Professional Documents
Culture Documents
Nama Mahasiswa
NIM
: 11.2013.089
Dr. Pembimbing
Tanda Tangan:
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. R
Tanggal lahir
: 18 April 1975
Umur
: 39 tahun
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Pekerjaan
: Pelajar (SMP)
Tanggal datang
: 24 Februari 2015
No. RM
: 00065716
Alamat
II
PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
Autoanamnesis / alloanamnesis, tanggal : 24 Februari 2015 pukul : 16.00 WIB
Keluhan utama : Penglihatan mata kanan dan kiri kabur sejak satu bulan yang lalu
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan penglihatan kedua mata kabur saat melihat dekat
terutama saat membaca. Pasien merasa bila membaca, matanya terasa pegal. Keluhan ini
dirasakan pasien sudah 1 bulan terakhir. Pasien mengatakan untuk melihat jauh dirasakan
masih jelas. Tidak ada keluhan nyeri pada mata, mata tidak merah, tidak ada penglihatan
seperti berkabut, mata tidak silau, tidak ada keluhan seperti melihat pelangi.
Suami pasien mengatakan bahwa mata pasien lebih menonjol 2 bulan terakhir ini. Hal
tersebut tidak disadari oleh pasien dan pasien menganggap matanya baik-baik saja. Keluhan
mata menonjol ini disertai dengan keluhan mata sering berair, tidak gatal, mata tidak merah,
tidak silau, penglihatan kedua mata tidak menjadi gelap, kelopak mata tidak bengkak, mata
tidak nyeri. Pasien mengatakan matanya masih dapat berkedip dan melirik seperti biasa.
Pasien menambahkan bahwa pasien sering merasa berdebar-debar dalam 2 tahun terakhir.
1
Selain itu juga ada keluhan sering berkeringat, merasa panas, nafsu makan meningkat, berat
badan menurun, tangan sering gemetar, merasa gelisah. Tidak ada gangguan pada siklus haid,
tidak ada benjolan pada leher yang semakin hari semakin membesar, tidak ada keluhan sering
mencret dalam 2 bulan terakhir. Pasien tidak pernah periksa ke dokter sebelumnya.
Riwayat penyakit dahulu
-
III
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum
: Tampak baik
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan Darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 112x/menit
Pernafasan
: 20x/menit
Suhu
: 36,80 C
Kepala
: Normocephali
Mulut
: Normal
THT
: otore (-), rhinore (-), faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang,
Leher
Thoraks
Abdomen
Ekstremitas
peradangan (-)
: pembesaran tiroid (-)
: SNV +/+, Rh -/-, Wh -/BJ I-II reguler, M (-), G (-)
: datar, supel, BU (+) Normal
: Akral hangat, tremor (+), edema pretibial (-)
STATUS OPHTHALMOLOGIS
OD
0.4 PH 0.9
C 1,25 x 95o 1.0
S +1.00
Gerak bola mata bebas
Konvergensi baik
Enopthalmus (-)
Exophthalmus (+)
Strabismus (-)
Nyeri tekan (-)
Edema (-)
Hiperemis (-)
Retraksi eyelid (+)
Lid lag (-)
Lagophtalmus (-)
Ektropion (-)
Entropion (-)
Edema (-)
Injeksi konjungtiva (-)
Injeksi siliar (-)
Sekret serous (-)
Normal, warna putih
Bulat, jernih
Edema (-)
Infiltrat (-)
Sikatrik (-)
Jernih
Kedalaman cukup
Hipopion (-)
Hifema (-)
Kripta (-)
Edema (-)
Reguler
Letak sentral, tampak
jernih
Diameter 3 mm
Refleks pupil L/TL : (+/+)
Jernih
Jernih
(+)
C/D ratio 0,3, eksudasi (-),
Arteri : vena = 2:3
Pendarahan (-)
