You are on page 1of 24

LAPORAN KEGIATAN

F 6. Upaya Pengobatan Dasar

ASMA BRONKHIAL PADA ANAK

Disusun oleh:
dr. Reschita Adityanti

INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS DEMAK III KABUPATEN DEMAK
PERIODE FEBRUARI MEI 2015

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Usaha Kesehatan Masysrakat


Laporan F 3. Upaya Pengobatan Dasar

Topik :
ASMA BRONKHIAL PADA ANAK

Diajukan dan dipresentasikan dalam rangka praktik klinis dokter internship sekaligus
sebagai bagian dari persyaratan menyelesaikan program internship dokter Indonesia di
Puskesmas Demak III Kabupaten Demak

Telah diperiksa dan disetujui pada tanggal

Mei 2015

Mengetahui,
DokterPendamping
Dokter Internship,

dr. Retno Widhiastuti


dr. Reschita Adityanti

NIP. 19740606 200801 2 014

A. BAB I
B. PENDAHULUAN
C.
A. LATAR BELAKANG
D. Asma adalah penyakit saluran pernafasan kronik yang ditandai dengan
obstruksi saluran nafas (Sharma, 2011). Menurut WHO, sekitar 15 juta orang
menderita asma dan 250.000 diantaranya meninggal karena asma (Sharma, 2011).
Penyakit ini bisa timbul di semua usia namun paling banyak pada anak-anak (PDPI,
2004).
E. Saat ini di seluruh dunia terjadi peningkatan angka kejadian dan derajat
asma pada anak-anak, di negara maju ataupun berkembang (Santosa, 2008). Satu dari
sebelas anak mempunyai riwayat asma dan dua dari tiga anak yang mempunyai
riwayat asma pernah mengalami serangan asma lebih dari satu kali (Hay et al, 2010).
Hal ini dikarenakan oleh dua faktor utama yaitu modernisasi dan urbanisasi, misalnya
menurunnya pemberian ASI ekslusif dan pemukiman yang makin padat (Santosa,
2008).
F.
B. PERMASALAHAN PASIEN
G. Asma memang jarang menimbulkan kematian, namun ganggguan yang
ditimbulkan sering menyebabkan kehilangan produktivitas, seperti membolos dari
sekolah (PDPI, 2004). Di samping itu penyakit ini menimbulkan gangguan pada
aktivitas sehari-hari sehingga menurunkan kualitas hidup penderita (PDPI, 2004).
Namun, menegakkan diagnosis dan tatalaksana asma juga sering kesulitan sehingga
sering mengalami under/overdiagnosis atau under/overtreatment (Santosa, 2008).
Sehingga sangat penting sebagai seorang dokter untuk dapat menganali asma sejak
dini dan memberikan tatalaksana yang sesuai sehingga meningkatkan kualitas hidup
penderita.
H.

Dalam laporan ini, kasus yang diangkat adalah pasien An.R usia 3

tahun. Dari hasil anamnesis yang dilakukan dengan ibu pasien didapatkan keterangan
bahwa pasien mengalami demam tiga hari yang lalu. Kemudian dua hari yang lalu,
pasien menderita batuk dan pilek. Kemudian timbul bintik-bintik kemerahan pada
kulit sejak 1 hari yang lalu, pertama kali muncul dari belakang telinga, leher dan muka
kemudian menyebar ke dada dan tangan. Kemerahan di kulit tidak disertai gatal, tidak

ada alergi terhadap obat-obatan maupun makanan.


