Professional Documents
Culture Documents
MEILANI PUTRI
ii
ix
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Konsentrasi
Spasial dan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur di
Kawasan Barat Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Meilani Putri
NIM H14090029
ii
ABSTRAK
MEILANI PUTRI. Analisis Konsentrasi Spasial dan Faktor yang Memengaruhi
Aglomerasi Industri Manufaktur di Kawasan Barat Indonesia. Dibimbing oleh
WIWIEK RINDAYANTI
Ketimpangan regional terjadi akibat perbedaan sumberdaya dan kegiatan ekonomi
yang dihasilkan oleh tiap daerah. Pengembangan potensi daerah yang dilakukan
harus mendorong sektor-sektor perekonomian sesuai dengan keunggulan yang
dimiliki oleh daerahnya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis
perkembangan ketimpangan regional, konsentrasi spasial dan aglomerasi industri
manufaktur di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI). Penelitian ini
menggunakan alat analisis, yaitu Indeks Williamson, Sistem Informasi Geografi
(SIG), Indeks Hoover Balassa dan data panel. Hasil penelitian mengindikasikan
bahwa terdapat ketimpangan regional yang relatif sedang antar wilayah dan
terdapat beberapa provinsi dengan titik konsentrasi spasial industri manufaktur.
Variabel-variabel yang secara signifikan memengaruhi aglomerasi sektor industri
manufaktur adalah Indeks Persaingan Industri, ukuran perusahaan, Penanaman
Modal Asing (PMA), panjang jalan, nilai tambah dan jumlah perusahaan Industri
Besar dan Sedang (IBS). Peta distribusi lokasi industri manufaktur yang lebih
merata dapat meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat daerah.
Kata kunci: Indeks Williamson, Indeks Hoover Balassa, SIG, aglomerasi, data
panel
ABSTRACT
MEILANI PUTRI. Analysis of Spatial Consentration and Agglomeration Factor
of Manufacturing Industry in Western Region of Indonesia. Supervised by
WIWIEK RINDAYATI
Regional inequalities can be occured because of differences in resources
and the economic activity generated by each region. Manufacturing industry is
important sector that can encourage growth and development of other sectors.
The purposes of this research is to analyze the development of regional
imbalances, spatial concentration and agglomeration factor of manufacturing
industry in the western region of Indonesia. This research uses the analysis tool
Williamson Index, Geography Information System (GIS), Hoover Balassa Index
and panel data. Results of the study indicate that there is a relatively medium
regional imbalances in the distribution income and there are regions have point
of consentration spatial of manufacturing industries. Variables that constantly
affect the agglomeration of manufacturing industry is Competition Industry Index,
size of company, foreign investment, road, value added and number of large and
medium manufacturing industries. Map of the distribution of the location of the
manufacturing industry which is more evenly distributed can increase the income
and welfare of society.
Keywords: Williamson Index, Hoover Balassa Index, GIS, agglomeration, panel
data
ix
MEILANI PUTRI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
iv
ix
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa taala atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah industri
manufaktur di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI), dengan judul Analisis
Konsentrasi Spasial dan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri
Manufaktur di KBI. Masalah industri manufaktur dipilih menjadi topik penelitian
karena dianggap penting terutama dalam kontribusinya dalam Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) wilayah KBI yang semakin meningkat. Pembangunan
industri manufaktur yang tidak merata di setiap daerah mengindikasikan adanya
ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Selanjutnya,
masalah ini akan menimbulkan titik-titik konsentrasi di wilayah tertentu karena
perbedaan sumberdaya dan kemampuan yang dihasilkan tiap daerah. Titik-titik
konsentrasi ini mengumpul dan membentuk aglomerasi dengan tujuan agar
mendapatkan manfaat skala, lokasi dan urbanisasi.
Terima kasih juga diucapkan kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni
Bapak Hermawan SH MM dan Ibu Erwina SH serta kakak dari penulis, Ripal
Agusta atas segala doa dan dukungan yang selalu diberikan. Selain itu ucapan
terima kasih juga ditujukan kepada:
1. Ibu Dr Ir Wiwiek Rindayati selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan arahan, bimbingan, saran dan motivasi dengan sabar dan
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Sahara Ph.D selaku dosen penguji utama dan Ibu Laily Dwi Arsyianti,
M.Sc selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik dan saran yang
telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini.
3. Para dosen, staf dan seluruh civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi
FEM IPN yang telah memberikan ilmu dan berbagai bantuan.
4. Teman-teman satu bimbingan Astrid, Alfi dan Rahmat yang telah banyak
memberikan bantuan, saran, kritik, motivasi dan dukungannya dalam
penyelesaian skripsi ini.
5. Sahabat penulis Ilmu Ekonomi 46 Sonya, Manda, Gina, Srikandhi, Raisha,
Anisaul, Irene, Nella, Merlyn yang telah membantu dalam menyelesaikan
skripsi ini.
6. Sahabat penulis Kost Sinabung Echi, Wewe, Bagas, Tesa, Anin, Vera, Vini,
Vici, Yusi dan Rahma yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabat penulis Ady Mentayadiputra yang telah banyak memberikan bantuan,
motivasi dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Meilani Putri
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Perumusan Masalah ............................................................................................. 4
Tujuan Penelitian ................................................................................................. 5
Manfaat Penelitian ............................................................................................... 5
Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6
Ketimpangan Pembangunan Wilayah ................................................................. 6
Konsentrasi Spasial ............................................................................................. 8
Aglomerasi Sektor Industri Manufaktur .............................................................. 9
Penelitian Terdahulu .......................................................................................... 11
Kerangka Pemikiran .......................................................................................... 13
METODE .............................................................................................................. 14
Jenis dan Sumber Data ...................................................................................... 14
Metode Analisis Data ........................................................................................ 14
Indeks Williamson ......................................................................................... 15
Analisis Sistem Informasi Geografi ............................................................... 15
Indeks Hoover Balassa................................................................................... 16
Analisis Regresi Data Panel ........................................................................... 17
Pemilihan Model Terbaik .............................................................................. 18
Pengujian Asumsi .......................................................................................... 19
Spesifikasi Model .......................................................................................... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 21
Gambaran Umum .............................................................................................. 21
Ketimpangan Pembangunan Wilayah ............................................................... 31
Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur .......................................................... 33
viii
DAFTAR TABEL
2
3
22
23
34
35
37
39
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1
4
7
10
13
24
25
26
27
28
29
30
30
31
ix
32
34
36
DAFTAR LAMPIRAN
45
45
46
47
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki rencana pembangunan secara terarah dan intensif
melalui program Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional
tahun 2010 sampai tahun 2014. Program ini bertujuan sebagai bahan
pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun atau menyesuaikan
rencana pembangunan daerahnya masing-masing dalam rangka pencapaian
sasaran pembangunan nasional. Rencana pembangunan sangat diperlukan oleh
pemerintah daerah sebagai arahan dalam rangka mempercepat pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi daerah. Arah pembangunan Indonesia sejak tahun 1990
telah bertransformasi dari negara berbasis pertanian menjadi negara berbasis
industri, dimana kontribusi sektor industri manufaktur dalam PDB (Produk
Domestik Bruto) telah melampaui kontribusi sektor pertanian (Shofiyana 2012).
Hal ini sesuai dengan target Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II bahwa
pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%, tingkat pengangguran turun menjadi kisaran
5 sampai 6%, serta tingkat kemiskinan turun menjadi kisaran 8 sampai 10%.
Tujuan tersebut dapat diwujudkan dengan kontribusi sektor industri manufaktur
yang diharapkan dapat menjadi penggerak utama perekonomian nasional. Berikut
merupakan gambar yang menunjukkan kontribusi lima sektor tertinggi dalam
PDB nasional.
800000
700000
Pertanian, Peternakan,
Kehutanan dan Perikanan
Industri Manufaktur
600000
500000
400000
300000
200000
100000
0
2007
2008
2009
2010
2011
2012
tahun
sumber: BPS, 2012 (diolah)
2
dan mengangkat pembangunan di sektor lainnya, seperti sektor pertanian,
perdagangan dan jasa. Hal ini juga sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 28
tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, yaitu untuk mewujudkan
Indonesia sebagai negara industri yang tangguh pada tahun 2025, menghadapi
tantangan dan kendala yang ada, serta merevitalisasi industri nasional.
Pengembangan sektor industri manufaktur yang merata merupakan salah
satu cara untuk meningkatkan pendapatan dan laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Pembangunan sektor industri manufaktur merupakan titik awal pengembangan
perekonomian daerah dalam rangka untuk meningkatkan PDRB (Produk
Domestik Regional Bruto) dan pertumbuhan ekonomi daerah. Dimulainya era
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mendorong masing-masing daerah untuk
meningkatkan daya saing dan keunggulan komparatif daerahnya.
Pemerataan hasil-hasil pembangunan adalah salah satu upaya untuk
mewujudkan pembangunan melalui konsentrasi spasial melalui kontribusi sektor
industri terhadap PDRB (Chollidah 2012). Pembangunan industri manufaktur
yang tidak merata menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan, karena
perbedaan sumberdaya dan kegiatan ekonomi yang dihasilkan. Ketidakmerataan
sumberdaya ini tercermin pada konsentrasi kegiatan ekonomi di daerah tertentu
saja. Oleh karena itu, masalah lokasi dari setiap kegiatan pembangunan industri
baik secara nasional maupun regional harus dipertimbangkan secara mendalam
dan tepat.
Wilayah Indonesia diklasifikasikan menjadi dua kawasan, yaitu Kawasan
Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Setiap kawasan
memiliki keunggulan komparatif yang terspesialisasi pada sektor tertentu sesuai
dengan kemampuan daerahnya. Tabel 1 menunjukkan PDRB Atas Dasar Harga
Konstan 2000 pada wilayah KBI dan KTI.
Tabel 1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kawasan dan Lapangan Usaha
Tahun 2011 (miliar rupiah)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Lapangan Usaha
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Manufaktur
Listrik, Gas dan Air Bersih
Konstruksi
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Kuangan, Real Estat dan Jasa
Jasa-jasa
Total
Wilayah
KBI
283 471
150 295
543 914
26 100
130 833
468 654
175 319
198 245
195 770
Wilayah
KTI
52 332
20 011
17 366
85 347
15 259
30 530
17 144
11 198
25 350
2 172 601
274 537
3
bagi pembentukan PDRB di wilayah KTI. Namun, sektor listrik, gas dan air
bersih merupakan perusahaan negara yang pengelolaannya dilakukan oleh
pemerintah setempat, sehingga tidak digolongkan sebagai usaha pribadi
masyarakat. Sektor kedua terbesar dalam pembentukan PDRB wilayah KTI
adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan yang merupakan
sektor yang dikelola dan diolah oleh masyarakat. Sektor industri manufaktur dan
pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi daerah. Kedua sektor ini juga memiliki lokasi dan
karakteristik tertentu dalam pembangunan dan perkembangannya. Sektor industri
manufaktur umumnya berlokasi di daerah maju dan berkembang pesat (perkotaan),
sedangkan sektor pertanian umumnya berlokasi di daerah perdesaan dimana masih
terdapat lahan bagi aktivitas pertanian (Kurniawan dan Sugiyanto 2013).
Penelitian ini akan menganalisis sektor industri manufaktur sehingga objek
lokasi yang akan diteliti adalah wilayah KBI. Wilayah KBI dipilih berdasarkan
kontribusi sektor industri manufaktur yang lebih besar dibandingkan dengan
sektor lainnya. Wilayah KBI memiliki potensi yang dibutuhkan untuk
pembangunan industri manufaktur, didukung dengan letak geografisnya yang
dekat dengan pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi. Potensi lainnya yang
dimiliki oleh wilayah KBI dapat ditunjukkan dari luas wilayah total yang
mencapai 995 778.58 km2.
Tabel 2 Luas Wilayah KBI dan Persentase Terhadap Luas Indonesia Tahun 2011
Provinsi
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Luas (km2)
72 981.2
42 012.8
8 023.6
50 058.1
91 592.4
34 623.8
664.01
353 77.7
9 662.9
3 133.1
47 799.7
9 662.9
5 780.0
1 47307.0
153 564.5
204 534.3
4
yang dimiliki oleh wilayah KBI yang dapat ditingkatkan, sesuai dengan
keunggulan komparatif masing-masing provinsi. Setiap provinsi memiliki sumber
daya yang berbeda-beda, sehingga setiap kebijakan industri yang dibuat oleh
pemerintah akan menimbulkan hasil yang tidak sama. Salah satu cara untuk
mengatasinya adalah menciptakan spesialisasi sesuai dengan kemampuan dan
keunggulan sektor yang dimiliki tiap provinsi. Sektor industri manufaktur
diharapkan dapat mempercepat pemerataan dan pertumbuhan ekonomi daerah.
