You are on page 1of 41

LAPORAN HASIL DISKUSI

PROBLEM-BASED LEARNING
PBL Blok Klinik
SKENARIO
Minggu ke-8
Tanggal 24 April s.d 30 April 2015

Grup H
DINAR NURITA PAMBAYUN

(145070309111036)

WANDA VEMITA

(145070309111037)

TRI ANGGI PURNASARI

(145070309111038)

NOOR HALIDAH PUJI LESTARI

(145070309111039)

ROSA OCTARINA

(145070309111040)

VIVIAN DEVI EKA E

(125070300111043)

RIZKA AYU RIFDAH I

(125070300111047)

REDY AMUKTI

(125070300111050)

SOFIE AYU MISRINA

(125070301111001)

DESAK MADE TRISNA ULANDARI

(125070301111002)

RACHMI FARICHA

(125070301111005)

MAULIDATUL KHASANAH

(125070301111020)

MONISKA DWIJANTI LUKIS

(125070302111001)

RUDI NURYADI

(125070307111002)

JURUSAN GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
1

2015DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................ i
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii
ISI .................................................................................................................................. 3
A. SKENARIO ............................................................................................................ 3
B. DAFTAR UNCLEAR TERM ...................................................................................... 8
C. DAFTAR CUES ...................................................................................................... 8
D. DAFTAR LEARNING OBJECTIVE ............................................................................. 8
E. HASIL BRAINSTORMING ....................................................................................... 8
F. HIPOTESIS ............................................................................................................ 11
G. PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE ................................................................... 12
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .................................................................................. 27
A. KESIMPULAN ........................................................................................................ 28
B. REKOMENDASI ..................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 31
TIM PENYUSUN ............................................................................................................... 34

ISI
A. SKENARIO
Tn. J berusia 65 tahun MRS selama beberapa hari dengan diagnosa mengalami
stroke di otak kirinya. Hasil antropometri menunjukkan LILA 29,5 cm dengan TL 39,4
cm. karena efek samping yang ditimbulkan oleh stroke na tidakparah, TN. J
dipulangkan dengan dibekali obat rawat jalan Plavix dan Aggrenox. Ternyata 3
minggu kemudian, Tn . J MRS lagi dengan keluhan tubuh sebelah kanan
sulitdigerakkan yang sudah dialami selama 3 hari. Hasil MRI menggambarkan terjadi
stroke baru di otak kanannya sehingga menyebabkan quadriparesis dan disfagia
berat, sehingga makanan tidak bisa masuk secara oral dan kondisi ini diperkirakan
terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama (minimal2 bln). Seteah 10 hari di RS,
Tn. J keluar rumah sakit untuk kemudian rawat jalan di Pusat Rehabilitasi Pasien
Stroke. Di tempat tersebut, Tn. J mendapatkan terapi untuk latikan menelan selama
2 bulan dengan monev kemampuan menelan berdasarkan pemeriksaan tes
menelan yang bertujuan agar Tn. J dapat menerima makanan secara oral.
B. DAFTAR UNCLEAR TERM
1. Plavix
Plavix atau Clopidogrel merupakan suatu obat golongan thienopyridine, yang
secara struktur kimia mirip dengan triclopidine (BPOM, 2009). Yang digunakan
seabgai obat pencegahan kejadian aterotrombosis pada pasien yang menderita
infark miokard, stroke, dan penyakit pada arteri perifer sehingga dapat
mencegah terjadinya serangan jantung ( R, Alan gaby , 2006; MIMS, 2014).
Dikombinasi dengan ASA (aspirin) secara medis dapat memenuhi syarat untuk
terapi trombolitik (ISO edisi 49, 2014). Tetapi Plavix lebih manjur daripada
aspirin dan biasanya digunakan dalam jangka pendek (hingga satu tahun)
(Gerstenblith, 2007). Aggrenox biasanya diberikan sehari satu kali pada waktu
yang sama, dengan atau tanpa makanan (InHealth Gazette, 2013).
2. Stroke otak kiri
Serangan berat yang mendadak yang menyebabkan kelumpuhan organ tubuh
tertentu yang mencerminkan adanya infark di vaskuler yang diakibatkan karena
kematian

sel

saraf

otak

yang

mengendalikan

daerah

tersebut

karena

kekurangan oksigen (Dorland, 2009; Kamus Gizi, 2010).


3. Disfagia berat
Disfagia berhubungan dengan kesulitan menelan akibat 4gannguan dalam
proses menelan. kesulitan menelan dapat terjadi pada semua usia, akibat
kelainan kongenital, kerusakan struktur/atau kondisi medis tertentu misalnya
stroke yang kemudian akhirnya berhubungan dengan kesulitan makan per oral
(Soetikno ,2007). Disfagia biasanya diakibatkan dari suatu kelainan motorik

(serebral palsi atau akalasia) atau obstruksi mekanis struktur peptik esofagus
(Behrman, 2000).
Tingkat keparahan dari disfagia dibagi menjadi 7, yaitu :
Level 7

: bisa diberikan makanan secara oral

Level 6

: mempunyai sedikit keterbatasan dalam menelan

Level 5

: disfagia ringan

Level 4

: disfagia ringan sampai sedang

Level 3

: disfagia sedang

Level 2

: disfagia berat namun sedang

Level 1

: disfagia berat retensi parah pada faring, kehilangan atau restensi


parah pada pemberian makanan oral, aspirasi yang diam2 ada
dengan dua atau lebih konsistensi dan batuk yang tiba2 muncul atau
tidak dapat mampu menelan
(Mahan, 2008)

4. Quadriparesis
Kelemahan (lumpuh ringan) pada 4 bagian alat gerak yang dikarenakan adanya
defisiensi neurologis yang berakibat pada gangguan motorik dan atropi otot
tubuh pada kedua tangan daan kaki ( nutrition therapy and diagnostic related
care, 2010). Terjadi pada dibagian kedua lengan dan kedua kaki (ekstremitas
bawah) (Dictionary of modern medicine, 2002). Ekstrimitas bawah biasanya
lebih terpengaruh daripada ekstrimitas bagian atas (Fletcher, 1998).
5. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Rizka :
Magnetic resonace imaging adalah alat untuk mendiagnosa kondisi abnormal
dibagian

tubuh.

secara

umum

MRI

menciptakan

gambar

yang

dapat

menunjukkan perbedaan antara jaringan sehat dan tidak sehat dari organ dan
5
jaringan seluruh tubuh tanpa perlu X-ray atau radiasi. MRI ini menggunakan
medan magnet, gelombang radio, dan komputer. Pasien ditempatkan di
terowongan scanner. (Radiological society of north america, 2013). Sinyal yang
digunakan untuk menghasilkan gambar dari MRI berasal dari nuclei hidrogen

(proton) dalam tubuh manusia (Meyers, 2008)


Terdapat 2 jenis MRI, yaitu MRI kontras dan non kontras. MRI kontras dilakukan
dengan menyuntikan zat yang mengandung

gadolinum dan DTPA yang

disuntikan melalui intravena dengan dosis 0.2ml/kgBB. Penyuntikan bertujuan


agar foto MRI lebih jelas terlhat. Sedangkan MRI non-kontras dilakukan tanpa
pemberian obat atau zat apapun ke dalam tubuh pasien. Pemilihan macam MRI
biasanya tergantung pada referensi dokter ataupun berdasarkan permintaan
pasien pribadi sesuai dengan kebutuhannya (Radiologi Diagnostik FKUI, 2011).
6. Aggrenox
Obat yang digunakan untuk memperlambat pembekuan darah. Obat ini
diberikan pada orang yang mengalami stroke atau yang mengalami gejala
stroke (Hamilton Health Science And St. Johsephs Healthcare, 2007). Aggrenox
terdiri dari zat aktif dipyridamol yang berfungsi sebagai tambahan antikoagulan
oral untuk mencegah gumpalan trombus dan aspirin (asam asetil salisilat) yang
berfungsi sebagai antikoagulan dan antiinflamasi yang diindikasikan untuk
nyeri atau radang pada penyakit gangguan otot skeletal. Kombinasi dari dua
zat aktif ini memberikan fungsi untuk mengurangi resiko terjadinya penyakit
cerebrovaskuler

trombotik.

(Depkes,

2009).

