri, melainkan juga sebagai benda
keramat yang memiliki unsur kimpalan mekam atau kimpalan sawah (mempunyai
kekuatan magis).

Siwar adalah senjata yang bahan bakunya terbuat dari besi yang proses pengerjaannya
umumnya dibuat oleh pandai besi di pedapuran tempat membuat alat-alat dari besi. Pada
umumnya siwar berukuran antara 15-30 cm (skin rambai ayam) dengan lebar badan
hingga ke matanya antara 1-2 cm. Sedangkan, sarung dan gagang siwar terbuat dari
kayu yang keras tetapi ringan agar dapat dibawa atau digunakan dengan mudah. Gagang
siwar yang biasanya berornamen bunga atau tumbuhan bentuknya mirip dengan senjata
reuncong namun membesar di bagian ujungnya.
Skin sebagai hasil budaya anak negeri, jika dicermati secara seksama, di dalamnya
mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam
kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain:
keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari
bentuk skin yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan.
Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses
pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.

Skin Senjata Tradisional Daerah Sumatera Selatan


Skin yang sering juga disebut jembio, rambai
ayam (berbentuk menyerupai ekor ayam) atau taji
ayam, adalah suatu artefak yang berupa senjata
tusuk genggam yang bentuknya meruncing
dengan tajaman di salah satu sisi bilahnya Skin
mempunyai
seseorang,

kedudukan
sehingga

yang

fungsinya

penting
tidak

bagi
hanya

sebagai senjata, melainkan juga sebagai benda


keramat yang memiliki unsur kimpalan mekam
atau kimpalan sawah (mempunyai kekuatan
magis). Struktur Skin. Skin adalah senjata yang
bahan bakunya terbuat dari besi yang proses
pengerjaannya

dibuat

oleh

pandai

besi

di

pedapuran tempat membuat alat-alat dari besi.


Pada umumnya skin berukuran antara 25-30 cm
(skin rambai ayam). Namun, ada pula skin yang lebih pendek berukuran antara 10-15
cm. Skin berukuran pendek ini biasa disebut sebagai taji ayam karena bentuknya
menyerupai taji seekor ayam jantan. Sarung skin dahulu terbuat dari kulit sapi atau
kambing. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, sarung skin saat ini banyak
yang terbuat dari kulit sintetis yang pengerjaannya dilakukan oleh penjahit tas kulit.
Sedangkan gagangnya terbuat dari kayu yang keras tetapi liat yang diukir sedemikian
rupa sehingga memiliki nilai seni yang tinggi.
Skin sebagai hasil budaya anak negeri, jika dicermati secara seksama, di dalamnya
mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam
kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain:
keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari
bentuk skin yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan.
Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses
pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai
tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah skin atau rambai ayam yang indah dan
sarat makna.

Sumpit Senajata Tradisional Suku Dayak

Sumpit adalah senjata tradisional suku Dayak Kalimantan yang dalam kehidupan seharihari digunakan untuk berburu hewan atau burung di hutan. Berburu adalah kehidupan
rutin suku Dayak dalam mencukupi kebutuhan makan sehari-hari.
Pada zaman penjajahan , serdadu Belanda yang bersenjatakan senapan dengan teknologi
mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya mengandalkan
sumpit ( Tulup : Jawa ). Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena
anak sumpit ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru.
Penyebab yang membuat pihak penjajah gentar itu adalah anak sumpit yang beracun.
Sebelum berangkat ke medan laga, prajurit Dayak mengolesi mata anak sumpit dengan
getah pohon ipuh atau pohon iren. Dalam kesenyapan, mereka beraksi melepaskan anak
sumpit yang disebut damek. Makanya, tak heran penjajah Belanda bilang, menghadapi
prajurit Dayak itu seperti melawan hantu. Tanpa tahu keberadaan lawannya, tiba-tiba
saja satu per satu serdadu Belanda terkapar, membuat sisa rekannya yang masih hidup
lari terbirit-birit. Kalaupun sempat membalas dengan tembakan, dampak timah panas
ternyata jauh tak seimbang dengan dahsyatnya anak sumpit beracun.

Sumpit Suku Dayak

Tak sampai lima menit setelah tertancap anak sumpit pada bagian tubuh mana pun, para
serdadu Belanda yang awalnya kejang-kajang akan tewas. Bahkan, bisa jadi dalam
hitungan detik mereka sudah tak bernyawa. Sementara, jika prajurit Dayak tertembak
dan bukan pada bagian yang penting, peluru tinggal dikeluarkan. Setelah dirawat
beberapa minggu, mereka pun siap berperang kembali. Penguasaan medan yang dimiliki

prajurit Dayak sebagai warga setempat tentu amat mendukung pergerakan mereka di
hutan rimba.

Golok Senjata Tradisional Betawi


Golok merupakan jenis senjata tajam masyarakat Melayu yang paling umum ditemukan,
walaupun dengan penamaan yang berlainan berdasarkan daerahnya. Sebagian besar
masyarakat di pulau Jawa sepakat menamakan senjata tajam ini dengan golok.

Golok Betawi
Pada masyarakat Betawi keberadaan golok sangat dipengaruhi kebudayaan Jawa Barat
yang melingkupinya. Perbedaan diantara keduanya dapat dilihat dari model bentuk dan
penamaannya, sedangkan kualitas dari kedua daerah ini memiliki kesamaan mengingat
kerucut dari sumber pande besi masyarakat Betawi mengacu pada tempat-tempat Jawa
Barat, seperti Ciomas di Banten dan Cibatu di Sukabumi.
Golok Gobang, adalah golok yang berbahan tembaga, dengan bentuk yang pendek.
Panjang tidak lebih dari panjang lengan (sekitar 30cm) dan diameter 7cm. Bentuk Golok
Gobang yang pada ujung (rata) dan perut melengkung ke arah punggung golok, murni
digunakan sebagai senjata bacok. Di Jawa Barat model Golok Gobang ini dinamakan
Golok Candung. Bentuk gagang pegangan umumnya tidak menggunakan motif ukiran
hewan, hanya melengkung polos terbuat dari kayu rengas. Masyarakat Betawi tengah
menyebutnya dengan istilah Gagang Jantuk.
Bilah golok gobang polos tanpa pamor atau wafak yang umum dipakai sebagai golok
para jawara, dengan diameter 6cm yang tampak lebih lebar dari golok lainnya

You might also like