You are on page 1of 28

BAB II

HASIL KUNJUNGAN
(SANITASI INDUSTRI PERUSAHAAN)
II.2. SANITASI INDUSTRI PERUSAHAAN
1. Penyediaan air bersih
Air bersih berasal dari PAM
2. Pemeriksaan udara ruangan

Suhu dan Kelembaban.


Di perusahaaan tersebut tinggi antara langit-langit dari lantai sekitar
2m, dengan kelelmbaban yang tinggi.

Debu
Sistem ventilasi dari perusahaan tersebut kurang, sehingga untuk
terjadinya pertukaran udara yang terjadi juga kurang, serta
banyaknya bahan-bahan yang tertumpuk menjadi tempat
terkumpulnya debu karena jarang dibersihkannya.

3. pengelolaan limbah
limbah yang sudah ada biasanya ditumpuk saja dipojok-pojok suatu
tempat, dan tidak langsung dibuang ditunggu sampai 3 bulan baru dibuang
karena perusahaan bekerja sama dengan pihak pengelolaan limbah

4. Pengukuran pencahayaan
Pencahayaan dirasakan cukup dari masing masing tempat produksi karena
tersedianya lampu yang optimum dan dapat masuknya cahaya matahari
5. Vector penyakit
Kurangnya menjaga kebersihan lingkungan sekitar perusahaan sehingga
memudahkan berkembang biaknya vektor penyakit seperti serangga dan
tikus

6. Ruang dan bangunan


Bangunan kuat namun kurang terpelihara dengan baik dan tata letak yang
kurang rapih karena banyak barang barang yang sudah tidak terpakai
menumpuk pada sudut ruangan, tangga terbuat dari kayu yang curam ,
jarak langit langit pada ruangan cutting kurang tinggi
7. Toilet
Ketersediaan toilet yang kurang strategis dan kebersihan toilet yang
dianggap kurang layak karena kotor dan bau

(10. PROGRAM KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA, SERTA


11. DATA-DATA PROGRAM KESEHATAN KERJA)
Program kesehatan dan keselamatan kerja
Program kesehatan kerja
Program kesehatan yang terdapat pada pabrik PT. Imam Jaya Colletion ini
adalah program rohani dan jasmani, dimana program rohani yang terdapat pada
pabrik adalah adanya tempat beristirahat dan beribadah. Sedangkan untuk
program kesehatan jasmani tersedianya kotak P3K (Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan).

Perusahaan

ini

tidak

memiliki

jaminan

kesehatan

untuk

karyawannya, pemilik sudah menyarankan untuk didaftarkan BPJS namun


karyawan menolaknya. Apabila terdapat karyawan yang sakit biasanya hanya
membeli obat disekitar perusahaan tersebut, jika terjadi kecelakaan kerja
karyawan akan dibawa ke klinik atau rumah sakit terdekat.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
(15.

TINJAUAN

PUSTAKA

HANYA

UNTUK

HAL

YANG

BERKAITAN DGN POTENSI HAZARD YANG DITEMUKAN DI


PERUSAHAAN TRSBT)

III.2. Penyakit Akibat Kerja (PAK)/ Penyakit Akibat Hubungan Kerja


(PAHK)
Penyakit akibat kerja (PAK)/occupational diseases adalah penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja (Permennaker No.Per.
01/Men/1981) yang akan berakibat cacat sebagian maupun cacat total. Cacat
sebagian adalah hilangnya atau tidak fungsinya sebagian anggota tubuh tenaga
kerja untuk selama-lamanya. Sedangkan cacat total adalah keadaan tenaga kerja
tidak mampu bekerja sama sekali untuk selamanya.

Penyakit akibat hubungan kerja (PAHK)/work related diseases yaitu


penyakit yang dicetuskan, dipermudah atau diperberat oleh pekerjaan. Penyakit ini
disebabkan secara tidak langsung oleh pekerjaan.
A Muskuloskeletal Disorders (MSDs)
a Definisi
Muskuloskeletal disorder adalah gangguan pada bagian otot skeletal
yang disebabkan oleh karena otot menerima beban statis secara berulang
dan terus menerus dalam jangka waktu yang lama dan akan menyebabkan
keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon(Widyastuti,
2009).
Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
1 Keluhan sementara (reversible)
Yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis
namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang bila pembebanan
2

dihentikan.
Keluhan menetap (persistent)
Yaitu keluhan otot yang bersifat menetap. Walaupun pembebanan
kerja dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut.
Studi tentang MSDs pada berbagai jenis industry telah banyak

dilakukan dan hasil studi menunjukkan bahwa bagian otot yang sering
dikeluhkan adalah otot rangka (skeletal) yang meliputi otot leher, bahu,
lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot-otot bagian bawah.
Muskuloskeletal disorder mempengaruhi semua kelompok usia dan
sering menyebabkan cacat, gangguan, dan merugikan. Terdiri dari berbagai
penyakit yang berbeda yang menyebabkan rasa sakit atau ketidaknyamanan
pada tulang, sendi, otot, atau struktur di sekitarnya, dan mereka dapat akut
atau kronis, fokal, atau meluas (Rahmaniyah, 2007)
b Faktor Penyebab
Menurut Peter Vi (2001), faktor penyebab musculoskeletal disorders
antara lain:
1 Peregangan otot yang berlebihan (over-exertion)
Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya dikeluhkan oleh
pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan yang besar,

seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik, menahan beban yang


2

berat.
Aktivitas berulang
Pekerjaan yang

dilakukan

secara

terus

menerus.

