You are on page 1of 28

BAB II

TEORI DASAR

II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN REGANGAN


Hubungan tegangan dan regangan pertama kali dikemukakan oleh Robert
Hooke pada tahun 1678. Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja
lunak ditarik oleh gaya aksial tertentu pada kondisi temperatur ruang maka
material tersebut akan mengalami regangan yang nilainya berbanding lurus
dengan tegangan ataupun dengan beban aksial yang diberikan, kondisi tersebut
kemudian disebut sebagai kondisi elastis. Hubungan antara tegangan dan
ragangan dapat diiterpretasikan sebagai berikut:

= (2.1)

= E. (2.3)

.. (2.2)

Dimana: P = beban aksial


A = luas profil
Lo = panjang mula-mula
L = panjang batang setelah dibebani
E = modulus young/modulus kekenyalan

22

Universitas Sumatera Utara

Hubungan antara tegangan dan regangan untuk lebih jelasnya dapat diperlihatkan
pada gambar 2.1 berikut ini

M
C
A

yu
u

y
GAMBAR 2.1

Hubungan Tegangan Regangan untuk Baja lunak.

Daerah pertama yaitu OA, merupakan garis lurus dan menyatakan daerah
linier elastis. Kemiringan garis ini menyatakan besarnya modulus elastis atau
disebut juga modulus young, E. Diagram tegangan-regangan untuk baja lunak
umumnya memiliki titik leleh atas (upper yield point), , dan daerah leleh datar.
Secara praktis, letak titik leleh atas ini, A, tidaklah terlalu berarti sehingga
pengaruhnya sering diabaikan. Lebih lanjut, tegangan pada titik A disebut sebagai
tegangan leleh, dimana regangan pada kondisi ini berkisar 0.0012.

23

Universitas Sumatera Utara

Dari grafik tesebut dapat terlihat bahwa bila regangannya terus bertambah
hingga melampaui harga ini , ternyata tegangannya dapat dikatakan tidak
mengalami pertambahan. Sifat dalam daerah AB ini kemudian disebut sebagai
kondisi plastis. Lokasi titik B, yaitu titik akhir sebelum tegangan sedikit
mengalami kenaikan, tidaklah dapat ditentukan. Tetapi, sebagai perkiraan dapat
ditentukan terletak pada regangan 0.014 atau secara praktis dapat ditetapkan
sebesar sepuluh kali besarnya regangan leleh.
Daerah BC merupakan daerah strain-hardenig, dimana pertambahan
regangan akan diikuti oleh sedikit pertambahan tegangan. Disamping itu
hubungan tegangan-regangannya tidak bersifat linier. Kemiringan garis setelah
titik B ini didefinisikan sebagai Es. Dititik M, tegangan mencapai nilai maksimum
yang disbut sebagai tegangan tarik ultimit (ultimate tensile strength). Pada
akhirnya material akan putus ketika mencapai titik C.
Besaran-besaran pada gambar 2.1 akan tergantung pada komposisi baja,
proses pengerjaan pembuatan baja dan temperatur baja pada saat percobaan.
Tetapi factor-faktor tersebut tidak terlalu mempengaruhi besarnya modulus
elastisitas (E). Roderick dan Heyman (1951), melakukan percobaan terhadap
empat jenis baja dengan kadar karbon yang berbeda, data yang dihasilkan
ditampilkan pada table 2.1 :

24

Universitas Sumatera Utara

TABEL
Hubungan persentase karbon ( C ) terhadap tegangan
%C

(N/mm2 )

ya / y

s / y

Es / Ey

0.28

340

1.33

9.2

0.037

0.49

386

1.28

3.7

0.058

0.74

448

1.19

1.9

0.070

0.89

525

1.04

1.5

0.098

Dari table 2.1 dapat dilihat bahwa semakin besar tegangan lelehnya maka
akan semakin besar kadar karbon yang dibutuhkan. Tegangan leleh bahan akan
berpengaruh pada daktilitas bahan. Semakin tinggi tegangan leleh maka semakin
rendah daktilitas dari material tersebut. Daktilitas adalah perbandingan antara s
dan y, dimana s adalah regangan strain hardening dan y adalah regangan leleh.
Selanjutnya, apabila suatu material logam mengalami keadaan tekan dan
tarik secara berulang, diagram tegangan-regangannya dapat terbentuk seperti
gambar 2.2. lintasan tarik dan tekan adalah sama. Hal ini menunjukkan suatu
keadaan yang disebut efek Bauschinger, yang pertama kali diperkenalkan oleh J.
Bauschinger dalam makalahnya yang dipublikasikan pada tahun 1886.