Jika

terjadi

overdosis

pada

aggrenox akan menunjukkan gejala yaitu demam, diare, berkeringat, gelisah,


lemah dan pusing, jantung berdebar dan telinga berdenging (Boehringer
Ingelhiem International GMBH, 2012).
7. Tes menelan
Tahapan tes menelan
1. Pengkajian fase oral dan fase faringeal. Fase oral meliputi fungsi nafas,
ekspresi verbal, dan gerakan bibir, lidah, serta palatum. Sedangkan fase
faringeal meliputi suara, refleks batuk dan refleks muntah. Bila hasil
pengkajian fase oral dan fase faringeal baik, dilakukan skrining.
2. Skrining dilakukan menggunakan simple water test, yaitu dengan cara
memberikan minum air putih secara bertahap sebanyak 1 sendok, 2
sendok, dan 50 mL. Kesimpulan hasil skrining adalah fungsi menelan
pasien normal atau sebaliknya pasien mengalami gangguan menelan.
Respon pasien dinilai dan hasilnya dicatat di lembar pengkajian fungsi
menelan. Bila hasil tes fungsi menelan positif atau pasien mengalami
gangguan fungsi menelan, maka dilakukan penyusunan rencana latihan
6
menelan. Teknik skrining lain yang dapat dilakukan :
a) Metode regular
o

Cairan (Thin liquid)


Untuk sebagian besar pasien, mulai dengan 3cc atau sendok teh
cairan sesuai konsistensi air. Jika tidak ada indikasi untuk kesulitan

faring seperti basah, kumur atau kualitas suara serak; batuk atau
tersedak, dll; lanjutkan dengan 5cc atau 1 sendok teh cairan. Jika
pemeriksa mencurigai tidak adanya kesulitan faring dengan jumlah
5cc cairan, pasien dapat meminum 2 sampai 3 teguk cairan dari
cangkir
o

Water swallow test


Tes ini ditujukan untuk mendeteksi aspirasi dengan tingkat akurasi
yang tinggi dengan meminta pasien menelan air.
-

Metodenya dengan memberikan 30 cc air. pasien diminta untuk


duduk dan diberi cangkir berisi 30 cc dengan suhu normal dan
diminta untuk minum seperti biasa. waktu untuk menghabiskan
air dihitung dan episode serta profil meminum air dimonitor dan
dinilai

Dengan menggunakan 3cc air. pasien diberi 3 cc air dingin pada


rongga mulut dan diinstruksikan untuk menelan air tersebut. jika
memungkinkan beri lebih airnya dan diminta untuk menelan 2x
lagi dan aktifitas menelan yang buruk dinilai

Cairan pekat (Thick liquid)


Berikan 3cc atau sendok teh cairan pekat dan tandai bila ada
kelemahan (impairmen). Jika gejala kesulitan faring tidak muncul
dengan 3cc cairan, beri pasien 5cc cairan pekat dan tandai
observasi. Jika pemeriksa mencurigai tidak adanya kesulitan faring
dengan jumlah 5cc cairan, pasien dapat meminum 2 sampai 3
teguk cairan pekat dari cangkir

Bubur (Pureed)
Berikan 3cc atau sendok teh bubur atau makanan dengan
konsistensi yang telah diblender seperti saus apel, puding, kentang
tumbuk,dll. Catat observasi gejala disfagia. Jika tidak ada tanda
disfagia faring dengan jumlah 3cc, lanjutkan dengan 5cc atau 1
sendok teh konsistensi bubur. Catat observasi gejala disfagia

Makanan padat (Solid)


Untuk menilai kemampuan pasien untuk mengunyah makanan
padat, berikan potong dari kue atau kraker kecil. Catat observasi
gejala disfagia.

b) Metode hanya menelan saliva


o

Dry swallowing
Pasien mengulang kegiatan menelan beberapa kali dalam interval
tertentu untuk mengeluarkan saliva walaupun tidak sedang makan.

Repetitive saliva swallowing test (RSST)


Tes ini bertujuan menilai kemampuan menelan pasien secara sadar
berulang kali, dimana tinggi kaitannya dengan aspirasi. Tes ini
sederhana dan aman untuk dilakukan.

Cervical auscultation of swallowing


Auskultasi cervical saat dan setelah menelan merupakan penilaian
aspirasi non invasif atau untuk menilai sisa makanan di faring.

c) Pemeriksaan tambahan :
o

Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES)


FEES merupakan sebuah alat evaluasi menelan yang berguna untuk
evaluasi anatomi faring dan laring serta fungsi pita suara. FEES juga
sangat sensitif untuk mendeteksi adanya aspirasi.

Saturasi oksigen arteri menggunakan pulse oxymetry


Metode ini menggunakan pulse oxymetry untuk memonitor saturasi
oksigen arteri saat makan untuk menyimpulkan aspirasi potensial
dari penurunan saturasi oksigen.

Foto polos leher


Pasien diminta menelan sejumlah kecil zat kontras. Dengan
membandingkan foto polos sebelum dan sesudah menelan menelan
zat kontras, kondisi dari laryngeal influx dan adanya aspirasi atau
sisa pada faring dapat ditemukan

3. Pemeriksaan penunjang u/ diagnosa adanya disfagia.

Videofluoroscopy Swallowing Study (VFSS)/Modifed Barium Swallow


(MBS) : merupakan pemeriksaan penunjang baku emas untuk diagnosa
disfagia. uji ini dilakuka oleh ali aptologi & radologi. pasien dminta
duduk/berdiri pada mesin x-ray kemudian diberi makana dengan
konsistensi berbeda yang telah dicampur dengan barium. barium akan
membuat makanan terlihat pada x-ray. barium tidak berbahaya dan
tidak akan bertahan lama dalam tubuh. mesin x-ray hanya menyala
ketika pasien menelan sehingga paparan radiasi sangat rendah

Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) : merupakan


pemeriksaan visualisasi langsung struktur nasofaring, laringofaring, dan
hipofaring. pasien diberi berbagai macam konsistensi makanan dan
silakukan evaluasi terhadap adanya residu, kebocoran makanan ke
8
faring sebelum menelan, penetrasi serta aspirasi

Transnasal Esophagoscopy : sesuai untuk kasus divertikula esofagus


atau tumor

Ultrasonography : untuk mengevaluasi gerak jaringan lunak selama


fase oral dan faringeal

electromyography

leih

sering

digunakan

untuk

penelitian

mengevaluasi fungsi mioelektrik


4. Rencana latihan menelan meliputi latihan menelan dengan metode
langsung dan tidak langsung. Latihan menelan dengan metode langsung
adalah aktivitas yang dirancang untuk merubah fisiologi menelan dan
membutuhkan partisipasi langsung dari pasien, seperti melatih pasien
untuk menahan nafas selama menelan kemudian batuk setelah menelan
untuk membersihkan material yang tersisa di hipofaring yang dikenal
dengan supraglottic swallow. Sedangkan, contoh latihan menelan dengan
metode tidak langsung adalah seperti mengatur posisi kepala dan badan,
melatih pergerakan otot mengunyah, melakukan mouth care secara
teratur, serta modifikasi diet
Dapat juga melakukan terapi disfagia, yaitu :
a) Compensatory strategy : memodifikasi diet yang diberikan secara oral
tanpa merubah fisiologi menelan.
b) Indirect swallowing therapy : latihan untuk meningkatka aspek kontrol
neuromuscular menjadi normal tanpa meminta pasien menelan
makanan
c) Direct swallowing therapy : melakukan proses menelan menjadi
beberapa tingkat dan memberi beberapa instruksi spesifik untuk
diikutin pasien dengan setiap konsistensi makanan
(Logemann, 1984; Horiguchi, 2011; Mulyatsih, 2009; Bay Area, 2013)
8. Makanan oral
Makanan yang dilewatkan sistem GI tract (dari mulut sampai anus).
9. Latihan menelan
Suatu latihan yan dilakukan untuk memperbaiki fungsi menelan dari seseorang
dengan cara memberikan makanan secara bertahap mulai dari makanan cair
jernih, cair kental, makanan saring, makanan lunak sampai makanan biasa.
9

C. DAFTAR CUES
Ahli gizi diharapkan mampu memberikan diet dengan bentuk makanan yang

disesuaikan dengan hasil monitoring dan evaluasi kemampuan menelan berdasrkan


pemeriksaan tes menelan yang bertujuan agar Tn. J dapat menerima makanan
secara oral.
D. DAFTAR PROBLEM IDENTIFICATION
1. Bagaimana gambaran umum dari stroke kiri dan stroke kanan?
2. Bagaimana interaksi obat dan makanan yang dikonsumsi pasien dan apakah
efek sampingnya?
3. Bagaimana Preskripsi Diet untuk pasien?
4. Apa saja metode pemberian makanan enteral?
5. Apa saja jalur pemberian makanan enteral?
6. Apa saja jenis formula makanan enteral?
7. Bentuk makanan apa yang sesuai dengan kondisi Tn. J?
8. Indikator apa yang dapat digunakan untuk menentukan perubahan pemberian
makan?
9. Bagaimana cara melakukan monitoring dan evaluasi dari pemberian makan?
E. HASIL BRAINSTORMING
1. Bagaimana gambaran umum dari stroke kiri dan stroke kanan?
a. Patofisiologi penyakit
Terjadi penyumbatan pembuluh darah di otak , penyumbtan tergantung letak (
kanan/kiri)

disebabkan

karena

aterosklorosis

hipertensi

semisal

ada

penyumbatan mngakibatkan pendarahan pada otak itu sndiri . Disebabkan


penyumbatan pembuluh darah / pecahnya pmbluh darah.
Penyumbatan

karena

adanya

aterosklorosis.

Adanya

sumbatan

lemak

memperkecil jalannya darah untuk suplai O2 , jaringan tidak dapat O2 mati),


emboli yang bisa menyumbat pembuluh darah akibatnya stroke ( non hemoragic
: belum sampe pecah pembuluh darahnya , hemoragic : sudah smpai pecah
pembuluh darahnya).
Pecahnya pembuluh darah bisa disebabkan karena adanya hipertensi dan
adanya benturan. Jika konsumsi Lemak banyak , kolesterol ditubuh banyak yang
menyebabkan plak yang dapat menyumbat pembuluh darah. Lemak beredar
dalam aliran darah , aliran darah kecil, membuat tekanan darah di bagian yang
tersumbat besar dan mengakibatkan pecah
b. Sign symptom

10

Kulit kering, fertigo, nyeri kepala, haus ,mual , kram otot, kelumpuhan ( bag,
kiri yang lmpuh bag kanan dan sebaliknya
c. Hubungan antara quadriparesis dan disfagia berat dengan stroke otak kanan
Kesulitan dalam menelan karna salah satu akbt mual muntah. Stroke terjadi

pada bagian

otak

kanan khususnya di bagian

saraf yang

mengatur

kemampuan menelan
2. Bagaimana interaksi obat dan makanan yang dikonsumsi pasien dan apakah
efek sampingnya?
3. Bagaimana Preskripsi Diet untuk pasien?
a.

