Professional Documents
Culture Documents
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)
Diajukan Oleh:
Choirul Anam
NIM : 108083000020
ii
iii
ABSTRAK
Nama
: Choirul Anam
Program Studi
Judul
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabilalamin, segala puja dan puji syukur penulis panjatkan
kepada Alloh SWT atas segala niKmat, rahmat, dan petunjuknya sehingga
penulisan skripsi ini dapat terselesaikan, demi untuk memperoleh gelar Sarjana
Sosial (S. Sos) dalam Program Studi Ilmu Hubungan Internasional.
Terselesaikannya skripsi ini merupakan berkat dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karenanya penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sangat besar
kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam proses
penyelesaian skripsi ini. Terimakasih yang paling utama adalah kepada kedua
orang tua penulis yang telah memberikan dukungan moral, finansial dan doa nya
yang tiada pernah terhenti. Selanjutnya rasa terima kasih penulis ucapkan kepada
seluruh
anggota
keluarga
yang
selalu
memberikan
supportnya
untuk
pertemanan dan pengalaman yang luar biasa selama menuntut ilmu di UIN
Jakarta.
Penulis sangat berharap semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi para
pembacanya dan diharapkan dapat menambah keilmuan HI dengan tidak terlepas
dari segala kekurangan didalamnya. Penulis hanya dapat berdoa semoga Alloh
SWT membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh seluruh pihak yang
turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang oleh penulis tidak dapat
disebutkan satu persatu. Terimakasih.
Choirul Anam
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR........................................................................................... v
DAFTAR ISI.........................................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................x
BAB I: PENDAHULUAN..................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1
B. Pertanyaan Penelitian...................................................................................6
C. Kerangka Teoritis
1. Kepentingan Nasional............................................................................6
2. Politik Luar Negeri.................................................................................8
3. Keamanan Nasional.............................................................................10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................................11
E. Tinjauan Pustaka........................................................................................11
F. Metode Penelitian......................................................................................13
G. Sistematika Penelitian................................................................................14
vii
BAB
III:
POTENSI
ANCAMAN
YANG
DITIMBULKAN
OLEH
AUSTRALIAS
MARITIME
Luar
Negeri
Presiden
Soesilo
Bambang
Yudhoyono.................................................................................................45
C. Perjanjian Keamanan Indonesia-Australia ...............................................47
BAB V: KESIMPULAN......................................................................................53
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar III.B.1 Jangkauan Sistem Radar AMIZ....................................................36
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebijakan pertahanan Australia sebelum tahun 2000 dikembangkan dengan
lebih terfokus pada pertahanan udara, hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam
Buku Putih Pertahanan 1997 yang menyatakan bahwa kunci bagi pertahanan
Australia adalah kontrol atas wilayah udaranya (Bhakti dan Alami 2005:41).
Kemudian, pada tahun 2000-an kebijakan tersebut mulai berubah, dengan lebih
memfokuskan pertahanannya pada pertahanan yang berbasis maritim. Perubahan
tersebut ditandai dengan dikeluarkannya Buku Putih Pertahanan Australia yang
berjudul Defence Review 2000-Our Defence Force oleh Departemen Pertahanan
Australia. Buku Putih Pertahanan tersebut berisi tentang sebuah penegasan bahwa
perlu adanya upaya untuk melindungi pantai-pantai Australia yang menghasilkan
tambang. Selain itu, di dalam Buku Putih Pertahanan tersebut juga terdapat
himbauan untuk melakukan operasi keamanan pada kawasan pantai Australia.
Perubahan kebijakan pertahanan tersebut terjadi akibat perubahan cara pandang
Australia mengenai ancaman, Australia memandang bahwa ancaman pada tahun
2000 datangnya bukan lagi pada ancaman militer, akan tetapi lebih pada ancaman
yang berasal dari non-militer. Ancaman-ancaman tersebut diperkirakan akan
berasal dari kawasan laut Australia, untuk itulah Australia merasa perlu untuk
meningkatkan serta menguatkan patroli angkatan dan polisi lautnya (Pudjiastuti
2005:63-69).
diwajibkan untuk memberikan informasi terkait data kapal kepada pihak Australia
(Pudjiastuti 2005:69).
Ketika AMIZ diumumkan untuk pertama kalinya, timbul reaksi penolakan
dari beberapa negara, diantaranya adalah Indonesia dan Malaysia. Hal ini
dikarenakan kedua negara tersebut secara geografis merupakan negara yang
terletak berdekatan dengan Australia. Malaysia melalui Wakil Deputy Menteri
Pertahanannya, Zainal Abidin Zin, menyatakan bahwa Australia tidak bisa
mengatasnamakan kepentingan nasionalnya dengan melanggar kedaulatan negara
lain, karena ketentuan 1850 Km yang ditetapkan dalam AMIZ telah memasuki
batas wilayah laut negara lain. Dengan demikian, Australia tidak menghormati
wilayah kedaulatan negara-negara tetanganya (Elisabeth 2005:197). Senada
dengan Wakil Deputy Menteri Pertahanan Malaysia, Menteri Pertahanan
Indonesia, Juwono Sudarsono, mengatakan bahwa Indonesia akan menggelar
kekuatan laut jika Australia tetap akan menerapkan AMIZ. Begitu juga dengan
Menteri Luar Negeri Indonesia, Hasan Wirajuda, dia menyatakan bahwa yang
tidak bisa diterima dari AMIZ adalah pencampur adukan dua yuridiksi demi
kepentingan mereka sendiri (Hertanto 2004). Konsep AMIZ yang dimiliki oleh
Australia tersebut dinilai dapat mengancam kepentingan nasional Indonesia,
karena konsep ini pada dasarnya merupakan surveillance untuk wilayah seluas
1.850 Km dari daratan Australia. Jika jarak itu diterapkan, maka akan menjangkau
dua per tiga wilayah Indonesia, diantaranya adalah Laut Halmahera, Sulawesi dan
Jawa (Hakim 2010:53). Sedangkan Indonesia memiliki kedaulatan penuh terhadap
wilayah-wilayah tersebut.
3
Laut
Internasional, telah
Indonesia tidak
tersebut Presiden SBY tidak secara khusus untuk membicarakan persoalan AMIZ,
padahal kunjungan tersebut adalah dalam rangka kerjasama keamanan (Anggoro
2005:217-219). Hal tersebut mendorong penulis untuk membahas lebih dalam
mengenai
alasan
Presiden
SBY
yang
lebih
memilih
untuk
tidak
Presiden
Soesilo
Bambang
Yudhoyono
tidak
(kehidupan dan nilai-nilai dari warga negaranya), serta untuk bertahan melawan
ancaman dari luar (h.184-185).
Kepentingan nasional merupakan tolak ukur atau kriteria pokok bagi para
pengambil keputusan (decision makers) masing-masing negara sebelum
merumuskan dan menetapkan sikap atau tindakan. Bahkan setiap langkah
kebijakan luar negeri (foreign policy) perlu dilandaskan kepada kepentingan
nasional dan diarahkan untuk mencapai serta melindungi apa yang dikategorikan
atau ditetapkan sebagai kepentingan nasional (Rudy 2002:116).