25

Universitas Sumatera Utara

GAMBAR2.2
Efek Bauschinger
Hubungan tegangan-regangan untuk keperluan analisis ini diidealisasikan
dengan mengabaikan pengaruh tegangan leleh atas (strain hardening) dan efek
Bauschinger, sehingga hubungan antara tegangan dan regangan menjadi seperti
gambar 2.3. Keadaan semacam ini sering disebut sebagai keadaan hubungan
plastis ideal (ideal plastic relation).

26

Universitas Sumatera Utara

-y

GAMBAR 2.3
Hubungan plastis ideal

II.2. MENENTUKAN GARIS NETRAL PROFIL


Garis netral untuk tampang yang sama pada kondisi elastis tidak akan
sama dengan kondisi garis netral pada saat kondisi plastis. Pada kondisi elastis,
garis netral merupakan garis yang membagi penampang menjadi dua bagian yang
sama luasnya. Pada kondisi plastis, garis netral ditinjau sebagai berikut:

27

Universitas Sumatera Utara

y
D1
A1

Z1

Z2

D2

A2

GAMBAR 2.4
Penentuan letak garis netral secara plastis
D1 = A1.

.................................................................................................... ( 2.4 )

D1 = A2.

......................................................................................... ( 2.5 )

Agar terjadi kesetimbangan, maka : D1 = D2

Sehingga

A1 = A2 = A

Selanjutnya

Z1 = S1/A1
Z2 = S2/A2

Dimana : S1 = statis momen pada bidang A1 terhadap garis netral plastis


S2 = statis momen pada bidang A2 terhadap garis netral plastis
D1 = resultan gaya tekan diatas garis netral plastis
D2 = resultan gaya tarik diatas garis netral plastis
Z1 = section modulus luasan 1
28

Universitas Sumatera Utara

Z2 = section modulus luasan 2


Untuk menentukan momen plastis batas digunakan :

Mp = D1 ( Z1+Z2 )
Mp =

. A ( Z1+Z2 )

II.3. HUBUNGAN MOMEN-KELENGKUNGAN


Pada saat terjadi sendi plastis pada suatu struktur dengan perletakan
sederhana, struktur akan berotasi secara tidak terbatas. Sebelum gaya luar bekeja,
balok masih dalam keadaan lurus.
Setelah gaya luar bekrja, balok akan mengalami pelenturan. Diasumsikan
bahwa material penyusun balok adalah homogen dan diasumsikan bahwa balok
hanya mengalami lentur murni tanpa gaya aksial.

29

Universitas Sumatera Utara

A1

B1

C1

a
a1

B
b

c1

b1
A1

C1
B1

GAMBAR 2.5
Kelengkungan balok

30

Universitas Sumatera Utara

Perubahan kelengkungan akibat lentur murni ditunjukkan oleh gambar 2.5.


Titik A, B, dan C akan tertekan, sedangkan titik A1, B1, dan C1 akan meregang.
Perpanjangan titik A1-A, B1-B, dan C1-C akan mengalami perpotongan pada titik
O. Sudut yang terbentuk akibat terjadinya perubahan kelengkungan dititik A dan
B atau B dan C, dinyatakan dengan . Kalau ini sangat kecil, maka :

ab

a1 b1 = .

d eng an

= ( - y)

ad alah jari-jari kelengkungan (Radius of curvature ). Sehingga,

regangan pada arah memanjang di suatu serat sejauh y dari sumbu netral dapat
dinyatakan sebagai :

............................................................................................... ( 2.6 )

dimana 1/ menunjukkan kelengkungan ( K ). Tanda negatif menunjukkan bahwa


pada bagian diatas garis netral berada pada kondisi tekan, sedangkan pada kondisi
dibawah garis netral berada pada kondisi tarik. Dengan =

/E, maka :

=
=

............................................................................................. ( 2.7 )

Tegangan tarik pada serat bawah dan tegangan tekan pada serat atas adalah :

=
31

Universitas Sumatera Utara

Dimana : S = Modulus penampang

y = D/2

Akhirnya didapat :

dimana S . D/2 = I ( Momen Inersia).

