Professional Documents
Culture Documents
SIFAT BAHASA1
Sejak hari pertama kita memperoleh pendidikan, membaca atau mendengar
sebuah kalimat dan memahami maknanya adalah tindakan yang tidak memerlukan
usaha dan bersifat spontan. (Memahami konsep yang mendasarinya tentu saja akan
memunculkan kesulitan). Produksi dan pemahaman bahasa merupakan aktivitas
yang sangat kompleks.
Bahasa menurut para psikolog kognitif, adalah suatu sistem komunikasi yang
didalamnya pikiran-pikiran dikirimkan (transmitted) dengan perantaraan suara
(sebagaimana dalam percakapan) atau simbol (sebagaimana dalam kata-kata
tertulis atau isyarat-isyarat fisik).
Studi mengenai bahasa adalah studi yang dianggap penting oleh para
psikolog kognitif. Perkembangan bahasa mencerminkan sebuah abstraksi yang unik,
yang menjadi dasar kognisi manusia. Sekalipun bentuk-bentuk kehidupan yang lain
memiliki cara berkomunikasi yang rumit, tingkat abstraksi yang digunakan manusia
tetaplah jauh lebih besar. Bahasa adalah sarana utama komunikasi manusia, cara
pertukaran informasi yang paling lazim. Pemrosesan bahasa adalah sebuah
komponen penting dalam penyimpanan pemrosesan informasi (informasi processing
storage), berpikir, dan pemecahan masalah. Sebagaimana yang telah kita pelajari
sebelumnya, sebagian besar proses-proses memori manusia melibatkan informasi
semantik.
Ketika mendengar atau membaca sebuah kalimat, maka akan berfokus pada
makna dan mengaitkan kalimat dengan informasi yang tersimpan di memori jangka
panjang. Cabang ilmu yang mendalami pemahaman bahasa dan proses mental yang
mendasarinya adalah psikolonguistik yaitu pengkajian terhadap pemahaman,
produksi, dan pemerolehan bahasa.
1. DASAR NEUROLOGIS BAGI BAHASA
Salahsatu analisis ilmiah paling awal terhadap bahasa melibatkan sebuah studi
kasus klinis pada tahun 1861. Saat itu, seorang dokter bedah Prancis yang masih
berusia muda bernama Paul Broca melakukan observasi terhadap seorang pasien
yang mengalami paralisis di sebelah sisi tubuhnya, yang sekaligus mengalami
hilangnya kemampuan berbicara sebagai akibat kerusakan neurologis. Tanpa
Edward E. Smith, Stephen M. Kosslyn. 2014. PSIKOLOGI KOGNITIF Pikiran dan Otak.
adanya teknologi pencitraan modern, para dokter pada masa itu hanya mampu
melakukan pembedahan postmortem (pasca kematian). Dalam pembedahan
tersebut:
1. Paul Broca (1861) menemukan cedera di bagian lobus frontalis kiri otak
pasien sebuah area yang selanjutnya dikenal sebagai area Broca. Studistudi selanjutnya mendukung observasi Broca bahwa area frontal kiri
memang terlibat dalam kemampuan berbicara. Area Broca terlibat dalam
produksi bahasa.
Pasien yang menderita Brocas aphasia juga dikenal dengan nonfluent
aphasia mengalami kesulitan mengaitkan representasi level wacana dan level
sintaksis, sulit membedakan makna. Kseulitan mereka bukan pada makna
kata-kata individual tetapi hubungan kata dalam kalimat.
2. Carl Wernicke (1875) menemukan suatu cedera di lobus temporalis kiri
yang mempengaruhi pemrosesan bahasa, namun dampak kerusakan
tersebut berbeda dengan tampak kerusakan yang ditimbulkan akbiat cedera
di area Broca. Area Wernicke terlibat dalam pemahaman bahasa. Kerusakan
di area Wernicke mengurangi kemampuan pasien yang bersangkutan untuk
memahami kata-kata lisan dan tulisan, namun pasien tersebut masih mampu
berbicara secara normal. Dengan kata lain, orang-orang yang mengalami
kerusakan di area Wernicke masih mampu berbicara dengan lancar, namun
tidak mampu memahami ucapan orang lain.
Pasien yang mengidap Wernickes aphasia juga dikenal dengan fluent
aphasia memiliki masalah yang sangat berbeda yang berada pada level kata
dan morfem. Memiliki fungsi morfem yang baik dan tuturan mereka biasanya
cukup sesuai kaidah tata bahasa dengan kata benda, kata kerja, dan bagian
lain dalam kalimat yangdigunakan dengan tepat. Mengalami kesulitan
memahami morfem konten yang menyebabkan mereka sangat sedikit
memahami apa yangdikatakan kepada mereka.
Perbedaan antara Brocas aphasia dan Wernickes aphasia yaitu:
1. Perbedaan antara gangguan yang dialami dua jenis pasien menekankan
mengenai perbedaan level terkait bagaimana bahasa dipresentasikan
secara mental dan dalam otak dan menunjukkan bagiamna level berbeda
tersebut dapat dipengaruhi melalui tingkatan tertentu.
2.
TATA BAHASA
Setiap kalimat yang didengar atau baca tersusun atas berbagai jenis
informasi yang berbeda diantaranya suara huruf, silabel, kata dan frase. Potonganpotongan bahasa ini bersatu menyerupai puzzle yang tersusun sehingga berbagai
komponen tersebut memunculkan makna keseluruhan dari sebuah kalimat. Peneliti
bahasa memandang berbagai potongan tersebut sebagai level representasi bahasa
yang berbeda dan ketika digabungkan level-level tersebut akan menghasilkan tata
bahasa (grammar). Istilah grammar menunjukkan aturan Pengunaan yang
didasarkan pada ise seperti bagian tuturan. Ahli lingustik dan psikolinguistik
menggunakan istilah ini secara berbeda. Mereka menggunakan istilah grammar
untuk mengacu pada kumpulan pengetahuan yang dimiliki seseorang mengenai
struktur bahasanya.
Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa, dengan topic pembelajaran
meliputi struktur bahasa dan berfokus pada pendeskripsian suara-suara, maknamakna, dan tata bahasa dalam percakapan.
hubungan antara jenis kata dalam kalimat (misalnya antara kata benda dan
kata kerja). Sintaksis merupakan cara merepresentasikan struktur kalimat
dan banyak psikolog dan ahli linguistic menyakini bahwa sintaksis merupakan
bagian dari representasi mental kita terhadap kalimat.
Pemerolehan sintaksis pada anak-anak dimulai pada usia kurang dari 2:0
tahun. Pada usia tersebut anak sudah bisa menyusun kalimat dua kata atau lebih
two word utterance Ujaran Dua Kata (UDK). Anak mulai dengan dua kata yang
diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata itu terpisah. Dengan adanya dua kata
dalam UDK maka orang dewasa dapat lebih bisa menerka apa yang dimaksud oleh
anak karena cakupan makna menjadi lebih terbatas. UDK sintaksisnya lebih
kompleks dan semantiknya juga semakin jelas (Dardjowidjojo, 2010:248). Ciri lain
dari UDK adalah kedua kata tersebut adalah kata-kata dari kategori utama, yaitu
nomina, verba, adjektiva, dan adverbia.
Kalimat disusun oleh subjek kata benda frase (koki) yang di level wacana
dipetakan berperan sebagai pelaku tindakan. Frase kata kerja (membakar) yang
menjelaskan tindakan dan frase kata benda lain (mie) yang berfungsi sebagai objek
langsung dan dipetakan sebagai benda yang dikenai tindakan.
Pada level sintaksis inilah kita memahami bagaimana urutan kata akan
mengaitkan informasi seperti pelaku tindakan. Misalnya koki membakar mie dan
mie dibakar oleh koki keduanya menempatkan koki sebagai pelaku tindakan.
Para ahli linguistic telah memusatkan upaya mereka dalam dua aspek yaitu:
Ahli linguistic, Noam Chomsky (1959) tokoh yang mengubah sudut pandang
terhadap
bahasa
melalui
teorinya
yang
membahas
tata
bahasa
seringkali
sering
berkaitan
dengan
makna
sebuah
kalimat
kerasa
pendekatan
behaviorist
terhadap
bahasa
dengan
menyatakan bahwa property recursion tidak bisa dipahami sebagai rantai hubungan.