I.
Saat dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan kondisi umum baik,
suhu 37,9C, turgor kulit baik, tampak rash makulopapular pada dada yang
berkonfluens, perut, punggung, kedua lengan atas dan paha. Dokter menjelaskan
kepada keluarga pasien bahwa penyakit yang diderita pasien disebabkan oleh virus,
sehingga diharapkan bisa sembuh dengan sendirinya (self limiting disease). Namun,
dokter tetap memberikan obat untuk meringankan keluhan-keluhan yang ada seperti
demam, batuk, dan pilek. Dokter juga memberitahukan pada keluarga agar pasien
ditempatkan di ruangan terisolasi atau meminimalkan kontak dengan orang lainselama
4 hari setelah timbulnya rash agar tidak menularkan campak kepada anak lain, selain
itu, keluarga harus tetap memberikan asupan makanan yang bergizi untuk
meningkatkan daya tahan tubuh pasien.
J.
K.
L.
M.
N.
O.
P.
Q.
R.
S.
T.
U.
V.
W.
X.
Y.
Z.
AA.
AB.
AC.
AD.
AE.
AF.
AG.
AI.

1. Anamnesis
a. Identitas Pasien
AM.
Nama
AN.
Usia

AH.
BAB II
MANAJEMEN KASUS
AJ.
AK.
AL.

: An. D
: 4 Tahun

AO.
Jenis kelamin
: Perempuan
AP.
Berat badan
: 14 kg
AQ.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
AR. Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak satu hari yang lalu.
Sesak nafas diawali oleh batuk yang tidak disertai dahak. Keluhan batuk mulai
muncul setelah pasien pulang dari aktivitas berenang. Keluhan batuk bertambah
parah pada malam hari disertai sesak nafas dan mengi. Batuk tidak berkurang
dengan pemberian obat batuk.
AS.
Selain batuk, pasien juga mengeluh pilek. Keluhan disertai dengan
demam. Karena sampai keesokan harinya keluhan sesak belum berkurang, ibu
pasien membawa pasien untuk periksa ke Puskesmas Demak 3.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
AT.
Riwayat asma (+), riwayat alergi (+): dingin
d. Riwayat Penyakit Keluarga
AU.
Riwayat asma (+) pada nenek buyut pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
AV.
Tanggal: 22 April 2015
AW.
Keadaan Umum
:compos mentis, kesan gizi cukup
a. Vital Sign
:
AX.
AY.
AZ.
b. Kepala
c. Mata
d. Leher
f. Pulmo
BB.
BC.
BD.
BE.
g. Cor

Nadi
Respirasi
Suhu

: 120 kali/menit
: 40 kali/menit
: 37,5C

: mesocephal
: konjungtiva anemis (-)
: limfonodi tidak teraba, pembesaran nervus (-)
e. Kulit
: turgor kulit baik
BA.
:
Inspeksi
: simetris, jejas trauma (-), retraksi dinding dada (-)
Palpasi : ketinggalan gerak (-), tactil fremitus tidak diperiksa
Perkusi : sonor +/+
Auskultasi : vesikuler +/+, ronki basah kasar -/-, wheezing +/+
: batas jantung normal, S1-S2 reguler, bising (-)
h. Abdomen : Dinding perut sejajar dengan dinding thorak,
distended (-), sikatrik (-), stria (-), caput medusae (-), peristaltik
normal, nyeri tekan (-)
: akral hangat

i. Ekstremitas
3. Diagnosis
BF.
Asma bronkhiale
4. Terapi Medikamentosa
BG.
R/
Paracetamol syr fl no. I
BH.
3 dd 1 cth
BI.
R/
Salbutamol tab 2 mg III
BJ.
Ambroxol tab 30 mg III

BK.
BL.
BM.
BN.
BO.
BP.
BQ.
BR.

CTM III
Prednison III
Mf da in pulv No. IX
3 dd pulv I
R/ Cavicur syr fl No. I
1 dd 1 cth
5. Monitoring dan Evaluasi
BS.

Pada kasus ini, penyakit asma bronkhiale pada anak merupakan

penyakit yang bersifat rekuren atau dapat kambuh sewaktu-waktu, sehingga dokter
menjelaskan kepada keluarga bahwa penyakit pasien ini dapat sembuh dengan
meminum obat secara teratur, tetapi dapat menimbulkan komplikasi apabila tidak
mendapatkan perawatan dan pengobatan yang baik. Sehingga, di sini dokter tetap
memberikan obat-obatan untuk meringankan keluhan-keluhan yang ada. Edukasi
yang dokter berikan antara lain, orangtua pasien harus dapat mengingat faktor
pencetus yang menyebabkan keluhan pada pasien muncul kembali, orangtua pasien
harus ,e,beri edukasi ke anak tentang penyakit yang diderita, mencegah anak untuk
melakukan aktivitas yang melelahkan, dan menjaga daya tahan tubuh anak.
BT.
BU.
BV.
BAB III
BW.
TINJAUAN PUSTAKA
BX.
BY.
A. Etiologi
BZ.

