You are on page 1of 49

A.

SIFAT BAHASA1
Sejak hari pertama kita memperoleh pendidikan, membaca atau mendengar
sebuah kalimat dan memahami maknanya adalah tindakan yang tidak memerlukan
usaha dan bersifat spontan. (Memahami konsep yang mendasarinya tentu saja akan
memunculkan kesulitan). Produksi dan pemahaman bahasa merupakan aktivitas
yang sangat kompleks.
Bahasa menurut para psikolog kognitif, adalah suatu sistem komunikasi yang
didalamnya pikiran-pikiran dikirimkan (transmitted) dengan perantaraan suara
(sebagaimana dalam percakapan) atau simbol (sebagaimana dalam kata-kata
tertulis atau isyarat-isyarat fisik).
Studi mengenai bahasa adalah studi yang dianggap penting oleh para
psikolog kognitif. Perkembangan bahasa mencerminkan sebuah abstraksi yang unik,
yang menjadi dasar kognisi manusia. Sekalipun bentuk-bentuk kehidupan yang lain
memiliki cara berkomunikasi yang rumit, tingkat abstraksi yang digunakan manusia
tetaplah jauh lebih besar. Bahasa adalah sarana utama komunikasi manusia, cara
pertukaran informasi yang paling lazim. Pemrosesan bahasa adalah sebuah
komponen penting dalam penyimpanan pemrosesan informasi (informasi processing
storage), berpikir, dan pemecahan masalah. Sebagaimana yang telah kita pelajari
sebelumnya, sebagian besar proses-proses memori manusia melibatkan informasi
semantik.
Ketika mendengar atau membaca sebuah kalimat, maka akan berfokus pada
makna dan mengaitkan kalimat dengan informasi yang tersimpan di memori jangka
panjang. Cabang ilmu yang mendalami pemahaman bahasa dan proses mental yang
mendasarinya adalah psikolonguistik yaitu pengkajian terhadap pemahaman,
produksi, dan pemerolehan bahasa.
1. DASAR NEUROLOGIS BAGI BAHASA
Salahsatu analisis ilmiah paling awal terhadap bahasa melibatkan sebuah studi
kasus klinis pada tahun 1861. Saat itu, seorang dokter bedah Prancis yang masih
berusia muda bernama Paul Broca melakukan observasi terhadap seorang pasien
yang mengalami paralisis di sebelah sisi tubuhnya, yang sekaligus mengalami
hilangnya kemampuan berbicara sebagai akibat kerusakan neurologis. Tanpa

Edward E. Smith, Stephen M. Kosslyn. 2014. PSIKOLOGI KOGNITIF Pikiran dan Otak.

YOGYAKARTA : PUSTAKA PELAJAR

adanya teknologi pencitraan modern, para dokter pada masa itu hanya mampu
melakukan pembedahan postmortem (pasca kematian). Dalam pembedahan
tersebut:
1. Paul Broca (1861) menemukan cedera di bagian lobus frontalis kiri otak
pasien sebuah area yang selanjutnya dikenal sebagai area Broca. Studistudi selanjutnya mendukung observasi Broca bahwa area frontal kiri
memang terlibat dalam kemampuan berbicara. Area Broca terlibat dalam
produksi bahasa.
Pasien yang menderita Brocas aphasia juga dikenal dengan nonfluent
aphasia mengalami kesulitan mengaitkan representasi level wacana dan level
sintaksis, sulit membedakan makna. Kseulitan mereka bukan pada makna
kata-kata individual tetapi hubungan kata dalam kalimat.
2. Carl Wernicke (1875) menemukan suatu cedera di lobus temporalis kiri
yang mempengaruhi pemrosesan bahasa, namun dampak kerusakan
tersebut berbeda dengan tampak kerusakan yang ditimbulkan akbiat cedera
di area Broca. Area Wernicke terlibat dalam pemahaman bahasa. Kerusakan
di area Wernicke mengurangi kemampuan pasien yang bersangkutan untuk
memahami kata-kata lisan dan tulisan, namun pasien tersebut masih mampu
berbicara secara normal. Dengan kata lain, orang-orang yang mengalami
kerusakan di area Wernicke masih mampu berbicara dengan lancar, namun
tidak mampu memahami ucapan orang lain.
Pasien yang mengidap Wernickes aphasia juga dikenal dengan fluent
aphasia memiliki masalah yang sangat berbeda yang berada pada level kata
dan morfem. Memiliki fungsi morfem yang baik dan tuturan mereka biasanya
cukup sesuai kaidah tata bahasa dengan kata benda, kata kerja, dan bagian
lain dalam kalimat yangdigunakan dengan tepat. Mengalami kesulitan
memahami morfem konten yang menyebabkan mereka sangat sedikit
memahami apa yangdikatakan kepada mereka.
Perbedaan antara Brocas aphasia dan Wernickes aphasia yaitu:
1. Perbedaan antara gangguan yang dialami dua jenis pasien menekankan
mengenai perbedaan level terkait bagaimana bahasa dipresentasikan
secara mental dan dalam otak dan menunjukkan bagiamna level berbeda
tersebut dapat dipengaruhi melalui tingkatan tertentu.

2. Sifat gangguan yang dialami pasien menunjukkan tingkatan dimana level


ini berhubungan

2.

TINGKATAN-TINGKATAN REPRESENTASI BAHASA ATAU STRUKTUR

TATA BAHASA
Setiap kalimat yang didengar atau baca tersusun atas berbagai jenis
informasi yang berbeda diantaranya suara huruf, silabel, kata dan frase. Potonganpotongan bahasa ini bersatu menyerupai puzzle yang tersusun sehingga berbagai
komponen tersebut memunculkan makna keseluruhan dari sebuah kalimat. Peneliti
bahasa memandang berbagai potongan tersebut sebagai level representasi bahasa
yang berbeda dan ketika digabungkan level-level tersebut akan menghasilkan tata
bahasa (grammar). Istilah grammar menunjukkan aturan Pengunaan yang
didasarkan pada ise seperti bagian tuturan. Ahli lingustik dan psikolinguistik
menggunakan istilah ini secara berbeda. Mereka menggunakan istilah grammar
untuk mengacu pada kumpulan pengetahuan yang dimiliki seseorang mengenai
struktur bahasanya.
Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa, dengan topic pembelajaran
meliputi struktur bahasa dan berfokus pada pendeskripsian suara-suara, maknamakna, dan tata bahasa dalam percakapan.

Para ahli linguistic telah mengembangkan sebuah kerangka kerja bahasa


yang bersifat hierarkis (berjenjang). Para ahli tersebut memiliki minat dalam
pengembangan sebuah model bahasa mencakup isi, struktur, dan proses bahasa.
Hierarki linguistic dari komponen-komponen yang fundamental ke komponenkomponen gabungan hingga ke komponen-komponen yang sangat rumit. Dengan
kata lain, unit-unit suara dan unit-unit makna memiliki jenjang kerumitan yang
semakin meningkat.
Sebuah area yang tak kalah pentingnya berkaitan dengan cara kata-kata
disusun menjadi frase dan kalimat. Kata-kata dapat digabungkan menjadi kombinasi,
sekalipun untuk menyampaikan ide yang sama.
Level-level dalam representasi bahasa yang mendasari kemampuan
untuk memahami kalimat yaitu:
1. Level discourse : yang mengacu pada kelompok koheren kalimat yang
tertulis dan yang diucapkan. Level ini secara mental merepresentasikan
makna keseluruhan kalimat, diluar makna kata-kata individual.
Contoh kalimat Koki membakar mie bagian penting dalam representasi
wacana ialah koki adalah agen yang melakukan tindakan dan mie adalah
benda yang dikenal tindakan.
Proposisi : yaitu pelekatan yang dibuat dalam klausa dalam kalimat (kintsch,
1998). Sebuah representasi proposisi menghubungkan tindakan, hal yang
melakukan tindakan, dan benda yang dikenal tindakan.
Contoh kalimat membakar (koki, mie).
Inferences: bagian utama dalam pemahaman bahasa adalah memperoleh
pemahaman dasar mengenai siapa melakukan apa kepada apa. Mengaitkan
makna kalimat dengan konteks dimana makna muncul dan mengaitkan
kalimat dengan informasi di memori jangka panjang. Menghubungkan
informasi pada kalimat dengan pengetahuan terdahulu.
Contoh kalimat mie juga dibakar ketika terakhir kali kita makan disini dan
menghasilkan kesimpulan hmm, mungkin kita harus mencoba restoran lain.
2. Level sintaksis: yakni peraturan-peraturan yang mengendalikan kombinasi
kata-kata dalam frase dan kalimat atau yakni ilmu yang mempelajari
kombinasi kata-kata sehingga menjadi frase dan kalimat. Menjelaskan
4

hubungan antara jenis kata dalam kalimat (misalnya antara kata benda dan
kata kerja). Sintaksis merupakan cara merepresentasikan struktur kalimat
dan banyak psikolog dan ahli linguistic menyakini bahwa sintaksis merupakan
bagian dari representasi mental kita terhadap kalimat.
Pemerolehan sintaksis pada anak-anak dimulai pada usia kurang dari 2:0
tahun. Pada usia tersebut anak sudah bisa menyusun kalimat dua kata atau lebih
two word utterance Ujaran Dua Kata (UDK). Anak mulai dengan dua kata yang
diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata itu terpisah. Dengan adanya dua kata
dalam UDK maka orang dewasa dapat lebih bisa menerka apa yang dimaksud oleh
anak karena cakupan makna menjadi lebih terbatas. UDK sintaksisnya lebih
kompleks dan semantiknya juga semakin jelas (Dardjowidjojo, 2010:248). Ciri lain
dari UDK adalah kedua kata tersebut adalah kata-kata dari kategori utama, yaitu
nomina, verba, adjektiva, dan adverbia.
Kalimat disusun oleh subjek kata benda frase (koki) yang di level wacana
dipetakan berperan sebagai pelaku tindakan. Frase kata kerja (membakar) yang
menjelaskan tindakan dan frase kata benda lain (mie) yang berfungsi sebagai objek
langsung dan dipetakan sebagai benda yang dikenai tindakan.
Pada level sintaksis inilah kita memahami bagaimana urutan kata akan
mengaitkan informasi seperti pelaku tindakan. Misalnya koki membakar mie dan
mie dibakar oleh koki keduanya menempatkan koki sebagai pelaku tindakan.
Para ahli linguistic telah memusatkan upaya mereka dalam dua aspek yaitu:

Produktivitas mengacu pada ketidakterbatasan jumlah kalimat, frase, atau


ucapan yang memungkinkan muncul dalam suatu bahasa, dan sifat
keteraturan.

Regularitas mengacu pada pola-pola sistematik dalam kalimat, frase, atau


ucapan.

3. Level kata: level ini mengkodekan makna kata.


Contoh koki mengacu pada seseorang yang ahli memasak.
4. Level Morfem: Dalam bahasa, morfem adalah unit-unit terkecil yang memiliki
makna. Morfem dapat berupa kata-kata atau bagian-bagian kata seperti
prefiks (awalan), sufiks (akhiran), atau kombinasi prefiks-sufiks. Dengan

menggabungkan morfem-morfem dapat membentuk kata hampir tidak


terbatas.
Morfologi (morphology), yakni ilmu yang mempelajari kombinasi potonganpotongan kata dan kata-kata itu sendiri sehingga menjadi unit-unit yang lebih
besar.
Morfem dapat berbentuk:

Morfem bebas adalah unit-unit bermakna yang berdiri secara mandiri


seperti color, orange, dog, drive dan lain-lain.

Morfem terikat adalah bagian-bagian kata seperti colorless, oranges,


driving. Morfem terikat mengubah jalur gesture yang digunakan dalam
menandai kata kerja, beberapa morfem terikat dapat dipadukan selama
memproduksi kata kerja.

Morfem fungsi beberapa bersifat terikat dan beberapa bersifat bebas


menghubungkan level kata dan sintaksis.
5. Fonem: adalah unit dasar bahasa lisan yang saat digunakan sebagai sebuah
unit tunggal, tidak memiliki makna sama sekali. Fonem adalah suara-suara
tunggal dalam percakapan yang direpresentasikan oleh sebuah simbol
tunggal. Fonem dihasilkan oleh koordinasi yang rumit dari paru-paru,pita
suara, larynx, bibir, lidah, dan gigi.
Ketika seluruh organ tersebut bekerja dengan baik, suara yang dihasilkan
akan dipersepsi dan dipahami dengan cepat oleh pendengar yang menguasai
bahasa yang diucapkan si pembicara. Fonem dapat berupa huruf hidup atau
konsonan (Denes & Pinson, 1963).
Fonem unit terkecil dalam tuturan yang menghasilkan morfem dalam bahasa.
Ejaan bukanlah system yang cukup tepat untuk merepresentasikan suara
tuturan dikarenakan sejumlah alasan:

Pertama: sistem tuliasan bervariasi dalam berbagai bahasa.

Kedua: aturan ejaan dalam berbagai bahasa memiliki sejumlah


pengecualian yang tidak mempengaruhi pengucapan.

Fonem memberikan notasi yang berguna, memunculkan pemahaman lain


mengenai bagaimana bahasa direpresentasikan secara mental.
6

Fonologi (phonology), yakni ilmu yang mempelajari kombinasi suara-suara


dalam suatu bahasa;.