Perhtungan kebuthan energi & zat gizi, status gizi

Status gizi dilihat dari lila = normal


( hasil lila/standart lila * 100%)
29,5 / 29,3 *100% = 98.6% )

Berat badan estimasi 63,7 kg

Tingi badan estimasi141,2 cm


b.

Energi 1232 kkal (bmr)

Memberikan makanan sesuai dengan kebtuhan

Memberikan

Mempertahankan status gizi pasien


Memperbaiki fungsi menelan pasien
Memperbaiki sistem homeostatis tubuh

Tujuan
pasien
makanan

sesuai

dengan

kondisi

pasien

c.

Prinsip

d.

TETP (karena disfugsi organ dan disfagia)

Tinggi vitamin ( vit b6,b12, asam folat)

Rendah garam 3

Rendah lemak jenuh dan trans

Tinggi omega3 ( memungkinkan terjadi inflamasi)


Syarat (mencangkup volume makanan yang akan diberikan,

densitas makanan dan frekuensi pemerian makanan, tambahkan zat gizi


mikro disertai alasan dan

jumlahnya)
Kh 60%
P 25%
L 15%
Penambahan energi 65% dri kbtuhan total

4. Apa saja metode pemberian makanan enteral?

bolus : dapat diberikan secara bertahap mulai dari cair jernih , cair kental,
saring , lunak, padat, diberikan makanan cair max 500cc mmprtimbgkan

kapasitas lambung, diberikan NGT


intermitent
continous

5. Apa saja jalur pemberian makanan enteral?


Jalur pemberian makanan enteral ada 3 yaitu

11

a. Naso (nasogastrik, nasoduodenal, nasojejunal)


b. Jejunustomy
c. Gastrectomy
6. Apa saja jenis formula makanan enteral?
Jenis makanannya lebih ke pada makanan elemental. Biasanya disesuaikan

dengan jalur pemberian makanannya.


7. Bentuk makanan apa yang sesuai dengan kondisi Tn. J?
Makanan untuk Tn. J dapat diberikan secara bertahap, yaitu mulai dari cair
jernih, cair kental, makanan saring, makanan lunak dan makanan biasa.
Perubahan bentuk makanannya dilihat dengan ada atau tidaknya muntah
setelah pemberian makan. Jika tidak maka bentuk makanan dapat ditingkatkan.
8. Indikator apa yang dapat digunakan untuk menentukan perubahan pemberian
makan?
Dengan menggunakan tes toleransi. Yaitu dengan memberikan sejumlah
volume makanan kemudian setelah 1 jam dilakukanpengambilan isi lambung.
Apabila hasilnya < 25%, maka volume makanan dapat ditingkatkan. Jika > 25%
maka volume makanan dikurangi.
9. Bagaimana cara melakukan monitoring dan evaluasi dari pemberian makan?
Monitoring dan evaluasi dapat dilakukan dengan record asupan. Jika makanan
cair dicatat volume yang diberikan berapa. Kemudian dilihat apakah pasien
mengalami muntah sehingga makanan keluar. Jika iya, maka total asupan
sehari didapat dengan cara mengurangkan volume makanan yang diberikan
dengan volume makanan yang kelaur dari muntah.

12

F.

HIPOTESIS
Pembuluh darah
pecah

Pembuluh darah
tersumbat

Stroke otak
kanan
Quadripares
is

Stroke otak kiri


MR
Rawat Jalan

Disphagia

Obat Plavix &


Aggrenox

Rawat & rehabilitasi


Latihan menelan min.2
bln

Tes
menelan

MONEV
Terapi Diet

Preskripsi Diet
Makro
Tujua
n

Prinsi
p

Syara
t

Mikro
Jalur
Gastrotom
y

Jenis
Formula
Standart

Metode
bolus

MONEV

Perubahan bentuk
makanan secara
bertahap
Makanan cair jernih
Makanan cair kental
Makanan saring
Makanan lunak
Makanan biasa

Indikator
- Intake oral
- Keseimbang
an cairan
- Kemampuan
menelan

13

G. PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVES


1. Gambaran umum dari stroke kiri dan stroke kanan?
a. Patofisiologi penyakit
Stroke dibagi 2
1) Stroke Infark
Aterosklerosis merupakan penyebab primer dari stroke. Prosesnya ditandai
oleh penimbunan lemak yang terjadi secara lambat di arteri (plak), sehingga
memblokir/menghalangi aliran darah ke jaringan. Bila sel sel otot arteri
tertimbun lemak makan elastisitasnya akan menghilang dan kurang dapat
mengatur tekanan darah. Penyebab lain dari stroke adalah terbentuknya
bekuan darah (trombus) yang melekat pada dinding arteri dan menyebabkan
sumbatan leih berat. Bila tombus terlepas dari dinding arteri dan ikut terbawa
aliran darah menuju arteri lebih kecil dan menyebabkan sumbatan (emboli).
Hal inilah yang menyebabkan aliran darah ke otak berkurang.
Kurangnya aliran darah ke otak. Normalnya aliran darah ke otak adalah 58
ml/100gr jaringan otak/menit. Jika turun hingga 18 ml/100mg jaringan otak/
menit aktifitas listrik neuron akan terhenti meskipun struktur sel masih baik.
Jika aliran darah turun hingga <10 ml/100 mg jaringan otak/menit terjadi
perubahan iokimiawi sel dan membran irreversibel membentuk daerah infark.
2) Pendarahan
o

Pendarahan Intraserebral

Pecahnya pembuluh darah intraserebral sehingga darah keluar dari


pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak dan akan meningkatkan
tekanan intrakranial sehingga terjadi penekanan pada struktur otak
secara menyeluruh sehingga mengakibatkan penurunan aliran darah ke
otak yang berujung pada kematian sel syaraf. Pendarahan biasanya
terjadi karena hipertensi yang berlangsung lama.
o

Pendarahan Sub Arakhnoid

Pendarahan ini adalah masuknya darah ke ruang sub arakhnoid baik


dari

tempat

lain

maupun

ruang

subarakhnoid

sendiri

biasanya

disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada percabangan arteri besar,


malformasi arteri vena/tumor (Nastiti, 2012 dan Setyopranoto, 2011).
Dalam keadaan normal aliran darah ke otak adalah 50-60 ml/100 gram
jaringan otak per menit. Penurunan aliran darah menyebabkan infark dan
14
daerah sekeliling infark kekurangan oksigen. Selain penurunan aliran
darah sisi yang mengalami infark, pada saat yang sama penurunan aliran
darah terjadi pada hemisfer serebral. Hal ini mendukung konsep diaschisis
yang menyebabkan gangguan fungsi otak pada sisi yang tidak terkena
stroke. Oleh karena terjadi penurunan aliran darah keotak, asupan

glukosa, oksigen dan nutrisi lain ke otak juga berkurang. Hal ini
menyebabkan mitokondria tidak mampu menghasilkan ATP sehingga
menyebabkan disfungsi seluler bahkan kematian seluler.
Pada stroke perdarahan, perdarahan intra serebral disebabkan ruptur
pembuluh darah arteri kecil akibat hipertensi. Jika perdarahan yang timbul
kecil ukurannya, maka masa darah hanya menyela di antara akson tanpa
merusak jaringan otak. Sedangkan pada perdarahan yang luas, terjadi
destruksi masa otak, penunggian tekanan intra kranial dan yang lebih
berat dapat menyebabkan herniasi otak (Mulyatsih, 2009).
Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan gangguan di area otak yang
terbatas. Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya
kesadaran dalam waktu 15-20 detik dan kerusakan otah yang ireversibel
terjadi setelah 7-10 menit. Perdarahan juga menyebabkan iskemia dengan
menekan pembuluh darah disekitarnya. Dengan menghambat Na+/K+ATPase, defisiensi energi menyebabkan penimbunan Na+ dan Ca+2di dalam
sel, serta meningkatkan konsentrasi K+ ekstrasel sehingga menimbulkan
depolarisasi.

Depolarisasi

menyebabkan

penimbunan

Cl-

didalam

sel,

pembengkakan sel, dan kematian sel. Depolarisasi juga meningkatkan


pelepasan glutamat, yang mempercepat kematian sel melalui masuknya Na+
dan Ca+2. Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor dan
penyumbatan

lumen

pembuluh

darah

oleh

granulosit

kadang-kadang

mencegah reperfusi, meskipun pada kenyataannya penyebab primernya telah


dihilangkan. Kematian sel menyebabkan inflamasi, yang juga merusak sel di
tepi area iskemik (Eva, M, 2010).
b.Sign/symptom penyakit
1) Tanda dan gejala dari serangan stroke jenis apa pun akan menimbulkan
defisit neurologis yang bersifat akut :
o
o
o
o

Hemidefisit motorik
Hemidefisit sensorik
Penurunan kesadaran
Kelumpuhan nervus fasialis (vii) dan hipoglosus (xii) yang

bersifat sentral
o Gangguan

fungsi

luhur

seperti

kesulitan

berbahasa

(afasia) dan gangguan fungsi intelektual (demensia)


o Buta separuh lapangan pandang (hemianopsia)
o Defisit batang otak
15
(De Freitas et all, 2009 dalam Setyopranoto, 2011)
2) Tanda dan gejala Stroke yang dibedakan berdasar tingkatannya :
o Gejala stroke sementara (sembuh dalam beberapa menit/jam):

Tiba-tiba sakit kepala


Pusing, bingung

Penglihatan atau kehilangan ketajaman pada satu arah atau dua

mata

Kehilangan keseimbangan, lemah


Rasa kebal atau kesemutan pada sisi tubuh
o

Gejala stroke ringan (sembuh dalam beberapa minggu):


