Professional Documents
Culture Documents
Oleh : Haris, SH
A. Pendahuluan
Kejahatan adalah sudah ada sejak dahulu kala di dalam suatu masyarakat, dan
dapat dikatakan sebagai suatu penyakit masyarakat. Menurut pendapat Kartini
Kartono: Crime atau kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan
melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya.1
Dan sepanjang sejarah hal tersebut adalah merupakan suatu hal yang ditakuti
oleh masyarakat, tetapi hal tersebut selalu ada di dalam masyarakat karena
merupakan suatu penyakit. Seorang ahli sosiologi berpendapat dari sudut
sosiologis.
Bahwa kejahatan itu bersumber di masyarakat, masyarakat yang memberi
kesempatan untuk melakukan kejahatan dan masyarakat sendiri yang
menanggung akibatnya dari kejahatan itu walaupun secara tidak langsung,
oleh karena itu untuk mencari sebab-sebab kejahatan adalah di
masyarakat2
Pendapat tersebut di atas menitik beratkan bahwa penyebab dari tindak
kejahatan/tindak pidana adalah karena masyarakat memberi kesempatan terhadap
timbulnya kejahatan. Tetapi di lain pihak ada yang berpendapat lain seperti apa
yang dikemukakan Cesare Lombroso seorang dokter Italia yang bekerja di
penjara-penjara. Hasil-hasil penelitian Lombroso atas narapidana di penjarapenjara telah melahirkan teori-teori Lombroso yang telah mempengaruhi tentang
sebab kejahatan pada saat itu yaitu:
Type-type kriminal dengan prinsip-prinsip atavisme yang menyatakan
adanya proses kemunduran kepada pola-pola primitif dari speciesnya yaitu tibatiba muncul ciri-ciri milik nenek moyang, yang semula lenyap selama berabadabad, dan kini timbul kembali.3
Di lain pihak para ahli kriminologi dan sosiologi yang berpendapat lain yakni
mereka berpendapat: Kondisi lingkungan yang tidak waras merupakan tempat
persemayaman bagi kejahatan (Evil Resides in an imperfect environment).4
Dan inipun masih ada lagi pendapat Aristoteles (384. 322 S.M) yang
menyebutkan: Adanya hubungan di antara masyarakat dan kejahatan yaitu
dalam wujud peristiwa kemiskinan menimbulkan pemberontakan dan kejahatan.5
Kejahatan memang merupakan gejala masyarakat yang amat sangat
mengganggu ketenteraman, kedamaian serta ketenangan masyarakat yang
seharusnya lenyap dari muka bumi ini, namun demikian seperti halnya siang dan
malam, pagi dan sore, perempuan dan laki-laki, maka kejahatan tersebut tetap
akan ada sebagai kelengkapan adanya kebaikan, kebajikan dan sebagainya.
Hal ini akan nampak pula ada ungkapan di bawah: kejahatan yang selalu
akan ada, seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang, seperti halnya
musim yang akan berganti-ganti dari tahun ke tahun.6
Dari ungkapan di atas maka jelaslah bahwa walaupun kejahatan merupakan
suatu gangguan terhadap ketentraman, ketenangan dan keamanan masyarakat
yang harus dihilangkan dari muka bumi ini, namun sesuai dengan sifat kodratnya
sebagai kebalikan dari adanya kebaikan, maka kejahatan tersebut akan selalu ada
dan akan tetap ada di muka bumi ini tidak dapat dimusnahkan sama sekali.
Yang menarik dalam perkembangan kejahatan itu ialah akhir-akhir ini tidak
sedikit wanita-wanita yang terlibat dalam tindak kejahatan yang sebelumnya
hanya lazim dilakukan laki-laki, misalnya ikut serta dalam penodongan,
perampasan kendaraan bermotor, pembunuhan atau bahkan otak perampokan.