3. BAHASA VERSUS KOMUNIKASI HEWAN


Ada lebih dari 5000 bahasa manusia didunia yang mempresentasikan
kumpulan fonem, morfem, kata, dan sintaksis yang sangat besar. Banyak hewan
yang hidup berkelompok, termasuk burung, berbagai spesies kera, dan lebah,
memiliki sistem komunikasi yang kompleks.
Beberapa peneliti bahasa menyatakan bahwa recursion sintaksis adalah
property paling penting yang memisahkan kapasitas bahasa manusia dengan sitem
komunikasi lain. Pendekatan ini menempatkan perbedaan yang krusial antara
manusa dan kera pada representasi level sintaksis tetapi ada pernyataan lain yang
ditawarkan. Seidenberg dan Petitto menyatakan bahwa simpanse jelas dapat
mengaitkan simbol dan memperoleh hadiah tetapi mereka sepertinya tidak mengerti
simbol seperti nama benda.
Ahli linguistic Amerika Charles Hockett (1916-2000) membandingkan system
komunikasi hewan dan bahasa manusia dan mengidentifikasi sejumlah karakteristik
utama dan yang khas dari bahasa manusia. Hal ini mencakup:
1. Dualitas pemolaan yaitu sifat yang menunjukkan unit yang bermakna seperti
morfem dibuat dari unit-unit yang tidak bermakna seperti fonem yang dapat
dipadukan kembali untuk membuat kata-kata yang berbeda.
2. Arbitrariness yaitu hubungan antara suara atau ejaan kata dan maknanya
bisa terprediksi.
3. Kapasitas generative yaitu memadukan kembali morfem, kata dan kalimat
untuk menyampaikan sejumlah pikiran yang jumlahnya tidak terbatas.
Sebuah komponen penting dari kapasitas generative dalam sintaks adalah
recursion yaitu bagian-bagian yang melekat dari sebuah kalimat atau
keseluruhan kalimat didalam bagian atau kalimat lain.
Property dari recursion memainkan peran penting tidak hanya dibidang
psikolinguistik tetapi umumnya dalam perkembangan psikologi kognitif. Tokohtokohnya yaitu :

Behavioris, yang paling terkenal B.F Skinner : menyatakan bahwa sintaks


kalimat dapat dijelaskan sebagai sebuah rantai hubungan dari satu kata ke
kata lain. Skinner menyatakan bahwa prinsip behavior seperti pengkondisian
dan pengoperasiaan dapat menjelaskan bagaimana anak-anak mempelajari
bahasa dengan melihat tuturan orang dewasa.

Ahli linguistic, Noam Chomsky (1959) tokoh yang mengubah sudut pandang
terhadap

bahasa

melalui

teorinya

yang

membahas

tata

bahasa

transformasional (transformational grammar) yaitu kumpulan peraturan yang


mengendalikan keteraturan bahasa yang berkaitan dengan perubahanperubahan dalam bentuk-bentuk linguistic yang mungkin mempertahankan
makna yang sama. Contoh Kucing itu dijkejar anjing -> Anjing itu mengejar
kucing.
Ide-ide berikut seringkali dianggap mewakili aspek-aspek yang paling penting
dari teori Chomsky:
Bahasa memiliki banyak keseragaman yang mendasar dan struktur dasar
bahasa

seringkali

sering

berkaitan

dengan

makna

sebuah

kalimat

dibandingkan karakteristik permukaan bahasa tersebut.


Bahasa bukanlah sebuah system tertutup melainkan sebuah system yang
mampu menghasilkan unit-unit baru
Didalam struktur-struktur dasar tersebut terdapat elemen-elemen yang umum
dijumpai di segala bahasa.
Tiga aspek teori Chomsky terhadap linguistic yaitu struktur permukaan
adalah bagian dari suatu kalimat yang dapat dipecah-pecah dan diberi label dengan
menggunakan teknik penguraian umum, struktur dalam adalah makna dasar
sebuah struktur, dan peraturan-peraturan transformasional.
Mengkritik

kerasa

pendekatan

behaviorist

terhadap

bahasa

dengan

menyatakan bahwa property recursion tidak bisa dipahami sebagai rantai hubungan.
Rantai sederhana mengenai hubungan antara kata atau frase yang berdekatan
secara salah mengaitkan kata benda dengan subjek sebenranrnya.
Pandangan Chomsky, yang meyatakan bahwa pemahaman behavioris tidak
bisa digunakan untuk memahami kemampuan linguistik manusia, merupakan

langkah krusial yang menolak pemahaman behaviorist terhadap semua aspek


kemampuan manusia.

REVIEW JURNAL1

JUDUL JURNAL

: PEMEROLEHAN BAHASA KANAK-KANAK : SATU


ANALISIS SINTAKSIS

PENGARANG

: Tay Meng Guat (Jabatan Pengajian Melayu)

Di reveiw

: Leni Marlina

Matakuliah

: Psikologi Kognitif

Fakultas

: Psikologi Universitas Mercu Buana Bekasi

Pemerolehan bahasa kanak-kanak: satuan analisis sintaksis yang disusun


oleh Tay Meng Guat mempunyai jabatan pengajian melayu. Didalam jurnal ini
menjelaskan tentang kajian awal untuk melihat pemerolehan bahasan kanak-kanak
penutur natif bahasa Iban dari kawasan Bahagian Dua-Betong (Malaysia).
Pemerolehan bahasa atau akuisisi adalah proses yang berlangsung di dalam
otak seorang anak ketika dia memeroleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya.
Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language
learning). Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada
waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia mempelajari
bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama,
sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua.
Bahwa bahasa terdapat dua teori utama yaitu bahasa mempertahankan
bahwa bahasa diperoleh manusia secara alamiah dan mempertahankan bahwa
bahasa diperoleh manusia secara dipelajari.
Dua faktor utama yang sering dikaitkan dengan pemerolehan bahasa ialah
faktor nurture dan faktor nature. Seorang kanak-kanak akan melalui tiga proses
pemerolehan bahasa yaitu proses pemerolehan komponen fonolgi, sintaksis dan
semantic.

Dari segi pemerolehan komponen semantik, prosesnya dibagi menjadi empat


peringkat yaitu penyempitan arti kata, generalisasi berlebihan, medan semantic dan
generalisasi. Pemerolehan sintaksis hanya bermula apabila kanak-kanak dapat
mengembangkan dua atau lebih kata. Pada tahapan morfem, kanak-kanak mula
menggunakan kata-kata dengan lebih daripada tahap telegraf.
Subjek kajiannya yaitu :
Sampel dari seorang kanak-kanak perempuan Iban yang bertutur dalam
bahasa Iban Kawasan Bahagian Dua-Betong. Bahasa tersebut merupakan bahasa
ibu. Anak tersebut tinggal bersama-sama dengan keluarga ibu bapanya sendiri serta
adik perempuannya yang berumur setahun. Subjeknya bernama Joyceline Ritha
Mastralia lahir pada tanggal 24 Desember 2002 anak tersebut saat diteliti berusia 3
tahun 5 bulan.
Hasil dari penelitian yaitu:
Aspek linguistik yang dianalisis dalam kajian ini ialah sintaksis. Analisis akan
dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Kaedah kuantitatif melibatkan analisis
distribusi dan perkiraan MLU sebagai satu kaedah menentukan perkembangan
bahasa anak tersebut.
Menggunakan pendekatan interaksi dengan kedua orangtua yaitu ibu, bapa
dan adiknya. Dengan menggunakan alat rekam. Hasilnya mendapatkan data tentang
pengalaman subjek dalam berbahasa sehari-hari. Data dikumpulkan dengan transkip
rekaman wawancara terhadap subjek yang diteliti, ibu, bapa dan adiknya.
Dari data yang diperoleh bahwa subjek (Joy) sering mengatakan satu kata
kata sebanyak 40% daripada keseluruhan yang diucapkan, diikuti dua kata sebanyak
26% dan tiga kata atau empat kata sebanyak 14% yang diucapkan. Joy mengalami
kesulitan ketika harus mengucapkan kata yang biasa kedua orangtua dan adiknya
ucapkan, Joy mampu mengucapkan beberapa kata yang sudah dikenalnya. Seperti
enggau papa, duit aku, meli gitar dan lain-lain.
Dari analisis berdasarkan Struktur Sintaksis ucapan Joy dibuat berdasarkan
kombinasi struktur kata satu dengan kata kompleks. Dari 50 kata yang diucapkan
Joy hanya terdapat 2 kata kompleks. Kata komplek sama dengan seperti kata
hubung dan. Joy menggunakan bahasa Melayu.

10

Bahwa pola bahasa yang digunakan Joy sama seperti pola bahasa pada
umumnya anak-anak gunakan yang masih kurang mampu menggunakan kata atau
kalimat panjang atau kata yang lengkap. Anak-anak lebih menguasai kata nama dan
kata kerja karena lebih dominan dalam penggunaannya sehingga anak-anak
menyampaikan apa yang ingin diucapkannya. Selain kata nama dan kata kerja,
anak-anak cepat menguasai juga kata nama terutama nama benda

dan nama

orang. Dalam melakukan penelitian Joy, bapa dan ibunya hampir sekata karena
menjawab berupa soal yang diajukan antara Joy dengan ayah dan ibunya.
Menggunakan MLU (Mean Length of Utterance) atau Min Panjang Ujaran
merupakan satu jenis indeks untuk mengira perkembangan atau penguasaan
bahasa anak-anak secara umum. MLU bukanlah penentu mutlak untuk mengukur
perkembangan bahasa seseorang anak-anak.
Kesimpulan dari jurnal tentang Pemerolehan bahasa kanak-kanak: satuan
analisis sintaksis terhadap ucapan Joy yang berusia 3 tahun 5 bulan ialah:
1. Analisis ucapan menunjukkan Joy mempunyai MLU 2.38 yaitu satu tahap yang di
bawah jangkauan umurkronologinya dalam perkembangan penguasaan bahasa
anak-anak mengikuti Browns Stages Of Development.
2. Subjek (Joy) kajian anak-anak menggunakan berbagai kata yang berubah-ubah
mengikuti situasi
3. Ucapan Joy masih terikat dengan bahasa holofrasa dan telegrafik
4. Joy lebih banyak menggunakan 2 kata
5. Kata nama lebih banyak diucapkan Joy
6. Dalam penelitian Joy hanya sebagai subjek yang menjawab pertanyaan

11

B. PERSEPSI TERHADAP UJARAN2


Ujaran adalah suara murni (tuturan), langsung, dari sosok yang berbicara. Jadi
ujaran itu adalah sesuatu hal yang berupa kata, kalimat, gagasan, yang keluar dari
mulut manusia yang mempunyai arti. Dengan adanya ujaran ini maka akan muncul
lah makna sintaksis, semantik, dan pragmatik.
Persepsi adalah

sebuah

proses

saat

individu

mengatur

dan

menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi


lingkungan mereka. Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah
dilakukan oleh manusia karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang
meluncur tanpa ada batas waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain.
Ketika seseorang berbicara atau bernyanyi, indera pendengaran kita mampu
membedakan ciri bunyi yang satu dengan yang lainnya. Indera pendengaran mampu
menangkap dan memahami rangkaian bunyi vokal dan konsonan yang membentuk
sebuah tuturan, cepat-lambat tuturan, dan nada tuturan yang dihasilkan oleh seorang
penutur. Seorang penguji mencoba dalam sebuah media elektronik dituntut memiliki
kepekaan dalam persepsi terhadap bunyi bahasa yang yang dihasilkan oleh calon
pembawa acara. Ia harus mampu menangkap ketepatan bunyi vokal dan konsonan.
Selain itu, ia harus mampu menangkap cepat-lambat, tekanan, serta nada bicara si
calon pembawa acara tersebut. Seorang komentator dalam acara kompetisi
menyanyi yang populer di televisi dituntut mampu menangkap ketepatan nada yang
dihasilkan oleh si penyanyi.
Berdasarkan uraian diatas, persepsi terhadap bunyi bahasa yang dihasilkan
oleh alat bicara dikelompokan menjadi dua, yakni

Persepsi terhadap bunyi yang berupa satuan struktural, yaitu vokal dan
konsonan

Persepsi terhadap bunyi yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan, dan


nada.

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik, Kajian Teoritik.Rineka Cipta : Jakarta


Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

12

Dalam linguistik, bunyi-bunyi vokal dan konsonan yang kita dengar disebut
bunyi segmental. Bunyi bahasa yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan,
dan nada disebut bunyi suprasegmental atau prosodi.
Perhatikan tiga ujaran berikut : a) Bukan angka, b) Buka nangka c) Bukan
nangka. Meskipun ketiga ujaran ini berbeda maknanya satu dari yang lain, dalam
pengucapannya ketiga bentuk ujaran ini bisa sama.
Di samping itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali
bunyi itu muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan di
mana bunyi itu berada. Bunyi [b] pada kata buru, misalnya, tidak persis sama dengan
bunyi [b] pada kata biru . Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u/ yang
mengikutinya sehingga sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir dalam
pembuatan bunyi ini. Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan diucapkan dengan bibir
yang melebar pada kata biru karena bunyi /i/ merupakan bunyi vokal depan dengan
bibir melebar.
Namun demikian, manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi
bahasanya dengan baik. Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahaptahap tertentu. Pada dasarnya ada tiga tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi
(Clack & Clark, 1977) :
1. Tahap auditori: Pada tahap ini manusia menerima ujaran sepotong demi
sepotong. Ujaran ini kemudian ditanggapi dari segi fitur akustiknya. Konsepkonsep seperti titik artikulasi, cara artikulasi, fitur distingtif, dan VOT (Voice Onset
Time) sangat bermanfaat di sini karena awal seperti inilah yang memisahkan
satu bunyi dari bunyi yang lain. Bunyi-bunyi dalam ujaran itu kita simpan dalam
memori auditori kita.
2. Tahap fonetik : Bunyi-bunyi itu kemudian kita identifikasi. Dalam proses mental
kita, kita lihat, misalnya apakah bunyi tersebut [+konsonantal], [+vois], [+nasal],
dst. Begitu pula lingkungan bunyi itu : apakah bunyi tadi diikuti oleh vokal atau
oleh konsonan. Kalau oleh vokal, vokal macam apa vokal depan, vokal
belakang, vokal tinggi, vokal rendah, dsb. Seandainya ujaran itu adalah Bukan
nangka , maka mental kita menganalisis bunyi /b/ terlebih dahulu dan
menentukan bunyi apa yang kita dengar itu dengan memperhatikan halhal seperti titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur distingtifnya. Kemudian

13

VOTnya juga diperhatikan karena VOT inilah yang akan menetukan kapan
getaran pada pita suara itu terjadi.
Segmen-segmen bunyi ini kemudian kita simpan di memori fonetik. Perbedaan
antara memori auditori dengan memori fonetik adalah bahwa pada memori auditori
semua variasi alofonik yang ada pada bunyi itu kita simpan sedangkan pada memori
fonetik hanya fitur-fitur yang sifatnya fonemik saja. Misalnya, bila kita mendengar
bunyi [b] dari kata buntu maka yang kita simpan pada memori auditori bukan fonem
/b/ dan bukan hanya titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur-fitur distingtifnya saja
tetapi juga pengaruh bunyi /u/ yang mengikutinya. Dengan demikian maka [b] ini
ssedikit banyak diikuti oleh bundaran bibir (lip rounding) . Pada memori fonetik, halhal seperti ini sudah tidak diperlukan lagi karena begitu kita tangkap bunyi itu
sebagai bunyi /b/ maka detailnya sudah tidak signifikan lagi. Artinya, apakah /b/ itu
diikuti oleh bundaran bibir atau tidak, tetap saja bunyi itu adalah bunyi /b/.
Analisis mental yang lain adalah untuk melihat bagaimana bunyi-bunyi itu
diurutkan karena urutan bunyi inilah yang nantinya menentukan kata itu kata apa.
Bunyi /a/, /k/, dan /n/ bisa membentuk kata yang berbeda bila urutannya berbeda.
Bila /k/ didengar terlebih dahulu, kemudian /a/ dan /n/ maka akan terdengarlah bunyi
/kan/; bila /n/ yang lebih dahulu, maka terdengarlah bunyi /nak/.
3. Tahap fonologis : Pada tahap ini mental kita menerapkan aturan fonologis pada
deretan bunyi yang kita dengar untuk menetukan apakah bunyi-bunyi tadi sudah
mengikuti aturan fonotaktik yang pada bahasa kita. Untuk bahasa Inggris,
bunyi /h/ tidak mungkin memulai suatu suku kata. Karena itu, penutur Inggris
pasti tidak akan menggabungkannya dengan vokal. Seandainya ada urutan bunyi
ini dengan bunyi yang berikutnya, dia pasti akan menempatkan bunyi ini dengan
bunyi di mukanya, bukan di belakangnya. Dengan demikian deretan bunyi /b/, /e/,
/n/,

/g/,

/i/,

dan /s/

pasti

akan

dipersepsi

sebagai beng dan is ,

tidak

mungkin be dan ngis.


