You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

A.

EPIDEMIOLOGI
Kanker serviks adalah keganasan kedua yang paling sering terjadi pada wanita

diseluruh dunia, dan masih merupakan penyebab utama kematian akibat kanker pada wanita
di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, kanker servik merupakan neoplasma
ganas nomor 4 yang sering terjadi pada wanita, setelah Ca mammae, kolorektal, dan
endometrium. Insidensi dari kanker servik yang invasif telah menurun secara terus menerus
di Amerika Serikat selama beberapa dekade terakhir, namun terus meningkat di negaranegara berkembang. Perubahan epidemiologis ini di Amerika Serikat erat kaitannya dengan
skrining besar-besaran dengan Papanicolaou tests (Pap smears).
Kanker serviks merupakan kanker yang primer berasal dari serviks (kanalis servikalis
dan atau porsio). Setengah juta kasus dilaporkan setiap tahunnya dan insidensinya lebih
tinggi di negara sedang berkembang. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan belum rutinnya
program skrining pap smear yang dilakukan. Di Amerika latin, gurun Sahara Afrika dan Asia
tenggara termasuk Indonesia kanker serviks menduduki urutan kedua setelah kanker
payudara.
Di Indonesia dilaporkan jumlah kanker serviks baru adalah 100 per 100.000 penduduk
per tahun atau 180.000 kasus baru dengan usia antara 45-54 tahun dan menempati urutan
teratas dari 10 kanker yang terbanyak pada wanita. Perjalanan penyakit karsinoma serviks
merupakan salah satu model karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari
karsinogenesis yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga menjadi kanker
invasif. Studi-studi epidemiologi menunjukkan 90% lebih kanker serviks dihubungkan
dengan jenis human papilomma virus (HPV). Beberapa bukti menunjukkan kanker dengan
HPV negatif ditemukan pada wanita yang lebih tua dan dikaitkan dengan prognosis yang
buruk.

BAB II
PEMBAHASAN

B. ETIOLOGI
Etiologi langsung dari kanker serviks uteri masih belum diketahui. Tetapi ada
beberapa faktor ekstrinsik yang mempengaruhi insidensi kanker serviks uteri yaitu :
a. Hubungan seksual pertama kali pada usia dini (umur < 16 tahun).
b. Wanita yang melahirkan anak lebih dari 3 kali (multiparitas).
c. Jarak persalinan terlalu dekat.
d. Hygiene seksual yang jelek.
e. Sering berganti-ganti pasangan (multipartner sex).
f.

Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) tipe 16 dan 18. Penelitian menunjukkan
bahwa 10-30 % wanita pada usia 30an tahun yang sexually active pernah
menderita infeksi HPV (termasuk infeksi pada daerah vulva). Persentase ini
semakin meningkat bila wanita tersebut memiliki banyak pasangan seksual.
Pada sebagian besar kasus, infeksi HPV berlangsung tanpa gejala dan bersifat
menetap.

g. Infeksi Herpes Simpleks Virus (HSV) tipe 2


h. Wanita merokok, karena hal tersebut dapat menurunkan daya tahan tubuh
Kejadiannya berhubungan erat dengan sejumlah faktor ekstrinsik, diantaranya: jarang
ditemukan pada perawan, coitarche diusia sangat muda (16 tahun), multi paritas dengan jarak

persalinan terlalu dekat, sosial ekonomi rendah, higien seksual jelek, merokok, serta jarang
ditemukan pada wanita yang suaminya disirkumsisi.
Seiring dengan berkembangan biomolekuler, tampak bahwa HPV anogenital beperan
penting dalam patogenesis kanker serviks. Pada 90-95 % kanker serviks telah dibuktikan
adanya hubungan dengan HPV resiko tinggi. Pada saat ini diketahui terdapat 70 macam tipe
HPV. Yang dimaksud dengan HPV tipe high risk adalah HPV tipe 16,18,31, 33, 39, 45, 51,
52, 56 dan 58. Tipe 16 dan 18 merupakan tipe HPV onkogen yang dapat menyebabkan
instabilitas kromosomal, terjadinya mutasi dalam DNA dan gangguan regulasi pertumbuhan.
Sedangkan HPV tipe 6, 11, 42, 43 dan 44 disebut low risk yang merupakan tipe nononkogen
C.

PATOLOGI
Karsinoma serviks timbul dibatasi antara epitel yang melapisi ektoserviks (portio) dan

endoserviks kanalis serviks yang disebut skuamo kolumnar junction (SCJ). Pada wanita muda
SCJ terletak diluar OUE, sedang pada wanita diatas 35 tahun, didalam kanalis serviks.
Tumor dapat tumbuh:
1.

Eksofitik. Mulai dari SCJ kearah lumen vagina sebagai massa


proliferatif yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis.