Rantai sederhana mengenai hubungan antara kata atau frase yang berdekatan
secara salah mengaitkan kata benda dengan subjek sebenranrnya.
Pandangan Chomsky, yang meyatakan bahwa pemahaman behavioris tidak
bisa digunakan untuk memahami kemampuan linguistik manusia, merupakan
REVIEW JURNAL1
JUDUL JURNAL
PENGARANG
Di reveiw
: Leni Marlina
Matakuliah
: Psikologi Kognitif
Fakultas
10
Bahwa pola bahasa yang digunakan Joy sama seperti pola bahasa pada
umumnya anak-anak gunakan yang masih kurang mampu menggunakan kata atau
kalimat panjang atau kata yang lengkap. Anak-anak lebih menguasai kata nama dan
kata kerja karena lebih dominan dalam penggunaannya sehingga anak-anak
menyampaikan apa yang ingin diucapkannya. Selain kata nama dan kata kerja,
anak-anak cepat menguasai juga kata nama terutama nama benda
dan nama
orang. Dalam melakukan penelitian Joy, bapa dan ibunya hampir sekata karena
menjawab berupa soal yang diajukan antara Joy dengan ayah dan ibunya.
Menggunakan MLU (Mean Length of Utterance) atau Min Panjang Ujaran
merupakan satu jenis indeks untuk mengira perkembangan atau penguasaan
bahasa anak-anak secara umum. MLU bukanlah penentu mutlak untuk mengukur
perkembangan bahasa seseorang anak-anak.
Kesimpulan dari jurnal tentang Pemerolehan bahasa kanak-kanak: satuan
analisis sintaksis terhadap ucapan Joy yang berusia 3 tahun 5 bulan ialah:
1. Analisis ucapan menunjukkan Joy mempunyai MLU 2.38 yaitu satu tahap yang di
bawah jangkauan umurkronologinya dalam perkembangan penguasaan bahasa
anak-anak mengikuti Browns Stages Of Development.
2. Subjek (Joy) kajian anak-anak menggunakan berbagai kata yang berubah-ubah
mengikuti situasi
3. Ucapan Joy masih terikat dengan bahasa holofrasa dan telegrafik
4. Joy lebih banyak menggunakan 2 kata
5. Kata nama lebih banyak diucapkan Joy
6. Dalam penelitian Joy hanya sebagai subjek yang menjawab pertanyaan
11
sebuah
proses
saat
individu
mengatur
dan
Persepsi terhadap bunyi yang berupa satuan struktural, yaitu vokal dan
konsonan
12
Dalam linguistik, bunyi-bunyi vokal dan konsonan yang kita dengar disebut
bunyi segmental. Bunyi bahasa yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan,
dan nada disebut bunyi suprasegmental atau prosodi.
Perhatikan tiga ujaran berikut : a) Bukan angka, b) Buka nangka c) Bukan
nangka. Meskipun ketiga ujaran ini berbeda maknanya satu dari yang lain, dalam
pengucapannya ketiga bentuk ujaran ini bisa sama.
Di samping itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali
bunyi itu muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan di
mana bunyi itu berada. Bunyi [b] pada kata buru, misalnya, tidak persis sama dengan
bunyi [b] pada kata biru . Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u/ yang
mengikutinya sehingga sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir dalam
pembuatan bunyi ini. Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan diucapkan dengan bibir
yang melebar pada kata biru karena bunyi /i/ merupakan bunyi vokal depan dengan
bibir melebar.
Namun demikian, manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi
bahasanya dengan baik. Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahaptahap tertentu. Pada dasarnya ada tiga tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi
(Clack & Clark, 1977) :
1. Tahap auditori: Pada tahap ini manusia menerima ujaran sepotong demi
sepotong. Ujaran ini kemudian ditanggapi dari segi fitur akustiknya. Konsepkonsep seperti titik artikulasi, cara artikulasi, fitur distingtif, dan VOT (Voice Onset
Time) sangat bermanfaat di sini karena awal seperti inilah yang memisahkan
satu bunyi dari bunyi yang lain. Bunyi-bunyi dalam ujaran itu kita simpan dalam
memori auditori kita.
2. Tahap fonetik : Bunyi-bunyi itu kemudian kita identifikasi. Dalam proses mental
kita, kita lihat, misalnya apakah bunyi tersebut [+konsonantal], [+vois], [+nasal],
dst. Begitu pula lingkungan bunyi itu : apakah bunyi tadi diikuti oleh vokal atau
oleh konsonan. Kalau oleh vokal, vokal macam apa vokal depan, vokal
belakang, vokal tinggi, vokal rendah, dsb. Seandainya ujaran itu adalah Bukan
nangka , maka mental kita menganalisis bunyi /b/ terlebih dahulu dan
menentukan bunyi apa yang kita dengar itu dengan memperhatikan halhal seperti titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur distingtifnya. Kemudian
13
VOTnya juga diperhatikan karena VOT inilah yang akan menetukan kapan
getaran pada pita suara itu terjadi.
Segmen-segmen bunyi ini kemudian kita simpan di memori fonetik. Perbedaan
antara memori auditori dengan memori fonetik adalah bahwa pada memori auditori
semua variasi alofonik yang ada pada bunyi itu kita simpan sedangkan pada memori
fonetik hanya fitur-fitur yang sifatnya fonemik saja. Misalnya, bila kita mendengar
bunyi [b] dari kata buntu maka yang kita simpan pada memori auditori bukan fonem
/b/ dan bukan hanya titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur-fitur distingtifnya saja
tetapi juga pengaruh bunyi /u/ yang mengikutinya. Dengan demikian maka [b] ini
ssedikit banyak diikuti oleh bundaran bibir (lip rounding) . Pada memori fonetik, halhal seperti ini sudah tidak diperlukan lagi karena begitu kita tangkap bunyi itu
sebagai bunyi /b/ maka detailnya sudah tidak signifikan lagi. Artinya, apakah /b/ itu
diikuti oleh bundaran bibir atau tidak, tetap saja bunyi itu adalah bunyi /b/.
Analisis mental yang lain adalah untuk melihat bagaimana bunyi-bunyi itu
diurutkan karena urutan bunyi inilah yang nantinya menentukan kata itu kata apa.
Bunyi /a/, /k/, dan /n/ bisa membentuk kata yang berbeda bila urutannya berbeda.
Bila /k/ didengar terlebih dahulu, kemudian /a/ dan /n/ maka akan terdengarlah bunyi
/kan/; bila /n/ yang lebih dahulu, maka terdengarlah bunyi /nak/.
3. Tahap fonologis : Pada tahap ini mental kita menerapkan aturan fonologis pada
deretan bunyi yang kita dengar untuk menetukan apakah bunyi-bunyi tadi sudah
mengikuti aturan fonotaktik yang pada bahasa kita. Untuk bahasa Inggris,
bunyi /h/ tidak mungkin memulai suatu suku kata. Karena itu, penutur Inggris
pasti tidak akan menggabungkannya dengan vokal. Seandainya ada urutan bunyi
ini dengan bunyi yang berikutnya, dia pasti akan menempatkan bunyi ini dengan
bunyi di mukanya, bukan di belakangnya. Dengan demikian deretan bunyi /b/, /e/,
/n/,
/g/,
/i/,
dan /s/
pasti
akan
dipersepsi
tidak
memungkinkan urutan seperti ini seperti pada kata mbak dan mbok meskipun keduaduanya pinjaman dari bahasa Jawa. Sebaliknya, penutur Inggris pasti akan
memisahkan kedua bunyi ini ke dalam dua suku yang berbeda.
14
banyak bentuk yang berbeda-beda. Karena itu, diajukanlah suatu model yang
dinamakan Model Analisis dengan Sintesis (Analysis-by-Synthesis).
Dalam model ini dinyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem produksi
yang dapat mensintesiskan bunyi sesuai dengan mekanisme yang ada padanya
(Stevens 1960, dan Stevens dan Halle 1967, dalam Gleason dan Ratner 1998).
