Professional Documents
Culture Documents
TEORI DASAR
= (2.1)
= E. (2.3)
.. (2.2)
22
Hubungan antara tegangan dan regangan untuk lebih jelasnya dapat diperlihatkan
pada gambar 2.1 berikut ini
M
C
A
yu
u
y
GAMBAR 2.1
Daerah pertama yaitu OA, merupakan garis lurus dan menyatakan daerah
linier elastis. Kemiringan garis ini menyatakan besarnya modulus elastis atau
disebut juga modulus young, E. Diagram tegangan-regangan untuk baja lunak
umumnya memiliki titik leleh atas (upper yield point), , dan daerah leleh datar.
Secara praktis, letak titik leleh atas ini, A, tidaklah terlalu berarti sehingga
pengaruhnya sering diabaikan. Lebih lanjut, tegangan pada titik A disebut sebagai
tegangan leleh, dimana regangan pada kondisi ini berkisar 0.0012.
23
Dari grafik tesebut dapat terlihat bahwa bila regangannya terus bertambah
hingga melampaui harga ini , ternyata tegangannya dapat dikatakan tidak
mengalami pertambahan. Sifat dalam daerah AB ini kemudian disebut sebagai
kondisi plastis. Lokasi titik B, yaitu titik akhir sebelum tegangan sedikit
mengalami kenaikan, tidaklah dapat ditentukan. Tetapi, sebagai perkiraan dapat
ditentukan terletak pada regangan 0.014 atau secara praktis dapat ditetapkan
sebesar sepuluh kali besarnya regangan leleh.
Daerah BC merupakan daerah strain-hardenig, dimana pertambahan
regangan akan diikuti oleh sedikit pertambahan tegangan. Disamping itu
hubungan tegangan-regangannya tidak bersifat linier. Kemiringan garis setelah
titik B ini didefinisikan sebagai Es. Dititik M, tegangan mencapai nilai maksimum
yang disbut sebagai tegangan tarik ultimit (ultimate tensile strength). Pada
akhirnya material akan putus ketika mencapai titik C.
Besaran-besaran pada gambar 2.1 akan tergantung pada komposisi baja,
proses pengerjaan pembuatan baja dan temperatur baja pada saat percobaan.
Tetapi factor-faktor tersebut tidak terlalu mempengaruhi besarnya modulus
elastisitas (E). Roderick dan Heyman (1951), melakukan percobaan terhadap
empat jenis baja dengan kadar karbon yang berbeda, data yang dihasilkan
ditampilkan pada table 2.1 :
24
TABEL
Hubungan persentase karbon ( C ) terhadap tegangan
%C
(N/mm2 )
ya / y
s / y
Es / Ey
0.28
340
1.33
9.2
0.037
0.49
386
1.28
3.7
0.058
0.74
448
1.19
1.9
0.070
0.89
525
1.04
1.5
0.098
Dari table 2.1 dapat dilihat bahwa semakin besar tegangan lelehnya maka
akan semakin besar kadar karbon yang dibutuhkan. Tegangan leleh bahan akan
berpengaruh pada daktilitas bahan. Semakin tinggi tegangan leleh maka semakin
rendah daktilitas dari material tersebut. Daktilitas adalah perbandingan antara s
dan y, dimana s adalah regangan strain hardening dan y adalah regangan leleh.
Selanjutnya, apabila suatu material logam mengalami keadaan tekan dan
tarik secara berulang, diagram tegangan-regangannya dapat terbentuk seperti
gambar 2.2. lintasan tarik dan tekan adalah sama. Hal ini menunjukkan suatu
keadaan yang disebut efek Bauschinger, yang pertama kali diperkenalkan oleh J.
Bauschinger dalam makalahnya yang dipublikasikan pada tahun 1886.
25
GAMBAR2.2
Efek Bauschinger
Hubungan tegangan-regangan untuk keperluan analisis ini diidealisasikan
dengan mengabaikan pengaruh tegangan leleh atas (strain hardening) dan efek
Bauschinger, sehingga hubungan antara tegangan dan regangan menjadi seperti
gambar 2.3. Keadaan semacam ini sering disebut sebagai keadaan hubungan
plastis ideal (ideal plastic relation).
26
-y
GAMBAR 2.3
Hubungan plastis ideal
27
y
D1
A1
Z1
Z2
D2
A2
GAMBAR 2.4
Penentuan letak garis netral secara plastis
D1 = A1.
.................................................................................................... ( 2.4 )
D1 = A2.