Perumusan Masalah
Provinsi
Sumber: BPS, 2013 (diolah)
5
ekonomi dan pemerintahan serta Kalimantan Timur yang memiliki kekayaan alam
yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya.
Sektor industri manufaktur akan lebih mudah ditingkatkan bila industri
mengelompok dan berkumpul sehingga tercapai suatu peghematan, kegiatan ini
disebut juga sebagai aglomerasi. Pengelompokkan ini akan meningkatkan kinerja
sektor industri melalui beberapa keunggulan, seperti penghematan skala, lokasi
dan urbanisasi. Menurut Purwaningsih (2011) bahwa semakin teraglomerasi
secara spasial suatu perekonomian, maka akan semakin meningkat
pertumbuhannya. Pembangunan sektor industri manufaktur dengan kebijakan
yang berorientasi spasial dan regional merupakan salah satu faktor kunci yang
dapat mendukung pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan dan
mengimplementasikan kebijakan pembangunan. Penelitian ini akan menganalisis
konsentrasi daerah industri yang mengakibatkan terbentuknya aglomerasi sektor
industri maufaktur pada lokasi tertentu. Oleh karena itu, penelitian ini juga akan
menganalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi terbentuknya aglomerasi.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan utama yang ingin dibahas
dalam penelitian ini adalah:
1 Bagaimana kondisi ketimpangan wilayah antar dan intra provinsi di wilayah
KBI?
2 Dimanakah titik-titik konsentrasi spasial industri manufaktur di wilayah KBI?
3 Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di
wilayah KBI?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka
penelitian ini pada intinya bertujuan untuk:
1 Menganalisis kondisi ketimpangan wilayah antar dan intra provinsi di
wilayah KBI.
2 Menganalisis letak titik-titik konsentrasi spasial industri manufaktur di
wilayah KB.
3 Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur
di wilayah KBI.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran
kepada pembaca mengenai ketimpangan wilayah, konsentrasi spasial dan
aglomerasi sektor industri manufaktur di wilayah KBI. Penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan saran dan masukan bagi pemerintah terutama
pemerintah daerah terkait dengan ketimpangan pembangunan wilayah dan
aglomerasi sektor industri manufaktur. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan
dapat menjadi sumber referensi, literatur dan informasi tambahan bagi penelitianpenelitian terkait selanjutnya.
6
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencakup periode 10 tahun, yaitu dari tahun 2002 sampai
dengan tahun 2011. Penelitian ini akan menganalisis wilayah KBI dengan yang
dibatasi menjadi 16 provinsi, dimana provinsi Aceh, Kepulauan Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, dan Kalimantan Selatatan tidak diikutsertakan. Alasannya,
karena terdapat beberapa provinsi baru sehingga dikembalikan pada daerah
asalnya serta keterbatasan data yang dimiliki oleh penulis. Data yang terkaitan
dengan industri manufaktur dibatasi hanya untuk perusahaan yang tergolong
Industri Besar dan Sedang (IBS) tanpa mengikutsertakan industri kecil karena
keterbatasan data. Kategori industri besar sedang mengikuti klasifikasi BPS, yaitu
suatu perusahaan industri dikatakan berskala sedang jika mempunyai tenaga kerja
20 orang sampai dengan 99 orang dan berskala besar jika mempunyai tenaga kerja
100 orang atau lebih.
TINJAUAN PUSTAKA
Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses kerja antara pemerintah
daerah dan masyarakatnya dalam mengelola sumber daya dan membentuk suatu
pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan
suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi
(pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Kuncoro 2004). Perbedaan
tingkat pembangunan akan menyebabkan tingkat kesejahteraan yang berbeda
antar daerah, dan akan menimbulkan ketimpangan regional. Ketimpangan wilayah
adalah ketidakmerataan dalam hal penguasaan sumberdaya alam atau sumber
penerimaan daerah satu dengan daerah lainnya, dan juga perkembangan sektorsektor ekonomi setempat (Adisasmita 2006).
Teori pertumbuhan neo-klasik memprediksi hubungan antara tingkat
pembangunan ekonomi nasional dengan ketimpangan regional antar wilayah.
Hipotesis neo-klasik ketimpangan wilayah pada permulaan proses cenderung
meningkat, proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik
puncak. Kemudian, bila proses pembangunan terus berlanjut maka secara
berangsur-angsur ketimpangan wilayah akan menurun (Sjafrizal 2008). Hal ini
menunjukkan bahwa ketimpangan pada negara berkembang cenderung lebih
tinggi dibandingkan ketimpangan pada negara maju. Kurva ketimpangan wilayah
berbentuk U terbalik pada Gambar 3.
Kurva
ketimpangan
Tingkat
ketimpangan
8
Konsentrasi Spasial
Konsensus umum dalam paradigma geografi ekonomi baru adalah bahwa
liberalisasi perdagangan mendorong penyebaran kegiatan manufaktur. Studi
empiris mengenai distribusi geografi kegiatan manufaktur yang tidak merata dan
terus-menerus berlangsung dalam jangka panjang telah banyak dilakukan di
negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa.
Wilayah Amerika Serikat faktanya lebih terkonsentrasi secara geografis
dibandingkan negara Uni Eropa. Negara Uni Eropa cenderung merupakan industri
yang padat modal dan berlokasi pada daerah inti, sedangkan industri-industri
padat karya relatif lebih tersebar secara geografis.
Derajat pengelompokkan industri secara geografis memainkan peranan
penting dalam menentukan sektor manakah yang memiliki keunggulan kompetitif
pada skala internasional. Dewasa ini, hipotesis bahwa kluster industri yang
ditandai dengan konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan dan institusiinstitusi yang saling berkaitan satu sama lain pada suatu bidang tertentu.
Konsentrasi spasial memperlihatkan kontribusi suatu wilayah dan distribusi lokasi
dari suatu industri. Apabila ada distribusi spasial yang tidak merata dan terdapat
wilayah yang mendominasi kawasan industri, maka hal ini menunjukkan adanya
industri yang terkonsentrasi secara spasial di wilayah tersebut (Kuncoro 2004).
Konsentrasi spasial merupakan pengelompokkan setiap industri dan
aktivitas ekonomi secara spasial, dimana industri tersebut berlokasi pada suatu
wilayah tertentu. Hal ini sejalan dengan Teori Kutub Pertumbuhan oleh Perroux
yang menyatakan bahwa pertumbuhan tidak muncul di berbagai tempat dan waktu
yang sama. Pertumbuhan hanya terjadi di beberapa tempat yang merupakan pusat
(kutub) pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda. Perusahaan yang menguasai
dominasi ekonomi pada umumnya adalah industri besar dan industri pendorong
yang dianggap sebagai titik awal proses pembangunan dan merupakan elemen
penting untuk tahapan pembangunan selanjutnya. Sehingga, industri dominan dan
pendorong akan menimbulkan aglomerasi yang hanya terjadi pada kutub-kutub
pertumbuhan tertentu (Adisasmita 2005).
Konsentrasi spasial tidak hanya disebabkan oleh perbedaan dari struktur
industri dan eksternalitas, akan tetapi juga diperluas pada transaksi yang tidak
melalui pasar. Ada tiga hal yang saling terkait dalam konsentrasi spasial, yaitu
skala ekonomi, biaya transportasi dan permintaan. Untuk mendapatkan dan
meningkatkan kekuatan skala ekonomis, perusahaan-perusahaan cenderung
berkonsentrasi secara spasial dan melayani seluruh pasar dari suatu lokasi.
Sedangkan untuk meminimalisasi biaya transportasi, perusahaan-perusahaan
cenderung pada wilayah yang memiliki permintaan lokal yang besar, akan tetapi
permintaan lokal yang besar cenderung berlokasi di sekitar terkonsentrasinya
aktivitas ekonomi, seperti kawasan industri maupun perkotaan. Konsentrasi
spasial akan menciptakan keuntungan yang berupa penghematan lokalisasi dan
penghematan urbanisasi yang merupakan faktor pendorong terjadinya aglomerasi.
Ukuran konsentrasi spasial yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
adanya pengelompokan industri manufaktur adalah Sistem Informasi Geografi
(SIG) dan Indeks Hoover Balassa. SIG merupakan alat analisis yang bermanfaat
untuk mengidentifikasi lokasi industri dan di daerah mana industri cenderung
9
mengelompok secara spasial. Prosedur standar dalam merancang dan
menggunakan SIG, yaitu pengumpulan data awal, konstruksi basis data, analisis
dan kajian spasial dan penyajian grafis (Kuncoro 2002).
Konsentrasi spasial juga dapat diukur dengan menggunakan Indeks Hoover
Balassa yang merupakan indikator dalam menentukan seberapa jauh suatu industri
terkonsentrasi pada suatu daerah dibandingkan industri di seluruh wilayah.
Metode penentuan konsentrasi spasial dilakukan dengan cara menghitung antara
tenaga kerja sektor industri manufaktur pada terhadap tenaga kerja total semua
sektor di daerah bawah dengan tenaga kerja sektor industri manufaktur pada
daerah atas terhadap tenaga kerja total semua sektor di daerah atas (Priyarsono et
al 2007). Peningkatan nilai LQ untuk suatu daerah industri menunjukkan adanya
peningkatan spesialisasi industri dalam daerah tersebut. Sebaliknya penurunan
nilai LQ untuk suatu daerah industri menunjukkan penurunan spasialisasi industri
dalam daerah tersebut. Spesialisasi yang tinggi pada suatu daerah industri di
daerah tertentu dapat mempercepat pertumbuhan industri di wilayah tersebut. Hal
ini dikarenakan bahwa pengetahuan yang diperoleh sebuah perusahaan dapat
menguntungkan perusahaan lainnya, khususnya perusahaan yang masih dalam
suatu industri yang sama. Alat ukur untuk menganalisis konsentrasi spasial juga
dapat menggunakan KSPEC, Gini lokasional, Indeks Entrophy Theil, Herfindahl
Indeks, Indeks Ellison- Glaeser dan lain sebagainya.
10
di perusahaan-perusahaan tersebut dibandingkan jika input tersebut dibeli
secara individu oleh perusahaan-perusahaan tersebut.
3 Ketersediaan Tenaga Kerja Terampil Lokal (Local skilled-labour pool)
Ketersediaan tenaga kerja terampil di wilayah tersebut akan menyebabkan
turunnya biaya tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan di lokasi tersebut.
Tujuan dari adanya aglomerasi adalah agar mampu menciptakan manfaatmanfaat yang tidak diperoleh bila letak industri tersebut menyebar, antara lain:
1 Penghematan Skala (scala economies), yaitu adanya penghematan dalam
produksi secara internal bila skala produksinya ditingkatkan. Sehingga dapat
memberikan manfaat pada konsentrasi penduduk dalam jumlah besar
daripada jumlah penduduk yang lebih sedikit, industri dan kegiatan lainnya.
2 Penghematan lokasi (lokalization economies), yaitu kekuatan yang
diasosiasikan dengan penghematan yang dinikmati oleh semua perusahaan
dalam suatu industri yang sejenis pada suatu lokasi tertentu.
3 Penghematan urbanisasi (urbanization economies), yaitu jenis penghematan
yang diasosiasikan dengan pertambahan jumlah total (penduduk, hasil
industri, pendapatan dan kemakmuran) di suatu lokasi untuk semua kegiatan
yang dilakukan bersama-sama.
Perkembangan konsep dan paradigma mengenai aglomerasi dapat
dirangkum dalam Gambar 4. Gambar ini memperlihatkan bahwa studi atau teori
mengenai aglomerasi dapat digolongkan dalam perspektif klasik dan modern.
