You are on page 1of 97

BAB 20

TRAUMA ABDOMEN
Anggreiny Tumimomor (13014101135)
Ningsi Hadji Ali (13014101113)
Yuniaty Sitohang (070 111 103)
Ririn Hardiyanti (080111127)
Yudit Garedja (13014101173)

Sindrom Kompartemen abdominal


Sindrom kompartemen abdominal :
Insufisiensi pernapasan
Hemodinamik tidak stabil
Gangguan fungsi ginjal
Penurunan curah jantung
Peningkatan tekanan intrakranial
Distensi berlebihan dari dinding perut

Sindrom Kompartemen abdominal


Sebuah keadaan yang mengancam jiwa tetapi
berpotensi untuk diobati.

Sindrom Kompartemen abdominal


Pengukuran tekanan intra-abdomen:
Masukan 1mL/Kg normal saline ke dalam

kateter foley dan hubungkan ke transduser


tekanan atau manometer melalui three way
stopcock.
Simfisis Pubis sebagai acuan nol ( cmH2O
atau mmHg)
TIA berada dalam kisaran 20-35 cm H2O atau
15-25 mmHg indikasi dekompresi perut

Sindrom Kompartemen abdominal


Penemuan CT abdomen pada anak-anak:
Penyempitan vena cava inferior
Kompresi langsung ginjal kompresi atau
pergeseran
Penebalan dinding usus dengan peninggian
Perubahan dari bentuk abdomen.

Trauma Saluran Empedu


Manajemen non operatif pada anak dengan
trauma tumpul hepar mempunyai tingkat
keberhasilan yang tinggi tetapi mempunyai
kemungkinan untuk mengalami komplikasi
kebocoran kantong empedu secara persisten
sebesar 4%.

Pemeriksaan
Radiolonuclide
ERCP (endoscopic retrograde

cholangiopancreotography)
Endoskopi dekompresi transampullan bilier

Trauma Pada Duodenum Dan


Pankreas
Jumlah trauma pada hepar dan lien, trauma

pada duodenum dan pankreas lebih jarang


terjadi, kurang dari 10% pada trauma
intraabdominal yang terjadii pada anak anak
yang mengalami trauma tumpul.
Tingkat keparahan suatu trauma duodenum
atau pankreas dihubungkan dengan
keputusan untuk melakukan tindakan operasi
atau tidak.

Duodenum
Ballard, dkk melaporkan:
Dari 103.864 pasien yang terdaftar pada 28

pusat trauma, trauma tumpul pada duodenum


terjadi sebanyak 206 (0.2%), di mana hanya
39 (145) yang mengalami ruptur total

Mekanisme terjadinya trauma disebabkan oleh kecelakaan mobil

sebesar 70% di mana melibatkan orang dewasa dan anak anak. Dari
jumlah tersebut yang mengalami cedera kepala yang signifikan ( 26 dari
30), 92% dari jumlah tersebut dilaporkan mengalami nyeri abdomen
atau mengalami pelunakan atau ganjalan pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan CT yang dilakukan pada 18 pasien, gambaran udara di
rongga retroperitoneum atau di rongga ekstravasasi dilihat dengan
menggunakan kontras sebesar 26% dari pemeriksaan scan; jumlah yang
sama diinterpretasikan sebagai normal. Tingkat kematian sebesar 13%
dan bukan disebabkan oleh terlambatnya diagnosis atau terapi.
Penelitian ini menekankan pada kesulitan dalama menganalisis sejumlah
trauma yang dikarenakan hanya sebagian kecil yang dilaporkan oleh
pusat trauma ( dan ahli bedah). Sebagai tambahan, para investigator
juga meninjau cara cara dalam melakukan operasi dari penanganan
tertutup pada duodenum sampai pada prosedur Whipple - tetapi tidak
dapat dijadikan sebagai rekomendasi definitif dikarenakan hanya
sebagian kecil dari pasien dan rumah sakit yang dilaporkan.