................................................................................. ( 2.8 )

y
D/2

garis netral

D/2
B

Daerah yang mengalami plastis

Daerah yang berada pada kondisi elastis

GAMBAR 2.6
Distribusi tegangan pada tampang profil IWF

32

Universitas Sumatera Utara

Pada gambar 2.6 dapat dilihat bahwa regangan pada serat terluar telah
mencapai tegangan leleh. Sedangkan serat sejauh z dari garis netral belum
mengalami tegangan leleh. Dengan demikian daerah sejauh 2z materialnya masih
berada pada kondisi elastis dan besarnya momen dalam dapat dicari dari resultan
bagian elastis dan plastis.
Jika z = D/2, hanya serat terluar saja yang mengalami / mencapai kondisi
leleh dan besar momen dalam yang ditahan disebut sebagai momen leleh (My).

My = S .

y.........................................................................................

( 2.9 )

dimana S adalah Modulus penampang (section modulus ).


Dari persamaaan (2.6) dengan harga = y , y = z , dapat diperoleh :

K = y / z......................................................................................... ( 2.10 )

Selanjutnya untuk z = D diperoleh :

Ky = 2 y / D...................................................................................... (2.11 )

Dimana :
K = kelengkungan pada kondisi plastis sebagian ( partially plastic state ).
Ky = kelengkungan pada saat kondisi leleh.
Pada penampang IWF seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.6, ketika
balok mengalami lentur maka bagian sayap (flens) atas akan memendek dan
bagian sayap bawah akan memanjang / meregang. Selanjutnya selama proses
elastis menuju plastis ada tiga keadaan penting yang harus di periksa yaitu ketika
33

Universitas Sumatera Utara

tegangan leleh masih berada pada daerah sayap, telah melampaui sayap dan
seluruh serat pada bagian sayap telah mengalami leleh.
Perbandingan antara momen plastis (Mp) dan momen leleh (My)
menyatakan peningkatan kekuatan penampang akibat ditinjau pada kondisi plastis.
Perbandingan ini tergantung dari bentuk penampang (shape factor) yang
dinotasikan sebagai f.

(M/My)

c
b
a

(K/Ky)

GAMBAR 2.7
Hubungan momen-kelengkungan
Dari gambar 2.7 dapat dilihat bahwa suatu kurva hubungan momen
terhadap kelengkungan ( M K ), dimana dari kurva tersebut dapat dilihat bahwa
nilai momen (M) akan semakin mendekati f . My apabila harga K semakin besar.
Bila nilai My mencapai nilai faktor bentuk f maka harga K akan mencapai harga
tidak terhingga, dimana ini manandakan bahwa nilai z dalam parsamaan (2.10)
sama dengan nol, dimana

y = z, maka seluruh penampang serat mencapai

kondisi plastis penuh dan momen plastisnya adalah Mp = f . My.


34

Universitas Sumatera Utara

II.4. ANALISA PENAMPANG


Pada bagian ini akan diberikan paparan yang lebih mendetail tentang
distribusi tegangan pada keadaan leleh menuju kondisi plastis penuh yang
digambarkan pada gambar 2.8 pada halaman berikutnya :
y

y
1

D/2

2
y

B
Tampang IWF

(a) Momen elastis

2
1

(b) Momen plastis

GAMBAR 2.8
Distribusi tegangan pada keadaan leleh dan keadaan plastis pada profil IWF

II.4.1. MODULUS ELASTIS ( sumbu X )


M = 2M1 + 2M2
M = 2BT

M = 1/2 (BT)(D T)

35

Universitas Sumatera Utara

M=

M=

y/D

y =

SX =

SX =

....................................................... (2.12.a)

II.4.2. MODULUS PLASTIS

Mp = 2M1 + 2M2
Mp = 2

+2

Mp =

y =

Zx =

Mp =

Zx =

... ( 2.12 )

Jika menggunakan factor bentuk (shape factor) yang dinotasikan dengan f,


dimana

f = Zx / Sx (untuk sumbu X) maka hubungan antara kapasitas momen

pada saat keadaan leleh (My) dan kapastas momen pada keadaan plastis (Mp)
akan menghasilkan persamaan berikut :
36