Waktu dia mendengar suatu deretan bunyi, dia mula-mula mengadakan analisis
terhadap bunyi-bunyi itu dari segi fitur distingtif yang ada pada masing-masing bunyi
itu. Hasil dari analisis ini dipakai untuk memunculkan atau mensintesiskan suatu
ujaran yang kemudian dibandingkan dengan ujaran yang baru dipersepsi. Bila antara
ujaran yang dipersepsi dengan ujaran yang disintesiskan itu cocok maka
terbentuklah persepsi yang benar. Bila tidak, maka dicarilah lebih lanjut ujaran-ujaran
lain untuk akhirnya ditemukan ujaran yang cocok.
Sebagai contoh, bila penutur bahasa Indonesia mendengar deretan bunyi
/pola/ maka mula-mula dianalisislah ujaran itu dari segi fitur distingtifnya dimulai
dengan /p/ yang berfitur [+konsonantal], [-kontinuan], [+tak-vois], dsb. Proses ini
berlanjut
untuk
bunyi
/o/,
dan
seterusnya.
Setelah
semuanya
bahwa suku kata /ba/ yang kita dengar itu sama (atau tidak sama) dengan suku kata
dari prototipe kita.
Model ini dinamakan fuzzy (kabur) karena bunyi, sukukata, atau kata yang kita
dengar tidak mungkin persis 100% sama dengan prototipe kita. Orang yang sedang
mengunyah sesuatu sambil mengatakan /ba(rah)/ pasti tidak akan menghasilkan /ba/
yang sama yang diucapkan oleh orang yang tidak sedang mengunyah apa-apa.
Begitu pula orang yang sedang kena flu pasti akan menambahkan bunyi sengau
pada suku ini; akan tetapi, suku kata /ba/ yang dengan bunyi sengau ini akan tetap
saja kita anggap sama denga prototipe kita.
d. Model Cohort
Model untuk mengenal kata ini terdiri dari dua tahap:
Pada tahap kedua, terjadilah proses eliminasi secara bertahap. Waktu kita
kemudian mendengar bunyi /r/ maka kata pahala dan pujaan akan tersingkirkan
karena bunyi kedua pada kata kedua ini adalah /r/ seperti pada kata targetnya.
Kata priyayi dan prakata masih menjadi calon kuat karena kedua kata ini memiliki
bunyi /r/ setelah /p/. Pada proses berikutnya, hanya priyayi yang masih bertahan
karena kata prakata memliki bunyi /a/, bukan /i/, pada urutan ketiganya. Akan
tetapi, pada proses selanjutnya kata priyayi juga tersingkirkan karena pada kata
tergetnya bunyi yang ke-empat adalah /h/ sedangkan pada priyayi adalah /y/.
Dengan demikian maka akhirnya hanya ada satu kata yang persis cocok dengan
masukan yang diterima oleh pendengar, yakni, kata prihatin.
dengan bunyi yang lain sehingga bunyi-bunyi itu membentuk semacam deretan
bunyi. Lafal bunyi yang diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain tidak
sama dengan lafal bunyi itu bila dilafalkan secara sendiri-sendiri. Bunyi /p/ yang
diujarkan sebelum bunyi /i/ (seperti kata pikir) akan berbeda dengan bunyi /p/ yang
diujarkan sebelum bunyi /u/ ( seperti pada kata pukat). Pada rentetan yang pertama,
bunyi /p/ ini akan terpengaruh oleh bunyi /i/ sehngga ucapan untuk /p/ sedikit banyak
sudah diwarnai oleh bunyi /i/, yakni, kedua bibir sudah mulai melebar pada saat
bunyi /p/ diucapkan. Sebaliknya, bunyi /p/ pada /pu/ diucapkan dengan kedua bibir
bundarkan, bukan dilebarkan seperti pada /pi/.
Namun demikian, sebagai pendengar kita tetap saja dapat menentukan bahwa
kedua bunyi /p/ yang secara fonetik berbeda merupakan satu bunyi yang secara
fonemik sama. Karena itulah maka betapa pun berbedanya lafal suatu bunyi,
pendengar akan tetap menganggapnya sama apabila perbedaan itu merupakan
akibat dari adanya bunyi lain yang mempengaruhinya. Dengan kata lain, alofonalofon suatu bunyi akan tetap dianggap sebagai satu fonem yang sama.
Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi bisa pula dipengaruhi oleh
kecepatan ujaran. Suatu bunyi yang diucapkan dengan bunyi-bunyi yang lain secara
cepat akan sedikit banyak berubah lafalnya. Akan tetapi, sebagai pendengar kita
tetap saja dapat memilah-milihnya dan akhirnya menentukannya. Pengetahuan kita
sebagai penutur bahasa membantu kita dalam proses persepsi.
Faktor lain yang membantu kita dalam mempersepsi suatu ujaran adalah
pengetahuan kita tentang sintaksis maupun semantik bahasa kita. Suatu bunyi yang
terucap dengan tidak jelas dapat diterka dari wujud kalimat di mana bunyi itu
terdapat. Bila dalam mengucapkan kalimat Dia sedang sakit kita terbatuk persis pada
saat kita akan mengucapkan kata sakit, sehingga kata ini kedengaran seperti
/keakit/, pendengar kita akan dapat menerka bahwa kata yang terbatukkan itu adalah
sakit dari konteks di mana kata itu dipakai atau dari perkiraan makna yang dimaksud
oleh pembicara.
Dari gambaran ini dapatlah dikatakan bahwa pengaruh konteks dalam persepsi
ujaran sangatlah besar. Dari sintaksisnya kita tahu bahwa urutan pronomina, kala
progsesif, dan adjektiva adalah urutan yang benar. Dari semantiknya terdapat pula
kecocokan antara ketiga kata ini. Dari konteksnya ketiga kata ini mmemberikan
makna yang layak.
18
KESIMPULAN
Persepsi ujaran ternyata tidaklah sesederhana yang kita pikirkan, di dalamnya
terdapat proses atau tahapan bagaimana suatu persepsi terhadap suatu ujaran itu
terjadi. Melalui tahapan-tahapan tersebut kita sebagai pendengar dapat menafsirkan
bunyi yang diujarkan oleh penutur dan memahaminya secara tepat dan sesuai
dengan maksud si penutur.
Persepsi ujaran juga mempunyai beberapa model dimana pada masingmasing model terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana sebuah
persepsi ujaran itu terbentuk, seperti keadaan lingkungan, keadaan psikologis si
penutur, dan juga kemampuan bahasa si pendengar atau yang memberikan
persepsi.
REVIEW JURNAL 2
Judul Jurnal
Peneliti
Di reveiw
Matakuliah
: Psikologi Kognitif
Fakultas
Penderita stroke
yang terkena
tersebut adalah gangguan fonologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Penelitian ini
melakukan pendekatan kualitatif, artinya data yang dikumpulkan berasal dari hasil
wawancara, observasi, dokumen pribadi, dan catatan memo. Subjek peneliti adalah
seorang yang mengidap penyakit Afasia selama delapan tahun lamanya.
Teori yang dipakai peneliti ini meliputi, teori tentang pengertian dan
penjelasan tentang afasia, kemudian tentang linguistik, dan psikolinguistik.
Analisi yang didapat dari penelitian ini adalah kekeliruan dalam berbahasa pada
informan dan hal ini dapat mengakibatkan akan adanya kesalahan dalam persepsi si
pendengar. Contoh dalam hasil data yang didapat dalam penelitian, para peneliti
memaparkan beberapa dialog yang akan membuat si pendengar salah tanggap atau
kekeliruan dalam persepsi,
(1) Informan : itu ucing ku lauk!
(2) Informan : ihh... tangkal dina hileud meni banyak kitu
Data tersebut menggunakan bahasa sunda karena informan adalah orang sunda.
Pada data tersebut bila diartikan kedalam bahasa sunda akan nampak kekeliruan
dalam percakapannya, seperti kalimat (1) artinya itu kucing (dimakan) ikan, pada
kalimat tersebut informan melepaskan verb pasif sehingga menimbulkan kekeliruan
dalam ujaran informan tersebut.