Seperti

mencangkul, membelah kayu, angkat-angkut dan sebagainya.


Sikap kerja tidak alamiah
Sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh
bergerak menjauhi posisi ilmiah, misalnya pergerakan tangan terangkat,

punggung terlalu membungkuk dan sebagainya.


Faktor penyebab sekunder

Tekanan: Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang


lunak

Getaran: Getaran dengan frekuensi yang tinggi akan menyebabkan


kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan
peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat
dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.

Mikroklimat: Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat


menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga
pergerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak disertai dengan
menurunnya kekuatan otot.

Penyebab kombinasi

Umur: Prevalensi sebagian besar gangguan tersebut meningkat


dengan usia.

Jenis kelamin: Prevalensi sebagian besar gangguan tersebut


meningkat dan lebih menonjol pada wanita dibandingkan pria (3:1)

Kebiasaan merokok: Semakin lama dan semakin tinggi tingkat


frekuensi merokok, semakin tinggi pula keluhan otot yang
dirasakan.

Kesegaran jasmani: Tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan


mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot.

Kekuatan fisik

Ukuran tubuh (antropometri)

Langkah-Langkah Mengatasi Musculoskeletal Disorders


1

Rekayasa Teknik

Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada.

Substitusi, yaitu mengganti alat atau bahan lama dengan alat atau
bahan baru yang aman, menyempurnakan proses produksi dan
menyempurnakan prosedur penggunaan peralatan

Partisi, yaitu pemisahan sumber bahaya dengan pekerja

Ventilasi, yaitu dengan menambah ventilasi untuk mengurasi resiko


sakit.

Rekayasa Manajemen
Pendidikan dan pelatihan.
Pengaturan waktu kerja dan istirahat seimbang.
Pengawasan yang intensif.

B LBP (Low Back Pain)


a Definisi
Low back pain adalah suatu sindroma nyeri yang terjadi pada daerah
punggung bagian bawah dan merupakan work related musculoskeletal
b

disorders (Widyastuti, 2009).


Epidemiologi
Lebih dari 70% manusia dalam hidupnya pernah mengalami LBP,
dengan rata-rata puncak kejadian berusia 35-55 tahun (Rahmaniyah, 2007)

Etiologi
Penyebab yang paling umum adalah regangan otot atau postur tubuh
yang tidak tepat
Faktor resiko:
1 Faktor resiko internal

Usia: keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 2555 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada usia 35 tahun dan
tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Hal ini terjadi karena kekuatan dan ketahanan otot mulai

menurun sehingga resiko terjadinya keluhan otot meningkat.


Riwayat penyakit : sebelum bekerja pekerja tersebut

sudah

mempunyai penyakit yang berhubungan dengan keluhan otot-otot


skeletal sehingga penyakit tersebut timbul bukan karena pekerjaannya.

Riwayat penyakit degeneratif, dsb.


Tulang belakang yang tidak normal (Widyastuti R, 2009)
Riwayat keluarga dengan musculoskeletal disorder
Obesitas: berat badan yang berlebihan akan menyebabkan tumpukan
lemak yang lebih banyak sehingga tekanan pada tulang belakang
menjadi lebih besar yang dapat meningkatkan resiko terjadinya

keluhan otot-otot skeletal.


Perokok
2 Faktor resiko eksternal
Ergonomi : Kebiasaan duduk, bekerja membungkuk dalam waktu
yang relatif lama, mengangkat dan mengangkut beban dengan sikap

yang tidak ergonomis.


Kesegaran jasmani: Bagi yang dalam kesehariannya melakukan
pekerjaan yang memerlukan pengerahan tenaga yang besar, di sisi lain
tidak mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat, hampir dapat
dipastikan akan terjadinya keluhan otot. Tingkat kesegaran tubuh yang
rendah akan mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot. Keluhan

otot akan meningkat sejalan dengan bertambahnya aktifitas fisik.


Status gizi: Seorang tenaga kerja dengan keadaan gizi yang baik akan
memiliki kapasitas kerja dan ketahanan tubuh yang lebih baik, begitu

juga sebaliknya (Rahmaniyah, 2007)


Aktivitas di luar kerja: aktivitas yang dilakukan oleh tenaga kerja
sebelum atau sesudah mereka bekerja. Dapat dimungkinkan keluhan
otot-otot tersebut akibat dari aktivitas di luar kerja bukan dari
pekerjaannya (Risyanto, 2008).

Masa kerja: lama waktu seseorang bekerja sejak diterima di


perusahaan sampai dilakukan pengamatan. Masa kerja sekitar 5-10

tahun (Rahmaniyah, 2007).