Orang Indonesia yang mendengar deretan bunyi /m/ dan /b/ tidak mustahil
akan mempersepsikannya

sebagai /mb/ karena fonotaktik dalam bahasa kita

memungkinkan urutan seperti ini seperti pada kata mbak dan mbok meskipun keduaduanya pinjaman dari bahasa Jawa. Sebaliknya, penutur Inggris pasti akan
memisahkan kedua bunyi ini ke dalam dua suku yang berbeda.

14

Kombinasi bunyi yang tidak dimungkinkan oleh aturan fonotaktik bahasa


tersebut pastilah akan ditolak. Kombinasi /kt/, /fp/, atau /pk/ tidak mungkin memulai
suatu suku sehingga kalau terdapat deretan bunyi /anaktunggal/ tidak mungkin akan
dipersepsi sebagai /ana/ dan /ktunggal/ secara mental dengan melalui proses yang
sama. Sehingga akhirnya semua bunyi dalam ujaran itu teranalisis. Yang akan
membedakan antara bukan nangka, bukan angka, dan buka nangka adalah jeda
(juncture) yang terdapat antara satu kata dengan kata lainnya.
1. MODEL-MODEL UNTUK PERSEPSI
Dalam rangka memahami bagaimana manusia mempersepsi bunyi sehingga
akhirnya nanti bisa terbentuk komprehensi, para ahli psikolinguistik mengemukakan
model-model teoritis yang diharapkan dapat menerangkan bagaimana proses
persepsi itu terjadi. Sampai saat ini ada empat model teoritis yang telah diajukan:
a. Model Teori Motor untuk Persepsi Ujaran
Model yang diajukan oleh Liberman dkk ini, yang dalam bahasa Inggris disebut
sebagai Motor Theory of Speech Perception, menyatakan bahwa manusia
mempersepsi bunyi dengan memakai acuan seperti pada saat dia memproduksi
bunyi itu (Liberman dkk 1967 dalam Gleason dan Ratner, 1998). Seperti dinyatakan
sebelumnya, bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh bunyi-bunyi lain di
sekitarnya. Namun demikian, bunyi itu akan tetap merupakan fonem yang sama,
meskipun wujud fonetiknya berbeda. Persamaan ini disebabkan oleh artikulasinya
yang sama pada waktu mengucapkan bunyi tersebut. Jadi, meskipun bunyi /b/ pada
kata /buka/ dan /bisa/ tidak persis sama dalam pengucapannya, kedua bunyi ini
tetap saja dibuat dengan titik dan cara artikulasi yang sama. Dengan demikian,
seorang penutur akan menganggap kedua bunyi ini sebagai dua alofon dari satu
fonem yang sama, yakni, fonem /b/. Dengan kata lain, meskipun kedua bunyi itu
secara fonetik berbeda, kedua bunyi ini akan dipersepsi sebagai satu bunyi yang
sama.
b. Model Analisis dengan Sintesis
Manusia bervariasi dalam ujaran mereka, tergantung pada berbagai faktor
seperti keadaan kesehatan, keadaan sesaat (gembira atau sedih), dan keadaan alat
ujuran (sedang merokok atau tidak). Dengan demikian, kalau kita hanya
menggantungkan pada fitur akustiknya saja, maka sebuah kata bisa saja memiliki
15

banyak bentuk yang berbeda-beda. Karena itu, diajukanlah suatu model yang
dinamakan Model Analisis dengan Sintesis (Analysis-by-Synthesis).
Dalam model ini dinyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem produksi
yang dapat mensintesiskan bunyi sesuai dengan mekanisme yang ada padanya
(Stevens 1960, dan Stevens dan Halle 1967, dalam Gleason dan Ratner 1998).
Waktu dia mendengar suatu deretan bunyi, dia mula-mula mengadakan analisis
terhadap bunyi-bunyi itu dari segi fitur distingtif yang ada pada masing-masing bunyi
itu. Hasil dari analisis ini dipakai untuk memunculkan atau mensintesiskan suatu
ujaran yang kemudian dibandingkan dengan ujaran yang baru dipersepsi. Bila antara
ujaran yang dipersepsi dengan ujaran yang disintesiskan itu cocok maka
terbentuklah persepsi yang benar. Bila tidak, maka dicarilah lebih lanjut ujaran-ujaran
lain untuk akhirnya ditemukan ujaran yang cocok.
Sebagai contoh, bila penutur bahasa Indonesia mendengar deretan bunyi
/pola/ maka mula-mula dianalisislah ujaran itu dari segi fitur distingtifnya dimulai
dengan /p/ yang berfitur [+konsonantal], [-kontinuan], [+tak-vois], dsb. Proses ini
berlanjut

untuk

bunyi

/o/,

dan

seterusnya.

Setelah

semuanya

selesai, disintesiskanlah ujaran itu untuk memunculkan bentuk-bentuk yang mirip


dengan bentuk itu seperti kata /mula/, kemudian /pula/, lalu /kola/, /bola/ sampai
akhirnya ditemukan deretan yang persis sama, yakni, /pola/. Baru pada saat itulah
deretan tadi telah dipersepsi dengan benar.
c. Fuzzy Logical Model
Menurut model ini (Massaro, 1987, 1989) persepsi ujaran terdiri dari tiga
proses : evaluasi fitur, integrasi fitur, dan kesimpulan. Dalam model ini ada bentuk
prototipe, yakni, bentuk yang memiliki semua nilai ideal yang ada pada suatu kata,
termasuk fitur-fitur distingtifnya. Informasi dari semua fitur yang masuk dievaluasi,
diintegrasi, dan kemudian dicocokkan dengan deskripsi dari prototipe yang ada pada
memori kita. Setelah dicocokkan lalu diambil kesimpulan apakah masukan tadi cocok
dengan yang terdapat pada prototipe.
Sebagai misal, bila kita mendengar suku yang berbunyi /ba/ maka kita
mengaitkannya dengan suku kata ideal untuk suku ini, yakni, semua fitur yang ada
pada konsonan /b/ maupun pada vokal /a/. Evaluasi fitur menilai derajat kesamaan
masing-masing fitur dari suku yang kita dengar dengan masing-masing fitur dari
prototipe kita. Evaluasi ini lalu diintegrasikan dan kemudian diambil kesimpulan
16

bahwa suku kata /ba/ yang kita dengar itu sama (atau tidak sama) dengan suku kata
dari prototipe kita.
Model ini dinamakan fuzzy (kabur) karena bunyi, sukukata, atau kata yang kita
dengar tidak mungkin persis 100% sama dengan prototipe kita. Orang yang sedang
mengunyah sesuatu sambil mengatakan /ba(rah)/ pasti tidak akan menghasilkan /ba/
yang sama yang diucapkan oleh orang yang tidak sedang mengunyah apa-apa.
Begitu pula orang yang sedang kena flu pasti akan menambahkan bunyi sengau
pada suku ini; akan tetapi, suku kata /ba/ yang dengan bunyi sengau ini akan tetap
saja kita anggap sama denga prototipe kita.
d. Model Cohort
Model untuk mengenal kata ini terdiri dari dua tahap:

Pertama, tahap di mana informasi mengenai fonetik dan akustik bunyi-bunyi


pada kata yang kita dengar itu memicu ingatan kita untuk memunculkan katakata lain yang mirip dengan kata tadi. Bila kita mendengar kata /prihatin/ maka
semua kata yang mulai dengan /p/ maka teraktifkan: pahala, pujaan, priyayi,
prakata, dsb. Kata-kata yang termunculkan inilah yang disebut sebagai cohort.

Pada tahap kedua, terjadilah proses eliminasi secara bertahap. Waktu kita
kemudian mendengar bunyi /r/ maka kata pahala dan pujaan akan tersingkirkan
karena bunyi kedua pada kata kedua ini adalah /r/ seperti pada kata targetnya.
Kata priyayi dan prakata masih menjadi calon kuat karena kedua kata ini memiliki
bunyi /r/ setelah /p/. Pada proses berikutnya, hanya priyayi yang masih bertahan
karena kata prakata memliki bunyi /a/, bukan /i/, pada urutan ketiganya. Akan
tetapi, pada proses selanjutnya kata priyayi juga tersingkirkan karena pada kata
tergetnya bunyi yang ke-empat adalah /h/ sedangkan pada priyayi adalah /y/.
Dengan demikian maka akhirnya hanya ada satu kata yang persis cocok dengan
masukan yang diterima oleh pendengar, yakni, kata prihatin.

2. PERSEPSI UJARAN DALAM KONTEKS


Di atas telah digambarkan bagaimana manusia memproses ujaran yang kita
dengar secara satu per satu. Akan tetapi, dalam kenyataannya bunyi itu tidak
diujarkan secra terlepas dari bunyi yang lain. Bunyi selalu diujarkan secara berurutan
17

dengan bunyi yang lain sehingga bunyi-bunyi itu membentuk semacam deretan
bunyi. Lafal bunyi yang diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain tidak
sama dengan lafal bunyi itu bila dilafalkan secara sendiri-sendiri. Bunyi /p/ yang
diujarkan sebelum bunyi /i/ (seperti kata pikir) akan berbeda dengan bunyi /p/ yang
diujarkan sebelum bunyi /u/ ( seperti pada kata pukat). Pada rentetan yang pertama,
bunyi /p/ ini akan terpengaruh oleh bunyi /i/ sehngga ucapan untuk /p/ sedikit banyak
sudah diwarnai oleh bunyi /i/, yakni, kedua bibir sudah mulai melebar pada saat
bunyi /p/ diucapkan. Sebaliknya, bunyi /p/ pada /pu/ diucapkan dengan kedua bibir
bundarkan, bukan dilebarkan seperti pada /pi/.
Namun demikian, sebagai pendengar kita tetap saja dapat menentukan bahwa
kedua bunyi /p/ yang secara fonetik berbeda merupakan satu bunyi yang secara
fonemik sama. Karena itulah maka betapa pun berbedanya lafal suatu bunyi,
pendengar akan tetap menganggapnya sama apabila perbedaan itu merupakan
akibat dari adanya bunyi lain yang mempengaruhinya. Dengan kata lain, alofonalofon suatu bunyi akan tetap dianggap sebagai satu fonem yang sama.
Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi bisa pula dipengaruhi oleh
kecepatan ujaran. Suatu bunyi yang diucapkan dengan bunyi-bunyi yang lain secara
cepat akan sedikit banyak berubah lafalnya. Akan tetapi, sebagai pendengar kita
tetap saja dapat memilah-milihnya dan akhirnya menentukannya. Pengetahuan kita
sebagai penutur bahasa membantu kita dalam proses persepsi.
Faktor lain yang membantu kita dalam mempersepsi suatu ujaran adalah
pengetahuan kita tentang sintaksis maupun semantik bahasa kita. Suatu bunyi yang
terucap dengan tidak jelas dapat diterka dari wujud kalimat di mana bunyi itu
terdapat. Bila dalam mengucapkan kalimat Dia sedang sakit kita terbatuk persis pada
saat kita akan mengucapkan kata sakit, sehingga kata ini kedengaran seperti
/keakit/, pendengar kita akan dapat menerka bahwa kata yang terbatukkan itu adalah
sakit dari konteks di mana kata itu dipakai atau dari perkiraan makna yang dimaksud
oleh pembicara.
Dari gambaran ini dapatlah dikatakan bahwa pengaruh konteks dalam persepsi
ujaran sangatlah besar. Dari sintaksisnya kita tahu bahwa urutan pronomina, kala
progsesif, dan adjektiva adalah urutan yang benar. Dari semantiknya terdapat pula
kecocokan antara ketiga kata ini. Dari konteksnya ketiga kata ini mmemberikan
makna yang layak.

18

KESIMPULAN
Persepsi ujaran ternyata tidaklah sesederhana yang kita pikirkan, di dalamnya
terdapat proses atau tahapan bagaimana suatu persepsi terhadap suatu ujaran itu
terjadi. Melalui tahapan-tahapan tersebut kita sebagai pendengar dapat menafsirkan
bunyi yang diujarkan oleh penutur dan memahaminya secara tepat dan sesuai
dengan maksud si penutur.
Persepsi ujaran juga mempunyai beberapa model dimana pada masingmasing model terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana sebuah
persepsi ujaran itu terbentuk, seperti keadaan lingkungan, keadaan psikologis si
penutur, dan juga kemampuan bahasa si pendengar atau yang memberikan
persepsi.