Saya mengambil jurnal ini karena saya ingin mengetahui apakah kekeliruan
persepsi ujaran tidak hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang keadaannya lelah,
tergesah-gesah, konsentrasinya terpecah, dan dalam keadaan emosi (menurut
simpulan jurnal) melainkan dengan seorang yang mengidap penyakit? Dan akhirnya
keingin tahuan saya terbukti bahwa kekeliruan dalam persepsi ujaran dapat
dilakukan oleh seorang yang mengidap penyakit juga.
20
Understanding of
language thought
Meanin
g
Perception
Of speech
Reading
Spelling
(orthograph
y) cat
Sound
(phonology
) [Kt]
Writing
Speakin
g
Edward E. Smith, Stephen M. Kosslyn. 2014. PSIKOLOGI KOGNITIF Pikiran dan Otak
21
Persepsi
Ambiguitas
Ikatan kata
"wind"
Anda membaca "wind"
seperti
hembusan?
"wind"
dalam jam? "permit" seperti
dalam
mengijinkan
"permit"
dalam
izin
Anda
Ejaan dan penekanan kata
mendengat
atau
membaca"
Suara
(gonggongan/lapisan
kayu)
Anda
Struktur kalimat
mendengar
atau Apakah
membaca
Mary
sedang
membaca
mendengar
atau
membaca
Kata ganti
to win
22
1.2.
segitiga? Artinya dalam ejaan tunggal atau pemetaan suara dalam berbagai kata
memiliki makna di bagian atas segitiga. Hasilnya, untuk sebagian besar kata di
sebagian besar waktu, kita harus mensortir berbagai makna meski kita biasanya
hanya menyadari satu interprestasi. (permainan kata dan lelucon merupakan
pengecualian. Humor tergantung pada kesadaran kita mengenai makna lain dari kata
yang ambigu).
Sebuah tema lazim yang muncul dalam semua penelitian mengenai resolusi
ambiguitas adalah integrasi informasi dari-bawah-ke-atas dan dari-atas-ke-bawah.
Informasi dari-bawah-ke-atas berasal langsung dari apa yang kita persepsikan. Saat
ini, saat anda membaca, satu sumber informasi dari-bawah-ke-atas tercetak di
halaman ini. Dalam model segitiga, informasi dari-bawah-ke-atas bergerak dari dua
titik bawah segitiga, ejaan dan informasi suara, menuju titik atas yaitu makna.
Informasi dari-atas-ke-bawah berasal dari informasi di memori jangka panjang yang
membantu kita menginterpretasikan apa yang kita persepsikan dan menginterpretasi
informasi dalam konteks di mana informasi dari-bawah-ke-atas terjadi. Dalam model
segitiga, informasi dari-atas-ke-bawah juga menyertakan pengaruh dari makna
hingga representasi ejaan ketika membaca. Oleh karena informasi dari-bawah-keatas, misalnya teks yang dicetak, merupakan sesuatu yang sangat berbeda dari
representasi dari-atas-ke-bawah konteks makna dan informasi lain di memori jangka
panjang, belum jelas sepenuhnya bagaimana dua bentuk informasi yang berbeda itu
terintegrasi satu sama lain untuk membantu persepsi. Tentu saja, pernyataan yang
berbeda mengenai bagaimana informasi tersebut terintegrasi menghasilkan
beberapa kontroversi esar dalam penelitianbahasa dewasa ini. Di bagian berikut, kita
akan melihat peran informasi dari-bawah-ke-atas dan dar-atas-ke-bawah dalam
persepsi tuturan.
1.3.
Persepsi Tuturan
tidak ditandai oleh jeda. Anda memiliki persepsi sadar ketika mendengar kata-kata
individual dalam tuturan tetapi pada kenyataannya anda mendengar sesuatu seperti
ini : katakataterhubungdalamsinyaltuturanyangberkelanjutan. Memisahkan kata-kata
tersebut ketika ditulis akan memberikan efek pemahaman. Contoh bagaimana
tuturan sebenarnya terlihat ditunjukkan Spektogram suara. Spektogram adalah
tampilan visual dua dimensi tuturan di mana waktu ditunjukkan di satu poros,
frekuensi suara (yang berkaitan dengan tinggi nada) di poros lain, dan intensitas
suara di tiap titik waktu dan frekuensi diindikasikan oleh tingkat kegelapan tampilan
(dan dengan demikian spasi putih menunjukkan kesenyapan). Spektogram pada
tampilan di bawah menunjukkan kalimat yang diucapkan Kami pergi setahun yang
lalu. Sebagian besar kata di dalam kalimat tidak dipisahkan oleh jarak da nada
beberapa jarak di tengah kata seperti dalam kata ago.
terletak bersebelahan dalam kata inggris (jadi jika anda mendengar (bk), maka (b)
kemungkinan merupakan huruf akhir dari suatu kata dan (k) adalah huruf awal dari
kata lain) (McQueen, 1998). Kita memiliki pengetahuan yang sangat detail mengenai
bahasa asli (atau bahasa lain yang fasih kita gunakan), tetapi pengetahuan ini
tidaklah membantu ketika kita mendengar seseorang menggunakan bahasa ini
dengan pola yang tidak familiar. Pembicara bahasa asing sepertinya berbicara terlalu
cepat dengan suara yang tidak beraturan dan tanpa ada batasan yang jelas
antarkata. (Bahasa Yunani kuno mengistilahkan orang asing ini sebagai barbaroi,
kaum barbar bukan karena mereka kasar tidak serta merta begitu tetapi karena
mereka terdengar berbicara seperti orang barbar ketimbang bahasa Yunani).
Sebaliknya, ketika kita mendengar sebuah bahasa yang sangat kita ketahui, kita
tidak mempersepsikan sinyal tuturan sebagai aliran yang berkelanjutan, karena
system persepsi kita melakukan pekerjaan yang sangat baik dengan menerka
batasan kata. Hasilnya adalah ilusi yang membuat batasan itu, dalam bentuk jeda,
terlihat benar-benar menjadi penanda fisik.
Masalah utama dalam persepsi tuturan adalah mengidentifikasikan fonem
dalam sinyal tuturan. Ada keberagaman yang besar terkait cara fonem dihasilkan.
Setiap pembicara memiliki suara yang berbeda dan aksen yang sedikit berbeda
(atau yang sama sekali berbeda). Kejelasan artikulasi produksi suara tuturan
bervariasi tergantung pada kecepatan tuturan, mood pembicara, dan banyak factor
lain. Artikulasi fonem juga tergantung pada fonem lain apa yang diartikulasikan
sebelum atau sesudahnya. Pikirkan bagaimana anda mengatakan (k) dalam kaya
key dan coo. Ucapkan kata-kata itu secara bergantian dan berhenti sebelum anda
mengeluarkan suara (k) dari mulut anda. Bagaimana bentuk bibir anda di tiap kata
ketika anda mengucapkan (k)? Anda akan mendapatai bibir anda secara berbeda
karena sebelum anda mengeluarkan suara (k), bibir anda telah bersiap-siap
menghasilkan huruf vocal setelahnya. Ketika huruf vocal berupa ee di kaya key,
bibir anda akan terbuka lebar, tetapi ketika setelahnya ada oo dari kata coo maka
bibir anda akan berbentuk bulat. Tumpang tindih fonem ini di dalam tuturan disebut
dengan koartikulation dan memiliki dampak yang besar pada suara fonem tersebut.
Jika anda mengucapkan (k) pada kata key dan coo tanpa huruf vocal tetapi dengan
bibir anda yang melebar dan membulat seolah-olah anda akan mengucapkan kata
tersebut, maka anda akan mendengar (k) di kaya key memiliki tinggi nada yang lebih
tinggi dan terdengar berbeda dari (k) dalam kata coo. Fenomena koartikulation
menunjukkan bahwa tiap fonem diartikulasikan secara berbeda tergantung pada
fonem mana yang mendahului dan yang ada setelahnya.
26
28
Jika peneliti memamng benar dalam meyakini bahwa kita mengenali katakata dengan mempertimbangkan kemungkinan kata-kata dalam cohort dan
mengeliminasi kata-kata yang tidak benar, maka makin banyak neighbor yang
dimiliki satu kata makin lama waktu yang diperlukan untuk mengeliminasi dan
sampai pada kata yang diucapkan. Hal ini telah dibuktikan melalui eksperiment.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa partisipan lebih cepat saat mengenali kata.