Endofitik. Mulai dari SCJ tumbuh kedalam stroma serviks dan cenderung infitratif
membentuk ulkus
3.

Ulseratif. Mulai dari SCJ dan cenderung merusak struktur


jaringan pelvis dengan melibatkan fornices vagina untuk menjadi ulkus yang luas.
Serviks normal secara alami mengalami metaplasi/erosi akibat saling desak kedua jenis
epitel yang melapisinya. Dengan masuknya mutagen, portio yang erosif (metaplasia
skuamos) yang semula faali berubah menjadi patologik (diplatik-diskariotik) melalui
tingkatan NIS-I, II, III dan KIS untuk akhirnya menjadi karsinoma invasive. Sekali
menjadi mikroinvasive, proses keganasan akan berjalan terus.

Gambar 2. Lokasi Kanker Leher Rahim

Gambar 3. Progresivitas Kanker Serviks


4

Gambar 4. Perbandingan Gambaran Serviks yang Normal dan Abnormal

D.

PENYEBARAN
Penyebaran karsinoma serviks terjadi melalui 3 jalan yaitu perkontinuitatum ke dalam

vagina, septum rektovaginal dan dasar kandung kemih. Penyebaran secara limfogen terjadi
terutama paraservikal dalam parametrium dan stasiun-stasiun kelenjar di pelvis minor, baru
kemudian mengenai kelenjar para aortae terkena dan baru terjadi penyebaran hematogen
(hepar, tulang).
Secara limfogen melalui pembuluh getah bening menuju 3 arah:
1. fornices dan dinding vagina
2. korpus uteri
3. parametrium dan dalam tingkatan lebih lanjut menginfiltrasi septum rektovagina dan
kandung kemih.
Penyebaran limfogen ke parametrium akan menuju kelenjar kelenjar limfe regional
melalui ligamentum latum, kelenjar iliaka, obturator, hipogastrika, parasakral, paraaorta, dan
seterusnya ke trunkus limfatik di kanan dan vena subklavia di kiri mencapai paru, hati, ginjal,
tulang serta otak.

Stadium kanker serviks menurut FIGO 2000

E.

DIAGNOSIS
Diagnosis kanker serviks tidaklah sulit apalagi tingkatannya sudah lanjut. Yang

menjadi masalah adalah bagaimana melakukan skrining untuk mencegah kanker serviks,
dilakukan dengan deteksi, eradikasi, dan pengamatan terhadap lesi prakanker serviks.
Kemampuan untuk mendeteksi dini kanker serviks disertai dengan kemampuan dalam
penatalaksanaan yang tepat akan dapat menurunkan angka kematian akibat kanker serviks.
a.

Keputihan.
6

Keputihan merupakan gejala yang paling sering ditemukan, berbau busuk akibat infeksi
dan nekrosis jaringan.
b. Pendarahan kontak merupakan 75-80% gejala karsinoma serviks. Perdarahan timbul
akibat terbukanya pembuluh darah, yang makin lama makin sering terjadi diluar
senggama.
a.

Rasa nyeri, terjadi akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf.

b.

Gejala lainnya adalah gejala-gejala yang timbul akibat metastase


jauh.

Tiga komponen utama yang saling mendukung dalam menegakkan diagnosa kanker
serviks adalah:
1. Sitologi.
Bila dilakukan dengan baik ketelitian melebihi 90%. Tes Pap sangat bermanfaat
untuk mendeteksi lesi secara dini. Sediaan sitologi harus mengandung komponen
ektoserviks dan endoserviks.

Gambar 5. Pemeriksaan Pap Smear10

Gambar 6. Pemeriksaan Pap Smear untuk Deteksi Dini Kanker Leher Rahim
Papanicolaou test atau Pap smear adalah metode screening ginekologi, dicetuskan
oleh Georgios Papanikolaou, untuk menemukan proses-proses premalignant dan malignant di
ectocervix, dan infeksi dalam endocervix dan endometrium. Pap smear digunakan untuk
8