Faktor genetik dan lingkungan sangat mempengaruhi terjadinya

asma pada anak (Liu et al, 2008). Adanya alergen dari lingkungan mencetuskan
proses imun yang berhubungan dengan suatu kecenderungan genetik (Liu et al,
2008).
CA.

Faktor genetik ini, disebut juga atopi, mempengaruhi pada

kromosom yang membawa gen sitokin yang menginduksi adanya reaksi alergi,
yaitu kromosom 5, 6, 11, 12, dan 14 Sitokin ini dapat berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL9, IL-13, dan GM-CSF. IL 4 dindikasikan sebagai sitokin yang berperan dalam
menginduksi Th2 (Leung, 2008). Sedangkan faktor lingkungan dianggap sebagai
faktor pencetus terjadinya asma. Beberapa faktor lingkungan yang dapat
mencetuskan asma antara lain:
a. Infeksi saluran nafas.
CB. Sekitar 42% eksaserbasi asma disebabkan oleh infeksi virus, terbanyak
respiratory syncytial virus (RSV) (Santoso, 2008). Akibat adanya infeksi virus

mengakibatkan kerusakan epitel saluran nafas dan jika terdapat alergen bisa
langsung mengeksitasi reaksi imun (Santoso, 2008).
b. Alergen
CC. Alergen bisa berupa tungau debu rumah, bulu kucing atau anjing, dan
serbuk sari (Sharma, 2011). Makanan seperti susu sapi, telur, ikan, kacang tanah
juga dapat menyebabkan asma, terutama pada masa bayi dan anak yang masih
muda (Santoso, 2008).
c. Bahan iritan.
CD. Iritan seperti rokok, udara dingin, parfum, dan polusi dapat meninduksi
reaksi inflamasi (Sharman, 2010)
d. Emosi
CE. Emosi dapat meningkatkan aktivitas parasimpatis sehingga terjadi
pelepasan asetilkolin dan mengakibatkan serangan asma (Santoso, 2008)
e. Latihan jasmani
CF.
Latihan jasmani dapat terjadi akibat beraktivitas di udara yang dingin dan
kering (Santoso, 2008). Udara yang dingin dan kering dapat meningkatkan
osmolaritas dari sekret yang melapisi saluran nafas mengakibatkan lepasnya
mediator (Sharman, 2010). Udara yang dingin juga mengakibatkan kongesti dan
dilatasi pembuluh darah bronkial (Sharman, 2010).
f. Faktor lain
CG. obat- obatan dan bahan kimia (obat anti inflamasi dan pewarna makanan),
refluks gastroesofagus, dan keadaan saluran nafas dapat mengakibatkan eksaserbasi
asma (Santosa, 2008)
CH.
B. Patofisiologi
CI.

Obstruksi saluran nafas mengakibatkan kenaikan resistensi aliran udara dan


gangguan ekspirasi (Shamar, 2010). Gangguan pada proses ekspirasi karena saat
inspirasi secara tidak langsung mengembangkan saluran nafas melebihi ukuran
selama ekspirasi sehingga resistensi saat inspirasi lebih rendah (Guyton and Hall,
2007).

CJ.