Beberapa atau semua gejala stroke sementara
Kelemahan atau kelimpuhan tangan/kaki
Bicara tidak jelas

Gejala

stroke

berat

(sembuh

atau

menjalani

perbaikan

dalam

beberapa bulan atau tahun, tidak bisa sembuh total):

Semua atau beberapa gejala stroke sementara dan

Koma jangka pendek (kehilangan kesadaran)


Kelemahan atau kelumpuhan tangan/kaki
Bicara tidak jelas atau hilangnya kemampuan

Sukar menelan
Kehilangan kontrol terhadap pengeluaran air seni dan

Kehilangan daya ingat atau konsentrasi


Terjadi perubahan perilaku, misalnya bicara tidak

ringan

berbicara

feses

menentu, mudah marah, tingkah laku seperti anak kecil


(Mahendra, 2007)
3) Tanda dan gejala stroke berdasarkan letak terjadinya pendarahan
o Sindrom arteri serebri media : muntah kemudian koma
o Sindrom arteri serebri anterior : paralise tungkai, gangguan gaya
berjalan, hilang sensasi pada kaki dan ibu jari kaki, perubahan mental
o

dan inkontinensia urin


Sindrom arteri vertebral : nyeri wajah, hidung dan mata, pusing,

ataksia
Sindrom arteri basiler : quadriplegi, kelemahan otot pada wajah, lidah
dan faring
(Mulyatsih, 2009)

c. Hubungan quadriparesis dan disfagia berat dengan stroke otak kanan


Disfagia berat yang dialami oleh pasien disebabkan karena cerebro vascular
accident pada otak kanan menyebabkan seseorang mengalami kesulitan
makan

dan

menelan yang

sangat signifikan,serta akan

menyebabkan

seseorang mengalami kesulitan atau gangguan berbicara.16sedangkan CVA


pada otak kiri pasien ini akan menyebabkan gangguan pada sistem
penglihatan dan pendengaran(sensory) (Nutrition and diagnosis related care,
2012).
Quadriparesis yang dialami oleh pasien disebabkan karena defisiensi
neurogenik yang dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan

motorik dan muscle weakness. dalam hal ini tergantung bagian otak manakah
yang mengalami kerusakan (Nutrition and Diagnosis Related Care, 2012).
Jika terjadi infark serebral pada batang otak hingga menimbulkan lesi,
tepatnya terjadi pada bagian pons, maka dapat menimbulkan quadriparesis.
Sedangkan, jika terjadi infark serebral pada batang otak, tepatnya pada
medula lateral, maka dapat menimbulkan disfagia (Merwick, 2014; Musisi,
2015; Haydock, 2015).
Belahan otak kanan mengontrol gerakan dan funsi sensoris sisi kiri tubuh.
Jika otak kanan yang terkena stroke maka akan mengalami gangguan seperti
disfagia dan kelumpuhan pada sisi kiri tubuh. Selain itu sama seperti otak
kanan, otak kiri juga mengontrol gerakan dan fungsi sensoris sisi kanan tubuh.
Dan jika otak kiri diserang maka dapat terjadi disfagia dan kelumpuhan pada
sisi kanan tubuh (Salma, 2010).
Pada Tn.J, strok lebih dahulu terjadi pada otak kiri dan kemudian terjadi
pada otak kanan, merujuk pada fungsi otak yang mengatur gerak dan fungsi
sensoris maka Tuan J dapat mengalami kelumpuhan pada keempat alat gerak
yang disebut sebagai quadriparesis (Continuing Medical Education, 2011).
Interaksi obat dan makanan serta efek sampingnya
Plavix
efek smping umum:

pendarahan hebat,
trombotik thrombocytopenic purpura (TTP),
reaksi alergi,

efek samping ringan :

fertigo,
sakit kpla ,
pusing,
mual ,
diare,

sesak nafas,
nyeri sendi,
nyeri otot,
back pain,
gelisah

17

Interaksi obat dan makanan saat ini masih belum diketahui efek obat
terhadap makanan (Continuing Medical Implementation Inc, 2009). Tidak ada
interaksi obat dan makanan dari plavix, namun terdapat interaksi obat dan herbal,
seperti bawang putih, ginkgo biloba, jahe, teh hijau. Efek dari plavix akan
meningkat ketika mengonsumsi bahan-bahan tersebut (Pocket Books, 2010 dan
Fradsen, 2014).
Hindari konsumsi dengan grape fruit juice karena plavix (clopidogrel) dapat
menghambat penyerapan cyp3a4 jika dikonsumsi dengan grape fruit juice,
mengurangi pembentukan metabolit aktif dan menurunkan manfaat terapi plavix (
Joseph I.Boullta,2004). Kafein telah dilaporkan memiliki aktivitas antiplatelet, dan
dapat meningkatkan resiko pendarahan saat digunakan dengan obat yang
meningkatkan risiko perdarahan. Kafein juga terbukti melemahkan respon
hemodinamik terhadap dipyridamole, agen rheologic yang menghambat agregasi
platelet (Sari, A I, dkk 2012).
Baik plavix dan aggrenox sebaiknya menghindari konsumsi bawang putih
dan makanan tinggi vitamin K . Konsumsi bawang putih dapat meningkatkan
efektifitas obat dalam mencegah pembekuan darah. Konsumsi makanan tinggi
vitamin K dapat mengganggu efek anti pembekuan darah dari plavix dan
aggrenox karena sifatnya sebagai koagulan (pembekuan darah).Rekomendasi
konsumsi vitamin K untuk orang dewasa rentangnya65-80 mcg. Hindrari konsumsi
makanan

tinggi

kecambah/tauge,

vitamin

>100

canola

oil,

salad

mcg/servig
oil,

seperti

soybean

oil

bayam,

brokoli,

(www.drugs.com,

www.livestrong.com).
b. Aggrenox
o efek samping ringan:
sakit kepala,
sakit perut,
diare,
o bisa menimbulkan efek smping lebh parah :
pendarahan pada otak (sakit kepala, pingsan, gelisah) dan pencernaan

(skt kepala, heart burn, muntah darah, feses warna hitam),


nyeri dada pada pasien dg penyakit jantung,
gangguan liver(ikterus, urin pekat, fases pucat, gatal, sakit d area perut)
(Boehringer ingelheim international GmbH,2012)
Hindari penggunaan aggrenox dengan suplementasi dari vitamin K dan
bawang putih karena bersifat sebagai antikoagulan yang akan memberikan
18
efek pengenceran darah menjadi berlebihan. Konsumsi alkohol yang
berlebihan dapat mengalami pendarahan. Aggrenox dikonsumsi harus utuh
tidak boleh dihancurkan dan di kunyah (Mozayani, 2004; Boehringer
Ingelheim International,2012; Boehringer Ingelheim, 2012)
3.

Preskripsi diet yang sesuai dengan kondisi pasien

a. Status gizi
BMI u/ laki-laki = (1,01xLila)-67 = 25,09
Cut off IMT untuk orang Asia, jika IMT-nya 25-29,9 maka dikatakan
obesitas (IOTF, 2000).
b. Tujuan

Mempercepat ksembuhan
Cegah komplikasi
Pertahankan cairan dan elektrolit
Memenuhi kebutuhan gizi dengan pemberian makan yang cukup
Memperbaiki keadaan kondisi pasien seperti dysfagia dan

quadriparesis
Penurunan berat badan pasien karena pada pasien dengan status
gizi obese diperlukan penuruan berat badn untuk mencegah

terjadinya serangan stroke kembali


Mencegah hiperhomosisteinemia karena terjadi kerusakan endotel
pada pasien stroke, maka perlu mencegah hiperhomosisteinemia
agar tidak terjadi kerusakan sel yang lebih lanjut
(Nutrition And Diagnosis Related Care , 2012)

c. Prinsip
Rendah kolesterol
d. Syarat
1) Zat gizi Makro
o Energi
Rumus Schofield
(11,711 x BBadjusted) + 587,7 x FA x FS
(11,711 x BBadjusted) + 587,7 x 1,15 x 1,4
(rosmalina 2011)
o

Karbohidrat 60% =
o

6 /100
x 1828,5
4

L emak 20 %

= 1828,64kal

= 274,3 gr

2 /100
x 1828,5
9

= 40,63 gr

Diuatamakan yang dipilih lemak tak jenuh ganda


=

2 /100
x 1828,5
4

Protein 20%

= 91,4 gr

o
o

Kolesterol dibatasi : <300mg


Lemak jenuh <10% dari kebutuhan energi total,

kolesterol <300mg
o Serat cukup untuk menghindari konstipasi sebesar 25
gram per hari
2) Mikronutrient
o Vitamin B6 40 mg, vitamin B12 50 mg, asam
folat 500mg
19
untuk mencegah terjadinya hiperhomosisteinemia dan kerusakan
endotel lebih lanjut (Wahyuningsih, 2013).
o B12 500 mcg, asam folat 500, zinc 10mg, vitamin K 6580mcgr, 40mg vitamin B6. Antintioksidan (cepat rekonstruksi dan

neuro protection), vitamin e 100 mg, vitamin C 75, vit a 700-900mcg


untuk homosistein

(patrickholford.com)

3) Cairan diberikan cukup, namun hati-hati dalam pemberian karena


pasien mengalami disfagia
4) Tahapan pemberian makanan
Pada pasien stroke dengan disfagia, makanan diberikan secara
bertahap yang merupakan gabungan dari NPO, peroral dan NGT,
sebagai berikut :
1. NPO (nothing per oral)
2. bagian peroral (bentuk semipadat) dan
bagian melalui NGT
3. bagian per oral (bentuk semi padat) dan
bagian melalui NGT
4. Diet peroral (bentuk semi padat dan semi cair)
dan air melalui NGT
5. Diet lengkap per oral
Jika dari hasil tes menelan baik maka makanan per oral dapat
diberikan bertahap yang dimulai dari bentuk makanan cair, saring,
lunak dan biasa
(Almatsier, 2004)
5) Bentuk makanan : bentuk cair kental atau kombinasi cair jernih dan cair
kental, pasien berada diantara fase akut dan pemulihan karena pasien
masih mengalami disfagia berat sehingga tidak dapat menerima
makanan secara oral sama sekali dan kebutuhannya harus dipenuhi
melalui makanan enteral.
6) Jenis formula enteral
: makanan enteral yang diberikan berupa
polimerik.
7) Rute pemberian

: NGT, Namun karena disfagia diperkirakan

lebih dari 2 bulan maka dipertimbangkan pemberian gastrostomi.