mendeteksi kanker rahim yang disebabkan oleh human papillomavirus atau HPV.
Pemeriksaan Pap smear sebaiknya dilakukan pada orang yang telah melakukan hubungan
seksual pertama kali dan pada gadis sekitar usia 25-30 tahun.
Persiapan penderita :
a. Wanita diberi tahu untuk menghindari obat-obatan yang dimasukan dalam
vagina
b. Pencucian (irigasi) vagina
c. Koitus dalam waktu 24 jam sebelum pemeriksaan
Peralatan yang dipergunakan dalam pemeriksaan Pap Smear antara lain :
a. Spekulum cocor bebek (Graeves)
b. Spatula Ayre
c. Lidi kapas atau cyto brush
d. Gelas objek
e. Alkohol 95 % untuk fiksasi atau semprot fiksatif yang dijual komersial
Cara pemeriksaan Pap Smear adalah sebagai berikut :
a. Lakukan pemeriksaan dengan inspekulo untuk melihat portio.
b. Lakukan pengambilan epitel dengan menggunakan spatula Ayre atau Cyto
brush.
c. Buat apusan pada objek glass.
d. Lakukan fiksasi dengan menggunakan alcohol 95%.
e. Amati pada mikroskop adanya keganasan pada epitel.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan kapan saja, kecuali sedang haid . Hambatan
lain untuk pelaksanaan pap smear sebagai program skriming adalah teknik yang
kurang praktis oleh karena hanya bisa dikerjakan oleh tenaga-tenaga terlatih,
interprestasi hasil memerlukan waktu yang lebih lama, dan biaya pemeriksaan yang
cukup tinggi.
Prosedur pemeriksaan pap smear ini juga sangat panjang dan kompleks.
Sediaan yang telah diambil dan difiksasi tersebut, kemudian diseleksi oleh skriner
apakah memenuhi syarat atau tidak. Setelah itu, dilakukan proses pengecatan oleh
9

tenaga terlatih dan kemudian dibaca oleh ahli sitologi. Bila hasil pembacaan
menunjukkan tanda-tanda lesi pra kanker atau kanker invasif, barulah kemudian
dilakukan pemeriksaan kolposkopi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Dengan
prosedur yang kompleks ini mengakibatkan pemeriksaan menjadi mahal. Selain itu
sarana yang digunakan, seperti cytobrush tidak terlalu tersedia.
Table of Paps Smear Classes (Previous System and Bethesda System)
Pap Classes
I
II
III CIN I
III CIN II
III CIN III
IV
V

Description
Normal
Reactive Changes
Atypia
Koilocytosis
Mild dysplasia
Moderate dysplasia
Severe dysplasia
Ca in situ
Invasive

Bethesda 2001
Normal and variants
Reactive Changes
ASC, ASG
Low Grade SIL
Low Grade SIL
High Grade SIL
High grade SIL
High grade SIL
Microinvasion

Gambaran grading berdasarkan tes Paps Smear

New Bethesda System Clasification


a. Low-grade squamous lntraepithelial lesion (low-grade SIL)
1. Cellular changes associated with HPV
10

2. Mild (slight) dysplasia/CIN 1


b. High-grade squamous intraepithelial lesion (high-grade SIL)"
1. Moderate dysplasia/CIN II
2. Severe dysplasia/CIN III
3. carcinoma in situ/CIN III
c. Atypical Squamous Cells (ASC)
1. Unspecified (ASC-US)-includes uspecified and favor benign/inflammation
2. Cannot exclude HSIL (ASC-H)
d. Atypical Glandular Cells of Uncertian Significance (AGC) AGC is broken down
into favoring endocervical, endometrial, or not otherwise specified origin or
endocervical adenocarcinoma in situ (AIS)
1. Unspecified (AGC-US)
2. Atypical glandular cells, favor neoplastic (AGC-H)
( Kumar, 2002 ).
CIN (Cervical Intra-epithellia neoplasma)
Pertumbuhan sel abnormal pada permukaan serviks. Dikategorikan dari nomor
1 sampai 3 untuk menggambarkan sel abnormal dan jumlah jaringan serviks yang
terlibat
Serviks uteri dilapisi oleh epitel columner simpleks disertai dengan kelenjar
serviks yang akan mengeluarkan sekresi sejalan dengan siklus menstruasi. Pada
bagian atas bawah serviks uteri dan bagian atas vagina dilapisi oleh epitel skuamos
kompleks non keratin, daerah perbatasan ini dinamakan squamo-columnar junction

11

Gambar serviks normal


Pada dysplasia serviks terdapat pertumbuhan sel yang kurang terorganisasi.
Pada CIN 1 (mild dysplasia) hanya beberapa sel yang abnormal. Sedangkan pada CIN
II, moderate dysplasia, sel abnormal sekitar setengah dari ketebalan serviks

Gambar CIN II
Karsinoma in situ atau severe dysplasia (CIN III) seluruh sel mengalami kelainan,
tetapi sel abnormal tidak melewati membrane basalis. Apabila keadaan ini tidak
diperbaiki akan mengalami perubahan menjadi karsinoma yang invasive

Gambar CIN III

12

Gambar Invasive Cancer


Screening Displasia Serviks
Umumnya ditemukan sel abnormal pada pemeriksaan Pap Smear. Lalu untuk
memastikan penyebab dysplasia atau daerah abnormal dapat digunakan kolposkop
2. .Kolposkopi.
Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan kolposkop, yaitu suatu
alat seperti mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya di dalamnya.
Pemeriksaan kolposkopi merupakan pemeriksaan standar bila ditemukan pap smear
yang abnormal. Pemeriksaan dengan kolposkopi, merupakan pemeriksaan dengan
pembesaran, melihat kelainan epitel serviks, pembuluh darah setelah pemberian asam
asetat. Pemeriksaan kolposkopi tidak hanya terbatas pada serviks, tetapi pemeriksaan
meliputi vulva dan vagina. Tujuan pemeriksaan kolposkopi bukan untuk membuat
diagnosa histologik, tetapi untuk menentukan kapan dan dimana biopsi harus
dilakukan.

