You are on page 1of 23

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN..................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Konjungtiva..........................................................................3
B.Histologi Konjungtiva..........................................................................4
C.Definisi & Etiologi...............................................................................6
D. Patofisiologi........................................................................................ 6
E. Gejala dan tanda klinis........................................................................ 7
F. Diagnosis & Diagnosis Banding.......................................................... 16
G. Komplikasi.......................................................................................... 19
H. Penatalaksanaan.................................................................................. 19
I. Prognosis.............................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA.

22

BAB I
PENDAHULUAN

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan
posterior kelopak mata (konjungtiva palpebra) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva
bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak mata (persambungan
mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva mengandung kelejar musin yang
dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.1,2
Karena lokasinya, konjungtiva terpapar terhadap mikroorganisme dan faktor lingkungan
lain yang menganggu. Air mata merupakan mekanisme perlindungan permukaan mata yang
penting. Pada film air mata, komponen akueosa mengencerkan materi infeksi, mukus menangkap
debris, dan aktivitas pompa dari palpebra secara tetap membilas air mata ke duktus air mata.Air
mata mengandung substansi antimikroba, termasuk lizosim dan antibody (IgG dan IgA).Agen
infeksi tertentu dapat melekat dan mengalahkan mekanisme pertahanan normal dan memicu
reaksi peradangan sehingga timbul gejala klinis konjungtivitis.1,2,3
Konjungtivitis virus adalah penyakit mata yang umum ditemukan baik di Indonesia
maupun di seluruh dunia.Karena begitu umum dan banyak kasus yang tidak dibawa ke perhatian
medis, statistik yang akurat pada frekuensi penyakit tidak tersedia.Pada penelitian di
Philadelphia, 62% dari kasus konjungtivitis penyebabnya adalah virus. Sedangkan di Asia Timur,
adenovirus dapat diisolasi dari 91,2% kasus yang didiagnosa epidemic keratoconjunctivitis.
Infeksi virus sering terjadi pada epidemi dalam keluarga, sekolah, kantor, dan organisasi militer.3
Gejala klinis konjungtivitis virus dapat terjadi secara akut maupun kronis.Manifestasi
konjungtivitis virus beragam dari mulai gejala yang ringan dan sembuh sendiri hingga gejala
berat yang menimbulkan kecacatan.Umumnya pasien datang dengan keluhan mata merah
unilateral yang dengan segera menyebar ke mata lainnya, muncul sekret berwarna bening,
bengkak pada palpebra, pembesaran kelenjar preaurikuler, dan pada keterlibatan kornea dapat
timbul nyeri dan fotofobia. Terdapat pula gejala-gejala khas pada tipe virus tertentu yang akan
dibahas kemudian.1,2
Diagnosis konjungtivitis virus ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang yang mendukung.Anamnesis yang teliti mengenai keluhan utama dan
riwayat terdahulu disertai adanya gejala klinis yang sesuai biasanya sudah dapat mengarahkan
1

pada diagnosis konjungtivitis virus.Pemeriksaan sitologi maupun biakan dari kerokan


konjungtiva

maupun

sekret

dapat

membantu

membedakan

agen

penyebab

konjungtivitis.Pemeriksaan serologi juga dapat membantu membedakan tipe-tipe virus penyebab


konjungtivitis.Konjungtivitis virus harus dibedakan dengan penyebab mata merah yang lain
seperti konjungtivitis oleh bakteri/alergi, keratitis, uveitis, dan glaucoma akut.1,2
Penatalaksanaan konjungtivitis viral biasanya bersifat suportif dan merupakan terapi
simptomatis, belum ada bukti yang menunjukkan keefektifan penggunaan antiviral. Umumnya
mata bisa dibuat lebih nyaman dengan pemberian cairan pelembab. Kompres dingin pada mata 3
4 x / hari juga dikatakan dapat membantu kesembuhan pasien. Penggunaan kortikosteroid
untuk penatalaksanaan konjungtivitis viral harus dihindari karena dapat memperburuk infeksi.1,2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang membatasi permukaan dalam dari
kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus permukaan depan dari bola mata,
kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata (kornea). Membran ini berisi banyak pembuluh
darah dan berubah merah saat terjadi inflamasi. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:
1

Konjungtiva palpebralis
Menutupi permukaan posterior dari palpebra dan dapat dibagi menjadi marginal,
tarsal, dan orbital konjungtiva.3
a

Marginal konjungtiva memanjang dari tepi kelopak mata sampai sekitar 2mm di
belakang kelopak mata menuju lengkung dangkal, sulkus subtarsalis. Sesungguhnya
merupakan zona transisi antara kulit dan konjungtiva sesungguhnya.

Tarsal konjungtiva bersifat tipis, transparan, dan sangat vaskuler. Menempel ketat
pada seluruh tarsal plate pada kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya
menempel setengah lebar tarsus. Kelenjar tarsal terlihat lewat struktur ini sebagai
garis kuning.

c
2

Orbital konjungtiva berada diantara tarsal plate dan forniks.