Lama kerja: tekanan melalui fisik (beban kerja) pada suatu waktu
tertentu mengakibatkan berkurangnya kinerja otot, gejala yang
ditunjukkan juga berupa pada makin rendahnya gerakan (Risyanto,

2008).
Monotoni: pekerjaan sama yang dilakukan terus menerus tanpa ada

variasi lain.
Shift kerja: merupakan pola waktu kerja yang diberikan pada tenaga
kerja untuk mengerjakan sesuatu oleh perusahaan dan biasanya dibagi

atas kerja pagi, sore dan malam.


Lingkungan kerja (Kusiono, 2004).
Perjalanan penyakit
Posisi duduk yang tidak ergonomis akan menimbulkan kontraksi otot
secara isometris (melawan tahanan) pada otot-otot utama yang terlibat
dalam pekerjaan. Akibatnya beban kerja bertumpu di daerah pinggang dan
menyebabkan otot pinggang sebagai penahan beban utama akan mudah
mengalami kelelahan dan selanjutnya akan terjadi nyeri pada otot sekitar
pinggang atau punggung bawah (Risyanto, 2008). Gangguan otot akan
diperberat oleh situasi tertentu misalnya posisi duduk yang tidak benar, usia,
postur tubuh serta kursi yang tidak ergonomis (Kusiono, 2004).
Bentuk aktivitas dengan posisi kerja yang berbeda, jumlah otot yang
dilibatkan dan tenaga yang diperlukan juga berbeda. Bekerja posisi berdiri
dan posisi duduk melibatkan jumlah kontraksi otot yang berbeda. Bekerja
posisi berdiri statis dan lama lebih banyak melibatkan intensitas kontraksi
otot dibandingkan posisi duduk atau berdiri setengah duduk dan relaksasi
(Rogers, 2006). Bekerja yang lebih banyak melibatkan intensitas kontraksi
otot dan dalam keadaan anaerob akan lebih cepat melelahkan, karena
konsentrasi asam laktat meningkat dan glokogen sebagai salah satu sumber
energi tubuh cepat berkurang. Dalam bekerja, harus dicari posisi alamiah
atau posisi fisiologis agar tidak banyak melibatkan intensitas kontraksi otot,
tidak mudah lelah dan produktivitas kerja dapat meningkat. Ketegangan otot
akan beradaptasi dari kondisi yang tidak tenang (tidak baik) setelah 12 hari.

Misalnya tenaga kerja di pabrik, mereka bekerja di ruangan terbuka dengan


perlengkapan tidak standar, mereka bekerja tidak ada kekuatan menuntut
(pasrah), tidak ada ventilasi, panas, tertekan, bising dan iklim lingkungan
kerja di bawah standar. Mereka dapat berdapatasi pada kondisi buruk seperti
itu, tetapi konsekuensinya, kondisi tubuh menjadi kurang optimal, tidak
efesien, kualitas rendah, dan seseorang dapat mengalami gangguan
kesehatan seperti pusing, nyeri pinggang (low back pain), gangguan otot
rangka (skeletal muscle), dan penurunan daya dengar yang tidak bisa
dihindari. Walau tenaga kerja tersebut belum sampai sakit parah (celaka)
dan masih dapat masuk kerja, suatu pertimbangan yang tepat, cerdas dan
dapat

mencapai

kesuksesan

seharusnya

mempertimbangkan

kaidah

ergonomis, agar terjadi keserasian yang baik antara kemampuan dan batasan
manusia dengan mesin dan lingkungannya (Rogers, 2006).
Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot
yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan
durasi pembebanan yang panjang. Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan
tidak terjadi apabila kontraksi otot hanya berkisar antara 15-20% dari
kekuatan otot maksimum. Namun apabila kontraksi otot melebihi 20%,
maka peredaran darah ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang
dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot
menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya
terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri
otot (Meliala, 2003).
Sikap kerja tidak alamiah, yaitu sikap kerja yang menyebabkan posisi
bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan
terangkat,

punggung

terlalu

membungkuk,

kepala

terangkat,

dan

sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh,
maka semakin tinggi pula resiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap
kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas,
alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan
keterbatasan pekerja.

Klasifikasi
1 LBP akut
: terjadi dalam waktu kurang dari 2 minggu
2 LBP kronik : terjadi dalam waktu 3 bulan (Rogers, 2006)

Diagnosis
1 Anamnesis: awitan, lama dan frekuensi serangan, lokasi dan penyebaran,
2

kuantitas/intensitas, dan faktor yang memperingan/memperberat.


Pemeriksaan fisik
Inspeksi dan palpasi: keterbatasan gerak pada salah satu sisi atau arah,
back extension, forward flexion, lokasi (pasien diminta membungkuk

ke depan, lateral kanan dan kiri).


Pemeriksaan neurologis
3 Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan radiologis
(Meliala, 2003)
h Penatalaksanaan
1 Aktivitas: lakukan aktivitas normal.
2 Tirah baring: pada beberapa kasus dapat dilakukan tirah baring 2-3 hari
3

pertama untuk mengurangi nyeri.