13

Gambar 7. Colposcopy Untuk Mengambil Jaringan yang Abnormal


a. Kegunaan : pemeriksaan kolposkopi bukan untuk membuat diagnosis histologik
tetapi menentukan kapan dan di mana biopsi harus dilakukan.
b. Indikasi : uji skrining positif. Misalnya sitologi HPV atau IVA positif
c. Penilaian : kolposkopi menilai perubahan pola epitel dan vaskular serviks yang
mencerminkan perubahan biokimia dan perubahan metabolik yang terjadi di
jaringan serviks
d. Karateristik temuannya adalah perubahan epitel acethowhite pada serviks
setelah pulasan asam asetat.
Diagnosis kolposkopi neoplasia serviks,dengan gambaran :
a. Intensitas white epitel
b. Batas jelas dan tebalnya permukaan
c. Vaskularisasi
d. Perubahan setelah aplikasi yodium

Prosedur pemeriksaan :
a. Pasien dalam posisi litotomi
14

b. Peralatan ditempatkan di meja instrument di samping kanan tempat tidur


c. Pemeriksaan dalam
d. Inspeksi vulva dan perianal
e. Memasanng speculum
f. Observasi secara klinis dan secara kolpokopi
g. Tes asam asetat
h. Identifikasi daerah transformasi
i. Batas dalam dan batas luar lesi
j. Kuretase endoserviks jika diperlukan
k. Tentukan daerah yang dibiopsi, bisopsi dan prosedur biopsy
l. Hemostasis
m. Mencatat penemuan kolpokopi

3. Biopsi
Biopsi dilakukan di daerah abnormal di bagian yang telah dilakukan
kolposkopi. Jika kanalis servikalis sulit dinilai, sampel diambil secara konisasi.

Gambar 8. Biopsi Kerucut pada Serviks (Leher Rahim)


IVA Test

15

Pemeriksaan IVA diperkenalkan Hinselman 1925.Organisasi Kesehatan Dunia


(WHO) meneliti IVA di India, Muangthai, dan Zimbabwe. Ternyata efektivitasnya
tidak lebih rendah dari pada tes Pap.
IVA adalah pemeriksaan skrining kanker serviks dengan carain speksi visual
pada serviks dengan aplikasi asamasetat (IVA). Dengan metode inspeksi visual yang
lebih mudah, lebih sederhana, lebih mampu laksana, maka skrining dapat dilakukan
dengan cakupan lebih luas, diharapkan temuan kanker serviks dini akan bias lebih
banyak.
Metodeskrining IVA mempunyai kelebihan, diantaranya..
a. Mudah, praktis dan sangat mampu laksana.
b. Butuh bahan dan alat yang sederhana dan murah
c. Sensivitas dan spesifikasitas cukup tinggi
d. Dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bukan dokter ginekologi, dapat
dilakukan oleh bidan di setiap tempat pemeriksaan kesehatan ibu atau dilakukan
oleh semua tenaga medis terlatih
e. Alat-alat yang dibutuhkan dan Teknik pemeriksaan sangat sederhana.
f.

Metode skrining IVA sesuai untuk pusat pelayanan sederhana

Syarat ikut IVA TEST :


a. Sudah pernah melakukan hubungan seksual
b. Tidak sedang dating bulan/haid
c. Tidak sedang hamil
d. 24 jam sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual
Pelaksanaan skrining IVA
Untuk melaksanakan skrining dengan metode IVA, dibutuhkan tempat dan alat
sebagai berikut:
a. Ruangan tertutup, karena pasien diperiksa dengan posisilitotomi.
b. Meja/tempat

tidur

periksa

yang

memungkinkan

pasien

berada

pada

posisilitotomi.
c.

Terdapat sumber cahaya untuk melihat servik.

d. Spekulum vagina
e. Asamasetat (3-5%)
f. Swab-lidi berkapas
16

g. Sarung tangan
Teknik IVA
Dengan speculum melihat serviks yang dipulas dengan asamasetat 3-5%. Pada
lesipra kanker akan menampilkan warna bercak putih yang disebut aceto white
epithelium Dengan tampilnya porsio dan bercak putih dapat disimpulkan bahwa
tes IVA positif, sebagai tindak lanjut dapat dilakukan biopsi. Andaikata penemuan
tes IVA positif, maka di beberapa Negara dapat langsung dilakukan terapi dengan
cryosergury.