Misalnya awesome yang memiliki sedikit neighbor, dibandingkan kata-kata seperti
totally yang memiliki banyak neighbor yang membenarkan mengenai efek
neighborhood density (Luce & Pisoni, 1998).
Bukti kedua mengenai cohort dan proses eliminasi berasal dari observasi
respon yang tidak disengaja. Kita tidak memiliki perasaan sadar bahwa kita
mempertimbangkan banyak kemungkinan selama persepsi tuturan, tetapi model
cohort menunjukkan bahwa kandidat dalam cohort harus memunculkan tingkatan
aktifasi yang lebih besar dari pada kata yang dipertimbangkan. Jika demikian, kita
seharusnya mampu mengobservasi beberapa konsekuensi dari aktifasi ini dan hal ini
telah pula dibuktikan melalui eksperimen. Misalnya, dalam suatu penelitian partisipan
melihat objek di atas meja dan diminta untuk mengikuti instruksi yang mereka
dengar, misalnya angkat beaker (gelas kimia) (Allopena et al.,1998). Dalam
beberapa kondisi, objek di meja terdiri dari sebuah gelas kimia, mainan kumbang
beetle (beetle tumpang tindih dengan kata pertama beaker), speaker mainan
(speaker berima dengan beaker tidak tumpang tindih dengan suara pertama), dan
berbagai objek lain yang tidak memiliki bunyi yang tumpang tindih dengan beaker.
Peneliti memonitor gerakan mata partisipan yang memandangi berbagai objek di
meja yang mengidentifikasikan bahwa ketika mendengar beaker, partisipan juga
mempertimbangkan (melirik) beetle dan speaker (tapi bukan objek yang tidak
memiliki suara yang tumpang tindih dengan beaker). Kedua kata (bone dan
trombone) dipertimbangkan (Shilcock, 1990). Hasil ini mengindikasikan bahwa meski
kita tidak memiliki kesadaran dalam mempertimbangkan alternative selama
mempersepsikan tuturan, faktanya kita mengaktifkan kemungkinan cohort untuk
mengenali suara.
1.4.
Mempresentasikan Makna
Dari
model
segitiga
leksikon,
perhitungan
makna
tiap
kata
29
hewan.
Pola
kerusakan
menunjukkan
bahwa
makna
kata
jenis informasi lain. Masalah yang dialami pasien seperti yang dibahas menunjukkan
bahwa jaringan fungsiopnal dan informasi perseptual direpresentasikan di bagian
otak yang berbeda. Artinya pasien dengan kesulitan yang lebih besar dalam
mengenali benda-benda hidup diperkirakan memiliki kerusakan yang lebih besar di
area otak yang berkaitan dengan fungsi, khususnya area motor (karena fungsi sering
diimplementasikan melalui cara kita mengubah objek).
al., 1995). Peneliti mendapati ketika pertisipan memikirkan warna maka hal ini akan
mengaktifkan sebuah area di dekat otak yang mengendalikan gerakan. Hasil ini dan
hasil lain menunjukkan bahwa representasi makna tersebar dalam berbagai area
otak di jaringan yang mengkodekan berbagai aspek makna, termasuk fitur
perseptual, fitur gerakan dan asosiasi emosional.
1.5.
Memahami kalimat
Kalimat memberikan konteks yang dapat membayangi makna dari satu kata.
Kalimat juga tentu saja memiliki makna. Bagian dari makna ini sebagian berasal dari
makna kata yang terkandung dalam kalimat, sebagian dari sintaks kalimat
hubungan antara kata tersebut dengan kata lain. manusia menggigit anjing memiliki
arti berbeda dari anjing menggigit manusia. Tetapi tidak ada yang sederhana.
Kalimat ini dapat diinterpretasikan dengan dua cara tergantung pada mana dari dua
kemungkinan kalimat tersebut yang diasumsikan. Setiap struktur yang muncul
(ditunjjukkan lewat tanda kurung) menghasilkan makna yang berbeda. Jika struktur
kalimat mata-mata melihat (polisi dengan teropong), frase preposisi dengan
teropongmenjelaskan di polisi yang artinya ini adalah seorang polisi yang memiliki
teropong. Akan tetapi, jika struktur kalimatnya mata-mata melihat (polisi) dengan
teropong maka dengan teropong menjelaskan cara melihat artinya mata-mata
menggunakan teropong untuk membantunya melihat.
Contoh ini menggambarakan ambiguitas structural yaitu aliran kata linear
yang terdengar atau dibaca sejalan dengan lebih dari satu struktur sintaksis dan
makna kalimat. Pembicara atau penulis hanya meniatkan satu struktur dan makna
dan pendengar atau pembaca harus menemukan hal ini dengan merekonstruksinya
dari aliran kata. Ambiguitas structural merupakan hal yang sangat lazim dalam
tuturan dan tulisan tetapi meskipun demikian kita biasanya mencoba dengan cara
kita
sendiri
untuk
melakukannya?
mengetahui
Kegagalan
yang
interpretasi
kadang
yang
terjadi
benar.
Bagaimana
menunjukkan
kita
bagamana
pemahaman kerja. Kegagalan ini sering menjadi dasar sebuah lelucon dimana
humor berasal dari usaha mengelabui pendengar (atau pembaca) dalam satu
interpretasi dari sebuah kalimat dan kemudian menimbulkan interpretasi lain yaitu
interpretasi yang diniatkan dimiliki oleh pembaca. Comedian hebat Gruocho Marx
merupakan pakar dalam hal ini. Salah satu leluconnya yang terkenal adalah salah
satu ucapannya dalam film Animal Crackers : One morning I shot an elephant in my
32
pajamas. How he got in my pajamas, I dont know. Lelucon ini berhasil karena
ambiguitas structural di kalimat pertama, ambiguitas yang sama yang ada di kalimat
teropong di atas. Penonton awalnya menginterpretaskan kalimat pertama sebagai
Ishot (an elephant) ini my pajamas aku menembak (seekor gajah) mengenakan
piyama siketahui bahwa dari konteks yang ada setelahnya bahwa struktur kalimat
adalah I shot (an elephant in my pajamas) aku menembak (seekor gajah di dalam
piyama ku). Jenis ambiguitas ini disebut dengan garden path sentence karena
pendengar atau pembaca awalnya dibawa ke dalam perkebunan sehingga
memunculkan interpretasi yang salah sebelum akhirnya dapat menyadari kalimat
dan menemukan interpretasi yang benar.
Kalimat dalam garden path menunjukkan sifat yang sangat dasar dalam
memahami kalimat yaitu kesegaran kita menginterpretasikan kata-kata ketika kita
menjumpainya (Just & Carpenter, 1980). Secara prinsip, anda bisa menghindari
ambiguitas dengan cara menunggu sampai kalimat selesai atau dengan menunggu
kalimat lain sebelum memutuskan apa makna sari kata dan struktur kalimat yang
benar. Dengan sara itu anda tidak akan terkejut ketika sebuah ambiguitas
terselesaikan karena akan menunda interpretasi anda sampai anda sudah cukup
mendengar sehingga konteks akan memecahkan ambiguitas yang timbul. Fakta
dalam kalimat garden path mengejutkan kita menunjukkan bahwa pemahaman
diproses segera setelah kta bisa membuat tebakan yang baik (yang tidak disadari)
dari apa yang kita perseprikan. Ini berarti bahwa kita sering menebak interpretasi
yang benar berdasarkan potongan informasi yang ada. Diasumsikan bahwa kita
sering memperoleh interpretasi yang benar mengenai ambiguitas tanpa benar-benar
menyadari makna alternative karena tebakan awal ini memang benar atau terjadi
sangat cepat sebelum kita memiliki kesempatan untuk memperhatikan interpretasi
alternatif lain. Kita sebelumnya mengamati fenomena ang sama dalam efek restorasi
fonem, di mana orang-orang tidak menyadari ketika sebuah fonem digantikan oelh
suara batuk, seperti dalam *eel pada jeruk. Konteks dari jeruk diintegrasikan
dengan sangat cepat sehingga pendengar meyakini bahwa mereka mendengar kata
peel (mengupas) dengan jelas. Jenis intergrasi yang cepat juga terjadi dalam
penyelesaian ambiguitas sintaksis.