8) Jenis pemberian
: Bolus feeding
9) Volume pemberian
o Densitas energi dari makanan yang diberikan adalah 1,2 kkal/ml
sehingga volume makanan yang diberikan dalam 1 hari adalah =
o

1828,64 kkal/1,2 = 1523,9 ml/hari


Karena metode makanan yang diberikan melalui bolus makan setiap
kali pemberian makan diberikan 250 mL.

Frekuensi pemberian

makanan adalah = 1523,9 ml / 250ml = 6,09 kali 206 kali pemberian


dengan jumlah volume 253,98 254 ml/hari.
(Nafratilofa, I. 2013; Perdossi , 2011; Siahaan, 2012)
4.

Metode pemberian makanan enteral


a) Bolus Feeding :
Bolus feeding Pemberian formula enteral dengan cara bolus feeding dapat

dilakukan dengan menggunakan NGT/OGT, dan diberikan secara terbagi setiap 34 jam sebanyak 250-350 ml. Bolus feeding dengan formula isotonik dapat dimulai
dengan jumlah keseluruhan sesuai yang dibutuhkan sejak hari pertama,
sedangkan formula hipertonik dimulai setengah dari jumlah yang dibutuhkan pada
hari pertama.
Pemberian formula enteral secara bolus feeding sebaiknya diberikan dengan
tenang, kurang lebih selama 15 menit, dan diikuti dengan pemberian air 25-60 ml
untuk mencegah dehidrasi hipertonik dan membilas sisa formula yang masih
berada di feeding tube. Formula yang tersisa pada sepanjang feeding tube dapat
menyumbat feeding tube, sedangkan yang tersisa pada ujung feeding tube dapat
tersumbat akibat penggumpalan yang disebabkan oleh asam lambung dan protein
formula
Keuntungan:

Fisiologis mirip dengan pola makan yang khas


Memungkinkan mobilitas pasien yang lebih besar
Nyaman untuk makan gastrostomy
Dapat digunakan untuk melengkapi asupan oral
Dapat fleksibel sesuai dengan gaya hidup pasien dan meningkatkan

kualitas hidup
Dapat memfasilitasi transisi ke asupan oral
Menghindari penggunaan peralatan yang mahal

Kekurangan:

Bolus besar dapat ditoleransi buruk, terutama di makan kecil usus


Membutuhkan lebih banyak waktu menyusui dibandingkan dengan

pompa-dikendalikan makan
Risiko tertinggi aspirasi, refluks, distensi abdomen, diare dan mual

a) Continous Feeding :
Pemberian formula enteral dengan cara continuous drip feeding dilakukan
dengan menggunakan infuse pump. Pemberian formula enteral dengan cara ini
diberikan dengan kecepatan 20-40 ml/jam dalam 8-12 jam pertama, ditingkatkan
secara bertahap sesuai dengan kemampuan toleransi anak. Volume formula yang
diberikan ditingkatkan 25 ml setiap 8-12 jam, dengan pemberian maksimal 50100 ml/jam selama 18-24 jam. Pemberian formula enteral dengan osmolaritas
isotonik (300 mOsm/kg air) dapat diberikan sesuai dengan jumlah yang
dibutuhkan, sedangkan pemberian formula hipertonis (500 mOsm/kg air) harus
21
dimulai dengan memberikan setengah dari jumlah yang dibutuhkan.
Pada kasus
pemberian formula yang tidak ditoleransi dengan baik, konsentrasi formula yang
diberikan dapat diturunkan terlebih dahulu dan selanjutnya kembali ditingkatkan
secara bertahap.
Pemberian formula enteral yang telah disiapkan tidak boleh diberikan lebih

dari 4-8 jam, dan harus digantikan dengan formula enteral yang baru. Bahan
sediaan yang telah dibuka, sebaiknya disimpan di dalam refrigator dan tidak
digunakan kembali setelah 24 jam.
Keuntungan:

Memungkinkan laju umpan per jam serendah mungkin untuk memenuhi

kebutuhan gizi
Toleransi gastrointestinal yang lebih baik karena tingkat pakan rendah
Kontrol yang lebih baik dari kadar glukosa darah akibat masukan
karbohidrat terus menerus

Kekurangan:
Lampiran fisik untuk aparat makan (dapat mempengaruhi kualitas hidup)
Beban peralatan (pompa dan memberikan set)
b) Intermitten :
Nutrisi enteral dihentikan untuk jangka waktu 4-16 jam baik siang hari atau
di malam hari. Semakin pendek periode makan, semakin tinggi tingkat mungkin
perlu untuk memenuhi kebutuhan pasien. Cocok untuk pompa dan gravitasi tetes.

Keuntungan:
o

Memungkinkan mobilitas pasien yang lebih besar (dapat meningkatkan

kualitas hidup)
Memungkinkan istirahat untuk kegiatan fisik, untuk pemberian obat yang

tidak sesuai dengan feed, dan mendorong asupan oral jika berlaku.
Berguna dalam transisi dari terus-menerus untuk makan bolus, atau dari

makan tabung asupan oral.


Feed siang dapat mengurangi

mempertahankan elevasi 30 semalam


Makan pada siang hari hanya lebih fisiologis dan karena itu mungkin

risiko

aspirasi

jika

sulit

untuk

memiliki manfaat seperti membantu untuk membangun kembali siklus


diurnal;

mempromosikan

motilitas

gastrointestinal

yang

normal

dan

mempromosikan kembali pengasaman perut (yang melindungi terhadap


bakteri).

Kekurangan:
Dibandingkan dengan makan terus menerus, tingkat infus yang lebih tinggi
diperlukan untuk memberikan volume yang sama pakan. Hal ini dapat lebih
ditoleransi, dengan risiko yang lebih tinggi dari masalah seperti refluks,
aspirasi, distensi abdomen, diare dan mual.
(DAA, 2011 dan Gurnida, 2010)
22

Jalur pemberian makanan enteral


Sumber : DAA, 2011

Ada 4 jalur utama pemberian makanan enteral yaitu :


o
o
o
o

Nasal tube ( nasogastric, nasoduodenal, dan naso jejunal)


Oral tube : orogastric
Trans oesofageal feeding (TOF) atau oesophagostomi tube
Percutaneous enteric tube : gastrotomy dan jejunustomy

Nasogastrick tube (NGT), orogastric tibe (OGT), trans oesophageal feeding


tube (TOF) dan gastrotomy untuk asien yang mempunai pengosongan lambung
dan duodenal yang norla. Sedangkan nasoduodenal tube (NDT), nasojejunal tube
(NJT)

dan

jejunustomy

diberikan

untuk

pasien

yang

memiliki

gangguan

pengosongan lambung (Diettitian Association of Australia, 2011).


Keterangan
Nasogastrik
Pemberian

makanan

pertama

kira-kira

40-50

ml/

jam

kemudian

ditingkatkan 10-50 ml/jam setiap 4 jam. Perut biasanya dapat mentolerir


makann

yang

intermiten).

Ini

berkonsistensi
bervariasi

tinggi

antara

(seperti
pasien

dalam

individu

bolus
dan

atau

rejimen.

makan
Untuk

memperkirakan tingkat toleresni maksimum makanan, hal ini berguna untuk


menghubungkannya dengan volume cairan padat nutrisi yang masing-masing
pasien bisa minum: bolus maksimum mungkin volume segelas
23 kecil susu (150
ml) untuk lebih kecil / orang tua, atau milkshake (400-600 ml) untuk yang lebih
besar / orang muda. Tingkat berkelanjutan maksimum mungkin sampai satu
cangkir susu (250 ml) setiap jam.
b. Nasojejunal dan nasoduodenal
Pemberian pertama kali kira-kira 20-30 mL/jam, kemudian ditingkatkan

mencapai 10-30 mL/jam setiap 4-8 jam. Makan terus menerus pada tingkat
yang dikontrol biasanya diperlukan karena kurangnya kapasitas di usus kecil.
makanan dapat ditoleransi pada tingkat setinggi 100-120mL / jam. Beberapa
pasien mungkin memiliki toleransi yang lebih tinggi dari tingkat, selain itu
mungkin mengalami distensi abdomen atau ketidaknyamanan. Air steril harus
digunakan untuk flushing selang.
c. Gastrotomy / PEG
Pemberian pertama seperti nasogastric, kemudian ditingkat juga seperti
nasogastric. Setelah penyisipan makan melalui gastrostomy atau jejunostomy,
percobaan

pemberian

air

kadang-kadang

digunakan

untuk

memeriksa

kebocoran sebelum makan diberikan. Makan biasanya dimulai 12-24 jam


setelah penyisipan selang, tetapi tidak ada bukti untuk mendukung menunda
makan lebih dari 3-4 jam setelah penempatan PEG.
d. Jejunustomy

Seperti nasojejunal. Jika terjadi pembedahan biasanya disarankan makan

bisa dimulai (biasanya dalam waktu 24-48 jam setelah pemasangan); ini
tergantung pada prosedur bedah (Dietitian Association of Australia, 2011)

Berikut ini metode pemberian makanan enteral yang disesuaikan dengan

jalur pemberian makanan enteral :


o

Nasogastric

: bolus atau intermittent feeding

Nasoduodenal : contionous feeding

Gastrostomy

: bolus atau intermittent feeding

Jejunostomy

: continous feeding

Yang sesuaidengan kasus adalah gastrostomy karena ada disfagia, pasien


tidak mengalami gangguan saluran pencernaan, waktu pemberian setiap 4 jam
sekali dengan frekuensi 5x dalam sehari pada jam 06.00; 10.00; 14.00; 18.00;
22.00 (Bradnam, 2015).