Menurut Wolfers yang dikutip dalam Holsti (1987), terdapat tiga kategori
dari kepentingan nasional secara umum: (1) Kepentingan utama yang menjadi
dasar dalam perumusan kebijakan yang harus disiapkan, (2) Tujuan jangka
menengah termasuk tuntutan beberapa negara, (3) Tujuan jangka panjang yang
kadang-kadang dibatasi waktunya (h.182).
Pertama, kepentingan dan nilai yang utama dapat diartikan sebagai salah
satu tujuan dimana masyarakat dengan sukarela berkorban untuk mencapai tujuan
akhir. Nilai dan kepentingan tersebut biasanya dihubungkan dengan usaha
perlindungan diri atau eksistensi. Sebuah negara dalam merumuskan kebijakan
luar negeri akan ditujukan dari peningkatan pertahanan, baik di wilayahnya
sendiri maupun kestabilan daerah sekitarnya, serta mempertahankan keadaan
politik, ekonomi dan sosial yang berada dalam wilayah kekuasaannya (Holsti
1987:183-184).
Kedua, penentuan tujuan jangka menengah di dasarkan pada usaha-usaha
pemerintah untuk meningkatkan prestise negaranya. Hal tersebut dilakukan
7
banyak faktor, antara lain posisi geografis Indonesia yang terletak pada posisi
silang antara dua benua dan dua samudera, potensi sumber daya alam serta faktor
demografi atau penduduk di Indonesia, serta berbagai perkembangan yang terjadi
di dunia internasional (Thoyib 2009:23).
Menurut Holsti (1987), kebijakan luar negeri merupakan tindakan atau ide
yang dirancang oleh para pembuat kebijakan untuk memecahkan suatu masalah
atau melancarkan perubahan dalam lingkungan internasional dalam kebijakan,
sikap, atau tindakan negara (h.135). Menurut Millar (1969), kebijakan luar negeri
merupakan suatu kebijakan dari pemerintah suatu negara yang mempunyai
pengaruh terhadap hubungan dengan pemerintah negara lainnya (h.57).
Kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh sebuah negara memiliki empat
tujuan, yaitu: keamanan (security), kesejahteraan (welfare), otonomi (autonomy),
dan prestise (prestige) (Holsti 1992:84). Dalam orientasi kebijakan luar negeri,
suatu negara memiliki sikap dan komitmen terhadap lingkungan eksternal untuk
mencapai tujuan secara domestik maupun eksternal (Holsti 1987:137). Strategi
yang digunakan sebuah negara merupakan hasil dari serangkaian keputusan yang
dibuat untuk menyelaraskan tujuan, nilai dan kepentingan terhadap kondisi dan
karakteristik lingkungan domestik maupun eksternal.
Rosenau (1976), menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri digunakan untuk
menganalisis kekuatan-kekuatan internal dan eksternal yang mempengaruhi
kebijakan luar negeri suatu negara terhadap negara lain (h.60). Menurut Holsti
(1992), faktor eksternal terdiri dari struktur sistem, karakteristik atau struktur
ekonomi global, tujuan dan tindakan aktor lain, masalah regional atau global, serta
9
10
militer umumnya berbentuk organisasi lintas negara, penyebaran senjata dan uji
coba nuklir. (R.P, Barston 1988:184).
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan sikap yang diambil oleh Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait dengan kebijakan pertahanan maritim
Australia yang tertuang dalam Australias Maritime Identification Zone (AMIZ).
Presiden SBY memilih untuk tidak mempermasalahkan kebijakan pertahanan
maritim Australia yang berpotensi akan melanggar Kedaulatan dan Yuridiksi
Indonesia terkait dengan jangkauan radar AMIZ yang mencapai dua per tiga
wilayah Indonesia.
Penelitian ini juga diharapkan nantinya mampu memberikan manfaat
informasi bagi study Ilmu Hubungan Internasional terkait dengan sikap Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono terhadap kebijakan pertahanan maritim Australia
yang dinilai mempunyai potensi pelanggaran Kedaulatan dan Yuridiksi Indonesia.
E. Tinjauan Pustaka
Skripsi yang ditulis oleh Susi Pesta Romauli Boru Aritonang dengan judul
Pengaruh Kebijakan Maritim Australia (Australias Maritim Identification Zone
(AMIZ) Terhadap Batas Yurisdiksi Perairan Indonesia, di dalam skripsi ini fokus
membahas tentang bagaimana pengaruh Australias Maritim Identification Zone
(AMIZ) terhadap batas Yuridiksi perairan Indonesia serta menjelaskan tentang
bagaimana AMIZ ini dalam pandangan Hukum Laut Internasional (Aritonang
2004).
11
Skripsi yang ditulis oleh Sekar Ayu Lestari yang berjudul Kerjasama
keamanan Indonesia-Australia dalam kerangka Agreement between the republic
of Indonesia and Australia on the frame work for security cooperation 20062009, didalam skripsi ini membahas tentang bagaimana bentuk kerjasama
keamanan dan apa yang menjadi fokus kerjasama keamanan dalam agreement
between the republic of Indonesia and Australia on the framework for security
cooperation (Lestari 2012).
Buku penelitian dari LIPI yang berjudul Kebijakan Pertahanan Australia
Tahun 2000-2005 dan Respon Negara-Negara Asia Timur dan Selandia Baru. Di
dalam buku ini ini dijelaskan secara detail tentang evolusi kebijakan pertahanan
Australia dari tahun 1986 sampai dengan 2003. Disini juga dijelaskan tentang
bagaimana negara-negara di Asia Timur dan Selandia Baru merespon AMIZ
terkait dengan jangkauannya yang mencapai 1000 mil laut dari pelabuhanpelabuhan Australia dan juga persenjataan-persenjataan yang melengkapi sistem
pertahanan tersebut (Pudjiastuti et al. 2005).
Sedangkan dalam penelitian ini, penulis akan lebih terfokus pada
pembahasan mengenai sikap Presiden SBY terhadap kebijakan pertahanan
maritim Australia. Kebijakan pertahanan maritim Australia yang tertuang dalam
sistem pertahanan AMIZ memiliki jangkauan yang mencapai dua per tiga wilayah
Indonesia, hal tersebut dinilai akan berpotensi mengancam Kedaulatan dan
Yuridiksi Indonesia. Namun Presiden SBY justru memilih untuk diam dan tidak
mempermasalahkan. Untuk itu, penulis ingin membahas lebih dalam mengenai
kebijakan Presiden SBY tersebut.
12
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan Metode Penelitian Kualitatif,
karena pada dasarnya pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini meliputi
empat tipe, yaitu observasi, interview, dokumen dan gambar visual yang masingmasing mempunyai fungsi dan keterbatasan (Creswell 1994) dan penulis disini
akan lebih banyak menggunakan data-data yang berasal dari sumber dokumen
atau hasil-hasil penelitian yang sudah di olah terlebih dahulu dan telah
dipublikasikan oleh para penerbit.
Sedangkan, pengertian dari Metode Penelitian Kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong 2002). Gaya
penelitian kualitatif berusaha mengkonstruksi realitas dan memahami maknanya.
