You are on page 1of 6

RESENSI BUKU

Filsafat Hukum: Teori dan Praktik


Perkembangan studi Filsafat Hukum dalam lintas literatur ilmiah sangatlah
menarik untuk didiskusikan dalam beberapa perspektif yang berbeda. Suatu hal
yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa bangunan hukum terus menjadi titik
lemah penegakan hukum, yang jika diperhatikan dengan seksama titik lemah
tersebut disebabkan kegagalan individu dan institusi penegak hukum dalam
memahami philosophy of law dari aktivitas yang dilakoninya. Buku Filsafat
Hukum: Teori dan praktek ditulis oleh pengajar-pengajar di Universitas
Hasanuddin untuk memperkaya studi literatur Filsafat Hukum yang semakin
hari semakin menggairahkan. Penulis adalah;
Prof. Dr. Sukarno Aburaera, S.H., lahir di Barru tanggal 10 Maret
1943. Menyelesaikan S1 pada tahun 1970 dan S3 pada tahun 2003 di Fakultas
Hukum UNHAS. Sejak tahun 1973 telah menjabat sebagai dosen di Fakultas
Hukum UNHAS, penulis juga menjadi Konsultan Hukum pemerintahan dan di
beberapa perusahaan.
Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.Si., lahir di Raha tanggal 17 Maret 1957,
menyelesaikan Sarjana Muda Hukum di Universitas Muslim Indonesia, S1
pada Fakultas Hukum UNHAS, S2 pada Universitas Gadjah Mada, dan S3
pada Universitas Airlangga. Penulis juga memiliki beberapa karya ilmiah
dalam bentuk buku. Saat ini, penulis menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum UNHAS.
Maskun., S.H., LL.M., lahir di Abeli pada tanggal 29 November 1976,
menyelesaikan S1 pada Fakultas Hukum UNHAS, dan S2 pada University of
New South Wales Sydney, Australia. Selain mengajar, penulis aktif menulis di
surat kabar lokal, mengikuti seminar/symposium dan juga melakukan
penelitian, saat ini penulis tercatat sebagai Pemimpin Redaksi Jurnal Hukum

Internasional

JURISDICTIONARY

Fakultas

Hukum

Universitas

Hasanuddin.
Di dalam buku ini dibahas berbagai hal yang berkaitan dengan Filsafat Hukum.
Pembahasan-pembahasan tersebut dibagi-bagi ke dalam 8 (delapan) bagian;
bagian pertama membahas tentang realitas manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan yang terdiri atas dua unsur pokok yaitu jasad dan roh. Unsur roh
memegang posisi strategis dan menentukan dalam memosisikan eksistensi
manusia dan rohlah yang menghantarkan manusia pada fase untuk merasakan
senang, sedih, bahagia, berani, takut dan benci dan dengan roh jugalah yang
dapat membuat manusia menjadi makhluk hidup yang bermoral, bersusila dan
bersosial. Oleh karena itu roh di pandang sebagai sumber kepribadian manusia
yang mengantarkan manusia pada proses pemahaman hakikat manusia.
Manusia sebagai makhluk Tuhan yang otonom, memahami keotonoman
manusia sebagai makhluk Tuhan yang berdasarkan filsafat filsafat perenial
mengenai kecenderungan manusia pada hakikatnya terdiri atas dua hal yaitu
aku objek yang bersifat terbatas dan aku subjek yang dalam kesadaran tentang
keterbatasan mampu membuktikan bahwa dalam dirinya sendiri ia bebas dari
keterbatasannya. Dalam kapasitas manusia sebagai makhluk yang lemah
dengan segala dependsinya kepada Tuhan, Tuhan memberi ruang kepada
manusia untuk mengembangkan diri dalam konsep otonomi, independensi dan
kreativitas sebagai manusia dalam mempertahankan diri (survive) dan
mengembangkan hidup dan kehidupannya. Disisi lain dengan segala otonomi
yang di miliki manusia, maka manusia melakukan proses doa dan puji kepada
Tuhan sebagi wujud Penghambaan (dependsi) kepada Tuhan penciptanya
(mutual interest).
Manusia sebagai makhluk berpikir, Aristoteles mengatakan bahwa manusia
adalah binatang yang memiliki rasional (animal rationale), yang membedakan
dengan binatang. Animale rationale manusia telah menempatkan manusia
dengan ciri istimewa. Keistimewaan tersebut terwujud dalam kemampuan
manusia untuk menggunakan rasio (akal pikirannya) yang mengantarkan
manusia pada level atau strata yang lebih dari ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya.