24


Sumber : American Dietetic Association, 2006

6. Jenis formula makanan enteral


Algoritma penentuan jenos formula makanan enteral

25

Sumber : (DAA, 2011)

Ada 4 jenis formula makanan enteral yang dapat digunaka. Pemilihannya


disesuaikan dengan kondisi pasien. Formulanya antara lain :
a. Formula polimerik, yang terdiri dari nutrien kompleks dan digunakan hanya
untuk pasien yang saluran GIT-nya berfungsi penuh. Formula ini merupakan
sumber nitrogen protein dengan fungsi GI normal dengan kandungan energi 1
kkal/ml, bebas laktosa, bisa mengandung serat atau bebas serat Formula
polimerik atau formula utuh terdiri dari 5 macam, yaitu:
o

Formula blender: Memberikan kurang lebih 1 kkal/ml dan 16% jumlah kalori
yang diberikan oleh formula tersebut berasal dari protein. Formula ini
dibuat dari makanan biasa, seperti daging, susu, buah dan sayur yang
diblender sehingga memiliki konsistensi cair.

Formula standar: Memberikan kurang lebih 1 - 1,2 kkal/ml dan 14-16%


kalori dari protein. Formula ini rendah sisa dan bebas laktosa. COntoh:
Isocal, Ensure, Peptisol.

Formula tinggi kalori: Memberikan 1,5-2 kkal/ml dan 14-17% kalori berasal
dari protein. Contoh: Magnacal dan Deliver 2.0.

Formula tinggi protein: Memberikan 1-2 kkal/ml dan lebih dari 16% kalori
berasal dari protein. Formula ini rendah sisa. Contoh: Isocal HN, Osmolite
HN.

Formula

yang

diperkaya

serat:

Memberikan

1-1,5

kkal/ml

dan

pemakaiannya ditujukan pada pasien yang mengalami konstipasi karena


formula rendah sisa. Contoh: Produgen, Anene, Calciskim (Hartomo, 2004).
b. Formula monomerik dan oligomerik, yang terdiri dari nutrien-nutrien unsur
dan memerlukan kapasitas pencernaan saluran GIT yang lebih kecil.
Untuk lemak, formulanya ada 2 yaitu :
o

LCT (Long Chain Triglycerides) : trigliserida rantai panjang

MCT (Medium Chain Trigycerides) : trigliserida rantai menengah adalah


sumber utama, dan dapat diserap langsung di mukosa usus kecil ke dalam
vena portal tanpa adanya lipase atau garam empedu.

c. Formula khusus, yaitu formula yang secara khusus diberikan untuk penyakitpenyakit spesifik, seperti gagal ginjal, gagal hati.
d. Formula modular, yang terdiri dari penyiapan formula yang tersedia di
perdagangan.
Dalam kasus ini menggunakan jenis formula polimeric standart karena
26
pasien tidak mengalami masalah GIT dan tidak ada kondisi kondisi adanya
penyakit khusus.
(Ansel, 2004; Hartomo, 2004; Trive, 2005)

7. Bentuk makanan yang sesuai dengan kondisi Tn. J


Bentuk makanan untuk Tn. J dapat diberikan secara bertahap dilihat dari fase
stroke yang dialami yaitu :
a. Fase akut :
kesadaran

dalam

keadaan

menurun.

Pada

tidak

fase

ini

sadarkan
diberikan

diri

atau

makanan

parenteral dan dilanjutkan makanan enteral via ngt.


b. Fase pemulihan

: dalam keadaan sadar dan tidak megalami

gangguan fungsi menelan (disfagia). Makanan diberikan per


oral secara bertahap dalam bentuk makanan cair, saring,
lunak dan padat
Jenis diet untuk penderita stroke ada 2 jenis yang digunakan berdasarkan fase
stroke yang dialami pasien
a. Diet stroke 1 : diberikan pada pasien fase akut atau disfagia,
diberikan dalam bentuk cair ketal atau kombinasi cair jernih dan
cair kental yang diberikan per oral atau NGT sesuai keadaan.
Makanan diberikan porsi kecil tiap 2-3 jam
b. Diet stroke 2 : diberikan sebagai perpindahan diet stroke 1 ke
fase pemulihan. Bentuk makanan kombinasi cair jernih, cair
kental, saring, lunak dan biasa. Dibagi menjadi 3 tahap : diet
stroke II A berupa makanan cair + bubur saring 1700 kkal, diet
stroke II B berupa makana lunak 1900 kkal, diet stroke II C
berupa makanan biasa 2100 kkal (Siahaan , 2012).

Karena pasien mengalami disfagia, maka harus melihat hasil monen tes
menelan. Bila hasil monev pasien masih menunjukkan adanya disfagia, makanan
diberikan bertahap sebahai gabungan makanan NPO, peroral dan NGT sebagi
berikut :
a. NPO
b. bagian peroral (semipadat) dan bagian melalui NGT
c. bagian peroral (bentuk semi padat) dan bagian melalui NGT
d. Diet peroral (bentuk semi padat dan semi cair) dan air melalui NGT
e. Diet peroral lengkap dalam cair, saring, lunak dan biasa (Almatsier, 2004)
8. Indikator

yang

digunakan

untuk

menentukan

perubahan

bentuk

makanan yang diberikan


27
Indikator yang dapat digunakan untuk menentukan perubahan bentuk makanan
yang diiberikan ada beberapa, antara lain :
a. Hasil tes menelan
Jika pasien dapat konsumsi cairan 1 sendok, kemudian 2 sendok dan lalu 50
ml, maka fungsi menelan pasien sudah membaik (Mulyatsih, 2009)

b. Derajat disfagia yang dinilai dengan skala dari American Speech-LanguageHearing Association (ASLHA) sebagai berikut:

Level

o Level 0

Keterangan
o Pasien tidak dapat diperiksa
o Proses menelan tidak fungsional
o Proses menelan yang lambat,

o Level 1

sehingga mengakibatkan pasien


o Level 2

tidak dapat memenuhi seluruh


kebutuhan

o Level 3

nutrisinya,

namun

demikian proses menelan masih


bisa dilakukan meskipun tidak

sempurna
o Terjadi gangguan menelan yang

mengakibatkan

dapat

makan

diperlukan

o Level 4

pasien

tidak

sehingga

pengawasan

dalam

proses makan
o Proses

menelan

fungsional,

walaupun

teknik

menelan masih digunakan


o Proses

masih

menelan

fungsional,

walaupun

masih
kadang

timbul kesulitan.

o Level 5

o Proses menelan normal dalam


semua situasi

o Level 6

o Level 7

28

Sumber : Santosa, 2012

c. Kesadaran
Jika tidak sadarkan diri atau kesadaran menurun maka diberikan parenteral
dan di lanjutkan enteral.
d. Keseimbangan cairan
Dalam memberikan cairan melalui intravena dan melalui makanan enteral
harus diperhatikan dari makanan transisi yang diberikan kepada pasien. selain
itu, juga harus diperhatikan dalam memberikan cairan melalui oral untuk
membersihkan pipa untuk menyalurkan makanan enteral (Setyopranoto, 2010)
(Dietitian Association of Autralia, 2011).
e. Terapi untuk disfagia ada banyak jenisnya. salah satunya adalah sEMG
Biofeedback. indikator yang diukur sebagai outcome dari terapi ini adalah
perubabahan pada intake oral dan jumlah sesi terapi yang dilaksanakan.
kemampuan menelan tiap individu diukur menggunakan Functional Oral Intake
Scale (FOIS), ada 7 skala, yaitu :
o

Level 1 : tidak ada makanan yang masuk melalui mulut

Level 2 : bergantung pada selang , dengan mencoba cairan minimal

Level 3 : bergantung pada selang dengan makanan / cairan konsistensi


tertentu

Level 4 : total diet oral dengan konsistensi tunggal

Level 5 : total diet oral dengan konsistensi multipel, tapi membutuhkan


persiapan atau penggantian khusus

Level 6: total diet oral dengan konsistensi multipel tanpa persiapan khusus
tapi dengan pembatasan makana spesifik

Level 7 : total deiet oral tanpa ada pembatasan

(Crary dkk, 2004)

29

9. Cara melakukan monitoring dan evaluasi dari pemberian makan


a. Melihat derajat disfagia untuk perpindahan makanannya

b. Memonitoring dan evaluasi distribusi pemberian makanan enteral


o

Memantau cairan dan elektrolit, dan metabolik lainnya sesuai rekomendasi


kebutuhan berdasarkan keadaan klinis pasien. (B)

o
o

Periksa metabolik dan gizi sesuai rekomendasi, dan tingkat


kehabisan sebelum inisiasi makanan enteral. (B)

c. Memonitoring dan evaluasi distribusi pemberian Gastric Residual Volume (GRV)


o

Evaluasi pasien yang diberikan makanan enteral yang berisiko aspirasi. (A)