Sehingga, penelitian kualitatif biasanya sangat memperhatikan proses, peristiwa
dan otentisitas (Soemantri 2005).
Penelitian kualitatif memiliki enam asumsi, Pertama, penelitian kualitatif
mementingkan proses dari pada hasil atau produk. Kedua, penelitian kualitatif
tertarik dalam mengartikan bagaimana manusia mengartikan kehidupan,
pengalaman-pengalaman dan struktur dunia mereka. Ketiga, penelitian kualitatif
merupakan instrumen utama dalam mengumpulkan dan menganalisis data.
Keempat, penelitian kualitatif meliputi kerja lapangan. Kelima, penelitian
kualitatif adalah deskriptif, peneliti berkepentingan dalam proses, pengartian dan
pemahaman yang diperoleh atau melalui kata-kata atau gambar. Keenam, proses
13
penelitian kualitatif adalah induktif, dalam hal ini peneliti membuat abstraksi,
konsep, hipotesis dan teori (Creswell 2004).
Dengan menggunakan sumber kepustakaan serta pengumpulan data dengan
metode kualitatif, diharapkan nantinya dapat mendukung dalam proses mendalami
dan menganalisa respon Indonesia yang dikeluarkan oleh Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono terhadap kebijakan pertahanan maritim Australia.
G. Sistematika Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
B. Pertanyaan Penelitian
C. Kerangka Teoritis
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
E. Tinjauan Pustaka
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penelitian
BAB II KEBIJAKAN PERTAHANAN MARITIM AUSTRALIA
A. Isu-Isu Strategis dalam Perkembangan Kebijakan Pertahanan Maritim
Australia
1. Terorisme
2. Migrasi Ilegal
3. Pengamanan Kilang Minyak
B. Australias Maritime Identification Zone (AMIZ)
C. AMIZ dalam Hukum Laut Internasional
14
AUSTRALIAS
MARITIME
IDENTIFICATION ZONE
A. Tujuan dan Fungsi Dasar Australias Maritime Identification Zone
(AMIZ)
B. Politik Luar Negeri Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
C. Perjanjian Keamanan Indonesia-Australia
BAB V KESIMPULAN
15
BAB II
KEBIJAKAN PERTAHANAN MARITIM AUSTRALIA
Sebelum tahun 2000, sistem pertahanan Australia lebih terfokus pada
pertahanan yang berbasis udara. Jika dibandingkan dengan sistem pertahanan
darat atau maritimnya, Australia pada saat itu lebih memilih untuk memperkuat
sistem pertahanan udara mereka. Hal ini sesuai dengan yang terdapat pada Buku
Putih Pertahanan 1997 yang menekankan bahwa kunci bagi mempertahankan
Australia adalah kontrol atas wilayah udara. Selain itu, mereka fokus untuk
memperkuat angkatan udara, karena dapat menjangkau wilayah jauh dari teritori
Australia, untuk menghalau musuh yang masuk ke Australia (Bhakti 2005:39-40).
Namun pasca tahun 2000, beberapa isu strategis yang terjadi membuat fokus
kebijakan pertahanan Australia berubah untuk lebih fokus mengembangkan
pertahanan yang berbasis maritim, hal inilah yang kemudian melatarbelakangi
pembentukan sistem pertahanan baru yang berbasis maritim, yaitu Australias
Maritime Identification Zone. Kemudian dalam bab ini akan menjelaskan
beberapa isu strategis yang membuat pemerintah Australia memfokuskan
perhatiannya kepada kebijakan pertahanan yang berbasis maritim dan juga akan
membahas sistem pertahanan maritim Australia yang diberi nama Australias
Maritim Identification Zone.
16
17
kerjasama dikawasan tersebut untuk melawan terorisme. Seperti pada tahun 2002,
Australia menandatangani kerjasama melawan terorisme internasional dengan
Indonesia, Malaysia dan Thailand (Pudjiastuti 2005:77).
2. Migrasi Ilegal
Australia sejak akhir 1990-an melihat persoalan migran ilegal menjadi
salah satu faktor penting dalam persoalan keamanan dibandingkan persoalan
kemanusiaan, ekonomi atau politik. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya
imigran illegal yang masuk ke Australia. Pada tahun 1999/2000 imigran illegal
yang masuk ke Australia berjumlah 4.175 orang dan kemudian meningkat tajam
menjadi 13.547 ditahun 2004 dengan menggunakan kapal (Pudjiastuti 2005:85).
Dalam menangani kasus semakin meningkatnya imigran illegal yang
datang, akhirnya Australia mengeluarkan sebuah kebijakan untuk mengeluarkan
Pulau Christmas, Ashmore Reef, dan Pulau Cartier serta daerah instalasi
pengeboran minyak lepas pantai dari wilayah keimigrasian Australia (Coombs.
2004). Hal itu sebagai strategi pertahanan dan keamanan yang diterapkan oleh
Australia dalam menghadapi persoalan-persoalan perairan. Artinya, bila ada
imigran gelap berhasil masuk ke dalam wilayah tersebut mereka tidak akan dapat
memproseskan diri menjadi pengungsi tetapi, langsung ditangkap sebagai imigran
ilegal (Pudjiastuti 2005:86).
Kebijakan Australia untuk mengamankan perairan Australia dari imigran
illegal sebenarnya telah lama menjadi bagian dari kebijakan keamanan maritim
Australia, hal ini dikarenakan perairan merupakan jalur terpadat para imigran
illegal. Dalam buku pertahanan Australia 2000 dijelaskan bahwa persoalan
19
imigran illegal menjadi salah satu yang ditekankan menjadi bagian dari isu-isu
keamanan non militer. isu tersebut dikaitkan dengan ancaman terorisme
internasional, karena para imigran illegal dicurigai memiliki kaitan dengan
kelompok terorisme internasional Al-Qaedah. Oleh karena itu, setelah kejadian
bom Bali 1 2002, Australia dengan cepat mengeluarkan kesimpulan dengan
mengkaitkan para imigran illegal maupun yang telah menjadi pengungsi menjadi
ancaman bagi Australia (Pudjiastuti 2005:87-88).
3. Pengamanan Kilang Minyak
Salah satu tujuan dari pengembangan kebijakan pertahanan maritim
Australia
adalah
untuk
melindungi
aset-aset
negara,
seperti
yang
20
datang) (Pudjiastuti 2005). Hal ini terkait dengan kemungkinan serangan yang
akan dilakukan oleh para teroris terhadap kilang-kilang minyak Australia.
Oleh karenanya, Australia perlu memberikan pengamanan lebih pada
kilang-kilang minyak tersebut, demi melindungi aset dan penghasilan negara dari
serangan-serangan yang berasal dari luar Australia, terlebih pada ancaman yang
berasal dari organisasi terorisme internasional.
