Professional Documents
Culture Documents
Di susun Oleh :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Nur Roniah
Resi Yani
Nur Cahyani
Lutfil Khakim
Pandu Prasetyo
Trimurdiyono
Puji syukur kami sampaikan kepada Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunianya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang Senjata
Tradisional Di Indonesia .
Dan tidak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada semua kalangan
yang telah berpartisipasi dan memberikan bantuan, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan, sehingga di butuhkan kritik dan saran yang konstruktif dari
berbagai kalangan demi perbaikan dan sekaligus memperbesar manfaat tulisan ini
sebagai sebuah referensi.
Akhirnya, Semoga makalah yang telah penulis susun dapat bermanfaat dan
berguna bagi semua kalangan.
Penulis
pandangan
orang
Bugis
kondisi,
keadaan,
dan
juga
mampu
menimbulkan
Clurit merupakan senjata khas dari suku Madura Provinsi Jawa Timur digunakan
sebagai senjata carok. Legenda senjata ini adalah senjata yang biasa digunakan oleh
tokoh yang bernama Sakera yang kontra dengan dengan penjajah Belanda. Kini senjata
clurit sering digunakan masyarakat Madura untuk carok. Sebelum digunakan clurit diisi
dulu dengan asma / khodam dengan cara melafalkan doa-doa sebelum melakukan
carok. Carok dan celurit tak bisa dipisahkan. Carok merupakan simbol kesatria dalam
memperjuangkan harga diri ( kehormatan ). Hal ini muncul di kalangan orang-orang
Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M. Celurit digunakan Sakera sebagai
simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda.
Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.
Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu
menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga
diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati
berkalang tanah daripada menanggung malu. Penyelesaian dengan cara carok pasti salah
satu ada yang mati. Oleh karena itu walaupun salah satu khasanah budaya rakyat
Indonesia, Pemerintah tetap menetapkan sebagai pelanggaran hukum.
Siwar adalah senjata yang bahan bakunya terbuat dari besi yang proses pengerjaannya
umumnya dibuat oleh pandai besi di pedapuran tempat membuat alat-alat dari besi. Pada
umumnya siwar berukuran antara 15-30 cm (skin rambai ayam) dengan lebar badan
hingga ke matanya antara 1-2 cm. Sedangkan, sarung dan gagang siwar terbuat dari
kayu yang keras tetapi ringan agar dapat dibawa atau digunakan dengan mudah. Gagang
siwar yang biasanya berornamen bunga atau tumbuhan bentuknya mirip dengan senjata
reuncong namun membesar di bagian ujungnya.
Skin sebagai hasil budaya anak negeri, jika dicermati secara seksama, di dalamnya
mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam
kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain:
keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari
bentuk skin yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan.
Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses
pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.
kedudukan
sehingga
yang
fungsinya
penting
tidak
bagi
hanya
dibuat
oleh
pandai
besi
di
Sumpit adalah senjata tradisional suku Dayak Kalimantan yang dalam kehidupan seharihari digunakan untuk berburu hewan atau burung di hutan. Berburu adalah kehidupan
rutin suku Dayak dalam mencukupi kebutuhan makan sehari-hari.
Pada zaman penjajahan , serdadu Belanda yang bersenjatakan senapan dengan teknologi
mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya mengandalkan
sumpit ( Tulup : Jawa ). Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena
anak sumpit ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru.
Penyebab yang membuat pihak penjajah gentar itu adalah anak sumpit yang beracun.
Sebelum berangkat ke medan laga, prajurit Dayak mengolesi mata anak sumpit dengan
getah pohon ipuh atau pohon iren. Dalam kesenyapan, mereka beraksi melepaskan anak
sumpit yang disebut damek. Makanya, tak heran penjajah Belanda bilang, menghadapi
prajurit Dayak itu seperti melawan hantu. Tanpa tahu keberadaan lawannya, tiba-tiba
saja satu per satu serdadu Belanda terkapar, membuat sisa rekannya yang masih hidup
lari terbirit-birit. Kalaupun sempat membalas dengan tembakan, dampak timah panas
ternyata jauh tak seimbang dengan dahsyatnya anak sumpit beracun.
Tak sampai lima menit setelah tertancap anak sumpit pada bagian tubuh mana pun, para
serdadu Belanda yang awalnya kejang-kajang akan tewas. Bahkan, bisa jadi dalam
hitungan detik mereka sudah tak bernyawa. Sementara, jika prajurit Dayak tertembak
dan bukan pada bagian yang penting, peluru tinggal dikeluarkan. Setelah dirawat
beberapa minggu, mereka pun siap berperang kembali. Penguasaan medan yang dimiliki
prajurit Dayak sebagai warga setempat tentu amat mendukung pergerakan mereka di
hutan rimba.
Golok Betawi
Pada masyarakat Betawi keberadaan golok sangat dipengaruhi kebudayaan Jawa Barat
yang melingkupinya. Perbedaan diantara keduanya dapat dilihat dari model bentuk dan
penamaannya, sedangkan kualitas dari kedua daerah ini memiliki kesamaan mengingat
kerucut dari sumber pande besi masyarakat Betawi mengacu pada tempat-tempat Jawa
Barat, seperti Ciomas di Banten dan Cibatu di Sukabumi.
Golok Gobang, adalah golok yang berbahan tembaga, dengan bentuk yang pendek.
Panjang tidak lebih dari panjang lengan (sekitar 30cm) dan diameter 7cm. Bentuk Golok
Gobang yang pada ujung (rata) dan perut melengkung ke arah punggung golok, murni
digunakan sebagai senjata bacok. Di Jawa Barat model Golok Gobang ini dinamakan
Golok Candung. Bentuk gagang pegangan umumnya tidak menggunakan motif ukiran
hewan, hanya melengkung polos terbuat dari kayu rengas. Masyarakat Betawi tengah
menyebutnya dengan istilah Gagang Jantuk.
Bilah golok gobang polos tanpa pamor atau wafak yang umum dipakai sebagai golok
para jawara, dengan diameter 6cm yang tampak lebih lebar dari golok lainnya