Neovaskularisasi (-)
PEMERIKSAAN
Visus
Koreksi
Addisi
Bulbus Oculi
Palpebra
Conjuctiva
Sclera
Kornea
Iris
Pupil
Lensa
Vitreus
Fundus refleks
Retina
OS
0.5 PH 1.0
C 1.25 x 85o 1.0
S +1.00
Gerak bola mata bebas
Konvergensi baik
Enopthalmus (-)
Exophthalmus (+)
Strabismus (-)
Nyeri tekan (-)
Edema (-)
Hiperemis (-)
Retraksi eyelid (+)
Lid lag (-)
Lagophtalmus (-)
Ektropion (-)
Entropion (-)
Edema (-)
Injeksi konjungtiva (-)
Injeksi siliar (-)
Sekret serous (-)
Normal, warna putih
Bulat, jernih
Edema (-)
Infiltrat (-)
Sikatrik (-)
Jernih
Kedalaman cukup
Hipopion (-)
Hifema (-)
Kripta (-)
Edema (-)
Reguler
Letak sentral, tampak jernih
Diameter 3 mm
Refleks pupil L/TL : (+/+)
Jernih
Jernih
(+)
C/D ratio 0,3, eksudasi (-),
Arteri : vena = 2:3
Pendarahan (-)
Neovaskularisasi (-)
3
Ablasio (-)
Normal/palpasi
Baik pada segala arah
Ablasio (-)
Normal/palpasi
Baik pada segala arah
(-)
(-)
(-)
(-)
Stellwag sign
Von graefe sign
Joffroy sign
Mobius sign
(-)
(-)
(-)
(-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
Exoftalmometer Hertel
Didapatkan hasil:
OD
OS
21 mm
19 mm
Tonometri Schiotz
Didapatkan hasil:
OD
OS
18,5 mmHg
21,9 mmHg
RESUME
Telah diperiksa wanita 39 tahun dengan keluhan penglihatan kedua mata kabur saat
melihat dekat terutama saat membaca sudah 1 bulan terakhir. Melihat jauh dirasakan masih
jelas. Nyeri (-), mata merah (-), berkabut (-), silau (-), seperti melihat pelangi (-). Mata pasien
lebih menonjol 2 bulan terakhir ini. Hal tersebut tidak disadari oleh pasien. Mata sering
berair, gatal (-), mata merah (-), silau (-), penglihatan kedua mata tidak menjadi gelap,
kelopak mata bengkak (-), nyeri pada mata (-). Berkedip (+), melirik (+). Sering berdebardebar dalam 2 tahun terakhir, sering berkeringat, merasa panas, nafsu makan meningkat,
berat badan menurun, tangan gemetar, gelisah. Gangguan pada siklus haid (-), benjolan pada
leher (-), sering mencret dalam 2 bulan terakhir (-). Pasien tidak pernah periksa ke dokter
sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: Tekanan darah 110/70 mmHg, takikardia,
pembesaran tiroid (-), tremor (+). Pada pemeriksaan oftalmologis didapatkan visus OD 0.4
PH 0.9 dan OS 0.5 PH 1.0. Edema palpebra (-), exoftalmus (+) ODS, retraksi eyelid (+) ODS,
lid lag (-), gerak bola mata bebas, pemeriksaan lain dalam batas normal.
4
DIAGNOSIS DIFFERENSIAL
DIAGNOSIS KERJA
- Proptosis et causa suspek Graves oftlamopati
Astigmatisma miopia simpleks ODS
Presbiopia
PENATALAKSANAAN
-
OD
OS
(-)
C 1,25 x 95o
S +1.00
62/60
Binoculer
(-)
C 1.25 x 85o
PROGNOSIS
Quo Ad Vitam
Quo Ad Fungsionam
Quo Ad Sanationam
BAB I
PENDAHULUAN
Tirotoksikosis adalah keadaan hormon tiroid berlebih, berbeda dengan hipertiroidisme
yang merupakan hasil dari fungsi sekresi berlebih dari tiroid. Tirotoksikosis disebabkan oleh
hipertiroidisme, baik primer, sekunder, atau tanpa hipertiroidisme. Hipertiroidisme primer
dapat disebabkan oleh Graves disease, toksik multinodular goiter, toksik adenoma, metastasis
karsinoma tiroid fungsional, pengaktifan mutasi reseptor TSH, pengaktifan mutasi Gs
(sindrom McCune-Albright), struma ovarii, dan kelebihan yodium (fenomena Jod-Basedow).
