You are on page 1of 26

PRESENTASI KASUS ANESTESI

Herniorraphy Hernia Inguinalis Medialis Irreponibel


dengan Asma

Pembimbing:
dr. Himawan, Sp.An
dr. L. Herry Kelana, Sp.An-KIC
dr. Ign. Hariyanto, Sp.An

Oleh:
Benvenuto Axel

2013061063

Ria Pitasari

2014061033

BAGIAN ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA JAKARTA
(PERIODE 17 FEBRUARI 22 MARET 2015)

LAPORAN KASUS
Departemen Ilmu Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
Periode 17 Februari 22 Maret 2015
Pra-Operasi
I. Identitas Pasien

Nama pasien
Umur
Jenis kelamin
Tanggal operasi
Diagnosa

Jenis operasi

: Bp. EE
: 59 tahun
: Laki-laki
: 26 Februari 2015
: Hernia inguinalis medialis dextra
irreponibel
: Hernioraphy

II. Anamnesis
Riwayat asma positif. Asma bersifat hilang timbul. Terutama jika menghirup
bau parfum atau rokok. Serangan terjadi rata-rata 1 bulan sekali. Tidak ada
perubahan pola asma pada pasien akhir-akhir ini. Pasien membaik setelah
penggunaan obat inhaler salmeterol/fluticasone. Pasien tidak pernah dirawat
di rumah sakit karena serangan asma.
Riwayat alergi obat disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit ginjal disangkal
Riwayat penyakit hati disangkal
Riwayat operasi sebelumnya: 2x, operasi kasus hemoroid dan hernia
inguinalis medialis sinistra. Dilakukan anestesi spinal, tidak ada keluhan
selama periode perioperative.
III. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
: Tampak tenang
Kesadaran
: Compos Mentis
Berat badan
: 60 kg
Tinggi badan
: 164 cm
Tanda-tanda vital
o Tekanan darah
: 130/80 mmHg
1

o Nadi
o Suhu
o Frekuensi Pernapasan

: 80 x / menit
: 36,5 C
: 20 x/menit

Status Generalis
o Kepala :
Normocephali, tidak ada deformitas
Tidak ada peningkatan tekanan intrakranial
o Mata : Conjunctiva anemis (-/-), Sclera Icteric (-/-), Pupil Isokor,
Diameter 3mm/3mm, Refleks Cahaya (+/+)
o Hidung : Septum Nasi ditengah, Sekret (-/-)
o Mulut : Mukosa oral basah, bibir lembap, faring tidak hiperemis,
tonsil T1/T1
o Jalan Nafas :
Buka mulut : > 3cm
Jarak Thyromental : 3 jari
Mallampati : 2
o Leher :
Trakea : di tengah
Pembesaran KGB (-)
Massa (-)
o Thoraks :
Paru-Paru :
I: Gerakan napas simetris dalam keadaan statis dan dinamis
P: Gerakan napas teraba simetris
P: Sonor di kedua lapangan paru
A :Vesikular (+/+), Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
Jantung :
I: Ictus Cordis tidak terlihat
P: Ictus Cordis tidak teraba
P: Cardiomegali (-)
A : BJ I & II Reguler, Murmur (-)
o Abdomen :
I : Cembung
P : Nyeri tekan (-)
P : Timpani
A : BU(+) 4x/menit
o Punggung :
Tidak ada trauma, deformitas, dan infeksi
o Genitalia : Tidak diperiksa
2

o Anus dan Rektum : Tidak diperiksa


o Ekstrimitas :
Akral hangat
CRT : < 2 detik
Edema Tungkai : -/ Refleks Fisiologis : +/+/+/+
Refleks Patologis : -/IV. Pemeriksaan Penunjang
Tanggal: 25 Februari 2015
Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

Satuan

14,6
8,8
4,75
41,2
325

13.0 17.0
4.0 11.0
4.50 6.50
40.0 54.0
150 450

g%
103/L
106/L
%
103/L

8,7
0,7
51,5
33,7
5,4

1.0 6.0
1.0 2.0
40.0 80.0
20.0 40.0
2.0 10.0

%
%
%
%
%

86,7
30,7
35,4
12,6

80.0 96.0
27.0 31.0
32.0 36.0
11,6 - 14,8

fL
pg
g/dL
%

13,5
32,0

11.1 14.6
24.6 37.2

detik
detik

16,6
13,3
7,04
4,17
2,87

0.0 -32.0
0.0 -31.0
6,00-8,00
3,40-4,80
3,20-3,90

U/l
U/l
Gram/dL
Gram/dL
Gram/dL

30
1,05

10-50
0.70 1.20

mg/dl
mg/dl

HEMATOLOGI
Hemoglobin
Leukosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
HITUNG JENIS LEUKOSIT
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
INDEKS ERITROSIT
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV
PT / APTT
PT
APTT
FUNGSI HATI
SGOT
SGPT
Total Protein
Albumin
Globulin
FUNGSI GINJAL
Ureum
Kreatinin
GLUKOSA
3

GDS

108

70 110

mg/dL

140
3,4
108
10,4
1,96

136 145
3.3 5.1
98-106
8.2-9.6
1.90-2.50

mmol/L
mmol/L
mmol/L
mg/dl
mg/dl

ELEKTROLIT
Natrium
Kalium
Klorida
Kalsium total
Magnesium

EKG (25 Februari 2015)


Normal sinus rhythm
HR 100 x/menit
Tidak ada kelainan pada EKG
Rontgen (25 Februari 2015)
Kesan: cor dan pulmo: tak tampak kelainan
Elevasi hemidiafragma sinistra

Evaluasi Pre-Operasi
Status fisik
: ASA III
Penyulit pra-anestesi : Asma
Teknik anestesi
: Regional Anestesi dengan Spinal Anestesi
Teknik khusus
: (-)
Monitoring:
o EKG lead II
o Heart Rate
o Non-Invasive Blood Pressure (NIBP)
o SpO2
Intra Operasi