Keistimewaan tersebut semakin lengkap dengan ditempatkanya wujud


kemampuan berpikir pada satu struktur yang padu dengan perasaan dan
kehendak manusia itu sendiri. Dalam konteks ini, maka berpikir dapat di
pandang sebagai suatu fitrah kodrati manusia yang selalu melekat pada
manusia di mana dan dalam kondisi apapun. Bagian ini juga membahas
mengenai Pengetahuan; Pengetahuan pada dasarnya dipandang sebagai mental
state yang terproses melalui interaksi untuk dapat mengenali dan mengetahui
tentang suatu objek. Dalam proses lahirnya pengetahuan tersebut dapat di
peroleh oleh media berupa indra, science, filsafat, dan mistik.
Bagian kedua membahas tentang apa itu filsafat. Dalam bahasa Yunani disebut
Philoshopia, dapat diartikan sebagai cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Di
bagian ini juga dapat ditemukan berbagai definisi Filsafat oleh beberapa filsuf
seperti Plato, Phytagoras, Aristoteles, Descrates, Al-Farabi, dan Immanuel
Kant. Bagian ini juga menjelaskan apa itu hukum dan unsur-unsurnya.
Bagian ketiga membahas tentang sejarah perkembangan, Memahami filsafat
tidaklah tuntas dan tidak akan pernah tuntas, tanpa mengetahui latar belakang
filsafat itu sendiri. Dalam perkembangannya, filsafat sebenarnya dibedakan
atas filsafat timur yang terdiri dari filsafat India, filsafat Islam, dan filsafat
Cina, dan filsafat Barat yang meliputi filsafat Yunani.
Bagian keempat membahas tentang aliran-aliran filsafat hukum dalam ranah
filsafat yang tidak dapat di lepaskan dari sejarah perkembangan filsafat pada
umumnya. Aliran-aliran filsafat hukum yang di maksud meliputi: Aliran
hukum alam, positivisme hukum, utilitarianisme, mazhab sejarah, sociological
jurispridence, realisme hukum, dan freirechtslehre.
Bagian kelima membahas tentang hukum dan moral sebagai salah satu
kesatuan yang akan berimplikasi pada kedudukan hukum dan moral itu sendiri.
Pertanyaan mendasar akan sering muncul khususnya soal apa hubungan hukum
dan moral, bagaimana kedudukan etika dalam moral, dan lain sebagainya. Oleh
karena itu, di bagian kelima ini menguraikan hubungan keduanya dengan
menitikberatkan pada pendekatan yang dikemukakan oleh Immanuel Kant.
Bagian keenam mengenai etika profesi, sesungguhnya etika adalah salah satu
bagian filsafat di mana dalam konteks ini filsafat bertugas untuk

