You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN
Nefritis lupus, salah satu dari manifestasi paling serius dari lupus
erimatosus sistemik (SLE). Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus
erythematosus, atau SLE) adalah penyakit autoimun sistemik idiopatik yang
berbeda dari penyakit autoimun lainnya dalam hal keberagaman manifestasi
klinis, perbedaan perjalanan penyakit, dan dasar anomali imunologisnya. SLE
dapat melibatkan seluruh sistem organ. Biasanya pada nefritis lupus muncul
dalam 5 tahun setelah diagnosis. Nefritis lupus tampak jelas secara histologis pada
kebanyakan pasien dengan lupus erimatosus sistemik, bahkan mereka yang tidak
menunjukkan manifestasi klinis penyakit ginjal.6
Secara histologis, ginjal terpengaruh sampai derajat tertentu pada pasien
lupus erimatosus sistemik (SLE). Perkiraan prevalensi keterlibatan ginjal secara
klinis pada pasien lupus erimatosus sistemik (SLE) berkisar antara 30-90% pada
studi-studi yang sudah dipublikasikan. Prevalensi sesungguhnya dari nefritis lupus
klinis pada pasien lupus erimatosus sistemik (SLE) kemungkinan sekitar 50%,
lebih sering pada anak-anak dan etnis tertentu. Lupus erimatosus sistemik (SLE)
lebih sering pada orang kulit hitam dan ras hispanik. Nefritis lupus yang berat
terutama lebih sering ditemukan pada orang kulit hitam dan ras Asia dibandingkan
ras lain. Karena prevalensi lupus erimatosus sitemik lebih tinggi pada wanita
( rasio wanita : pria= 9:1 ), nefritis lupus juga lebih sering dijumpai pada wanita.
Kebanyakan pasien dengan lupus erimatosus sistemik (SLE) terkena nefritis lupus
pada awal perjalanan penyakitnya. Lupus erimatosus sistemik lebih sering terjadi
pada wanita di dekade tiga kehidupannya, dan nefritis lupus juga sering terjadi
pada pasien usia 20-40 tahun.7
Selama 4 dekade terakhir, perubahan dari manamejen nefritis lupus telah
meningkatkan kemungkinan hidup pasien, saat ini rata-rata 10 year survival rate
dari lupus erimatosus sistemik (SLE) telah melebihi 90%, sebelum tahun 1995,5year survival rate kurang dari 50%, penurunan mortalitas terkait SLE dapat

merupakan kontribusi diagnosis lebih awal, perbaikan pengobatan spesifik dan


kemajuan ilmu kedokteran secara umum.7
Morbiditas dari nefritis lupus terkait dengan penyakit ginjalnya sendiri,
selain komplikasi pengobatan dan komorbiditas seperti penyakit kardiovaskular
dan trombosis. Gagal ginjal progresif dapat berakhir pada anemia, uremia dan
gangguan asam basa serta elektrolit. Komplikasi infeksi yang terkait SLE aktif
dan pengobatan imunosupresi saat ini merupakan penyebab utama kematian pada
SLE fase awal yang aktif, dan arteriosklerosis dini adalah penyebab kunci
mortalitas pada fase lanjut. Framingham Offspring Study menunjukkan bahwa
wanita usia 35-44 tahun dengan LES adalah 50 kali lebih mudah mengalami
iskemia miokardial dibandingkan wanita sehat. Penyebab PJK dini pada pasien
LES bersifat multifaktorial, termasuk disfungsi endotel, mediator inflamasi,
atherogenesis yang diinduksi kortikosteroid dan dislipidemia yang terkait dengan
penyakit ginjal.2
Perbedaan presentasi klinis dan histologis serta kendali komplikasi
pengobatan yang kompleks dari pasien LES menuntut adanya suatu pendekatan
individualisasi terapi yang tepat. Saat ini pun, sedang berlangsung banyak
penelitian pada obat-obatan yang mungkin dapat menjadi harapan baru bagi
penderita LES seperti mycophenolate dan rituximab. Pendekatan diagnosis dan
kemungkinan terapi dari pasien dengan manifestasi renal dari lupus eritematosus
sistemik, yang dicurigai suatu nefritis lupus.9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal pada lupus erimatosus sitemik
(SLE). Lupus erimatosus sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas yang mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan. Diagnosis nefritis lupus ini ditegakkan bila pada lupus erimatosus
sistemik (SLE) terdapat tanda-tanda proteuniria dalam jumlah lebih atau sama
dengan 1gram/24jam atau dengan hematuria (>8 eritrosit/LPB) atau dengan
penurunan fungsi ginjal sampai 30%.10
Nefritis lupus merupakan suatu proses inflamasi ginjal yang disebabkan
oleh sistemik lupus erimatosus, yaitu suatu penyakit autoimun, selain ginjal,
SLE juga dapat merusak kulit, sendi, system saraf dan hampir semua organ
dalam tubuh.12

Gambar 1: Proses terjadinya Nefritis Lupus.