Mulai anestesi
: Pukul 15.15
Mulai pembedahan : Pukul 16.30
Lama pembedahan : 75 menit
IV line
: Dorsum manus sinistra. No. 20
Posisi
: Terlentang
Pre-medikasi
: Midazolam 1,5 mg
Teknik Anestesi
: Spinal Anestesi
o Daerah Pemasangan : Vertebrae L2-L3
o Jarum
: No.29
o Katheter
: Tidak
o Obat
: Bupivacaine 0.5% 15 mg
4

Airway Management
Ventilasi
Anti-emetik
Antibiotik
Obat-obatan lain
Pemberian Cairan
Perdarahan

: O2 dengan nasal kanul 4 lpm


: Spontan
: Ondansetron 4 mg IV
::: Ringer Laktat 1000 cc
: 350 cc

Pasca Operasi
I. Ruang Pemulihan
a. Masuk Ruang Pemulihan :
Pukul 17.50 WIB
Skor ALDRETTE Total = 9 [ Aktivitas (1), Sirkulasi (2), Pernafasan (2),
Kesadaran (2), Saturasi (2) ]
b. Observasi di Ruang Pemulihan :
Tanda-tanda vital :
Tekanan Sistolik
: 120 mmHg
Tekanan Diastolik
: 90 mmHg
Denyut Jantung
: 90 x/menit
Frekuensi Pernapasan : 20 x/menit
Saturasi O2
: 99%
c. Keluar Ruang Pemulihan
Pukul 18.45 WIB
Skor ALDRETTE Total = 10 [ Aktivitas (2), Sirkulasi (2), Pernafasan (2),
Kesadaran (2), Saturasi (2)
II. Instruksi Pasca-Operasi
Analgetika
Anti mual / muntah
Antibiotik
Obat-obatan lain
Infus
Minum
Pemantauan TTV
Lain-lain

: Dexketoprofen 3 x 50 mg IV
: Ondansetron 4 mg IV
: Ceftriaxone 2x1 gram IV
: : Ringer Lactate 20 tetes/menit
: Boleh minum bila sadar penuh dan tidak mual/muntah
: Setiap 15 menit selama 6 jam
: Tirah baring dengan bantal sampai 24 jam post operasi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Hernia
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian

lemah dari dinding rongga bersangkutan pada abdomen. Isi perut menonjol melalui defek
atau bagian lemah dari bagian muskulo-aponeurotik dinding perut. Hernia terdiri atas cincin,
kantong dan isi hernia. Semua hernia terjadi melalui celah lemah atau kelemahan yang
potensial pada dinding abdomen yang dicetuskan oleh peningkatan tekanan intraabdomen
yang berulang atau berkelanjutan. 1
Hernia adalah adanya penonjolan peritoneum yang berisi organ dari rongga abdomen
melalui suatu lokus minoris resistensieae baik bawaan maupun didapat. Hernia tetap
merupakan problem kesehatan yang tidak bisa lepas dari problem sosial, banyak orang
dengan tonjolan di lipat paha ke dukun sebelum dibawa ke rumah sakit atau dokter; adapula
sebagian masyarakat yang merasa malu bila penyakitnya diketahui orang lain sakit demikian,
sehingga hal-hal inilah yang kadang memperlambat penanganan penyakit dan khususnya
hernia. Masalah kedokteran yang penting adalah bagaimana mengurangi frekuensi timbulnya
hernia inguinalis. 1,2,3
2.1.1

Etiologi
Penyebab terjadinya hernia 1,2,3,4,5:

1. Lemahnya dinding rongga perut. Dapat ada sejak lahir atau didapat kemudian dalam
hidup.
2. Akibat dari pembedahan sebelumnya.
3. Kongenital
a. Hernia kongenital sempurna

Bayi sudah menderita hernia kerena adanya defek pada tempat tempat
tertentu.
b. Hernia kongenital tidak sempurna
Bayi dilahirkan normal (kelainan belum tampak) tapi dia mempunyai defek
pada

tempat tempat tertentu (predisposisi) dan beberapa bulan (0 1

tahun) setelah lahir akan terjadi hernia melalui defek tersebut karena
dipengaruhi oleh kenaikan tekanan intraabdominal (mengejan, batuk,
menangis).
4. Akuisita adalah hernia yang bukan disebabkan karena adanya defek bawaan tetapi
disebabkan oleh faktor lain yang dialami manusia selama hidupnya, antara lain:
a. Tekanan intraabdominal yang tinggi. Banyak dialami oleh pasien yang sering
mengejan yang baik saat BAB maupun BAK.
b. Konstitusi tubuh. Orang kurus cenderung terkena hernia jaringan ikatnya yang
sedikit. Sedangkan pada orang gemuk juga dapat terkena hernia karena banyaknya
jaringan lemak pada tubuhnya yang menambah beban kerja jaringan ikat
penyokong pada LMR.
c. Banyaknya preperitoneal fat banyak terjadi pada orang gemuk.
d. Distensi dinding abdomen karena peningkatan tekanan intraabdominal.
e. Sikatrik.
f. Penyakit yang melemahkan dinding perut.
g. Merokok.
h. Diabetes mellitus.
2.1.2

Bagian dan Jenis Hernia :

Bagian bagian hernia :


1. Kantong hernia
Pada hernia abdominalis berupa peritoneum parietalis. Tidak semua hernia memiliki
kantong, misalnya hernia insisional, hernia adiposa, hernia intertitialis.
2. Isi hernia
Berupa organ atau jaringan yang keluar melalui kantong hernia, misalnya usus,
ovarium, dan jaringan penyangga usus (omentum).
3. Pintu hernia
Merupakan bagian locus minoris resistance yang dilalui kantong hernia.
4. Leher hernia
7

Bagian tersempit kantong hernia yang sesuai dengan kantong hernia.