AGLOMERASI
KLASIK
Penghematan
eksternal (External
economies)
Lokalisasi vs
Urbanisasi
Increasing
returns akibat
skala ekonomis
MODERN
Formasi
Perkota
an
MarshallArrowRomer
Eksternalitas
Dinamis
Jacob
s
Knowledge spillover
akibat
keanekaragaman
Pertumbuhan
Kota
Biaya
Transaksi
Central
Place vs
Network
System
Ketergantungan
skala vs
netralitas
Meminimalkan
biaya transaksi
11
Perspektif atau teori klasik berpendapat bahwa aglomerasi muncul karena
para pelaku ekonomi berupaya mendapatkan penghematan aglomerasi
(agglomeration economies), baik karena penghematan lokalisasi maupun
penghematan urbanisasi, dengan mengambil lokasi yang saling berdekatan satu
sama lain. Para ekonom biasanya membedakan antara dua pendekatan, yaitu
penghematan internal dan eksternal serta penghematan akibat skala ekonomis dan
cakupannya. Penghematan internal merupakan suatu pengurangan biaya secara
internal di dalam suatu perusahaan atau pabrik. Beberapa faktor yang berperan
dalam pengurangan biaya secara internal meliputi pembagian kerja (spesialisasi)
dan penggantian tenaga manusia dengan mesin, melakukan subkontrak beberapa
aktivitas proses produksi kepada perusahaan lain dan menjaga titik optimal
operasi yang dapat meminimalkan biaya. Penghematan eksternal merupakan
pengurangan biaya yang terjadi akibat aktivitas di luar lingkup perusahaan atau
pabrik. Penghematan biaya terjadi karena terdapat perusahaan dalam industri yang
sama bersaing satu sama lain dalam memperoleh pasar atau konsumen.
Penghematan ini juga terjadi karena adanya tenaga terampil dan bahan baku
dalam daerah tersebut yang menopang jalannya usaha perusahaan (Kuncoro 2002).
Perspektif modern menunjukkan ada tiga jalur pemikiran yang dapat
diidentifikasi, yaitu teori-teori baru mengenai eksternalitas dinamis (dynamic
externalities), mazhab pertumbuhan perkotaan dan paradigma berbasis biaya
transaksi. Eksternalitas dinamis menyatakan bahwa akumulasi informasi pada
suatu lokasi tertentu akan meningkatkan produkstivitas dan kesempatan kerja.
Eksternalitas dinamis versi Marshall-Arrow-Romer (MAR) menekankan pada
pentingnya transfer pengetahuan (knowledge spillovers) antarperusahaan lokal
dalam industri yang sama. Pertumbuhan yang didorong oleh transfer pengetahuan
pada industri yang berspesialisasi pada produk tertentu dan terkonklustersi secara
spasial. Analisis biaya transaksi menyatakan bahwa dengan adanya biaya
transaksi akan mendorong munculnya perusahaan baru.
Aglomerasi merupakan proses yang lebih kompleks jika dibandingkan
dengan kluster industri. Salah satu ukuran yang menentukan dalam pembentukan
aglomerasi sektor industri manufaktur adalah Indeks Spesialisasi. Indeks ini
adalah ukuran konsentrasi suatu industri dalam suatu kluster, dimana banyak studi
sebelumnya percaya mampu mendorong kemajuan teknologi dan pembentukan
aglomerasi. Indeks Spesialisasi juga menunjukkan seberapa jauh spesialisasi
industri dalam suatu kluster dibandingkan apabila industri tersebut tersebar secara
random diseluruh wilayah.
Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian dari Arifin (2006) yang berjudul Konsentrasi Spasial
Industri Manufaktur Berbasis Perikanan di Jawa Timur (Studi Kasus Industri
Besar Sedang). Penelitian ini menggunakan metode Sistem Informasi Geografi
(SIG) dimana peneliti menggunakan indikator nilai output yang dihasilkan
perusahaan Industri Besar dan Sedang (IBS). Dari analisis ini akan diperoleh
hasil daerah industri dan non industri. SIG yang digunakan digunakan untuk
mengidentifikasi dimana industri manufaktur cenderung berkumpul atau
membentuk kluster. Sehingga penelitian ini akan menunjukkan konsentrasi spasial
12
yang terjadi di Jawa Timur yang dapat menimbulkan ketimpangan distribusi
lokasi industri manufaktur antar pulau yang cukup besar. Pada penelitiaannya
yang lain Zainal Arifin juga meneliti dengan menggunakan alat analisis SIG untuk
mengukur dinamika spasial industri manufaktur. Indikator yang digunakan adalah
jumlah tenaga kerja yang akan menunjukkan daerah industri dan non industri.
Hasil penelitian dari Shofiyana (2012) yang berjudul Analisis Konsentrasi
Spasial Industri Manufaktur Besar dan Sedang di Provinsi Jawa Tengah Tahun
2002-2008 menunjukkan bahwa letak konsentrasi spasial industri manufaktur di
Jawa Tengah tertinggi berada di Kabupaten Kudus, Kota Semarang dan Kota
Pekalongan. Hal ini menunjukkan bahwa pola pengembangan industri di Jawa
Timur mengindikasikan adanya spesialisasi industri di beberapa wilayah tertentu.
Sehingga memberikan keuntungan pada nilai tambah produksi dan penyerapan
tenaga kerja. Metodologi yang digunakan adalah dengan Loqation Quotient (LQ)
untuk menunjukkan daya saing dan keunggulan komparatif subsektor industri.
Analisis konsentrasi kegiatan industri juga digunakan untuk menunjukkan
konsentrasi kegiatan industri berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai tambah
yang dihasilkan oleh IBS.
Penelitian yang dilakukan oleh Mudrajat Kuncoro dan Sari Wahyuni (2009)
yang berjudul FDI Impact On Industrial Agglomeration: The Case of Java,
Indonesia menganalisis tentang teori mana yang paling tepat untuk menjelaskan
konsentrasi geografi pada sektor industri manufaktur di Pulau Jawa. Metode data
panel digunakan untuk mengukur konsentrasi spasial subsektor industri di Pulau
Jawa pada periode tahun 1991 sampai 2002. Variabel terikat yang digunakan
adalah Indeks Spesialisasi dengan variabel bebasnya, yaitu skala ekonomi,
intensitas sumber daya, kandungan impor, pendapatan per kapita, persaingan,
biaya tenaga kerja, path dependency,orientasi ekspor, investasi asing serta
dilengkapi oleh dummy industri, dummy regional dan dummy waktu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa intensitas sumber daya dan investasi asing tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap Indeks Spesialisasi. Variabel-variabel
yang berpengaruh secara signifikan pada taraf 5% adalah kandungan impor, skala
ekonomi, orientasi ekspor, Indeks Persaingan, path dependency dan pendapatan
per kapita. Variabel yang berpengaruh secara signifikan pada taraf 10%
ditunjukkan oleh biaya tenaga kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih (2011) yang berjudul Tren
Konsentrasi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri
Manufaktur Besar Sedang di Jawa Barat menunjukkan bahwa ketimpangan
ekonomi di Jawa Barat yang diukur dengan menggunakan Indeks Williamson
mempunyai tren yang menurun dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
antar kabupaten di Jawa Barat masih terjadi ketimpangan pendapatan.
Perkembangan ketimpangan distribusi geografis aktivitas industri manufaktur
dapat dihitung dan dianalisis dengan Indeks Entrophy Theil yang menunjukkan
bahwa ada indikasi yang sangat tinggi pada periode 2001-2008. Namun, tren
konsentrasi spasial terbukti cenderung menurun dari tahun ke tahunnya.
Selanjutnya faktor-faktor yang secara positif memengaruhi aglomerasi industri
manufaktur di Jawa Barat adalah ukuran perusahaan, keanekaragaman industri,
kepemilikan modal asing, besarnya pangsa pasar dan infrastruktur jalan.
Sedangkan faktor-faktor yang secara negatif mempengaruhi aglomerasi industri
manufaktur di Jawa Barat adalah tingkat upah dan kenaikan BBM. Terdapat tiga
13
variabel bebas yang tidak signifikan memengaruhi aglomerasi industri, yaitu
Indeks Persaingan Industri, Orientasi Ekspor dan Impor dan Infrastruktut Listrik.
Kerangka Pemikiran
Ketimpangan yang terjadi antar daerah di wilayah KBI disebabkan oleh
perbedaan sumberdaya dan kegiatan ekonomi, terutama pembangunan sektor
industri manufaktur. Pengembangan sektor industri manufaktur berpengaruh
penting terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi wilayah KBI, karena
merupakan salah satu indikator pendorong nilai tambah dan lapangan kerja.
Secara keseluruhan kerangka pemikiran penelitian ini seperti pada yang di
tunjukkan pada Gambar 4.
Kawasan Barat Indonesia
Sistem Informasi
Geografi
Indeks Hoover
Balassa
Implikasi Kebijakan
14
tidak terjadi konsentrasi dan menciptakan aglomerasi hanya pada titik-titik
tertentu saja. Sehingga diperlukan analisis untuk melihat titik-titik lokasi industri
manufaktur yang telah berkembang serta faktor-faktor apa yang menciptakan
aglomerasi agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di
wilayah KBI.
METODE
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder 16 provinsi di wilayah Kawasan
Barat Indonesia (KBI) dengan periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2011,
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM). Dalam penelitian ini data dianalisis secara kuantitatif
dan kualitatif. Berikut merupakan data-data yang diperlukan pada penelitian ini.
1 Data PDRB per kapita Provinsi Atas Dasar Harga Konstan 2000 KBI.
2 Data jumlah penduduk dan tenaga kerja tingkat provinsi di wilayah KBI.
3 Data tenaga kerja yang diserap Industri Besar dan Sedang (IBS) menurut
provinsi wilayah KBI.
4 Data nilai tambah dan ouput yang dihasilkan IBS menurut provinsi di
wilayah KBI.
5 Data realisasi nilai Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) menurut provinsi di wilayah KBI.
6 Data Upah Minimum Provinsi (UMP), yaitu upah minimal yang
seharusnya diterima oleh tenaga kerja industri besar dan sedang menurut
provinsi Kawasan Barat Indonesia.
7 Data panjang jalan menurut kondisi baik di masing-masing provinsi di
Kawasan Barat Indonesia.
8 Data jumlah perusahaan, yaitu banyaknya jumlah perusahaan Industri
Besar dan Sedang (IBS) menurut provinsi wilayah KBI
Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan analisis metode
kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran secara
umum mengenai kondisi sektor industri manufaktur di wilayah KBI dan
karakteristik variabel-variabel yang terkait dengan penelitian. Variabel-variabel
tersebut adalah Indeks Persaingan Industri, ukuran perusahaan, PMA, PMDN,
panjang jalan, UMP, nilai tambah, dan jumlah perusahaan IBS. Penelitian ini akan
diolah dengan menggunakan program Eviews 6.1, Quantum Geographic
Information System (GIS) 1.7.4 dan Microsoft Excel 2007. Penggunaan metode
kuantitatif bertujuan untuk melakukan perhitungan dalam rangka menjawab
permasalahan dalam penelitian. Alat analisis pertama yang digunakan adalah
dengan Indeks Williamson, yaitu untuk mengukur seberapa besar ketimpangan
wilayah di wilayah KBI. Kedua, dengan Indeks Hoover Balassa dan Sistem
Informasi Geografi (SIG) untuk melihat titik-titik konsentrasi spasial pada
15
wilayah KBI. Selanjutnya, analisis dilakukan dengan menggunakan data panel
untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi aglomerasi industri manufaktur
di tiap provinsi wilayah KBI. Berikut merupakan penjelasan lebih mendalam
mengenai metode kuantitatif yang digunakan.
Indeks Williamson
Tujuan pertama akan dijawab dengan menggunakan Indeks Williamson,
yaitu untuk mengukur ketimpangan ekonomi wilayah antar dan intra provinsi di
wilayah KBI. Indeks Williamson yang diperoleh terletak antar 0 sampai dengan 1,
semakin mendekati 0 maka ketimpangan wilayah semakin rendah, tetapi jika
mendekati 1 maka ketimpangan wilayah akan semakin tinggi serta
mengindikasikan adanya pertumbuhan ekonomi yang tidak merata.