Obstruksi tersebut menyebabkan adanya udara yang terperangkap kemudian


terjadi distensi paru berlebih (hiperinflasi). Hiperinflasi ini berfungsi sebagai
kompensasi dengan menurunkan complience paru sehingga terjadi peningkatan
kerja nafas. Jika kompensasi ini gagal akan mengakibatkan hipoventilasi dan
ateletaksis segmental. Dan obstruksi ini tidak merata di seluruh saluran nafas
sehingga menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilationperfusion mismatch) yang memperparah hipoventilasi (UKK Pulmonologi IDAI,

2000). Ventilasi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan
kerja nafas menyebabkan perubahan dalam gas darah (UKK Pulmonologi IDAI,
2000). Hipoventilasi menyebabkan hipoksia dan hiperkapnea. Hipoventilasi
diperparah dengan adanya vasokonstriksi pembuluh darah alveolus karena hipoksia
(Shamar, 2010).
CK.
Pada fase awal serangan akut, pasien dengan asma akan
mengkompensasi hipoksia dengan hiperinventilasi sehingga tidak terjadi
hiperkapnea dan dapat ditemui alkalosis respiratorik (Shamar, 2010). Namun,
dengan memburuknya obstruksi dan hipoventilasi mengakibatkan hiperkapnea.
Hiperkapnea mengakibatkan peningkatan produksi asam karbonat sehingga
menimbulkan asidosis respiratorik (Shamar, 2010). Selain itu dapat terjadi asidosis
metabolik karena hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot nafas. Adanya
hipoksia juga mengakibatkan menurunnya produksi surfaktan dan meningkatkan
resiko ateletaksis (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Dan akhirnya pasien
mengalami gagal nafas dan berujung pada kematian (UKK Pulmonologi IDAI,
2000).
CL.
C. Gejala dan Tanda
CM.

Menurut KNAA (Konsensus Nasional Asma Anak) , asma pada

anak didefinisikan sebagai mengi berulang dan atau batuk persisten dengan
karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal,
musiman, setelah aktivitas fisik, serta mempunyai riwayat asma atau atopi lain
dalam keluarga atau penderita sendiri (Santoso, 2008). Gejala dan tanda serangan
asma pada anak tergantung derajat serangannya (IDAI, 2004). Gejala dan tanda
-

hanya terdapat pada saat serangan (PDPI, 2004).


Batuk
Mengi
Sesak nafas
Nafas memendek, sulit bicara, dan gelisah
Penurunan aktivitas
Sianosis

D. Diagnosis
Anamnesis
Kelompok anak yang dapat diduga asma adalah anak-anak yang menunjukkan
batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam /
dini hari (nokturnal /morning dip), musiman, setelah aktivitas fisik, serta

adanya riwayat asma dan atopi pada pasien atau keluarganya. (UKK
Pulmonologi IDAI, 2000)

Pemeriksaan Fisik
CN.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda seperti yang sudah diuraikan

di atas. Menurut WHO (2008), pada pemeriksaan fisik ditemukan hiperinflasi dada
-

(serangan akut), retraksi dada, dan ekspirasi memanjang dengan suara wheezing.
Keadaan umum: baik sampai letargi
-Vital sign: takikardi dan takipnea
-Inspeksi: bisa terdapat sianosis, hiperinflasi dada, nafas cuping hidung, penggunaan
otot bantu nafas, dan retraksi interkostal
-Auskultasi: Wheezing, ekspirasi memanjang
-Perkusi: hipersonor
-Pulsus paradoksus

Pemeriksaan Penunjang
CO.
mendiagnosis asma

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah cukup untuk


(UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Bila diagnosis tidak pasti,

dapat diberikan satu dosis bronkodilator kerja cepat (WHO, 2008). Anak dengan
asma membaik dengan

cepat setelah pemberian bronkodilator kerja cepat

(WHO, 2008).
a.
Uji Faal Paru
CP.Pada anak lebih dari 6 tahun, sudah dapat dilakukan uji faal paru (UKK
Pulmonologi IDAI, 2000). Pemeriksaan ini lebih berfungsi untuk menilai
b.

beratnya gejala (PDPI, 2004).