REVIEW JURNAL 2

Judul Jurnal

: ANALISIS KEKELIRUAN BERBAHASA PADA PENDERITA AFASIA


BROCA PASCASTROKE: KAJIAN PSIKOLINGUISTIK

Peneliti

: Lilis Hartini, Dadang Sudana, Syihabuddin

Di reveiw

: Nur Ali (46113310022)

Matakuliah

: Psikologi Kognitif

Fakultas

: Psikologi Universitas Mercu Buana Bekasi


Pembahasan Review Jurnal

Jurnal ini membahas tentang suatu kekeliruan tentang berbahasa pada


seorang yang mengidap penyakit Afasia Broca dalam pasca stroke (Afasia Broca
adalah hilangnya kemampuan untuk memproduksi atau memahami bahasa. Hal ini
disebabkan lesi kortikal di otak kiri, tepatnya di daerah broca, yang mengkhususkan
diri dalam tugas-tugas pemproduksian bahasa.
afasia broca

Penderita stroke

yang terkena

sangat jarang berbicara spontan, hilangnya kemampuan dalam

mengujarkan atau menirukan ujaran-ujaran bunyi vokal, berbicara dengan susunan


kalimat yang tidak runtun, seringkali mensubstitusi kata-kata dengan suara yang
mirip namun pengertiannya terhadap bahasa tidak terganggu).
Dalam penelitian ini peneliti menemukan beberapa gangguan dalam berbahasa
dari segi linguistik dan persepsi dari ujaran si penderita tersebut, dan gangguan
19

tersebut adalah gangguan fonologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Penelitian ini
melakukan pendekatan kualitatif, artinya data yang dikumpulkan berasal dari hasil
wawancara, observasi, dokumen pribadi, dan catatan memo. Subjek peneliti adalah
seorang yang mengidap penyakit Afasia selama delapan tahun lamanya.

Teori yang dipakai peneliti ini meliputi, teori tentang pengertian dan
penjelasan tentang afasia, kemudian tentang linguistik, dan psikolinguistik.
Analisi yang didapat dari penelitian ini adalah kekeliruan dalam berbahasa pada
informan dan hal ini dapat mengakibatkan akan adanya kesalahan dalam persepsi si
pendengar. Contoh dalam hasil data yang didapat dalam penelitian, para peneliti
memaparkan beberapa dialog yang akan membuat si pendengar salah tanggap atau
kekeliruan dalam persepsi,
(1) Informan : itu ucing ku lauk!
(2) Informan : ihh... tangkal dina hileud meni banyak kitu
Data tersebut menggunakan bahasa sunda karena informan adalah orang sunda.
Pada data tersebut bila diartikan kedalam bahasa sunda akan nampak kekeliruan
dalam percakapannya, seperti kalimat (1) artinya itu kucing (dimakan) ikan, pada
kalimat tersebut informan melepaskan verb pasif sehingga menimbulkan kekeliruan
dalam ujaran informan tersebut.

Kesimpulannya dalam penelitian ini adalah sulitnya membuat persepsi


terhadap ujaran seseorang bila kalimat yang dikeluarkannya banyak mengalami
hambatan, seperti dari segi fisik, kecepat dalam ujaran, sampai kekeliruan dalam
segi arti kalimat. Untuk menyiasati hal tersebut bila terjadi dan agar tidak ada
persepsi yang salah maka si pendengar haruslah melihat dari gesture tubuh si
informan (menurut jurnal ini), dan pengetahuan kita terhadap suatu ujaran agar kita
dapat menduga atau menerka kepastian ujaran si informan tersebut.

Saya mengambil jurnal ini karena saya ingin mengetahui apakah kekeliruan
persepsi ujaran tidak hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang keadaannya lelah,
tergesah-gesah, konsentrasinya terpecah, dan dalam keadaan emosi (menurut
simpulan jurnal) melainkan dengan seorang yang mengidap penyakit? Dan akhirnya
keingin tahuan saya terbukti bahwa kekeliruan dalam persepsi ujaran dapat
dilakukan oleh seorang yang mengidap penyakit juga.

20

C. PROSES-PROSES PEMAHAMAN BAHASA

1. MODEL-MODEL PROSES PEMAHAMAN BAHASA


1.1.

Model Segitiga Leksikon

Peneliti bahasa menggunakan istilah leksikon untuk mengartikan seluruh


rangkaian representasi mental kata. (Kata ini berasal dari bahasa latin legere, yang
berarti membaca sebuah hubungan yang jelas dengan makna). Sering kali leksikon
digambarkan sebagai kamus mental, penyimpanan dari apa yang kita ketahui
tentang kata, apa maknanya, dan bagaimana penggunaannya. Perbandingan ini,
meski bermanfaat, tidaklah benar. Representasi mental kita bukanlan daftar fakta
mengenai pengucapan kata, bagai turunan, dan makna dan representasi bukan
dalam urutan alphabet yang merupakan karakteristik utama sebuah kamus.

Understanding of
language thought

Meanin
g

Perception
Of speech

Reading

Spelling
(orthograph
y) cat

Sound
(phonology
) [Kt]

Writing

Speakin
g

Model Segitiga Leksikon


Model ini merefleksikan keyakinan peneliti yaitu informasi mengenai kata direpresentasikan
dalam sebuah jaringan yang mengaitkan makna, suara dan ejaan.

Penekanannya ada pada pengetahuan leksikal sebagai pemetaan antara


satu level representasi dan level lain (Seidenberg & McClelland, 1989).
3

Edward E. Smith, Stephen M. Kosslyn. 2014. PSIKOLOGI KOGNITIF Pikiran dan Otak

YOGYAKARTA : PUSTAKA PELAJAR

21

Pertimbangan ini dan pertimbangan lain membuat peneliti memahami representasi


kata sebagai jaringan yeng terdiri dari setidaknya tiga komponen utama yaitu ejaan,
suara dan makna.
Dalam model segitiga leksikon ini, persepsi tuturan mengaitkan sepresentasi
suara fonologi kata (titik kanan bawah dari segitiga) dengan representasi makna.
Membaca adalah tindakan mengaitkan ejaan, atau ortografi, kata dengan makna.
Produksi bahasa mengaitkan makna kata dengan representasi suara dengan
mengucapkannya dengan keras atau dengan representasi ejaan untuk tulisan.
Jenis

Persepsi

Ambiguitas

Ikatan kata

Anda mendengar skrim

Ice cream? I scream?

Ejaan / Ucapan dan makna


kata

"wind"
Anda membaca "wind"

seperti

hembusan?

"wind"
dalam jam? "permit" seperti
dalam
mengijinkan

"permit"

dalam

izin
Anda
Ejaan dan penekanan kata

mendengat

atau

membaca"

Bagian terluar sebuah batang?


"bark"

Suara

(gonggongan/lapisan

kayu)

yang dibuat anjing?

Anda
Struktur kalimat

mendengar

atau Apakah

membaca

Mary

sedang

membaca

"Mary read the book on the


Titanic

kisah Titanic? Apakah Mary

sedang membaca buku ketika


Anda

mendengar

atau

berada di kapal Titanic?

membaca

Kata ganti

akan menang ? Apakah Susan

Apakah Susan mengira Mary


going

"Susan told Mary that she


was

mengira Susan akan menang?

to win

22

Model segitika leksikon ini menunjukkan bagaimana peneliti membuat hipotesis


mengenai bagaimana aspek-aspek yang berbeda dari pengetahuan kata dikaitkan
tetapi model ini tidak menunjukkan proses actual yang terjadi dalam pemahaman
dan produksi bahasa. Yang dilakukan model ini adalah memberikan sebuah
kerangka untuk mendalami beberapa jenis proses pemahaman dengan mengaitkan
satu bagian segitiga (misalnya representasi suara) dengan bagian lain (misalnya
representasi makna).

1.2.

Ambiguitas : Tantangan Umum dalam Memahami

Pemahaman merupakan tindakan yang kompleks. Alasannya adalah sebagian besar


hubungan antarsuara, makna, dan ejaan bersifat arbiter tidak ada kaitan antara
suara kata kucing yang terkait dengan klasifikasi hewan tempat ia digolongkan.
Fitur lain dari bahasa yang menimbulkan kesulitan dalam mengaitkan level
representasi linguistic yang berbeda adalah ambiguitas yang di dalam bahasa
merupakan property yang memungkinkan adanya lebih dari satu interpretasi
terhadap suara, kata, frase, atau kalimat.
Bahasa membawa sejumlah besar ambiguitas di tiap level, sebuah
ambiguitas di tiap level ini harus diselesaikan sebelum kita bisa memahami makna
perkataan seseorang. Mari kita perhatikan ambiguitas di satu level makna kata.
Lihatlah objek di sekeliling anda saat ini. Anda pasti melihat buku dan mungkin
sebuah kursi, lampu, dan pena. Keempat kata ini, book, chair, lamp, dan pen adalah
kata benda dan kata kerja, sehingga setiap kali anda mendengar atau membaca kata
ini, anda harus menentukan apakah pembicara memaksudkannya sebagai objek
(noun)atau tindakan (verb). Beberapa kata, misalnya pena memilki lebih banyak
makna, yaitu dua kata benda (implementasi tulisan dan pendekatan terhadap hewan)
dan dua kata kerja (to pen a sonnet, to pen up the pigs). Lihat disekitar anda sekali
lagi. Anda akan cenderung melihat objek dengan nama-nama yang ambigu (mungkin
saja, table, floor, dan page) dari pada objek yang hanya memiliki satu nama yang
bermakna jelas.
Contoh ambiguitas dalam bahasa
Latihan menunjukan karakterisktik dasar dari kata. Ambiguitas menyebar
dalam kata yang umum dalam bahasa dan kata-kata yang tidak memilki beragam
makna misalnya, ozone, comma dan femur biasanya merupakan istilah teknis
dan merupakan kata yang tidak lazim. Bagaimana hal ini berkaitan dengan model
23

segitiga? Artinya dalam ejaan tunggal atau pemetaan suara dalam berbagai kata
memiliki makna di bagian atas segitiga. Hasilnya, untuk sebagian besar kata di
sebagian besar waktu, kita harus mensortir berbagai makna meski kita biasanya
hanya menyadari satu interprestasi. (permainan kata dan lelucon merupakan
pengecualian. Humor tergantung pada kesadaran kita mengenai makna lain dari kata
yang ambigu).
Sebuah tema lazim yang muncul dalam semua penelitian mengenai resolusi
ambiguitas adalah integrasi informasi dari-bawah-ke-atas dan dari-atas-ke-bawah.
Informasi dari-bawah-ke-atas berasal langsung dari apa yang kita persepsikan. Saat
ini, saat anda membaca, satu sumber informasi dari-bawah-ke-atas tercetak di
halaman ini. Dalam model segitiga, informasi dari-bawah-ke-atas bergerak dari dua
titik bawah segitiga, ejaan dan informasi suara, menuju titik atas yaitu makna.
Informasi dari-atas-ke-bawah berasal dari informasi di memori jangka panjang yang
membantu kita menginterpretasikan apa yang kita persepsikan dan menginterpretasi
informasi dalam konteks di mana informasi dari-bawah-ke-atas terjadi. Dalam model
segitiga, informasi dari-atas-ke-bawah juga menyertakan pengaruh dari makna
hingga representasi ejaan ketika membaca. Oleh karena informasi dari-bawah-keatas, misalnya teks yang dicetak, merupakan sesuatu yang sangat berbeda dari
representasi dari-atas-ke-bawah konteks makna dan informasi lain di memori jangka
panjang, belum jelas sepenuhnya bagaimana dua bentuk informasi yang berbeda itu
terintegrasi satu sama lain untuk membantu persepsi. Tentu saja, pernyataan yang
berbeda mengenai bagaimana informasi tersebut terintegrasi menghasilkan
beberapa kontroversi esar dalam penelitianbahasa dewasa ini. Di bagian berikut, kita
akan melihat peran informasi dari-bawah-ke-atas dan dar-atas-ke-bawah dalam
persepsi tuturan.

1.3.

Persepsi Tuturan

Ketika seseorang berbicara dengan anda, fluktuasi tekanan udara terjadi di


telinga anda dan entah bagaimana anda mampu mengubah gelombang suara ini
menjadi sesuatu yang bisa dipahami terkait dengan apa yang dikatakan si
pembicara. Satu langkah kunci dalam situasi yang luar biasa ini terdiri dari
pengidentifikasian batasan antara kata-kata yang diucapkan di pembicara. Ini adalah
sebuah area di mana persepsi membaca dan tuturan sangat berbeda. Dalam bahasa
inggris dan dalam sebagian besar system tulisan lain ada ruang putih antara katakata yang tercetak di halaman sementara dalam sinyal tuturan batasan antarkata
24

tidak ditandai oleh jeda. Anda memiliki persepsi sadar ketika mendengar kata-kata
individual dalam tuturan tetapi pada kenyataannya anda mendengar sesuatu seperti
ini : katakataterhubungdalamsinyaltuturanyangberkelanjutan. Memisahkan kata-kata
tersebut ketika ditulis akan memberikan efek pemahaman. Contoh bagaimana
tuturan sebenarnya terlihat ditunjukkan Spektogram suara. Spektogram adalah
tampilan visual dua dimensi tuturan di mana waktu ditunjukkan di satu poros,
frekuensi suara (yang berkaitan dengan tinggi nada) di poros lain, dan intensitas
suara di tiap titik waktu dan frekuensi diindikasikan oleh tingkat kegelapan tampilan
(dan dengan demikian spasi putih menunjukkan kesenyapan). Spektogram pada
tampilan di bawah menunjukkan kalimat yang diucapkan Kami pergi setahun yang
lalu. Sebagian besar kata di dalam kalimat tidak dipisahkan oleh jarak da nada
beberapa jarak di tengah kata seperti dalam kata ago.