Universitas Sumatera Utara

=f

.... ( 2.13 )

II.5. FAKTOR BENTUK ( Shape Factor )


Faktor bentuk ( f ) merupakan indeks yang menyatakan perbandingan
antara momen plastis dan elastis.
Dari persamaan (2.13) diperoleh :
Mp = f . My
Mp / My = f
f=

f=

. ( 2.14 )

37

Universitas Sumatera Utara

TABEL 2.2
Nilai faktor bentuk pada profil IWF
Profil IWF

D
(mm)

B
(mm)

100x50

100

50

100x100

100

125x60

t
(mm)

T
(mm)

Ix
(cm4)

Zx
(cm3)

187

37.5

1.220

100

383

76.5

1.167

125

60

413

66.1

1.226

125x125

125

125

6.5

847

136

1.155

150x75

150

75

666

88.8

1.155

150x100

150

100

1020

138

1.170

150x150

150

150

10

1020

219

1.147

175x90

175

90

1210

139

1.176

175x125

175

125

5.5

1530

181

1.152

175x175

175

175

7.5

11

2880

330

1.141

200x100

200

100

5.5

1840

184

1.185

200x150

200

150

2690

277

1.144

200x200

200

200

12

4720

472

1.137

250x125

250

125

4050

324

1.177

250x175

250

175

11

6120

502

1.145

250x250

250

250

14

10800

867

1.130

300x150

300

150

6.5

7210

481

1.182

300x200

298

201

14

13300

893

1.132

300x300

300

300

10

15

20400

1360

1.126

350x175

350

175

11

13600

775

1.167

350x250

340

250

14

21700

1290

1.139

350x350

350

350

12

19

40300

2300

1.127

400x200

400

200

13

23700

1190

1.165

400x300

390

300

10

16

38700

1980

1.132

400x400

400

400

13

21

66600

3330

1.124

450x200

450

200

14

33500

1490

1.183

450x300

440

300

11

18

56100

2550

1.140

500x200

500

200

10

16

47800

1910

1.194

500x300

488

300

11

18

71000

2910

1.146

600x200

600

200

11

17

77600

600x300

588

300

12

20

118000

4020

1.161

700x300

700

300

13

24

201000

5760

1.169

800x300

800

300

14

26

292000

7290

1.183

900x300

900

300

16

28

411000

9140

1.206

2590

1.223

38

Universitas Sumatera Utara

Rata rata sampel ( x )

= 1.164

Standar deviasi ( )

= 0.01
Faktor bentuk rata rata = 1.164 (1.164 x 0.01)
= 1.147
Maka faktor bentuk ( f ) = 1.147
II.6. SENDI PLASTIS

II.6.1. Umum
Sendi plastis merupakan suatu kondisi dimana terjadi perputaran sudut
(rotasi) pada suatu struktur yang berlangsung secara terus-menerus sebelum pada
akhirnya mencapai keruntuhan yang diakibatkan oleh pembebanan eksternal.
Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu struktur maka sifat dari
konstruksi tersebut akan berubah, sebagai contoh:
1. Bila konstruksi semula merupakan konstruksi statis tertentu, maka dengan
timbulnya satu sendi plastis akan membuat konstruksi menjadi labil dan
runtuh.
2. Pada suatu konstruksi hiperstatis berderajat n, bila timbul satu sendi plastis
maka konstruksi akan berubah derajat kehiperstatisannya. Kemudian untuk

39

Universitas Sumatera Utara

menjadikannya runtuh diperlukan sendi plastis dengan jumlah tertentu


sesuai dengan derajat hiperstatis dari suatu konstruksi
Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu konstruksi maka momen yang
semula dihitung dengan cara elastis harus dihitung kembali sesuai dengan
perubahan sifat konstruksi yang ditimbulkan oleh sendi plastis tersebut.
Dalam hal ini, pertama-tama penulis akan meninjau distribusi tegangan
normal pada penampang profil IWF seperti tergambar pada gambar 2.9. berikut
ini:
y

(1-

My

Mep

Mp

Profil IWF

Situasi leleh

Situasi elastoplastis

Situasi plastis

(a)

(b)

(C)

(d)