Namun, penyebab utama dari tirotoksikosis adalah hipertiroidisme primer yang disebabkan
oleh Graves disease, MNG toksik, dan adenoma toksik.1
Graves disease adalah salah satu contoh hipertiroidisme yang cukup sering diantara
kejadian tirotoksikosis. Penyakit ini disebabkan oleh kombinasi dari faktor genetik dan
lingkungan. Manifestasi dari penyakit ini antara lain pembesaran kelenjar tiroid, takikardia,
tremor, miksedema pretibial, dan kelainan pada mata. Kelainan pada mata (oftalmopati) ini
meliputi keterlibatan jaringan lunak, retraksi kelopak mata, proptosis, neuropati optik, dan
myopati restriktif.1,2 Secara umum, mata pasien dengan hipertiroidisme terlihat melotot.
Gejala pada mata tersebut dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelas dengan singkatan
NOSPECS. Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler
disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita
sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan)
dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia.
Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI.
Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus
yang akan menimbulkan kebutaan.1,2
Hal tersebut merupakan suatu kondisi yang dapat mengancam nyawa dan penglihatan
pasien, sehingga dokter umum pun harus mengerti dan dapat memberikan tatalaksana lini
pertama sebelum merujuk ke dokter spesialis mata.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Epidemiologi Graves Disease
Graves disease memiliki prevalensi sekitar 60-80% dari kejadian tirotoksikosis.
Prevalensinya bervariasi pada tiap populasi, terutama bergantung pada asupan yodium.
Penyakit ini timbul pada 2% wanita, namun hanya sepersepuluhnya saja pada pria. Penyakit
ini jarang timbul sebelum adolesens dan biasanya muncul antara usia 20 sampai 50 tahun,
namun pada usia lebih tua juga dapat terjadi.1,2
Morfologi
7
Pada kasus Graves disease yang tipikal, kelenjar tiroid membesar secara difus akibat
adanya hipertrofi dan hiperplasia difus sel epitel folikel tiroid. Kelenjar biasanya lunak dan
licin, dan kapsulnya utuh.1,2 Secara mikroskopis, sel epitel folikel pada kasus yang tidak
diobati tampak tinggi dan kolumnar serta lebih ramai daripada biasa. Meningkatnya jumlah
sel ini menyebabkan terbentuknya papila kecil, yang menonjol ke dalam lumen folikular.
Papila ini tidak memiliki inti fibrovaskular, berbeda dengan yang ditemukan pada karsinoma
papilar. Koloid di dalam lumen folikel tampak pucat, dengan tepi berlekuk-lekuk. Infiltrat
limfoid, terutama terdiri atas sel T dengan sedikit sel B dan sel plasma matang, terdapat di
seluruh intersisium, pusat germinativum sering ditemukan. Terapi praoperasi mengubah
morfologi tiroid, sebagai contoh pemberian yodium pascaoperasi menyebabkan involusi
epitel dan akumulasi koloid akibat terhambatnya sekresi tiroglobulin. Jika terapi dilanjutkan,
kelenjar mengalami fibrosis.2
Kelainan di jaringan ekstratiroid adalah hiperplasia limfoid generalisata. Pada pasien
dengan oftalmopati, jaringan orbita tampak edematosa akibat adanya glikosaminoglikan
hidrofilik. Selain itu, terjadi infiltrasi oleh limfosit, terutama sel T. Otot orbita mengalami
edema pada awalnya tetapi kemudian mengalami fibrosis pada perjalanan penyakit tahap
lanjut.