Formulasi Indeks Williamson untuk mengukur ketimpangan antar provinsi
wilayah KBI adalah sebagai berikut:
IW =
Keterangan:
IW
= Indeks Williamson
yi
= PDRB per kapita di provinsi i
Keterangan:
IW
= Indeks Williamson
yj
= PDRB per kapita kabupaten j
16
Kuncoro (2002) bahwa kemampuan SIG dalam penyimpanan, analisis, pemetaan
dan membuat model mendorong aplikasi yang luas dalam berbagai disiplin ilmu,
dari teknologi informasi hingga sosial-ekonomi maupun analisis yang berkaitan
dengan populasi. Pola konsentrasi spasial dapat diidentifikasi dengan menerapkan
langkah-langkah sebagai berikut:
1 Memberikan peringkat (rank) untuk seluruh provinsi di wilayah KBI
berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan oleh
perusahaan Industri Besar dan Sedang (IBS);
2 Menyajikan data jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan oleh
perusahaan IBS dalam bentuk peta untuk menunjukkan dimana lokasi daerah
industri dan daerah non-industri.
3 Membedakan antara daerah industri dan daerah non-industri dengan membuat
suatu kriteria tertentu, yaitu sangat tinggi, tinggi, serta menengah sampai
rendah berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan
masing-masing industri. Ciri utama daerah industri adalah daerah yang
memiliki tingkat kepadatan industri yang tinggi atau sangat tinggi baik
dalam jumlah pekerja maupun nilai tambah.
4 Menurut Kuncoro (2013) kriteria wilayah yang memiliki daerah kepadatan
industri dengan menggunakan klasifikasi sangat tinggi, tinggi dan menengah
sampai rendah, yaitu:
Sangat Tinggi, apabila jumlah pekerja lebih dari 125 ribu orang, Tinggi,
apabila memiliki jumlah tenaga kerja antara 25 ribu hingga 125 ribu orang
dan Menengah sampai rendah, apabila memiliki jumlah tenaga kerja
kurang dari 25 ribu orang.
Sangat Tinggi, apabila menghasilkan nilai tambah lebih dari Rp2 triliun,
Tinggi, apabila menghasilkan nilai tambah antara Rp450 juta hingga Rp2
triliun dan Menengah sampai rendah, apabila menghasilkan nilai tambah
kurang dari Rp450 juta
Indeks Hoover Balassa
Indeks Hoover Balassa juga digunakan untuk menjawab tujuan kedua,
untuk menganalisis titik konsentrasi spasial industri manufaktur yang terjadi di
wilayah KBI. Menurut Kuncoro (2004), Indeks Hoover Balassa atau Location
Quotient (LQ) tenaga kerja juga digunakan untuk melihat rasio dari peranan
sektor lokal tertentu terhadap sektor yang sama di tingkat ekonomi acuan yang
lebih luas. Pendekatan ini menyatakan bahwa spesialisasi relatif (industri) pada
suatu wilayah terjadi, apabila spesialisasi industri pada suatu wilayah lebih besar
daripada spesialisasi pada wilayah agregat. Selanjutnya, dalam bentuk aljabar
hubungan tersebut dapat dinyatakan dengan:
LQ = (Eij/
Keterangan:
LQ
Eij
)/(
17
Nilai LQ lebih dari satu (>1), menunjukkan bahwa sektor i terspesialisasi
secara relatif di wilayah j dan sektor i merupakan sektor unggulan yang layak
dikembangkan di wilayah j. Nilai LQ kurang dari satu (<1) menunjukkan sektor i
tidak terspesialisasi secara relatif di wilayah j dan sektor i bukan merupakan
sektor unggulan yang layak dikembangkan di wilayah j. Hal ini sejalan dengan
Suharto (2002) yang menyatakan jika nilai LQ lebih dari satu (>1), berarti sektor i
memiliki daya saing dibanding sektor lain pada wilayah yang dijadikan
pembanding misalnya provinsi terhadap negara dan sebagainya.
Analisis Regresi Data Panel
Tujuan ketiga akan dijawab dengan menggunakan analisi data panel, yaitu
data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu (Gujarati 2004). Secara
umum, data panel dicirikan oleh t periode waktu (t=1,2,3,....,t) yang kecil dan n
jumlah individu (i=1,2,3,...,n) yang besar. Namun, tidak menutup kemungkinan
terjadi sebaliknya, yaitu data panel terdiri atas periode waktu yang besar dengan
jumlah individu yang kecil. Menurut Baltagi (2005) ada beberapa keuntungan
tentang penggunaan data panel, diantaranya sebagai berikut:
1 Mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan menerapkan metode ini,
estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur
heterogenitas individu.
2 Dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar
peubah (variabel), serta meningkatkan derajat bebas (deegre of freedom) dan
lebih efisien.
3 Lebih baik untuk studi dynamic of adjustment. Karena berkaitan dengan
observasi cross section yang berulang, maka data panel baik dalam
mempelajari perubahan dinamis.
4 Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana
tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja.
Data panel merupakan satu set observasi yang terdiri dari beberapa individu
pada suatu periode tertentu. Observasi tersebut merupakan pasangan yit (variabel
terikat) dengan xit (variabel bebas) dimana i menunjukkan individu, t
menunjukkan waktu dan j menunjukkan variabel bebas yang dinyatakan dalam
sebuah persamaan berikut:
Yit = + xijt + it
Terdapat dua pendekatan dalam data panel, yaitu Fixed Effect Model (FEM)
dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan pada asumsi
ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (Firdaus
2011).
a. Fixed Effect Model (FEM)
Pada model FEM, terdapat pola yang tidak acak atau korelasi antara efek
individu dan peubah penjelas dengan xit sehingga komponen error dari efek
individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep. Pada pendekatan one
way error component, komponen error hanya terdiri dari efek individu
sedangkan pada two way error component, selain efek individu juga terdapat
efek waktu. Penduga pada FEM dapat diestimasi melalui beberapa teknik
sebagai berikut:
18
1. Pooled Least Square (PLS), pendekatan ini menggunakan gabungan
seluruh data (pooled) atau menggabungkan data cross section dan time
series murni. Unit observasi yang terbentuk adalah N x T observasi,
dimana N menunjukkan jumlah unit cross section dan T menunjukkan
jumlah series yang digunakan. Ketika data digabungkan menjadi pool data,
regresi yang dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan regresi dengan
menggunakan data cross section saja atau time series saja. Pendekatan ini
juga memiliki kelemahan, yaitu penduga parameter cenderung akan bias
karena variasi atau perbedaan antara individu dan waktu tidak dapat
terlihat.
2. Within Group (WG) merupakan pendekatan yang digunakan untuk
mengatasi masalah bias pada PLS. Teknik yang digunakan adalah dengan
menggunakan data deviasi dari rata-rata individu. Kelebihan dari WG
adalah dapat menghasilkan parameter yang tidak bias, namun
kelemahannya adalah nilai varian parameternya relatif lebih besar dari
parameter PLS sehingga penduga WG relatif lebih tidak efisien.
Kelemahan lainnya adalah pendekatan WG tidak memiliki intersep
sehingga tidak mengakomodir karakteristik time-invariant pada FEM.
3. Least Square Dummy Variable (LSDV), pendekatan ini menggunakan
dummy variable untuk dapat merepresentasikan perbedaan intersep.
yit = i+xit+it ; i= 1,2,...,N ; t=1,2,...,T
Dimana it=i+vit untuk one way error component dan ui=i +
t+vt untuk two way error component dimana i adalah efek individu t
adalah efek waktu dan vit adalah error. Kelebihan dari pendekatan LSDV
adalah dapat menghasilkan dugaan parameter yang tidak bias dan efisien
namun kelemahannya adalah jika jumlah unit observasinya besar maka
terlihat cumbersome.
b. Random Effect Model (REM)
Pada REM, intersep diintegrasikan dalam komponen error (it) sehingga
menjadi cross section error (i), time series error (t) dan combination error
(it). REM akan lebih tepat digunakan jika memang benar tidak ada hubungan
antara it dan xit, karena jika it dan xit berkorelasi maka estimasi
menggunakan REM akan bias. REM digunakan ketika efek individu dan efek
waktu tidak berkorelasi dengan xit. Asumsi ini membuat komponen error dari
efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error. Model umum yang
digunakan untuk one way error component adalah yit = i+xit+uit+i+t.
Pemilihan Model Terbaik
Berdasarkan asumsi model yang telah dijelakan sebelumnya akan dilakukan
pemilihan model terbaik dengan menggunakan uji Hausman untuk menentukan
apakah Random Effect Model (REM) atau Fixed Effect Model (FEM) adalah
model yang paling tepat untuk digunakan.
a. Uji Hausman
Dalam memilih apakah fixed atau random effect yang lebih baik, dilakukan
pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara regresor dan efek
individu. Seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan model FEM
mengandung suatu unsur trade off yaitu hilangnya derajat kebebasan dengan
memasukkan variabel dummy. Penggunaan metode REM juga harus
19
memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat.
Untuk menguji asumsi ini dapat digunakan uji hausman. Hipotesis yang diuji
adalah sebagai berikut:
H0 : E(xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat
H1 : E(xit) 0 atau FEM adalah model yang tepat
Kemudian, nilai statistik uji Hausman dibandingkan dengan nilai statistik
Chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan:
H = (REM FEM)(MFEM-MREM)-1(REM emFEM)~2(k)
Dimana M adalah matriks kovarian untuk parameter dan k adalah derajat
bebas. Jika nilai H lebih besar dari 2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan
penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed
effect begitu juga sebaliknya.
b. Uji Chow
Chow Test atau beberapa buku menyebutnya pengujian F-Statistics adalah
pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square
atau Fixed Effect. Seperti yang kita ketahui, terkadang asumsi bahwa setiap
unit cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini
dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:
H0
: Model Pooled Least Square
H1
: Model Fixed Effect
Dasar penolakan terhadap hipotesa nol adalah dengan menggunakan FStatistik seperti yang dirumuskan oleh Chow.
CHOW = (RRSS-URSS)/(N-1)
URSS/ (NT-N-K)
Keterangan:
RRSS : Restricted Residual Sum Square
URSS : Unrestricted Residual Sum Square
N
: Jumlah data cross section
T
: Jumlah data time series
K
: Jumlah variabel penjelas
Chow ini mengikuti distribusi F-statistik yaitu FN-1,NT-N-K. Jika nilai Chow
statistics (F-stat) hasil pengujian lebih besar dari F-Tabel, maka cukup bukti
untuk melakukan penolakan terhadap H0, sehingga model yang digunakan
adalah fixed effect, begitu juga sebaliknya.
Pengujian Asumsi
a. Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar dugaan parameter dalam model
regresi bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimated) adalah varian dari
semua komponen error (uit) bernilai sama atau konstan. Kondisi demikian
disebut sebagai homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau
berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas
menyebabkan uji hipotesis baik uji-t atau uji-F akan memberikan kesimpulan
yang tidak akurat. Untuk mendeteksi heteroskedastis dapat dilakukan dengan
metode generalized least square (GLS), yaitu dengan membandingkan sum
square residual pada weighted statistics dengan sum square residual pada
20
unweighted statistics. Jika sum square residual pada weighted statistics lebih
kecil dari sum square residual pada unweighted statistics, maka terjadi
heteroskedastisitas.
b. Uji Autokorelasi
Autokorelasi terjadi jika terdapat korelasi antar observasi dalam satu peubah
atau terdapat korelasi antar error masa lalu dengan error masa yang akan
datang. Autokorelasi yang kuat dapat menyebabkan variabel yang tidak
berhubungan menjadi berhubungan. Bila metode OLS digunakan, maka akan
terlihat koefisien signifikansi atau R2 yang besar. Pengujian ada tidaknya
autokorelasi dalam model dapat dilakukan dengan uji Durbin Watson.
Statistik Durbin-Watson (DW) didefinisikan sebagai berikut:
DW =
/
Nilai statistik DW dibandingkan dengan nilai DW tabel. Adapun kerangka
identifikasi autokorelasi terangkum sebagai berikut.
4-dl < DW < 4 : Terdapat korelasi serial negatif
4-du < DW <4 : Hasil tidak dapat ditentukan
2 < DW < 4-du : Tidak terdapat korelasi serial
du < DW < 2
: Tidak terdapat korelasi serial
dl < DW < du
: Hasil tidak dapat ditentukan
0 < DW < dl
: Terdapat korelasi serial positif
Spesifikasi Model
Rancangan model yang akan diajukan adalah model data panel dengan
delapan variabel bebas. Variabel independennya adalah Indeks Spesialiasi. Data
yang diperoleh memiliki satuan yang berbeda. Oleh karena itu, untuk
memudahkan dalam mengolah data dan interpretasi hasil akhirnya, kedelapan
variabel ini akan diubah bentuknya sehingga menjadi bantuk satuan yang sama,
yaitu dalam persentase. Beberapa variabel akan diubah menjadi bentuk logaritma
natural sehingga koefisien hasil regresi diinterpretasikan sebagai elastisitas.