Uji provokasi bronkus
CQ.
Uji provokasi bronkus dapat juga positif pada penyakit lain, seperti rinitis
alergik, PPOK, dan bronkiektasis (PDPI, 2004).
c.
Pemeriksaan Foto Rontgen Toraks
CR.
Pemeriksaan ini tidak dilakukan secara rutin, hanya dilakukan pada
asma sedang/ berat (IDAI, 2004). Pasien dengan batuk produktif, infeksi
saluran napas berulang, gejala respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan
tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan fokal paru juga perlu pemeriksaan ini
d.

e.

(UKK Pulmonologi IDAI, 2000).


Analisis Gas darah
CS.Hanya dilakukan pada serangan asma berat. Pada pemeriksaan ini dapat
ditemukan peningkatan PaCo2 dan rendahnya PaO2 (IDAI, 2004).
Uji Tuberkulin

CT.
CU.
CV.
CW.
CX.

(UKK Pulmonologi IDAI, 2000)

Klasifikasi asma
Menurut Santoso (2008), penyakit asma dibagi menjadi dua menurut berat

ringannya, yaitu:
a. Klasifikasi derajat penyakit asma
CY. KNAA membagi asma berdasar keadaan klinis dan keperluan obat menjadi
3 golongan, yaitu asma episodik jarang (asma ringan), asma episodik sering (asma
sedang), dan asma persisten (asma berat) (Santoso, 2008).
b. Klasifikasi derajat serangan asma
CZ. Sedangkan derajat serangan asma dapat dibagi menjadi serangan ringan,
serangan sedang, dan berat.

DA.

DB.
DC.

(UKK Pulmonologi IDAI, 2000)

DD.

(UKK Pulmonologi IDAI, 2000)


DE.

E. Penatalaksanaan
DF.
Terapi Farmakologi

DG.
Penatalaksanaan asma dibagi menjadi dua, yaitu:
Pereda (reliever), yaitu bagaimana kita meredakan serangan atau gejala asma yang

timbul
Pengendali (controller) yaitu bagaimana kita mengatasi masalah dasar asma, yaitu
inflamasi kronik. Pemakaian obat terus menerus dalam jangka waktu lama, bergantung

derajat penyakit asma dan responnya terhadap pengobatan (Santoso, 2008)


DH.
DI. Obat-obat yang bisa digunakan dalam tatalaksana asma antara lain:
a. Agonis 2-Adrenergik
DJ. Golongan 2-agonis terbagi dua, yaitu: kerja lambat dan kerja cepat. Golongan
kerja cepat, seperti salbutamol; terbutalin; atau pirbeterol, digunakan untuk
serangan asma. Sedangkan golongan kerja lambat, seperti salmeterol dan
formeterol, digunakan sebagai pengendali asma dengan mengkombinasikan kedua
obat ini dengan steroid inhalasi, tidak digunakan sebagai monoterapi (Santoso,
2008).
DK.
Mekanisme kerja 2-agonis adalah merelaksasikan otot polos saluran nafas,
meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas vaskular, dan
menghambat kerja sel mast (PDPI, 2004).
DL.
2-agonis tersedia dalam bentuk inhalasi ataupun oral. Untuk inhalasi
terdapat dalam bentuk metered dose inhaler, dengan nebulizer, atau serbuk yang
dihirup (dry powder inhaler) (Santoso, 2008). Pemberian inhalasi lebih dianjurkan
karena lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada oral (PDPI, 2004). Efek
samping yang dapat timbul yaitu rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka,
hipokalemia (PDPI, 2004).
DM.
b. Metilxantin
DN.
Golongan metilxantin digunakan sebagai penggganti 2-agonis. Metilxantin
lepas lambat (teofilin) bisa digunakan bersama dengan steroid inhalasi sebagai
pengendali asma dan juga pada asma berat dapat dipakai secara injeksi intravena
(aminofilin) (Santoso, 2008).
DO.
Mekanisme kerjanya dengan menghambat kerja enzim fosfodiesterase dan
menghambat pemecahan cAMP menjadi 5AMP yang tidak aktif. Efek samping
yang dapat timbul adalah iritasi lambung, insomnia, palpitasi, dan pada dosis yang
berlebih dapat terjadi konvulsi (Santoso, 2008).
c. Kortikosteroid