Yakinkan bahwa pipa

pengisi dalam keadaan tepat terpasang, sebelum

dilalui makanan. (A)


o

Menjaga posisi tidur pasien dengan meninggikan tempat tidur sekitar 30-45
setiap saat selama pemberian makanan enteral.(A)

Jika memungkinkan, gunakan pipa berdiameter yang besar untuk 1-2 hari
pertama pemberian makanan enteral dan mengevaluasi residu lambung
menggunakan jarum suntik setidaknya 60 ml. (A)

Periksa residu lambung setiap 4 jam selama 48 jam pertama pada makan
pasien. Setelah makanan enteral tercapai pada tingkat tinggi dan / atau pipa
diganti dengan sump bore tube yang kecil, lalu dilakukan pemantauan residu
lambung mungkin akan menurun setiap 6-8 jam pada pasien sakit yang tidak
kritis. (C)

Namun, setiap 4 jam dilakukan pengukuran pada pasien sakit kritis. (B)

Jika

GRV

adalah>

250

mL

setelah

cek

sisa

lambung

kedua,

lalu

dipertimbangkan pemberian makanannya. GRV> 500 mL harus dihasilkan


dari makanan enteral

dan

menilai kembali toleransi pasien dengan k

penilaian fisik, penilaian kemampuan GIT, mengevaluasi kontrol glikemik,


minimalisasi sedasi.
o

Pertimbangan penempatan pipa dengan benar di bawah 30


ligamentum Treitz
ketika GRV secara konsisten diukur pada >500 mL. (B)

Apabila pada pasien anak dalam kondisi akut yang menerima drip kontinyu,
GRV dapat diperiksa setiap 4 jam dan jika volume lebih besar dari

sebelumnya maka dilihat 1/2 jam . Jika menggunakan yang bolus, kemudian
GRV dapat diperiksa sebelum makan selanjutnya dapat dipantau terus
sampai kondisinya baik (C)
(Bankhead, R. et. al. 2009)

31

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN
1. Gambaran umum dari stroke kiri dan stroke kanan?
a. Patofisiologi penyakit
Penimbunan lemak yang terjadi secara lambat di arteri (plak), sehingga
memblokir/menghalangi aliran darah ke jaringan. Penyebab lain dari stroke
adalah terbentuknya bekuan darah (trombus) yang melekat pada dinding
arteri dan menyebabkan sumbatan leih berat. Bila tombus terlepas dari
dinding arteri dan ikut terbawa aliran darah menuju arteri lebih kecil dan
menyebabkan sumbatan (emboli). Hal inilah yang menyebabkan aliran darah
ke otak berkurang.
b.Sign/symptom penyakit
Tanda dan gejala stroke berdasarkan letak terjadinya pendarahan
o
o

Sindrom arteri serebri media : muntah kemudian koma


Sindrom arteri serebri anterior : paralise tungkai, gangguan gaya
berjalan, hilang sensasi pada kaki dan ibu jari kaki, perubahan mental

dan inkontinensia urin


Sindrom arteri vertebral : nyeri wajah, hidung dan mata, pusing,

ataksia
Sindrom arteri basiler : quadriplegi, kelemahan otot pada wajah, lidah
dan faring

c. Hubungan quadriparesis dan disfagia berat dengan stroke otak kanan


Disfagia berat yang dialami oleh pasien disebabkan karena cerebro
vascular accident pada otak kanan menyebabkan seseorang mengalami
kesulitan makan dan menelan yang sangat signifikan.
Quadriparesis yang dialami oleh pasien disebabkan karena defisiensi
neurogenik yang dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan
motorik dan muscle weakness. dalam hal ini tergantung bagian otak manakah
yang mengalami kerusakan.
Interaksi obat dan makanan serta efek sampingnya
Plavix
efek smping umum:

pendarahan hebat,
trombotik thrombocytopenic purpura (TTP),
reaksi alergi,
32

Tidak ada interaksi obat dan makanan dari plavix, namun terdapat interaksi
obat dan herbal, seperti bawang putih, ginkgo biloba, jahe, teh hijau.
c. Aggrenox
o efek samping ringan:
sakit kepala,
sakit perut,
diare,

Hindari penggunaan aggrenox dengan suplementasi dari vitamin K dan


bawang putih karena bersifat sebagai antikoagulan yang akan memberikan
efek pengenceran darah menjadi berlebihan.
5.

Preskripsi diet yang sesuai dengan kondisi pasien


a. Status gizi obesitas (IOTF, 2000).
b. Tujuan

Mempercepat ksembuhan
Cegah komplikasi
Pertahankan cairan dan elektrolit
Memenuhi kebutuhan gizi dengan pemberian makan yang cukup

c. Prinsip
Rendah kolesterol
d. Syarat
1) Zat gizi Makro
o Energi = 1828,64kal (rosmalina 2011)
o Karbohidrat 60% = 274,3 gr
o L emak 20 %
= 40,63 gr
o Protein 20%
= 91,4 gr
o Kolesterol dibatasi : <300mg
o Serat cukup untuk menghindari konstipasi sebesar 25
gram per hari
2) Mikronutrient
o Vitamin B6 40 mg, vitamin B12 50 mg, asam folat 500mg
untuk mencegah terjadinya hiperhomosisteinemia dan kerusakan
endotel lebih lanjut (Wahyuningsih, 2013).
o B12 500 mcg, asam folat 500, zinc 10mg, vitamin K 6580mcgr, 40mg vitamin B6. Antintioksidan (cepat rekonstruksi dan
neuro protection), vitamin e 100 mg, vitamin C 75, vit a 700-900mcg
untuk homosistein

3) Cairan diberikan cukup,


4) diberikan secara bertahap yang merupakan gabungan33
dari NPO, peroral
dan NGT (Almatsier, 2004)
5) Jenis formula enteral

: makanan enteral yang diberikan berupa

polimerik.
6) Rute pemberian

: NGT, Namun karena disfagia diperkirakan

lebih dari 2 bulan maka dipertimbangkan pemberian gastrostomi.

7) Jenis pemberian
8) Volume pemberian

: Bolus feeding
: Karena metode makanan yang diberikan

melalui bolus makan setiap kali pemberian makan diberikan 250 mL.
Dengan densitas (1.2) = 1828,64/1,2 = 1523,9 cc dan frekuensi
pemberian 250ml / sekali pemberian sehingga dalam sehari ada 6x
pemberian
6.

Metode pemberian makanan enteral?


a) Bolus Feeding :

b) Continous Feeding :
c) Intermitten :
Jalur pemberian makanan enteral
Ada 4 jalur utama pemberian makanan enteral yaitu :
o
o
o
o

Nasal tube ( nasogastric, nasoduodenal, dan naso jejunal)


Oral tube : orogastric
Trans oesofageal feeding (TOF) atau oesophagostomi tube
Percutaneous enteric tube : gastrotomy dan jejunustomy

Berikut ini metode pemberian makanan enteral yang disesuaikan dengan

jalur pemberian makanan enteral :


o

Nasogastric

: bolus atau intermittent feeding

Nasoduodenal : contionous feeding

Gastrostomy

: bolus atau intermittent feeding

Jejunostomy

: continous feeding

9. Jenis formula makanan enteral


a. Formula polimerik
b. Formula monomerik dan oligomerik
c. Formula khusus, yaitu formula yang secara khusus diberikan untuk penyakitpenyakit spesifik, seperti gagal ginjal, gagal hati.
d. Formula modular, yang terdiri dari penyiapan formula yang tersedia di
perdagangan.
10. Bentuk makanan yang sesuai dengan kondisi Tn. J
Bentuk makanan untuk Tn. J dapat diberikan secara bertahap dilihat dari fase
stroke yang dialami yaitu :
a. NPO
b. bagian peroral (semipadat) dan bagian melalui NGT
c. bagian peroral (bentuk semi padat) dan bagian melalui NGT
d. Diet peroral (bentuk semi padat dan semi cair) dan air melalui NGT
34
e. Diet peroral lengkap dalam cair, saring, lunak dan biasa (Almatsier, 2004)
10.Indikator yang digunakan untuk menentukan perubahan bentuk makanan yang
diberikan
a. Hasil tes menelan
b. Derajat disfagia yang dinilai dengan skala dari American Speech-Language-

Hearing Association (ASLHA)


c. Kesadaran
d. Keseimbangan cairan
e. Terapi untuk disfagia
11.Cara melakukan monitoring dan evaluasi dari pemberian makan?
a. Melihat derajat disfagia untuk perpindahan makanannya
b. Memonitoring dan evaluasi distribusi pemberian makanan enteral
c. Memonitoring dan evaluasi distribusi pemberian Gastric Residual Volume (GRV)

B. REKOMENDASI

Skenario klinik pada week 8 ini mampu mengingatkan kembali dan memberikan

pengetahuan mengenai bagaimana cara memformulasikan makanan enteral.


Sebelumnya skenario ini cukup menjebak mahasiswa karena dibagian akhir scenario
tidak terdapat kata kunci untuk menunjukkan tujuan dari scenario ini.