Patogenesis
Sama halnya dengan hipotiroidisme autoimun, kombinasi dari faktor lingkungan dan
genetik, misalnya polimorfisme gen HLA-DR, CTLA-4, dan PTPN22 (regulator sel T)
berkontribusi terhadap Graves disease. Kejadian penyakit ini pada kembar monozigotik
adalah 20-30%, sedangkan pada kembar dizigotik <5%. Bukti tak langsung menunjukkan
bahwa stress merupakan faktor penting yang memengaruhi sistem neuroendokrin dan sistem
8
imun. Merokok hanya menimbulkan risiko minor terhadap Graves disease dan risiko mayor
untuk pembentukan opthalmopati.
memperburuk penyakit ini, dan peluang meningkat tiga kali lipat pada periode post-partum.1,3
Hipertiroidisme
pada
Graves
disease
disebabkan
oleh
thyroid-stimulating
immunoglobulin (TSI) yang disintesis di kelenjar tiroid, seperti di nodus limpa dan sumsum
tulang.
mengaburkan keberadaan TSI, assay tersebut berguna untuk memantau wanita hamil dengan
Graves disease karena kadar TSI yang tinggi dapat melewati plasenta dan menyebabkan
tirotoksikosis neonatal. Antibodi TPO tampak pada 80% kasus dan merupakan penanda siap
ukur dari autoimunitas. Untuk jangka panjang, hipotiroidisme autoimun spontan terjadi pada
15% kasus.1,4
Sitokin memegang peranan penting dalam opthalmopati terkait tiroid.
Terdapat
infiltrasi otot ekstraokuler akibat aktivasi sel T, pelepasan sitokin (IFN-, TNF, dan IL-1)
menghasilkan aktivasi fibroblas dan peningkatan sintesis glikosaminoglikan yang menangkap
air, sehingga menuju pada bengkak otot. Pada kasus yang berkepanjangan, dapat terbentuk
fibrosis ireversibel pada otot. Fibroblas orbital cukup sensitif terhadap sitokin. Patogenesis
dari opthalmopati terkait tiroid sebenarnya masih belum jelas, namun terdapat bukti TSH-R
yang merupakan autoantigen yang diekspresikan pada orbital dan dapat dikaitkan dengan
jaringan retrobulbar. Peningkatan tekanan intraorbital dapat menuju pada proptosis, diplopia,
dan neuropati optik.1
Manifestasi Klinis dan Patofisiologi
Gejala dan tanda pada Graves disease sangat mirip dengan tirotoksikosis. Manifestasi
klinis yang muncul bergantung pada keparahan tirotokskosis, lamanya penyakit, toleransi
individu terhadap kelebihan hormon tiroid, dan usia pasien.
tirotoksikosis dapat tersembunyi, namun yang khas adalah kelelahan dan penurunan berat
badan, disebut tirotoksikosis apatetik.1,3,5
Tirotoksikosis dapat menyebabkan penurunan berat badan meskipun selera makan
meningkat akibat kenaikan laju metabolik. Kenaikan berat badan terjadi pada 5% pasien,
karena peningkatan asupan makanan. Manifestasi lainnya adalah hiperaktivitas, gelisah,
takut, dan iritabilitas, menyebabkan mudah lelah pada beberapa pasien.