Maka citra wanita yang seolah-olah lebih bertahan terhadap kejahatan, mulai
pudar. Kenyataan ini menimbulkan keprihatinan di sementara kalangan wanita,
sebab sampai sekarang secara diam-diam wanita dianggap sebagai benteng
terakhir meluasnya kriminalitas.
Hukum sendiri sebenarnya sudah memberi peringatan bahwa barang siapa
yang mengadakan pelanggaran hukum baik itu laki-laki ataupun wanita dapat
dihukum yang sesuai dengan perbuatannya. Hal tersebut telah dijelaskan di dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 2, yang berbunyi sebagai
berikut: Ketentuan pidana dalam Undang-undang Indonesia berlaku bagi orang
yang dalam Indonesia melakukan sesuatu perbuatan yang boleh dihukum
(peristiwa pidana).7
Berdasarkan pada KUHP pasal 2 tersebut, maka hukum yang berlaku di
Indonesia tidak membedakan golongan, suku, maupun jenis kelamin, baik itu pria
maupun wanita adalah sama dalam mentaati segala perundang-undangan atau
hukum yang berlaku di Indonesia.
Hukum dalam kontekstual sebenarnya cukup ideal untuk dijadikan salah
satu upaya menakut-nakuti siapapun agar tidak berbuat jahat. Namun dalam
realita tujuan itu tak mudah dicapai. Hal ini bisa dilihat dari berita majalahmajalah ataupun surat kabar-surat kabar yang sering memuat berita tentang
kejahatan, bukan saja dilakukan oleh orang laki-laki tetapi juga dilakukan oleh
wanita, dan tidak sedikit jumlah wanita yang melakukan tindak pidana baik
kejahatan atau pelanggaran saja. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Betapa
tidak, karena wanita adalah sebagai tiang negara. Rasulullah SAW bersabda :
Bahwa wanita diibaratkan sebagai tiang negara, jika wanita dalam suatu negara
itu rusak, maka rusak pula negara itu. Dan jika kaum wanita dalam suatu negara
itu baik dan shalihah, maka baik pula negara itu.8
Terasa akan lebih mencengangkan kita, jika kemudian diketahui bahwa dari
sekian jenis kejahatan yang dilakukan wanita justeru kejahatan kesusilaan (baca :
prostitusi). Anehnya justeru jenis kejahatan ini tidak sedikit diperoleh keterangan
justeru dilakukan oleh wanita dari kalangan yang berstatus mahasiswa.
Memang tidak salah jika para sepuh kita sering berujar, bahwa dunia semakin
rusak. Terbukti kenyataan sebagaimana di atas, oleh sejumlah kalangan dianggap
sudah merupakan kewajaran dalam era kekinian, dimana segala sesuatu lebih
mengedepankan kepentingan bisnis dari pada penghormatan nilai etika.
Sebagaimana dikatakan Rudy Gunawan, bahwa di era informatika dan global ini,
disadari bahwa segala sesuatu memiliki kedekatan dengan segala bentuk erotisme,
manusia semakin berlomba memanfaatkan erotisme sebagai pemenuhan prinsip
ekonomi, karena telah terbukti erotisme adalah bumbu penyedap yang membuat
produk laku keras dan dunia hiburan selalu berusaha memancing sensasi seksual
untuk menarik minat konsumen, alhasil dari padanya dihasilkan banyak uang.9
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Prostitusi mengandung makna
suatu kesepakatan antara lelaki dan perempuan untuk melakukan hubungan
seksual dalam hal mana pihak lelaki membayar dengan sejumlah uang sebagai
kompensasi pemenuhan kebutuhan biologis yang diberikan pihak perempuan,
biasanya dilakukan di lokalisasi, hotel dan tempat lainnza sesuai kesepakatan.10
Selanjutnya secara etimologis prostitusi berasal dari bahasa Inggris yaitu
Prostitute / prostitution yang berarti pelacuran, perempuan jalang, atau hidup
sebagai perempuan jalang.11 Sedangkan dalam realita saat ini, menurut kaca mata
orang awam prostitusi diartikan sebagai suatu perbuatan menjual diri dengan
memberi kenikmatan seksual pada kaum laki-laki.