Dengan model tersebut, diharapkan bahwa hasil regresi yang diperoleh akan lebih
efisien dan mudah diinterpretasikan,
Sesuai dengan keterangan di atas, maka model tersebut secara ekonometrika
akan menjadi:
Isit
21
IS = (Eij/
)/(
Dimana:
Eij
: Tenga Kerja sektor i di daerah j
22
Provinsi harus menyusun peta panduan mengenai pengembangan industri
unggulan di wilayahnya. Pembangunan industri manufaktur bergantung pada
faktor produksi yang dimiliki oleh tiap daerah, sehingga menimbulkan
keunggulan
komparatif yang berbeda-beda. Sektor industri manufaktur
merupakan sektor yang terbukti sebagai penyumbang terbesar terhadap PDB
nasional, sehingga diharapkan industri manufaktur dapat meningkatkan
pendapatan negara. Industri manufaktur diharapkan dapat mendorong
pertumbuhan sektor-sektor lain dan mempercepat pengembangan wilayah. Hasil
akhir yang diharapkan adalah ketimpangan wilayah berkurang dan pembangunan
dapat dinikmati oleh semua wilayah.
Industri manufaktur merupakan salah satu langkah yang ditempuh oleh
negara berkembang yang mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun,
hal ini seharusnya juga diikuti dengan pembangunan yang merata di setiap
wilayah. Perkembangan sektor industri manufaktur di wilayah KBI ditunjukkan
dari jumlah perusahaan Industri Besar dan Sedang (IBS) yang belokasi pada
wilayah tertentu. Hal ini dapat menggambarkan kecenderungan para pelaku
ekonomi industri manufaktur menentukan lokasi industrinya. Berikut merupakan
gambar dari jumlah perusahaan IBS menurut provinsi wilayah KBI tahun 2011.
Tabel 3 Perkembangan Jumlah Perusahaan IBS Wilayah KBI Tahun 2007-2010
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Provinsi
Jawa Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
DKI Jakarta
Banten
Sumatera Utara
DI. Yogyakarta
Bali
Riau
Sumatera Selatan
Lampung
Sumatera Barat
Kalimantan Timur
Kalimantan Barat
Jambi
Kalimantan Tengah
2007
6 776
6 260
5 168
2 566
1 846
1 184
451
474
199
152
314
178
148
181
93
51
2008
6 195
6 248
4 678
1 866
1 804
1 109
416
409
196
152
279
182
122
120
84
37
2009
6 204
6 254
4 213
1 699
1 695
1 002
403
366
191
226
167
158
111
103
90
57
2010
6 199
6 251
3 887
1 588
1 620
987
409.5
326
183
220
242
139
116
95
88
47
2011
6 201
6 252
4 050
1 643
1 675
987
406
346
187
187
204
148
113
99
88
52
Tabel 3 menunjukkan peta lokasi IBS di wilayah KBI yang tidak merata dan
terkonsentrasi hanya di beberapa wilayah saja. Provinsi dengan jumlah IBS
terbanyak terletak di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta dan
Banten. Kelima provinsi itu merupakan provinsi di pulau Jawa yang menunjukkan
adanya pemusatan kegiatan industri di wilayah tersebut. Provinsi dengan
pengembangan jumlah IBS terrendah adalah provinsi Kalimantan Tengah, Jambi,
23
Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Hal ini menunjukkan bahwa provinsiprovinsi tersebut cenderung memiliki keunggulan pada sektor lain selain sektor
industri manufaktur, seperti Jambi dan Kalimantan Tengah dengan sektor
perkebunannya dan Kalimantan Timur dengan sektor pertambangannya. Hal
inilah yang menyebabkan terjadinya terpusatnya lokasi sektor industri manufaktur
dan membentuk suatu aglomerasi.
Sektor industri manufaktur memiliki dua karakteristik, yaitu industri padat
modal dan padat karya. Namun, pada dasarnya maupun industri padat modal atau
karya akan terkonsentrasi pada titik yang memiliki keuntungan untuk berlokasi
pada daerah yang mampu meminimumkan biaya produksi. Titik konsentrasi
industri manufaktur tidak hanya terpusat berdasarkan pada lokasi tetapi juga
berdasarkan subsektor yang berada di lokasi tersebut. Berikut merupakan
gambaran subsektor terbanyak yang dimiliki oleh suatu provinsi wilayah KBI
tahun 2011.
Tabel 4 Jumlah Perusahaan IBS Menurut Subsektor dan Provinsi Wilayah KBI
Tahun 2011
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Provinsi
Jawa Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
DKI Jakarta
Banten
Sumatera Utara
DI. Yogyakarta
Bali
Riau
Sumatera Selatan
Lampung
Sumatera Barat
Kalimantan Timur
Kalimantan Barat
Jambi
Kalimantan Tengah
Subsektor
Jumlah
Makanan dan minuman
1 143
Makanan dan minuman
1 761
Makanan dan minuman
869
Pakaian jadi
382
Karet dan barang dari karet dan barang dari plastik
223
Makanan dan minuman
469
Furnitur dan industri pengolahan lainnya
90
Pakaian jadi
90
Makanan dan minuman
136
Makanan dan minuman
75
Makanan dan minuman
181
Makanan dan minuman
73
Mesin lainnya dan perlengkapannya
35
Makanan dan minuman
51
Makanan dan minuman
36
Makanan dan minuman
27
24
dihasilkan juga tinggi, hal ini bergantung efisiensi dan skala ekonomi yang
dihasilkan oleh masing-masing IBS.
Subsektor yang besar pada suatu wilayah akan menarik perusahaan IBS
sejenis untuk berlokasi dan berproduksi di wilayah yang sama. Hal ini
dikarenakan perusahaan sejenis cenderung membutuhkan faktor produksi yang
sama, seperti tenaga kerja. Hal ini akan menguntungkan karena perusahaan akan
memperoleh tenaga kerja terampil serta upah yang rendah. Hal ini berbeda, jika
perusahaan sejenis pada lokasi yang sama berkompetisi dalam memperoleh faktor
input, seperti bahan baku, maka keuntungan dari lokasi yang berdekatan tidak
akan tercapai. Perusahaan baru sejenis akan cenderung mencari lokasi yang
berjauhan untuk melakukan kegiatan ekonomi.
Titik konsentrasi baru perlu dikembangkan dengan menganalisis faktorfaktor yang memengaruhi pembentukan aglomeras. Sehingga, daerah-daerah yang
memiliki potensi juga dapat menikmati keuntungan dari aglomerasi yang pada
akhirnya mampu mendistribusikan pendapatan secara lebih merata. Variabelvariabel yang dipilih berdasarkan pertimbangan analisis dan upaya untuk menguji
model lokasi. Berikut merupakan beberapa variabel yang menentukan
pembentukan aglomerasi dari aktivitas industri manufaktur.
Provinsi
Sumber: BPS, 2013 (diolah)
Gambar 6 Indeks Persaingan Industri Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011
25
Ukuran Perusahaan
350
300
250
200
150
100
50
0
Provinsi
Sumber: BPS, 2013 (diolah)
26
skala perusahaan yang terkecil, yaitu sebesar 79.69. Ukuran perusahaan ini
dihitung berdasarkan tenaga kerja yang diserap dan jumlah perusahaan IBS yang
berada di wilayah tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah-daerah dengan
jumlah perusahaan IBS yang besar memiliki daya serap tenaga kerja IBS yang
juga besar sehingga ukuran atau skala perusahaannya tidak terlalu besar. Hipotesis
yang digunakan adalah semakin besar ukuran atau skala perusahaan maka akan
semakin mendorong terbentuknya aglomerasi. Variabel ini akan dianalisis untuk
melihat keterkaitannya secara signifikan terhadap pembentukan aglomerasi sektor
industri manufaktur.
Hubungan Penanaman Modal Asing terhadap Aglomerasi
Penanaman Modal Asing (PMA) dianggap juga sebagai sumber pembiayaan
yang paling berkualitas karena bersifat berkelanjutan dan dapat menyerap ilmu
dan teknologi. Pendapatan nasional Indonesia yang cenderung hasil dari
penjumlahan konsumsi yang tinggi bersifat tidak tahan lama dan tidak mengatasi
masalah pengangguran. PMA di wilayah KBI terkonsentrasi wilayah tertentu
terutama pada wilayah pusat kegiatan ekonomi. Berikut merupakan gambaran
PMA menurut provinsi wilayah KBI tahun 2011.
6000000
PMA ($000)
5000000
4000000
3000000
2000000
1000000
0
Provinsi
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2013 (diolah)
27
manufaktur. Variabel ini akan dianalisis untuk melihat keterkaitannya secara
signifikan terhadap pembentukan aglomerasi sektor industri manufaktur.
provinsi
Sumber: BKPM, 2013 (diolah)
28
40000
35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0
Provinsi
Sumber: BPS, 2013 (diolah)
UMP (Rp)
29
1400000
1200000
1000000
800000
600000
400000
200000
0
Provinsi
Sumber: BPS, 2013 (diolah)
30
Nilai Tambah (Miliar Rupiah)
20000
18000
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
Provinsi
Sumber: BPS, 2013 (diolah)
Provinsi
Sumber: BPS, 2013 (diolah)
31
Gambar 13 menunjukkan bahwa provinsi yang memiliki jumlah perusahaan
IBS terbesar adalah Jawa Timur, yaitu sebesar 6252 unit. Selanjutnya adalah Jawa
Barat, Jawa Tengah dan DKI Jakarta yang menunjukkan adanya titik-titik
konsentrasi industri manufaktur di daerah tertentu. Terutama pada daerah-daerah
yang merupakan titik pertumbuhan dan pembangunan yang setara dengan kota
metropolitan. Provinsi Kalimantan Tengah merupakan daerah dengan jumlah IBS
terendah, yaitu hanya sebesar 52 unit. Hipotesis yang digunakan adalah jumlah
perusahaan IBS yang semakin tinggi pada suatu wilayah akan mempercepat
pembentukan aglomerasi sektor industri manufaktur. Variabel ini akan dianalisis
untuk melihat keterkaitannya secara signifikan terhadap pembentukan aglomerasi
sektor industri manufaktur.
Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Perbedaan potensi sumber daya alam, kebijakan pemerintah, serta struktural
dan kultural yang dimiliki tiap daerah, mendorong timbulnya ketimpangan
pembangunan wilayah. Pengelolaan dan kebijakan yang berbeda di tiap daerah,
khususnya sejak diberlakukannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
semakin mendorong ketimpangan wilayah. Hal ini disebabkan karena wilayah
akan terus berkembang sesuai dengan kemampuan daerahnya, sehingga daerah
yang telah maju akan semakin maju sebaliknya daerah yang terbelakang semakin
sulit untuk mengejar ketertinggalan. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
merupakan langkah menuju kemandirian daerah, dimana tiap pemerintah daerah
diberi kewenangan untuk mengatur kebijakan dan keuangannya sesuai dengan
kebutuhan daerahnya. Pemerintah daerah memiliki hak untuk menentukan sumber
dan proporsi pendapatan daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan
serta kesejahteraan rakyat daerah. Perbedaan kemampuan fiskal di tiap daerah,
berimplikasi terhadap PDRB dalam perekonomian tiap daerah termasuk
kabupaten/kota. Tujuan pertama dari penelitian adalah untuk mengukur
ketimpangan antar dan intra provinsi di wilayah KBI dengan menggunakan Indeks
Williamson. Indeks ini mengukur ketimpangan wilayah dengan menggunakan
indikator PDRB per kapita dan jumlah penduduk. Indeks Williamson
menunjukkan bahwa terdapat sejumlah provinsi yang memiliki PDRB per kapita
yang sangat tinggi dan sebaliknya.