5. Locus minoris resistence (LMR)
2.1.3

Jenis hernia

1. Menurut lokasinya:3,4,5
o Hernia inguinalis adalah hernia yang terjadi dilipatan paha. Jenis ini merupakan yang
tersering dan dikenal dengan istilah turun berok atau burut.
o Hernia umbilikus adalah di pusar.
o Hernia femoralis adalah di paha.
2. Menurut isinya:3,4
o Hernia usus halus
o Hernia omentum
3. Menurut penyebabnya:2,3,4
o Hernia kongenital atau bawaan
o Hernia traumatik
o Hernia insisional adalah akibat pembedahan sebelumnya.
4. Menurut terlihat dan tidaknya:5
o Hernia external, misalnya hernia inguinalis, hernia scrotalis, dan sebagainya.
o Hernia internal, misalnya hernia diafragmatica, hernia foramen winslowi, hernia
obturatoria.
5. Menurut keadaan:1,2,3,4,5
o Hernia inkarserata adalah bila isi kantong terperangkap, tidak dapat kembali kedalam
rongga perut disertai akibat yang berupa gangguan pasase atau vaskularisasi. Secara
klinis hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia yang telah irrenponibel.
o Hernia strangulata adalah jika bagian usus yang mengalami hernia terjepit atau
membengkak sehingga dapat mengganggu aliran darah normal dan pergerakan otot
serta mungkin dapat menimbulkan penyumbatan usus dan kerusakan jaringan.
6. Menurut sifatnya:3,4,5
o Hernia reponibel adalah bila isi hernia dapat keluar masuk. Isi hernia keluar jika
berdiri atau mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk. Tidak ada
keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus.
o Hernia irreponibel adalah bila isi kantung hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam
rongga.
8

7. Jenis hernia lainnya:1,2


o Hernia pantolan adalah hernia inguinalis dan hernia femoralis yang terjadi pada satu
sisi dan dibatasi oleh vasa epigastrika inferior.
o Hernia scrotalis adalah hernia inguinalis yang isinya masuk ke skrotum secara
lengkap.
o Hernia littre adalah hernia yang isinya adalah divertikulum meckeli.
2.1.4

Patofisiologi Hernia Inguinalis Direk (Medialis)

Hernia ini merupakan jenis hernia yang didapat (akuisita). Hernia inguinalis direk disebabkan
oleh faktor peningkatan tekanan intra abdomen dan kelemahan otot dinding di trigonum
Hesselbach. Hernia berjalan langsung (direct) ke ventral melalui annulus inguinalis
subcutaneous. Hernia ini sama sekali tidak berhubungan dengan spermatic cord, umumnya
terjadi bilateral, khususnya pada laki-laki tua. Hernia jenis ini jarang, bahkan hampir tidak
pernah mengalami inkarserasi dan strangulasi karena cincin hernia yang lebar.4,5,6
Trigonum Hesselbach merupakan daerah dengan batas:

Inferior : Ligamentum Inguinale.

Lateral : Vasa epigastrika inferior.

Medial : Tepi m. rectus abdominis.

Dasarnya dibentuk oleh fascia transversalis yang diperkuat serat aponeurosis m.transversus
abdominis.
2.1.5. Penatalaksanaan
Hampir semua hernia harus diterapi dengan operasi. Karena potensinya menimbulkan
komplikasi inkarserasii atau strangulasi lebih berat dibandingkan resiko yang minimal
dari operasi hernia (khususnya bila menggunakan anastesi local). Khusus pada hernia
femoralis, tepi kanalis femoralis yang kaku meningkatkan resiko terjadinya
inkarserasi.7
Konservatif
Reposisi bimanual: tangan kiri memegang isi hernia membentuk corong sedangkan
tangan kanan mendorongnya kearah cincin hernia dengan tekanan lambat dan
menetap sampai terjadi reposisi.

Teknik operasi
Prinsip dasar operasi hernia terdiri dari herniotomi dan herniorraphy. Pada herniotomi
dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya, kantong dibuka dan isi
hernia dibebaskan kalau ada perlengketan kemudian di reposisi. Kantong hernia
dijahit ikat setinggi mungkin kemudian dipotong. Pada anak-anak dilakukan
herniotomi karena otot-otot abdomen masih kuat, cepat dan mudah dilakukan. Pada
herniorraphy dilakukan tindakan memperkecil annulus inguinalis internus dan
memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Berdasarkan pendekatan operasi,
banyak teknik herniorraphy dapat dikelompokkan dalam 4 kategori utama :
o Open Anterior Repair 6,7,8
Operasi hernia (teknik Bassini, McVay dan Shouldice) melibatkan pembukaan
aponeurosis otot obliqus abdominis ekternus dan membebaskan funikulus
spermatikus. fascia transversalis kemudian dibuka, dilakukan inspeksi kanalis
spinalis, celah direct dan indirect. Kantung hernia biasanya diligasi dan dasar kanalis
spinalis di rekonstruksi.
Teknik Bassini 7,8
Merupakan metode yang sering digunakan dahulu dengan cara conjoint tendon
didekatkan dengan ligamentum Pouparts dan spermatic cord diposisikan seanatomis
mungkin dibawah aponeurosis muskulus obliqus eksternus kemudian menjahit
conjoint tendon dengan ligamentum inguinale. Komponen utama dari teknik bassini
adalah
Membelah aponeurosis otot obliqus abdominis eksternus dikanalis ingunalis hingga
ke cincin ekternal
Memisahkan m. cremaster dengan cara reseksi untuk mencari hernia indirect
sekaligus menginspeksi dasar dari kanalis inguinal untuk mencari hernia direk.
Memisahkan bagian dasar atau dinding posterior kanalis inguinalis (fascia
transversalis)
Melakukan ligasi kantung hernia seproksimal mungkin
Rekonstuksi dinding posterior dengan menjahit fascia transversalis, otot
transversalis abdominis dan muskulus abdominis internus ke ligamentum
inguinalis lateral.