B. Australias Maritime Identification Zone (AMIZ)
Untuk merespon berbagai ancaman yang akan dihadapi Australia
sebagaimana yang telah dibahas di atas, Australia mengeluarkan Buku Putih
Pertahanan Australia tahun 2000 yang berjudul Defence Review 2000-Our Future
Defence Force). Dalam Buku Putih 2000 dijelaskan tentang adanya pengaturan
bersama pertahanan dan keamanan khusus pada kawasan laut dan udara. Hal
tersebut dilakukan sebagai upaya untuk melindungi pantai-pantai Australia yang
menghasilkan tambang, pendukung penegakan hukum dan operasi pantai. Selain
itu, strategi pertahanan bersama dalam hal maritim ini adalah bentuk ketegasan
Australia atas persoalan-persoalan yang terjadi di perairannya, seperti migrasi
illegal, penyelundupan obat terlarang, senjata, bajak laut, dan terorisme. Hal ini
kemudian mendorong angkatan udara Australia bekerjasama dengan angkatan laut
dan daratnya, ketiga angkatan tersebut kemudian membentuk sebuah strategi
pertahanan maritim, anggotanya tidak hanya melibatkan personil militer tetapi
juga non-militer yaitu pihak Bea Cukai, yang kemudian tergabung dalam The
Australian Security Intelligence Organization (ASIO). Pengembangan pertahanan
maritim ini secara intensif ditujukan untuk melawan serangan atas aset-aset
21
(WMD) kepada negara atau aktor non negara yang dinilai ilegal. Dasar hukumnya
adalah semua konvensi dan perjanjian yang terkait dengan pencegahan
penyebaran WMD, khususnya Resolusi DK PBB No.1540. Bentuk kerjasamanya
adalah
di
bidang
intelijen,
diplomatik
dan
penegakan
hukum
(www.fkpmaritim.org 2006).
Kemudian pada era kepemimpinan Kevin Rudd, AMIZ lebih ditujukan
sebagai salah satu dasar dalam membangun kebijakan pertahanan maritim
Australia. Munculnya ancaman dan potensi ancaman yang muncul seperti,
imigrasi, perubahan iklim, krisis global, modernisasi militer China dan India
membuat Rudd memandang perlu penguatan kebijakan pertahanan Australia yang
lebih mandiri. Asia Pasifik menjadi perhatian utama Australia dalam membangun
pertahanannya. Kebijakan identifikasi maritim ini menunjukan keinginan
Australia untuk dapat mengendalikan dan memproyeksi kekuatan dari laut.
apabila muncul ancaman-ancaman yang berasal dari laut, maka angkatan laut
Australia dapat langsung dimobilisasi untuk melakukan penindakan dari laut,
tanpa menunggu komando dari darat (Wangge 2012:102-103).
Pada awal diumumkannya AMIZ mengundang perhatian internasional
terkait dengan jangkauan pengamanannya yang mencapai 1000 Nm (1850 Km)
dari garis pantai. Jarak yang ditentukan tersebut berbeda dengan kesepakatan
internasional yang hanya mencapai 200Nm sebagai batas wilayah nasional suatu
negara. Dikarenakan menuai banyak protes dari beberapa negara akhirnya pada
Februari 2005 Australia mengubah Australias Maritime Identification Zone
(AMIZ) menjadi Australias Maritime Identification System (AMIS) (Pudjiastuti
23
2005:65) yang kemudian resmi diterapkan mulai bulan Mei 2005. Akan tetapi,
perubahan AMIZ menjadi AMIS tidaklah merubah ketentuan-ketentuan yang
telah dirumuskan dalam AMIZ, Australia tetap menerapkan AMIS dengan
jangkauan 1000
Nm (www.dotar.gov.au
2005).
Oleh karenanya,
pada
nasional
identitas kapal, awak kapal, kargo, lokasi dan pelabuhan tujuan di Australia
(Sitohang 2005:113).
Kemudian terkait AMIZ, dalam pidatonya di depan Austraian Broadcasting
Corporation pada tanggal 15 Desember 2004, PM John Howard mengatakan
bahwa inti dari kebijakan AMIS adalah sebagai terror surveillance/ interception
zone (pengawasan terhadap ancaman/ zona penangkapan). Sehingga, kebijakan
pertahanan maritim Australia lebih ditekankan pada tiga hal, yaitu:
Inteligent: menjadi komponen yang paling penting dalam strategi maritim
Australia, karena segala informasi yang berasal dari intelijen akan
menentukan tindakan yang akan diambil oleh Australia. Apakah perlu
untuk menyerang, menghalau atau sekedar mengawasi bila ada kapal atau
hal yang merugikan yang mengarah dalam perairan Australia.
Surveillance: diartikan sebagai sebuah sistem observasi angkasa, luar
wilayah, tempat, orang atau barang yang dapat ditangkap secara visual,
elektronik, fotografik atau dengan cara lain. Observasi ini berperan dalam
hal mendeteksi segala hal yang masuk dalam wilayah pengamatan
keamanan Australia. Sistem yang dikembangkan dalam pendeteksian itu
menggunakan radar yang berfrekuensi tinggi dan dioperasionalkan selama
24 jam penuh serta difokuskan ke arah sebelah utara Australia.
Command and Control: operasi komando Australia Defence Force dan
pengembangan proyek kerjasama yang diarahkan pada pengamanan
ancaman keamanan non-militer dibandingkan ancaman keamanan militer.
Semua itu ditujukan untuk menjaga dan melawan kemungkinan
25
pertahanan yang dimaksudkan untuk melindungi keamanan Australia dari potensipotensi ancaman yang akan menyerang Australia (Sitohang 2005:113).
Sebagaimana dijelaskan oleh Menteri Luar Negeri pada saat itu, Hasan
Wirajuda, bahwa ketika melihat peta, maka jika AMIZ diterapkan dengan
jangkauan 1000-1500 Nm akan mencapai dua per tiga wilayah perairan Indonesia.
Diantara wilayah yang nantinya akan terjangkau oleh AMIZ adalah laut
Halmahera di Maluku, laut Sulawesi di atas Manado, laut Arafuru dan sebagian
besar laut Jawa, dan Indonesia memiliki Kedaulatan penuh terhadap wilayahwilayah tersebut (www.kompas.com 2004).
Dalam Hukum Laut Internasional Pasal 49 dinyatakan dengan jelas tentang
status legal negara kepulauan (Indonesia) yang berKedaulatan penuh atas perairan
dan landas kontinen di bawah serta diatas (udara). Hal tersebut akan bertentangan
dengan ketentuan
kapal yang memasuki zona deteksi AMIZ diwajibkan untuk memberikan laporan
terkait dengan identitas kapal, awak kapal, kargo, lokasi dan pelabuhan tujuan di
Australia. Sehingga Australia bisa melakukan penangkapan terhadap kapal yang
dinilai mencurigakan dan akan menimbulkan ancaman terhadap negaranya,
padahal wilayah deteksi dini tersebut bisa juga berada diwilayah perairan negara
lain (Indonesia) yang berKedaulatan penuh (Pudjiastuti 2005:69).
Langkah yang diambil oleh Australia tentu tak lepas dari kepentingan
nasional Australia untuk menjamin keamanan nasionalnya. Karena kepentingan
nasional menurut Morgenthau yang dikutip dalam Robinson (1969) adalah sebuah
primary interest, yakni kepentingan utama yang termasuk didalamnya untuk
melindungi keamanan negara dan politik, identitas kebudayaan (kehidupan dan
nilai-nilai dari warga negaranya), serta untuk bertahan melawan ancaman dari luar
(h.184-185).