DP.Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma
(PDPI, 2004). Kerja obat ini melalui penghambatan kerja sel inflamasi,
penghambatan kebocoran pembuluh darah kapiler, penurunan produksi mukus, dan
peningkatan kerja respon -reseptor (Santoso, 2008). Kortikosteroid dapat
diberikan secara inhalasi ataupun oral (PDPI, 2004). Steroid inhalasi lebih sering
digunakan karena efek samping yang minimal, yaitu kandidiasis orofaring dan
batuk (Santoso, 2008). Jika dengan steroid inhalasi asma tidak terkontrol, lebih
baik ditambah dengan obat pengontrol lain daripada menaikkan dosis (PDPI,
2004). Dan steroid oral diberikan pada asma berat yang tidak terkontol dengan
steroid inhalasi (PDPI, 2004).
DQ.
d. Kromolin
DR.
Yang termasuk golongan kromolin adalah sodium kromoglikat dan
nedokromil sodium. Mekanisme kerjanya dengan menghambat pelepasan mediator
dari sel mast. Kromolin diberikan secara inhalasi. Efek samping yang rimbul
berupa batuk atau rasa obat yang tidak enak saat melakukan inhalasi (PDPI, 2004)
DS.
e. Obat lain
DT.
Adrenalin dapat diberikan pada serangan asma yang tidak tersedia 2agonis. Sedangkan antikolinergik berfungsi sebagai bronkodilator pada serangan
asma, namun kerjanya tidak terlalu poten dibandingkan 2-agonis kerja cepat.
Sebagai pengendali asma juga terdapat golongan antihistamin seperti ketotifen.
Obat asma yang relatif baru adalah leukotriene modifiers yang mekanisme kerjanya
menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis leukotrien dan memblok
reseptor leukotrien. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis
reseptor leukotrien) (PDPI, 2004).
DU.
DV.

Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah


DW.

Manifestasi klinis serangan asma adalah episode akut dari batuk,

nafas pendek, mengi dan sesak nafas. National Asthma Education & Prevention
Program (NAEPP) menganjurkan langsung menggunakan inhalasi agonis 2agonis kerja singkat sebanyak 3x setiap 20 menit atau 3x dalam 1 jam. Jika respon
baik dengan berkurang gejalanya; perbaikan ini stabil dalam 4 jam; dan PEF >80%
prediksi/ nilai terbaik, pengobatan diteruskan dengan agonis 2 inhalasi setiap 2-4

jam untuk 24-48 jam. Sedangkan jika respon buruk, berikan kortikosteroid oral
(prednison 1-2 mg/kg/hari terbagi 4 dosis) kemudian segera ke dokter (Liu et al,
2008).
DX.
DY.
DZ.
EA.
EB.

FA.

EC.
ED.
EE.
EF.
EG.
EH.
EI.
EJ.
EK.
EL.
EM.
EN.
EO.
EP.
EQ.
ER.
ES.
ET.
EU.
EV.
EW.
EX.
EY.
EZ.
(Departemen Kesehatan, 2009)

Penatalaksanaan Serangan Asma di Klinik/ Ruang Gawat Darurat


FB.Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan,langsung dinilai derajat
serangannya menurut klasifikasi di atas sesuai dengan fasilitas yang tersedia.
Dalam panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer
atau peak flow meter) merupakan bagian integral penilaian penanganan serangan
asma, bukan hanya evaluasi klinis. Namun di Indonesia penggunaan alat tersebut
belum memasyarakat (UKK Pulmonologi IDAI, 2000).
FC.
FD.
FE.
FF.

FG.
FH.
FI.
FJ.
FK.
FL.
FM.
FN.
FO.
FP.
FQ.
FR.
FS.
FT.
FU.
FV.
FW.
FX.
FY.
FZ.
GB.

GA.
(Departemen Kesehatan, 2009

Penatalaksanaan Asma Jangka Panjang


a.
GC.