Ketika ambiguitas dalam sinyal tuturan harus diselidiki menggunakan
stimulus bahasa ujar, peneliti yang mengkaji resolusi ambiguitas sintaksis biasanya
menggunakan ukuran waktu membaca untuk menguji hipotesis mereka mengenai
bagaimana kita memperoleh interpretasi yang tepat terhadap ambiguitas. Dengan
33
menapilkan kalimat tertulis, peneliti dapat mengukur waktu bacaan di tiap kata
(misalnya, dengan menggunakan sebuah alat yang mengukur gerakan mata
pembaca) dan melacak di titik mana sebuah kalimat terasa sulit dipahami (mata yang
berhenti bergerak). Mengukur kesulitan di tiap titik kalimat merupakan hal yang
penting untuk memahami ambiguitas karena pola membaca dapat mengungkapkan
kapan pembaca salah menginterpretasikan sebuah kalimat yang ambigu. Seperti
yang telah kita lihat, ambiguitas structural bersifat temporer dan hanya berlangsung
hingga munculnya bagian kalimat lain untuk membuat interpretasi yang diniatkan
menjadi jelas. Ini biasanya terjadi dalam pemahaman terhadap bahasa. Misalnya,
perhatikan kalimat berikut:
1. Trish know Susan.. (struktur: ambigu)
2. Trish know Susan from summer camp. (struktur: subjek-kata kerja-objekpreposisi tempat)
3. Trish know Susan is laying. (struktur: subjek-kata kerja-(kalimat (subjekkata kerja)
Kalimat 1 berisikan ambiguitas structural yang temporer terkait dengan
interpretasi know dan kata apapun yang muncul sesudahnya. Know dapat berarti
mengenal dan kita bisa menginterretasikan bahwa kata yang akan muncul
sesudahnya adalah kata benda yang menunjukkan siapa yang dikenal. Kalimat 2
membenarkan interpretasi ini. Susan adalah objek langsung dari know dan kalimat
ini berarti Trish mengenal Susan. Alternativenya, know dapat berarti menyadari
kebenaran atas sesuatu, di mana kata-kata yang muncul setelah know biasanya
keseluruhan kalimat yang diletakkan yang menyatakan kebenaran. Kalimat 3
berjenis seperti ini dan Susan adalah seubjek yang dilekatkan dalam kalimat Susan
is laying.
Titik dalam kalimat di mana struktur dan interpretasi yang diniatkan terlihat
jelas disebut dengan disambiguation region (area disambigu). Di kalimat 2 area
disambigu adalah form summer camp. Di kalimat 3 area disambigu ada pada is
laying. Observasi terhadap wantu membaca dalam area disambigu dapat
mengungkapkan kesulitan dalam memahami yang disebabkan oleh ambiguitas.
Partisipan yang membaca sebuah kalimat ambigu dan kemudian mendapati area
disambigu yang tidak sesuai dengan interpretasi awal akan memperlambat
kecepatan bacaan mereka di area disambigu (mata mereka menetap di area ini
untuk waktu yang lebih lama). Di titik ini mereka menyadari bahwa mereka telah
34
dibawa ke garden path dan harus menganalisa kembali kalimat yang membutuhkan
waktu yang lebih lama Rayner & Pollatsek, 1989).
Hipotesis Parser menunjukkan bahwa strategi untuk menyelesaikan
ambiguitas dalam struktur kalimat sangat berbeda dari resolusi untuk ambiguitas
leksikal. Hanya satu srtuktur kalimat dipertimbangkan di satu waktu sementara kita
telah melihat bukti yang kuat di bagian sebelumnya yang menunjukkan bahwa
beberapa interpretasi yang berbeda dari kata yang ambigu akan aktif selama
dilakukannya resolusi ambiguitas leksikal. Perbedaan berasal dari konsep yang
berbeda mengenai leksikon dan sintaks makna kata tersimpan di leksikon tetapi
struktur sitaksis menghasilkan sesuatu yang baru tiap kali sebuah kalimat didengar.
Dengan demikian, mengaktifkan beberapa alternative makna kata tidaklah
menyulitkan
tetapi
membangun
beberapa
struktur
altenatif
secara
berkesinambungan merupakan sesuatu yang terlalu sulit untuk dilakukan saat kita
berusaha memahami sebuah kalimat.
Hipotesis alternative adalah kita menghadapi ambiguitas dalam struktur
kalimat dengan cara yang secara dasar bersifat sama dengan cara kita menghadapi
ambiguitas leksikal (MacDonal et al., 1994; Trueswell & Tanenhaus, 1994). Seperti
dalam ambiguitas leksikal, efek konteks untuk memecahkan ambiguitas structural
dalam kondisi normal akan lebih lemah dari pada informasi dari-bawah-ke-atas.
Pandangan ini terlihat menarik karena ia menekankan pada sifat ketertarikan kata
dan level sintaksis dalam representasi bahasa dan ia memungkinkan adanya
karakterisasi yang konsisten dari resolusi ambigu di berbagai level yang berbeda.
Artinya apakah ambigu itu terjadi di level sinyal tuturan, makna kata, atau struktur
kalimat, atau beberapa kobinasi dari hal ini, system pemahaman secara tidak sadar
akan mengintergrasikan informasi apapun untuk menginterpretasikan input yang
paling cocok dengan bukti yang tersedia. Peneliti masih menguji dua hipotesis ini
tetapi masih belum ada kesepakatan untuknya.
1.6.
Bahasa Figuratif
tindakan
sesorang
yang
mencari
sesuatu.
Bahasa
figurative
35
memahami
bahasa
figurative
dan
penelitian
neuroimaging
telah
menunjukkan bahwa partisipan normal memiliki aktifasi yang lebih besar di hemisfer
kanan ketika memahami metafora ketimbang ketika memahami bahasa literal (Bottini
et al., 1994).
Peran pati dari hemisfer kanan dalam memahami bahasa figurative belum
dipahami dengan baik tetapi ia bisa saja berkaitan dengan interpretasi terhadap
intonasi kalimat yaitu melodi kalimat tinggi rendahnya nada, variasi dalam
penekanan. Perhatikan kalimat Jim adalah lelaki yang baik dengan menggunakan
intonasi yang berada, anda bisa membuat kalimat ini menjadi sebuah pernyataan
fakta, pernyataan, atau komentar sarkastik yang menunjukkan bahwa anda berpikir
Jim sama sekali bukan lelaki baik. Hemisfer kanan sangat terlibat dalam
menginterpretasikan intonasi kalimat (Buchanan et al., 2000). Hubungannya?
Sarkasme, ironi, lelucon, dan beberapa jenis bahasa figurative lain sering
bergantung
pada
intonasi.
Akan
tetapi,
peran
hemisfer
kanan
dalam
36
1.7.
Membaca
Ketika anda tidak bisa memahami apa yang teman anda katakana, ia
mengeluarkan menu sehingga anda bisa melihat alamat restoran tempat ia bekerja.
Nama restoran, The happy Bird dan gambar burung yang ada di bagian atas menu.
Anda mengenali gambar burung itu dengan cepat dan anda membaca kata The
Happy Bird dengan cepat juga. Proses yang sama memungkinkan anda mengenali
burung yaitu proses pengenalan objek mencakup pengumpulan informasi
perseptual dari gambar seperti area terang dan gelap dan lokasi sudut pandang
untuk mengidentifikasi objek. Dengan kata lain, anda menggunakan informasi visual
dalam gambar untuk mengaktifkan informasi semantic dalam hal ini makna seekor
burung
memakai
celemek
dan
membawa
nampan
makanan.
Dalam
Jalur-jalur Pembacaan
37
Rute alternative adalah ejaan !fonologi !makna : kata yang tercetak pertamatama dikaitkan dengan representasi fonologis (artinya ada pemetaan antara dua titik
bawah segitiga) dank ode fonologis dikaitkan dengan makna, seperti dalam persepsi
tuturan. Ketika anda membaca, anda mungkin memahami ada suara di kepala anda
yang mengatakan kata yang anda baca. Efek ini muncul karena ada aktifasi kode
fonologis dari kata yang dicetak ketika kita membacanya. Rute fonologis ini
digunakan ketika kita menyuarakan kata yang tidak familiar ejaan diterjemahkan
menjadi tuturan. Rute fonologis adalah basis metode phonic dalam pengajaran
membaca. Jika anda mengingat suara kata ketika anda belajar membaca, beginilah
cara anda diajarkan.