Hal

ini

tentu

mengandung

kelemahan-kelemahan

dalam

menyingkirkan lesi invasif.


Kategori pemeriksaan IVA
a. IVA negative = Serviks normal.
b. IVA radang = Serviks dengan radang (servisitis), atau kelainan jinak lainnya
(polipserviks).
c. IVA positif = ditemukan bercakputih (aceto white epithelium). Kelompok kini
yang menjadi sasaran temuan skrining kanker serviks dengan metode IVA
karena temuan ini mengarah pada diagnosis Serviks-prakanker (displasia
ringan-sedang-berat atau kanker serviks in situ).
d. IVA- Kanker serviks Pada tahap ini pun, untuk upaya penurunan temuan
stadium kanker serviks, masih akan bermanfaat bagi penurunan kematian akibat
kanker serviks bila ditemukan masih pada stadium invasive dini.

F. PENATALAKSANAAN
17

Penatalaksanaan karsinoma serviks dibagi berdasarkan stadium


1.

Karsinoma serviks mikroinvasive


Histerektomi totalis

2.

Stadium IA1
Total Abdominal Histerektomi (TAH)/Total Vaginal Histerektomi (TVH). Bila
disertai Vaginal Intra Epitelial Neoplasma (VAIN) dilakukan pengangkatan vaginal
cuff.

3.

Stadium IA2
Histerektomi radikal tipe 2 dan limfe adenektomi pelvis

4.

Ca invasive
Biopsi untuk konfirmasi diagnosis

5.

Stadium IB1 IIA < 4cm


Jika mempunyai prognosis baik dapat dikontrol dengan operasi dan radio
terapi

6.

Stadium IB2 IIA > 4cm


Kemoradiasi primer
Histerektomi radikal primer + limfadenektomi + radiasi neoadjuvan
Kemoterapi neo adjuvan

7.

Ca serviks stadium lanjut meliputi stadium IIB, III, IV A


Pengobatan terpilih adalah radioterapi lengkap yaitu radiasi eksterna dilanjutkan
intrakaviter radioterapi. Terapi variasi yang sering

diberikan khemoradiasi,

khemoterapi yang sering diberikan antara lain cisplatinum, pachitaxel, docetaxel,


fluorourasil, gemcitabine
8.

Stadium IV B
Pengobatan yang diberikan bersifat paliatif, radioterapi paliatif yang diberikan

Radioterapi, Kemoterapi, dan Radikal Histerektomi


KEMOTERAPI
Merupakan bentuk pengobatan kanker dengan menggunakan obat sitostatika yaitu
suatu zat-zat yang dapat menghambat proliferasi sel-sel kanker.

Prinsip kerja obat kemoterapi (sitostatika) terhadap kanker:


18

Sebagian besar obat kemoterapi (sitostatika) yang digunakan saat ini bekerja terutama
terhadap sel-sel kanker yang sedang berproliferasi, semakin aktif sel-sel kanker tersebut
berproliferasi maka semakin peka terhadap sitostatika hal ini disebut Kemoresponsif,
sebaliknya semakin lambat proliferasinya maka kepekaannya semakin rendah. Hal ini disebut
Kemoresisten.
Obat kemoterapi ada beberapa macam, diantaranya adalah:
1)

Obat golongan Alkylating agent, platinum Compouns, dan Antibiotik Anthrasiklin


obat golongsn ini bekerja dengan antara lain mengikat DNA di inti sel, sehingga sel-sel
tersebut tidak bisa melakukan replikasi.

2)

Obat golongan Antimetabolit, bekerja langsung pada molekul basa inti sel, yang
berakibat menghambat sintesis DNA.

3)

Obat golongan Topoisomerase-inhibitor, Vinca Alkaloid, dan Taxanes bekerja pada


gangguan pembentukan tubulin, sehingga terjadi hambatan mitosis sel.

4)

Obat golongan Enzim seperti, L-Asparaginase bekerja dengan menghambat sintesis


protein, sehingga timbul hambatan dalam sintesis DNA dan RNA dari sel-sel kanker
tersebut.