Konjungtiva bulbaris
Menutupi sebagian permukaan anterior bola mata. Terpisah dari sklera anterior oleh
jaringan episklera dan kapsula Tenon. Tepian sepanjang 3mm dari konjungtiva bulbar
disekitar kornea disebut dengan konjungtiva limbal. Pada area limbus, konjungtiva,
kapsula Tenon, dan jaringan episklera bergabung menjadi jaringan padat yang terikat
secara kuat pada pertemuan korneosklera di bawahnya. Pada limbus, epitel konjungtiva
menjadi berlanjut seperti yang ada pada kornea.3
Konjungtiva bulbar sangat tipis. Konjungtiva bulbar juga bersifat dapat digerakkan,
mudah melipat ke belakang dan ke depan.Pembuluh darahdengan mudah dapat dilihat di
bawahnya.Di dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet yang mensekresi musin, suatu
komponen penting lapisan air mata pre-kornea yang memproteksi dan memberi nutrisi
bagi kornea.
3

Forniks
Bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior palpebra dan bola
mata. Forniks konjungtiva berganbung dengan konjungtiva bulbar dan konjungtiva
palpebra. Dapat dibagi menjasi forniks superior, inferior, lateral, dan medial forniks.3

Gambar 1. Struktur anatomi dari conjungtiva


Dikutip dari Khurana AK. Disease of The Conjunctiva. Dalam: Comprehensive Ophthalmology.
4th edition. New Delhi: New Age International(P) Limited; 2007

B. Histologis Konjungtiva
A. Lapisan epitel konjungtiva
Terdiri dari:
a. Marginal konjungtiva mempunyai epitel tipe stratified skuamous lapis 5.
b. Tarsal konjungtiva mempunyai 2 lapis epitelium: lapisan superfisial dari sel
silindris dan lapisan dalam dari sel pipih.

c. Forniks dan bulbar konjungtiva mempunyai 3 lais epitelium: lapisan superfisial sel
silindris, lapisan tengan polihedral sel dan lapisan dalam sel kuboid.
d. Limbal konjungtiva sekali lagi mempunyai banyak lapisan (5-6 lapis) epitelium
stratified skuamous.
B. Stroma konjungtiva
Dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu lapisan fibrosa (profundus).
a.
Lapisan adenoid disebut dengan lapisan limfoid dan terdiri dari jaringan ikat
retikulum yang terkait satu sama lain dan terdapat limfosit diantaranya. Lapisan ini
paling berkembang di forniks. Tidak terdapat mulai dari lahir tetapu berkembang
setelah 3-4 bulan pertama kehidupan. Untuk alasan ini, inflamasi konjungtiva pada
bayi baru lahir tidak memperlihatkan reaksi folikuler.3
b. Lapisan fibrosaTerdiri dari jaringan fiber elastik dan kolagen. Lebih tebal daripada
lapisan adenoid, kecuali di regio konjungtiva tarsal dimana pada tempat tersebut
struktur ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh darah dan saraf
konjungtiva. Bergabung dengan kapsula tenon pada regio konjungtiva bulbar.3
Konjungtiva mempunyai dua macam kelenjar, yaitu:
1

Kelenjar sekretori musin.


Mereka adalah sel goblet(kelenjar uniseluler yang terletak di dalam epitelium), kripta
dari Henle(ada pada tarsal konjungtiva) dan kelenjar Manz(pada konjungtiva limbal).
Kelenjar-kelenjar ini menseksresi mukus yang mana penting untuk membasahi kornea
dan konjungtiva.3

Kelenjar lakrimalis aksesorius, mereka adalah:3


a

Kelenjar dari Krause(terletak pada jaringan ikat konjungtiva di forniks, sekitar


42mm pada forniks atas dan 8mm di forniks bawah). Dan

Kelenjar dari Wolfring(terletak sepanjang batas atas tarsus superios dan sepanjang
batas bawah dari inferior tarsus).
Konjungtiva palpebra dan forniks disuplai oleh cabang dari arcade arteri periferal

dan merginal kelopak mata. Konjungtiva bulbar disuplai oleh dua set pembuluh darah:
arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arcade arteri kelopak mata; dan
arteri konjungtiva naterior yang merupakan cabang dari arteri siliaris anterior. Cabang
terminal dari arteri konjungtiva posterior beranastomose dengan arteri konjungtiva
anterior untuk membentuk pleksus perikornea.3