Penelitian neuroimaging menghasilkan bukti gabungan untuk teori mengenai
bagaimana orang-orang menggunakan jalur membaca yang berbeda. FMRI telah
digunakan untuk mengkaji jumlah aktifitas otak dalam diri pembaca dari berbagai
usia dan dengan tingkatan kemampuan membaca yang berbeda ketika mereka
membaca jenis kata yang berbeda (Pugh et al., 2001). Penelitian ini mengindikasikan
bahwa dua area yang berbeda di hemisfer kiri diperlukan dalam pembacaan yang
baik. Yang pertama adalah area temporoparietal otak yang dekat dengan area yang
diperlukan terkaik makna kata dan fonologi dan area lain adalah system
oksipitotemporal. (lihat gambar). Peneliti menyatakan ketika kita belajar membaca,
system temporoparietal pada awalnya mendominasi dan bertanggung jawab dalam
pembelajaran hubungan jalur ejaan !fonologi !makna. system oksipitotemporal
berkembang kemudian dan menjadi semakin penting seiring dengan peningkatan
dalam kemampuan membaca. System ini mengaitkan secara langsung informasi
visual (yaitu ejaan) dengan informasi makna. Terlalu cepat mengatakan bagamana
area otak ini berkaitan dengan jalur ejaan !fonologi !makna seperti yang terlihat
dalam model segitiga, teteapi penelitian FMRI menawarkan sebuah cara yang
menarik untuk memahami sifat pemrosesan informasi yang mendasari pembacaan.
38
1.9.
membaca dihabiskan untuk memperhatikan dan anda melakukan dua atau tiga kali
saccades di tiap detik di bagian teks yang baru.
Ketika anda memperhatiakan sebuah kata, gambar kata tersebut jatuh di
fovea, yaitu bagian retina dengan ketajaman visual terbesar. Makin jauh gambar dari
fovea, makin buruk ketajaman visualnya. Kalimat di bawah ini memiliki satu kata
yang dicetak tebal. Ketika anda memperhatikan langsung kata ini, gambar akan jatuh
di fovea anda. Sekarang, dengan tetap memperhatikan kata yang dicetak tebal,
cobalah mengidentifikasi huruf dalam kalimat.
Tyc amksp birxu roz ulvdp walk gehld thc pqzy gvlwn ckg.
Jika anda teteap memperhatikan kata walk dan tidak memperhatikan bagian
lain, anda mungkin bisa menebak huruf yang ada tepat sebelum dan sesudah kata
ini, tetapi makin jauh huruf maka bisa semakin kabur bentuknya. Pertanyaan yang
pasti muncul terkait contoh ini adalah mengapa semua kombinasi huruf selain walk
tidak berbentuk kata yang umum? Alasannya sebagian besar pertisipan dalam
eksperimen seperti ini cenderung memandang sekilas seluruh tampilan ketika
melihat satu kata yang dicetak tebal. Jika anda melakukan hal tersebut dan kalimat
ini bisa dipaami, anda bisa menggunakan pemrosesan dari-atas-ke-bawah untuk
membantu anda menebak huruf di sebelah kata walk. Ketika kata tidak lazim dipakai
maka akan mengurangi penggunaan informasi dari-atas-ke-atas dan memberikan
pemahaman kepada anda mengenai betapa buruknya ketajaman visual anda dari
luar fovea.
Banyak
penelitian
menunjukkan
bahwa
pembaca
yang
terlatih
memperhatikan sebagian besar tetapi tidak semua kata ketika mereka membaca
sesuatu yang memiliki kesulitam yang sama seperti teks ini. Beberapa kata,
khususnya yang panjang, diperhatikan lebih banyak dan beberapa kata pendek
dapat dipahami meski mereka tidak memandangnya dengan tajam. Kata the sangat
sering tidak diperhatikan karena singkat (dan sering muncul) sehingga dapat
dipahami meski kita memperhatiakn bagian lain. Lebih jauh lagi, ketika sebuah kata
diperhatikan oleh pergerakan mata, seringkali hal ini direncanakan agar pemusatan
diberikan di tengah kata sehingga kata lain bisa dilihat dengan jelas melalui
pemusatan tunggal.
40
1.10.
Membaca Cepat
Sebagai pembaca yang terlatih, anda membaca dengan sangat cepat, setia
detik mengidentifikasi beberapa kata. Banyak orang yang harus berurusan dengan
tindakan membaca sering berharap agar mereka mampu membaca lebih cepat lagi
dan mereka bersedia mengikuti kursus membaca cepat. Apakah instruksi
membaca cepat berhasil ? tidak, tidak terlalu.
Setiap program membaca cepat memiliki perbedaan tetapi sebagian besar
menghasilkan asumsi yang sama mengenai bagaimana membaca seharusnya
dilakukan. Satu asumsi umum dan ketinggalan zaman berkaitan dengan model
segitiga. Program membaca cepat sering menunjukkan bahwa pembaca yang efisien
harus mengaitkan ejaan secara langsung dengan makna dan menghindari rute
pengucapan. Program ini menyatakan bahwa pembaca akan terjebak dalam
kebiasaan yang buruk ketika mengucapkan kata saat membaca dan mereka dapat
meningkatkan kecepatan membaca mereka jika mereka menghilangkan langkah
ekstra ini dan membaca menggunakan rute ejaan !makna. seperti yang telah kita
lihat, pandangan ini sebelumnya mendominasi pengajaran pada anak, tetapi
sekarang ada bukti baru yang kuat yang menunjukkan bahwa aktifasi tuturan
faktanya merupakan komponen alamiah dari pembacaan.
Sebagian besar instruksi membaca cepat juga mendorong pembaca untuk
menggerakkan mata mereka untuk melintasi halaman dengan lebih cepat. Oleh
karena mustahil memrogramkan dan melakukan saccades secara lebih cepat dari
rata-rata kecepatan alamiah kita, satu-satunya cara untuk melintasi halaman dengan
lebih cepat adalah dengan melakukan saccades yang lebih panjang. Akan tetapi, hal
ini tidaklah membantu. Oleh karena kata di luar area fovea tidak diperhatikan dengan
baik, dampak dari saccades yang lebih lama adalah beberapa kata yang tidak
diperhatikan, atau tidak berada di dekat titik pemusatan, tidak akan terlihat. Dengan
kata lain, membaca cepat menyerupai skimming anda memperhatikan beberapa
bagian teks dan anda mengabaikan bagian lain.
Pola membaca dan kemampuan memahami dari pembaca yang terlatih telah
dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak memiliki pengalaman membaca cepat
(Just & Carpenter, 1987). Mahasiswa membaca teks dengan dua cara yang berbeda.
Dalam satu kondisi, mereka diperintahkan untuk membaca teks. Pada kondisi lain
mereka diperintahkan untuk melakukan skimming. Peneliti mendapati pergerakan
mata si pembaca terlatih sangat sama dengan pergerakan mata mahasiswa yang
melakukan skimming.
41
informasi
atau
dengan
menggunakan
metode
membaca,
akan
menghilangkan bagian yang penting dari konteks dan informasi lain yang penting
untuk mendapatkan representasi makna yang akurat dari material.
REVIEW JURNAL 3
Judul Jurnal
Peneliti
: Hyunisa Rahmanadia
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Depok, Juli 2010
Di reveiw
: Lasidaniati
Matakuliah
: Psikologi Kognitif
Fakultas
ABSTRAK
Skripsi ini membahas salah satu factor pembuat kelucuan dalam humor verbal, yaitu
ambiguitas makna. Objek dalam penelitian ini adalah hum or verbal berbahasa
Rusia. Data yang dianalisis
dalam penelitian ini bersumber dari koran selama bulan Januari 2010. Penelitian ini
adalah penelitian kualitatif dengan pemaparan mengenai jenis-jenis ambiguitas
makna yang digunakan untuk membuat kelucuan dalam humor verbal berbahasa
Rusia. Terdapat 4 jenis ambiguitas makna yang di paparkan dalam penelitian ini
yaitu ambiguitas fonetik, ambiguitas gramatikal, ambiguitas leksikal (homonym dan
polisemi) dan ambiguitas kalimat.