Medikasi: obat anti-nyeri diberikan dengan interval biasa dan digunakan
hanya jika diperlukan. Mulai dengan parasetamol atau NSAID. Jika tidak
ada

perbaikan,

coba

campuran

parasetamol

dengan

opioid.

Pertimbangkan tambahan muscle relaxant tetapi hanya untuk jangka


4

pendek, mengingat bahaya ketergantungan.


Olahraga: harus dievaluasi lebih lanjut jika pasien tidak kembali ke

aktivitas sehari-harinya dalam 4-6 minggu.


Diatermi/kompres panas/dingin: untuk mengatasi inflamasi dan spasme
otot. Pada keadaan akut biasanya digunakan kompres dingin, termasuk
bila ada edema. Untuk nyeri kronik dapat digunakan kompres panas

maupun dingin.
Latihan: direkomendasikan melakukan latihan dengan stress minimal
pada punggung seperti jalan kaki, naik sepeda atau berenang. Latihan
bertujuan memelihara fleksibilitas fisiologik, kekuatan otot, mobilitas
sendi dan jaringan lunak (Hills, 2004)

Prognosis
Biasanya pasien sembuh rata-rata dalam 7 minggu. Tetapi sering
dijumpai episode nyeri berulang. Sebanyak 80% pasien mengalami

keterbatasan dalam derajat tertentu selama 12 bulan, mungkin hanya 1015% yang mengalami disabilitas berat (Bogduk, 2009).
C Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
a Definisi
Carpal Tunnel Syndrome adalah keadaan nervus medianus tertekan di
daerah pergelangan tangan sehingga menimbulkan rasa nyeri, parestesia, dan
kelelahan otot tangan.
b Epidemiologi
CTS lebih sering pada wanita, puncaknya pada usia 42 tahun (40-60
tahun). Risiko untuk menderita CTS sekitar 10% pada populasi dewasa.
c

Etiologi
Sebagian besar kasus CTS (>50%) bersifat idiopatik, tetapi berbagai
kondisi dapat berkontribusi sebagai penyebab, yaitu:
1

Kondisi kesehatan lain seperti artritis reumatoid

Karakteristik Fisik, carpal tunnel seseorang dapat lebih sempit daripada


populasi umum

Proses penuaan normal dengan peningkatan massa di tenosinovium.

Tekanan langsung atau lesi desak-ruang di dalam carpal tunnel dapat


meningkatkan tekanan pada nervus medianus dan menyebabkan CTS.

Tenosinovitis, yaitu peradangan membran musin tipis yang menyelimuti


tendon.

Sindrom Double-crush, yaitu terjadi kompresi atau iritasi nervus


medianus di atas pergelangan tangan.

Aktivitas yang membutuhkan penggunaan tangan dengan kombinasi


gerakan berulang pergelangan tangan atau jari dan pekerjaan yang
menggunakan alat yang menimbulkan getaran.

Faktor keturunan.

d Gambaran Klinis

Rasa baal dan kesemutan yang hilang timbul di daerah yang dipersarafi

nervus medianus.
Nyeri yang menjalar atau meluas dari pergelangan tangan ke bahu atau

3
4

turun ke telapak tangan.


Kelemahan di tangan dan cenderung menjatuhkan barang yang dipegang.
Gejala biasanya timbul bilateral, perlahan-lahan dan makin progresif.
CTS lebih sering mengenai tangan yang dominan.

e Pemeriksaan Fisik
1 Tes Provokatif

Manuver Phalen: siku pasien diletakkan diatas meja, lengan


bawah tegak lurus terhadap meja dan pergelangan tangan difleksikan.
Posisi ini ditahan selama 60 detik. Tes dikatakan positif bila rasa baal
atau kesemutan muncul pada jari-jari sisi radial.

Tanda

Tinel:

Dilakukan

dengan

cara

perkusi

ringan

dipergelangan tangan bagian volar diatas nervus medianus untuk


membangkitkan sensasi kesemutan.

Tanda Flick: Menggoyang atau menjentikkan tangan untuk


meredakan gejala yang timbul.

Pemeriksaan Sensorik

Sensibilitas Getar: Garpu tala 256Hz digetarkan, lalu


diletakkan diujung jari pasien. Tes dianggap positif bila sensasi getar
berkurang.

Diskriminasi 2 titik: Gagal mengidentifikasi adanya 2 benda


yang menyentuh kulit dengan jarak lebih dari 6mm.

f Pemeriksaan Penunjang
1

Elektrofisiologi Diagnostik

Electromyography (EMG): dapat ditemukan gelombang tajam,


potensial fibrilasi dan aktivitas insrsional yang meningkat.

Kecepatan hantar saraf: sinyal akan tertangkap lebih lambat dan


lemah.

Pencitraan

MRI

USG : terdapat peningkatan area cross-sectional dari nervus medianus


di carpal tunnel dibandingkan dengan control (Ropper, 2005).

g Penatalaksanaan
1

Bidai pergelangan tangan: biasanya digunakan pada pasien dengan gejala


ringan sampai sedang yang berlangsung kurang dari 1 tahun. Digunakan

untuk mereposisi tangan supaya tidak fleksi dan ekstensi tangan.


Obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Berfungsi untuk menghilangkan
nyeri jika terdapat peradangan. Contoh: ibuprofen, ketoprofen, dan

naproxen.
Kortikosteroid.

Disuntikan

langsung

ke

carpal

tunnel

untuk

menghilangkan nyeri. Digunakan untuk menghilangkan nyeri dan


4

mengurangi peradangan, sehingga mengurangi tekanan.


Operasi. Jika gejala CTS menetap disarankan untuk melakukan operasi
carpal tunnel. Bertujuan untuk mengurangi tekanan di carpal tunnel yaitu
dengan cara membelah lapisan transcutaneus (TCL/Transcutaneus layer)
(Samuels, 2004).

D Varises
a Definisi

Varises

terdiri

atas

vena

yang

mengembang

dan berkelok,

telangiektasia, atau vena retikuler yang halus.


b Klasifikasi
Varises dapat dibagikan kepada dua, yaitu primer atau sekunder.
Varises primer disebabkan oleh kelainan intrinsik dinding vena pada sistem
vena superfisial, sedangkan varises sekunder berhubungan dengan
insufisiensi vena pada sistem vena profunda.
c

Etiologi
Varises sekunder disebabkan oleh insufisiensi vena profunda, vena
perforantes yang tidak kompeten, atau oklusi vena profunda.

d Gejala Klinis
Pasien dengan varises dapat mengeluh nyeri pada tungkai bawah,
terutama di daerah betis. Nyeri tersebut bersifat tumpul, seperti dipukul;
rasa nyeri itu tidak berhubungan dengan besarnya varises, malah lebih berat
sewaktu stadium awal. Nyeri yang dirasakan bertambah setelah pasien
berdiri untuk jangka waktu yang panjang dan berkurang bila berbaring
sambil tungkai ditinggikan. Selain itu, pasien juga mengadu tungkai terasa
berat, pegal atau gatal. Namun begitu, pasien mungkin tidak bergejala tetapi
mengeluh penampilan kosmetik yang buruk, terutama di kalangan wanita.
Sering kali terdapatnya edema ringan pada pergelangan kaki pada
pasien dengan varises. Bila varises tidak segera diatasi, maka penyulit akan
terjadi
e

berupa

tromboflebitis,

hiperpigmentasi,

lipodermatosklerosis,

ulserasi dan perdarahan, yaitu tanda-tanda varises yang berat (Price, 2006).
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan varises terdiri atas 4 cara yang dapat dilakukan secara
tersendiri atau bersamaan tergantung pada besar dan derajat varises serta
gejala-gejala yang disebabkannya, yaitu:
Penjaminan (reassurance)
Pemakaian kaos kaki kompresi elastik
Gejala-gejala yang disebabkan oleh varises dapat dikurangi dengan
pemakaian kaos kaki elastik. Kaos kaki tersebut bisa didapatkan
dalam 3 derajat penekanan, yaitu kelas 13. Pemakaian kaos kaki
elastik dapat membantu dalam mengurangi gejala pada stadium awal
varises tetapi tidak mencegah munculnya lebih banyak varises atau
mengakibatkan hilangnya varises. Kaos kaki tersebut bertujuan untuk

memberikan penekanan yang merata dalam membantu aliran balik


vena. Bila pasien juga banyak berjalan, maka hasil akan bertambah

baik.
Pemberian suntikan skleroterapi
Pemberian suntikan skleroterapi melibatkan administrasi larutan iritan
berupa natrium tetradesil (sodium tetradecyl, STD). Skleroterapi
dilakukan bila varises masih sedikit dan berdiameter <1 mm, atau
pasien tidak mau dioperasi. Jika STD disuntik ke dalam vena yang
kosong dan kemudian vena itu ditekan, maka lapisan endotel akan
terobliterasi. Jika vena tidak dikompresi dan kemudian vena itu terisi
darah, maka trombosis setempat akan timbul lalu menghasilkan
tromboflebitis

dengan

rekanalisasi

dan

rekurensi.

Walaupun

pemberian suntikan skleroterapi telah digunakan secara meluas, cara


ini masih berhubungan dengan angka kekambuhan yang lebih besar,
terutama sekiranya ada inkompetensi pada percabangan (junctional

incompetence).
Perawatan bedah
Prinsip utama dalam perawatan bedah adalah ligasi sumber refluks
vena, biasanya percabangan safenofemoral (saphenofemoral junction,
SFJ) atau safenopopliteal (saphenopopliteal junction, SPJ), dan
penyingkiran pembuluh vena safena yang inkompeten, dengan varises
yang terkait. Ligasi SFJ atau SPJ saja berhubungan dengan angka
kekambuhan varises yang tinggi karena pembentukan semula refluks
dari GSV atau LSV pada hubungan-hubungan dengan sistem vena
profunda sehingga GSV atau LSV harus disingkirkan (stripping).
(Rasjad, 2008)

Komplikasi
Kadangkala penyulit varises dapat terjadi jika gangguan hemodinamik
vena superfisial tidak segera diatasi, antaranya tromboflebitis superfisial,
trombosis vena profunda, perdarahan, hiperpigmentasi vena, dermatitis
vena, lipodermatosklerosis, dan ulkus varikosum (Price, 2006).