Insomnia dan
gangguan konsentrasi sering terjadi, apatetik tirotoksikosis dapat menjadi rancu pada depresi
lansia. Tremor halus merupakan temuan yang sering ditemukan, mudahnya dengan menarik
jari sambil merasakan ujung jari pada telapak tangan. Gangguan neurologis lainnya meliputi
hiperrefleksia, lemah otot, dan myopati proksimal tanpa fasikulasi. Chorea merupakan ciri
yang sangat jarang. Tirotoksikosis terkadang dikaitkan dengan paralisis periodik akibat
hipokalemia, sering terjadi pada pria Asia.1,4
Tirotoksikosis biasanya dikaitkan dengan kejadian:
-
Konsentrasi total
kalsium serum meningkat pada 27% pasien, dan terjadi kenaikan kalsium serum terionisasi
sekitar 47% pasien. Konsentrasi dari alkalin fosfatase serum yang tidak tahan panas dan
osteokalsin juga meningkat. Temuan ini menunjukkan hiperparatiroidisme primer, namun
konsentrasi dari PTH imunoreaktif di serum menurun pada pasien tirotksik dengan
hiperkalsemia.5
Fungsi kardiovaskular berubah akibat peningkatan kebutuhan sirkulasi yang
disebabkan oleh hipermetabolisme dan perlu mendisipasi panas yang terbentuk. Pada saat
istirahat, resistensi perifer vaskular menurun dan curah jantung meningkat sebagai akibat
10
terjadi adalah sinus takikardia, sering berkaitan dengan palpitasi, terkadang disebabkan oleh
takikardia supraventrikular.
tekanan pulsasi melebar, dan murmur sistolik aorta yang dapat memperburuk angina pada
gagal jantung di usia tua atau usia muda dengan kelainan jantung. Fibrilasi atrial sering
terjadi pada pasien >50 tahun.5
Kulit biasanya hangat dan lembab, biasanya pasien mengeluh berkeringat dan tidak
tahan panas terutama pada cuaca panas/hangat. Selain itu dapat pula terjadi eritema palmar,
onikolisis, pruritus, urtikaria, dan hiperpigmentasi difus. Tekstur rambut tetap baik, namun
pada 40% pasien terjadi alopesia difus, yang menetap meskipun telah dikembalikan ke
eutiroid. Waktu transit gastrointestinal berkurang, menyebabkan peningkatan frekuensi feses,
seringkali diare atau steatorea ringan. Efek langsung dari hormon tiroid pada resorpsi tulang
menyebabkan osteopenia pada tirotoksikosis lama. Hiperkalsemia ringan timbul pada 20%
kasus, namun lebih sering hiperkalsiuria.
jangka panjang yang serius. Pada fase fibrosis, mata tenang, meskipun ada defek motilitas
yang tidak nyeri.7
1. Keterlibatan Jaringan Lunak
Gejala meliputi grittiness (merasa seperti ada benda asing), fotofobia, lakrimasi, dan rasa
tidak nyaman di retrobulbar.7
Tanda yang dapat dilihat pada pasien antara lain:
- Hiperemia epibulbar.
Periorbital swelling, disebabkan oleh edema dan infiltrasi dibalik septum orbital,
dapat disebabkan oleh kemosis dan prolaps lemak retroseptal ke kelopak mata.
2. Retraksi Kelopak
Retraksi kelopak mata atas dan bawah terjadi pada kurang lebih 50% pasien dengan
Graves disease dengan mekanisme:
- Kontraktur fibrosis dari levator yang berkaitan dengan perlekatan dengan jaringan
orbital. Fibrosis pada otot rektus inferior dapat menyebabkan retraksi kelopak mata
-
bawah.
Reaksi berlebih terhadap levator rektus superior sebagai respons terhadap hipotrofi
akibat fibrosis dan kekakuan otot rektus inferior. Reaksi ini dapat pula disebabkan
secara tidak langsung oleh fibrosis otot rektus superior.
12
Reaksi berlebih dari otot Muller sebagai akibat dari overstimulasi simpatis karena
kondisi hipertiroid.7
Tanda yang muncul yaitu ketika sklera terlihat di bawah limbus. Tanda lain yang dapat
ditemukan antara lain:
- Tanda Dalrymple
Tanda Kocher
3. Proptosis
Propotosis dapat terjadi unilateral, bilateral, aksial, simetris, atau asimetris, dan seringkali
permanen. Proptosis berat dapat menyebabkan keratopati eksposur, ulkus kornea, dan
infeksi.7
13
4. Myopati Restriktif
Sebagian pasien (30-50%) dengan penyakit mata tiroid mengalami oftalmoplegia dan
dapat menjadi permanen. Motilitas okular dibatasi oleh edema inflamasi dan fibrosis.