C. Definisi dan Etiologi


Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva. Istilah ini mengacu pada
peradangan yang tidak spesifik dengan penyebab yang beragam. Virus merupakan agen
infeksi yang umum ditemukan selain konjungtivitis bakterial, alergi, dan lan-lain.4
Berbagai jenis virus diketahui dapat menjadi agen penyebab konjungtivitis.Adenoviral
merupakan etiologi tersering dari konjungtivitis virus. Beberapa subtipe dari konjungtivitis
adenovirus antara lain demam faringokonjungtiva serta keratokonjungtivitis epidemika.
Infeksi mata primer oleh karena herpes simplex sering ditemukan pada anak-anak dan
biasanya menimbulkan konjungtivitis folikuler.Infeksi ini umumnya disebabkan oleh HSV
tipe I walaupun HSV tipe II dapat pula menyebabkan konjungtivitis terutama pada
neonatus.
Penyebab lain yang lebih jarang antara lain infeksi virus varicella-zoster (VZV),
pikornavirus (enterovirus 70, coxsakie A24), poxvirus (molluskum kontagiosum, vaccinia),
serta Human Immunodeficiency Virus (HIV). Infeksi oleh pikornavirus menyebabkan
konjungtivitis hemoragika akut yang secara klinis mirip dengan infeksi oleh adenovirus
namun lebih parah dan hemoragik.Molluscum kontagiosum dapat menyebabkan
konjungtivitis kronis yang terjadi akibat shedding partikel virus dari lesi kedalam sakus
konjungtiva.Infeksi oleh virus Vaccinia saat ini sudah jarang ditemukan seiring dengan
menurunnya insiden infeksi smallpox.Infeksi HIV pada pasien AIDS pada umumnya
menyebabkan abnormalitas pada segmen posterior, namun infeksi pada segmen anterior
juga pernah dilaporkan. Konjungtivitis yang terjadi pada pasien AIDS cenderung lebih
berat dan lama daripada individu lain yang immunokompeten. Konjungtivitis juga kadang
dapat ditemukan pada periode terinfeksi virus sistemik seperti virus influenza, EpsteinBarr virus, paramyxovirus (measles, mumps, Newcastle) atau Rubella.1,4
D. Patofisiologi
Konjungtiva merupakan jaringan ikat longgar yang menutupi permukaan mata
(konjungtiva bulbi), kemudian melipat untuk membentuk bagian dalam palpebra
(konjungtiva palpebra).Konjungtiva melekat erat dengan sklera pada bagian limbus,
dimana konjungtiva berhubungan dengan kornea.Glandula lakrima aksesori (Kraus dan
Wolfring) serta sel Goblet yang terdapat pada konjungtiva bertanggung jawab untuk
mempertahankan lubrikasi mata. Seperti halnya membrane mukosa lain, agen infeksi dapat
6

melekat dan mengalahkan mekanisme pertahanan normal dan menimbulkan gejala kinis
seperti mata merah, iritasi serta fotofobia. Pada umumnya konjungtivitis merupakan proses
yang dapat sembuh dengan sendirinya, namun pada beberapa kasus dapat menimbulkan
infeksi dan komplikasi yang berat tergantung daya tahan tubuh dan virulensi virus
tersebut.4
E. Gejala dan Tanda Klinis
Gejala konjungtivitis berbagai etiologi secara umum dapat berupa hiperemis, epifora,
injeksi dan lain sebagainya.3
1. Hiperemia
Mata yang memerah adalah tanda tipikal dari konjungtivitis. Injeksi konjungtival
diakibatkan karena meningkatnya pengisian pembuluh darah konjungtival, yang
muncul sebagian besar di fornik dan menghilang dalam perjalanannya menuju ke
limbus.

Hiperemia

tampak

pada

semua

bentuk

konjungtivitis.

Tetapi,

penampakan/visibilitas dari pembuluh darah yang hiperemia, lokasi mereka, dan


ukurannya merupakan kriteria penting untuk diferensial diagnosa. Seseorang juga
dapat membedakan konjungtivitis dari kelainan lain seperti skleritis atau keratitis
berdasar pada injeksinya. Tipe-tipe injeksi dibedakan menjadi:
a. Injeksi konjungtiva(merah terang, pembuluh darah yang distended bergerak
bersama dengan konjungtiva, semakin menurun jumlahnya saat menuju ke arah
limbus).
b. Injeksi perikornea (pembuluh darah superfisial, sirkuler atau cirkumcribed pada
tepi limbus).
c. Injeksi siliar (tidak terlihat dengan jelas, pembuluh darah berwarna terang dan
tidak bergerak pada episklera di dekat limbus).
d. Injeksi komposit (sering).
Dilatasi perilimbal atau siliar menandakan inflamasi dari kornea atau struktus
yang lebih dalam. Warna yang benar-benar merah menandakan konjungtivitis
bakterial, dan penampakan merah susu menandakan konjungtivitis alergik. Hiperemia
tanpa infiltrasi selular menandakan iritasi dari sebab fisik, seperti angin, matahari,
asap, dan sebagainya, tetapi mungkin juda didapatkan pada penyakit terkait dengan
instabilitas vaskuler(contoh, acne rosacea).
7

Gambar 2. bentuk-bentuk injeksi pada konjungtiva


dikutip dariLang GK, Lang GE. Conjunctiva. Dalam: Lang GK, Gareis O, Amann J,
Lang GE, Recker D, Spraul CW, Wagner P. Ophthalmology: a short textbook. New York:
Thieme; 2000.
2. Discharge ( sekret )
Berasal dari eksudasi sel-sel radang. Kualitas dan sifat alamiah eksudat(mukoid,
purulen, berair, ropy, atau berdarah) tergantung dari etiologinya.
3. Chemosis ( edema conjunctiva )
Adanya Chemosis mengarahkan kita secara kuat pada konjungtivitis alergik akut
tetapi dapat juga muncul pada konjungtivitis gonokokkal akut atau konjungtivitis
meningokokkal, dan terutama pada konjungtivitis adenoviral. Chemosis dari
konjungtiva bulbar dapat dilihat pada pasien dengan trikinosis. Meskipun jarang,
chemosis mungkin timbul sebelum adanya infiltrasi atau eksudasi seluler gross.