We were away a year ago (Kami Pergi Setahun yang Lalu)


Kalimat ini dipresentasikan dalam (a) sebuah spectogram dengan (b) lokasi kata yang
diindikasikan di bawah. Dalam Spektogram, kesenyapan (jeda) dalam sinyal tuturan
terbentuk vertical kosong. Perhatikan bahwa kalimat ini tidak memiliki jeda antara kata
dan satu-satunya kesenyapan sebenarnya ada dalam kata yang terjadi g dalam kata
ago.

Tanpa adanya jeda yang mengarahkan kita, bagaimana kita menemukan


ikatan kata ini? Sepertinya ketika kita mendengar tuturan, secara tidak sadar kita
melakukan tebakan yang cerdas berdasarkan campuran informasi dari-bawah-keatas dan dari-atas-ke-bawah (Altmann, 1990). Informasi dari-bawah-ke-atas
mencakup petunjuk dari sinyal tuturan secara langsung, misalnya regangan
kesenyapan ketika pembicara sedang berpikir. Informasi dari-atas-ke-bawah
mencakup pengetahuan mengenai fola fonem tipikal misalnya (b) dan (k) tidak umum
25

terletak bersebelahan dalam kata inggris (jadi jika anda mendengar (bk), maka (b)
kemungkinan merupakan huruf akhir dari suatu kata dan (k) adalah huruf awal dari
kata lain) (McQueen, 1998). Kita memiliki pengetahuan yang sangat detail mengenai
bahasa asli (atau bahasa lain yang fasih kita gunakan), tetapi pengetahuan ini
tidaklah membantu ketika kita mendengar seseorang menggunakan bahasa ini
dengan pola yang tidak familiar. Pembicara bahasa asing sepertinya berbicara terlalu
cepat dengan suara yang tidak beraturan dan tanpa ada batasan yang jelas
antarkata. (Bahasa Yunani kuno mengistilahkan orang asing ini sebagai barbaroi,
kaum barbar bukan karena mereka kasar tidak serta merta begitu tetapi karena
mereka terdengar berbicara seperti orang barbar ketimbang bahasa Yunani).
Sebaliknya, ketika kita mendengar sebuah bahasa yang sangat kita ketahui, kita
tidak mempersepsikan sinyal tuturan sebagai aliran yang berkelanjutan, karena
system persepsi kita melakukan pekerjaan yang sangat baik dengan menerka
batasan kata. Hasilnya adalah ilusi yang membuat batasan itu, dalam bentuk jeda,
terlihat benar-benar menjadi penanda fisik.
Masalah utama dalam persepsi tuturan adalah mengidentifikasikan fonem
dalam sinyal tuturan. Ada keberagaman yang besar terkait cara fonem dihasilkan.
Setiap pembicara memiliki suara yang berbeda dan aksen yang sedikit berbeda
(atau yang sama sekali berbeda). Kejelasan artikulasi produksi suara tuturan
bervariasi tergantung pada kecepatan tuturan, mood pembicara, dan banyak factor
lain. Artikulasi fonem juga tergantung pada fonem lain apa yang diartikulasikan
sebelum atau sesudahnya. Pikirkan bagaimana anda mengatakan (k) dalam kaya
key dan coo. Ucapkan kata-kata itu secara bergantian dan berhenti sebelum anda
mengeluarkan suara (k) dari mulut anda. Bagaimana bentuk bibir anda di tiap kata
ketika anda mengucapkan (k)? Anda akan mendapatai bibir anda secara berbeda
karena sebelum anda mengeluarkan suara (k), bibir anda telah bersiap-siap
menghasilkan huruf vocal setelahnya. Ketika huruf vocal berupa ee di kaya key,
bibir anda akan terbuka lebar, tetapi ketika setelahnya ada oo dari kata coo maka
bibir anda akan berbentuk bulat. Tumpang tindih fonem ini di dalam tuturan disebut
dengan koartikulation dan memiliki dampak yang besar pada suara fonem tersebut.
Jika anda mengucapkan (k) pada kata key dan coo tanpa huruf vocal tetapi dengan
bibir anda yang melebar dan membulat seolah-olah anda akan mengucapkan kata
tersebut, maka anda akan mendengar (k) di kaya key memiliki tinggi nada yang lebih
tinggi dan terdengar berbeda dari (k) dalam kata coo. Fenomena koartikulation
menunjukkan bahwa tiap fonem diartikulasikan secara berbeda tergantung pada
fonem mana yang mendahului dan yang ada setelahnya.
26

Efek gabungan dari koartikulation, variasi antarpembicara, variasi dalam


kecepatan tuturan, dan banyak perubahan lain dalam cara orang berbicara
menunjukkan bahwa tiap fonem mungkin sata tidak pernah diartikulasikan dua kali
secara sama persis. Jumlah variasi yang tidak terhingga ini berarti secara prinsip
sulit untuk mengidentifikasikan fonem mana yang ada dalam sinyal tuturan. Hal ini
kembali diatasi dengan menggunakan informasi dari-bawah-ke-atas dan dari-ataske-bawah, khususnya informasi mengenai konteks di mana fonem diucapkan.
Dengan cara ini, fonem yang diucapkan dengan buruk atau bahkan yang hilang akan
digunakan melalui efek restorasi fonem (Warren, 1970).
Jenis informasi kontekstual lain dalam persepsi tuturan bukan berasal dari
apa yang kita dengar tetapi dari apa yang kita lihat. Seseorang yang sulit mendengar
mungkin berkata, saya mendengar anda dengan lebih baik ketika saya sapat
melihat wajah anda. Sesorang yang tidak sulit mendengar mungkin mengatakan hal
yang saa. Terlepas apakah pendengaran kita terganggu atau tidak, sejumlah
pemahaman berasal dari pembacaan bibir. Jika kita melihat wajah si pembicara
maka ini akan memberikan tambahan informasi mengenai fonem mana yang
diucapkan karena banyak fonem yang dihasilkan dari bentuk mulut. Ketidaksesuaian
antara suara tuturan yang anda dengar dan petunjuk visual dalam artikulasi dapat
membingungkan pikirkan ketika anda menonton animasi yang buruk atau film asing
yang dialih bahasakan menjadi bahasa inggris.
Kebingungan antara apa yang anda lihat dan apa yang anda dengar disebut
dengan efek McGurk yang dinamakan sesuai dengan penemunya Harry McGurk
(Massaro & Stork, 1998; McGurk & MacDonald. 1976). McGurk dan asisten peneliti,
John MacDonald, menggunakan video dan tape untuk merekan ibu yang sedang
mengajarkan pesepsi tuturan pada bayinya. Ketika mereka mengganti ucapan ibu
dengan kata ba dengan kata ga dan memainkan video itu, mereka terkejut ketika
mendapati ibu di video ketiga mengatakan da. Akhirnya mereka sadar bahwa
masalah bukan pada sulih suara. Jika mereka menutup mata mereka dan
mendengarkan rekaman audio, mereka dengan jelas mendengar ba. Persepsi da
ketika mereka menonton dan mendengar adalah ilusi yang muncul karena system
perseptual yang dipadukan dengan petunjuk dari rekaman video dan audio. Video
memperlihatkan kata ga di mana konsonan (g) dibuat dengan menggerakkan lidah
ke belakang mulut dan audio memperdengarkan bunyi ba dimana konsonan (b)
dibuat dengan bibir dirapatkan. Proses persepsi tuturan memadukan dua sinyal yang
bertentangan ini untuk menghasilkan persepsi pertengahan yaitu da dimana
konsonan (d) dibuat di tengah mulut.
27

Hasil yang kita bahas menunjukkan pentingnya pengintergrasian informasi


dari-atas-ke-bawah dan dari-bawah-ke-atas selama mempersepsikan tuturan, tetapi
hal ini tidak menunjukkan bagaimana informasi tersebut diintergrasikan. Diperkirakan
bahwa banyak pengenalan pada komponen dari pengintergrasian bekerja lewat
proses eliminasi yang tidak disadari ketika kita mempertimbangkan kata-kata yang
mungkin muncul, yang dibesut dengan cohort, yang cocok dengan sinyal tuturan
yang kita dengar, dan secara bertahap menyingkirkan kata-kata yang tidak cocok
dengan informasi dari-bawah-ke-atas dan dari-atas-ke-bawah yang tersedia
(Marslen-Wilson, 1984a). Dengan demikian, ketika anda mengenali suatu kata
contohnya kata awesome , anda akan mulai memulainya dengan serangkaian kata
yang dimulai dengan huruf vocal yang sama : awe, awesomw, awful, author,
audition, awkward, authentic, Australia, Austin. Saat anda mendengar (s) dalam
awesome, beberapa kata dalam cohort tidak lagi sesuai dengan sinyal tuturan
(informasi dari-bawah-ke-atas) dan dikeluarkan dari cohort tersebut, sehingga yang
hanya tertinggal hanya awesome, Australia, Austin.Di saat yang sama, anda juga
menembak batas kata, jadi cohort anda juga akan menyertakan sepasang kata yang
berbeda, awe dan some (Shilcock, 1990). Dengan sangat cepat, ketika makin
banyak sinyal tuturan yang dipersepsikan dan informasi dari-atas-ke-bawah
menunjukkan bahwa beberapa kemungkinan kata tidak masuk akal untuk dipakai
(misalnya, Austin bukanlah kata sifat), kata-kata yang tidak cocok yang tersisa akan
dikeluarkan dan hanya satu kata, awesome, yang tetap berada di cohort.
Dua bukti mendukung pandangan bahwa persepsi tuturan melibatkan
pertimbangan pada berbagai kemungkinan yang salah akan dibuang. Biktu pertama
berasal dari sifat rangkaian kata yang familiar. Meski beberapa kata sangat berbeda
dari kemungkinan lain ketika lebih banyak sinyal tuturan yang didengar, kata lain
menyerupai banyak kata lain melalui sinyal tuturan. Dalam contoh awesome , saat
anda mendengar huruf vocal aw dan konsonan s, ada sedikit kemungkinan yang
tertinggal di cohort awesome, Australia, Austin, awe, ditambah dengan permulaan
kata yang dimulai dengan s dan tidak ada lagi yang lain. Meskipun demikian, dua
suara pertama dari kata totallytotally, konsonan t dan huruf vocal o, memberikan
banyak kemungkinan dalam cohort totally, toast, tone, toe, told, Tolkien, toll, taupe,
Tody, token, toad, dan banyak lagi yang lainnya. Peneliti tuturan menjelaskan
perbedaan ini melalui istilah neighborhood density yaitu jumlah kata yang
terdengar serupa dalam bahasa. Awesome memiliki neighbor yang sedikit,
sementara totally memiliki neighborhood yang banyak dengan kata-kata serupa.

28

Jika peneliti memamng benar dalam meyakini bahwa kita mengenali katakata dengan mempertimbangkan kemungkinan kata-kata dalam cohort dan
mengeliminasi kata-kata yang tidak benar, maka makin banyak neighbor yang
dimiliki satu kata makin lama waktu yang diperlukan untuk mengeliminasi dan
sampai pada kata yang diucapkan. Hal ini telah dibuktikan melalui eksperiment.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa partisipan lebih cepat saat mengenali kata.
Misalnya awesome yang memiliki sedikit neighbor, dibandingkan kata-kata seperti
totally yang memiliki banyak neighbor yang membenarkan mengenai efek
neighborhood density (Luce & Pisoni, 1998).
Bukti kedua mengenai cohort dan proses eliminasi berasal dari observasi
respon yang tidak disengaja. Kita tidak memiliki perasaan sadar bahwa kita
mempertimbangkan banyak kemungkinan selama persepsi tuturan, tetapi model
cohort menunjukkan bahwa kandidat dalam cohort harus memunculkan tingkatan
aktifasi yang lebih besar dari pada kata yang dipertimbangkan. Jika demikian, kita
seharusnya mampu mengobservasi beberapa konsekuensi dari aktifasi ini dan hal ini
telah pula dibuktikan melalui eksperimen. Misalnya, dalam suatu penelitian partisipan
melihat objek di atas meja dan diminta untuk mengikuti instruksi yang mereka
dengar, misalnya angkat beaker (gelas kimia) (Allopena et al.,1998). Dalam
beberapa kondisi, objek di meja terdiri dari sebuah gelas kimia, mainan kumbang
beetle (beetle tumpang tindih dengan kata pertama beaker), speaker mainan
(speaker berima dengan beaker tidak tumpang tindih dengan suara pertama), dan
berbagai objek lain yang tidak memiliki bunyi yang tumpang tindih dengan beaker.
Peneliti memonitor gerakan mata partisipan yang memandangi berbagai objek di
meja yang mengidentifikasikan bahwa ketika mendengar beaker, partisipan juga
mempertimbangkan (melirik) beetle dan speaker (tapi bukan objek yang tidak
memiliki suara yang tumpang tindih dengan beaker). Kedua kata (bone dan
trombone) dipertimbangkan (Shilcock, 1990). Hasil ini mengindikasikan bahwa meski
kita tidak memiliki kesadaran dalam mempertimbangkan alternative selama
mempersepsikan tuturan, faktanya kita mengaktifkan kemungkinan cohort untuk
mengenali suara.

1.4.

Mempresentasikan Makna

Mengidentifikasi kata hanyalan awal dari pemahaman dan mendapatkan


mekna yang sebenarnya dari apa yang dikatakan si pembicara merupakan tujuan
terpenting.

Dari

model

segitiga

leksikon,

perhitungan

makna

tiap

kata
29

direpresentasikan sebagai pemetaan antara level fonologis dan representasi makna.