Pola pemberian kemoterapi


1)

Kemoterapi Induksi
Ditujukan untuk secepat mungkin mengecilkan massa tumor atau jumlah sel kanker,

contoh pada tomur ganas yang berukuran besar (Bulky Mass Tumor) atau pada keganasan
darah seperti leukemia atau limfoma, disebut juga dengan pengobatan penyelamatan.
2)

Kemoterapi Adjuvan
Biasanya diberikan sesudah pengobatan yang lain seperti pembedahan atau radiasi,

tujuannya adalah untuk memusnahkan sel-sel kanker yang masih tersisa atau metastase kecil
yang ada (micro metastasis).
3)

Kemoterapi Primer
Dimaksudkan sebagai pengobatan utama pada tumor ganas, diberikan pada kanker

yang bersifat kemosensitif,

biasanya diberikan dahulu sebelum pengobatan yang lain

misalnya bedah atau radiasi.

4)

Kemoterapi Neo-Adjuvan
19

Diberikan mendahului/sebelum pengobatan/tindakan yang lain seperti pembedahan


atau penyinaran kemudian dilanjutkan dengan kemoterapi lagi. Tujuannya adalah untuk
mengecilkan massa tumor yang besar sehingga operasi atau radiasi akan lebih berhasil guna.
Cara pemberian obat kemoterapi
1)

Intra vena (IV)


Kebanyakan sitostatika diberikan dengan cara ini, dapat berupa bolus IV pelan-pelan

sekitar 2 menit, dapat pula per drip IV sekitar 30 120 menit, atau dengan continous drip
sekitar 24 jam dengan infusion pump upaya lebih akurat tetesannya.
2)

Intra tekal (IT)


Diberikan ke dalam canalis medulla spinalis untuk memusnahkan tumor dalam cairan

otak (liquor cerebrospinalis) antara lain Metrotexat, Ara.C.


3)

Radiosensitizer, yaitu jenis kemoterapi yang diberikan sebelum radiasi, tujuannya untuk

memperkuat efek radiasi, jenis obat untukl kemoterapi ini antara lain Fluoruoracil, Cisplastin,
Taxol, Taxotere, Hydrea.
4)

Oral
Pemberian per oral biasanya adalah obat Leukeran, Alkeran, Myleran,

Natulan, Puri-netol, hydrea, Tegafur, Xeloda, Gleevec.


5)

Subkutan dan intramuskular


Pemberian subkutan sudah sangat jarang dilakukan, biasanya adalah L-Asparaginase,

hal ini sering dihindari karena resiko syok anafilaksis. Pemberian per IM juga sudah jarang
dilakukan, biasanya pemberian Bleomycin.
6)

Topikal

7)

Intra arterial

8)

Intracavity

9)

Intraperitoneal/Intrapleural
Intraperitoneal diberikan bila produksi cairan acites hemoragis yang banyak pada kanker

ganas intra-abdomen, antara lain Cisplastin. Pemberian intrapleural yaitu diberikan kedalam
cavum pleuralis untuk memusnahkan sel-sel kanker dalam cairan pleura atau untuk
mengehntikan produksi efusi pleura hemoragis yang amat banyak , contohnya Bleocin

Tujuan pemberian kemoterapi


20

1)

Pengobatan.

2)

Mengurangi massa tumor selain pembedahan atau radiasi.

3)

Meningkatkan kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup.

4)

Mengurangi komplikasi akibat metastase.

Efek samping kemoterapi


Umumnya efek samping kemoterapi terbagi atas:
1.

Efek samping segera terjadi (Immediate Side Effects) yang timbul dalam 24
jam pertama pemberian, misalnya mual dan muntah.

2.

Efek samping yang awal terjadi (Early Side Effects) yang timbul dalam beberapa hari
sampai beberapa minggu kemudian, misalnya netripenia dan stomatitis.
3.

Efek samping yang terjadi belakangan (Delayed Side Effects) yang timbul dalam
beberapa hari sampai beberapa bulan, misalnya neuropati perifer, neuropati.

4.

Efek samping yang terjadi kemudian (Late Side Effects) yang timbul dalam beberapa
bulan sampai tahun, misalnya keganasan sekunder.
Intensitas efek samping tergantung dari karakteristik obat, dosis pada setiap pemberian,

maupun dosis kumulatif, selain itu efek samping yang timbul pada setiap penderita berbeda
walaupun dengan dosis dan obat yang sama, faktor nutrisi dan psikologis juga mempunyai
pengaruh bermakna.
Efek samping yang selalu hampir dijumpai adalah gejala gastrointestinal, supresi
sumsum tulang, kerontokan rambut. Gejala gastrointestinal yang paling utama adalah mual,
muntah, diare, konstipasi, faringitis, esophagitis dan mukositis, mual dan muntah biasanya
timbul selang beberapa lama setelah pemberian sitostatika dab berlangsung tidak melebihi 24
jam.
Gejala supresi sumsum tulang terutama terjadinya penurunan jumlah sel darah putih
(leukopenia), sel trombosit (trombositopenia), dan sel darah merah (anemia), supresi sumsum
tulang belakang akibat pemberian sitistatika dapat terjadi segera atau kemudian, pada supresi
sumsum tulang yang terjadi segera, penurunan kadar leukosit mencapai nilai terendah pada
hari ke-8 sampai hari ke-14, setelah itu diperlukan waktu sekitar 2 hari untuk menaikan kadar
laukositnya kembali. Pada supresi sumsum tulang yang terjadi kemudian penurunan kadar
leukosit terjadi dua kali yaitu pertama-tama pada minggu kedua dan pada sekitar minggu ke
empat dan kelima. Kadar leukosit kemudian naik lagi dan akan mencapai nilai mendekati
normal pada minggu keenam. Leukopenia dapat menurunkan daya tubuh, trombositopenia