Kelompok dari Toronto melaporkan :

27 anak (usia rata-rata 7 tahun) yang mengalami trauma


tumpul doudenum dan diberikan terapi diatas 10 tahun;
13 anak mengalami perforasi duodenum (usia rata-rata 9
tahun)
14 anak mengalami hematoma duodenum (usia rata-rata 5
tahun)
Trauma trauma yang berhubungan diamati pada 19
pasien ( 10 dengan trauma pankreas, 5 dengan trauma lien,
4 dengan trauma hepar, 2 dengan fraktur pada tulang
panjang, 1 dengan trauma pada sistem saraf pusat, 1
dengan kontusio ginjal, 1 dengan perforasi jejunal, dan 1
dengan ruptur gaster). Tujuh belas pasien yang dikirim
dari fasilitas lainnya

Rata rata 4 jam untuk dipindahkan. Rata

rata waktu dari mulai terjadinya trauma


sampai dilakukannya operasi pada pasien
dengan perforasi adalah 6 jam

CT scan ( atau studi tentang pemeriksaan sistem

pencernaan bagian atas dengan kontras pada


kasus yang samar) menunjukkan menyempitnya
duodenum, sumbatan atau obstruksi tanpa
ektravasasi sebagai tanda diagnostik pada semua
kasus pada beberapa penemuan pada 14 pasien
yang ditangani tanpa operasi, lamanya dilakukan
dekompresi nasogastrik adalah 12 hari (rata
rata), dan lama pemberian nutrisi secara
parenteral adalah 18 hari (rata rata). Gejala
akan hilang pada 13 dari 14 pasien rata rata 16
hari setelah trauma. Pada anak anak akan
tampak sisa luka berupa jaringan parut kronik
yang membutuhkan operasi duodenoplasty 49
hari setalah trauma. Anak anak ini juga
mengalami kontusio pankreas.

Desai, dkk dari RS anak St. Louis;

24 trauma duodenum yang disebabkan trauma


tumpul abdomen, terdapat 19 hematoma
duodenum ( 15 didiagnosa dengan CT, dan 4
dengan studi tentang saluran pencernaan
atas), 17 diantaranya yang di terapi tanpa
tindakan operasi. Pada kasus dengan
perforasi, 4 dari 5 pasien menyetujui untuk
dilakukan jahitan pada luka

Pengalaman

dari
kota
Salt
Lake
dan
Pittsburgh
mengingatkan bahwa penyebab umum terjadinya trauma
duodenum pada anak adalah karena kekerasan., khususnya
pada pasien yang lebih muda
Oleh karena itu trauma duodenum yang tersembunyi
seharusnya menimbulkan kecurigaan jika riwayat atau
mekanisme
terjadinya
trauma
mengambarkan
ketidaksesuaian dengan trauma yang sebenarnya. Pada
semua kasus, pasien yang mengalami perforasi duodenum
dilakukan tindakan operasi dengan berbagai macam cara,
tergantung pada keparahan cedera dan acuan dari ahli
bedah. Kami merekomendasikan tindakan penutupan primer
pada perforasi duodenum (bilamana memungkinkan).

Penutupan

primer dapat dikobinasikan dengan drainase


duodenum dan pengangkatan pilorus dengan melakukan
gastrojejunostomi atau bilas lambung dengan jejunostomi.
Tindakan untuk dilakukan operasi telah menurunkan tingkat
insiden dari fistula duodenum, mengurangi waktu dalam
mengosongkan saluran pencernaan, dan mempersingkat rawat
inap di rumah sakit. Ketika berhadapan dengan komplikasi dari
trauma duodenum, kombinasi yang efektif adalah teknik three
tube : duodenum ditutup ( penanganan primer, tambalan serosal
atau anastomosis) dengan tabung drainase pada duodenum
untuk dekompresi (tabung 1). Pengangkatan pilorus dengan
jahitan yang dapat diserap sampai habis pada gastrotomi dan
penempatan tabung gaster ( tabung 2), dan dilakukan
jejunostomi (tabung 3), beberapa penutupan juga menempatkan
suatu selang untuk pengaliran. Ketika duodenum diangkat
( dilakukan dengan menggunakan jahitan dengan benang yang
dapat diserap untuk penutupan sementara dari pilorus),
melakukan penyembuhan secara sempurna sebelum dilakukan
pembukaan spontan kembali pada saluran pilorus. Pergantian
dengan menggunakan bioprostetik pada daerah duodenum yang
mengalami trauma dengan model porcine telah dilaporkan dan
dapat menjadi tambahan dalam rencana operasi.