Gambar 3. Kemosis pada mata


Dikutip dari http://www.eyedoctom.com/eyedoctom/EyeInfo/Images/Chemosis2.jpg
4. Epifora (pengeluaran berlebih air mata).
Lakrimasi yang tidak normal(illacrimation) harus dapat dibedakan dari eksudasi.
Lakrimasi biasanya mencerminkan lakrimasi sebagai reaksi dari badan asing pada
konjungtiva atau kornea atau merupakan iritasi toksik. Juga dapat berasal dari sensasi
terbakar atau garukan atau juga dari gatal. Transudasi ringan juga ditemui dari
pembuluh darah yang hiperemia dan menambah aktifitas pengeluaran air mata. Jumlah
pengeluaran air mata yang tidak normal dan disertai dengan sekresi mukus
menandakan keratokonjungtivitis sika.
5. Pseudoptosis
Kelopak mata atas seperti akan menutup, disebabkan karena adanya infiltrasi selsel radang pada palpebra superior maupun karena edema pada palpebra superior.
6. Hipertrofi folikel
Terdiri dari hiperplasia limfoid lokal dengan lapisan limfoid dari konjungtiva dan
biasanya mengandung germinal center. Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai
struktur bulat, avaskuler putih atau abu-abu. Pada pemeriksaan menggunakan slit
lamp, pembuluh darah kecil dapat naik pada tepi folikel dan mengitarinya.Terlihat
paling banyak pada kasus konjungtivitis viral dan pada semua kasus konjungtivitis
klamidial kecuali konjungtivitis inklusi neonatal, pada beberapa kasus konjungtivitis
parasit, dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik diinduksi oleh medikasi topikal
seperti idoxuridine, dipiverin, dan miotik. Folikel pada forniks inferior dan pada batas
tarsal mempunyai nilai diagnostik yang terbatas, tetapi ketika diketemukan terletak
pada tarsus(terutama tarsus superior), harus dicurigai adanya konjungtivitis klamidial,
viral, atau toksik (mengikuti medikasi topikal).

Gambar4. gambaran klinis dari folikel


Dikutip dari James B, Chew C, Bron A. Conjunctiva, Cornea and Sclera. Dalam: Lecture Notes
on Ophthalmology. 9th edition. India: Blackwell Publishing; 2003
7. Hipertrofi papiler
Adalah reaksi konjungtiva non spesifik yang muncul karena konjungtiva terikat
pada tarsus atau limbus di dasarnya oleh fibril. Ketika pembuluh darah yang
membentuk substansi dari papilla(bersama dengan elemen selular dan eksudat)
mencapai membran basement epitel, pembuluh darah tersebut akan bercabang
menutupi papila seperti kerangka dari sebuah payung. Eksudat inflamasi akan
terakumulasi diantara fibril, membentuk konjungtiva seperti sebuah gundukan. Pada
kelainan yang menyebabkan nekrosis(contoh,trakoma), eksudat dapat digantikan oleh
jaringan granulasi atau jaringan ikat.Ketika papila berukuran kecil, konjungtiva
biasanya mempunyai penampilan yang halus dan merah normal. Konjungtiva dengan
papila berwarna merah sekali menandakan kelainan disebabkan bakteri atau
klamidia(contoh, konjungtiva tarsal yang berwarna merah sekali merupakan
karakteristik dari trakoma akut). Injeksi yang ditandai pada tarsus superior,
menandakan keratokunjungtivitis vernal dan konjungtivitis giant papillary dengan
sensitivitas terhadap lensa kontak; pada tarsal inferior, gejala tersebut menandakan
keratokonjungtivitis atopik. Papila yang berukuran besar juga dapat muncul pada
limbus, terutama pada area yang secara normal dapat terekspos ketika mata sedang
terbuka(antara jam 2 dan 4 serta antara jam 8 dan 10). Di situ gejala nampak sebagai
gundukan gelatin yang dapat mencapai kornea. Papila limbal adalah tanda khas dari
keratokonjungtivitis vernal tapi langka pada keratokonjungtivitis atopik.

Gambar 5. gambaran klinis hipertrofi papiler


Dikutip dari www.onjoph.com
8. Membran dan pseudomembran
Merupakan reaksi konjungtiva terhadap infeksi berat atau konjungtivitis toksis.
Terjadi oleh karena proses koagulasi kuman/bahan toksik. Bentukan ini terbentuk dari
10

jaringan epitelial yang nekrotik dan kedua-duanya dapat diangkat dengan mudah baik
yang tanpa perdarahan(pseudomembran) karena hanya merupakan koagulum pada
permukaan epital atau yang meninggalkan permukaan dengan perdarahan saat
diangkat(membran) karena merupakan koagulum yang melibatkan seluruh epitel.
9.

Phylctenules
Menggambarkan manifestasi lokal pada limbus karena alergi terhadap toxin yang
dihasilkan mikroorganisme. Phlyctenules dari konjungtiva pada mulanya terdiri dari
perivaskulitis dengan pengikatan limfositik pada pembuluh darah. Ketika berkembang
menjadi ulserasi dari konjungtiva, dasar ulkus mempunyai banyak leukosit
polimorfonuklear.

10.

Formasi pannus
Pertumbuhan konjungtiva atau pembuluh darah diantara lapisan Bowman dan
epitel kornea atau pada stroma yang lebih dalam. Edema stroma, yang mana
menyebabkan pembengkakan dan memisahkan lamela kolagen, memfasilitasi
terjadinya invasi pembuluh darah.