21

dapat mengakibatkan perdarahan yang terus-menerus/ berlabihan bila terjadi erosi pada
traktus gastrointestinal.
Kerontokan rambut dapat bervariasi dari kerontokan ringan sampai pada kebotakan. efek
samping

yang jarang terjadi tetapi tidak kalah penting adalah kerusakan otot jantung,

sterilitas, fibrosis paru, kerusakan ginjal, kerusakan hati, sklerosis kulit, reaksi anafilaksis,
gangguan syaraf, gangguan hormonal, dan perubahan genetik yang dapat mengakibatkan
terjadinya kanker baru.
Kardiomiopati akibat doksorubin dan donorubisin umumnya sulit diatasi, sebagian besar
penderita meninggal karena pump failure, fibrosis paru umumnya irreversibel, kelainan hati
terjadi biasanya menyulitkan pemberian sitistatika selanjutnya karena banyak diantaranya
yang dimetabolisir dalam hati, efek samping pada kulit, saraf, uterus dan saluran kencing
relatif kecil dan lebih mudah diatasi.

RADIOTERAPI
Dalam menentukan teknik dan dosis radiasi pada pengobatan karsinoma serviks uteri
perlu dipertimbangkan faktor daya toleransi dari jaringan-jaringan di dalam rongga pelvis.
Teknik radiasi
Kombinasi antara radiasi lokal dan radiasi eksternal merupakan pilihan yang umumnya
diberikan dengan maksud:

Radiasi lokal (intrakaviter) dapat memberikan dosis tinggi pada serviks dan korpus
uteri tetapi dosis cepat menurun pada jaringan di sekitarnya, sehingga dosis ke
rektum, sigmoid, kandung kencing dan ureter dapat dibatasi sampai batas-batas
toleransi.

Kemungkinan timbulnya metastase limfogen pada karsinoma serviks uteri cukup


tinggi. Oleh karena itu kelenjar-kelenjar dalam panggul kecil harus mendapat
penyinaran juga. Dosis radiasi lokal cepat menurun diluar uterus, sehingga dosis yang
sampai pada kelenjar limfe sangat rendah. Untuk mencapai dosis yang dapat
mengamankan metastasis kelenjar limfe ini diperlukan penyinaran luar yang dapat
memberikan distribusi dosis yang merata pada daerah yang lebih luas.

Komplikasi-komplikasi sesudah terapi radiologik antara lain:


22

a. Komplikasi umum
Gejala umum yang sering timbul adalah nafsu makan menurun, rasa mual, lesu, dan
tidak ada gairah kerja. Pada keadaan yang lebih berat terdapat muntah-muntah, tidak
bisa makan, lemah, sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Berat ringannya
gejala-gejala sangan dipengaruhi oleh status fisik dan psikologi penderita.
b. Komplikasi lokal
Gejala-gejala yang timbul ialah gejala-gejala dari alat-alat tubuh yang terkena radiasi
secara langsung, yaitu:

Problema koitus (pengkerutan vagina)

Fistel radiologik

Gejala sistitis

Proktitis hemoragik

Fibrosis daerah pelvis demikian luas terutama pada penyinaran yang luas dengan
dosis yang tinggi sehingga timbul frozen pelvis dengan kemungkinan penyempitan
vagina, rectum, kandung kencing atau ureter.

Atropi mucosa rectum yang disertai teleangiektasi yang sewaktu-waktu bila


defekasi keras dapat menimbulkan perdarahan

Nekrosis

pada

dinding

vagina

dengan

kemungkinan

timbulnya

fistula

rectovaginalis atau fistula vesikovaginalis.