D. Strategic Interest dalam Sistem Pertahanan Australia
Pengertian dari Strategic Interest pertahanan Australia sebagaimana
dijelaskan dalam buku pertahanan Australia tahun 2009 yang berjudul Defending
Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 adalah sebuah kebijakan
pertahanan yang didasarkan pada tujuan yang jelas, yaitu menentukan persoalan
yang harus diprioritaskan dalam menentukan kebijakan agar dapat mengefektifkan
sumber daya yang dimiliki. Pemerintah bertugas meneliti semua persoalan
keamanan yang ada untuk merencanakan sebuah sistem pertahanan dan
memutuskan persoalan yang termasuk dalam kepentingan strategis Australia.
Dalam hal ini strategic interest pertahanan Australia harus mampu menjamin
27
dalam
Buku
Putih
2009
juga
dijelaskan
mengenai
patrol, kapal-kapal pengisian bahan bakar dan sejumlah helikopter dengan daya
jelajah tinggi (Davies 2010:2).
29
BAB III
POTENSI ANCAMAN YANG DITIMBULKAN OLEH KEBIJAKAN
PERTAHANAN MARITIM AUSTRALIA TERHADAP INDONESIA
Kebijakan pertahanan maritim Australia yang dituangkan dalam Austraias
Maritime Identification Zone dengan jangkauan 1000-1500 Nm (1850 Km)
menimbulkan beberapa potensi ancaman bagi Indonesia. Ketika jarak tersebut
diterapkan, maka akan menjangkau dua pertiga dari wilayah Indonesia, dan hal
tersebut tentu akan berpotensi mengancam Kedaulatan dan Yuridiksi Indonesia.
Maka, pada bab ini penulis akan membahas potensi-potensi ancaman yang akan
ditimbulkan AMIZ, kemudian pada bab ini juga akan membahas tentang reaksi
Indonesia terhadap AMIZ.
A. Kebijakan Pertahanan Maritim Australia (AMIZ) dalam Batas Yuridiksi
Indonesia.
Keputusan Australia untuk menerapkan Australias Maritime Identification
Zone adalah sebagai bentuk kebijakan luar negeri yang dikeluarkan untuk
melindungi kepentingan nasionalnya, yaitu untuk melindungi negara dari
ancaman-ancaman nasional. Sebagaimana dijelaskan oleh Rosenau (1976) bahwa
kebijakan luar negeri adalah upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan
aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan
eksternalnya, kebijakan luar negeri menurutnya ditujukan untuk memelihara dan
mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara. Kemudian menurut Jack C.
Plano dan Roy Olton (1999) kebijakan luar negeri merupakan strategi atau
rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat kebijakan dalam menghadapi
30
negara lain atau unit politik internasional lainnya dan dikendalikan untuk
mencapai tujuan nasional spesifik
kepentingan nasional.
Australiaa Maritime Identification Zone merupakan sebuah kebijakan
pertahanan yang dikeluarkan oleh Australia demi melindungi kepentingan
nasionalnya, berupa untuk menjamin keamanan nasionalnya dari ancamanancaman eksternal. AMIZ sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya
diproyeksikan untuk melakukan deteksi dini terhadap ancaman-ancaman yang
berasal dari laut, dalam hal ini adalah kapal-kapal yang akan menuju pelabuhanpelabuhan Australia. Konsep AMIZ menuai banyak kecaman dari dunia
internasional terkait dengan jangkauan radarnya yang mencapai 1000-1500 Nm,
karena ketika jarak tersebut diterapkan, maka, akan menjangkau wilayah perairan
negara lain, sebagai contoh adalah Indonesia yang dua per tiga wilayahnya akan
terjangkau oleh AMIZ. Kemudian, kapal-kapal yang masuk ke dalam zona AMIZ
berkewajiban untuk memberikan informasi terkait identitas kapal, padahal zona
AMIZ tersebut bisa jadi masih sebagai bagian dari wilayah negara. Maka,
menurut penulis hal tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran kedaulatan
dan wujud ketidak patuhan Australia terhadap Hukum Laut Internasional. Karena
dalam Hukum Laut Internasional telah disepakati bahwasanya Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) suatu negara tidak lebih dari 200 Nm. Sedangkan, zona diluar
dari ZEE merupakan laut lepas yang membebaskan siapapun untuk berlayar dan
melakukan aktifitas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 88 Hukum Laut
Internasional yang berisi sebagai berikut:
31
1. Laut lepas terbuka untuk semua negara, baik negara pantai atau tidak
berpantai. Kebebasan laut lepas, dilakasanakan berdasarkan syarat-syarat
yang ditentukan dalam konvensi ini dan ketentuan lain hukum
internasional. Kebebasan laut lepas itu meliputi:
Kebebasan berlayar
Kebebasan penerbangan
2. Kebebasan
ini
akan
dilaksanakan
oleh
semua
negara,
dengan
Terkait dengan masalah perbatasan perairan, Indonesia memiliki Undangundang nasional yang mengatur tentang segala hal mengenai perairan Indonesia.
Dalam UU Nomer 6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia Pasal 2 dikatakan
dengan jelas bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara kepulauan (ayat 1).
Segala perairan disekitar, diantara, adalah yang menghubungkan pulau-pulau atau
bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan
tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dan wilayah
daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan
Indonesia yang berada dibawah Kedaulatan negara republik Indonesia (ayat 2).
Kemudian, dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2008 dikatakan
bahwa Negara Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak lain di wilayah
yuridiksi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan
Hukum
Laut
Internasional.
Indonesia
juga
mempunyai
internasional.
Ketika jarak 1000-1500 Nm laut diterapkan oleh AMIZ, maka sebagaimana yang
dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa akan ada beberapa wilayah Indonesia
yang terjangkau oleh AMIZ yaitu Laut Halmahera, Sulawesi, dan Jawa,
kemudian terdapat kewajiban bagi-bagi kapal-kapal tujuan Australia yang berada
dalam zona tersebut untuk memberikan informasi kepada pihak Australia. Hal ini
bertujuan agar Australia bisa melakukan penangkapan terhadap kapal-kapal yang
dianggap mencurigakan (Pudjiastuti 2005:69).
B. Potensi Ancaman dari Kebijakan Pertahanan Maritim Australia
Terhadap Indonesia
Kebijakan maritim Australia sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya
adalah ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan keamanan yang
berpotensi akan mengancam Australia. Kebijakan pertahanan maritim ini
kemudian oleh Australia dituangkan kedalam sebuah sistem pertahanan yang
diberi nama Australias Maritime Identification Zone (AMIZ). Pada awal
diumumkan AMIZ mendapat banyak protes dari dunia internasional, salah
satunya adalah Indonesia yang merasa AMIZ telah melanggar kedaulatan
negaranya. AMIZ dalam hal ini adalah termasuk dalam salah satu kebijakan luar
35
negeri yang dikeluarkan oleh Australia, hal ini sesuai dengan pengertian tentang
kebijakan luar negeri yang dijelaskan oleh Millar (1969), bahwa kebijakan luar
negeri merupakan sebuah kebijakan dari pemerintah suatu negara yang
mempunyai pengaruh terhadap hubungan dengan pemerintah negara lainnya
(h.57).