11

Gambar 6.Pannus tampak pada mata pasien konjungtivitis


Dikutip dari Kanski JK. Conjunctiva. Dalam: Clinical Ophthalmology: A Systematic
Approach. 5th edition. hal. 63-81
11. Granuloma
Adalah nodus stroma konjungtiva yang meradang dengan area bulat merah dan
terdapat injeksi vaskular. Tanda ini dapat muncul pada kelainan sistemik seperti
tuberkulosis atau sarkoidosis atau mungkin faktor eksogen seperti granuloma jahitan
postoperasi atau granuloma benda asing lainnya. Granuloma muncul bersamaan
dengan bengkaknya nodus limfatikus preaurikular dan submandibular pada kelainan
seperti sindroma okuloglandular Parinaud.

Gambar 7. Granuloma konjungtiva disertai dengan folikel pada sindroma okuloglandular


Parinaud.
dikutip dari

Kanski JK. Conjunctiva. Dalam: Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 5th

edition. hal. 63-81


12. Nodus limfatikus yang membengkak
Sistem limfatik dari regio mata berjalan menuju nodus limfatikus di preaurikular
dan submandibular. Nodus limfatikus yangmembengkak mempunyai arti penting dan
seringkali dihadapi sebagai tanda diagnostik dari konjungtivitis viral.

12

Gambar 8. Limfonodi preaurikular dan submandibular


Konjungtivitis folikuler virus akut dapat muncul sebagai gejala yang ringan dan
sembuh sendiri hingga gejala berat yang menimbulkan kecacatan.
1. Demam faringokonjungtival
Tipe ini biasanya disebabkan oleh adenovirus tipe 3 dan kadang-kadang tipe 4 dan
7. Demam faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,3 -400C, sakit tenggorokan, dan
konjungtivitis pada satu atau dua mata. Folikel sering mencolok pada kedua
konjungtiva, dan pada mukosa faring. Penyakit ini dapat terjadi bilateral atau
unilateral.Mata merah dan berair mata sering terjadi, dapat disertai keratitis superficial
sementara ataupun sedikit kekeruhan di daerah subepitel.Limfadenopati preaurikuler
yang muncul tidak disertai nyeri tekan. Sindrom yang ditemukan pada pasien mungkin
tidak lengkap, hanya terdiri atas satu atau dua gejala utama (demam, faringitis, dan
konjungtivitis).1,2
2. Keratokonjungtivitis epidemika:
Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus subgroup D tipe 8,
19, 29, dan 37.Konjungtivitis yang timbul umumnya bilateral. Awitan sering pada satu
mata kemudian menyebar ke mata yang lain. Mata pertama biasanya lebih parah.Gejala
awal berupa nyeri sedang dan berair mata, diikuti dalam 5-14 hari kemudian dengan
fotofobia, keratitis epitel, dan kekeruhan subepitel bulat.Fase akut ditandai dengan
edema palpebra, kemosis, dan hiperemia konjungtiva. Dalam 24 jam sering muncul
13

folikel dan perdarahan konjungtiva. Kadang-kadang dapat terbentuk pseudomembran


ataupun

membran

sejati

yang

dapat

meninggalkan

parut

datar

ataupun

symblepharon.Konjungtivitis berlangsung selama 3-4 minggu. Kekeruhan epitel terjadi


di pusat kornea, menetap berbulan-bulan namun menyembuh tanpa disertai parut.1,2
3. Konjungtivitis virus herpes simpleks (HSV)
Konjungtivitis HSV umumnya terjadi ada anak-anak dan merupakan keadaan luar
biasa yang ditandai pelebaran pembuluh darah unilateral, iritasi, disertai sekret mukoid,
dan fotofobia.Konjungtivitis dapat muncul sebagai infeksi primer HSV atau pada
episode kambuh herpes mata.Sering disertai keratitis herpes simpleks, dengan kornea
menampakkan lesi-lesi eptelial tersendiri yang umumnya menyatu membentuk satu
ulkus atau ulkus epithelial yang bercabang banyak (dendritik).Konjungtivitis yang
terjadi mumnya folikuler namun dapat juga pseudomembranosa.Vesikel herpes kadangkadang muncul di palpebra dan tepian palebra, disertai edema berat pada palpebra.
Nodus preaurikuler yang nyeri tekan adalah gejala yang khas untuk konjungtivitis
HSV.1,2
4. Konjungtivitis hemoragika akut
Konjungtivitis hemoragika akut disebabkan oleh enterovirus tipe 70 dan kadangkadang oleh virus coxsakie tpe A24.Yang khas pada konjungtivitis tipe ini adalah masa
inkubasi yang pendek (sekitar 8-48 jam) dan berlangsung singkat (5-7 hari).Gejala dan
tandanya adalah rasa sakit, fotofobia, sensasi benda asing, banyak mengeluarkan air
mata, edema palpebra, dan perdarahan subkonjungtiva. Kadang-kadang dapat timbul
kemosis.Perdarahan subkonjungtiva yang terjadi umumnya difus, namun dapat diawali
oleh bintik-bintik perdarahan.Perdarahan berawal dari konjungtiva bulbi superior
menyebar ke bawah.Pada sebagian besar kasus, didapatkan limfadenopati preaurikular,
folikel konjungtiva, dan keratitis epithelia.Pada beberapa kasus dapat terjadi uveitis
anterior dengan gejala demam, malaise, dan mialgia. Transmisi terjadi melalui kontak
erat dari orang ke orang melalui media sprei, alat-alat optic yang terkontaminasi, dan
air.1,2
Konjungtivitis virus menahun meliputi:
1. Blefarokonjungtivitis Mulloskum Kontagiosum