E HAVS (Hand-Arm Vibration Syndrome)

Definisi
HAVS

adalah

kumpulan

gejala

vaskuler,

neurologik

dan

muskuloskeletal yang mengenai jari, tangan dan lengan yang disebabkan


oleh pengunaan alat-alat yang menggetarkan tangan, khususnya bor (drill),
gerinda, bor listrik, gergaji, dan alat pembuat lubang pada beton
(jackhammers).
b Perjalanan penyakit
HAVS juga dapat terjadi pada pekerja yang menggunakan mesin
bergetar. Getaran yang ada pada alat tersebut ditransmisikan ke tangan dan
lengan dari pekerja yang memegang alat tersebut. Efek getaran yang
dtimbulkan tergantung dari besarnya getaran, lama penggunaan dan
frekuensinya. Semakin lama pekerja menggunakan alat-alat tersebut dan
semakin cepat getarannya maka makin tinggi risiko terkena HAVS. Makin
pendek periode laten, makin berat HAVS yang terjadi bila pajanan pada
tangan dengan alat-alat yang bergetar tetap berlanjut. 25 Frekuensi yang
berkisar antara 2-1500 Hz berpotensi untuk menimbulkan kerusakan
jaringan meskipun frekuensinya relatif kecil berkisar antara 5-20 Hz sudah
berbahaya. Para pekerja yang tangannya terpajan alat-alat yang bergetar
dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah sehingga mengurangi suplai
darah ke saraf. Hal ini menyebabkan kehilangan sensoris yang permanen,
kerusakan pada tulangn dan otot menjadi lemah seperti yang terjadi pada
arthritis.
c

Pencegahan
Ada empat hal utama yang perlu diperhatikan agar pekerja terhindar
dari HAVS, yaitu modifikasi kerja untuk mengurangi paparan getaran,
evaluasi kesehatan, cara kerja sehari-hari dan pendidikan bagi pekerja.

Modifikasi kerja untuk mengurangi paparan getaran dilakukan dengan


mendesain ulang alat-alat yang bergetar untuk meminimalisasikan
pajanan pada tangan dan lengan. Demikian juga bila memungkinkan,
alat-alat yang bergetar tinggi perlu diimprovisasi agar efek getaran yang
sampai kepada genggaman tangan lebih kecil. Alat-alat perlu diperiksa
secara berkala untuk menjaga efek getaran tetap minimum. Alat-alat

yang tumpul akan menimbulkan getaran lebih kuat dibandingkan alatalat yang tetap dijaga ketajamannya.
Perlu ditentukan lamanya terpapar getaran dan perlu adanya waktu

istirahat untuk menghindari waktu yang terus menerus terpapar getaran.


Pekerja yang menggunakan alat bergetar terus menerus perlu
mengambil waktu istirahat 10 menit tiap jam selama penggunaan alat
bergetar tersebut.
Pekerja yang bekerja dengan alat-alat tangan yang bergetar perlu

memakai sarung tangan hangat dengan multi lapisan dan sebaiknya


memakai sarung tangan anti getaran bila memungkinkan. Sebelum
bekerja, tangan perlu dihangatkan untuk menjaga aliran darah tetap
lancar. Ini terutama penting bila udara dingin. Pekerja yang
menggunakan alat-alat bergetar sebaiknya tidak boleh membiarkan
tangannya menjadi dingin.
Pekerja yang bekerja dengan menggunakan alat-alat tangan bergetar

sebaiknya tidak memegang alat tersebut secara kuat, ia harus


memegangnya secara ringan, konsisten dengan sikap kerja yang aman.
Semakin kuat memegang, maka semakin banyak getaran yang
ditransmisikan ke jari-jari dan tangan.
F KEBISINGAN
a Definisi
Kebisingan merupakan "suara yang tak dikehendaki yang dapat
mengganggu tidur serta aktivitas lain, dapat mengakibatkan gangguan
pendengaran bahkan bisa mengakibatkan kehilangan pendengaran. Menurut
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.KEP-51/MEN/1999 menyebutkan
bahwa kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang
bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang berada
pada titik tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.
b

Sumber-sumber Kebisingan
Sumber bising utama dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok, yaitu:
1

Bising interior: berasal dari manusia, alat rumah tangga, atau mesinmesin gedung, misalnya radio, televisi, bantingan pintu, kipas angin,
komputer, pembuka kaleng, pengkilap lantai, dan pengkondisi udara.

Bising eksterior: berasal dari kendaraan, mesin-mesin diesel,


transportasi.

Tingkat Kebisingan
Menurut Keputusan Menteri negara lingkungan hidup Nomor: KEP48/MENLH/11/1996 tentang baku tingkat kebisingan, tingkat kebisingan
adalah ukuran energi bunyi yang dinyatakan dalam satuan desibel disingkat
dB.