10

Teknik kelompok ini berbeda dalam pendekatan mereka dalam rekontruksi, tetapi
semuanya menggunakan jahitan permanen untuk mengikat fascia disekitarnya dan
memperbaiki dasar dari kanalis inguinalis, kelemahannya yaitu tegangan yang tejadi
akibat jahitan tersebut, selain dapat menimbulkan nyeri juga dapat terjadi nekrosis
otot yang akan menyebakan jahitan terlepas dan mengakibatkan kekambuhan.
o Open Posterior Repair 9
Posterior repair (iliopubic tract repair dan teknik Nyhus) dilakukan dengan
membelah lapisan dinding abdomen superior hingga ke cincin luar dan masuk ke
properitoneal space. Diseksi kemudian diperdalam kesemua bagian kanalis
inguinalis. Perbedaan utama antara teknik ini dan teknik open anterior adakah
rekonrtuksi dilakukan dari bagian dalam. Posterior repair sering digunakan pada
hernia dengan kekambuhan karena menghindari jaringan parut dari operasi
sebelumnya. Operasi ini biasanya dilakukan dengan anastesi regional atau anastesi
umum.
o Tension-Free Repair With Mesh 8,9
Operasi hernia (teknik Lichtenstein dan Rutkow) menggunakan pendekatan
awal yang sama degan teknik open anterior Bassini. Setelah membuka aponeurosis
obliqus externus dari lateral cincin internal melewati cincin eksternal, lapisan atas
lepas dari selubung anterior rectus. Diseksidilakukan dari lateral kearah cincin
internal ke tuberkulum pubic.Spermatic cord dengan muskulus cremaster yang
menutupi terbuka dari tuberkulum pubic dan dipisahkan dari dasar inguinal. Nervus
ilioinguinal, pembuluh darah spermatic externus dan cabang genital dari nervus
genitofemoralis tetap dalam struktur cord. Efeknya untuk mencipakan ruangan yang
besar untuk prostesis dan visualisasi terhadap persarafan sekitar.
Dari hernia indirek, muskulus cremaster diinsisi secara longitudinal dan
kantong diseksi kearah ruang preperitoneal.
Akan tetapi tidak menjahit lapisan fascia untuk memperbaiki defek, tetapi
menempatkan sebuah prostesis, mesh yang tidak diserap. Mesh ini dapat
memperbaiki defek hernia tanpa menimbulkan tegangan dan ditempatkan disekitar
fascia gambar 11. Hasil yang baik diperoleh dengan teknik ini dan angka
kekambuhan dilaporkan kurang dari 1 persen.

11

Beberapa ahli bedah meragukan keamanan jangka panjang penggunaan implant


prosthesis, khususnya kemungkinan infeksi atau penolakan. Akan tetapi pengalaman
yang luas dengan mesh hernia telah mulai menghilangkan anggapan ini, dan teknik
ini terus populer.Teknik ini dapat dilakukan dengan anastesi local, regional atau
general.
o Laparoscopic 7.9.10
Operasi hernia Laparoscopic makin populer dalam beberapa tahun terakhir,
tetapi juga menimbulkan kontroversi. Pada awal pengembangan teknik ini, hernia
diperbaiki dengan menempatkanpotongan mesh yang besar di region inguinal diatas
peritoneum. Teknik ini ditinggalkan karena potensi obstruksi usus halus dan
pembentuka fistel karena paparan usus terhadap mesh.
Saat ini kebanyakan teknik laparoscopic herniorrhaphies dilakukan menggunakan
salah

satu

pendekatan

transabdominal

preperitoneal

(TAPP)

atau

total

extraperitoneal (TEP). Pendekatan TAPP dilakukan dengan meletakkan trokar


laparoscopic dalam cavum abdomendan memperbaiki region inguinal dari dalam. Ini
memungkinkan

mesh

peritoneum.sedangkan
langsung yang

diletakkan
pendekatan

mengharuskan

dan
TAPP

masuk

kemudian
adalah

ke cavum

ditutupi

prosedur

peritoneal

dengan

laparoscopic
untuk

diseksi.

Konsekuensinya, usus atau pembuluh darah bisa cedera selama operasi.

2.2

Asma11

2.2.1

Definisi Asma
Merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan banyak sel

yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T (menurut GINA (Global
Initiative for Asma). Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan episode wheezing
berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya malam hari atau dini hari.
Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun
bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperaktivitas saluran respiratorik
terhadap berbagai rangsangan.
2.1.2

Manifestasi Klinis
12

Pada penderita yang peka hal ini menyebabkan munculnya serangan batuk, bunyi
mengi, banyak dahak, sesak napas, dan tidak enak didada terutama pada malam hari atau pagi
hari. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik
dan reversibel akibat bronkospasme.

2.1.3

Patofisiologi
Patofisiologi asma melibatkan pelepasan mediator kimiawi ke jalan napas dan

mungkin pula adanya aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf parasimpatis. Substansi yang
terhirup dapat menimbulkan bronkospasme melalui respon imun spesifik dan non spesifik
oleh daya degranulai sel mast bronkial. Pada asma alergi yang klasik antigen berikatan
dengan Ig E di permukaan sel mast dan menyebabkan degranulasi, bronkokontriksi
merupakan hasil dari pelepasan histamin berikutnya: bradiknin; leukotrien C, D, dan E;
platelet activating-factor, prostaglandin (PG), PGE2, PGF2 alfa, dan PGD2; dan factor
netrofil eosinofil kemotaktik. Sedikitnya ada 2 jenis T-helper (Th), limpfosit subtipe CD4+
telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis lifosit T mensekresi IL3 dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama
memproduksi IL-2, IF- dan TNF-. Sedangkan Th2 terutama memprodusi sitokin yang
terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh
Th2 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensivitas tipe lambat maupun yang cell
mediated. Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen
yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris yaitu suatu proses yang melibatkan molekul
MHC/major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I
pada ael T CD8+). Sel dendritik adalah merupakan antigen presenting cell yang utama dalam
saluran napas. Sel dendritik terbentuk perkusornya didalam sumsum tulang dan membentuk
jaringan luas dan sel-selnya saling berhubungan pada epitel saluran respiratorik. Kemudian
sel-sel tersebut bermigrasi kekumpulan sel-sel limfoid dibawah pengaruh GM-CSF yaitu
sitokin yang terbentuk oleh aktivitas sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag dan sel mast.
Setelah antigen ditangkap, sel dendritik berpindah menuju daerah yang banyak mengandung
limfosit. Dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai
antigen presenting cell (APC) yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi selT
nave-Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada
klaster kromosom 5q31-33 (IL-4 genecluster).