Indeks Williamson
0.73
0.72
0.71
0.7
0.69
0.68
0.67
0.66
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
32
Provinsi
sumber: BPS, 2013 (diolah)
33
Williamson yang melebihi angka maksimal, dapat disebabkan karena adanya
beberapa kabupaten/kota yang memiliki hyper-PDRB per kapita di suatu provinsi.
Selanjutnya provinsi-provinsi lain dengan nilai Indeks Williamson tinggi adalah
Kalimantan Timur, Riau, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Banten. Provinsi
yang memiliki nilai Indeks Williamson terrendah adalah Kalimantan Tengah
sebesar 0.19. Artinya proses pemerataan telah terjadi di daerah ini, namun dapat
diartikan pula bahwa tidak ada daerah dengan PDRB per kapita sangat tinggi di
provinsi itu. Indeks Williamson hanya menunjukkan tingkat ketimpangan antar
dan inter regional tanpa melihat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
ketimpangan tersebut.
Pada gambar 15 dan gambar 16 menunjukkan bahwa ketimpangan wilayah
tingkat provinsi di wilayah KBI lebih tinggi dibandingkan ketimpangan tingkat
kabupaten/kota di provinsi. Rata-rata Indeks Williamson wilayah KBI 2011
adalah 0.72, sedangkan rata-rata Indeks Williamson pada kabupaten/kota pada
tahun 2011 adalah 0.55. Artinya perbedaan PDRB per kapita yang dominan antar
provinsi lebih tinggi daripada tingkat kabupaten/kota. Hal ini perlu menjadi
perhatian khusus bagi pemerintah bahwa ketimpangan tingkat kabupaten/kota
harus terus dikurangi agar dapat mendukung pemerataan antar provinsinya.
34
Tabel 5 Peringkat (rank) Menurut Tenaga Kerja IBS Wilayah KBI Tahun 2011
Kelas
Sangat tinggi >125.000
Menengah-Rendah< 5.000
Rank
Provinsi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Jawa Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Banten
DKI Jakarta
Sumatera Utara
Lampung
DI. Yogyakarta
Riau
Sumatera Selatan
Kalimantan Timur
Bali
Jambi
Kalimantan Barat
Kalimantan
Tengah
Sumatera Barat
15
16
Kepadatan
Tenaga
Kerja
30.49
19.57
76.05
49.37
470.73
1.99
1.73
16.7
0.58
0.47
0.17
4.83
0.48
0.15
1 079 008
935 896
734 898
477 102
312 571
145 349
60 128
52 335
51 015
43 872
34 878
27 938
24 129
22 448
0.11
0.36
17 417
15 380
Gambar 16 Perkembangan SIG menurut Jumlah Tenaga Kerja IBS Wilayah KBI
Tahun 2011
Tabel 5 dan Gambar 16 menunjukkan bahwa tenaga kerja IBS
terkonsentrasi di wilayah Pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Banten dan DKI Jakarta). Pada tahun 2011 jumlah tenaga kerja IBS yang diserap
di pulau Jawa mencapai 3.5 juta orang atau sekitar 80% dari total tenaga kerja IBS
wilayah KBI. Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur merupakan daerah yang
memberikan sumbangan terbesar dibandingkan provinsi-provinsi lainnya. Hampir
50% tenaga kerja IBS di wilayah KBI disumbangkan oleh kedua daerah ini. Tabel
35
5 menunjukkan bahwa tingkat kepadatan tenaga kerja sektor industri terhadap luas
area provinsi. Hal ini menunjukkan bahwa provinsi dengan tenaga kerja sangat
tinggi memiliki tingkat kepadatan yang tinggi pula. Provinsi dengan tingkat
kepadatan tertinggi, yaitu DKI Jakarta sebesar 470.73, Jawa Tengah sebesar 76.05
dan Banten sebesar 49.37. Hal ini menunjukkan bahwa luas wilayah berbanding
terbalik dengan jumlah tenaga kerja yang ditawarkan, artinya luas area yang tidak
berubah harus menampung jumlah tenaga kerja yang semakin tinggi.
Indikator selanjutnya yang digunakan untuk melihat apakah terdapat
kecenderungan spasial lokasi IBS wilayah KBI adalah dengan nilai tambah. Data
nilai tambah yang dihasilkan IBS akan digunakan untuk mengklasifikasikan
daerah industri dan daerah non industri melalui peringkat nilai tambah. Klasifikasi
industri manufaktur di wilayah KBI berdasarkan nilai tambah (miliar rupiah) yang
dibedakan menjadi sangat tinggi, tinggi, menengah sampai rendah.
Tabel 6 Peringkat (rank) menurut Rata-Rata Nilai Tambah IBS Menurut Provinsi
Tahun 2011
Kelas
Sangat Tinggi > Rp2 triliun
Rank
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Provinsi
DKI Jakarta
Banten
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Riau
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Jambi
Kalimantan Timur
Kalimantan Barat
Lampung
DI. Yogyakarta
Bali
Sumatera Barat
Kalimantan Tengah
Nilai
Tambah
17 666
10 831
8 759
8 208
3 368
2 897
1 065
924
715
641
421
409
388
299
130
116
36
Gambar 17 Perkembangan SIG Rata-Rata Nilai Tambah IBS Wilayah KBI Tahun
2011
Tabel 6 dan Gambar 17 menunjukkan bahwa berdasarkan nilai tambah yang
dihasilkan diketahui bahwa DKI Jakarta merupakan provinsi yang memiliki
peringkat atau rank yang tertinggi dengan klasifikasi nilai tambah sangat tinggi.
DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Riau termasuk
termasuk wilayah industri yang memiliki nilai tambah sangat tinggi. Sedangkan
provinsi dengan nilai tambah terrendah terdapat pada provinsi Kalimantan Tengah.
Nilai tambah merupakan salah satu alat ukur untuk melihat kontribusi sektor
industri manufaktur terhadap PDRB. Sehingga nilai tambah yang sangat tinggi
menunjukkan adanya suatu spesialisasi dan efisiensi produk industri manufaktur
yang dapat terus ditingkatkan.
Analisis SIG dengan menggunakan indikator tenaga kerja dan nilai tambah
menunjukkan bahwa konsentrasi spasial sektor industri manufaktur berada di
Pulau Jawa, khususnya DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten dan Jawa
Tengah. Hal ini sesuai dengan konsep dari konsentrasi spasial bahwa hal terkait
seperti skala ekonomi, biaya transportasi dan permintaan yang terpusat di suatu
kawasan akan menarik daerah terdekat untuk juga berkembang. Teori Kutub
Pertumbuhan juga menjelaskan bahwa pertumbuhan yang tinggi dan cepat hanya
akan terjadi pada pusat-pusat pertumbuhan, sehingga tidak akan tumbuh di setiap
daerah.,
Kedua, analisis dengan menggunakan Indeks Hoover Balassa atau yang
sering disebut sebagai Location Quotient (LQ) Tenaga Kerja. Pola spesialisasi
regional menunjukkan perbandingan distribusi kesempatan kerja sektor industri
manufaktur suatu provinsi dengan seluruh tenaga kerja di Indonesia. Perbedaan
yang mendasar dari analisis SIG dan Indeks Hoover Balassa adalah mampu
menjelaskan kemampuan dari sektor industri dalam hal penyerapan tenaga kerja,
serta bagaimana daya saing yang dimiliki oleh industri manufaktur tiap daerah.
Berikut merupakan Indeks Hoover Balassa yang menunjukkan tingkat spesialisasi
dan daya saing di setiap provinsi.
37
Tabel 7 Indeks Hoover Ballasa menurut Provinsi Tahun 2009-2011
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Provinsi
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
2009
0.540
0.171
0.513
0.387
0.274
0.426
1.699
1.320
0.938
0.597
1.068
2.818
0.291
0.256
0.351
0.525
2010
0.518
0.164
0.513
0.360
0.280
0.351
1.455
1.390
1.015
0.643
1.093
2.273
0.296
0.233
0.372
0.514
2011
0.530
0.169
0.511
0.177
0.172
0.376
1.502
1.380
0.996
0.653
1.119
2.319
0.299
0.248
0.364
0.497
38
provinsi lainnya. Sumberdaya utama yang dimiliki oleh provinsi di Pulau Jawa
dengan mendukung pembangunan industri manufaktur dalam bentuk kluster
ataupun terpisah. Sehingga spesialisasi sektor industri manufaktur di wilayah KBI
harus terus dikembangkan agar dapat mendorong pertumbuhan sektor lain, dan
meningkatkan pendapatan negara.
Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur
Konsentrasi industri manufaktur yang terjadi pada wilayah KBI membentuk
suatu kluster yang terbentuk pada pola titik-titik wilayah. Hal ini pada akhirnya
akan membentuk suatu aglomerasi industri manufaktur di wilayah-wilayah
tertentu. Model yang digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang
memengaruhi aglomerasi industri manufaktur menggunakan data 16 provinsi di
wilayah KBI dengan periode tahun 2002 sampai 2011. Penyusunan model data
panel dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama, membandingkan Fixed Effects
Model (FEM) dengan Random Effects Model (REM) menggunakan Uji Hausman.
Kedua, membandingkan Pooled Least Square (PLS) dengan Least Square Dummy
Variable (LSDV) menggunakan Uji Chow. Dan ketiga, membuat estimasi model
atau persamaan dengan menentukan koefisien masing-masing variabel bebas.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tahap pertama, maka secara signifikan
tolak H0, artinya belum cukup bukti untuk menerima model PLS. Sehingga,
model yang dipilih adalah model LSDV. Jika dalam model terdapat heterogenitas
individu maka model LSDV lebih baik dibandingkan model PLS.
Tahapan kedua adalah membandingkan antara FEM dengan REM dengan
Uji Hausman. Statistik Uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square
dengan derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas. Hasil Uji Hausman
menunjukkan probabilitas lebih kecil dari taraf nyata (10%). Artinya persamaan
untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri
memiliki heterogenitas individu tetapi tidak secara random. Sehingga model FEM
lebih sesuai untuk digunakan.
Untuk menguji kelayakan suatu model dalam menentukan suatu hipotesis,
maka perlu dilakukan beberapa uji agar model regresi bersifat BLUE (Best Linier
Unbiased Estimate). Uji tersebut terdiri atas normalitas, multikolinearitas,
autokorelasi dan heteroskedatisitas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa data
bebas dari masalah normalitas dan multikolinearitas, namun masih terdeteksi
masalah autokorelasi dan heteroskedastisitas. Berdasarkan hasil pengamatan,
ditemukan adanya masalah autokorelasi dengan membandingkan nilai DW
(Durbin Watson) dengan DW tabel. Untuk mengatasi adanya autokoresi dapat
dilakukan dengan metode GLS (Generalized Least Square), yaitu memberikan
pembobotan cross section weights. dibandingkan fixed effects OLS.
Pendeteksian adanya heteroskedastisitas dilakukan dengan membandingkan
sum of squared residuals (SSR) pada metode OLS dengan SSR pada GLS. Jika
nilai SSR GLS lebih kecil daripada SSR OLS, maka terdapat heteroskedastisitas.
Hal ini dapat menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan
konsisten. Masalah heteroskedastisitas dapat dihilangkan dengan memberikan,
whites standard errors. Regresi yang didapatkan dengan melakukan langkah ini
memberikan hasil estimasi yang efisien dan konsisten.
39
Hasil Estimasi Regresi Data Panel
Metode yang paling sesuai untuk mengestimasi persamaan faktor-faktor
yang memengaruhi pembentukan aglomerasi sektor industri manufaktur adalah
Fixed Effects Cross Section Weight. Hasil estimasi dapat ditunjukkan dengan nilai
t-hitung dan probabilitas masing-masing variabel bebas.
Tabel 8 Hasil Estimasi Persamaan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi
Variabel Bebas
Konstanta (C)
Indeks Persaingan Industri (IPI)
Ukuran Perusahaan (UK)
Penanaman Modal Asing (PMA)
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
Koefisien
-4.447116
0.001373
0.538745
-0.002925
0.000665
Nilai thitung
-11.20159
2.620020
18.91685
-5.331183
0.213729
-0.029376
-1.692958
-0.032835
0.013672
0.441274
0.982144
0.000000
-1.623805
2.061813
12.37916
Probabilitas
0.0000
0.0098
0.0000
0.0000
0.8311
0.0928
0.1068
0.0412
0.0000
40
pasar persaingan sempurna, dimana banyak perusahaan yang bersaing dan
membentuk suatu aglomerasi. Hal ini sesuai dengan teori klasik yang menyatakan
bahwa konsep aglomerasi menimbulkan penghematan eksternal, yaitu
pengurangan biaya yang terjadi akibat aktivitas di luar lingkup perusahaan.
