Professional Documents
Culture Documents
dalam Bisnis
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis dan Profesi
Dosen : Prof. Iwan Triyuwono, SE., M.Ec., Ph.D., Ak
Disusun oleh :
Decha Kusumaning Tyas
(125020307111032)
(125020307111046)
Elok Hendiono
(125020307111050)
( 125020307111063)
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JURUSAN AKUNTANSI
MALANG
2015
Bab 11
Etika dalam Bisnis Internasional
Norma-Norma Moral yang Umum pada Taraf Internasional?
Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika
filosofis adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Richard De George membicarakan tiga
jawaban atas masalah itu. Berikut ketiga jawaban :
1. Menyesuaikan Diri
Bisnis harus menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di tempat itu.
Kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini maksudnya norma-norma moral
yang penting berlaku di seluruh dunia. Sedangkan norma-norma non-moral untuk
perilaku manusia bisa berbeda di berbagai tempat. Sehingga memperhatikan situasi
yang berbeda turut mempengaruhi keputusan etis.
2. Rigorisme Moral
Rigorisme moral adalah mau mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di
negerinya sendiri. Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya
sendiri, tidak mungkin menjadi kurang baik di tempat lain. Kebenaran yang dapat
ditemukan dalam pandangan ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku
moral kita.
3. Imoralisme Naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional harus memenuhi ketentuanketentuan hukum (sejauh ketentuan itu ditegakan di negara bersangkutan) tetapi tidak
terikat oleh norma-norma moral.
Penilaian:
Dalam norma-norma moral yang umum pada taraf internasional, memang
perlu dan harus produsen untuk menyesuaikan diri dengan di mana produk
mereka dipasarkan yang bertujuan agar produk mudah diterima masyarakat
sekitar. Namun sebagai produsen tidak perlu untuk menghilangkan jati diri
produk tersebut berasal, karena hal tersebutlah yang akan membedakan produk
yang satu dengan yang lain. Produsen harus mampu menerapkan think
globally, do locally.
Masalah Dumping dalam Bisnis Internasional
Dumping adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain
dengan harga di bawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi. Para
konsumen justru merasa beruntung sekurang-kurangnya dalam jangka pendek karena dapat
membeli produk dengan harga murah, sedangkan para produsen menderita kerugian karena
tidak sanggup menawarkan produk dengan harga semurah itu.
Dumping produk bisa terjadi karena si penjual mempunyai persediaan terlalu besar,
sehingga ia memutuskan untuk menjual produk bersangkutan di bawah harga saja. Motif
lebih jelek adalah berusaha untuk merebut monopoli dengan membanting harga. Kwik Kian
Gie menegaskan bahwa menekan harga ekspor dengan memberikan upah yang tidak adil
menurutnya tergolong dumping juga. Jika faktor penyusutan aktiva sepenuhnya dibebankan
kepada harga produk yang dijual di dalam negeri sedangkan faktor itu tidak dikalkulasikan
dalam harga ekspor, keadaan itu harus dinilai sebagai dumping.
Penilaian:
Sebenarnya praktek dumping produk itu tidak etis karena melanggar etika
pasar bebas. Kelompok bisnis yang ingin terjun ke dalam bisnis internasional
harusnya melibatkan diri untuk menghormati keutuhan sistem pasar bebas
yang ada. Dalam menangani dumping dibutuhkan suatu pengertian jelas yang
diterima secara internasional dan suatu prosedur obyektif yang
menerapkannya.
Selain itu, terdapat usaha internasional yang dibentuk untuk membuat kode etik bagi
kegiatan korporasi-korporasi multinasional di dunia ketiga seperti Guidelines for
Multinational Enterprises dari OECD.
Menurut De George, ada sepuluh aturan etis yang terpenting bagi korporasi
multinasional dalam hubungan bisnisnya dengan Negara berkembang, diantaranya adalah :
1. Koorporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung.
2. Koorporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian
bagi negara dimana mereka beroperasi.
3. Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi kepada
pembangunan negara dimana dia beroperasi.
4. Koorporasi multinasional harus menghormati HAM dari semua karyawannya.
5. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi multinasional
harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan
menantangnya.
6. Koorporasi multinasional harus membayar pajak yang fair
7. Koorporsi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam
mengembangkn dan menegakkan backgroud institutions yang tepat.
8. Negara yang memiliki mayoritas sham sebuah perusahaan harus memikul tanggung jawab
moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.
9. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib
menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
10. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, korporasi
multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat
dipakai dengan aman dalam negara yang belum berpengalaman.