B. EPIDEMIOLOGI

DiAmerika, prevalensi lupus erimatosus sistemik adalah 1 kasus per 2000


penduduk pada populasi umum. Karena kesulitan diagnosis dan kemungkinan
banyak kasus tidak terdeteksi, sebagian besar peneliti menyarankan bahwa
prevalensi mungkin lebih dekat ke 1 kasus per 500-1000 populasi. Data
prevalensi lupus erimatosus sitemik di indonesia sampai saat ini belum ada,
jumlah penderita lupus erimatosus di indonesia menurut yayasan lupus
indonesia sampai dengan tahun 2005 diperkirakan mencapai 5000 orang. 8
Keterlibatan ginjal lupus erimatosus sistemik merupakan manifestasi penyakit
yang umum di jumpai dan merupakan prediktor kuat luaran yang buruk.
Prevalensi penyakit ginjal pada studi kohort besar yang terdiri atas 2649
pasien lupus erimatosus sitemik bervariasi antara 31-65%.

Di dapatkan

insidensi penyakit ginjal akut sebesar 10%, bedasarkan data dari Asia,
keterlibatan renal berkisar antara 6-100% secara keseluruhan.13
Perkiraan prevalensi keterlibatan ginjal secara klinis pada pasien Sle
berkisar antara 30-90% pada studi-studi yang sudah di pulikasikan. Prevalensi
sesungguhnya dari nefritis lupus klinis pada pasien SLE kemungkinan sekitar
50%. SLE lebih sering ditemukan pada orang yang berkulit hitam dan ras
Asia dibandingkan denganras lain, karena prevalensi SLE lebih tinggi pada
wanita (rasio wanita:pria=9:1) nefritis lupus juga sering dijumpai pada
wanita. Kebanyakan pasien dengan lupus erimatosus sistemik (SLE) terkena
nefritis lupus pada awal perjalanan penyakitnya. Lupus erimatosus sistemik
lebih sering terjadi pada wanita di dekade tiga kehidupannya, dan nefritis
lupus juga sering terjadi pada pasien usia 20-40 tahun. Anak dengan SLE
memiliki risiko penyakit ginjal lebih tinggi daripada dewasa dan lebihsering
mengalami cedera akibat penyakit agresif dan toksisitas akibat pengobatan.
Selama 4 dekade terakhir, perubahan dari manamejen nefritis lupus telah
meningkatkan kemungkinan hidup pasien, saat ini rata-rata 10 year survival
rate dari lupus erimatosus sistemik (SLE) telah melebihi 90%, sebelum tahun
1995,5-year survival rate kurang dari 50%. Penurunan mortalitas terkait SLE
dapat merupakan kontribusi diagnosis lebih awal (termasuk kasus ringan),
perbaikan pengobatan spesifik dan kemajuan ilmu kedokteran secara umum.11

Morbiditas dari nefritis lupus terkait dengan penyakit ginjalnya sendiri,


selain

komplikasi

pengobatan

dan

komorbiditas

seperti

penyakit

kardiovaskular dan trombosis. Gagal ginjal progresif dapat berakhir pada


anemia, uremia dan gangguan asam basa serta elektrolit. Hipertensi akan
semakin meningkatkan risiko penyakit jantung koroner dan stroke. Sindroma
nefrotik dapat menimbulkan edema, asites dan hiperlipidemia. Komplikasi
infeksi yang terkait SLE aktif dan pengobatan imunosupresi saat ini
merupakan penyebab utama kematian pada SLE fase awal yang aktif, dan
arteriosklerosis dini adalah penyebab kunci mortalitas pada fase lanjut.
Framingham Offspring Study menunjukkan bahwa wanita usia 35-44 tahun
dengan LES adalah 50 kali lebih mudah mengalami iskemia miokardial
dibandingkan wanita sehat. Penyebab PJK dini pada pasien LES bersifat
multifaktorial, termasuk disfungsi endotel, mediator inflamasi, atherogenesis
yang diinduksi kortikosteroid dan dislipidemia yang terkait dengan penyakit
ginjal.12
C. ETIOLOGI
Nefritis lupus terjadi ketika antibody (antinuklear antibody) dan
komplemen terbentuk di ginjal yang menyebabkan terjadinya peradangan.
Hal tersebut biasanya mengakibatkan terjadinya sindrom nefrotik (eksresi
protein yang besar) dan dapat progresi cepat menjadi gagal ginjal. Produk
nitrogen sisa terlepas kedalam aliran darah, lupus erimatosus sistemik (SLE)
menyerang berbagai struktur internal dari ginjal, meliputi nefritis intertitial
dan glomerulonefritis membranosa.18
D. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS
Patogenesis timbulnya lupus erimatosus sitemik (SLE) diawali oleh,
estrogen memegang peranan kunci sebagai penyebab SLE. Faktor lain yang
berpengaruh pada kejadian SLE adalah genetik, lingkungan, kontrasepsi
hormonal, sosial dan pola antibodi. Faktor lingkungan yang mempengaruhi
adalah sinar matahari atau ultra violet yang dapat meningkatkan, eksaserbasi
SLE. interaksi faktor- faktor tersebut ini akan mempengaruhi dan
5

mengakibatkan terjadinya respon imun yang menimbulkan peningkatan sel T


dan sel B, sehingga terjadi peningkatan auto-antibody (DNA-anti-DNA),
sebagian auto-antibodi ini akan membentuk kompleks imun bersama dengan
nukleosom (DNA-histon)kromatin, C1q, laminin Ro(SS-A), ubiquitin dan
ribosom, yang kemudian akan membuat deposit (endapan) sehingga terjadi
kerusakan jaringan. Pada sebagian kecil nefritis lupus tidak ditemukan
deposit kompleks imun dengan sediaan imunofluoresens atau mikriskop
electron,