Gambar 2.9.
Distribusi tegangan pada penampang IWF

Dimana: My = Momen leleh


Mep = Momen elastoplastis/momen peralihan
40

Universitas Sumatera Utara

Mp = Momen plastis
Gambar 2.9 menunjukkan bahwa penampang telah mencapai momen tahanan
leleh (MRelastis) kemudian mengalami keadaan peralihan (elastoplastis) dan
akhirnya mencapai keadaan momen plastis (MR plastis). Pada penampang ini
terjadi distribusi tegangan leleh yang diawali dari serat terluar. Gambar 2.9
memperlihatkan tinggi bagian panampang yang mendapatkan distribusi tegangan
yang disebut sebagai jarak elastis ( D/2).
Perhatikan tegangan dan regangan yang terjadi pada gambar 2.10 berikut:
y

yB

D/2(1- )
D/2

M
.D/2
K

D/2

Profil IWF

Diagram Regangan

Diagram Tegangan

(a)

(b)

(c)

GAMBAR 2.10
Diagram Tegangan Regangan
Dari Gambar : K = kelengkungan =
R = Jari-jari kelengkungan
= Regangan
41

Universitas Sumatera Utara

y = Tinggi serat yang ditinjau dalam keadaan elastis (jarak plastis)


Maka tg K =

(untuk sudut kecil tg K = K).

Dari persamaan (2.7) :


Untuk y =

, Didapat rumus untuk keadaan elastoplastis


... (2.15)

Rumus untuk keadaan leleh, dimana

= 1 dan y = D/2 adalah:

(2.16)

II.6.2. Bentuk Sendi Plastis


Sendi plastis akan membentuk suatu persamaan garis tertentu sebelum
terjadi keruntuhan.
Kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis (lp) pada
balok sepanjang L dengan pembebanan terpusat simestris

42

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.11.a
Bentuk sendi plastis pada balok dengan pembebanan terpusat

MR = Mp ( 1 -

MR = Mp ( 1 2 )
(1-

) = ( 1 2 )

x = L2
= L
f(x) = L

f(x) = L

Gambar 2.11.b
Lengkung sendi plastis beban terpusat
43

Universitas Sumatera Utara

Sekarang kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis
(lp) pada balok sepanjang L dengan pembebanan terbagi rata.

g.n

lp
L
Gambar 2.12a
Bentuk sendi plastis pada balok dengan pembebanan terbagi rata

MR = Mp ( 1 -

MR = Mp ( 1 2 )

) = ( 1 2 )

(1-

f(x) = Lx

x = L
2

2 2

= Lx

f(x) = Lx
Gambar 2.12.b.
kurva sendi plastis beban terbagi rata

44

Universitas Sumatera Utara

II.7. ANALISA STRUKTUR SECARA PLASTIS


II.7.1. Pendahuluan
Analisa strukur secara plastis bertujuan untuk menentukan beban batas
yang dapat dipikul oleh suatu struktur ketika mengalami keruntuhan. Keruntuhan
struktur dimulai dengan terjadinya sendi plastis. Keruntuhan dapat bersifat
menyeluruh ataupun bersifat parsial.
Suatu struktur hiperstatis berderajat n akan mengalami keruntuhan total
jika kondisinya labil, disini telah terbentuk lebih dari n buah sendi plastis.
Keruntuhan parsial terjadi apabila sendi plastis yang terjadi pada mekanisme
keruntuhan tidak menyebabkan struktur hiperstatis menjadi statis tertentu. Jadi
struktur masih hiperstatis dengan derajat yang lebih rendah dari semula.
Suatu struktur statis tak tentu mampunyai sejumlah mekanisne keruntuhan
yang berbeda. Setiap mekanisme keruntuhan itu menghasilkan beban runtuh yang
berbeda. Sehingga akhirnya dipilihlah mekanisme yang menghasilkan beban
runtuh terkecil.
Jumlah sendi plastis yang dibutuhkan untuk mengubah suatu struktur
kedalam kondisi mekanisme runtuhnya sangat berkaitan dengan derajat statis tak
tentu yang ada dalam struktur tersebut. Dalam hal ini dapat dibuat rumusan
sebagai berikut :
n = r + 1 (2.17)

45

Universitas Sumatera Utara

dimana : n = jumlah sendi plastis untuk runtuh


r = derajat statis tak tentu
1. Untuk struktur balok dua perletakan sendi-sendi (struktur statis tertentu)
dengan r = 0 dan n = 1
P