Pankreas
Trauma pada pankreas lebih jarang terjadi bila

dibandingkan dengan trauma pada


duodenum, dengan angka kejadian berkisar
dari 3% sampai 12% pada anak anak
dengan trauma tumpul abdomen.

Baru baru ini, dua rumah sakit ( Toronto dan


San Diego) melaporkan pengalaman mereka
dengan metode yang berbeda dalam
menangani trauma tumpul pankreas pada
beberapa penelitian. Di sini kami
membandingkan catatan catatan dan
kutipan pengalaman dari penulis lainnya
dalam mebuat rekomendasi terapi.

Penulis menyimpulkan bahwa trauma pada

bagian distal seharusnya ditangani dengan


pankreatektomi distal, observasi pada trauma
bagian
proksimal,
dan
observasi
pada
pseudokista atau dengan kistogastrostomi.
Mereka
juga
mennyimpulkan
bahwa
penangana ERCP akut dengan pemasangan
sten adalah aman dan efektif, dan bahwa
pemeriksaan dengan CT juga disarankan tetapi
tidak selalu sebagai diagnosa untuk berbagai
jenis dan lokasi dari trauma pankreas.

Laporan

dari Dallas dan Seattle mendukung


pankreaktomi distal secara dini untuk memisahkan
bagian kiri dari tulang belakang untuk mengurangi
lama rawat di rumah sakit. Meskipun demikian, akibat
dalam waktu lama pada perlengketan usus yang
mengalami obstruksi dan disfungsi endokrin dan
eksokrin tidak dapat diperkirakan. Hasil penelitian
lainnya melaporkan keuntungan dari penggunaan
resonansi magnetik pankreatografi sebagai alat
diagnostik, pemeriksaan ERCP secara dini untuk
diagnosis dan terapi dengan pemasangan sten pada
saluran,
dan
penggunaan
somatostatin
untuk
menurunkan sekresi pankreas dan mendukung
penyembuhan. Sebagai catatan, sebuah institusi besar
dari jepang melaporkan terapi non operatif pada 19
dari 20 anak dengan berpusat pada trauma pankreas (
9 kontusio, 6 laserasi, dan 5 gangguan saluran utama).

Pada

semua kasus, pemulihan berlangsung


sempurna tanpa dilakukan operasi. Pengalaman
rumah sakit dengan pembentukan pseudokista
dan terapi secara kseluruhan merupakan cerminan
dari penelitian di Toronto. Sebuah laporan
penelitian dari Denver baru baru ini melaporkan
pengalaman mereka dengan trauma pankreas
pada anak selama lebih 11 tahun. Semua (n = 18)
dengan trauma grade 1 yang ditangani dengan
terapi non operatif. Anak anak dengan trauma
grade II IV menerima tindakan opersi sebanyak
14 kasus dan 11 kasus tanpa operasi. Mereka
menyimpulkan bahwa anak anak yang menjalani
operasi jarang mendapatkan pseudokista tetapi
lama dalam perawatan dikarenakan komplikasi
non pankreatik.

Beberapa fakta dan dokumen menunjukkan

manfaat dan keamanan dari pengamatan


yang sebenarnya pada semua trauma
pankreas,
termasuk
gangguan
saluran;
anjuran agresif lainnya adalah tindakan
operasi dengan debridement dan reseksi.
Dikarenakan suplai pendukung memaksakan
data untuk masing masing dari terapi,
algoritma mengambarkan rumah sakit swasta
atau preferensi ahli bedah memungkinkan
untuk menentukan rencana terapi yang akan
dipilih.

Meskipun demikian, pilihan yang ada bebas

dipilih dengan pemisahan sederhana dari


pankreas pada atau ke bagian kiri tulang
punggung, pankreatektomi bagian distal dari
lien dapat menyediakan perawatan definitif
untuk trauma yang tersembunyi ini, dengan
mengurangi lama rawat inap di rumah sakit
dan terjadinya morbiditas. Teknik laparaskopi
dapat membatasi terjadi morbiditas
perioperatif.