Penghematan dapat terjadi berkat adanya perusahaan-perusahaan dalam industri
yang sama bersaing satu sama lain dalam memperoleh pasar atau konsumen.
Ukuran perusahaan (UK) mempunyai hubungan yang positif terhadap
pembentukan aglomerasi. Nilai elastisitasnya adalah 0.538745, artinya
peningkatan skala ekonomi sebesar 1% akan meningkatkan Indeks Spesialisasi
aglomerasi sektor industri manufaktur sebesar 0.58745 dan cateris paribus. Hal
ini sesuai dengan sumber dari aglomerasi bahwa industri akan terkonsentrasi
secara geografis akibat skala ekonomi yang meningkat, sehingga ukuran dari
masing-masing perusahaan IBS juga akan meningkat. Ukuran perusahaan atau
disebut juga skala ekonomi cenderung akan menjadi lebih besar pada sentra-sentra
industri, namun perusahaan-perusahaan yang lebih kecil cenderung untuk
beroperasi jauh dari sentra-sentra industri. Ukuran perusahaan dapat menyediakan
informasi mengenai intensitas penggunaan faktor produksi dan perilaku lokasi
pada industri tertentu, misalnya perusahaan kecil akan menyesuaikan skala
operasi bahkan pada wilayah yang infrastrukturnya masih rendah, sementara IBS
cenderung akan mengelompok pada wilayah-wilayah perkotaan.
Penanaman Modal Asing (PMA) mempunyai hubungan yang negatif
terhadap pembentukan aglomerasi. Nilai elastisitasnya adalah 0.002925, artinya
peningkatan PMA sebesar 1% akan menurunkan Indeks Spesialisasi aglomerasi
industri manufaktur sebesar 0.002925 dan cateris paribus. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin besar tingkat investasi pada suatu wilayah, maka akan
memperbesar aglomerasi industri manufaktur di wilayah tersebut. Sesuai dengan
manfaat aglomerasi bahwa akan terjadi penghematan skala, sehingga investasi
yang digunakan akan berasal dari keuntungan perusahaan tersebut, bukan berasal
dari investasi luar. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kuncoro
dan Wahyuni (2009) bahwa investor asing secara umum lebih memilih untuk
menanam investasi pada daerah-daerah inti (core region) dan daerah sekitarnya
yang berdekatan. Hal ini menunjukkan bahwa akses pasar yang semakin lancar
menuju daerah lain menyebabkan PMA yang menyebar pada daerah-daerah lain.
Hal ini sesuai dengan data PMA pada Gambar 8 bahwa selain DKI Jakarta yang
merupakan pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi, aktivitas PMA yang tinggi
juga ditunjukkan oleh Jawa Barat dan Banten. Penanaman investasi pada masa
yang akan datang diharapkan juga akan menyebar, sehingga mempercepat
pembentukan aglomerasi di daerah lain.
Panjang Jalan (JAL) mempunyai hubungan yang negatif terhadap
pembentukan aglomerasi industri manufaktur. Nilai elastisnya adalah 0.029376,
artinya peningkatan panjang jalan sebesar 1% akan menurunkan Indeks
Spesialisasi aglomerasi industri manufaktur sebesar 0.029376 dan cateris paribus.
Hal ini dikarenakan bahwa panjang jalan yang digunakan adalah panjang jalan
provinsi dan kabupaten dengan kondisi baik dan sedang, sehingga memperlancar
jalur transportasi dan memperkecil biaya transportasi. Hal ini sesuai dengan teori
klasik aglomerasi bahwa para pelaku ekonomi akan membentuk aglomerasi agar
terjadi penghematan secara eksternal, yaitu pengurangan biaya karena biaya
transportasi yang murah akibat dari peningkatan jalan berkondisi baik dan sedang.
41
Sehingga hal ini akan menciptakan titik-titik aglomerasi baru akibat dari akses
transportasi yang semakin lancar dan murah.
Nilai Tambah (NT) mempunyai hubungan yang positif terhadap
pembentukan aglomerasi industri manufaktur. Nilai elastisnya adalah 0.013672,
artinya peningkatan nilai tambah sebesar 1% akan meningkatkan Indeks
Spesialisasi aglomerasi industri manufaktur sebesar 0.013672 dan cateris paribus.
Nilai tambah merupakan selisih bersih dari nilai output yang dihasilkan dan input
(antara) yang dibutuhkan suatu perusahaan IBS. Nilai tambah menunjukkan
efisiensi dari perusahaan IBS untuk berkembang dan berkelanjutan. Peningkatan
nilai tambah dapat disebabkan oleh kemajuan teknologi yang berkembang di
wilayah tersebut. Hal ini sesuai dengan perspektif modern bahwa untuk
meningkatkan produktivitas pekerja transfer teknologi antar perusahaan sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan nilai tambah yang dihasilkan.
Jumlah IBS (JMLH) mempunyai hubungan yang positif terhadap
pembentukan aglomerasi industri manufaktur. Nilai elastisnya adalah 0.441274,
artinya peningkatan jumlah perusahaan IBS sebesar 1% akan meningkatkan
Indeks Spesialisasi aglomerasi industri manufaktur sebesar 0.441274 dan cateris
paribus. Hal ini sesuai dengan konsep konsentrasi spasial bahwa suatu daerah
memiliki sektor dengan keunggulan komparatif pada masing-masing daerah.
Jumlah industri besar dan sedang yang terdapat di suatu daerah menunjukkan
apakah suatu daerah memiliki potensi pada industri manufaktur atau cenderung
pada sektor lainnya. Hal ini juga dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa daerah
industri yang terkonsentrasi spasial adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah,
DKI Jakarta dan Banten. Provinsi-provinsi tersebut merupakan 5 provinsi dengan
jumlah IBS terbanyak (Gambar 13) di wilayah KBI. Sehingga, semakin banyak
jumlah industri besar dan sedang pada suatu daerah menunjukkan adanya
konsentrasi spasial industri manufaktur, sehingga dari lokasi yang dekat akan
menciptakan aglomerasi. Berkumpulnya perusahaan atau IBS yang saling atau
tidak terkait akan meningkatkan efisiensi dan skala ekonomi.
42
manufaktur. Hasil analisis dengan menggunakan jumlah tenaga kerja
menunjukkan bahwa adanya suatu konsentrasi industri manufaktur pada
provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, DKI Jakarta dan
Sumatera Utara. Sedangkan dengan menggunakan indikator nilai tambah
provinsi yang tergolong sangat tinggi adalah DKI Jakarta, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Riau. Hasil analisis dengan
menggunakan Indeks Hoover Balassa (LQ Tenaga Kerja) menurut provinsi
menunjukkan bahwa DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Banten yang
berdaya saing tinggi dan terspesialisasi pada sektor industri manufaktur
dengan nilai indeks yang lebih dari satu.
3 Faktor-faktor yang secara positif mempengaruhi aglomerasi industri
manufaktur di wilayah KBI, yaitu Indeks Persaingan Industri, ukuran
perusahaan, nilai tambah dan jumlah perusahaan IBS. Dan faktor yang
secara negatif mempengaruhi pembentukan aglomerasi industri manufaktur
adalah Penanaman Modal Asing (PMA) dan panjang jalan. Variabel
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Upah Minimum Provinsi
(UMP) terbukti tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pembentukan
aglomerasi industri manufaktur.
Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang dirumuskan sebelumnya
maka diberikan beberapa saran yang menyangkut penelitian ini, yaitu sebagai
berikut:
1 Perkembangan Industri manufaktur yang hanya berfokus di Pulau Jawa,
hendaknya juga dapat didistribusikan ke daerah-daerah lainnya. Sehingga
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak hanya dimiliki
oleh daerah di Pulau Jawa, melainkan di semua daerah. Peta distribusi lokasi
industri manufaktur yang lebih merata dapat meningkatkan pendapatan serta
kesejahteraan masyarakat daerah. Hasil penelitian berupa peta daerah industri
dan non industri menunjukkan bahwa beberapa wilayah yang berpotensi
dapat dikembangkan untuk menjadi daerah industri baru, seperti Kalimantan
Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan lain sebagainya.
2 Pengembangan industri manufaktur di beberapa daerah yang berpotensi
merupakan salah satu cara yang dapat digunakan pemerintah untuk terus
meningkatkan daya saing industri. Potensi yang dimiliki daerah lain,
khususnya luar Jawa dengan menumbuhkan titik-titik konsentrasi baru. Pada
masa yang akan datang daerah industri baru dapat berkembang dan
terspesialisasi secara sendirinya, sehingga tercipta aglomerasi yang dapat
meningkatkan pendapatan daerah yang bersangkutan.
43
DAFTAR PUSTAKA
[BKPM] Badan Koordinasi Penanaman Modal. Berbagai Provinsi dalam
Publikasi. Berbagai Edisi. BKPM
[BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai Provinsi dalam Angka. Berbagai Edisi.