HISTEREKTOMI RADIKAL
Histerektomi radikal primer menguntungkan karena dapat dilakukan surgical staging.
Operasi radikal yang memerlukan waktu yang cukup lama, tidak mungkin tanpa terjadi
komplikasi. Oleh karena itu, persiapan operasi perlu dilakukan dengan cermat sehingga dapat
mengurangi komplikasi seperti lazimnya komplikasi operasi, yaitu:
2. Trias pokok komplikasi (perdarahan, infeksi dan trauma tindakan operasi).
3. Komplikasi emboli (kardiovaskular dan paru).
4. Komplikasi lainnya

23

Gambar 9. Histerektomi
Emboli dan emboli paru yang berat
Faktor yang dapat menimbulkan terjadinya emboli paru, yaitu:
1.

Operasi yang lama saat mengangkat jaringan lemak di


pelvis.

2.

Invasi sel karsinoma yang dapat menimbulkan emboli


melalui proses hiperkoagulasi

Komplikasi alat perkemihan


Manipulasi yang cukup lama dan bervariasi sekitar pelvis menyebabkan kemungkinan terjadi
komplikasi alat perkemihan pada:
1.

Disfungsi vesikouterina
Kejadian ini berkaitan dengan upaya penyisihan dan upaya pemotongan ligamentum
kardinale yang terlalu ke lateral dan pemotongan ligamentum sakrouterinum terlalu
dekat dengan rektum.

2.

Fistula
Manipulasi yang berat di sekitar vesika urinaria

Infeksi pascaoperatif
Infeksi yang berat dapat menimbulkan komplikasi berantai, seperti:

Sepsis meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

24

Memperpanjang hospitalisasi

Terjadi wound dehicense

Pembentukan abses sekitar pelvis.

G. FOLLOW UP
Tiap 3 bulan selama 2 tahun pertama, kemudian tiap 6 bulan, tergantung keadaan.
Jangan lupa meraba kelenjar inguinal dan supraclavikula, abdomen, abdominal vaginal, dan
abdominal rektal, pemeriksan sitologik puncak vagina, dan foto rontgen thoraks (setiap 6
bulan).
Kolposkopi untuk meneliti puncak vagina, serta bentuk-bentuk praganas. Rektoskopi,
sistoskopi, renogram, Intra Venous Pyelografi (IVP), dan CT scan panggul, hanya dilakukan
menurut indikasi.
H. PROGNOSIS
Faktor-faktor yang menentukan prognosis adalah: umur, keadaan umum, tingkat
klinik keganasan, ciri histologi sel tumor, kemampuan tim penolong, dan sarana pengobatan.
Angka Ketahanan Hidup (AKH) 5 tahun menurut data internasional adalah sebagai berikut:
TINGKAT
T1S

AKH-5 tahun
Hampir 100 %

T1

70 85 %

T2

40 60 %

T3

30 40 %

T4

< 10 %

Tabel 2. Angka Ketahanan Hidup (AKH) 5 Tahun Menurut Data Internasional

25

Sumber: UICC/Clinical Oncology; Springer-Verlag, New York, Hiedelberg, Berlin;1973,


p:218

BAB III
KESIMPULAN

Karsinoma serviks yang tidak dapat diobati atau tidak memberikan respons
terhadap pengobatan 95% akan mengalami kematian dalam 2 tahun setelah timbul
gejala. Pasien yang menjalani histerektomi dan memiliki rasio tinggi terjadinya
rekurensi harus terus diawasi karena lewat deteksi dini dapat diobati dengan
radioterapi. Setelah histerektomi radikal, terjadinya 80% rekurensi dalam 2 tahun.

26

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim.

Definition

Cervical

Dysplasia.

Diunduh

pada

http://www.cancer.gov/dictionary/?CdrID=44899 tanggal 5 November 2010


2. Arif Mansjoer dkk.2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 , Jilid 1. EGC : Jakarta
3. Aziz, M.farid .Buku Acuan ONKOLOGI GINEKOLOGI . Edisi 4 Cetakan 1. 2006.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo (BP-SP)
4. Eroschenko, Victor. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional. Edisi
9. Jakarta:

EGC

5. Kumar, Robins.2002. Ovarium dalam Buku Ajar Patologi II Edisi 4. Jakarta: EGC.
6. Liewellyn, Derek dan Jones. 2001. Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi. Edisi 6.
Jakarta: EGC.
7. Mardjikoen Praswoto. Tumor Ganas Alat Genital. Dalam Ilmu Kandungan ed.2.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo. Jakarta, 1999;

14:380-390.

8. Mochtar, Rustam. 1989 . Synopsis obstetric. Jakarta : EGC


9. Prawirohardjo,Sarwono. 2008 .Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
10. Rasad S. 2005 .Radiologi Diagnostik Edisi Kedua, editor: ekayuda I. Jakarta: FKUI.

27

11. Rivlin, E, M.2000. Obstetrics and gynecologi, 5 th.Ed.Lippincott Williams & Wilkins
p.
12. http://www.askep-askeb.cz.cc/2010/01/kanker-serviks.html

28

You might also like