Kata kunci : Rusia, anekdot, humor, ambiguitas makna, fonetik, gramatikal, leksikal,
homonim, polisemi, kalimat.
42
Kesimpulan
Dalam penelitian ini, hasil yang didapat membuktikan bahwa ambiguitas makna
merupakan salah satu factor pembuat kelucuan dalam humor verbal berbahasa
Rusia. Dari 226 data anekdot yang telah dikumpulkan dari koran Rusia dibawah
selama bulan Januari 2010 diambil
anekdot secara acak yang dianggap dapat mewakili setia jenis ambiguitas makna.
Analisa terhadap 40 anekdot yang dipilih secara acak tersebut menunjukkan adanya
keempat jenis ambiguitas makna dalam anekdot. Hasil dari analisis, ditemukan 1
buah data anekdot menggunakan ambiguitas fonetik sebagai factor pembuat
kelucuan. Ada 8 buah data anekdot yang menggunakan ambiguitas gramatikal.
Anekdot yang menggunakan ambiguitas leksikal terdapat 3 buah data anekdot
dengan homonim sebagai pembuat kelucuannya dan 20 buah data anekdot dengan
polisemi. Anekdot yang memanfaatkan ambiguitas kalimat terdapat 8 buah data
anekdot. Hasil tersebut tampak pada table di bawah ini :
Juga disimpulkan bahwa ambiguitas makna hanyalah salah satu dari berbagai
macam factor pembuat kelucuan dalam sebuah anekdot. Banyak sekali factor lain
seperti bahasa dan budaya yang mempengaruhi letak kelucuan suatu anekdot. Oleh
karena itu penelitian mengenai anekdot terutama anekdot-anekdot Rusia masih
harus dilakukan lebih lanjut. Hal ini dikarenakan banyak anekdot Rusia yang tidak
bisa dipahami oleh masyarakat Indonesia meskipun telah mengalami terjemahan ke
dalam bahasa Indonesia. Selain itu, pemahaman mengenai anekdot yang berasal
dari suatu kebudayaan yang berbeda harus didukung dengan pengetahuan
43
mengenai bahasa, budaya, sejarah, sosial, ekonomi, keadaan politik, ideology dan
berbagai factor lainnya dalam Negara tersebut. Tanpa pengetahuan tersebut
pemahaman suatu anekdot dapat dikatakan tidak akan mungkin dilakukan.
44
D. KEMAHIRAN BAHASA4
Menggunakan Konteks Semantik dalam Pemahaman Kalimat
Banyak Kata yang memiliki lebih dari satu arti, tetapi hal ini biasanya tidak
membuat kita menjadi bingung karena konteks di mana kata itu muncul memberikan
informasi tentang makna yang sesuai (Mac Kay, 1966). Pembahasan ini akan lebih
mudah jika kita mempertimbangkan model umum tahap-tahap yang terlibat adalam
pemahan kalimat Carpenter dan Dominions (1981).
Berikut tahapan-tahapannya:
1. (Fixed and encode the next word) Meliputi Pengenalan Pola
Meskipun membahas pengenalan kata dalam bab tentang pengenalan Pola,
Fokus terdapat pada efek kata superioritas. Hal tersebut karena sebuah huruf
lebih mudah untuk di kenali ketika muncul dalam kontes kalimat daripada
ketika kata tersebut muncul dengan sendirinya.
Stephen K. Red. 2011. Cognition Theory and Application edisi 7. Jakarta : Salemba Humanika
45
tidak terbaca dan harus bergantung pada kata-kata dan kalimat sekitarnya untuk
membantu mengidentifikasi kata yang terbaca.
Walaupun efek dari konteks merupakan hal yang paling jelas bagi kita ketika
kita harus mengidentifikasikan sebuah kata, hal tersebut juga mempengaruhi waktu
konteks membandtu dan memfasilitasi pengenalan kata lebih cepat , tetapi juga
memperlambat kita. Sebuah kalimat yang menghasilkan ekspetasi tinggi untuk kata
tertentu disebut kalimat kendala tinggi.
Schwanenflugel dan Shoben (1985) mempelajari efek dari kalimat kendala
tinggi pada pengolahan kata-kata yang di ekspektasi dan kata-kata yang tidak
terduga dengan menggunakan tugas keputusan leksikal (lexical desk task). Tugas
keputusan leksikal merupakan tugas yang mengharuskan orang untuk memutuskan
apakah suatu rangkaian huruf adalah kata.
Kalimat kendala tinggi menyebabkan gangguan dalam kasus terakhir karena
oang-orag mengharapkan kata tertentu yang tidak muncul.Schwanenflugel dan
Shoben memasukkan kalimat kendala rendah yaitu sebuah kalimat yang
menghasilkan ekspetasi yang lebih luas untuk kata-kata.
46
Menginterpretasi Frasa
Model yang di usulkan oleh Carpenter dan Daneman (1981) berfokus pada
integrasi pengodean dan kata-kata. Tujuan dari interpretasi berbasis teori
pengolahan adalah untuk menghasilkan representasi sintaksis dan semantik dari
sebuah kalimat dan menghubungkan kalimat dengan pngetahuan utama.
Teori memberikan penafsiran yang mausk akal dari kalimat
oleh
pembuangan tidak valid frasa interpretasi dan memastikan bahwa semua interpretasi
itu konsisten. Pengaktifan beberapa implikasi dari sebuah ungkapan diikuti dengan
pemilihan yang benar.
Hipotesis Budiu dan Anderson (2004) yang di dasarkan pada asumsi
penafsiran pengolahan berbasis teori menyimpulkan bahwa waktu untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tidak konsisten akan tergantung pada tingkat distorsi.
Seharusnya lebih mudah untuk menjawab pertanyaan dimana terdapat sedikit
47
distorsi
karena
proses
aktivasi
memerlukan
lebih
sedikit
waktu
untuk
REVIEW JURNAL 4
Judul Jurnal
Peneliti
: Kevin Pottie, MD, MClSc, Edward Ng, PhD, Denise Spitzer, PhD,
Alia Mohammed, Med, & Richard Glazier, MD, MPH.
Di reveiw
: Putri Agustin
Matakuliah
: Psikologi Kognitif
Fakultas
ABSTRAK
Latar Belakang:
Sebagian besar imigran yang datang ke Kanada dari Asia, Timur Tengah,
Karibia dan Afrika, di mana budaya dan bahasa sering berbeda secara signifikan.
Subkelompok imigran mengalami kesenjangan dalam kesehatan. Ketidakmampuan
untuk berkomunikasi dalam bahasa resmi di Kanada dapat menjadi penanda risiko
kesehatan yang buruk karena kedua faktor sebelum dan sesudah migrasi. Kami
bertujuan untuk mempelajari hubungan antara kemampuan bahasa dan kesehatan
yang dilaporkan sendiri.
Hasil:
Setelah mengontrol kovariat (umur, jenis kelamin, pendidikan, wilayah
kelahiran, imigran kelas, kepuasan kerja, akses ke perawatan kesehatan), analisis
gelombang 1, survei menunjukkan bahwa kemahiran miskin dalam bahasa Inggris
atau Perancis secara signifikan berhubungan dengan orang miskin yang melaporkan
sendiri kesehatan (OR = 2,0, p <0,01). Dan hubungan ini konsisten dalam
gelombang 2 survei (OR = 1,9, p <0,01). Kami juga menemukan bahwa ini hubungan
statistik yang signifikan antara miskin kemampuan bahasa dan kesehatan yang
dilaporkan sendiri hanya berlaku untuk wanita (wave 1 survey OR = 2,6, p <0,01,
gelombang 2 survei OR = 2,2, p <0,01), bukan untuk Pria.
Kesimpulan:
Hubungan antara kemampuan bahasa miskin dan miskin melaporkan sendiri
kesehatan, dan terutama dampaknya secara signifikan lebih besar pada wanita,
memiliki implikasi untuk pelatihan bahasa, perawatan kesehatan dan pelayanan
sosial, dan informasi kesehatan.
48
DAFTAR PUSTAKA
49