sehingga

disebut

sebagai

pauci-immune

necrotizing

glomerulonefritis.4
Patofisiologi terjadinya Lupus Nefritis, Gambaran klinis kerusakan
glomerolus dihubungkan dengan letak lokasi terbentuknya deposit kompleks
imun. Deposit pada mesangium dan subendotel terletak proksimal terhadap
membrane basalis glomerulus sehingga mempunyai akses dengan pembuluh
darah. Deposit pada daerah tersebut ini akan mengaktifkan komplemen yang
kemudian membentuk kemoatraktan C3a dan C3a. Selanjutnya terjadi influx
sel neutrofil dan sel mononuclear. Deposit pada mesangium dan subendotel
secara histopatologis memberikan gambaran mesangial, proliferative fokal,
dan proliferative difus; secara klinis memberikan gambaran sedimen urin
yang aktif (ditemukan eritrosit, leukosit,silinder sel, dan granula), proteinuria,
dan sering disertai penurunan fungsi ginjal. Sedangkan deposit pada subepitel
tidak mempunyai hubungan dengan pembuluh darah karena dipisahkan oleh
membrane basalis glomerulus sehingga tidak terjadi influx neutrofil dan sel
mononuclear. Secara

histopatologis

memberikan

gambaran

nefropati

membranosa dan secara klinis hanya memberikan gejala proteinuri.14


Respon autoantibodi pada LES tampaknya terarah terhadap nukleosom
yang terbentuk dari sel apoptotik. Pasien dengan LES memiliki mekanisme
klirens seluler yang buruk. Debris nuklear dari sel apoptotik menginduksi
interferon-alfa melalui sel-sel dendritik plasmasitoid, yang merupakan
induser sistem imun dan autoimunitas. Pada LES, limfosit B autoreaktif yang
secara normal tidak aktif menjadi aktif karena malfungsi mekanisme
homeostasis normal, sehingga autoantibodi diproduksi. Autoantibodi lain,
termasuk anti-dsDNA terjadi lewat suatu proses penyebaran epitop.
6

Autoantibodi ini akan bertambah banyak seiring waktu secara bertahap,


beberapa bulan sampai tahun sebelum onset LES klinis. Lupus nefritis terkait
dengan produksi autoantibodi nefritogenik dengan ciri-ciri sebagai berikut 18
1. Yang dianggap antigen secara spesifik adalah nukleosom atau dsDNA :
beberapa antibodi dsDNA bereaksi silang dengan membran basal
glomerulus.
2. Autoantibodi yang berafinitas tinggi dapat membentuk kompleks imun
intravaskular, yang menumpuk dalam glomerulus.
3. Autoantibodi kationik memiliki afinitas yang lebih tinggi dengan membran
basal glomerulus yang bersifat anionik.
4. Autoantibodi isotop tertentu (IgG1 dan IgG3 ) dapat mengaktivasi
komplemen.
Kompleks imun terbentuk intravaskular dan kemudian diendapkan dalam
glomeruli. Selain itu, autoantibodi dapat berikatan langsung dengan protein
pada membran basal glomerulus (yang kemungkinan adalah -aktinin) dan
membentuk kompleks imun in situ. Kompleks imun mencetuskan respons
inflamasi dengan mengaktivasi komplemen dan menarik sel-sel radang,
termasuk limfosit, makrofag dan netrofil. Tipe histologis dari nefritis lupus
yang terjadi tergantung dari berbagai faktor, termasuk spesifisitas antigen dan
sifat lain autoantibodi serta tipe respons inflamasi yang ditentukan oleh
faktor-faktor host lainnya. Pada bentuk yang berat dari nefritis lupus,
proliferasi sel endotel, mesangial dan epitel serta produksi matriks protein
dapat berakhir pada fibrosis.16 11
Nefritis lupus yang signifikan secara klinis biasanya terkait dengan
penurunan klirens kreatinin 30%, proteinuria >1000 mg/hari dan temuan
biopsi ginjal yang menunjukkan nefritis lupus aktif. Antibodi anti-nukleosom
muncul dini pada perjalanan respons autoimun pada LES, mereka memiliki
sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk diagnosis LES serta titernya
berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Antibodi anti-C1q berkaitan erat
dengan nefritis lupus, titer tinggi berkorelasi dengan penyakit ginjal aktif.
Abnormal urinalysis findings (albuminuria, leucocyturia, haematuria,
granular casts, hyaline casts, red blood cell casts, fatty casts, oval fat bodies)