Konsep AMIZ yang dimiliki oleh Australia tersebut dapat mengancam
kepentingan nasional Indonesia karena konsep ini pada dasarnya adalah untuk
tujuan surveillance dan intelijen. Sedangkan jangkauannya adalah seluas 1000
Nm dari daratan Australia. Maka, jika diukur secara melingkar akan dapat
menjangkau Laut Halmahera, Sulawesi, dan Jawa. Berikut adalah jangkauan
sistem radar yang merupakan bagian dari AMIZ.
Gambar III.B.1 Jangkauan Sistem Radar AMIZ
36
Berdasar jangkauan AMIZ yang mencapai dua per tiga wilayah Indonesia
seperti yang telah dijelaskan diatas, maka dapat dikatakan bahwa Australia sangat
berkepentingan terhadap Indonesia. Australia tentu akan selalu berusahan agar
kawasan Indonesia Timur utamanya berada dalam jangkauan pengamatannya.
Dalam konteks dengan kepentingan maritim, Australia berkepentingan agar
semua ancaman keamanan maritim yang menuju ke wilayahnya dapat dipatahkan.
Oleh karena itu, segala cara akan ditempuh untuk terjaminnya pengendalian laut
di kawasan tersebut (Hakim 2010:54).
Selain itu, perlu dipahami juga bahwa dalam menerapkan kebijakan
pertahanannya, Australia memiliki sebuah strategic interest sebagaimana yang
tercantum dalam Buku Putih Pertahanan Australia 2009 yang menyatakan bahwa
a secure Australia is secure region, yang berarti bahwa Australia tidak
menginginkan terjadinya ketidakstabilan di kawasan yang berdekatan dengan
Australia, termasuk didalamnya adalah kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara
(Helvas Ali 2009). Hal ini berarti dalam memastikan keamanan negaranya,
Australia juga perlu untuk memastikan bahwa negara-negara yang berada dalam
kawasannya juga harus aman.
Maka persoalan yang akan timbul dan berpotensi menjadi ancaman bagi
Indonesia adalah pertama, terkait dengan permasalahan kedaulatan dan yuridiksi.
Bagi Indonesia, AMIZ adalah sebuah sistem pertahanan yang akan mengancam
kedaulatan dan yuridiksi Indonesia, hal ini didasarkan pada kesepakatan yang
telah disepakati dalam Hukum Internasional mengenai batas-batas wilayah dan
juga terkait kemampuan AMIZ untuk menjangkau wilayah Indonesia. Kemudian
37
yang kedua, adalah terkait dengan fungsi AMIZ sebagai penangkalan, maka
kehadirannya perlu dikaitkan dengan sistem persenjataan yang dimiliki oleh
Australia sebagai pendukung AMIZ (Anggoro 2005:217). Perlu untuk diketahui
bahwasanya AMIZ adalah suatu strategi maritim yang luas tidak hanya dalam
lingkup maritim saja, AMIZ menggabungkan berbagai elemen pertahanan,
keamanan dan penegakan hukum. AMIZ mengatur siapa yang terlibat dan
bagaimana aturan keterlibatannya (rules of engagement) (Bhakti dan Alami
2005:59).
Ketika membahas sistem persenjataan, Australia dan Amerika Serikat
tengah mengembangkan sebuah senjata pemusnah masal. Australia memiliki nota
kesepahaman dengan Amerika Serikat untuk bekerja sama mengembangkan
Pertahanan Misil (Missile Defence). Keikutsertaan Australia dalam program
kerjasama pertahanan misil diantaranya termasuk modernisasi Standart Missile-1
(SM-1) menjadi Standar Missile-2 (SM-2) dan menjadi Standart Missile-3 (SM-3)
(Bhakti dan Alami 2005:56-58).
Potensi ancaman selanjutnya adalah mengenai Strategic Interest Australia,
dalam Defending Australia in The Asia Pacific century: Force 2030 dijelaskan
bahwa Australia tidak menginginkan adanya instabilitas kawasan karena demi
menjamin keamanan negaranya Australia juga harus menjamin bahwa
kawasannya dalam kondisi aman. Dengan jangkauan yang dimiliki sistem radar
yang dipakai dalam AMIZ, maka Australia akan dengan mudah mengawasi dan
melakukan pengamatan terhadap kondisi Indonesia, hal ini berkaitan dengan
fungsi dari kebijakan maritim Australia, yaitu untuk fungsi intelijen dan
38
surveillance. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin suatu saat jika terjadi konflik
di wilayah Indonesia, akan mengundang intervensi langsung Australia, tentunya
dengan alasan untuk mengamankan Australia dan kepentingannya, serta
mengamankan stabilitas kawasan. Sebagaimana waktu terjadi konflik TimorTimur, Australia turut campur dalam lepasnya Timor-Timur dari Indonesia
dengan mendukung dan mendorong referendum yang dilakukan oleh Presiden BJ
Habibie (Setiawan 2013).
C. Reaksi Pemerintah Indonesia Terhadap Kebijakan Pertahanan Maritim
Australia (AMIZ)
Reaksi yang diberikan Pemerintah Indonesia terhadap kebijakan maritim
Australia yang terwujud dalam konsep AMIZ merupakan sebuah fenomena yang
sangat menarik dalam hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia. Ketika
AMIZ diumumkan pertama kali oleh kantor Perdana Menteri Australia pada 15
Desember 2004, timbul reaksi penolakan yang sangat kuat dari kalangan
Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagaimana yang
dikatakan oleh Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono, bahwa Indonesia akan
menggelar kekuatan laut jika Australia tetap menerapkan AMIZ. Menteri Luar
Negeri, Hasan Wirajuda, juga menambahkan bahwa yang tidak bisa diterima dari
AMIZ adalah pencampur adukan dua yuridiksi demi kepentingan mereka sendiri
(Hertanto 2004). Kemudian Ketua Komisi 1 DPR RI, Theo Sambuaga, juga
mengatakan bahwasanya AMIZ ini akan dapat memprovokasi Indonesia dan juga
dapat dijadikan pijakan untuk serangan militer ke Indonesia (Anggoro 2005:242).
39
Gelombang protes tersebut dilatar belakangi oleh beberapa hal yang dinilai
dapat mengancam kepentingan nasional Indonesia, salah satunya adalah karena
konsep AMIZ ini sebagaimana yang dijelaskan oleh John Howard adalah untuk
terror survailance/ interception zone (pengawasan terhadap ancaman/wilayah
penangkapan) (Bhakti dan Alami 2005:66-71). Hal tersebut dapat diartikan
bahwasanya AMIZ akan melakukan pengawasan terhadap kawasan tersebut,
selain itu AMIZ juga akan melakukan penangkapan terhadap kapal-kapal yang
dinilai akan mengancam bagi Australia. AMIZ dalam penerapannya memiliki
jangkauan pengamanan sejauh 1850 Km, ketika zona 1850 Km itu diterapkan,
maka akan menjangkau dua pertiga wilayah Indonesia, yaitu Laut Halmahera,
Sulawesi, dan Jawa. Dalam hal ini, Indonesia memiliki kedaulatan penuh terhadap
wilayah-wilayah tersebut. Potensi pelanggaran kedaulatan tersebutlah yang
memunculkan reaksi penolakan dari beberapa kalangan pemerintah Indonesia
terhadap AMIZ.