14

Molluscum kontagiosum ditandai dengan adanya reaksi radang dengan infiltrasi


mononuclear dengan lesi berbentuk bulat, berombak, berwarna putih-mutiara, dengan
daerah pusat yang non radang. Nodul molluscum pada tepian atau kulit palpebra dan
alis mata apat menimbulkan konjungtivitis folikuler menahun unilateral, keratitis
superior, dan pannus superior, dan mungkin menyerupai trachoma.1
2. Blefarokonjungtivitis varicella-zoster
Blefarokonjungtivitis

varicella-zoster

ditandai

dengan

hiperemia

dan

konjungtivitis infiltratif yang disertai erupsi vesikuler sepanjang penyebaran dermatom


nervus trigeminus cabang oftalmika.Konjungtivitis yang terjadi umumnya bersifat
papiler, namun dapat pula membentuk folikel, pseudomembran, dan vesikel temporer
yang kemudian berulserasi.Pada awal perjalanan penyakit dapat ditemukan pembesaran
kelenjar preaurikula yang nyeri tekan.Selanjutnya dapat terbentuk parut palpebra,
entropion, dan bulu mata salah arah.Lesi palpebra dari varicella dapat terbentuk di
bagian tepi ataupun di dalam palpebra sendiri dan seringkali meninggalkan parut.Sering
timbul konjungtivitis eksudatif ringan, tetapi lesi konjungtiva yang jelas (kecuali pada
limbus) sangat jarang terjadi.Lesi di limbus menyerupai phlyctenula dan dapat melalui
tahap-tahap vesikel, papula, dan ulkus. Kornea di dekatnya mengalami infiltrasi dan
bertambah pembuluh darahnya.1
3. Keratokonjungtivitis morbili.
Enantema khas morbili seringkali mandahului erupsi kulit.Pada tahap awal
konjungtiva nampak seperti kaca yang aneh, yang dalam beberapa hari diikuti
pembengkakan lipatan semilunar (tanda Meyer).Beberapa hari sebelum erupsi kulit
timbul konjungtivitis eksudatif dengan sekret mukopurulen. Bersamaaan dengan
munculnya erupsi kulit akan timbul bercak-bercak koplik pada konjungtiva dan kadangkadang pada carunculus. Keratitis epithelial dapat terjadi pada anak-anak dan orang
tua.1
F.

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Anamnesis yang teliti mengenai keluhan pasien dan riwayat terdahulu sangat
penting dalam menegakkan diagnosis konjungtivitis virus. Pada penyakit ini, pasien
akanmengeluhkan gejala-gala yang berkaitan dengan proses infeksi (bengkak, merah).

15

Pasien juga dapat mengeluhkan mata berair dan gatal. Keluhan mata merah biasanya
menetap dan tidak bertambah merah setelahnya.
Dari pemeriksaan fisik bisa terdapat riwayat demam. Pada mata dapat ditemukan
injeksi konjungtiva, palpebra hiperemis, sekret serous terutama di daerah forniks, dan
dapat dijumpai folikel. Sebagian dari pasien akan mengalami pembengkakan di daerah
kelenjar getah bening di bagian depan telinga (preaurikula). Sistem limfatik dari regio
mata berjalan menuju nodus limfatikus di preaurikular dan submandibular. Nodus
limfatikus yangmembengkak mempunyai arti penting dan seringkali dihadapi sebagai
tanda diagnostik dari konjungtivitis viral. 12
Dokter bisa menggunakan biomicroscopic slit lamp untuk melakukan pemeriksaan
bagian depan mata. Kadang-kadang, pasien mengalami pseudo-membrane pada jaringan di
bagian bawah kelopak mata pada konjungtiva.2
Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan untuk konjungtivitis viral adalah
kultur dengan pemeriksaan sitologi konjungtiva yang dilakukan pada infeksi yang
menahun dan sering mengalami kekambuhan, pada reaksi konjungtiva yang atipikal, serta
terjadi kegagalan respon terhadap pengobatan yang diberikan sebelumnya. Pengecatan
giemsa juga dapat dilakukan.Pada konjungtivitis virus ditemukan sel mononuklear dan
limfosit.Inokulasi merupakan teknik pemeriksaan dengan memaparkan organism penyebab
kepada tubuh manusia untuk memproduksi kekebalan terhadap penyakit itu.Deteksi
terhadap antigen virus dan klamidia dapat dipertimbangkan.Polymerase chain reaction
(PCR) merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengisolasi virus dan dilakukan
pada fase akut.2
1. Konjungtivitis viral akut
a. Demam faringokonjungtiva
Diagnosis demam faringokonjungtivitis dapat ditegakkan dari tanda klinis
maupun laboratorium. Virus penyebab demam faringokonjungtiva ini dapat
dibiakkan dalam sel HeLa dan di identifikasi dengan uji netralisasi. Dengan
berkembangnya penyakit virus ini dapat di diagnosis secara serologis melalui
peningkatan titer antibodi penetral virus. Namun, diagnosis klinis merupakan
diagnosis yang paling mudah dan praktis. Pada kerokan konjungtiva didapatkan sel
mononuklear dan tidak ada bakteri yang tumbuh pada biakan.
b. Keratokonjuntivitis epidemika
16

Virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan dapat diidentifikasi dengan uji
netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuklear primer.
Bila terbentuk pseudomembran, juga tampak neutrofil yang banyak.
c. Konjungtivitis herpetik
Pada konjungtivitis virus herpes simplek, jika konjungtivitisnya folikuler,
reaksi radangnya terutama akibat kemotaksis nekrosis. Inklusi intranuklear (karena
adanya marginasi kromatin) tampak dalam sel-sel konjungtiva dan kornea dengan
fiksasi Bouin dan pilasan papanicolaou, tetapi tidak tampak dalam pulasan giemsa.
Temuan sel-sel epitel raksasa multinukleus memiliki nilai diagnostik. Pada
konjungtivitis Varisella-Zooster, diagnosis biasanya ditegakkan dengan ditemukan
sel raksasa pada pewarnaan giemsa, kultur virus, dan sel inklusi intranuklear.
d. Konjungtivitis New castle
Dari konjungtivitis ini adalah dari anamnesis dan juga gambaran klinisnya.
e. Konjungtivitis hemoragik epidemik akut
Diagnosis utama adalah dari gambaran klinisnya.
2. Konjungtivitis Viral Kronis
a. Blefarokonjungtivitis Molluscum Contagiosum
Bioposi menunjukkan inklusi sitoplasma iosinofilik yang memenuhi sitoplasma
sel yang rusak, mendesak inti ke satu sisi.
b. Blefarokonjungtivitis varicella zooster
Pada zooster maupun varicella, kerokan dari vesikel palpebranya mengandung sel
raksasa dan banyak leukosit polimorfonuklear, kerokan dari konjungtiva pada
varicella dan dari vesikel konjungtiva pada zooster dapat mengandung sel raksasa
dan monosit
c. Blefarokonjungtivitis campak
Kerokan konjungtiva menunjukkan rekasi sel mononuclear, kecuali jika ada
pseudomembran atau infeksi sekunder. Sediaan terpulas giemsa menampilkan sel-sel
raksasa
Sementara itu konjungtivitis virus harus dibedakan dengan konjungtivitis yang lain dan
penyakit mata merah lainnya terkait dengan penatalaksanaannya. Secara klinis bedasarkan

17

keluhan subyektif dan obyektif perbedaan konjungtivitis virus dengan konjungtivitis yang lain
serta diagnosis mata merah dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Diagnosis Banding Penyakit Mata Merah Berdasarkan Keluhan Subjektif dan
Obyektif.2
Gejala Glaukom
subyektif

Uveitis

Keratitis

K Bakteri

K. virus

K. alergi

a akut

akut

obyektif
Penurunan

+++

+/++

+++

Visus
Nyeri
Fotofobia
Halo
Eksudat
Gatal
Demam
Injeksi

++/+++
+
++
+

++
+++
++

++
+++
-/++
+++

+++
-

++
-/++
-

+
++
-

siliar
Injeksi

++

++

++

+++

++

konjungtiva
Kekeruhan

+++

+/++

kornea
Kelainan

Midriasis

Miosis

Normal/

pupil

nonrekatif iregula

dan

miosis

Kedalaman

Dangkal

r
N

COA
Tekanan

Tinggi

Rendah N

intraokular
Sekret
Kelenjar

+
-

++/+++
-

++
+

+
-

+
-

preaurikula
r

G. Komplikasi
Komplikasi darikonjungtivitis viral, antara lain3:
18

Infeksi pada kornea (keratitis) dan apabila tidak ditangani bisa menjadi ulkus kornea

H. Penatalaksanaan
Konjungtivitis viral biasanya bersifat suportif dan merupakan terapi simptomatis,
belum ada bukti yang menunjukkan keefektifan penggunaan antiviral.Umumnya mata bisa
dibuat lebih nyaman dengan pemberian cairan pelembab. Kompres dingin pada mata 3 4
x / hari juga dikatakan dapat membantu kesembuhan pasien. Penggunaan kortikosteroid
untuk penatalaksanaan konjungtivitis viral harus dihindari karena dapat memperburuk
infeksi.
Sebagai pencegahan terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri dapat diberikan
Kloramfenikol tetes mata. Kloramfenikol merupakan obat antimikroba yang memiliki
spektrum luas, meliputi bakteri gram negatif dan gram positif. Senyawa ini memang
memiliki sifat bakteriostatik terhadap kebanyakan mikroorganisme, akan tetapi dapat
berfungsi sebagai bakteriosidal terhadap beberapa jenis bakteri, yakni H. influenzae,
Neisseria meningitidis, and S. pneumoniae. Kloramfenikol efektif dalam melawan bakteri
aerobik dan nonaerobik baik gram positif ataupun gram negatif. Senyawa ini juga efektif
pada rickettsae akan tetapi tidak efektif terhadap chlamydiae. Bakteri gram negatif bacillus
serta bakteri anaerob dapat diinhibisi secara in vitro, sedangkan pada bakteri gram positif
yang bersifat aerobik bakteri berbentuk kokus meliputi Streptococcus pyogenes, S.
agalactiae (group B streptococci), and S. pneumoniae diketahui bahwa kloramfenikol lebih
sensitif (Katzung, 2006; Brunton et al., 2007).
Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut, akut,
subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh N
gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan
oleh Streptococcus pneumonia dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering
pada bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza dan Escherichia coli.
Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi dan gejala dari konjungtivitis virus dapat
diuraikan sebagai berikut :
19

1. Konjungtivitis viral akut1,2


a. Demam faringokonjungtiva
Pengobatan untuk demam faringokonjungtiva hanya bersifat suportif karena
dapat sembuh sendiri diberi kompres, astrigen, lubrikasi, sedangkan pada kasus
yang berat dapat diberikan antibiotik dengan steroid lokal.Pengobatan biasanya
simptomatis dan pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.
b. Keratokonjungtivitis epidemika
Hingga saat ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin akan
mengurangi

beberapa

gejala.