Masalah Korupsi pada Taraf Internasional
Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf internasional, namun perhatian yang
diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika bisnis terutama diarahkan kepada
konteks internasional.
1. Skandal Suap Lockheed dan usaha mencegah terjadinya kasus serupa
Sekitar tahun 1970-an, produsen pesawat terbang Amerika Seikat Lockheed,
terlibat dalam sejumlah kasus suap ketika mengusahakan pemasaran beberapa pesawatnya.
Setelah ketahuan, semua kasus ini menimbulkan reaksi cukup hebat, baik di Negara tempat
kejadian maupun di Amerika Serikat tempat produksi perusahaan Lockheed. Di Amerika
Serikat, kasus suap Lockheed ini menjadi salah satu skandal bisnis paling menggemparkan
yang dikenal dalam sejarah Amerika Serikat dan diperiksa oleh instansi kehakiman Amerika
sampai detail-detail terkecilnya. Menurut sebuah laporan, antara tahun 1974 sampai 1976,
sekurang-kurangnya 435 perusahaan di Amerika diketahui terlibat dalam pembayaran tidak
regular kepada pejabat-pejabat atau partai politik di luar negeri. Dalam artian tertentu,
Lockheed adalah kambing hitam dalam menentang suatu praktek yang tidak terbatas pada
satu dua perusahaan saja. Usaha-usaha dalam rangka PBB membuat peraturan anti-korupsi
yang akan diterima oleh semua korporasi multinasional sampai saat ini selalu gagal. Dari
kasus suap Lockheed ini, kami menarik kesimpulan bahwa pencegahan yang dapat dilakukan
untuk memberantas korupsi pada taraf internasional adalah dengan memberlakukan undangundang yang jelas secara resmi terkait masalah korupsi dan melakukan sosialisasi secara
internasional agar disetujui oleh pebisnis-pebisnis internasional.
Mengapa Pemakaian Uang Suap Bertentangan dengan Etika ?
Alasan dari pertanyaan ini pertama adalah praktek suap itu melanggar etika. Harga
yang sudah terbentuk karena pertarungan daya-daya pasar dilumpuhkan oleh praktek suap
sehingga para pesaing yang memiliki produk sama baiknya tidak akan mempengaruhi proses
penjualan. Menurut kami ini sangat tidak fair bagi orang lain yang tetap pada aturan. Produkproduknya yang sama mutunya atau bahkan lebih baik hanya tersingkirkan karena kurangnya
atau tidak dilakukannya praktek suap. Ini juga akan mengakibatkan banyak pedagang yang
ikut-ikutan melakukan suap sehingga usahanya dapat tetap berlangsung atau bahkan
membuat perusahaan lain bangkrut karena tidak mampu menyuap agar meningkatkan
penjualan mereka. Berperilaku tidak moral sama juga tidak baik secara ekonomis.
Yang kedua adalah tidak etis karena orang yang tidak berhak, menerima imbalan juga.
Setuju sekali karena maksudnya disini dalam proses jual beli, salah satu atau kedua pihak
seharusnya tidak mendapat imbalan apapun. Tapi dengan adanya suap yang menggunakan
kekuasaan untuk melakukannya sehingga terdapat imbalan bagi orang yang tidak berhak.
Ketiga adalah suap diberikan dalam keadaan langka. Dalam hal ini misalnya kasus
bahan baku kertas yang langka, ini membuat produsen kertas kebingungan. Kemudian salah
satu produsen itu menyuap supplier bahan baku kertas untuk memberikan semua bahan
bakunya kepada produsen itu saja sehingga produsen kertas lainnya akan kehabisan bahan
untuk memproduksi kertas. Ini adalah persaingan pasar yang tidak fair dimana jika salah satu
produsen saja yang dapat memproduksi, secara tidak langsung ini akan menjadikan keadaan
memonopoli pasar dalam sementara waktu saat keadaan langka itu. Produsen yang menyuap
bisa bersenang-senang karena pelanggan hanya bertuju pada produknya tetapi tindakan ini
merugikan lainnya dan tidak etis.