Abnormal urinary sediment findings (leucocyturia, haematuria, granular


casts, hyaline casts) .15
Klasifikasi patologis dari nefritis lupus direvisi oleh International Society
of Pathology/Renal Pathology Society (ISN/RPS) tahun 2003 dan didasarkan
pada pemeriksaan mikroskop cahaya,imunofluoresensi dan mikroskop
elektron dari spesimen biopsi renal.
E. MANIFESTASI
Gejala nefritis aktif termasuk edema perifer sekunder terhadap hipertensi
atau hipoalbuminemia. Edema perifer ekstrim lebih sering pada pasien
dengan nefritis lupus difus proliferatif atau membranosa, karena kedua lesi
renal ini terkait dengan proteinuria berat. Gejala lain yang terkait langsung
dengan hipertensi akibat nefritis lupus proliferatif difus termasuk sakit kepala,
pusing, gangguan visual dan tanda-tanda gagal jantung.6
Gejala klinis yang dapat ditemukan merupakan kombinasi manifestasi
kelainan ginjalnya sendiri dan kelainan di luar ginjal seperti gangguan system
Sistem Saraf Pusat, system hematologi, persendian dan lainnya. Manifestasi
ginjal berupa proteinuri didapatkan pada semua pasien , sindrom nefrotik
pada 45-65% pasien, hematuria mikroskopik pada 80% pasien, gangguan
tubular pada 60-80% pasien, hipertensi pada 15-50% pasien, penurunan
fungsi ginjal pada 40-80% pasien, dan penurunan fungsi ginjal yang cepat
pada 30% pasien. Gambaran klinis yang ringan dapat berubah menjadi bentuk
yang berat dalam perjalanan penyakitnya. Beberapa predictor yang
dihubungkan dengan perburukan fungsi ginjal pada saat pasien diketahui
menderita NL antara lain ras kulit hitam, hematokrit 2.4 mg/dl, dan kadar C3
< 76 mg/dl.
F. GAMBARAN HISTOPATOLOGIS
Kelainan ginjal yang ditemukan pada pemeriksaan histopatologi
mempunyai nilai yang sangat penting. Gambaran ini mempunyai hubungan
dengan gejala klinis yang ditemukan pada pemeriksaan dan juga menentukan
pilihan pengobatan yang akan diberikan. Karena itu biopsy ginjal harus
dilakukan bila tidak ada kontraindikasi. Pada tahun 1995 WHO memperbaiki
klasifikasi kelainan histopatologi NL seperti terlihat dibawah ini:
8

Klasifikasi Nefritis Lupus Menurut WHO 1995:9


I: Glumeruli normal
a. Normal dengan sesuai teknik pemeriksaan
b. Normal dengan mikroskop cahaya, akan tetapi di temukan deposit
dengan cara imunohistologi dan/atau dengan mikroskop elektron.
II: perubahan pada mesangial
a. Pelebaran mesangial dan atau dengan hiperselular ringan
b. Proliferasi sel mesangial
III: focal segmental glomerulonefritis (dengan perubahan ringa/sedang
mesangial, dan/atau deposit epimembran segmental)
a. Lesi nefrotik aktif
b. Lesi sklerotik aktif
c. Lesi sklerotik
IV :glomerulonefritis difus (deposit luas mesangial/mesangiokapiler dan
subendotel)
Klasifikasi lupus menurut International Society of Nephrology/ Renal
Pathology Society (ISN/RPS) 2003 :
Class I
: Minimal mesangeal lupus nephritis
Class II : Mesangeal proliferative lupus nephritis
Class III : Focal lupus nephritis
Class IV : Diffuse segmental (IV-S) or global (IV-G) lupus nephritis
Class V : Membranous lupus nephritis
Class VI : Advance sclerosing lupus nephritis
G. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda berkurangnya fungsi ginjal dengan
edem, hipertensi. Auskultasi abnormal dapat terdengar di jantung dan paru
yang menandakan overload cairan .9
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan: 9
- Tes ANA tes ini sangat sensitif untuk SLE, tetapi tidak spesifik.
ANA juga dapat ditemukan pada pasien atritis rematoid, skleroderma,
sindroma syogren, poli miositis dan infeksi HIV. Titer ANA tidak
-

mempunyai kolerasi yang baik dengan berat kelainan ginjal.


Tes anti ds DNA ( anti double stranded DNA) lebih spesifik tetapi
kurang sensitif. Tes ini untuk kira-kira 75% pasien SLE aktif yang
belum diobati. Dapat diperiksa dengan teknik Radiomunoassay Farr
9

atau teknik ELISA. Anti ds DNA mempunyai kolerasi yang baik


-

dengan adanya kelainan ginjal.


Pemeriksaan lain adalah antibodi anti-ribonuklear seperti anti Sm dan

anti-nRNP.
Kadar komplemen serum menurun pada saat fase aktif SLE, terutama
pada nefritis lupus tipe proliferatif. Kadar C3 dan C4 serum sering
sudah

dibawah

normal

sebelum

gejala

lupus

bermanifestasi.

Normalisasi kadar komplemen dihubungkan dengan perbaikan NL.


Basal urea nitrogen dan kreatinin
Urinalisis
Urine immunoglobulin rantai pendek
Biopsi ginjal
o Biopsi ginjal membantu menentukan tipe nefritis dan berguna
untuk

terapi

lebih

tepat

tetapi

beberapa

ahli

tidak

merekomendasikan biopsi ginjal sebagai tindakan rutin pada


setiap nefritis, karena merupakan tindakna invasif ( Bertias
dkk, 2000).
o Indikasi biopsi ginjal menurut beberapa ahli adalah perburukan
protein uria respon pengobatan minimal, nefritis kambuh, dan
gagal ginjal akut.17
o Indikasi biopsi ginjal menurut ahli yang lain.3
Hematuria dan silinder uria positif atau hematuria dan

protein uria > 0,5 gr sehari


Hematuria dengan protein uria < 0,5 gr sehari tetapi

kadar C3 rendah atau dan ds DNA positif


Protein uria > 1gr sehari terutama di tambah kadar
komplemen C3 rendah dan ds DNA positif