Selain itu, reaksi dari beberapa negara terhadap AMIZ juga turut
memberikan kesan bahwa AMIZ merupakan kebijakan strategis yang dianggap
membahayakan, ofensif, dan merupakan ancaman serius terhadap kedaulatan
negara-negara di sekitar Australia. Seperti halnya yang dilakukan oleh Malaysia,
yang menyebut AMIZ sebagai buldozer terhadap kedaulatan dan yuridiksi
negara lain. Wakil Menteri Pertahanan Malaysia, Zainal Abidin Zin, menyebutkan
bahwa Australia tidak bisa mengambil tindakan untuk mencegat kapal-kapal
dengan sekedar mengatasnamakan kepentingan mereka sendiri, perbuatan seperti
40
41
BAB IV
ANALISA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN PRESIDEN
SOESILO BAMBANG YUDHOYONO UNTUK TIDAK
MEMPERMASALAHKAN AUSTRALIAS MARITIME IDENTIFICATION
ZONE
Ketika diumumkan untuk pertama kalinya oleh Perdana Menteri (PM)
Australia, John Howard, AMIZ mendapat reaksi penolakan dari beberapa
kalangan di Indonesia. Sebagaimana yang dibahas pada bab sebelumnya,
penolakan terhadap AMIZ tersebut dikarenakan menurut mereka terdapat
beberapa potensi ancaman yang akan ditimbulkan oleh AMIZ terhadap Indonesia,
diantaranya adalah potensi tentang pelanggaran kedaulatan dan yuridiksi
Indonesia. Akan tetapi, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) memilih
untuk diam dan tidak mempermasalahkannya. Reaksi Presiden SBY terhadap
AMIZ yang cenderung berbeda dengan beberapa kalangan pejabat Indonesia
dipengaruhi oleh beberapa faktor, pertama, adalah terkait dengan tujuan dan
fungsi dari AMIZ. AMIZ pada dasarnya adalah diproyeksikan untuk melindungi
Australia dari ancaman-ancaman yang berasal dari non-negara (non state actor),
hal ini sesuai dengan perubahan cara pandang Australia tentang ancaman pada
tahun 2000-an. Untuk itu dalam bab ini pembahasan pertama yang penulis bahas
adalah mengenai tujuan dan fungsi dasar dari AMIZ. Kedua, adalah terkait
dengan Politik Luar Negeri yang dijalankan oleh Presiden SBY. Dalam
menjalankan Politik Luar Negerinya Presiden SBY menggunakan filosofi Zero
Enemy and One Million Friends, beliau tidak menginginkan Indonesia untuk
42
terorisme (Sitohang 2005:113). Selain itu, AMIZ juga ditujukan untuk melindungi
kilang-kilang minyak Australia yang berada di kawasan pelabuhan-pelabuhan
Australia. Dalam artian, AMIZ diciptakan berdasarkan pada pengertian dari
konsep keamanan nasional, yaitu sebuah kebutuhan untuk menjaga ketahanan
suatu bangsa melalui daya ekonomi, militer, serta kekuatan politik dan kepiawaian
berdiplomasi (Collins 2003).
Dalam menjalankan misinya, AMIZ menerapkan jangkauan pengamanan
sejauh 1850 Km, yang menjangkau dua pertiga wilayah Indonesia, yaitu laut
Halmahera, Jawa dan Sulawesi. Hal inilah yang kemudian menimbulkan banyak
reaksi protes dari beberapa negara, salah satunya adalah protes dari beberapa
pejabat Indonesia sebagaimana yang telah dibahas dalam bab III. Namun, perlu
untuk diketahui bahwasanya menurut Australia, fungsi utama penerapan jarak
1850 Km tersebut adalah difungsikan untuk melakukan deteksi dini terhadap
kapal-kapal yang akan berlabuh ke pelabuhan Australia, ketika kapal-kapal
tersebut sudah memasuki zona AMIZ (1850 Km) maka diwajibkan untuk
melaporkan kepada pihak Australia terkait data-data kapal dan pelabuhan
tujuannya di Australia (Pudjiastuti 2005:69). Hal tersebut bertujuan agar Australia
dapat melakukan tindakan dini terhadap kapal-kapal yang dinilai mencurigakan
dan akan mengancam keamanan nasional negaranya.
Dari keterangan di atas, dapat diambil sebuah pengertian bahwasanya AMIZ
pada dasarnya diciptakan adalah dalam kerangka untuk melindungi keamanan
nasional Australia, bukan untuk mengancam kedaulatan dan yuridiksi atau bahkan
melakukan serangan terhadap negara lain, sebagaimana yang dikhawatirkan oleh
44
beberapa pejabat pemerintahan Indonesia. Selain itu, AMIZ adalah sebuah sistem
pertahanan yang diproyeksikan untuk mengantisipasi ancaman-ancaman yang
bersifat non-tradisional atau ancaman-ancaman yang berasal dari non state actor,
hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Atase Pertahanan Australia, Ken
Brown Rigg tentang persepsi ancaman yang akan dihadapi oleh Ausralia. Hal ini
kemudian diperkuat dengan pernyataan dari Menteri Pertahanan Australia, Robert
Hill, bahwasanya tidak ada niat sama sekali bagi Australia untuk memperluas
yuridiksi. AMIZ hanya memperluas lingkup Australia untuk mengetahui sesuatu
tentang kapal yang akan memasuki perairan Australia. Pernyataan tersebut
disampaikan oleh Hill pada saat melakukan pertemuan dengan Menteri Luar
Neberi Hasan Wirajuda, Panglima TNI Endrianto Sutarto, dan Menteri Pertahanan
Juwono Sudarsono pada 16 Desember 2004 (Hertanto 2004).
B. Politik Luar Negeri Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
Alasan lain yang melatar belakangi sikap Presiden SBY terhadap AMIZ
adalah terkait dengan sistem Politik Luar Negeri yang diterapkan oleh Presiden
SBY. Dalam menjalankan Politik Luar Negerinya, sebagaimana yang dijelaskan
oleh Dino Patti Djalal (2009) bahwa Presiden SBY menerapkan Politik Luar
Negeri yang bebas dan aktif, Presiden SBY juga memiliki filosofi Zero Enemy
and One Million Friends dalam Politik Luar Negerinya, dengan demikian
Presiden SBY lebih menginginkan Indonesia untuk mampu bersahabat dengan
sebanyak-banyaknya negara tanpa ada pertikaian dan konflik.