13

Pada asma baik dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan bronkus
abnormal yang memudahkan penyempitan saluran napas oleh banyak faktor, saluran napas
ini seakan-akan merupakan persarafan -adrenergik yang tidak kompeten, dan banyak bukti
memberikan paling tidak secara fungsional terdapat hambatan partial pada reseptor
adrenergik pada penderita asma yang khas ini. Penyempitan saluran respiratorik pada asma
dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratorik adalah
kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi.
Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel
mast, neuropepetida dari saraf aferen setempat dan asetilkolin dari saraf postganglionik.
Kontraksi otot polos saluran respirtorik diperkuat oleh penebalan dinding saluran napas
akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remondeling, hiperplasia dan hipertropi
kronis otot polos, vaskuler dan sel-sel sekretori serta deposisi matrik pada diding saluran
respiratorik. Selain itu hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret
yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma
yang keluar melalui mikrovaskuler bronkus dan debris seluler.
Peran serotonin, suatu bronkokonstriktor, belum diketahui pada manusia. Sistim saraf
parasimpatik memainkan peran penting dalam menjaga tonus normal bronkial. Aktifasi reflek
vagal terjadi pada bronkokontriksi yang dimediasi oleh peningkatan siklik guanosin
monofosfat intraseluler (cGMP).
Selama serangan asma, bronkokontriksi, oedem mukosa, dan sekresi yang terjadi akan
meningkatkan tahanan aliran gas disetiap tempat jalan napas yang lebih rendah. Tahanan
jalan napas kembali normal pertama kali pada jalan napas yang lebih besar (bronki utama,
lobar, segmental dan sub segmental), kemudian baru perifer. Laju ekspirasi menurun
melampaui kapasitas vital paksa (force vital capacity) tetapi pada pemulihan serangan laju
rata-rata ekspirasi menurun hanya pada volume paru rendah.
Volume residu (RV), TLC, FRC semua menurun. PaCO2 normal atau tinggi
menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan kerja napas lagi dan hal ini sering
merupakan tanda adanya gagal napas (impending). Pulsus paradoksus dan gambaran EKG
renggangan ventrikel kanan (perubahan ST, deviasi aksis kanan, dan RBBB) menunjukan
obstruksi jalan napas berat.

14

Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2
agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat,
kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang
dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis
termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang
sangat penting dalam penatalaksanaannya. Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa
serangan dan asma saat serangan (akut).
2.1.4

Klasifikasi

Berdasarkan sifat serangan, asma dibagi menjadi dua yaitu:


A.

Asma Saat Tanpa Serangan


Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari:
1.
2.
3.
4.

Intermitten
Persisten ringan
Persisten sedang
Persisten berat

Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa 12

DERAJAT

GEJALA

ASMA

GEJALA

FUNGSI PARU

MALAM

INTERMITEN

Gejala < 1x/minggu

Mingguan

Tanpa gejala di luar serangan

Serangan singkat

Fungsi paru asimtomatik dan

< 2 kali sebulan VEP1 atau APE > 80%

normal di luar serangan.


PERSISTEN

RINGAN
Mingguan

Gejala > 1x/minggu tapi <

> 2 kali

VEP1 atau APE > 80%

1x/hari

seminggu

normal

Serangan dapat mengganggu


aktivitas dan tidur.
15

PERSISTEN

Gejala harian

> sekali

SEDANG

Menggunakan obat setiap hari seminggu

Harian

Serangan mengganggu

VEP1 atau APE > 60%


tetapi < 80% normal

aktivitas dan tidur

Serangan 2x/minggu, bisa


berhari hari

PERSISTEN
BERAT
Kontinu

Gejala terus menerus

Aktivitas fisik terbatas

Sering serangan

Sering

VEP1 atau APE < 80%


normal

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia, 2004

B.

Asma Saat Serangan


Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan

sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative
for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda
klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi
yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan
sedang dan asma serangan berat. Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan
serangan asma (aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat
mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong
episodik jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang
dapatmenyebabkan kematian.

2.1.5

Tatalaksana

Obat-obatan asma dibagi menjadi:


1.

Bronkodilator

Bronkodilator bekerja terutama pada otot polos saluran napas untuk membalikkan
bronkokonstriksi asma. Agen ini dengan cepat meringankan gejala, namun hanya memiliki
sedikit efek atau bahkan tidak berpengaruh pada proses inflamasi yang mendasari. Ada tiga
16

kelas dari bronkodilator yang digunakan saat ini: 2-adrenergik agonis, antikolinergik, dan
teofilin; ini, 2-agonis yang jauh yang paling efektif.
a.

a2-Agonis: 2-Agonis akan mengaktifkan reseptor 2-adrenergik yang secara luas

tersebar dalam saluran napas. Proses ini merelaksasi sel otot polos dan menghambat sel-sel
inflamasi tertentu, terutama sel mast.
b.

Antikolinergik: Antagonis reseptor muskarinik seperti ipratropium bromida,

mencegah bronkokonstriksi dan sekresi mukus yang. Agen ini jauh lebih efektif daripada 2agonis dalam terapi asma karena penghambatan yang terjadi hanya pada komponen refleks
kolinergik karena bronkokonstriksi, sedangkan 2-agonis mencegah semua mekanisme
bronkokonstriktor.
c.

Theofilin: Terdapat bukti menarik dimana teofilin dosis rendah memiliki efek anti-

inflamasi, dan ini kemungkinan akan dimediasi melalui mekanisme molekuler yang berbeda.

2.

Terapi kontroler

a.

Kortikosteroid inhalasi: merupakan agen anti-inflamasi yang paling efektif digunakan

dalam terapi asma, mengurangi jumlah sel inflamasi dan aktivasi dalam saluran udara. KI
mengurangi sputum serta eosinofil di saluran napas, serta mengurangi jumlah limfosit T yang
teraktivasi dan sel mast pada permukaan mukosa saluran napas.
b.

Kortikosteroid sistemik: digunakan secara intravena pada asma akut berat. Contoh:

hidrokortison atau methylprednisolone


c.

Antileukotrien:

merupakan

bronkokonstriktor

kuat,

menyebabkan

kebocoran

mikrovaskuler, dan meningkatkan peradangan eosinophilik


d.

Cromones: Natrium kromolin dan natrium nedocromil adalah agen kontroler asma

yang menghambat sel mast dan aktivasi saraf sensorik dan efektif dalam memblok pemicu
asma yang terinduksi.
e.