H. DIAGNOSIS
Diagnosis lupus eritematosus sistemik didasarkan pada kriteria klinis dan
laboratorium. Kriteria yang dikembangkan oleh American College of.
Rheumatology (ACR). Pada diagnosis klinis NL ditegakan bila pada pasien
SLE (minimal terdapat 4 dari kriteria ARA) didapatkan protein urea 1gr/24
jam dengan atau hematuria (>8 eritrosit/LPB) dengan atau penurunan fungsi
ginjal sampai 30% sedangkan diagnosis pasti nefritis lupus ditegakan dengan
10

biopsi ginjal. Protein uria umumnya di peruksa dengan cara mengukur jumlah
secara kuantitatif dengan mengumpulkan urin selama 24 jam. Cara lain yang
lebih praktis dan sekarang banyak mulai dilakukan ialah mengukur rasio
protein dengan kreatinin pada sample urin sewaktu (ekskresi kreatinin normal
1000mg/24jam /1,75m2; rasio protein keatinin normal ,0,2). Pemeriksaan ini
lebih mudah dikerjakan terutama diperiksa menilai perubahan jumlah protein
setelah dilakukan pengobatan.
Kriteria ARA
1. Ruam Malar
2. Ruam Diskoid
3. Foto sensitif
4. Ulkus di mulut
5. Artritis/artralgia
6. Serositis
a. Efusi perikardial
b. Efusi paru
7. Kelainan ginjal
a. Proteinuria (>0.5 gr//24 jam)
b. Cellular cast
8. Kelainan neurologis
9. Kelainan darah
a. Anemia hemolitik
b. Leukopenia (< 4000)
c. Limfopenia (<1500)
d. Trombositopenia (<100.000)
10. Sero-imunologi
a. Anti ds DNA
b. Anti Sm
c. Sel LE
d. VDRL
11. ANA
11

Pada suatu studi yang menggunakan pasien berpenyakit jaringan ikat


sebagai grup kontrol, kriteria diagnostik ACR untuk LES ditemukan memiliki
sensitivitas96% dan spesifisitas 96%. Studi lain melaporkan sensitivitas mulai
70-96 persen dan spesifisitas mulai 89-100 persen. Bagaimanapun kriteria
ACR mungkin kurang akurat pada pasien dengan manifestasi ringan LES. 12
Peningkatan titer antibodi antinuklear (ANA) menjadi 1:40 atau lebih tinggi
adalah yang paling sensitif dari kriteria ACR. Lebih dari 99 persen pasien
dengan LES memiliki peningkatan ANA titer pada titik tertentu, walaupun
sejumlah besar pasien mungkin titernya negatif pada fase awal penyakit.
Bagaimanapun tes ANA tidak spesifik untuk LES. Penyakit lain yang sering
terkait dengan uji ANA positif termasuk sindrom Sjgren (68% dari pasien),
skleroderma (40-75% pasien), artritis rematoid (25-50%) dan artritis rematoid
juvenil (16%). Uji ANA juga bisa positif pada pasien dengan fibromialgia.
Pada pasien dengan penyakit selain LES, titer ANA umumnya lebih rendah
dan pola imunofluoresensinya berbeda. ACR merekomendasikan uji ANA
pada pasien yang mengalami dua atau lebih gejala dan tanda. Apabila titer
ANA normal pada kasus keterlibatan sistem organ yang nyata dengan
kecurigaan lupus eritematosus sistemik maka harus dilakukan penelusuran
diagnosis alternative. Bila tidakditemukan sebab lain, dapat dipertimbangkan
diagnosis LES ANA-negatif dan konsultasi ke ahli reumatologi. Bila pasien
dengan titer ANA normal mengalami gejala klinis baru yang sesuai dengan
LES maka ujui ANA harus diulangi .2
I. PENATALAKSANAAN
Kebanyakan klinisi sepakat akan tujuan terapeutik seperti berikut untuk
pasien yang baru terdiagnosis nefritis lupus : (1) untuk mencapai remisi renal
segera, (2) untuk mencegah renal flare, (3) untuk menghindari gangguan
ginjal kronik, (4) untuk mencapai tujuan-tujuan di atas dengan toksisitas
minimal. Walaupun dalam dekade terakhir angka survival meningkat, harus
ditekankan bahwa regimen imunosupresif hasilnya masih suboptimal.
Pertama, angka remisi renal setelah terapi lini pertama paling baik hanya 81%
12