menginterpretasikan hidup manusia dalam meneliti dan menentukan semua


faktor konkret sampai pada dasarnya yang mendalam. Fakta-fakta realitas yang
tersaji dalam varian kriminalitas telah menempatkan masyarakat sebagai
pencari keadilan pada dilema apakah masih harus mempercayai (trust)
lembaga-lembaga penegak hukum.
Bagian ketujuh membahas tentang hukum dan keadilan. Ketika Manusia
sepakat diatas eksistensi keadilan maka mau tidak mau keadilan harus
mewarnai perilaku dan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan
Tuhannya, dengan sesama individu, dengan masyarakat, dengan pemerintah,
dengan alam dan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Keadilan harus
terwujud disemua lini kehidupan,. Setiap produk manusia haruslah
mengandung nilai-nilai keadilan karena sejatinya perilaku dan produk yang
tidak adil akan melahirkan ketidakseimbangan, ketidakserasian yang berakibat
kerusakan baik pada diri manusia sendiri maupun alam semesta. Keadilan
merupakan hal yang essensial bagi kehidupan manusia, namun kadangkala
hanya menjadi bahan perdebatan tiada akhir. Nilai Keadilan dan Putusan
Hakim pun turut dibahas di bagian ketujuh ini, Nilai merupakan sesuatu yang
menarik perhatian, sesuatu yang dicari semua orang berkaitan dengan sesuatu
yang menyenangkan atau sesuatu yang baik. Sebaliknya sesuatu yang dijauhi
oleh semua manusia seperti penderitaan, penyakit dan segala sesuatu yang
tidak menyenangkan adalah lawan dari nilai yang disebut dengan istilah nonnilai (disvalue). Nilai tidak membahas atau mempersoalkan tentang keadaan
manusia seharusnya bertindak. Putusan Hakim menurut Mertokusumo adalah
suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai pejabat Negara yang diberi
wewenang untuk diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri
atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Pada
prinsipnya Hakim tidak diberi wewenang untuk mengubah suatu UU tetapi
hakim dapat saja menyimpang dari UU dalam menjatuhkan putusan dengan
berdasar kepada perkembangan kehidupan masyarakat. Putusan Hakim kecuali
mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa juga mempunyai wibawa dan
wibawa ini ditentukan oleh pertimbangan yang menjadi dasar putusan.

Pertimbangan atau alasan-alasan dimaksud sebagai pertanggungjawaban dari


putusan sehingga putusan tersebut menjadi objektif (Pasal 23 UU PKK).
Sedangkan bagian kedelapan, yang merupakan bagian terakhir di buku
Filsafat Hukum: Teori dan Praktek, membahas mengenai hukum dan
kebenaran. Menurut Abbas Hamami Mintaredja, kebenaran digunakan sebagai
suatu kata benda yang konkret maupun yang abstrak. Thomas Aquinas bersama
dengan kaum Skolastik mendefinisikan kebenaran sebagai adequatio rei et
intellectus (kesesuaian, kesamaan pikiran dengan hal, benda). Berbagai teoriteori kebenaran pun turut dikupas dan disajikan pula beberapa kriteria
kebenaran.
Buku ini memiliki beberapa keunggulan, keunggulan pertama ialah buku ini
menggunakan bahasa yang mudah dipahami, bahkan bagi para pemula
sekalipun. Rujukan-rujukan sumber penulisan juga disertakan dalam bentuk
footnote dan daftar bacaan di tiap akhir bagian sehingga para pembaca tidak
perlu membolak balik buku ke halaman paling belakang untuk mencari sumber
bacaan atau daftar pustaka. Kertas serta sampul buku yang digunakan
berkualitas baik dan ringan, dengan tinta cetakan yang bagus, sehingga buku
setebal 263 halaman ini tidak berat dan mudah dibawa untuk dibaca setiap saat.
Adapun kelemahan dari buku ini adalah buku ini tidak memuat kesimpulankesimpulan di akhir setiap bab.
Secara keseluruhan, buku ini sangat bagus dan lengkap dalam membahas
Filsafat hukum dan layak beredar serta menjadi buku rujukan bagi para
mahasiswa dalam memperlancar kegiatan belajar Filsafat Hukum. Terlebihlebih bagi Mahasiswa yang baru pemula dalam mempelajari filsafat hukum
karena buku ini memuat dasar-dasar pemikiran filsafat hukum. Buku ini
merupakan salah satu kontribusi terhadap khazanah filsafat hukum di
Indonesia, buku ini menghadirkan seluruh tema sentral filsafat hukum.

You might also like