Asma Episodik Jarang


Pada asma episodik jarang tidak diperlukan pengobatan jangka panjang

hanya cukup diberi obat pereda saja seperti 2-agonis ataupun teofilin. Namun
teofilin tidak dianjurkan karena batas keamanannya sempit, yaitu jarak antara dosis
terapi dengan dosis toksik sangat dekat (Santosa, 2008)
GD.
b.
Asma Episodik Sering
GE.
Pada tahap awal, dosis kortikosteroid yang diberikan dimulai dengan dosis
rendah (pada anak > 12 tahun setara dengan budesonide 200-400 g, sedangkan pada
anak < 12 tahun 100-200 g) dan dipertahankan untuk beberapa saat (6-8 minggu)
apabila keadaan asmanya stabil (Supriyanto, 2005). Apabila dalam waktu 6-8 minggu
asmanya stabil, maka dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap yang pada
akhirnya dapat dihentikan tanpa kortikosteroid. Apabila dalam waktu 6-8 minggu
asmanya belum stabil yaitu masih sering terjadi serangan, maka harus menggunakan
pengobatan asma persisten. Sedangkan menurut Santoso (2008), sebaiknya
pengobatan dimulai dengan kromoglikat inhalasi terlebih dahulu, jika tidak berhasil
diganti dengan steroid inhalasi. Ketotifen (antihistamin generasi baru) tidak
dianjurkan tanpa penyerta rinitis alergika (Supriyanto, 2005).

GF.
c.
GG.

Asma Persisten
Apabila dengan pemberian kortikosteroid dosis rendah hasilnya belum

memuaskan, dapat dikombinasi dengan long acting beta-2 agonist (LABA) atau
dengan theophylline slow release (TSR), atau dengan antileukotrien, atau
meningkatkan dosis kortikosteroid menjadi dosis medium (setara dengan budesonide
200-400 g). Pemberian kortikosteroid secara inhalasi tidak mempunyai efek
samping terhadap tumbuh kembang anak selama dosis yang diberikan < 400 g dan
dengan cara yang benar. Pada anak dianjurkan tidak melebihi 800 g, karena dengan
penambahan dosis kortikosteroid tersebut tidak akan menambah manfaatnya, tetapi
justru meningkatkan efek sampingnya (Supriyanto, 2005).
GH.
Setelah tahap kedua ini, harus dievaluasi ulang keadaan stabilitas asma.
Apabila asma stabil dalam waktu 6-8 minggu, maka pengobatan dapat diturunkan
secara bertahap sampai pada kortikosteroid dosis rendah yang pada akhirnya dapat
tanpa obat-obat controller. Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya belum stabil,
maka tatalaksana meningkat pada tahap ketiga yaitu meningkatkan dosis
kortikosteroid menjadi

dosis

medium ditambah LABA, atau TSR, atau

antileukotrien, atau ditingkatkan dosis kortikosteroidnya menjadi dosis tinggi (setara


dengan budesonid >400 g). Apabila dengan dosis ini asmanya stabil dalam waktu 68 minggu, maka diturunkan secara bertahap ke tahap dua, ke satu dan akhirnya tanpa
controller. Apabila dengan cara tersebut di atas asmanya belum stabil, maka
penggunaan kortikosteroid secara oral boleh digunakan. Penggunaan kortikosteroid
oral (sistemik) harus merupakan langkah terakhir tatalaksana asma pada anak
(Supriyanto, 2005).
GI.
Terapi Non Farmakologi
a.
Penghindaran terhadap faktor pencetus merupakan hal yang
b.

penting dalam tata laksana asma secara menyeluruh (IDAI, 2004).


Kontrol teratur tidak hanya bila terjadi serangan akut, tetapi
kontrol terjadwal, interval berkisar 1-6 bulan bergantung keadaan asma. Hal ini

c.

berfungsi meyakinkan asma terkontrol (PDPI, 2004).


Meningkatkan kebugaran fisik dengan berolahrada yang

melatih dan menguatkan otot-otot pernafasan, seperti berenang (PDPI, 2004).