Terapi konservatif sebisa mungkin, termasuk


mengikuti :
Pemeriksaan CT terus menerus dengan kontras
baik secara oral maupun intravena pada semua
pasien yang dengan anamnesa, pemeriksaan
fisik atau mekanisme trauma yang diagnosisnya
mengarah ke trauma tumpul abdomen
Mendokumentasi trauma dan pemeriksaan ERCP
secara dini untuk menyediakan pemasangan
sten pada saluran dalam kasus tertentu
Terapi non operatif dengan pemberian nutrisi
parenteral total
Terapi yang diharapkan pada pseudokista
Drainase perkutan pada pseudokista dengan
gejala, yang terinfeksi, atau yang bertambah
besar

Trauma Pada Perut, Usus Halus,


Dan Kolon
Beberapa

mekanisme berbeda menyebabkan trauma


mengenai organ organ berongga ini, diantaranya :
Pertama kerusakan yang terjadi mencakup perut, jejunum,
ileum atau kolon transverse karena tekanan yang hebat
melawan tulang punggung. Hematoma, laserasi, terpisah
baik secara parsial maupun komplet dapat terjadi pada
perforasi atau obstruksi yang spontan atau tertunda
Kedua, luka bakar terjadi ketika kekuatan kompresi yang
cepat mengisi dan memenuhi rongga, tanpa kompresi yang
terjadi secara langsung. Trauma yang disebabkan karena
tekanan pada bahu atau sabuk pengaman dapat terjadi
pada sistem pencernaan karena kebiasaan.
Ketiga adalah trauma karena mencukur disebabkan
aselerasi deselerasi dari organ yang tertahan pada suatu
bagian misalnya ligamen Treitz, Regio ileusaecal, atau pada
rektosigmoid.
Dengan
deselerasi,
trauma
dapat
menyebabkan kerusakan jaringan pada titik fiksasi.

Tanpa memperhatikan mekanisme terjadinya

trauma, sebuah perforasi viscus dapat


menyebabkan kontaminasi yang cepat
terhadap rongga abdomen. Pada penilaian
dini pada trauma, sebenarnya pada pasien
yang sadar mempunyai beberapa gejala
(nyeri) dan kelainan fisik ( lunak, keras). Pada
faktanya, banyak laporan yang telah
mendokumentasi mengenai pemeriksaan fisik
secara dini dan berurutan mempunyai tingkat
diagnosa dengan spesifik yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan US atau CT pada
trauma ini

Diagnosis yang cepat dari trauma ini

memungkinkan ketika terdapat udara bebas


dan adanya kontras dalam rongga perut pada
waktu terjadinya trauma. Meskipun demikian,
ketika terjadi laserasi sebagian, hematoma
atau adanya robekan pembuluh darah vena
mesenterika terjadi, perkembangan kematian
jaringan akan terjadi dengan adanya
kebocoran yang dapat tertunda dari beberapa
jam sampai beberapa hari. Jika terdapat
kecurigaan yang tinggi akan adanya indikasi,
maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik
secara berurutan.

Komite trauma APSA telah membentuk sebuah

multi institusi, melakukan penelitian retrospektif


untuk menentukan apakah penundaan dalam
penanganan perforasi usus menyebabkan kerugian?
Data mereka pada 214 pasien menunjukkan bahwa
penundaan operasi hingga 24 jam tidak mempunyai
dampak signifikan pada prognosis setelah
terjadinya trauma tumpul usus bahkan ketika ada
kontaminasi sekunder pada perforasi. Trauma pada
lambung dan usus halus secara terang terangan
dapat sembuh sendiri. Lambung yang penuh
biasanya mengalami ruptur pada sisi yang
melengkung dalam pecahan atau dalam sususnan
seperti bintang. Pengangkatan jaringan mati
dengan penanganan secara langsung hampir selalu
cukup.