Tabel 3.1. Tingkat Kebisingan

Alat Pengukur
Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah sound level meter.
Alat ini mengukur kebisingan antara 30-130 dB dengan frekuensi antara 2020.000 Hz

Pengaruh Kebisingan terhadap Kesehatan


Pengaruh kebisingan terhadap manusia tergantung pada karakteristik
fisik, waktu berlangsung dan waktu kejadian. Ada beberapa gangguan yang
diakibatkan

oleh

kebisingan

diantaranya

gangguan

pendengaran.

Pendengaran manusia merupakan salah satu indera yang berhubungan


dengan komunikasi audio/suara. Alat pendengaran yang berbentuk telinga
berfungsi sebagai fonoreseptor yang mampu merespon suara pada kisaran 0140 dB tanpa menimbulkan rasa sakit.

Tabel 3.2. Lama Mendengar yang Diijinkan pada Tingkatan Bising

Pengendalian
Kebisingan dapat dikendalikan dengan:
1
2
3

Menepatkan peredam pada sumber getaran.


Penempatan penghalang pada jalan transmisi
Proteksi dengan sumbat atau tutup telinga.

III.3. KECELAKAAN KERJA


Kecelakaan (accident) adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan, tiba-tiba
dan tidak terduga yang menyebabkan kerugian pada manusia (luka, cacat, sakit,
meninggal), perusahaan (kerusakan properti, terhentinya proses produksi),
masyarakat (rusaknya sarana, prasarana publik) dan lingkungan (polusi, ekosistem
rusak).
A Trauma tajam (luka iris)
a Definisi
Trauma atau perlukaan adalah gangguan kontinuitas dari jaringan
tubuh seperti kulit, membran mukosa, dan sebagainya (Idris, 1997).
b

Klasifikasi trauma berdasarkan sifat dan penyebab:


1 Mekanik : benda tumpul, benda tajam
2 Fisika
: Suhu, listrik dan petir, perubahan tekanan udara, akustik,
radiasi

3
c

Kimia

: Asam kuat, basa kuat (James, 2005)

Trauma benda tajam


1 Ciri-ciri: tepi luka rata, sudut luka tajam, rambut ikut terpotong,
2

jembatan jaringan (-), memar/lecet di sekitarnya (-)


Klasifikasi:
Luka Iris (Incisied Wound)
Luka Tusuk (Stab Wound)
Luka Bacok (Chop Wound) (Budiyanto, 1997)

d Luka iris (Incisied Wound)


Luka karena alat yang tepinya tajam dan timbulnya luka oleh karena
alat ditekan pada kulit dengan kekuatan relatif ringan kemudian digeserkan
sepanjang kulit (Amir, 2010)
Tanda dan gejala:
1 Sobekan pada kulit yang mungkin membuat cedera jaringan kulit
dibawahnya
Perdarahan ringan-sedang
Nyeri
Komplikasi:
1 Luka terbuka
2 Perdarahan berat (bila mengenai pembuluh darah besar)
3 Infeksi
Penatalaksanaan:
1 Hentikan perdarahan: Luka kecil biasanya perdarahannya berhenti
2
3

sendiri. Tetapi jika belum berhenti, hentikan dengan menekan luka


menggunakan kain bersih atau perban. Jika luka pada bagian tubuh
yang kecil (misal: jari tangan), bisa dilakukan dengan kapas yang
dibasahi agar serabutnya tidak menempel pada luka. Lakukan selama
20 30 menit. Jika pendarahan masih berlanjut, segera bawa ke
dokter.
2

Bersihkan luka: Cukup basuh luka dengan air bersih. Jika harus
menggunakan sabun untuk membershkan kotoran di sekitar luka,
usahakan tidak mengenai bagian yang terluka, karena dapat
mengiritasi luka..

Antibiotik: Oleskan salep antibiotik pada luka. Hal ini tidak akan
membuat luka sembuh lebih cepat, tetapi penting untuk mencegah
infeksi.

Tutup luka: Bila luka cukup dalam/besar perlu dibalut dengan perban.

Ganti perban: Ganti perban secara kontinyu hingga luka sembuh

benar. Lakukan setiap hari sekali atau jika perban mulai kotor/basah.
Perhatikan tanda-tanda infeksi: Segera bawa ke dokter jika luka tidak
sembuh, membengkak, atau rasa sakitnya meningkat.

2.Bagian Pembuatan Pola dan Pemotongan Bahan:

Faktor Fisik: Penyakit Carpal Tunnel Syndrome (CTS)


Dengan menggunakan alat pemotong bahan yang menyebabkan getaran
pada anggota tubuh yang terpajan oleh alat pemotong bahan tersebut khususnya
pada daerah pergelangan tangan, dapat menyebabkan penyakit Carpal Tunnel
Syndrome yang biasanya disebut dengan CTS, yang dapat diakibatkan dengan
terjepitnya syaraf perifer (nervus medianus) oleh ligamen transversus carpii
(ligamen otot) yang berada di di bagian pergelangan tangan, yang mengalami
degenerasi dan pengerasan akibat kerjanya yang hiperaktif dan berulang. Akibat
dari penggunaan gerakan berulang tangan yang monoton. Dalam perusahaan ini,
para pekerjanya dapat memotong potongan kain yang tidak dapat ditentukan
jumlahnya, karena sesuai dengan jumlah target yang ingin dicapai, dengan tidak
adanya pembagian shift kerja sehingga membuat beban pekerjaan dirasakan
semakin berat. Ketika jumlah target banyak, perlu diberikan waktu istirahat yang
cukup agar tidak terus menerus melakukan pekerjaan yang berulang, disarankan
relaksasi 1jam/x.
Dengan menggunakan alat pemotong bahan, seharusnya para pekerjanya
lebih hati-hati, karena apabila tidak berhati-hati dan tidak teliti, maka akan dapat
terjadi kecelakaan kerja, seperti terjadinya trauma: terpotongnya tangan, serta luka
gores pada bagian tangan dari pekerja tersebut.