Pengertian Politik Luar Negeri menurut Roseneau (1976) adalah suatu
proses yang melibatkan hubungan aktor negara dan non-negara didalamnya,
45
adalah dalam
bidang ekonomi,
pembangunan infrastruktur,
penegakan
hukum
digunakan
untuk
mencegah,
terorisme
serta
separatisme
yang
juga
memanfaatkan
lemahnya
52
berhubungan dengan keamanan di Dewan keamanan PBB serta badanbadan internasional dan regional lainnya.
Kerjasama antar penduduk
Kerjasama ini bertujuan untuk membangun kontak dan interaksi di
kalangan lembaga dan masyarakat masing-masing guna meningkatkan
saling pengertian dalam bidang keamanan, sehingga mampu memahami
tantangan dan menyikapinya. Sedangkan kegiatan terprogramnya, antara
lain berisi pertukaran ahli dan peneliti, termasuk pelatihan di Australia,
melakukan penerbitan bersama, serta penyelenggaraan seminar dan
konferensi di kedua negara.
53
BAB V
KESIMPULAN
Sebelum tahun 2000, kebijakan pertahanan Australia terfokus dalam
pengembangan pertahanan udaranya, hal ini kemudian berubah pasca tahun 2000an, Australia merubah fokus pertahanannya pada kebijakan pertahanan yang
berbasis maritim. Ada beberapa isu strategis yang melatarbelakangi Australia
untuk mengubah fokus kebijakan pertahanannya, diantaranya adalah isu
terorisme. Sebagaimana yang dijelaskan dalam buku putih pertahanan Australia
tahun 2000, bahwasanya Australia menghadapi banyak tantangan dalam persoalan
keamanan, selain pada persoalan keamanan yang melibatkan kekuatan militer,
juga terdapat ancaman-ancaman yang berasal dari non-militer, seperti serangan
cyber, kejahatan yang terorganisir dan terorisme. Peristiwa peledakan menara
World Trade Center serta kasus Bom Bali 1 membuat Australia merasa yakin
bahwa ancaman terorisme harus mendapat perhatian khusus dalam kebijakan
pertahanannya. Isu strategis selanjutnya adalah mengenai semakin banyaknya
imigran gelap yang masuk ke wilayah Australia, pada tahun 2000 imigran illegal
yang masuk ke Australia berjumlah 4.175 orang, kemudian meningkat tajam
menjadi 13.547 pada tahun 2004. Bagi Australia, banyaknya imigran yang masuk
ke wilayahnya juga menyangkut dengan isu keamanan non militer, Australia
beranggapan bahwa para imigran illegal tersebut bisa saja merupakan bagian dari
organisasi terorisme internasional. Selain isu terorisme dan imigran illegal,
pengamanan kilang-kilang minyak yang berada dikawasan pelabuhan Australia
juga turut serta menjadi faktor Australia untuk memfokuskan pertahanannya pada
54
menciptakan
sebuah sistem
pertahanan
yang
difokuskan untuk melakukan fungsi intelijen dan pengawasan yang diberi nama
Australias Maritime Identification Zone (AMIZ). Dalam penerapannya, AMIZ
menggunakan sebuah radar yang memiliki jangkauan 1000Nm (1850 Km). Pada
awal diumumkan, AMIZ menuai banyak protes dari beberapa negara tetangga,
salah satunya adalah Indonesia. Indonesia merasa AMIZ telah melanggar
kedaulatan negaranya, karena wilayah pengamanannya menjangkau dua per tiga
wilayah Indonesia yaitu Laut Halmahera, Sulawesi dan Jawa. Sedangkan, dalam
Hukum Laut Internasional telah disepakati bahwa kepemilikan laut suatu negara
(teritorial) telah ditentukan dengan adanya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang
telah disepakati bersama tidak boleh melebihi 200 Nm, yang diukur dari garis
pangkal sebagai titik atau tempat pengukuran lebar laut teritorial. Maka, dalam hal
ini AMIZ akan bertentangan dengan Hukum Laut Internasional Pasal 49 yang
menyatakan dengan jelas tentang status legal negara kepulauan (Indonesia) yang
berkedaulatan penuh atas perairan dan landas kontinent di bawah serta di atas
(udara).
Dengan demikian akan ada beberapa potensi ancaman yang akan
ditimbulkan oleh kebijakan pertahanan maritim Australia terhadap Indonesia.
Terlebih pada persoalan pelanggaran kedaulatan dan yuridiksi Indonesia. Dengan
jangkauan yang mencapai 1850 Km, radar AMIZ telah menjangkau dua per tiga
55
57
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Anggoro, Kusnanto. 2005, Persepsi dan Respons Indonesia tentang Kebijakan
Maritim Australia dalam Kebijakan Pertahanan Australia 2000-2005
dan Respon Negara-Negara Asia Timur dan Selandia baru, Jakarta:
LIPI Press.
Bhakti, Ikrar Nusa. dan Athiqah Nur Alami. 2005. Evolusi Kebijakan Pertahanan
Australia (1986-2005): Dari Strategi Kontinental ke Strategi Maritim.
dalam Kebijakan Pertahanan Australia Tahun 2000- 2005 dan Respon
Negara- Negara Asia Timur dan Selandia Baru. Jakarta: LIPI Press.
Collins, Alan. 2003, Security And Southeast Asia: Domestic, Regional And Global
Issues, Singapore: ISEAS
Defence review 2000; Our Future Defence force. Canberra ACT: Departmen of
Defence.
Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative
Approaches. Thousand Oaks. SAGE Publications, Inc.
Crowley, Frank. 1990, ANZUS Treaty, A Document History of Australia, Victoria:
Thomas Nelson.
Davies, Andre. 2010, Naval Capabilities Review 2010, Australian Strategic Policy
Institute.
Elisabeth, Adriana. 2005, Respon Beberaa Negara Asia Tenggara terhadap AMIS
dan Program SM-3, dalam Kebijakan Pertahanan Australia 2000-2005
xii
xiii
White
Paper
2000:
Our
Future
Defence
Force.
(http://www.defence.gov.au/publications/wpaper2000.pdf),
2000.
diakses
White
Paper
2003:
Defence
Update.
2003.
(http://www.aseanregionalforum.asean.org/files/library/ARFDefenceW
hitePaper/Australia.2003.pdf). diakses pada 4 april 2015.
Indonesia
Tolak
Konsep
Keamanan
Baru
Australia,
2004.
Kompas.
(http.//www.kompas.co.id/kompas-cetak/0412/17utama/1444216.htm),
Diakses pada 01 April 2013.
Kerjasama
Pembangunan
Program
Bantuan
Pemerintah
Australia.
(http://www.indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/cooperation.html
), diakses pada 1 januari 2015
Strengthening
Australias
Offshore
Maritime
Security,
2005.
(http://www.dotar.gov.au).
Coombs, Moira. 2004, Excision From The Migration Zone Policy And Practice,
research
note
no.
xiv
42
20003-04,
(http://www.aph.gov.au/library/pubs/rn/2003-04/04rn42.htm),
diakses
Dino
Pati.
2009,
Indonesia
Semakin
Outward
Looking,
Joseph.
2004,
The
Benefits
of
Soft
Power,
The United Nations Convention on the Law of the Sea (A historical perspective).
United Nations Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea.
xvi