Trauma usus halus akan menyebabkan avulsi dengan

segmen yang besar sehingga membahayakan perut.


Walapun demikian, kontaminasi yang tejadi secara
meluas ( atau trauma lainnya membutuhkan
penanganan yang luas), debridement atau reseksi
dengan anastomosis biasanya cukup untuk
dilakukukan. Pada cedera kolon, terutama jika terdapat
keterlambatan dalam diagnosis dan adanya
kontaminasi kotoran secara signifikan, kolostomi
dengan membuat sebuah fistula selaput membran
atau dalam rangka melakukan prosedur Hartmann. Jika
trauma kolon tersembunyi terjadi maka perlu
dilakukan penenganan segera, dilakukan irigasi pada
usus, anastomosis usus, dan pemberian antibiotik
yang aman dan efektif serta menghindari komplikasi
yang disebabkan oleh stoma dan operasi kembali.

Faktor penting pada penilaian awal trauma

traktus GI intraperitoneum adalah melakukan


resusitasi secara tepat, operasi segera
dengan pengangkatan segera bagian yang
terkontaminasi dan jaringan mati. Melakukan
perbaikan pada saluran traktus GI, sesuai
dengan indikasi klinis yang ditunjukkan dan
pemberian antibiotik spektrum luas, dengan
durasi pemberian tergantung pada tingkat
kontaminasi dan keadaan klinis pasca operasi
(misalnya jumlah sel darah putih normal, tidak
adanya demam, kembali berfungsinya sistem
traktus GI). Teknik laparaskopi dapat
membatasi morbiditas perioperatif

Tanda Sabuk Pengaman


SABUK PENGAMAN MENGURANGI TRAUMA

YANG SERIUS DAN KEMATIAN 50%


Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda
berupa memar pada bagian perut.
Tiga hal yang menarik pada trauma yang
perlu diperhatikan yaitu kontusio dinding
abdomen atau herniasi, adanya fraktur pada
daerah lumbal, dan adanya perforasi pada
jejunum dan ileum yang tersembunyi

Pencitraan Pada Trauma


Gastrointestinal
Pencitraan pada traktus GI telah berkembang

sejak beberapa dekade lalu, dengan CT spiral


atau pemeriksaan FAST yang dilakukan oleh
ahli bedah di bagian gawat darurat secara
langsung berimplikasi pada akurasi diagnostik
dan pengambilan keputusan

Cairan bebas pada daerah intraabdominal

secara signifikan tersembunyi pada cedera


organ padat yang sering dianggap sebagai
tanda dari trauma usus.
FAST merupakan alat skreening yang berguna,
dengan spesifitas yang tinggi (95%) tetapi
sensitivitas yang rendah (33%), pada evaluasi
trauma usus. Pada 89 anak yang diteliti dengan
FAST, hanya 20 yang melakukan pemeriksaan
CT scan, semuanya dikarenakan permintaan
dari ahli bedah

Trauma Pada Perineum, Anus, dan


Genitalia
Anak dengan trauma pada perineum, anus dan
genitalia ekterna diawali oleh 2 mekanisme :
Jatuh
Ditandai dengan oleh adanya memar, kontusio,
laserasi,atau penetrasi, tergantung objek
yang dikenai dan ketinggian saat jatuh.
cedera seringkali melibatkangenitala
eksterna, uretra, perineum, dan anus tetapi
jarang mengenai rektum

Kekerasan seksual

Cedera melibatkan raktum atau penetrasi


vagina yang hebat. Oleh karena itu, ketika
memeriksa seorang anak dengan trauma
pada perineum, trauma rektum atau trauma
vagina seharusnya selalu dipertimbangkan
kekerasan anak sampai ditemukan bukti yang
lain. Sebaliknya, trauma pada perineum
genital, perineum, dan anus merupakan
kejadian yang khas

Diagnosis dari trauma yang luas pada perineum


sering
membutuhkan
pemeriksaan
dalam
keadaan
anestesi
untuk
menggunakan
protoskopi,
sigmoidskopi,
dan
uretrogram
retrograde. Setelah menilai derajat luka, rencana
operasi dilakukan demi menangani trauma uretra
(langsung atau dengan sten), pengalihan
pengeluaran urine dengan sistostomisuprapubik.
Memperbaiki kelembaban rektum, irigasi rektum,
penempatan drain ketika dibutuhkan, dan pada
trauma yang lebih kompleks, pengeluaran feses
dengan
menggunakan
kolostomi.
Setelah
pemuliahan,
konfirmasi
radiologi
kembali
( misalnya pielogram intravena, sistogram,
uretrogram, pemeriksaan enema dengan kontras)
harus dilakukan sebelum rekonstruksi ulang.