Steroid sparing therapies: Berbagai tatalaksana imunomodulator telah digunakan

untuk mengurangi kebutuhan akan kortikosteroid oral pada pasien asma berat (yang memiliki
efek samping yang serius dengan terapi ini kortikosteroid oral)
f.

Anti IgE: Omalizumab adalah blocking antibody yang menetralkan IgE sirkulasi

sehingga menghambat reaksi IgE termediasi. Perawatan ini telah terbukti mengurangi jumlah
17

eksaserbasi pada pasien dengan asma berat dan selain itu juga dapat meningkatkan
pengontrolan asma.
g.

Imunoterapi: Imunoterapi spesifik yang menggunakan suntikan ekstrak serbuk sari

atau debu tidak begitu efektif dalam mengendalikan asma dan agen ini dapat menyebabkan
anafilaksis.

2.3

Anestesia Regional 14,15


Blok spinal dan epidural menghasilkan blokade sistem saraf simpatis, analgesia atau

anestesia sensorik dan blokade motorik yang bergantung pada dosis, konsentrasi atau volum
anestetika lokal setelah pemberian melalui jarum ke plana neuraksial.Tidak terdapat indikasi
absolut untuk anestesia spinal atau epidural. Pertimbangan pemilihan teknik tergantung pada
situasi klinis saat itu, seperti kesesuaian pasien, kondisi fisiologis, atau prosedur pembedahan
itu sendiri. Teknik anestesia regional mampu memperpanjang efek kerjanya menjadi
analgesia pasca bedah dengan kualitas lebih baik dibanding degan opioid parenteral.
2.3.1

Anestesi Spinal
A. Posisi pasien : ada 3 posisi utama yang biasa digunakan pada teknik penyuntikan
obat anestesia spinal yaitu lateral dekubitus, duduk dan tengkurap. Pemilihan
posisi ini tergantung dari situasi dan kebutuhan pasien. Pengaturan posisi pasien
ini cukup penting untuk menjamin keberhasilan tindakan anestesia spinal ini.
B. Jarum spinal dan penuntun : Jarum spinal yang baik permukaan ujungnya tertutup
dan bentuknya cocok serta mudah dipindah-pindahkan posisinya. Di pasaran
jarum spinal tersedia dalam ukuran Gauge 16-30.
C. Teknik Anestesia spinal : langkah awal adalah identifikasi spac atau celah antar
ruas tulang vertebrae. Ada beberapa panduan yang dapat digunakan, antara lain
dengan berpatokan bahwa garis khayalan setinggi krista iliaka dianggap setinggi
L4 atau L4-L5. Jarum spinal disuntikkan melalui penuntun atau langsung
menembus kulit. Ketika ujung jarum menembus ligamentum flavum akan terjadi
kehilangan tahanan. Pada anestesia epidural hilangnya tahanan berarti jarum
sudah menembus lapisan ligamentum flavum dan sudah berada di ruang epidural.
Sedangkan pada anestesia spinal jarum didorong terus lagi sampai menembus
lapisan dura dan membran subaraknoid dan berhenti stelah ditandai dengan
keluarnya cairan liquor.
18

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketinggian blok : ada 4 faktor yang


mempengaruhi yaitu, karakteristik pasien (umur, tinggi badan, berat badan, posisi
pasien ), karakteristik cairan serebrospinal, karakteristik anestesia lokal ( jenis,
dosis, barisitas, konsentrasi larutan ) dan teknik penyuntikan ( kecepatan
penyuntikan, tempat penyuntikan )
E. Awitan dan durasi : lidokain mencapai tinggi blok puncak dalam 10 sampai 15
menit, sementara bupivikain membutuhkan lebih dari 20 menit. Penentu durasi
adalah anestetika lokal yang digunakan. Anestesia lokal dengan durasi paling
singkat adlah prokain, lidokain dan mepivikain adalah agen intermedier dan
bupivkain dan tetrakain adalah agen durasi panjang. Penentu lainnya adalah dosis
obat dan tinggi blokade.
2.3.2

Anestesi Epidural
Efek fisiologis pada anestesi epidural mirip dengan anestesi spinal, perbedaan hanya

pada jumlah lokal anestesi untuk menghasilkanlevelkonsentrasi di daerah tertentu untuk


menghasilkan efek sistemik.
Tehnik epidural anstesi sama seperti anestesi spinal, hanya dengan sedikit modifikasi.
Seorang dokter harus menentukan tehnik yang digunakan apakah secara kontinu atau teknik
single-shot", penentuan tersebut menentukan jarum yang akan digunakan. Jika tehnik
single-shot yang dipilih, digunakan jarum Crawford, jika kateter kontinue dipilih, jarum
Tuohy dipilih.
a. Posisi pasien : posisi pada penyuntikan epidural sama dengan pada anestesi spinal,
hanya berbeda pada pemilihan posisi pronasi untuk hasil yang lebih ke arah
caudal.
b. Tehnik anestesi epidural : Tehnik epidural membutuhkan penempatan ujung jarum
pada ligamentum flavum untuk metode loss-of-rsistance dan hanging-drop.
c. Metode loss-of-resistance menggunakan semprit kaca atau semprit plastik rendah
resistensi yang diisi oleh udara atau udara atau NaCl sebanyak kurang lebih 3 ml.
Setelah diberikan anstesi lokal pada tempat suntikan, jarum epidural ditusukan
sedalam 1-2 cm. Kemudian udara/NaCl disuntikan perlahan-lahan secara terputusputus (intermitent) sambil mendorong jarum epidural sampai terasa menembus
jaringan keras (ligamentum flavum) yang disusul oleh hilangnya resistensi.
Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang epidural, dilakukan uji dosis.
Metode hanging-drop sama seperti metode loss-of-resistance tetapi pada tehnik ini
hanya menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada tetes
NaCl yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidural perlahan-lahan
19

secara lembut sampai terasa menembus jaringan keras yang kemudian disusul oleh
tesredutnya tetes NaCl ke ruang epidural. Setelah yakin ujung jarum berada dalam
ruang epidural, dilakukan uji dosis.
d. Anestetik lokal yang digunakan berupa lidokain 1-2%, dengan mulai kerja 10
menit dan relaksasi otot baik. Bupivakain (Markain) 0,5% tanpa adrenalin,
analgesianya sampai 8 jam, volume yg digunakan <20 ml.
e. Komplikasi anestesi epidural : blok tidak merata, depresi kardiovaskuler
(hipotensi), hipoventilasi, dan mual-muntah.