GJ.
F. Edukasi
GK.
Edukasi yang baik akan mengurangi serangan akut yang akhirnya dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien (PDPI, 2004). Edukasi ini terutama ditujukan

pada pasien dan keluarganya sehingga tercapai pemahaman tentang asma,


peningkatan ketrampilan penanganan asma, dan peningkatan kepatuhan pasien (Liu
a.
b.
c.
d.
e.

et al, 2008). Yang perlu diberikan antara lain:


Pengetahuan tentang asma
Identifikasi dan mengontrol faktor pencetus
Monitoring gejala asma
Penanganan serangan asma
Medikasi (jenis obat, cara penggunaan, efek samping yang mungkin

timbul) (PDPI, 2004).


GL.
GM.
GN.

(Departemen Kesehatan, 2009)

GO.

(UKK Pulmonologi IDAI, 2000)


G. Prevensi
GP.Prevensi primer dilakukanpada ibu hamil yang mempunyai riwayat atopi
pada dirinya, keluarganya, anak sebelumnya, atau pada suaminya (IDAI, 2004).

Prevensi primer bertujuan mencegah terjadinya sensitisasi pada janin intrauterin


dan dilakukan saat janin dalam kandungan dan menyusu (IDAI, 2004). Prevensi
primer dilakukan dengan menghindari faktor pencetus seperti asap rokok atau
makanan yang alergenik pada ibu yang sedang mengandung dan bayi, menyusui
minimal 4 bulan, dan gaya hidup sehat pada ibu yang sedang mengandung (Liu et
al, 2008).
GQ.

Prevensi sekunder bertujuan mencegah terjadinya inflamasi pada

anak yang sudah tersensitasi (PDPI, 2004) . Target pencegahan sekunder adalah
anak yang mempunyai orang tua dengan riwayat atopi (IDAI, 2004). Antihistamin
diberikan selama 18 bulan pada anak dengan riwayat atopi pada orang tua (IDAI,
2004). Namun pemberian obat ini masih kontroversi, meskipun ada yang
berpendapat akan mempunyai efek yang cukup baik bila digunakan selama 18
bulan (Supriyanto, 2005). Menurut PDPI (2004), menghentikan pajanan alergen
sedini mungkin pada anak yang sudah tersensitasi dapat menghasilkan resolusi
total gejala.
GR.

Dan yang terakhir prevensi tersier. Prevensi tersier bertujuan

mencegah terjadinya serangan asma pada anak yang sudah menderita. Prevensi
dapat berupa penghindaran terhadap pencetus maupun pemberian obat pengendali
(IDAI, 2004).

HG.

GS.
GT.
GU.
GV.
GW.
GX.
GY.
GZ.
HA.
HB.
HC.
HD.
HE.
HF.
DAFTAR PUSTAKA
HH.

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Pedoman Pengendalian


Penyakit Asma, Departemen Kesehatan, Jakarta.
2. Guyton, A.C, Hall, A.E, 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 11, EGC,
Jakarta.

3. Lui A. H., et al, 2008. Childhood Asthma, Nelson Textbook of Pediatric, 18th
edition, Elsevier, Philadelphia.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004. Asma: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia, Balai Penerbit FK UI, Jakarta.
5. Pusponegoro, H. D., et al, 2004. Standar Pelayanan Kesehatan Anak, edisi 1, Balai
Penerbit IDAI, Jakarta.
6. Santoso, H., 2008. Asma Bronkial, Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak, edisi 2, Balai
Penerbit IDAI, Jakarta.
7. Sharma G. D., 2010, Pediatric Asthma , http://emedicine.medscape.com/. Diakses
tanggal 23 April 2015.
8. Supriyatno, B., 2005. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak,
Majalah Kedokteran Indonesia, 55: 3, 237-243.
9. UKK Pulmonologi IDAI, 2000. Konsensus Nasional Asma Anak, Sari Pediatri,
Juni, 2:1, 50 - 66
10. WHO, 2008. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, WHO Indonesia, Jakarta.
HI.
HJ.

You might also like