dalam studi-studi prospektif terbaru. Kedua, relaps renal terjadi pada


sepertiga dari pasien LN, kebanyakan saat pasien masih dalam kondisi
imunosupresi. Ketiga, antara 10-20% pasien mengalami gagal ginjal terminal
5-10 tahun setelah onset penyakit, walaupun angka ini menurun pada studistudi berikutnya (5-10%). Akhirnya, toksisitas terkait pengobatan masih
merupakan kekuatiran utama, seperti efek samping metabolik dan tulang pada
kortikosteroid dosis tinggi, infeksi tulang atau gagal ovarium prematur pada
wanita yang menerima siklofosfamid dosis tinggi.16
Prinsip pengobatan nefritis lupus:
1. Terapi kortikosteroid harus diberikan bila pasian mengalami penyakit
ginjal yang signifikan secara klinis. Gunakan agen imunosupresif
terutama siklofosfamid, azathioprine, atau mycophenolate mofetil bila
pasien mengalami lesi proliferatif agresif. Agen-agen ini juga bisa
digunakan bila pasien tidak respon atau terlalu sensitif terhadap
kortikosteroid.
2. Obati hipertensi secara agresif, pertimbangkan pemberian ACE
inhibitor atau ARB bila pasien mengalami proteinuria signifikan tanpa
insufisiensi renal signifikan.
3. Restriksi asupan lemak atau gunakan terapi lipid-lowering seperti
statin untuk hiperlipidemia sekunder terhadap sindrom nefrotik.
Restriksi asupan protein bila fungsi ginjal sangat terganggu. Berikan
suplementasi kalsium untuk mencegah osteoporosis bila pasien dalam
terapi steroid jangka panjang dan pertimbangkan penambahan
bifosfonat.
4. Hindari obat-obatan yang mempengaruhi fungsi ginjal, termasuk
OAINS terutama pada pasien dengan level kreatinin yang meningkat.
Salisilat non asetilasi dapat digunakan untuk mengobati gejala
inflamasi pada pasien dengan penyakit ginjal.
5. Pasien dengan nefritis lupus aktif harus menghindari kehamilan,
karena dapat memperburuk penyakit ginjalnya.
6. Pasien dengan ESRD, sklerosis dan indeks kronisitas tinggi
berdasarkan biopsi ginjal biasanya tidak berespon terhadap terapi
13

agresif. Pada kasus-kasus ini fokuskan terapi pada manifestasi


ekstrarenal dari LES dan kemungkinan transplantasi ginjal
7. Terapi untuk tipe spesifik nefritis lupus berdasarkan patologi renal :
- Kelas I : Nefritis lupus minimal mesangial tidak memerlukan terapi
-

spesifik
Kelas II : Nefritis lupus mesangial proliferatif mungkin
memerlukan pengobatan bila proteinuria lebih dari 1000 mg/hari.
Pertimbangkan prednison dosis rendah sampai moderat (mis. 20-40

mg/hari selama 1-3 bulan diikuti tapering.


Kelas III dan IV : Pasien dengan nefritis fokal atau difus berisiko
tinggi menjadi ESRD dan memerlukan terapi agresif.
Berikan prednison 1 mg/kg/hari selama paling sedikit 4
minggu tergantung respons klinis. Kemudian dilakukan
tapering sampai dosis rumatan 5-10 mg/hari selama kurang
lebih 2 tahun. Pada pasien sakit akut, metilprednisolon
intravena dengan dosis hingga 1 gram/hari selama 3 hari

dapat digunakan untuk inisiasi terapi kortikosteroid.


Gunakan
obat
imunosupresif
sebagai
tambahan
kortikosteroid pada pasien yang tidak berespon dengan
kortikosteroid sendiri, yang mengalami toksisitas terhadap
kortikosteroid, yang fungsi ginjalnya memburuk, yang
mengalami lesi proliferatif berat atau terdapat bukti
sklerosis pada spesimen biopsi ginjal. Baik siklofosfamid
dan azathioprine efektif untuk nefritis lupus proliferatif
walaupun siklofosfamid tampaknya lebih efektif dalam
mencegah progresi ke ESRD. Mycophenolate mofetil telah
ditunjukkan cukup efektif dalam mengobati pasien-pasien
ini dan dapat digunakan sendiri atau setelah 6 bulan

siklofosfamid intravena.
Berikan siklofosfamid intravena secara bulanan selama 6
bulan dan setelahnya tiap 2-3 bulan tergantung respons
klinis. Durasi terapi yang umum adalah 2-2,5 tahun.
Turunkan dosis bila klirens kreatinin <30 mL/menit.
14

Sesuaikan dosis tergantung respon hematologis. Leuprolide


asetat, suatu analog gonadotropin-releasing hormone, dapat

melindungi terhadap gagal ovarium.


Azathioprine dapat juga digunakan sebagai agen lini kedua,

dengan penyesuaian dosis tergantung respon hematologis.


Mycophenolate mofetil berguna pada pasien dengan nefritis
lupus fokal atau difus dan telah terbukti setidaknya sama
efektif dengan siklofosfamid intravena dengan toksisitas

lebih rendah pada pasien dengan fungsi ginjal yang stabil.