2.3

Pertimbangan Anestesi pada Pasien Asma 15,16

Preoperatif
Pada evaluasi preoperative pasien dengan asma, perlu dinilai kegawatan dari
penyakitnya, keefektivitasan penanganan yang kini dijalani, dan kemungkinan diperlukannya
terapi tambahan sebelum operasi. Tujuan evaluasi preoperative adalah merancang encana
anestesi yang mencegah atau menumpulkan obstruksi jalan nafas.
Evaluasi preoperative dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit asma pasien,
kegawatan dan karakteristik dari asma tersebut, seperti onset terjadinya asma, factor
pencetus, riwayat dirawat di rumah sakit karena asma, riwayat alergi, pengobatan yang biasa
digunakan, dan apakah pengobatan tersebut efektiv meredakan seranga asma. Perlu juga
ditanyakan riwayat operasi sebelumnya, riwayat anestesi, apakah ada masalah yang terjadi
selama proses tersebut.
Pada pemeriksaan fisik dapat dilihat dari penampakan umum pasien, apakah pasien
bernafas menggunakan otot nafas asesorius, apakah ditemukan wheezing pada pemeriksaan
auskultasi paru. Pemeriksaan hitung jumlah eosinophil berbanding lurus dengan tingkat
inflamasi dan hiperaktivitas jalan nafas yang sedang berlangsung. Pemeriksaan fungsi paru
dilakukan sebelum dan setelah terapi dengan bronkodilator. Penurunan nilai forced expiratory
volume in 1 second (FEV1) atau forced vital capacity (FVC) dibawah 70% dan penurunan
FEV1/FVC ratio dibawah 65% berhubungan dengan peningkatan risiko komplikasi
perioperative. Sebelum operasi, pasien harus bebas wheezing dan memiliki peak expiratory
flow > 80% sebelum operasi. Pemeriksaan analisa gas darah diindikasikan jika ingin
mengetahui keadekuatan oksigenasi dan ventilasi. Terapi dengan bronkodilator pada periode
preoperative dapat memperbaiki kondisi asma. Terapi bronkodilator dan antiinflamasi
dilanjutkan hingga waktunya induksi anestesi (beta adrenegik, glucocorticoid, leukotriene
bloker, mast-cell stabilizer, theophylline. Penggunaan obat antikolinergik jarang digunakan

20

kecuali terdapat sekret yang kental pada jalan nafas atau rencana induksi menggunakan
ketamine
Intraoperatif
Selama induksi dan maintenens pasien asma, refleks jalan nafas harus ditekan untuk
mencegah bronkokonstriksi sebagai respon stimulasi mekanik terhadap jalan nafas yang
hiperaktif. Stimulus yang biasanya tidak memicu reaksi jalan nafas pada orang normal dapat
mengancam nyawa pada pasien dengan asma. Untuk menghindari tindakan pada jalan nafas,
anestesi regional merupakan pilihan utama jika lokasi operasi memungkinkan.
Pada penggunaan anestesi umum, induksi paling sering dilakukan dengan induksi
obat anestesi intravena. Insiden wheezing lebih sering terjadi pada pasien yang diinduksi
dengan thiopental dibandingkan propofol. Thiopental juga dapat menyebabkan bronkospasm
karena bersifat histamine release. Ketamin dapat membuat relaksasi otot polos dan penurunan
resistensi jalan nafas, namun ketamine meningkatkan sekresi jalan nafas.
Setelah pasien tidak sadar, pernafasan akan diventilasi dengan campuran gas
mengandung obat anestesi inhalasi. Tujuannya adalah untuk mencapai kedalaman anestesi
yang menekan refleks jalan nafas untuk memfasilitasi intubasi tanpa memicu bronkospasme.
Dapat diberikan 2-3 kali MAC selama 5 menit. Obat anestesi inhalasi seperti halotan dan
sevofluran tidak beraroma menyengat seperti isofluran dan desfluran, ini mengurangi risiko
pasien terbatuk dan terjadi bronkospasme. Lidokain injeksi intravena atau intratrakeal (1-2
mg/kg), 1-3 menit sebelum intubasi, dapat menekan reflek jalan nafas. Opioid dapat
digunakan untuk menekan refleks batuk dan membantu mencapai kedalaman anestesi. Semua
opioid memiliki efek histamine release namun fentanyl dapat digunakan untuk pasien asma.
Pelumpuh otot biasanya digunakan untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal, digunakan
pelumpuh otot yang tidak menyebabkan histamine release. Penggunaan antagonis pelumpuh
otot dengan kolinesterase inhibitor dapat memicu bronospasme akibat stimulasi pada reseptor
kolinergik postganglionic terhadap otot jalan nafas. Namun hal ini dapat dicegah dengan
pemberian antikolinergik bersamaan dengan kolinesterse inhibitor.
Penggunaan laryngeal mask airway (LMA) lebih

jarang

menyebabkan

bronkokonstriksi dibandingkan intubasi endotrakeal. Penggunaan LMA lebih baik untuk


pasien asma terutama jika tidak terdapat risiko aspirasi. Biasanya pada intraoperative,
pernafasan diatur oleh ventilasi mekanik. Pada pasien asma, laju inspirasi yang lambat
mengoptimalkan distribusi ventilasi. Diperlukan waktu yang cukup untuk berlangsung nya
ekspirasi untuk mencegah terperangkapnya udara. Melambabkan dan menghangatkan udara
inspirasi berguna untuk penderita asma yang dipicu aktivitas, karena bronkospasme
diasumsikan terjadi akibat hilangnya panas transmukosa. Pemberian cairan selama periode
21