Peneliti sering berpikir bahwa representasi mental makna adalah jaringan yang
meiliki fitur-fitur yang saling berkaitan.
Beberapa bukti pandangan non-kamus terkait makna leksikal berasal dari
penelitian terhadap pasien yang mengalami kerusakan di lobus-lobus temporal otak.
Pasien ini sebelumnya meiliki kemampuan berbahasa yang normal, tetapi kerusakan
lobus temporal mereka (biasanya yang bersifat bilateral atau dominannya di hemisfer
kiri) mengganggu pengetahuan mereka terhadap makna kata. Beberapa pasien
memiliki gangguan dalam kategori khusus artinya mereka memiliki kesulitan yang
lebih besar dalam mengaktifkan representasi semantyik untuk beberapa kategori
dibandingkan kategori lain.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa pola gangguan ini menyiratkan
representasi semantik (sebuah representasi mental dari makna) yang berada di
berbagai kombinasi informasi perseptual (khususnya informasi visual) dan informasi
fungsional informasi mengenai apa kegunaan benda (Warrington & McCarthy,
1987; Warrington & Shalice, 1984). Dalam pandangan ini, ada pembagian yang
besar antara benda hidup dan benda yang dibuat di dua dimensi ini. Bagi nonzoologist (ahli hewan), benda-benda hidup dibedakan hanya berdasarkan fitur
perseptual zebra memiliki garis hitam putih, tetapi jika anda mengubah gambar
zebra dan mengjhilangkan belangnya, sebagian besar orang akan berpikir bahwa
gambar itu adalah sejenis kuda dan bukan zebra. Pasien dengan kerusakan besar di
bagian otak yang memproses informasi perseptual memilki kesulitan yang lebih
besar dalam mengenali objek-objek buatan. Suatu pengecualian untuk pola ini
adalah instrument music pasien yang kesulitan mengenali benda hidup sering pula
kesulitan memahami instrument music. Akan tetapi, pengecualian ini mungkin tidak
terlalu kentara. Memang benar, instrument music adalah benda yang dibuat tetapi
informasi perseptual yang detil diperlukan untuk membedakannya (pikirkan
bagaimana anda bisa membedakan gambar gitar dan biola).
Pada gangguan berbeda dari representasi semantic di mana tiap kata
memiliki perbedaan leksikan atau bahkan memiliki skema dimana tiap kategori
tersimpan di area otak yang berbeda. Jenis susunan ini tidak memrediksi apa yang
diamati. Kelompok semantic tertentu akan tergantung secara bersamaan, misalnya
kesulitan dalam mengenali instrument music sering disertai dengan kesulitan
mengenali

hewan.

Pola

kerusakan

menunjukkan

bahwa

makna

kata

direpresentasikan oleh perpaduan informasi peseptual, informasi fungsional, dan


30

jenis informasi lain. Masalah yang dialami pasien seperti yang dibahas menunjukkan
bahwa jaringan fungsiopnal dan informasi perseptual direpresentasikan di bagian
otak yang berbeda. Artinya pasien dengan kesulitan yang lebih besar dalam
mengenali benda-benda hidup diperkirakan memiliki kerusakan yang lebih besar di
area otak yang berkaitan dengan fungsi, khususnya area motor (karena fungsi sering
diimplementasikan melalui cara kita mengubah objek).

Area di Otak yang Terlibat dalam Representasi Makna Kata


Kerusakan di area ini memengaruhi pemahaman terhadap makna kata-kata tertentu,
kadang dalam bentuk gangguan dalam kategori khusus. Pola gangguan menunjukkan
bahwa kata-kata direpresentasikan dalam jaringan semantic yang mencakup berbagai
jenis informasi termasuk aspek perseptual. Beberapa informasi ini juga
direpresentasikan di area yang sama dengan hemisfer kanan.

Dukungan untuk hipotesis ini berasal dari penelitian neuroimaging terhadap


partisipan normal ketika mereka mengakses representasi semantic. Dalam penelitian
ini, partisipan melihat kata-kata dan diminta untuk memikirkan dalam hati nama
warna yang sesuai dengan kata yang ditampilakan dalam kata (misalnya kuning
untuk kata pisang, sehingga mengaktifkan informasi perseptual), atau kata tindakan
(misalnya makan untuk pisang, yang mengaktifkan informasi fungsional) (Martin at
31

al., 1995). Peneliti mendapati ketika pertisipan memikirkan warna maka hal ini akan
mengaktifkan sebuah area di dekat otak yang mengendalikan gerakan. Hasil ini dan
hasil lain menunjukkan bahwa representasi makna tersebar dalam berbagai area
otak di jaringan yang mengkodekan berbagai aspek makna, termasuk fitur
perseptual, fitur gerakan dan asosiasi emosional.

1.5.

Memahami kalimat

Kalimat memberikan konteks yang dapat membayangi makna dari satu kata.
Kalimat juga tentu saja memiliki makna. Bagian dari makna ini sebagian berasal dari
makna kata yang terkandung dalam kalimat, sebagian dari sintaks kalimat
hubungan antara kata tersebut dengan kata lain. manusia menggigit anjing memiliki
arti berbeda dari anjing menggigit manusia. Tetapi tidak ada yang sederhana.
Kalimat ini dapat diinterpretasikan dengan dua cara tergantung pada mana dari dua
kemungkinan kalimat tersebut yang diasumsikan. Setiap struktur yang muncul
(ditunjjukkan lewat tanda kurung) menghasilkan makna yang berbeda. Jika struktur
kalimat mata-mata melihat (polisi dengan teropong), frase preposisi dengan
teropongmenjelaskan di polisi yang artinya ini adalah seorang polisi yang memiliki
teropong. Akan tetapi, jika struktur kalimatnya mata-mata melihat (polisi) dengan
teropong maka dengan teropong menjelaskan cara melihat artinya mata-mata
menggunakan teropong untuk membantunya melihat.
Contoh ini menggambarakan ambiguitas structural yaitu aliran kata linear
yang terdengar atau dibaca sejalan dengan lebih dari satu struktur sintaksis dan
makna kalimat. Pembicara atau penulis hanya meniatkan satu struktur dan makna
dan pendengar atau pembaca harus menemukan hal ini dengan merekonstruksinya
dari aliran kata. Ambiguitas structural merupakan hal yang sangat lazim dalam
tuturan dan tulisan tetapi meskipun demikian kita biasanya mencoba dengan cara
kita

sendiri

untuk

melakukannya?

mengetahui

Kegagalan

yang

interpretasi
kadang

yang
terjadi

benar.

Bagaimana

menunjukkan

kita

bagamana

pemahaman kerja. Kegagalan ini sering menjadi dasar sebuah lelucon dimana
humor berasal dari usaha mengelabui pendengar (atau pembaca) dalam satu
interpretasi dari sebuah kalimat dan kemudian menimbulkan interpretasi lain yaitu
interpretasi yang diniatkan dimiliki oleh pembaca. Comedian hebat Gruocho Marx
merupakan pakar dalam hal ini. Salah satu leluconnya yang terkenal adalah salah
satu ucapannya dalam film Animal Crackers : One morning I shot an elephant in my
32

pajamas. How he got in my pajamas, I dont know. Lelucon ini berhasil karena
ambiguitas structural di kalimat pertama, ambiguitas yang sama yang ada di kalimat
teropong di atas. Penonton awalnya menginterpretaskan kalimat pertama sebagai
Ishot (an elephant) ini my pajamas aku menembak (seekor gajah) mengenakan
piyama siketahui bahwa dari konteks yang ada setelahnya bahwa struktur kalimat
adalah I shot (an elephant in my pajamas) aku menembak (seekor gajah di dalam
piyama ku). Jenis ambiguitas ini disebut dengan garden path sentence karena
pendengar atau pembaca awalnya dibawa ke dalam perkebunan sehingga
memunculkan interpretasi yang salah sebelum akhirnya dapat menyadari kalimat
dan menemukan interpretasi yang benar.
Kalimat dalam garden path menunjukkan sifat yang sangat dasar dalam
memahami kalimat yaitu kesegaran kita menginterpretasikan kata-kata ketika kita
menjumpainya (Just & Carpenter, 1980). Secara prinsip, anda bisa menghindari
ambiguitas dengan cara menunggu sampai kalimat selesai atau dengan menunggu
kalimat lain sebelum memutuskan apa makna sari kata dan struktur kalimat yang
benar. Dengan sara itu anda tidak akan terkejut ketika sebuah ambiguitas
terselesaikan karena akan menunda interpretasi anda sampai anda sudah cukup
mendengar sehingga konteks akan memecahkan ambiguitas yang timbul. Fakta
dalam kalimat garden path mengejutkan kita menunjukkan bahwa pemahaman
diproses segera setelah kta bisa membuat tebakan yang baik (yang tidak disadari)
dari apa yang kita perseprikan. Ini berarti bahwa kita sering menebak interpretasi
yang benar berdasarkan potongan informasi yang ada. Diasumsikan bahwa kita
sering memperoleh interpretasi yang benar mengenai ambiguitas tanpa benar-benar
menyadari makna alternative karena tebakan awal ini memang benar atau terjadi
sangat cepat sebelum kita memiliki kesempatan untuk memperhatikan interpretasi
alternatif lain. Kita sebelumnya mengamati fenomena ang sama dalam efek restorasi
fonem, di mana orang-orang tidak menyadari ketika sebuah fonem digantikan oelh
suara batuk, seperti dalam *eel pada jeruk. Konteks dari jeruk diintegrasikan
dengan sangat cepat sehingga pendengar meyakini bahwa mereka mendengar kata
peel (mengupas) dengan jelas. Jenis intergrasi yang cepat juga terjadi dalam
penyelesaian ambiguitas sintaksis.
Ketika ambiguitas dalam sinyal tuturan harus diselidiki menggunakan
stimulus bahasa ujar, peneliti yang mengkaji resolusi ambiguitas sintaksis biasanya
menggunakan ukuran waktu membaca untuk menguji hipotesis mereka mengenai
bagaimana kita memperoleh interpretasi yang tepat terhadap ambiguitas. Dengan
33

menapilkan kalimat tertulis, peneliti dapat mengukur waktu bacaan di tiap kata
(misalnya, dengan menggunakan sebuah alat yang mengukur gerakan mata
pembaca) dan melacak di titik mana sebuah kalimat terasa sulit dipahami (mata yang
berhenti bergerak). Mengukur kesulitan di tiap titik kalimat merupakan hal yang
penting untuk memahami ambiguitas karena pola membaca dapat mengungkapkan
kapan pembaca salah menginterpretasikan sebuah kalimat yang ambigu. Seperti
yang telah kita lihat, ambiguitas structural bersifat temporer dan hanya berlangsung
hingga munculnya bagian kalimat lain untuk membuat interpretasi yang diniatkan
menjadi jelas. Ini biasanya terjadi dalam pemahaman terhadap bahasa. Misalnya,
perhatikan kalimat berikut:
1. Trish know Susan.. (struktur: ambigu)
2. Trish know Susan from summer camp. (struktur: subjek-kata kerja-objekpreposisi tempat)
3. Trish know Susan is laying. (struktur: subjek-kata kerja-(kalimat (subjekkata kerja)
Kalimat 1 berisikan ambiguitas structural yang temporer terkait dengan
interpretasi know dan kata apapun yang muncul sesudahnya. Know dapat berarti
mengenal dan kita bisa menginterretasikan bahwa kata yang akan muncul
sesudahnya adalah kata benda yang menunjukkan siapa yang dikenal. Kalimat 2
membenarkan interpretasi ini. Susan adalah objek langsung dari know dan kalimat
ini berarti Trish mengenal Susan. Alternativenya, know dapat berarti menyadari
kebenaran atas sesuatu, di mana kata-kata yang muncul setelah know biasanya
keseluruhan kalimat yang diletakkan yang menyatakan kebenaran. Kalimat 3
berjenis seperti ini dan Susan adalah seubjek yang dilekatkan dalam kalimat Susan
is laying.
Titik dalam kalimat di mana struktur dan interpretasi yang diniatkan terlihat
jelas disebut dengan disambiguation region (area disambigu). Di kalimat 2 area
disambigu adalah form summer camp. Di kalimat 3 area disambigu ada pada is
laying. Observasi terhadap wantu membaca dalam area disambigu dapat
mengungkapkan kesulitan dalam memahami yang disebabkan oleh ambiguitas.
Partisipan yang membaca sebuah kalimat ambigu dan kemudian mendapati area
disambigu yang tidak sesuai dengan interpretasi awal akan memperlambat
kecepatan bacaan mereka di area disambigu (mata mereka menetap di area ini
untuk waktu yang lebih lama). Di titik ini mereka menyadari bahwa mereka telah

34

dibawa ke garden path dan harus menganalisa kembali kalimat yang membutuhkan
waktu yang lebih lama Rayner & Pollatsek, 1989).
Hipotesis Parser menunjukkan bahwa strategi untuk menyelesaikan
ambiguitas dalam struktur kalimat sangat berbeda dari resolusi untuk ambiguitas
leksikal. Hanya satu srtuktur kalimat dipertimbangkan di satu waktu sementara kita
telah melihat bukti yang kuat di bagian sebelumnya yang menunjukkan bahwa
beberapa interpretasi yang berbeda dari kata yang ambigu akan aktif selama
dilakukannya resolusi ambiguitas leksikal. Perbedaan berasal dari konsep yang
berbeda mengenai leksikon dan sintaks makna kata tersimpan di leksikon tetapi
struktur sitaksis menghasilkan sesuatu yang baru tiap kali sebuah kalimat didengar.
Dengan demikian, mengaktifkan beberapa alternative makna kata tidaklah
menyulitkan

tetapi

membangun

beberapa

struktur

altenatif

secara

berkesinambungan merupakan sesuatu yang terlalu sulit untuk dilakukan saat kita
berusaha memahami sebuah kalimat.
Hipotesis alternative adalah kita menghadapi ambiguitas dalam struktur
kalimat dengan cara yang secara dasar bersifat sama dengan cara kita menghadapi
ambiguitas leksikal (MacDonal et al., 1994; Trueswell & Tanenhaus, 1994). Seperti
dalam ambiguitas leksikal, efek konteks untuk memecahkan ambiguitas structural
dalam kondisi normal akan lebih lemah dari pada informasi dari-bawah-ke-atas.
Pandangan ini terlihat menarik karena ia menekankan pada sifat ketertarikan kata
dan level sintaksis dalam representasi bahasa dan ia memungkinkan adanya
karakterisasi yang konsisten dari resolusi ambigu di berbagai level yang berbeda.
Artinya apakah ambigu itu terjadi di level sinyal tuturan, makna kata, atau struktur
kalimat, atau beberapa kobinasi dari hal ini, system pemahaman secara tidak sadar
akan mengintergrasikan informasi apapun untuk menginterpretasikan input yang
paling cocok dengan bukti yang tersedia. Peneliti masih menguji dua hipotesis ini
tetapi masih belum ada kesepakatan untuknya.
1.6.