Kelas V : Pasien dengan nefritis lupus membranosa umumnya
diterapi dengan prednison selama 1-3 bulan, diikuti tapering
selama 1-2 tahun bila respon baik. Bila tidak ada respon, obat
dihentikan. Agen imunosupresif umumnya tidak digunakan kecuali
fungsi ginjal memburuk atau komponen proliferatif ditemukan
pada sampel biopsi renal. Beberapa bukti klinis mengindikasikan
bahwa azathioprine, siklofosfamid, siklosporin, dan klorambusil
efektif dalam mengurangi proteinuria. Mycophenolate mofetil juga
mungkin efektif.
Pasien dengan ESRD memerlukan dialisis dan merupakan
kandidat yang baik untuk transplantasi ginjal. Pasien dengan ESRD
sekunder terhadap LES mewakili 1,5% dari seluruh pasien dialisis
di Amerika. Angka survival pasien dengan dialisis sebanding
dengan pasien dialisis yang tidak punya LES (5 year survival rate
60-70%). Hemodialisis lebih disukai dibandingkan dialisis
peritoneal; beberapa studi medokumentasikan level anti-dsDNA
yang lebih tinggi, lebih banyak trombositopenia dan kebutuhan
steroid yang lebih tinggi pada pasien ESRD akibat LES yang
dilakukan dialisis peritoneal. Hemodialisis juga memiliki efek antiinflamasi dengan penurunan level limfosit T-helper. Umumnya
LES tenang pada pasien hemodialisis. Walaupun flare seperti rash,
artritis,serositis, demam dan leukopenia dapat terjadi, dan
memerlukan terapi spesifik.6
15

Perjalanan penyakit nefritis lupus bervariasi antar pasien LES, bahkan


pada mereka yang memiliki tipe histologis yang sama. Agen imunosupresif
dapat menginduksi remisi pada sebagian besar pasien dengan nefritis lupus
proliferatif, tetapi sebagian proporsi dari mereka- berkisar antara 27-66% pada
berbagai studi-akan mengalami flare. Flare merupakan masalah karena bahaya
kerusakan kumulatif yang dapat menurunkan fungsi ginjal dan juga toksisitas
akibat imunosupresi tambahan. Terapi rumatan dengan azathioprine,
mycophenolate mofetil atau pulse siklofosfamid biasanya direkomendasikan.
Flare renal dapat dikategorikan sebagai nefritik atau nefrotik dan bisa ringan
atau berat. Mayoritas pasien yang mengalami flare dapat pulih fungsi
ginjalnya, bila didiagnosis dan diobati segera. Mocca dkk mendefinisikan
renal flare sebagai peningkatan 30% dari kreatinin serum atau peningkatan 2,0
gram/hari dari proteinuria setelah terapi induksi. Pasien dengan indeks
aktivitas teinggi dan adanya karyorrhexis lebih sering mengalami rekurensi
penyakit. Ioannidis dkk mendefinisikan penyakit rekuren sebagai sedimen urin
aktif (8-10 RBC/lpb) atau lebih dari 500 mg proteinuria/24 jam .6
Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi ginjal. Medikamentosa
berupa kortikosteroid dan agen imunosupresif . Dialisis dapat dilakukan untuk
mengontrol gejala gagal ginjal. Transplantasi ginjal juga direkomendasikan
(pasien dengan lupus yang aktif tidak boleh dilakukan transplantasi ginjal).
Dosis kumulatif rata-rata dan dosis per sesi IV, dan masa paparan terhadap
Siklofosfamid IV dan Metilprednisolon dalam pengobatan Nefritis Lupus dan
Sindrom Nefrotik ternyata identik dalam penelitian observasional selama 7
tahun.1
Selama pengobatan NL harus menilai keberhasilan terapi, beberapa
kriteria keberhasilan terapi : Renal remission, complete renal remission,
diesease remission, renal relaps.
Kriteria renal remission :
a. Berkurangnya proteinuria 50% dan proteinuria < 3gr/24jam.
b. Hilangnya hematuria ( RBC 5 )
c. Hilangnya piuria (WBC 5)
16

d. Hilangnya celluler cast (<1)


e. Stabil (fluktuasi dalam 10% dibanding nilai awal) GFR jika serum
kreatinin awal < 2mg/dl atau peningkatan 30% jika serum kreatinin
awal 2mg/dl.
Kriteria renal relaps :
a. Peningkatan proteinuria 50% dan proteinuria >1gr/24jam
b. Hematuria (RBC >5)
c. Piuria (WBC > 5)
d. Celluler cast 1
e. Penurunan GFR 30% pada dua pengukuran
Complete renal remission :
a. Proteinuria 24jam 500mg
b. RBC 5
c. WBC 5
d. Celluler cast <1
e. GFR 80ml/menit/1,73. Semua kriteria tersebut paling sedikit pada
dua kali pengukuran selama satu bulan pengobatan
Dieases remission merupakan kombinasi antara complete renal remision
dan tidak adanyan manifestasi ekstra renal.10
Pada penatalaksanaan penting diperhatikan adalah fokus pada strategi
terapi yang bertujuan untuk mengurang progresifitas penyakit ginjal,
menghambat perkembangan penyakit vaskuler, menghambat kambuhnya
penyakit dan mengurangi efek samping pengobatan. Pengobatan pada NL
bertujuan untuk terjadinya induksi dan mencegah terjadinya relaps. Namun
disadari pula maintenance pengobatan jangka panjang dengan steroid dan
cytotoxic agent sering disertai dengan terjadinya efek samping dan
morbiditas. Rata-rata kejadian relaps masih>40% dalam waktu 5 tahun.5
J. PROGNOSIS
Pada nefritis lupus kelas I dan II hampir tidak terjadi penurunan fungsi
ginjal yang bermakna sehingga secara nefrologis kelompok ini memiliki
17

prognosis yang baik. Nefritis lupus kelas III dan IV hampir seluruhnya akan
menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Pada nefritis lupus kelas III yang
keterlibatan glomerolus 50%, dimana prognosis kelompok ini menyerupai
prognosis nefritis lupus kelas IV yaitu buruk. Nefritis lupus kelas V memiliki
prognosis yang cukup baik sama dengan nefropati membranosa primer,
sebagian kecil akan menimbulkan sindrom nefrotik yang berat.19
Prognosis bergantung kepada bentuk dari nefritis lupus. Pasien dapat
sembuh sementara dan kemudian timbul kembali gejala akut dari lupus.
Beberapa kasus berkembang menjadi gagal ginjal kronik.14