perioperative penting untuk menjaga hidrasi dan membuat sekret jalan nafas yang tidak
terlalu kental, sehingga bisa disingkirkan dengan lebih mudah
Postoperatif
Ekstubasi pipa endotrakeal dilakukan pada anestesi dalam untuk mencegah refleks
dari jalan nafas (bronkospasme). Namun ekstubasi dalam tidak dilakukan jika pasien
memiliki airay yang sulit, sulit dilakukan intubasi, masih terdapat residu obat pelumpuh otot,
COPD, risiko aspirasi. Untuk melakukan ekstubasi dalam, pasien harus sadar penuh, bernafas
spontan, dan tidak ada residu dari obat pelumpuh otot.
Opioid harus digunakan secara hati-hati sebagai analgesic post operatif karena depresi
nafas yang berkepanjangan dapat mengganggu airway. NSAID dapat memicu bronkospasme
pada 8-20% pasien dengan asma. NSAID menghambat cyclooksigenase yang mrngubah
asam arakidonat menjadi prostaglandin, sehingga membuat asam arakidonat diubah menjadi
leukotriene yang bersifat bronkokonstriktor.

ANALISIS KASUS
Diagnosa: Laki-laki, usia 59 tahun, dengan Hernia inguinalis medialis dextra irreponibel
Dasar diagnosa:
Pemeriksaan status lokalis
Obat dan cairan yang diberikan pada pasien:
22

Premedikasi
o

Midazolam 1,5 mg IV
Midazolam merupakan obat hipnotik-sedatif golongan benzodiazepine. Obat
ini diberikan pada saat pasien masuk ruang operasi. Obat ini bertujuan
untuk memberikan efek anti-anxietas karena setiap orang yang akan
menjalani opreasi memiliki kecemasan yang perlu ditekan. Dosis midazolam
sebagai premedikasi sebelum operasi adalah 1-2 mg IV. Onset kerja dalam
beberapa menit dan bertahan 15-80 menit.

Intra Operatif
o Bupivacaine Heavy 0.5 % 20 mg
Agen anestesia lokal kerja panjang golongan amida yang diberikan untuk
mem-blokade persarafan pada daerah yang diberikan. Dosis yang dianjurkan
adalah 12-15 mg untuk melakukan blockade hingga T4 pada operasi Sectio
Caesaria. Onset 4-6 menit, durasi untuk pembedahan abdomen bertahan
selama 45-60 menit.
o Ondansetron 4 mg
Ondansetron merupakan antagonis selektif reseptor 5-HT3 menghambat mual
dan muntah post operatif (PONV) karena efek samping Fentanyl. Untuk
pencegahan diberikan dosis awal 4-8 mg sebelum induksi, dan dapat diberikan
segera pasca operasi apabaila pasien mengalami mual dan atau muntah.
o Ringer Laktat 1000 cc
Kristaloid 1000 cc bertujuan sebagai maintenance lanjutan untuk memenuhi
kebutuhan cairan dan elektrolit selama operasi. Selama pasien puasa telah
diberikan cairan sesuai kebutuhan maintenence. Kebutuhan maintenance
pasien ini berdasarkan rumus Holliday Segar adalah 100 cc/jam. Loading
profilaksis hipotensi berlebihan akibat anestesi spinal sekitar 600 cc (10
cc/kg), Third space loss 0-200 cc/jam
Kristaloid yang berfungsi sebagai volume expander yang berfungsi mengganti
cairan ekstraselular, mengandung ion ion elektrolit yang hampir sesuai
dengan kadar elektrolit dalam tubuh sehingga jarang menimbulkan asidosis.
o Dexketoprofen 3x50 mg
Dexketoprofen berperan sebagai analgetik post operatif, merupakan obat
golongan Non-Steroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID). Obat ini dipilih
karena sesuai dengan tingkatan nyeri operasi hernioraphy yang termasuk
23

operasi ringan. Namun penggunaan NSAID dapat memicu bronkospasme pada


8-20% kasus.

DAFTAR PUSTAKA

1. R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi I. Penerbit buku
kedokteran EGC. Jakarta. 1997. Hal 700-718
2. A. Mansjoer, Suprohaita, W.K. Wardhani, W. Setiowulan. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
III, Jilid II. Penerbit Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2000. Hal 313-317

24

3. Dr. P. Bhatia & Dr. S. J. John. Laparoscopic Hernia Repair (a step by step approach).
Edisi I. Penerbit Global Digital Services, Bhatia Global Hospital & Endosurgery Institute.
New Delhi. 2003
4. H G, Burhitt & O.R.G. Quick. Essential Surgery . Edisi III. 2003. Hal 348-356
5. C. Palanivelu. Operative Manual of Laparoscopic Hernia Surgery. Edisi I. Penerbit GEM
Foundation. 2004. Hal 39-58
6. Brian W. Ellis & Simon P-Brown. Emergecy surgery. Edisi XXIII. Penerbit Hodder
Arnold. 2006
7. Gary G. Wind. Applied Laparoscopic Anatomy (Abdomen and Pelvis). Edisi I. Penerbit
Williams & Wilkins, a Waverly Company. 1997
8. Michael M. Henry & Jeremy N. T. Thompson. Clinical Surgery. Edisi II. 2005.
9. R. Bendavid, J. Abrahamson, Mauruce E. A, dkk. Abominal Wall Hernias (Principles and
Management). Edisi I. Penerbit Sringer-Varlag. New York. 2001
10. Michael S. Kavic. Laparoscopic Hernia Repair. Edisi I. Penerbit Harwood Academic
Publishers. Amsterdam. 1997
11. Lenfant C, Khaltaev N. GINA. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2004, Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Asma di Indonesia. Penerbit FKUI, Jakarta.
13. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrison's Principles of
Internal Medicine, 18th Edition. McGraw Hill. 2011
14. Miller RD, Pardo MC Jr, editors. Basics of Anesthesia 6th edition. 2011. Philadelphia:
Elsevier Saunders.
15. Morgan GE Jr, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology 4th edition. 2006.
McGraw-Hill Company
16. Hines RL, Marschall KE. Stoelting's anesthesia and co-existing disease. Elsevier. 2012
17. Yao FS. Yao & Artusios Anesthesiology: Problem-Oriented Patient Management 7th ed.
Wolter Kluwer. 2012

25

You might also like