Tekanan intraokular dapat meningkat karena adanya penekanan okular oleh otot rektus
inferior yang fibrosis.7 Bentuk kelainan motilitas okular antara lain:
- Defek elevasi akibat kontraktur fibrosis pada otot rektus inferior, yang menyerupai
kelumpuhan otot rektus superior.
Defek abduksi akibat fibrosis otot rektus medialis, yang mencetuskan kelumpuhan
nervus VI.
Defek depresi sebagai akibat tidak langsung dari fibrosis otot rektus superior.
5. Neuropati Optik
Neuropati optik jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang serius akibat penekanan
nervus optikus atau pembuluh darah pada apeks orbital akibat kongesti dan pembesaran
otot rektus. Penekanan tersebut dapat terjadi tanpa proptosis yang signifikan, tetapi dapat
menyebabkan gangguan penglihatan berat yang dapat dicegah. Gangguan yang terjadi
biasanya pada penglihatan sentral.7
Kelas
1,
awal
Kelas
konjungtiva (khemosis).
3 ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi
dengan Hertel exophthalmometer.
Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata
Inflamasi otot ekstraokular, yaitu adanya infiltrasi selular yang pleomorfik, berhubungan
dengan peningkatan sekresi glikosaminoglikan dan imbibisi osmotik air.
Otot-otot
tersebut membesar hingga dapat mencapai 8 kali normal, lalu menekan nervus optikus.
Degenerasi dari serat otot menyebabkan fibrosis, sehingga terjadi myopati restriktif dan
-
diplopia.7
Infiltrasi sel inflamasi, yaitu limfosit, sel plasma, makrofag, dan sel mast dari jaringan
intersisial, lemak orbital, dan kelenjar lakrimal dengan penumpukan glikosaminoglikan
dan retensi cairan. Hal ini menyebabkan volume orbital meningkat dan secara tidak
langsung meningkatkan tekanan intraorbital yang menyebabkan retensi cairan berlebih.8,9
Diagnosis Banding
Diagnosis dari Graves disease langsung dilihat dari konfirmasi biokimia
tirotoksikosis, goiter difus pada palpasi, opthalmopati, TPO dan antibodi TSH-R positif, dan
16
Untuk pasien
dengan tirotoksikosis yang tidak menunjukkan mayoritas gejala tersebut, maka diagnostik
yang paling penting adalah scan radionuklida ( 99mTc,
123
I, atau
131
membedakan difusnya dengan penyakit nodul tiroid, tiroiditis destruktif, jaringan tiroid
ektopik, dan tirotoksikosis tiruan.
penyekresi pituitari, terdapat pula goiter difus. Manifestasi klinis dari tirotoksikosis dapat
menyerupai kelainan lain, misalnya serangan panik, mania, feokromositoma, dan penurunan
berat badan yang disertai keganasan.1,7
Tatalaksana Oftalmopati Graves
Berdasarkan konsensus yang disepakati oleh European Group on Graves Orbitopathy,
penatalaksanaan dari oftalmopati Graves memiliki prinsip antara lain:
1. Merujuk pasien dengan oftalmopati Graves ke rumah sakit dengan spesialis mata
Pasien harus dirujuk dengan segera bila terdapat gejala yang bersifat sight threatening
seperti penurunan visus, perubahan intensitas dan kualitas warna, corneal opacity, atau
edema makula.
2. Manajemen masalah oleh kalangan nonspesialis
Faktor risiko yang dapat mengakibatkan oftalmopati Graves adalah merokok dan
disfungsi tiroid.