BPS
Adisasmita, Rahardjo. 2005.Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah.Yogyakarta (ID):
Graha Ilmu
Arifin, Zainal. 2006. Dinamika Spasial Industri Manufaktur di Jawa Barat, Tahun
1990-1999. Jurnal Ekonomi Pembangunan.8(2): 111-121
Arifin, Zainal. 2006. Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur Berbasis Perikanan
di Jawa Timur. HUMANITY.1(2): 142-151
Baltagi, BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. London (UK): Jhon
Wiley and Sons LTD
Chollidah, Nur. 2012. Analisis Konsentrasi Spasial dan Kekuatan Aglomerasi
Industri Kecil Makanan Olahan di Kabupaten Semarang. Economics
Development Analysis Journal. 1(2): 1-7
Gujarati, DN. 2004. Basic Econometrics Fourth Edition. Singapore (SIG):
MacGrow-Hill International Editions
Kuncoro, Mudrajat. 2002. Ekonomika Aglomerasi: Dinamika dan Dimensi
Spasial Kluster Industri Indonesia. Yogyakarta (ID): UPP STIM YKPN
Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi,
Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga
Kuncoro M, Wahyuni S. 2009. FDI Impact On Industrial Agglomeration: The
Case of Java, Indonesia. Journal of Asia Business Studies. 65-77
Kuncoro, Mudarajat. 2013. Economic Geography of Small and Cottage Industrial
Clusters in Java Island Indonesia. Global Advanced Research Journal of
Geography ang Regional Planning. 2(1): 6-18
Kurniawan BR, Sugiyanto FX. 2013. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Share
Sektor Industri dan Pertanian serta Tingkat Jumlah Orang yang Bekerja
terhadap Ketimpangan Wilayah antar Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun
2002-2010. Diponegoro Journal of Economics. 2(1): 1-14
Kusumantoro. 2009. Disparitas dan Spesialisasi Industri Manufaktur Kabupaten/
Kota di Jawa Tengah. JEJAK. 2(2): 104-113
McCann, Philip. 2001. Urban and Regional Economics. New York (US): Oxford
University Press
Priyarsono DS, Sahara dan Firdaus. 2007. Ekonomi Regional. Bogor (ID):
Penerbit Universitas Terbuka
44
Purwaningsih. 2011. Tren Konsentrasi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Aglomerasi Industri Manufaktur Besar Sedang di Jawa Barat [Tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor
Shofiyana, Afni. 2012. Analisis Konsentrasi Spasial Industri Manfaktur Besar dan
Sedang di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2002-2008. Economics Development
Analysis Journal. 1(1): 1-9
Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Padang (ID): Baduose
Media
Suharto. 2002. Disparitas dan Pola Spesialisasi Tenaga Kerja Industri Regional
1993-1996 dan Prospek Pelaksanaan Otonomi. Jurnal Ekonomi
Pembangunan.7(1): 33-44
45
LAMPIRAN
Indeks Williamson
0.713578
0.698359
0.693237
0.714704
0.712354
0.698435
0.684065
0.713542
0.710429
0.721428
Provinsi
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Indeks Williamson
0.68441573
0.40791673
0.79070360
0.40083763
0.63211135
0.23731269
0.37014294
0.63276487
0.69023752
0.45146524
1.03388077
0.66470863
0.44942091
0.43297161
0.19454488
0.84978239
46
Lampiran 3 Indeks Hoover Balassa (LQ TK) Provinsi Wilayah KBI Tahun 20092011
No Provinsi
Tahun
1 Sumatera Utara
2009
2010
2011
2 Sumatera Barat
2009
2010
2011
3 Riau
2009
2010
2011
4 Jambi
2009
2010
2011
TK IBS
141348
145349
145416
15587
15380
15483
15483
51015
49608
22148
24129
11579
TK
5765643
6125571
6125571
1998922
2041454
2041454
2067357
2170247
2170247
1260592
1462405
1462405
TK IBS
KBI
3895867
4034366
3940225
3895867
4034366
3940225
3895867
4034366
3940225
3895867
4034366
3940225
TK KBI
85877335
88113242
88113242
85877335
88113242
88113242
85877335
88113242
88113242
85877335
88113242
88113242
LQ TK
0.540401
0.518241
0.530867
0.171886
0.164544
0.169604
0.165087
0.513399
0.511167
0.387288
0.360361
0.177061
3895867
4034366
3940225
3895867
4034366
3940225
3895867
4034366
3940225
3895867
4034366
3940225
3895867
4034366
3940225
3895867
4034366
3940225
3895867
4034366
3940225
3895867
4034366
3940225
3895867
4034366
3940225
85877335
88113242
88113242
85877335
88113242
88113242
85877335
88113242
88113242
85877335
88113242
88113242
85877335
88113242
88113242
85877335
88113242
88113242
85877335
88113242
88113242
85877335
88113242
88113242
85877335
88113242
88113242
0.274194
0.280076
0.172693
0.426875
0.351407
0.376157
1.699113
1.455673
1.502083
1.320374
1.39096
1.380225
0.938323
1.015258
0.996495
0.597393
4.649878
2.704074
1.068623
0.67195
0.903648
2.818514
2.273627
2.319659
0.291613
0.296621
0.299773
Sumatera
5 Selatan
6 Lampung
7 DKI Jakarta
8 Jawa Barat
9 Jawa Tengah
10 DI Yogyakarta
11 Jawa Timur
12 Banten
13 Bali
2009 39766
3196894
2010 43872
3421193
2011 26420
3421193
2009 65594
3387175
2010 60128
3737078
2011 62861
3737078
2009 317450 4118390
2010 312571 4689761
2011 315010 4689761
2009 1012386 16901430
2010 1079008 16942444
2011 1045697 16942444
2009 674072 15835382
2010 734898 15809447
2011 704485 15809447
2009
51374 1895648
2010 377929 1775148
2011 214651 1775148
2009 935882 19305056
2010 575266 18698108
2011 755574 18698108
2009 473705 3704778
2010 477102 4583085
2011 475403 4583085
2009
27214 2057118
2010
27938 2057118
2011
27576 2057118
47
Kalimantan
14 Barat
2009
2010
2011
24179
22448
23323
2081211
2095705
2095705
2009
2010
2011
15929
17417
16673
998967
1022580
1022580
2009
2010
2011
31031
34878
32954
1302772
1481898
1481898
Kalimantan
15 Tengah
Kalimantan
16 Timur
Dependent Variable: IS
Method: Panel Least Squares
Date: 06/28/13 Time: 23:47
Sample: 2002 2011
Periods included: 10
Cross-sections included: 16
Total panel (unbalanced) observations: 156
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
IPI
LNUK
LNPMA
LNPMDN
LNJAL
LNUMP
LNNT
LNJMLH
C
-0.002015
0.564011
0.025849
0.009071
-0.264674
0.310052
-0.006037
0.366612
-6.757921
0.003284
0.068152
0.012785
0.018822
0.022019
0.072956
0.014457
0.023452
1.109280
-0.613609
8.275763
2.021869
0.481923
-12.02049
4.249856
-0.417613
15.63268
-6.092169
0.5404
0.0000
0.0450
0.6306
0.0000
0.0000
0.6768
0.0000
0.0000
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.808618
0.798203
0.313149
14.41511
-35.59127
77.63734
0.000000
0.810432
0.697097
0.571683
0.747636
0.643148
0.535059
48
Model Least Square Dummy Variable (LSDV)
Dependent Variable: IS
Method: Panel Least Squares
Date: 06/28/13 Time: 23:49
Sample: 2002 2011
Periods included: 10
Cross-sections included: 16
Total panel (unbalanced) observations: 156
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
IPI
LNUK
LNPMA
LNPMDN
LNJAL
LNUMP
LNNT
LNJMLH
C
0.002302
0.563548
-0.001083
-0.001793
-0.030945
-0.080152
0.025155
0.547385
-4.905315
0.001165
0.052526
0.004710
0.006770
0.010263
0.029642
0.007064
0.051213
0.726111
1.977053
10.72890
-0.229931
-0.264855
-3.015088
-2.703961
3.561075
10.68850
-6.755602
0.0501
0.0000
0.8185
0.7915
0.0031
0.0078
0.0005
0.0000
0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.981833
0.978668
0.101814
1.368327
148.0744
310.1786
0.000000
0.810432
0.697097
-1.590698
-1.121489
-1.400125
1.060356
49
Model Random Effect Model
Dependent Variable: IS
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 06/28/13 Time: 23:50
Sample: 2002 2011
Periods included: 10
Cross-sections included: 16
Total panel (unbalanced) observations: 156
Swamy and Arora estimator of component variances
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
IPI
LNUK
LNPMA
LNPMDN
LNJAL
LNUMP
LNNT
LNJMLH
C
0.001444
0.554302
0.002633
0.001260
-0.072763
-0.002329
0.021235
0.362715
-4.415417
0.001151
0.040907
0.004624
0.006639
0.009800
0.028183
0.006684
0.019169
0.530947
1.254330
13.55021
0.569487
0.189825
-7.424762
-0.082654
3.176800
18.92228
-8.316123
0.2117
0.0000
0.5699
0.8497
0.0000
0.9342
0.0018
0.0000
0.0000
Effects Specification
S.D.
Cross-section random
Idiosyncratic random
Rho
0.108151
0.101814
0.5302
0.4698
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.624199
0.603747
0.158710
30.52054
0.000000
0.232317
0.250725
3.702745
0.521640
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.659917
25.61552
0.810432
0.075403
Test Summary
Cross-section random
Chi-Sq.
Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
218.157250
0.0000
50
2. Uji Chow
H0
: Model yang pilih adalah PLS
H1
: Model yang dipilih adalah LSDV
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: COBAOLAH
Test cross-section fixed effects
Effects Test
Statistic
Cross-section F
Cross-section Chi-square
83.906633
367.331375
d.f.
Prob.
(15,132)
15
0.0000
0.0000
Uji Asumsi:
1. Uji Normalitas
Hasil uji normalitas pada Eviews 6.0 sebagai berikut
28
24
20
16
12
8
4
Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis
4.27e-18
-0.004073
0.386860
-0.383236
0.093957
-0.085580
6.315601
Jarque-Bera
Probability
71.64628
0.000000
0
-0.375
-0.250
-0.125
0.000
0.125
0.250
0.375
2. Uji Multikolinearitas
Hasil uji normalitas pada Eviews 6.0 sebagai berikut
IS
IS
IPI
LNPMA
LNPMDN
LNJAL
LNUMP
-0.1446689
0.23402
0.5085369
0.4023085
-0.3530024
-0.1446689
-0.2512764
-0.0264874
-0.1425692
0.23402
-0.2512764
0.0876424
0.1998592
LNPMA
0.5085369
-0.0264874
0.0876424
LNPMDN
0.4023085
-0.1425692
0.1998592
LNJAL
-0.3530024
-0.0155485
LNUMP
0.0354514
0.000746
LNNT
0.2903883
LNJMLH
0.6075594
IPI
LNUK
LNUK
LNNT
LNJMLH
0.0354514
0.2903883
0.6075594
-0.0155485
0.000746
-0.3694912
-0.0363748
-0.2029398
0.0140625
0.3484728
-0.3308937
0.5108814
0.0703208
0.1649736
0.2150387
0.462198
0.5108814
0.1422068
0.0019732
0.3065272
0.3932295
-0.2029398
0.0703208
0.1422068
0.0313902
0.0988383
0.2100746
0.0140625
0.1649736
0.0019732
0.0313902
0.021216
-0.1668919
-0.3694912
0.3484728
0.2150387
0.3065272
0.0988383
0.021216
0.2173133
-0.0363748
-0.3308937
0.462198
0.3932295
0.2100746
-0.1668919
0.2173133
51
3. Uji Autokorelasi
Hasil estimasi dalam yang telah dilakukan menunjukkan bahwa nilai DW
sebesar 1.06. Nilai DW tersebut tidak berada pada interval 0<DW<du, yang
artinya terdapat korelasi positif. Untuk mengatasinya maka digunakan metode
GLS dengan memberikan cross-section weights. Sehingga, hasil estimasi yang
diperoleh pada metode ini adalah sebagai berikut.
Dependent Variable: IS
Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Date: 06/28/13 Time: 23:57
Sample: 2002 2011
Periods included: 10
Cross-sections included: 16
Total panel (unbalanced) observations: 156
Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
IPI
LNUK
LNPMA
LNPMDN
LNJAL
LNUMP
LNNT
LNJMLH
C
0.001373
0.538745
-0.002925
0.000665
-0.029376
-0.032835
0.013672
0.441274
-4.447116
0.001046
0.039205
0.001508
0.003104
0.016351
0.015320
0.006460
0.034523
0.462373
1.312550
13.74173
-1.939664
0.214239
-1.796551
-2.143283
2.116188
12.78212
-9.618025
0.1916
0.0000
0.0546
0.8307
0.0747
0.0339
0.0362
0.0000
0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.984794
0.982144
0.094008
371.6856
0.000000
1.054880
0.756990
1.166543
1.056727
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.980378
1.477941
0.810432
0.943771
52
4.
Uji Heteroskedastisitas
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
IPI
LNUK
LNPMA
LNPMDN
LNJAL
LNUMP
LNNT
LNJMLH
C
0.001373
0.538745
-0.002925
0.000665
-0.029376
-0.032835
0.013672
0.441274
-4.447116
0.000524
0.028480
0.000549
0.003112
0.017352
0.020221
0.006631
0.035646
0.397007
2.620020
18.91685
-5.331183
0.213729
-1.692958
-1.623805
2.061813
12.37916
-11.20159
0.0098
0.0000
0.0000
0.8311
0.0928
0.1068
0.0412
0.0000
0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.984794
0.982144
0.094008
371.6856
0.000000
1.054880
0.756990
1.166543
1.056727
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.980378
1.477941
0.810432
0.943771
53
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tembilahan pada tanggal 25 Mei 1991 dari pasangan
Hermawan SH, MM dan Erwina SH. Penulis adalah putri kedua dari dua
bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus SMA Negeri 2 Lahat dan pada tahun yang
sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa organisasi
kemahasiswaan, yaitu sebagai anggota Ikatan Keluarga Mahasiswa Bumi
Sriwijaya (IKAMUSI), staf Komunikasi dan Informasi IPB Debating Club
periode 2009/2010, staf Departemen Hubungan Eksternal BEM FEM periode
2010/2011, dan staf Divisi DISTRO Himpunan Profesi Ilmu Ekonomi (Hipotesa)
periode 2011/2012.
Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan yaitu sebagai PJAK dalam
MPKMB 47, Anggota Orasi Muda BEM FEM 2010, Staf Divisi Dana Usaha dan
Sponsorship (Danus) dalam FEM AMBASSADOR 2010, staf divisi Sponsorship
dalam IKAMUSI in TO 2010, Ketua Divisi Publikasi Dekorasi dan Dokumentasi
(PDD) dalam Gerakan Mahasiswa Sehat 2011, staf Divisi Hubungan Masyarakat
(Humas) dalam the first JUST! 2011, staf divisi Liaison Officer (LO) dalam
Extravaganza 2011, staf divisi LO dalam Politik Ceria 2011, dan staf PDD dalam
MPD IE 47.
Penulis juga mengikuti lomba karya tulis ilmiah tingkat mahasiswa. Prestasi
yang diraih oleh penulis antara lain ialah Juara II Lomba Karya Tulis Ilmiah
Economics Championship Hipotesa 2012 dan lolos PKM Penelitian yang didanai
oleh Dikti.