Bahasa Figuratif

Bahasa figuratif, dikaitkan dengan ambigu defines, adalah penggunaan satu


kata yang memiliki maksud lain, malalui metafora atau simile. Teman anda fished
(mengeluarkan) menu dari renselnya tetapi penggunaan kata di atas tidak berarti ia
mengeluarkan alat pancing, memasang kail, dan membuat tindakan yang
mencengankan di tengaj jalanan yang ramai. Instilah ini digunakan untuk
mengartikan

tindakan

sesorang

yang

mencari

sesuatu.

Bahasa

figurative
35

memberikan masalah lain dalam pemahaman. Kita harus memutuskan apakah


makna literal atau makna figurative yang di maksudkan. Seperti jenis ambiguitas lain,
bahasa figurative sering muncul dalam tuturan umum. Beberapa analisa menyatakan
bahwa pembiara menggunakan bahasa figurative sebanyak enam kali permenit
dalam tuturan (Pollio et al., 1977) dan bahasa figurative khususnya lazim digunakan
untuk mendeskripsikan emosi dan konsep abstrak (Gibbs, 1994).
Bahasa figurative mengisi tuturan kita dalam kisaran yang besar sehingga ia
menjadi contoh lain, bukan contoh khusus, mengenai beragam makna dari kata dan
kalimat. Meskipun demikian, di hemisfer kiri penting untuk sebagian besar aspek
pemahaman bahasa, interpretasi bahasa figurative terlihat bergantung pada
pemrosesan di hemisfer kanan. Pasien dengan kerusakan di hemisfer kanan sering
kesulitan

memahami

bahasa

figurative

dan

penelitian

neuroimaging

telah

menunjukkan bahwa partisipan normal memiliki aktifasi yang lebih besar di hemisfer
kanan ketika memahami metafora ketimbang ketika memahami bahasa literal (Bottini
et al., 1994).
Peran pati dari hemisfer kanan dalam memahami bahasa figurative belum
dipahami dengan baik tetapi ia bisa saja berkaitan dengan interpretasi terhadap
intonasi kalimat yaitu melodi kalimat tinggi rendahnya nada, variasi dalam
penekanan. Perhatikan kalimat Jim adalah lelaki yang baik dengan menggunakan
intonasi yang berada, anda bisa membuat kalimat ini menjadi sebuah pernyataan
fakta, pernyataan, atau komentar sarkastik yang menunjukkan bahwa anda berpikir
Jim sama sekali bukan lelaki baik. Hemisfer kanan sangat terlibat dalam
menginterpretasikan intonasi kalimat (Buchanan et al., 2000). Hubungannya?
Sarkasme, ironi, lelucon, dan beberapa jenis bahasa figurative lain sering
bergantung

pada

intonasi.

Akan

tetapi,

peran

hemisfer

kanan

dalam

menginterpretasikan bahasa figurative lain sering bergantung pada intonasi. Akan


tetapi, peran hemisfer kanan dalam menginterpretasikan bahasa figurative tidak bisa
bergantung sepenuhnya pada analisis intonasi karena ia memainkan peran yang
sama dalam menginterpretasikan tuturan yang diucapkan dan ditulis (dan tidak ada
intonasi dalam tuturan tertulis).

36

1.7.

Membaca

Ketika anda tidak bisa memahami apa yang teman anda katakana, ia
mengeluarkan menu sehingga anda bisa melihat alamat restoran tempat ia bekerja.
Nama restoran, The happy Bird dan gambar burung yang ada di bagian atas menu.
Anda mengenali gambar burung itu dengan cepat dan anda membaca kata The
Happy Bird dengan cepat juga. Proses yang sama memungkinkan anda mengenali
burung yaitu proses pengenalan objek mencakup pengumpulan informasi
perseptual dari gambar seperti area terang dan gelap dan lokasi sudut pandang
untuk mengidentifikasi objek. Dengan kata lain, anda menggunakan informasi visual
dalam gambar untuk mengaktifkan informasi semantic dalam hal ini makna seekor
burung

memakai

celemek

dan

membawa

nampan

makanan.

Dalam

menginterpretasikan gambar, tujuan membaca adalah menerjemahkan informasi


visual kata di halaman menu menjadi informasi semantic mengenai makna kata
dan teks.
1.8.

Jalur-jalur Pembacaan

Berpikir mengenai tugas menerjemahkan kata yang tercetak menjadi makna


kita bisa mengacu pada model segitiga leksikon. Perhatikan bahwa ada dua ruta
yang mungkin ditempuh dalam kata yang tercetak menuju makna. Rute pertama
adalah ejaan !makna, rute dari ejaan kata yang dicetak menuju makna di titik atas,
sebuah rute yang digunakan untuk mengenali objek. Di atas kedua kasus, anda
memperoleh informasi mengenai pola terang dan gelap di halam, sudut pandang dan
fitur lain dan mengaitkan input visual ini dengan representasi makna yang tersimpan.

37

Rute alternative adalah ejaan !fonologi !makna : kata yang tercetak pertamatama dikaitkan dengan representasi fonologis (artinya ada pemetaan antara dua titik
bawah segitiga) dank ode fonologis dikaitkan dengan makna, seperti dalam persepsi
tuturan. Ketika anda membaca, anda mungkin memahami ada suara di kepala anda
yang mengatakan kata yang anda baca. Efek ini muncul karena ada aktifasi kode
fonologis dari kata yang dicetak ketika kita membacanya. Rute fonologis ini
digunakan ketika kita menyuarakan kata yang tidak familiar ejaan diterjemahkan
menjadi tuturan. Rute fonologis adalah basis metode phonic dalam pengajaran
membaca. Jika anda mengingat suara kata ketika anda belajar membaca, beginilah
cara anda diajarkan.
Penelitian neuroimaging menghasilkan bukti gabungan untuk teori mengenai
bagaimana orang-orang menggunakan jalur membaca yang berbeda. FMRI telah
digunakan untuk mengkaji jumlah aktifitas otak dalam diri pembaca dari berbagai
usia dan dengan tingkatan kemampuan membaca yang berbeda ketika mereka
membaca jenis kata yang berbeda (Pugh et al., 2001). Penelitian ini mengindikasikan
bahwa dua area yang berbeda di hemisfer kiri diperlukan dalam pembacaan yang
baik. Yang pertama adalah area temporoparietal otak yang dekat dengan area yang
diperlukan terkaik makna kata dan fonologi dan area lain adalah system
oksipitotemporal. (lihat gambar). Peneliti menyatakan ketika kita belajar membaca,
system temporoparietal pada awalnya mendominasi dan bertanggung jawab dalam
pembelajaran hubungan jalur ejaan !fonologi !makna. system oksipitotemporal
berkembang kemudian dan menjadi semakin penting seiring dengan peningkatan
dalam kemampuan membaca. System ini mengaitkan secara langsung informasi
visual (yaitu ejaan) dengan informasi makna. Terlalu cepat mengatakan bagamana
area otak ini berkaitan dengan jalur ejaan !fonologi !makna seperti yang terlihat
dalam model segitiga, teteapi penelitian FMRI menawarkan sebuah cara yang
menarik untuk memahami sifat pemrosesan informasi yang mendasari pembacaan.

38

Area Otak yang Penting Untuk Membaca


Membaca yang berarti memetakan ejaan ke fonologi dan makna tergantung pada
system otak temporoparietal di mana hubungan ejaan !fonologi !makna dipelajari dan
tergantung pada system oksipitotemporal yang berkembang kemudian kettika
kemampuan membaca meningkat yang mengaitkan informasi visual (ejaan) dengan
makna.
(Shaywautz, B. A., Shaywitz, S. E., Pugh, K. R. et al., Disruption of posterior brain system
for reading in children with developmental dyslexia. Boil Psychiatry, 2002; 52, 101-110.
Dicetak kembali dengan izin dari Elsevier.)

1.9.

Teks yang Berkaitan

Bagian utama dalam membaca adalah pengenalan pada kata-kata individual


dan interpretasi terhadap kalimat. Akan tetapi, membaca melibatkan hal yang lebih
dari ini jika anda ingin memahami teks-teks yang berkaitan lannya. Apa yang ada
lihat di depan anda bukanlah sebuah kalimat melainkan kalimat-kalimat yang
berkaitan. Bagaimana kita memahami teks?
Hal penting pertama yang harus kita buat adalah terdapat aspek motoric
terkait tindakan membaca. Anda menggerakkan mata melintasi halaman sehingga
anda bisa melihat semua kata. Pergerakan mata yang berlangsung cepat, yang
disebut saccades, berubah seiring periode di mana mata anda tidak bergererak
ketika memperhatikan beberapa titik khusus dalam teks. Sekitar 90% waktu
39

membaca dihabiskan untuk memperhatikan dan anda melakukan dua atau tiga kali
saccades di tiap detik di bagian teks yang baru.
Ketika anda memperhatiakan sebuah kata, gambar kata tersebut jatuh di
fovea, yaitu bagian retina dengan ketajaman visual terbesar. Makin jauh gambar dari
fovea, makin buruk ketajaman visualnya. Kalimat di bawah ini memiliki satu kata
yang dicetak tebal. Ketika anda memperhatikan langsung kata ini, gambar akan jatuh
di fovea anda. Sekarang, dengan tetap memperhatikan kata yang dicetak tebal,
cobalah mengidentifikasi huruf dalam kalimat.

Tyc amksp birxu roz ulvdp walk gehld thc pqzy gvlwn ckg.

Jika anda teteap memperhatikan kata walk dan tidak memperhatikan bagian
lain, anda mungkin bisa menebak huruf yang ada tepat sebelum dan sesudah kata
ini, tetapi makin jauh huruf maka bisa semakin kabur bentuknya. Pertanyaan yang
pasti muncul terkait contoh ini adalah mengapa semua kombinasi huruf selain walk
tidak berbentuk kata yang umum? Alasannya sebagian besar pertisipan dalam
eksperimen seperti ini cenderung memandang sekilas seluruh tampilan ketika
melihat satu kata yang dicetak tebal. Jika anda melakukan hal tersebut dan kalimat
ini bisa dipaami, anda bisa menggunakan pemrosesan dari-atas-ke-bawah untuk
membantu anda menebak huruf di sebelah kata walk. Ketika kata tidak lazim dipakai
maka akan mengurangi penggunaan informasi dari-atas-ke-atas dan memberikan
pemahaman kepada anda mengenai betapa buruknya ketajaman visual anda dari
luar fovea.
Banyak

penelitian

menunjukkan

bahwa

pembaca

yang

terlatih

memperhatikan sebagian besar tetapi tidak semua kata ketika mereka membaca
sesuatu yang memiliki kesulitam yang sama seperti teks ini. Beberapa kata,
khususnya yang panjang, diperhatikan lebih banyak dan beberapa kata pendek
dapat dipahami meski mereka tidak memandangnya dengan tajam. Kata the sangat
sering tidak diperhatikan karena singkat (dan sering muncul) sehingga dapat
dipahami meski kita memperhatiakn bagian lain. Lebih jauh lagi, ketika sebuah kata
diperhatikan oleh pergerakan mata, seringkali hal ini direncanakan agar pemusatan
diberikan di tengah kata sehingga kata lain bisa dilihat dengan jelas melalui
pemusatan tunggal.
40

1.10.

Membaca Cepat

Sebagai pembaca yang terlatih, anda membaca dengan sangat cepat, setia
detik mengidentifikasi beberapa kata. Banyak orang yang harus berurusan dengan
tindakan membaca sering berharap agar mereka mampu membaca lebih cepat lagi
dan mereka bersedia mengikuti kursus membaca cepat. Apakah instruksi
membaca cepat berhasil ? tidak, tidak terlalu.
Setiap program membaca cepat memiliki perbedaan tetapi sebagian besar
menghasilkan asumsi yang sama mengenai bagaimana membaca seharusnya
dilakukan. Satu asumsi umum dan ketinggalan zaman berkaitan dengan model
segitiga. Program membaca cepat sering menunjukkan bahwa pembaca yang efisien
harus mengaitkan ejaan secara langsung dengan makna dan menghindari rute
pengucapan. Program ini menyatakan bahwa pembaca akan terjebak dalam
kebiasaan yang buruk ketika mengucapkan kata saat membaca dan mereka dapat
meningkatkan kecepatan membaca mereka jika mereka menghilangkan langkah
ekstra ini dan membaca menggunakan rute ejaan !makna. seperti yang telah kita
lihat, pandangan ini sebelumnya mendominasi pengajaran pada anak, tetapi
sekarang ada bukti baru yang kuat yang menunjukkan bahwa aktifasi tuturan
faktanya merupakan komponen alamiah dari pembacaan.
Sebagian besar instruksi membaca cepat juga mendorong pembaca untuk
menggerakkan mata mereka untuk melintasi halaman dengan lebih cepat. Oleh
karena mustahil memrogramkan dan melakukan saccades secara lebih cepat dari
rata-rata kecepatan alamiah kita, satu-satunya cara untuk melintasi halaman dengan
lebih cepat adalah dengan melakukan saccades yang lebih panjang. Akan tetapi, hal
ini tidaklah membantu. Oleh karena kata di luar area fovea tidak diperhatikan dengan
baik, dampak dari saccades yang lebih lama adalah beberapa kata yang tidak
diperhatikan, atau tidak berada di dekat titik pemusatan, tidak akan terlihat. Dengan
kata lain, membaca cepat menyerupai skimming anda memperhatikan beberapa
bagian teks dan anda mengabaikan bagian lain.
Pola membaca dan kemampuan memahami dari pembaca yang terlatih telah
dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak memiliki pengalaman membaca cepat
(Just & Carpenter, 1987). Mahasiswa membaca teks dengan dua cara yang berbeda.
Dalam satu kondisi, mereka diperintahkan untuk membaca teks. Pada kondisi lain
mereka diperintahkan untuk melakukan skimming. Peneliti mendapati pergerakan
mata si pembaca terlatih sangat sama dengan pergerakan mata mahasiswa yang
melakukan skimming.
41

Penlitian tersebut juga mendalami efek skimming pada pemahaman


partisipan terhadap material. (pertanyaan penting dari program membaca cepat
bahwa kecepatan membaca dapat ditingkatkan malalui teknik mereka tanpa
mengobarkan pemahaman). Dengan teks yang mudah, ketiga kelompok-pembaca
yang cepat, pengguna skim, dan pembaca normal sama-sama akurat. Untuk
material yang lebih sulit, pengguna skimming dan pembaca cepat memiliki
pemahaman yang lebih buruk daripada mahasiswa yang membaca normal. Hasil ini
memastikan apapun yang telah kita ketahui mengenai pemahaman. Ini adalah
proses yang memiliki multifase di mana berbagai level informasi yang berbeda
diintegrasikan satu sama lain. Mengabaikan bagian-bagian material, baik melalui
skimming

informasi

atau

dengan

menggunakan

metode

membaca,

akan

menghilangkan bagian yang penting dari konteks dan informasi lain yang penting
untuk mendapatkan representasi makna yang akurat dari material.