Dari uraian di atas, menarik untuk dilakukan kajian tentang latar belakang
atau alasan yang menjadi faktor penyebab tindakan prostitusi itu, apalagi hal itu
dilakukan oleh para mahasiswi. Hal mana dilakukan diharapkan untuk menjadi
bahan masukan dalam upaya mencegah dan menanggulangi perbuatan dimaksud
di masa-masa dan oleh generasi-generasi mendatang. Oleh karenanya penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : Analisa Kriminologis
terhadap Prostitusi Yang Dilakukan Mahasiswi di Malang.
Sesuai dengan istilah dalam judul yang dipilih, maka permasalahan yang
hendak dikaji adalah berkaitan dengan tinjauan kriminologis. Artinya
permasalahan yang menjadi topik analisa adalah aspek faktor penyebab serta
upaya penanggulangan. Oleh karena itu dalam tulisan ini mengandung
permasalahan sebagai berikut :
(1). Faktor-faktor apakah yang menyebabkan mereka (mahasiswa) terjun
dalam dunia prostitusi ?
JENIS TEMPAT
JUMLAH
1.
Hotel-hotel
70%
2.
Rumah-rumah perorangan
30%
Jumlah
10
100%
WAKTU (JAM)
JUMLAH
1.
Malam hari
60%
2.
Siang hari
40%
Jumlah
10
100%
USIA
JUMLAH
1.
Tingkat 1
2.
Tingkat 2
10%
3.
Tingkat 3
20%
4.
Tingkat 4
20%
5.
Tingkat atas
50%
Jumlah
10
100%
Tabel III
Data Sunber Penghasilan Ekonomi Pelaku Prostitusi
NO
JUMLAH
1.
Orang tua
20%
2.
Mandiri
50%
3.
30%
Jumlah
10
100%
JUMLAH
1.
10%
2.
Rutin Ibadah
10%
3.
80%
Jumlah
10
100%
JENIS MOTIF/PENYEBAB
JUMLAH
1.
Kesenangan
20%
2.
Ekonomi
50%
3.
Lingkungan
30%
Jumlah
10
100%
2. Faktor Eksternal, yaitu faktor penyebab yang ditimbulkan dari luar diri
individu yang bersangkutan, seperti faktor lingkungan, ekonomi, atau lainnya.
Ciri dari faktor ini adalah adanya faktor di luar individu yang baik disadari
atau tidak, mampu menggerakkan, mendorong atau membentuk perilaku
menyimpang tersebut.
a. Faktor lingkungan
Faktor Lingkungan sebagaimana dikemukakan sebelumnya faktor ini
tak dapat disangkal lagi faktor ini mempunyai pengaruh yang besar
terhadap penentuan sikap atau tindakan seseorang baik sebagai individu
maupun sebagai makhluk masyarakat. Dalam kaitannya dengan faktor
lingkungan ini tokoh penting dari mashab Perancis atau mashab
lingkungan G. Trade mengatakan bahwa :Kejahatan bukan suatu gejala
yang antropologis tapi sosiologis, yang seperti kejadian-kejadian
masyarakat lainnya dikuasai oleh peniruan.23
Pendapat di atas, juga dipertegas oleh para ahli kriminologi dan
sosiologi yang berpendapat bahwa : Kondisi lingkungan yang tidak waras
merupakan tempat persemayaman bagi kejahatan (Evil Resides in an
imperfect environment).24
Sutherland dalam bukunya Principle of Criminology bahwa kejahatan
terjadi disebabkan oleh tiga faktor yang berpengaruh secara timbal balik
yaitu:
a. Pemilihan pekerjaan ditentukan oleh bakat maupun lingkungan;
b. Norma-norma jabatan, terutama di dalam pekerjaan yang terus
menerus menimbulkan kontak;
c. Kesempatan yang diberikan oleh pekerjaan.25
Jadi setiap manusia dalam kebiasaan hidupnya dan pendapatnya selalu
mengikuti keadaan lingkungan dimana ia hidup. Atau dengan perkataan
lain, keadaan lingkungan dimana seseorang biasanya hidup, berpengaruh
besar terhadap tingkah laku dan perbuatan orang tersebut.