18

BAB III
KESIMPULAN
Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal pada SLE. Penyakit SLE dpapat
ditemukan pada semua umur, tapi paling sering pada usia 20-40 tahun dan 90%
adalah wanita. Keterlibatan ginjal paling sering ditemukan sekitar 60% pada
pasien dewasa, walaupun pada awal SLE kelainan ginjal didapatkan 35-50 kasus.
Diagnosis klinis NL ditegakan bila pada pasien SLE (minimal terdapat 4
dari kriteria ARA) didapatkan protein urea 1gr/24 jam dengan atau hematuria
(>8 eritrosit/LPB) dengan atau penurunan fungsi ginjal sampai 30% sedangkan
diagnosis pasti nefritis lupus ditegakan dengan biopsi ginjal.
Pada penatalaksanaan penting diperhatikan adalah fokus pada strategi
terapi yang bertujuan untuk mengurang progresifitas penyakit ginjal, menghambat
perkembangan penyakit vaskuler, menghambat kambuhnya penyakit dan
mengurangi efek samping pengobatan. Pengobatan pada NL bertujuan untuk
terjadinya induksi dan mencegah terjadinya relaps. Namun disadari pula
maintenance pengobatan jangka panjang dengan steroid dan cytotoxic agent
sering disertai dengan terjadinya efek samping dan morbiditas. Rata-rata kejadian
relaps masih>40% dalam waktu 5 tahun.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Ardoin SP, Pisetsky DS. Development in the scientific understanding of
lupus.Arthritis Research & Therapy 2008, 10:218
2. Belmont MH. Lupus Clinical Overview. In: James K, Blaire M, eds.
Nephritis Lupus. 5th ed. New York, PA: McShane; 2006: 123-58.
3. Bertias G, Sidiropoulos P, Boumpas DT. 2000. Systemic Lupus
Erythematosus:

Treatment

Renal

Invelotment.

Rheumatology.

Philadelphia: Mosby Elsevier.


4. Bevra HH. Systemic Lupus Erythematosus. 2005. Harrison Principles Of
International Medicine ed 16th. Vil II. McGraw-Hill Medical Publishing
Division
5. Boletis JN, Marnaki S, Skalioti C. Rituximab and Mycophenolate Mofeil
For Relapsing Moliferative Lupus Nephritis : A Long Term Prospective
Study. Nephrol Dial Transplant; 2009 24: 2157-2160
6. Brent LH, Hamed FA. Lupus Nephritis. In: James K, Blom, eds. Lupus
Erythematosus. 12th ed. Washington, PA: Lippincott Williams and
Wilkins; 2008: 849-67.
7. Brunner HI, Gladman DD, Ibaez D, Urowitz MD, Silverman ED.
Difference in disease features between childhood-onset and adult-onset
systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum. Feb 2008;58(2):556-62..
8. Gill JM et al. Diagnosis of systemic lupus erythematosus. Am Fam
Physician. (Journal).2003;68:2179-86.
9. Hugh RB, Yvonne M, OMeara, Barry MB. Glomerular Disease. 2005.
Harrison Principles Of International Medicine ed 16th. Vil II. McGrawHill Medical Publishing Division.

20

10. Laskari K. Mavragani P. 2010. Tziofag Moustopoulys M. Mycephenolat


Mofeil as Maintenance therapy for Proliferative Lupus Nephritis: a Long
term obervasitional prospective study arthritis reasearch & therapy.
11. Rahman A, Isenberg DA. Systemic lupus erythematosus. N Engl J Med.
2008;358(9):929-39
12. Schur PH. General symptomatology and diagnosis of systemic lupus
erythematosus in adults. (Letter). 2005:60: 125
13. Sudoyo AW et al. Nefritis lupus. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
3. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam UI, 2007
14. Tumlin JA. Lupus Nephritis : Histology,diagnosis and treatment. Bulletin
of the NYU Hospital for Joint Diseases 2008;66(3):188-94
15. The 8th International Congress on SLE; May 23-27, 2007; Shanghai,
China. Updating the American College of Rheumatology revised criteria
for the classification of systemic lupus erythematosus [Letter]. Arthritis
Rheum 1997;40:1725.
16. Sidiropoulos P et al. Lupus nephritis flares. Lupus 2005;14: 49-52
17. Vasuvedan AR, Ginzler EM. 2000. Clinical feature of Sistemic Lupus
Erythematosus. Rheumatologiy. Philadelphia: Mosby Elsevier.
18. Waldman M, Appel GB. Update on the treatment of lupus nephritis.Kidney
Int 2006; 70 : 1403-12
19. Weening JJ, DAgati VD, Schwartz MM, Seshan SV, Alpers CE, Appel
GB. The classification of glomerulonephritis in systemic lupus
erythematosus revisited. J Am Soc Nephrol. 2004;15(2):241-50

21

You might also like