REVIEW JURNAL 3
Judul Jurnal

: AMBIGUITAS MAKNA DALAM ANEKDOT BERBAHASA RUSIA

Peneliti

: Hyunisa Rahmanadia
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Depok, Juli 2010

Di reveiw

: Lasidaniati

Matakuliah

: Psikologi Kognitif

Fakultas

: Psikologi Universitas Mercu Buana Bekasi

ABSTRAK
Skripsi ini membahas salah satu factor pembuat kelucuan dalam humor verbal, yaitu
ambiguitas makna. Objek dalam penelitian ini adalah hum or verbal berbahasa
Rusia. Data yang dianalisis
dalam penelitian ini bersumber dari koran selama bulan Januari 2010. Penelitian ini
adalah penelitian kualitatif dengan pemaparan mengenai jenis-jenis ambiguitas
makna yang digunakan untuk membuat kelucuan dalam humor verbal berbahasa
Rusia. Terdapat 4 jenis ambiguitas makna yang di paparkan dalam penelitian ini
yaitu ambiguitas fonetik, ambiguitas gramatikal, ambiguitas leksikal (homonym dan
polisemi) dan ambiguitas kalimat.
Kata kunci : Rusia, anekdot, humor, ambiguitas makna, fonetik, gramatikal, leksikal,
homonim, polisemi, kalimat.
42

Kesimpulan
Dalam penelitian ini, hasil yang didapat membuktikan bahwa ambiguitas makna
merupakan salah satu factor pembuat kelucuan dalam humor verbal berbahasa
Rusia. Dari 226 data anekdot yang telah dikumpulkan dari koran Rusia dibawah
selama bulan Januari 2010 diambil
anekdot secara acak yang dianggap dapat mewakili setia jenis ambiguitas makna.
Analisa terhadap 40 anekdot yang dipilih secara acak tersebut menunjukkan adanya
keempat jenis ambiguitas makna dalam anekdot. Hasil dari analisis, ditemukan 1
buah data anekdot menggunakan ambiguitas fonetik sebagai factor pembuat
kelucuan. Ada 8 buah data anekdot yang menggunakan ambiguitas gramatikal.
Anekdot yang menggunakan ambiguitas leksikal terdapat 3 buah data anekdot
dengan homonim sebagai pembuat kelucuannya dan 20 buah data anekdot dengan
polisemi. Anekdot yang memanfaatkan ambiguitas kalimat terdapat 8 buah data
anekdot. Hasil tersebut tampak pada table di bawah ini :

Juga disimpulkan bahwa ambiguitas makna hanyalah salah satu dari berbagai
macam factor pembuat kelucuan dalam sebuah anekdot. Banyak sekali factor lain
seperti bahasa dan budaya yang mempengaruhi letak kelucuan suatu anekdot. Oleh
karena itu penelitian mengenai anekdot terutama anekdot-anekdot Rusia masih
harus dilakukan lebih lanjut. Hal ini dikarenakan banyak anekdot Rusia yang tidak
bisa dipahami oleh masyarakat Indonesia meskipun telah mengalami terjemahan ke
dalam bahasa Indonesia. Selain itu, pemahaman mengenai anekdot yang berasal
dari suatu kebudayaan yang berbeda harus didukung dengan pengetahuan
43

mengenai bahasa, budaya, sejarah, sosial, ekonomi, keadaan politik, ideology dan
berbagai factor lainnya dalam Negara tersebut. Tanpa pengetahuan tersebut
pemahaman suatu anekdot dapat dikatakan tidak akan mungkin dilakukan.

44

D. KEMAHIRAN BAHASA4
Menggunakan Konteks Semantik dalam Pemahaman Kalimat
Banyak Kata yang memiliki lebih dari satu arti, tetapi hal ini biasanya tidak
membuat kita menjadi bingung karena konteks di mana kata itu muncul memberikan
informasi tentang makna yang sesuai (Mac Kay, 1966). Pembahasan ini akan lebih
mudah jika kita mempertimbangkan model umum tahap-tahap yang terlibat adalam
pemahan kalimat Carpenter dan Dominions (1981).
Berikut tahapan-tahapannya:
1. (Fixed and encode the next word) Meliputi Pengenalan Pola
Meskipun membahas pengenalan kata dalam bab tentang pengenalan Pola,
Fokus terdapat pada efek kata superioritas. Hal tersebut karena sebuah huruf
lebih mudah untuk di kenali ketika muncul dalam kontes kalimat daripada
ketika kata tersebut muncul dengan sendirinya.

2. Pengambilan Makna Kata


Meskipun kata-kata ambigu memiliki lebih dari satu makna, salah satu makna
dapat muncul lebih sering daripada yang lain. Dengan mempelajari pembaca
gerakan mata saat membaca kalimat denga kata-kata ambigu, Duffy, Morris,
dan Rayner (1988) menyimpulkan bahwa tingkat aktivasi makna alternatif di
pengaruhi oleh konteks sebelumnnya dan dengan frekuensi makna alternatif.
3. Makna yang di pilih sebuah Kata Terintegrasi dengan Konteks
sebelumnya
Jika integrasi ini berhasil, pembaca mengodekan kata berikutnya, namun jika
tidak, maka ia mencoba untuk menutupi kesalahan dengan menafsirkan
ulang kata atau konteks sebelumnya.

Konteks Semantik dan Pengenalan Kata


Pengenalan kata sering di fasilitasi dalam konteks semantik. Kita semua
mengalami kesulitan dalam mengenali kata ketika membaca tulisan tangan yang

Stephen K. Red. 2011. Cognition Theory and Application edisi 7. Jakarta : Salemba Humanika

45

tidak terbaca dan harus bergantung pada kata-kata dan kalimat sekitarnya untuk
membantu mengidentifikasi kata yang terbaca.
Walaupun efek dari konteks merupakan hal yang paling jelas bagi kita ketika
kita harus mengidentifikasikan sebuah kata, hal tersebut juga mempengaruhi waktu
konteks membandtu dan memfasilitasi pengenalan kata lebih cepat , tetapi juga
memperlambat kita. Sebuah kalimat yang menghasilkan ekspetasi tinggi untuk kata
tertentu disebut kalimat kendala tinggi.
Schwanenflugel dan Shoben (1985) mempelajari efek dari kalimat kendala
tinggi pada pengolahan kata-kata yang di ekspektasi dan kata-kata yang tidak
terduga dengan menggunakan tugas keputusan leksikal (lexical desk task). Tugas
keputusan leksikal merupakan tugas yang mengharuskan orang untuk memutuskan
apakah suatu rangkaian huruf adalah kata.
Kalimat kendala tinggi menyebabkan gangguan dalam kasus terakhir karena
oang-orag mengharapkan kata tertentu yang tidak muncul.Schwanenflugel dan
Shoben memasukkan kalimat kendala rendah yaitu sebuah kalimat yang
menghasilkan ekspetasi yang lebih luas untuk kata-kata.

Konteks Smantik dan Makna-makna Ambigu


Setelah pembaca atau pendengar mengidentifikasi kata-kata, mereka maish
harus memilih makna yang sesuai jika kata memiliki beberapa makna. Hal ini penting
untuk menyadari bahwa kalimat-kalimat ambigu tidak hanya di ciptakan oleh para
psikolog untuk mempelajari pemahaman bahasa. Makna ambigu juga sering terjadi
di luar laboratorium.
Ketika menjelaskan arti kata ambigu, seseorang dapat memahami kata
ambigu secepat merekadapat memahami kata tidak ambigu. Tidak ada lagi
perbedaan dalam waktu respons pada target fonem. Kita bisa menfasirkan hasil ini
dengan meyatakan bahwa hanya satu arti dari kata ambigu di aktifkan bila konteks
menunjukkan makna yang di maksudkan. Argumen ini memiliki daya tarik yang
cukup intuitif, namun hasil pencarian menunjukkan bahwa hal tersebut salah.

46

Perbedaan Individu dalam Memahami Ambiguitas


Masalah bagi pembaca adalah bahwa mereka kurang tampil dan tidak cepat
dalam memutuskan pegaktifan makna mana yang benar (Gernsbacher, 1993).
Seperti para pembaca yang baik , kedua makna kata yang ambigu awalnya
diaktifkan, tetapi tidak seperti para pembaca yang baik, kedua makna masih aktif
setelah menghadapi satu detik menghadapi kata-kata yang ambigu. Pembaca yang
kurang tampil akan sulit untuk menekan (supress) makna yang tidak sesuai.
Pembaca yang baik adalah para pembaca yang awalnya dapat tetap aktif
dalam memori kerja untuk mengiterpretasikan kedua kata yang ambigu dan
kemudian memilih makna yang sesuai dan cepat setelah mereka menerima
klarifikasi konteks. Kita telah melihat dua cara yang dapat membuat proses
membaca menjadi tidak jelas. Pembaca dengan kapasitas memori kerja yang
terbatas kurang mampu mempertahankan kedua interpretasi dalam memori kerja
ketika terjadi kemudianmenjelaskan konteks, sedangkan pembaca yang kurang
terampil tidak cakap dalam menekan makna yang tidak pantas ketika mereka
menjumpai konteks penjelas. Kapasitas memori kerja merupakam jumlah informasi
yang dapat tetap aktif dalam memori kerja. Heuiritis pemulihan kesalahan
merupakan sebuah strategi untuk memperbaiki pemahaman.

Menginterpretasi Frasa
Model yang di usulkan oleh Carpenter dan Daneman (1981) berfokus pada
integrasi pengodean dan kata-kata. Tujuan dari interpretasi berbasis teori
pengolahan adalah untuk menghasilkan representasi sintaksis dan semantik dari
sebuah kalimat dan menghubungkan kalimat dengan pngetahuan utama.
Teori memberikan penafsiran yang mausk akal dari kalimat

oleh

pembuangan tidak valid frasa interpretasi dan memastikan bahwa semua interpretasi
itu konsisten. Pengaktifan beberapa implikasi dari sebuah ungkapan diikuti dengan
pemilihan yang benar.
Hipotesis Budiu dan Anderson (2004) yang di dasarkan pada asumsi
penafsiran pengolahan berbasis teori menyimpulkan bahwa waktu untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tidak konsisten akan tergantung pada tingkat distorsi.
Seharusnya lebih mudah untuk menjawab pertanyaan dimana terdapat sedikit

47

distorsi

karena

proses

aktivasi

memerlukan

lebih

sedikit

waktu

untuk

menghubungkan konsep serupa.

REVIEW JURNAL 4
Judul Jurnal

: Language Proficiency, Gender and Self-reported Health.


An Analysis of the First Two Waves of the Longitudinal
Survey of Immigrants to Canada

Peneliti

: Kevin Pottie, MD, MClSc, Edward Ng, PhD, Denise Spitzer, PhD,
Alia Mohammed, Med, & Richard Glazier, MD, MPH.

Di reveiw

: Putri Agustin

Matakuliah

: Psikologi Kognitif

Fakultas

: Psikologi Universitas Mercu Buana Bekasi

ABSTRAK
Latar Belakang:
Sebagian besar imigran yang datang ke Kanada dari Asia, Timur Tengah,
Karibia dan Afrika, di mana budaya dan bahasa sering berbeda secara signifikan.
Subkelompok imigran mengalami kesenjangan dalam kesehatan. Ketidakmampuan
untuk berkomunikasi dalam bahasa resmi di Kanada dapat menjadi penanda risiko
kesehatan yang buruk karena kedua faktor sebelum dan sesudah migrasi. Kami
bertujuan untuk mempelajari hubungan antara kemampuan bahasa dan kesehatan
yang dilaporkan sendiri.
Hasil:
Setelah mengontrol kovariat (umur, jenis kelamin, pendidikan, wilayah
kelahiran, imigran kelas, kepuasan kerja, akses ke perawatan kesehatan), analisis
gelombang 1, survei menunjukkan bahwa kemahiran miskin dalam bahasa Inggris
atau Perancis secara signifikan berhubungan dengan orang miskin yang melaporkan
sendiri kesehatan (OR = 2,0, p <0,01). Dan hubungan ini konsisten dalam
gelombang 2 survei (OR = 1,9, p <0,01). Kami juga menemukan bahwa ini hubungan
statistik yang signifikan antara miskin kemampuan bahasa dan kesehatan yang
dilaporkan sendiri hanya berlaku untuk wanita (wave 1 survey OR = 2,6, p <0,01,
gelombang 2 survei OR = 2,2, p <0,01), bukan untuk Pria.
Kesimpulan:
Hubungan antara kemampuan bahasa miskin dan miskin melaporkan sendiri
kesehatan, dan terutama dampaknya secara signifikan lebih besar pada wanita,
memiliki implikasi untuk pelatihan bahasa, perawatan kesehatan dan pelayanan
sosial, dan informasi kesehatan.
48

DAFTAR PUSTAKA

Edward E. Smith, Stephen M. Kosslyn. 2014. PSIKOLOGI KOGNITIF Pikiran dan


Otak. YOGYAKARTA : PUSTAKA PELAJAR
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik, Kajian Teoritik.Rineka Cipta : Jakarta
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Stephen K. Red. 2011. Cognition Theory and Application edisi 7. Jakarta : Salemba
Humanika

49

You might also like