35

DAFTAR PUSTAKA

1. Almatsier, S. 2006. Penuntun Diet. jakarta. PT Gramedia Pustaka


2. Boehringer Ingelheim International. 2012. Aggrenox (Anti Platelet). Canada Ltd
3. Bankhead, R. et. al. 2009. Aspen (Enteral Nutrition Practice Recommendations).
Journal of Parenteral and Enteral Nutrition Vol. 33 No. 2
4. Dietitian Association of Australia. 2011. Enteral Nutrition Manual for Adults in
Health Care Facilities. Nutrition Support Interest Group
5. Eva, M. 2010. Efek Parameter Hematologi Rutin Dan Usia Terhadap Hasil
Pemeriksaan Transcranial Doppler dan Hubungannya Dengan Outcome Pada
Pasien Stroke Iskemik Akut. Universitas Sumatera Utara
6. InHealth Gazette, 2013. Kardiovaskular. Divisi Pelayanan Obat
7. Mahan, L.K dan Silvya Escott Stumph. 2008. Krauses Food and Nutrition Therapy
12th Edition Sounders Elsevier
8. Nafratilofa, L. 2013. Pemberian Nutrisi Melalui Continous Feeding untuk
Menghindari Gejala Gastro-Oesophageal Reflux pada Klien dengan Gastrektomi.
Universitas Indonesia
9. Perdossi, 2011. Guideline Stroke Tahun 2011. Pokdi Stroke : Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia
10.Sari, A. I, dkk. 2012. Drug Interactions with Beverages. Universitas Hasanuddin
Makasar
11.Setyopranoto, I. 2011. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
12.Siahaan, E. 2012. Analisis Diet Stroke Pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit
Umum Daerah Doloksanggul Tahun 2011. Universitas Sumatera Utara
13.Ansel, Howard C dan Shelly J Prince. 2004. Kalkulasi Farmasetik: Panduan untuk
Apoteker. Jakarta : EGC.
14.Behrman et al. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol 2 Edisi 15. Jakarta : EGC.
15.Gerstenblith, Gary dan Simeon Margolis. 2007. Coronary Heart Disease 2007 1st
Edition. Maryland : Johns Hopkins Medicine.
16.Hartono, Andry. 2004. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit Edisi 2. Jakarta : EGC.
17.Haydock, Stephen et al. 2015. Acute Medicine: A Symptom-Based Approach. UK :
Cambridge University Press.
36
18.Fletcher, Mary A. 1998. Physical Diagnosis in Neonatology. China
: LippincottRaven.
19.Frandsen, Geralyn dan Sandra Smith P. 2014. Abrams Clinical Drug Therapy:
Rationales for Nursing Practice. China : Wolters Kluwer Health.
20.International Obesity Task Force (IOTF). 2000. The Asia-Pacific Perspective:

Redefining Obesity and Its Treatment. Melbourne : Health Communication


Australia.
21.Mahendra B dan Evi Rachmawati NH. 2007. Atasi Stroke dengan Tanaman Obat.
Jakarta : Penebar Swadaya.
22.Merwick, ine dan David Werring. 2014. Posterior Circulation Ischaemic Stroke.
Clinical Review, 1-11.
23.Meyers, Steven P. 2008. MRI of Bone and Soft Tissue Tumors and Tumorlike
Lesions: Differential Diagnosis and Atlas. New York : Thieme.
24.Mulyatsih, MG Enny. 2009. Pengaruhh Latihan Menelan terhadap Status Fungsi
Menelan Pasien Stroke dengan Disfagia dalam Konteks Asuhan Keperawatan Di
RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo dan RSUP Fatmawati Jakarta. Tidak diterbitkan,
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Depok.
25.Musisi, Seggane dan Stanley Jacobson. 2015. Brain Degeneration and Dementia in
Sub-Saharan Africa. New York : Springer.
26.Pocket Books. 2010. PDR Pocket Guide to Prescription Drugs, 9 th Edition. New
York : Simon & Schuster, Inc.
27.Santosa, Yanuar I dkk. 2012. Gambaran Fiberoptic Endoscopic Examination of
Swallowing (FEES) Pada Penderita dengan Disfagia Orofaringeal. Tidak diterbitkan,
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung.
28.Depkes, RI. 2009. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI). Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.
29.Rahardja, Kirana dan Tjan Tan Hoan. 2004. Obat-Obat Penting. Gramedia. Jakarta.
30.Wahyuningsih, Retno. 2013. Penatalaksanaan Diet Pada Pasien. Graha Ilmu.
Jakarta.
31.Mozayani, Ashraf dan Raymon Lionel P. 2004. Handbook of Rrug Interaction
Human Press. USA.
32.Bradnam, Vicky dan White, Rebeca. 2015. Handbook of Drug Administration Via
Enteral Feeding Tubes 3rd Edition. Pharmaceutical Press. London.
33.Stump, Sylvia Escott. 2012. Nutrition and Diagnosis Related Care 7th Edition.
Lippincott William&WIlkins. North Carolina.
34.Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Divisi Diagnostik,
Departemen Radiologi FKUI, RSCM. Jakarta
35.Almatsier, Sunita. 2004. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta. Gramedia Pustaka
Utama.
37
36.Soetikno, Rista D. 2007. Pencitraan Disfagia. Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran. Bandung
37.Salma.
2010.
Efek
Stroke
Menurut
Sumber
www.Majalahkesehatan.com di akses tanggal 27 April 2015

Gangguannya.

38.Hamilton Health Scince And St. Josephs Healthcare. 2007. Medication Information
Card.
39.Setyopranoto, Ismail. 2011. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 185 Vol 38
40.Gaby, R. Aland and The Health Note. 2006. A-Z Guide to Drug-Herb-Vitamin
Interaction Revised and Expanded 2nd Edition. Healthnotes Publisher. New York
41.Nastiti, Dian. 2012. Gambaran Faktor Resiko Kejadian Stroke Pada Pasien Stroke
rawat Inap di Rumah Sakit Krakatau Medika Tahun 2011. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Masyarakat. Universitas Indonesia, Depok.
42.Food
To
Avoid
When
Taking
Plavix.
(Online)
(http://www.livestrong.com/article/329292-foods-to-avoid-when-taking-plavix/
Diakses tanggal 26 April 2015)
43.Aggrenox And Alcohol. (Online). (http:www.drugs.com/food-interactions/aspirindipyridamole-aggrenox.html Diakses Tanggal 26 April 2015)
44.Siahaan, Elfrina. 2012. Analisis Diet Stroke pada Pasien Rawat Inap di RSUD
Doloksanggul Tahun 2011. Medan :USU
45.Rosmalina, Yuniar. 2011. Perbandingan Perhitungan Energi Basal dan Energy
Expenditure pada Lansia. Jakarta : Litbang Kemenkes RI
46.Jeremy, Powel Tuck dan Hennesy. 2003. A Comparison of MUAC, BMI and Weight
Loss as Indices of Undernutrition in Acutely Hospitalized Patients. [online] dari
www.ncbi.nim.nih.gov [25 April 2015]
47.Mulyatsih, MG Enny. 2009. Pengaruh Latihan Menelan terhadap Status Fungsi
Menelan Pasien Stroke dengan Disfagia. Depok : I
48.Bay Area. 2013 Modified Barium Swallow Study. Bay Area Medical Center
49.Logemann, Jery A. 1984. Evaluation and Treatment of Swallowing Disorder.
Evansten : Northwestern Uiversity
50.Crary, Michael dkk. 2004. Functional Benefits of Dysphagia Therapy Using
Adjunctive sEMG Biofeedback. USA : University of Central Florida
51.BPOM. 2009. Potensi Interaksi OBAT Clopidogrel dan Obat Golongan Proton Pump
Inhibitors
52.Makola, Diklar M.D., MPH, Phd. 2005. Elemental and Semi-Elemental Formulars :
Are They Superior to Polymeric Formulas?. Nutrition Issues in Gastroenterology
Series #34.
53.Sir Michael Brady, Prof., FRS., FREng. 2004. Basic of MRI. Department of
Engineering Science Oxford University.
38
54.Rista D. Soetikno, Dr., Sp.Rad (K), M.Kes. 2007. Pencitraan Dysfagia. Bagian
Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP dr. Hasan Sadikin
55.Continuing Medical Implementation. 2009. Plavix patient information sheet.
Www.outoolbox.com

56.World Gastroenterology Organitation.2007. Dysphagia

39

TIM PENYUSUN

A. KETUA

RACHMI FARICHA

(125070301111005)

B. SEKERTARIS

RIZKA AYU RIFDAH I (125070300111047)

DESAK MADE TRISNA ULANDARI

(125070301111002)

C. ANGGOTA

DINAR NURITA PAMBAYUN

WANDA VEMITA

TRI ANGGI PURNASARI

NOOR HALIDAH PUJI LESTARI(145070309111039)

ROSA OCTARINA (145070309111040)

VIVIAN DEVI EKA E

REDY AMUKTI

SOFIE AYU MISRINA (125070301111001)

MAULIDATUL KHASANAH (125070301111020)

MONISKA DWIJANTI LUKIS

RUDI NURYADI

(145070309111036)

(145070309111037)
(145070309111038)

(125070300111043)

(125070300111050)

(125070302111001)

(125070307111002)

D. FASILITATOR

Anggun Rindang Cempaka

E. PROSES DISKUSI
1. KEMAMPUAN FASILITATOR DALAM MEMFASILITASI

Mampu mengarahkan berjalannya diskusi mahasiswa agar fokus pada


kompetensi dan skenario.

Mampu membantu mahasiswa dalam menggali dan memecahkan masalah


yang terdapat dalam skenario.

Mampu membantu mahasiswa untuk berpikir kritis dalam menanggapi


40
masalah pada skenario.

Mampu mendampingi mahasiswa dalam melakukan diskusi dengan lancar dan


mengarahkan apabila topik pembahasan mulai menyimpang.

2. KOMPETENSI/HASIL BELAJAR YANG DICAPAI OLEH ANGGOTA DISKUSI

Mahasiswa mampu memahami keterkaitan membuat makanan enteral.

Mahasiswa mampu memahami tentang tatalaksana diet untuk penderita


stroke.

41

You might also like