T : Tobacco abstinence
E : Euthyroidism must be achieved
A : Artificial tears
R : Referral to a specialist centre with experience10
17
Steroid sistemik
Orbitopati fase akut akibat neuropati optik kompresif biasanya ditangani dengan
kortikosteroid oral. Dosis awal biasanya 1-1,5 mg/kgBB prednison. Dosis ini
dipertahankan selama 2 hingga 8 minggu sampai respon klinis terlihat. Dosis
kemudian dikurangi sesuai dengan kondisi pasien, berdasarkan respon klinis dari
fungsi saraf optik. Injeksi metilprednisolon dengan dosis 500 mg dalam 200-500
ml cairan isotonis (normal saline) dapat diberikan pada kompresi optik akut.
Radioterapi
18
Radiasi dapat diberikan sebagai ajuvan dari penggunaan steroid, atau ketika
steroid menjadi kontraindikasi. Secara keseluruhan 60% hinggan 70% pasien
memiliki respon yang baik dengan radiasi, walaupun rekuren terjadi lebih dari
25% pasien. Perbaikan diharapkan selama 6 minggu, dengan perbaikan maksimal
-
dalam 4 bulan.
Terapi kombinasi
Penelitian menyatakan bahwa penggunaan Azothiaprine dengan prednisolon dosis
rendah lebih efektif daripada terapi tunggal.8,9
b. Dekompresi pembedahan
Dekompresi dengan cara pembedahan merupakan pilihan utama terapi ketika terapi
non invasif tidak efektif lagi. Dekompresi bertujuan untuk meningkatkan volume orbit
dengan membuang tulang dan lemak disekitar rongga orbital.
4. Miopati Restriktif
Penatalaksanaan miopati restriktif adalah dengan pembedahan.
Tujuan pembedahan
Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38C sampai mencapai 41C disertai dengan
19
Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan hormon
tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan
T3 didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan
kadarnya pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid. Juga tidak ada bukti yang kuat
bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan produksi triiodothyronine yang hebat. Dari
beberapa studi terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap
katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang
ada didalam sirkulasi.1,5
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh
kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis tirotoksikosis,
kelahiran prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme dapat juga
menimbulkan preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung kongestif,
tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah serta peningkatan
angka kematian perinatal.1,5
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan tinjauan pustaka dari makalah ini, dapat disimpulkan bahwa:
-
Graves disease memiliki manifestasi klinis pada berbagai sistem seperti metabolik,
DAFTAR PUSTAKA
1. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the thyroid gland. In: Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, et al. Harrisons principles of internal medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill
Medical. 2012; 2233-37.
2. Wilson LM. Graves Ophthalmopathy. Dalam: Scientists at Tehran University of Medical
Sciences Target Graves Ophthalmopathy. Updated 7 Juli 2012. Diunduh 10 Maret 2015.
http://search.proquest.com/docview/1022330267/fulltext/F037442DB8F54183PQ/1?
accountid=50673
21
3. Price SA. Graves Ophthalmopathy. Dalam: Reports from General Hospital Describe
Recent Advances in Graves Ophthalmopathy. Update 30 Juni 2012. Diunduh 10 Maret
2015.
http://search.proquest.com/docview/1021194001/B1B3AE2FD1C14B73PQ/23?
accountid=50673
4. Maitra A, Kumar V. Sistem endokrin. Dalam: Kumar V, Cotran R, Robbins SL. Buku ajar
patologi. 7th ed. Penerjemah: Prasetyo A, Pendit BU, Priliono T. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2010; 813-15.
5. Moeljanto RD. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi kelima. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Indonesia. 2010; 2009-15.
6. Matfin G, Kuenzi JA, Guven S. Disorders of endocrine control of growth and
metabolism. In: Porth CM. Pathophysiology-concepts of altered health states. 7 th ed.
USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2011; 975.
7. The thyroid gland. In: Gardner DG, Shoback D. Greenspans basic & clinical
endocrinology. 8th ed. McGraw Hill. 2011.
8. Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophtalmology: a systematic approach. 7th ed. China:
Elsevier. 2011.
9. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asburys General Ophthalmology. 17th ed. USA:
McGraw-Hill. 2007.
22