......................................................................................... ( 2.5 )
Sehingga
A1 = A2 = A
Selanjutnya
Z1 = S1/A1
Z2 = S2/A2
Mp = D1 ( Z1+Z2 )
Mp =
. A ( Z1+Z2 )
29
A1
B1
C1
a
a1
B
b
c1
b1
A1
C1
B1
GAMBAR 2.5
Kelengkungan balok
30
ab
a1 b1 = .
d eng an
= ( - y)
regangan pada arah memanjang di suatu serat sejauh y dari sumbu netral dapat
dinyatakan sebagai :
............................................................................................... ( 2.6 )
/E, maka :
=
=
............................................................................................. ( 2.7 )
Tegangan tarik pada serat bawah dan tegangan tekan pada serat atas adalah :
=
31
y = D/2
Akhirnya didapat :
................................................................................. ( 2.8 )
y
D/2
garis netral
D/2
B
GAMBAR 2.6
Distribusi tegangan pada tampang profil IWF
32
Pada gambar 2.6 dapat dilihat bahwa regangan pada serat terluar telah
mencapai tegangan leleh. Sedangkan serat sejauh z dari garis netral belum
mengalami tegangan leleh. Dengan demikian daerah sejauh 2z materialnya masih
berada pada kondisi elastis dan besarnya momen dalam dapat dicari dari resultan
bagian elastis dan plastis.
Jika z = D/2, hanya serat terluar saja yang mengalami / mencapai kondisi
leleh dan besar momen dalam yang ditahan disebut sebagai momen leleh (My).
My = S .
y.........................................................................................
( 2.9 )
K = y / z......................................................................................... ( 2.10 )
Ky = 2 y / D...................................................................................... (2.11 )
Dimana :
K = kelengkungan pada kondisi plastis sebagian ( partially plastic state ).
Ky = kelengkungan pada saat kondisi leleh.
Pada penampang IWF seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.6, ketika
balok mengalami lentur maka bagian sayap (flens) atas akan memendek dan
bagian sayap bawah akan memanjang / meregang. Selanjutnya selama proses
elastis menuju plastis ada tiga keadaan penting yang harus di periksa yaitu ketika
33
tegangan leleh masih berada pada daerah sayap, telah melampaui sayap dan
seluruh serat pada bagian sayap telah mengalami leleh.
Perbandingan antara momen plastis (Mp) dan momen leleh (My)
menyatakan peningkatan kekuatan penampang akibat ditinjau pada kondisi plastis.
Perbandingan ini tergantung dari bentuk penampang (shape factor) yang
dinotasikan sebagai f.
(M/My)
c
b
a
(K/Ky)
GAMBAR 2.7
Hubungan momen-kelengkungan
Dari gambar 2.7 dapat dilihat bahwa suatu kurva hubungan momen
terhadap kelengkungan ( M K ), dimana dari kurva tersebut dapat dilihat bahwa
nilai momen (M) akan semakin mendekati f . My apabila harga K semakin besar.
Bila nilai My mencapai nilai faktor bentuk f maka harga K akan mencapai harga
tidak terhingga, dimana ini manandakan bahwa nilai z dalam parsamaan (2.10)
sama dengan nol, dimana
y
1
D/2
2
y
B
Tampang IWF
2
1
GAMBAR 2.8
Distribusi tegangan pada keadaan leleh dan keadaan plastis pada profil IWF
M = 1/2 (BT)(D T)
35
M=
M=
y/D
y =
SX =
SX =
....................................................... (2.12.a)
Mp = 2M1 + 2M2
Mp = 2
+2
Mp =
y =
Zx =
Mp =
Zx =
... ( 2.12 )
pada saat keadaan leleh (My) dan kapastas momen pada keadaan plastis (Mp)
akan menghasilkan persamaan berikut :
36
=f
.... ( 2.13 )
f=
. ( 2.14 )
37
TABEL 2.2
Nilai faktor bentuk pada profil IWF
Profil IWF
D
(mm)
B
(mm)
100x50
100
50
100x100
100
125x60
t
(mm)
T
(mm)
Ix
(cm4)
Zx
(cm3)
187
37.5
1.220
100
383
76.5
1.167
125
60
413
66.1
1.226
125x125
125
125
6.5
847
136
1.155
150x75
150
75
666
88.8
1.155
150x100
150
100
1020
138
1.170
150x150
150
150
10
1020
219
1.147
175x90
175
90
1210
139
1.176
175x125
175
125
5.5
1530
181
1.152
175x175
175
175
7.5
11
2880
330
1.141
200x100
200
100
5.5
1840
184
1.185
200x150
200
150
2690
277
1.144
200x200
200
200
12
4720
472
1.137
250x125
250
125
4050
324
1.177
250x175
250
175
11
6120
502
1.145
250x250
250
250
14
10800
867
1.130
300x150
300
150
6.5
7210
481
1.182
300x200
298
201
14
13300
893
1.132
300x300
300
300
10
15
20400
1360
1.126
350x175
350
175
11
13600
775
1.167
350x250
340
250
14
21700
1290
1.139
350x350
350
350
12
19
40300
2300
1.127
400x200
400
200
13
23700
1190
1.165
400x300
390
300
10
16
38700
1980
1.132
400x400
400
400
13
21
66600
3330
1.124
450x200
450
200
14
33500
1490
1.183
450x300
440
300
11
18
56100
2550
1.140
500x200
500
200
10
16
47800
1910
1.194
500x300
488
300
11
18
71000
2910
1.146
600x200
600
200
11
17
77600
600x300
588
300
12
20
118000
4020
1.161
700x300
700
300
13
24
201000
5760
1.169
800x300
800
300
14
26
292000
7290
1.183
900x300
900
300
16
28
411000
9140
1.206
2590
1.223
38
= 1.164
Standar deviasi ( )
= 0.01
Faktor bentuk rata rata = 1.164 (1.164 x 0.01)
= 1.147
Maka faktor bentuk ( f ) = 1.147
II.6. SENDI PLASTIS
II.6.1. Umum
Sendi plastis merupakan suatu kondisi dimana terjadi perputaran sudut
(rotasi) pada suatu struktur yang berlangsung secara terus-menerus sebelum pada
akhirnya mencapai keruntuhan yang diakibatkan oleh pembebanan eksternal.
Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu struktur maka sifat dari
konstruksi tersebut akan berubah, sebagai contoh:
1. Bila konstruksi semula merupakan konstruksi statis tertentu, maka dengan
timbulnya satu sendi plastis akan membuat konstruksi menjadi labil dan
runtuh.
2. Pada suatu konstruksi hiperstatis berderajat n, bila timbul satu sendi plastis
maka konstruksi akan berubah derajat kehiperstatisannya. Kemudian untuk
39
(1-
My
Mep
Mp
Profil IWF
Situasi leleh
Situasi elastoplastis
Situasi plastis
(a)
(b)
(C)
(d)
Gambar 2.9.
Distribusi tegangan pada penampang IWF
Mp = Momen plastis
Gambar 2.9 menunjukkan bahwa penampang telah mencapai momen tahanan
leleh (MRelastis) kemudian mengalami keadaan peralihan (elastoplastis) dan
akhirnya mencapai keadaan momen plastis (MR plastis). Pada penampang ini
terjadi distribusi tegangan leleh yang diawali dari serat terluar. Gambar 2.9
memperlihatkan tinggi bagian panampang yang mendapatkan distribusi tegangan
yang disebut sebagai jarak elastis ( D/2).
Perhatikan tegangan dan regangan yang terjadi pada gambar 2.10 berikut:
y
yB
D/2(1- )
D/2
M
.D/2
K
D/2
Profil IWF
Diagram Regangan
Diagram Tegangan
(a)
(b)
(c)
GAMBAR 2.10
Diagram Tegangan Regangan
Dari Gambar : K = kelengkungan =
R = Jari-jari kelengkungan
= Regangan
41
(2.16)
42
Gambar 2.11.a
Bentuk sendi plastis pada balok dengan pembebanan terpusat
MR = Mp ( 1 -
MR = Mp ( 1 2 )
(1-
) = ( 1 2 )
x = L2
= L
f(x) = L
f(x) = L
Gambar 2.11.b
Lengkung sendi plastis beban terpusat
43
Sekarang kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis
(lp) pada balok sepanjang L dengan pembebanan terbagi rata.
g.n
lp
L
Gambar 2.12a
Bentuk sendi plastis pada balok dengan pembebanan terbagi rata
MR = Mp ( 1 -
MR = Mp ( 1 2 )
) = ( 1 2 )
(1-
f(x) = Lx
x = L
2
2 2
= Lx
f(x) = Lx
Gambar 2.12.b.
kurva sendi plastis beban terbagi rata
44
45
GAMBAR 2.13.a
Mekanisme Keruntuhan Balok
Struktur diatas hanya memerlukan sebuah sendi plastis untuk mencapai
mekanisme runtuhnya yaitu sendi plastis pada momen maksimum
(dibawah beban titik).
2. Struktur balok dua perletakan sendi-jepit (struktur statis tak tentu
berderajat satu) dengan r = 1 dan n = 2.
P
GAMBAR 2.13.b
Mekanisme Keruntuhan Balok
46
GAMBAR 2.13.c
Mekanisme Keruntuhan Balok
Pada struktur perletakan ini diperlukan tiga buah sendi plastis untuk
mencapai mekanisme keruntuhannya. Sendi plastis pada sistem
perletakan tersebut akan terjadi pada titik dimana terjadinya momen
maksimum dan pada kedua perletakan jepitnya.
48