(a) Struktur pembebanan

(b) Mekanisme runtuh

GAMBAR 2.13.a
Mekanisme Keruntuhan Balok
Struktur diatas hanya memerlukan sebuah sendi plastis untuk mencapai
mekanisme runtuhnya yaitu sendi plastis pada momen maksimum
(dibawah beban titik).
2. Struktur balok dua perletakan sendi-jepit (struktur statis tak tentu
berderajat satu) dengan r = 1 dan n = 2.
P

(a) Struktur pembebanan

(b) Mekanisme runtuh


P

GAMBAR 2.13.b
Mekanisme Keruntuhan Balok
46

Universitas Sumatera Utara

Struktur perletakan ini memerlukan dua buah sendi plastis untuk


mencapai mekanisme keruntuhannya. Sendi plastis pada sistem
perletakan tersebut akan terjadi pada titik dimana terjadinya momen
maksimum dan pada perletakan jepit.
3. Untuk balok struktur perletakan jepit- jepit (struktur statis tak tentu
berderajat dua) dengan r = 2 dan n = 3.
P

(b) Struktur pembebanan

(b) Mekanisme runtuh

GAMBAR 2.13.c
Mekanisme Keruntuhan Balok

Pada struktur perletakan ini diperlukan tiga buah sendi plastis untuk
mencapai mekanisme keruntuhannya. Sendi plastis pada sistem
perletakan tersebut akan terjadi pada titik dimana terjadinya momen
maksimum dan pada kedua perletakan jepitnya.

II.7.2. Perhitungan Struktur


Pada prinsipnya jika suatu struktur mencapai kondisi keruntuhan maka
akan dipenuhi tiga kondisi berikut :
47

Universitas Sumatera Utara

1. Kondisi leleh (Yield Condition)


Momen lentur dalam struktur tidak ada yang melampaui momen batas
(Mp).
2. Kondisi keseimbangan (Equilibrium Condition)
Jumlah gaya-gaya dan momen dalam keadaan seimbang adalah nol
3. Kondisi mekanisme (Mecanism Condition)
Beban batas tercapai apabila terbentuk suatu mekanisme keruntuhan.
Ketiga kondisi diatas menjadi syarat dari teorema berikut :
1. Teorema batas bawah (Lower Bound Theorem)
Teorema batas bawah menetapkan atau menghitung distribusi momen
dalam struktur berdasarkan kondisi keseimbangan dan leleh. Beban yang
dianalisa memiliki faktor beban () yang memiliki nilai yang lebih kecil
dari harga yang sebenarnya (c), dirumuskan c, sehingga ha sil yang
dihasilkan mungkin aman atau benar, karena hasil yang diperoleh lebih
kecil atau sama dengan nilai faktor beban yang sebenarnya.
2. Teorema batas atas (Upper Bound Theorem)
Jika distribusi momen yang diperoleh dihitung berdasarkan syarat yang
memenuhi kondisi keseimbangan dan mekanisme, dapat dipastikan
bahwa harga faktor bebannya akan lebih besar atau sama dengan harga
sebenarnya, c. jadi c.
Sehingga nilai yang dihasilkan mungkin benar atau mungkin tidak aman.

48

Universitas Sumatera Utara

3. Teorema unik (Unique Theorem)


Distribusi momen untuk teorema ini akan memenuhi ketiga kondisi
tersebut diatas sehingga akan diperoleh nilai faktor beban eksak dari
mekanisme struktur yang ditinjau : = c. Pada teorema ini terdapat tiga
metode yang dapat digunakan :
a) Metode statis
b) Metode kerja virtual (Virtual Work Method)
c) Metode distribusi momen (Momen Balancing Method)

II.7.3. Metode kerja virtual


Metode kerja virtual adalah metoda yang meninjau keseimbangan energi
dari struktur tersebut ketika mengalami mekanisme runtuhnya. Persamaan kerja
virtual ini dapat ditulis sebagai berikut :
Wi . i = Mj . j.................................................................................. (2.18)
Dimana : Wi = beban luar (beban terpusat atau terbagi rata)
i = Deformasi struktur
i = L/2 tan , untuk sudut yang kecil tan =
Tan =
Mj = Momen pada tampang kritis
j = Sudut rotasi sendi plastis
49

Universitas Sumatera Utara

You might also like