Alasan keempat adalah perbuatan suap akan mengundang untuk melakukan perbuatan
etis lainnya. Karena dengan adanya suap, perusahaan akan bingung untuk memasukkan uang
itu pada akun promosi atau apa, sehingga ia akan menyembunyikannya pada laporan
keuangan sehingga berakhir pada tidak dimasukkan pada laporan keuangan yang berarti si
penerima tidak akan membayar pajak pendapatan itu. Sangat setuju jika dalam hal ini praktek
suap dianggap dengan bola salju yang terus menggelinding. Mungkin dalam pikiran kita
praktek suap hanya penipuan kecil, tetapi jika kita tidak terus-menerus berbohong mengenai
hal ini maka akan ketahuan bahwa kita melakukan kecurangan sehingga penipuan kecil ini
berlanjut terus hingga menjadi besar.
Bab 12
Peranan Etika dalam Bisnis
2. Ethical auditing
Suatu inisiatif yang menarik adalah pemeriksaan atas kinerja etis dan sosial
perusahaan oleh sebuah institut independen. Di Amerika Serikat inisiatif itu baru dilaporkan
dalam dasawarsa 1980-an, sedangkan di Eropa baru tampak akhir-akhir ini. Selain ethical
auditing dipakai juga nama ethical accounting, social auditing, stakeholder auditing, social
performance report dll. Tentang isinya bervariasi kadang-kadang aspek etis diperikasa dalam
kerangka sosial yang lebih luas. Tapi bisa juga dari segi etika disoroti dengan eksplisit
terutama jika kode etik perusahaan menjadi obyek langsung dari pemeriksaan.
Untuk menilai kinerja finasnial sebuah perusahaan sudah lama ada standar-standar
acounting yang diterima secara nasional dalam suatu negara dan malah secara internasional.
Untuk menilai kualitas manajemen sudah terbentuk standar juga seperti ISO 9000. Kode etik
tidak lagi sebatas perhiasan saja. Pemeriksaan atas kinerja etis dan sosial itu tidak saja
dilakukan terhadap perusahaan tapi juga terhadap organisasi nirlaba. Organisasi-organisasi
seprti itu pun harus berpegang pada standar-standar etis, entah mereka memiliki kode etik
tertulis atau tidak.
perusahaan yang mencapai sukses juga. Berikut adalah beberapa catatan sebagai penutup
yang menjabarkan etika dalam bisnis :
1. Etika bisnis hanya bisa berperan dalam suatu komunitas moral. Moralitas bukan
hanya merupakan suatu komitmen individual saja, tetapi tercantum dalam suatu
kerangka sosial. Kalangan bisnis sebagai keseluruhan harus berusaha mengubah
haluan moral dan menuntut agar penguasa di atas menjamin suatu kerangka moral
yang sehat. Namun membangun suatu etika bisnis yang baik tetap akan merupakan
suatu perjuangan berat tetapi perjuangan juga yang sangat diperlukan.
2. Orang yang berpendapat dengan berpegang pada etika pasti kalah kemungkinan besar
terlalu menitikberatkan jangka pendek dalam proses berbisnis dan mengabaikan
jangka panjang yang justru paling hakiki untuk berhasil dalam bisnis.
3. Mereka yang meragukan perlunya etika dalam bisnis, sebaiknya tidak melupakan
sejarah industrialisasi dan khusunya perjuangan anatara liberalisme dan sosialisme
yang berlangsung disitu. Para pekerja harusnya diakui sebagai stakeholders yang
paling penting dan menjadi trade mark dari industri yang dibangun.
4. Akhirnya yang belum diyakinkan tentang pentingnya etika dalam bisnis perlu
mempertimbangkan persepsi dunia luar tentang kinerja bisnis Indonesia. Dalam forum
internasional Indonesia dinilai termasuk negara yang paling korup. Sejak beberapa
tahun ada cara lebih obyektif lagi untuk memandang kenyataan itu. Lembaga
Transparency International yang berkedudukan di Berlin, Jerman setiap tahun
mempublikasikan Corruption Perceptions Index (Indeks Persepsi Korupsi). Lembaga
ini mendapat kredibilitas internasional dan bekerja sama dengan beberapa instansi
internasional yang penting. Dalam indeks mereka sudah beberapa tahun berturut-turut
tampak bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara yang paling korup di
dunia. Tahun 1999, Indonesia menempati urutan ke 97 dalam daftar 99 negara dengan
skor 1,7 pada skala 10. Jelas jika kekurangan moralitas dalam kegiatan bisnis yang
berlangsung terus semua sebagai bangsa kalah terhadap negara-negara tetangga dan
negara-negara lebih jauh yang berhasil menjalankan ekonominya dengan efisien.
Realisasi AFTA dan APEC tinggal beberapa tahun lagi. Seperti halnya dengan
ekonomi, moralitas pun merupakan suatu kenyataan universal yang berdampak
universal pula.