Dalam uraian kasus sebelumnya nyata-nyata ada pengakuan jujur dari
pelaku prostitusi bahwa sikapnya dilatarbelakangi oleh ikut-ikutan saja
alias pengaruh pergaulan. Kasus demikian sangat relevan dengan teoriteori causa kejahatan di atas.
b. Faktor Ekonomi
Mengenai upaya hukum apa yang dilakukan pihak kepolisian terhadap praktek
prostitusi, secara sederhana dapat meliputi :
1. Melakukan patroli rutin
Patroli yang dimaksud disini adalah pemantauan secara langsung terhadap
obyek-obyek yang diduga rawan kejahatan, dalam hal ini ditengarai adanya
praktek prostitusi.
Patroli biasanya dilakukan secara rutin dan berkala, terutama hari-hari yang
potensi dilakukannya prostitusi seperti sabtu malam ataupun minggu malam,
namun dalam hal ini biasanya dilakukan bersamaan dengan operasi narkoba.
Dalam patroli ini pihak kepolisian menugaskan anggota satuan reskrim
dengan menyamar sebagai pengunjung, sangat jarang bahkan hampir tidak pernah
memakai seragam kepolisian.
Oleh karena itu yang bisa dilakukan oleh pihak kepolisian hanya melakukan
patroli secara sidak, sebagai upaya penanggulangan semata. Dan biasanya pihak
pengelola lebih lihai dalam menyiasati kehadiran petugas.30
Jika ada laporan, biasanya pihak Kepolisian segera menindaklanjuti dengan
penugasan terhadap anggota untuk melakukan pengecekan dan permintaan
keterangan pihak hotel, tapi selama ini belum pernah terbukti setiap laporan itu
ternyata hanya dugaan-dugaan saja, sebab ternyata setelah diadakan investigasi
tidak terbukti adanya prostitusi.31
2. Melakukan tindakan persuasif
Tindakan yang dimaksud adalah meminta keterangan para pengelola hotel
atas adanya laporan atau pengaduan serta indikasi adanya praktek prostitusi.
Langkah ini dilakukan dengan penuh hati-hati. Tindakan tersebut belum bisa
dikategorikan penyelidikan ataupun penyidikan.
Tindakan pihak kepolisian terhadap pengaduan/ laporan atau dugaan adanya
praktek prostitusi di beberapa hotel, sangatlah hati-hati, mengingat tindakan yang
diambil harus ada payung hukum atau pasal yang dijeratkan pada tindakan pelaku.
Misalnya jika dilakukan di hotel-hotel, para pelaku diancam dengan pasal apa ?.
Perzinahan misalnya memerlukan pengaduan, percabulan, terkendala mahasiswi
maupun konsumen rata-rata sudah berusia di atas 16 tahun, perbuatan merusak
rasa kesusilaan, juga tidak memenuhi unsur-unsur pasal tersebut, mengingat sudah
merupakan kemauan atau kehendak bersama, apalagi dalam ruangan tertutup yang
tidak memungkinkan orang lain melihat tanpa kemauannya. Oleh karenaya pihak
Polri hanya mempersoalkan pengelola hotel berkaitan dengan ijin usaha yaitu
peruntukannya. Bukankah hotel menurut ijin usahanya peruntukannya adalah
untuk penginapan?, sehingga yang dilakukan adalah meneruskan kasus kepada
instansi yang membuat ijin usaha tersebut, artinya pihak kepolisian sifatnya
meminta supaya ijin dicabut.32
E. Kesimpulan & Saran
DAFTAR PUSTAKA