3.Faktor Ergonomi : Low Back Pain (LBP)

Pada bagian ini, para pekerjanya tidak menggunakan kursi untuk


melakukan pemotongan bahan, rata-rata para pegawainya hanya berdiri saja, serta
tidak mengenal waktu untuk jam kerjanya, sehingga membuat beban yang
berlebihan pada anggota tubuh di daerah pinggang, yang dapat menimbulkan
penyakit Low Back Pain (LBP). Kebiasaan yang salah ini akan membuat bagian
tubuh tertentu akan mengalami beban yang berlebih pada suatu titik. Seharusnya
para pekerja menggunakan kursi, agar tidak ada tumpuan pada satu titik yang
berlebih.
Disarankan memilih desain kursi ergonomis: Kursi yang baik akan mampu
memberikan postur dan sirkulasi yang baik serta akan membantu menghindari
ketidaknyamanan. Pilihan kursi yang nyaman antara lain memiliki penyangga
punggung sehingga diharapkan dapat mengurangi keluhan nyeri punggung bawah
yang dapat meningkatkan efisiensi kerja dan tingginya kursi disesuaikan dengan
tinggi meja tempat pemotongan bahan sehingga tidak perlu berdiri terlalu lama
atau membungkuk. Lebar alas duduk harus lebih besar dari lebar pinggul. Sudut
alas duduk harus sedemikian rupa hingga memberikan kemudahan bagi pekerja
untuk menentukan pemilihan gerakan dan posisi
Hindari duduk dengan posisi yang sama lebih dari 1jam, sehingga
disarankan agar para pekerja mengubah posisi, berjalan, atau melemaskan ototototnya sejenak, kemudian melanjutkan pekerjaannya lagi.

1. Widyastuti R. 2009. Analisa Pengaruh Aktivitas Kerja Dan Beban Angkat


Terhadap Kelelahan Musculoskeletal. Gema Teknik Vol 2: 28-29.
2. Rahmaniyah D. 2007. Analisa Pengaruh Aktivitas Kerja dan Beban Angkat
Terhadap Kelelahan Muskuloskeletal. Volume 10, No.2, Juli 2007.
3. Risyanto. 2008. Pengaruh Lamanya Posisi Kerja Terhadap Keluhan
Subyektif Low Back Pain Pada Pengemudi Bus Kota di Terminal
Giwangan. Diakses pada tanggal 2 Februari 2015.
4. Kusiono. 2004. Beberapa Faktor Ergonomi yang Berhubungan dengan
Keluhan Nyeri Punggung Bawah pada Pengemudi Angkutan Kota Jurusan
Gunungsari-Celincing. Diakses pada tanggal 2 Februari 2015.
5. Rogers, R.G. 2006. Research-Based Rehabilitation of The Lower Back.
Strength And Conditioning journal. Diakses tanggal 2 Februari 2015 dari
http://www.Proquest.com/pqdauto.
6. Meliala L. Patofisiologi Nyeri pada Nyeri Punggung Bawah. Dalam:
Meliala L, Nyeri Punggung Bawah, Kelompok Studi Nyeri Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta, 2003.
7. Hills EC. Mechanical Low Back Pain. Editors: Wieting JM, Talavera F,
Foye PM, Allen KL, Lorenzo CT. 2004. From http://www.emedicine.com/
Accessed on 10th February 2015.
8. Bogduk N. Evidence-Based Clinical Guidelines for the Management of
Acute Low Back Pain. The National Muskuloskeletal Medicine Initiative.
2009.
9. Ropper AH, Brown RH, 2005. Adams & Victors Principles of Neurology,
8th Edition. Boston: McGraw-Hill, 167 183.
10. Samuels, M.A. 2004. Manual of Neurologic Therapeutics. 7 th Edition.
Boston: Lippincott Williams&Wilkins. 85-92
11. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Ed: Ke-6. Jakarta: EGC.
12. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi: Struktur dan Fungsi Tulang,
Edisi ke-3. Jakarta: PT Yarsif Watampone. 2008; 6-11.
13. Idries AM. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta:
Binarupa Aksara.
14. Amir, Amri. 2010. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua.
Medan: Ramadhan.
15. Budiyanto, A. 1997.

Ilmu

Kedokteran

Forensik.

Edisi

Kedua.

Jakarta:Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia.

16. James, Jason Payne at all.2005. Encylopedia of Forensic and Legal


Medicine. First Edition. London: Elsevier.

You might also like