Selama

konjungtivitis

akut,

penggunaan

kortikosteroid dapat memperpanjang keterlibatan kornea lebih lanjut sehingga harus


dihindari.Anti bakteri harus diberikan jika terjadi superinfeksi bakteri.
c. Konjungtivitis herpetik
Untuk konjungtivitis herpes simpleks yang terjadi pada anakdiatas satu tahun
atau pada orang dewasa yang umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak perlu
terapi.Namun, antivirus topikal atau sistemik harus doberikan untuk mencegah
terkena

kornea.Jika

terjadi

ulkus

kornea,

harus

dilakukan

debridement

korneadengan mengusap ulkus menggunakan kain steril dengan hati-hati, oenetesan


obat anti virus, dan penutupan mata selama 24 jam.Antivirus topikal sendiri harus
diberikan 7-10 hari. Misalnya trikloridin setiap 2 jam sewaktu bangun. Penggunaan
kortikosteroid dikontraindikasikan karena bias memperburuk infeksi herpes
simpleks dan mengubah penyakit dari suatu proses singkat yang sembuh sendiri
menjadi infeksi berat yang berkepanjangan. Pada konjungtivitis varicella zooster
pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian kompres dingin. Pada saat acyclovir
400 mg/hari selama 5 hari merupakan pengobatan umum. Walaupun diduga steroid
dapat mengurangi penyulit akan tetapi dapat mengakibatkan penyebaran sistemik.
Pada 2 minggu pertama dapat diberikan analgetik untuk menghilangkan rasa
sakit.Pada kelainan peermukaan dapat diberikan salep terasilin. Steroid tetes
deksametason 0,1% diberikan bila terdapat episkleritis, skleritis dan iritis.
d. Konjungtivitis new castle
Pengobatan yang khas hingga saat ini tidak adadan dapat diberikan antibiotik
untuk mencegah infeksi sekunder disertai obat-obat simtomatik.
e. Konjungtivitis hemorhagik epidemik akut
20

Penyakit

ini

dapat

sembuh

sendiri

sehingga

pengobatan

hanya

simtomatik.Pengobatan antibiotika spekturm luas, sulfacetamide dapat digunkan


untuk mencegah infeksi sekunder.Penyembuhan dapat terjadi dalam 5-7 hari.
2. Konjungtivitis viral kronik1
a. Konjungtivitis Molluscum Contagiosum
Eksisi, insisi sederhana pada nodul yang memungkinkan darah tepi yang
memasukinya atau krioterapi akan menyembuhkan konjungtivitis. Pada kondisi ini
eksisi nodul juga menyembuhkan konjungtivitisnya.
b. Blefarokonjungtivitis varicella zoster
Pada kondisi ini diberikan acyclovir oral dosis tinggi (800mg/oral 5x selama
10 hari)
c. Keratokonjungtivitis campak
Tidak ada terapi yang spesifik, hanya tindakan penunjang saja yang dilakukan,
kecuali ada infeksi sekunder.

Konjungtivitis viral merupakan penyakit infeksi yang angka penularannya cukup tinggi,
sehingga pencegahan adalah hal yang sangat penting. Penularan juga bisa terjadi di fasilitas
kesehatan bahkan ke tenaga kesehatan yang memeriksa pasien. Langkah langkah pencegahan
yang perlu diperhatikan adalah mencuci tangan dengan bersih, tidak menyentuh mata dengan
tangan kosong, serta tidak menggunakan peralatan yang akan digunakan untuk pemeriksaan
pasien lain. Dalam penularan ke lingkungan sekitar, pasien sebaiknya disarankan untuk
menghindari kontak dengan orang lain seperti di lingkungan kerja / sekolah dalam 1 2 minggu,
juga menghindari pemakaian handuk bersama.2

I.

Prognosis
Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat sembuh
spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat terjadi apabila tidak ditangani
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

21

1.

Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Conjunctiva. In: Riordan-Eva P, Whitcher JP
(editors). Vaughan & Asburrys General Opthalmology. 18 th edition. McGraw-Hill
Companies. USA: 2013. p108-112

2.

SU Suharjo, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Ed. 2. Fakultas kedokteran Univesitas


Gadjah Mada. 2012.

3.

Voughan, Daniel G, Asbury, Taylor. Riordan-Eva, Paul. Oftalmologi Umum (General


Ophthalmology). Ed. 17. Widya Medika, Jakarta : 2013. 97-108
4. Scott,

IU.

Viral

Conjunctivitis.

2014.

Available:

http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview#showall
5.

Susila, Niti et al. Standar Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Mata FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar. 2009.

6.

Viral conjungtivitis. 2014. Available : http://www.aao.org/theeyeshaveit/red-eye/viralconjunctivitis.cfm

7.

Viral

conjungtivitis.

2014.

Available.

http://www.cdc.gov/conjunctivitis/about/causes.html

22

You might also like