Trauma kolorektal dan vagina pada penumpang kapal


laut merupakan mekanisme penting lainnya yang
seharusnya menimbulkan kecurigaan dan perhatian.
Walaupun jarang, kematian pada anak dapat terjadi
karena terkena tembakan. Walaupun demikian,
umumnya, pemasukan termometer rektal, dilator
Hegar atau tabung enema dapat menyebabkan
cedera rektal secara signifikan pada neonati, yang
membutuhkan tindakan operasi.kamu baru baru ini
melakukan operasi pada seorang bayi usia 3 hari
dengan perforasi rektosigmoid sampai penanganan
dengan enema untuk mengobati osbtipasi yang
dikarenakan kista fibrosis; laparatomi dan kolostomi
diperlukan. Oleh karena itu, pada bayi baru lahir,
tidak salah untuk dilakukan manipulasi rektum yang
dapat
menyebabkan
trauma
berat
sehingga
membutuhkan tindakan operasi dan intervensi.

Trauma Diafragma
- Trauma pada diafragma jarang ditemukan, bahkan
pada pusat penanganan trauma yang lebih besar.
Trauma disebabkan oleh kekuatan kompresi yang
besar pada rongga abdomen, membuat akselerasi
dari isi abdomen, terjadi ruptur pada otot
diafragma.
Saat
ini
trauma
penetrasi
menyebabkan luka. Pada kasus ini, trauma
diafragma sering ditemukan pada tindakan
eksplorasi trauma lainnya.
Diafragma kanan maupun kiri mempunyai
peluang yang sama terkena trauma

Pembedahan segera pada anak dengan kumpulan terkait cedera

mencakup palpasi pada kedua diafragma sebagai pemeriksaan rutin


pada eksplorasi abdomen. Jahitan secara langsung biasanya mungkin
dilakukan setelah debridement pada setiap jaringan mati. Jahitan
yang baik dapat digunakan untuk menunjang perbaikan dan
mencegah robekan otot, membuat jahitan yang lebih aman.
Jika jaringan diafragma yang hancur, maka dibuat tekanan yang
optimal dengan menggunakan otot interkostal atau tambalan palsu
yang dapat digunakan, mirip dengan penanganan pada hernia
diafragma kongenital pada neonati.
Laporan mengenai laparoskopi atau torakoskopi untuk penanganan
cedera ini meliputi penundaan operasi pada pasien yang stabil tanpa
adanya trauma. Keterlambatan diagnosis pada bay yang mengalami
traumai telah dilaporkan, karena memiliki avulsi ginjal menuju dada
melalui diafragma yang ruptur. Karena kejadian trauma seperti ini
jarang terjadi, seseorang harus memiliki kecurigaan yang tinggi
ketika mekanisme cedera dan derajat cedera dan lokasi cedera lain
mendukung kemungkinan adanya trauma diafragma.

Kemajuan terbaru dalam penanganan trauma

dan tersedianya perawatan pada anak -anak


telah menghasilkan kemungkinan pulih lebih
tinggi pada trauma berat. Banyak perubahan
mengenai pemahaman kami tentang transfusi
dan koagulasi sejak edisi buku sebelumnya.
Sangat penting bagi ahli bedah anak untuk
membiasakan diri dengan cara pengobatan
yang lain untuk trauma abdomen yang
mengancam jiwa. Kontribusi penting lain
dibuat untuk mendiagnosis dan mengobati
anak-anak dengan trauma abdomen oleh ahli
radiologi dan endoskopi.

Diagnosis

cedera lien dibuat berdasarkan


temuan klinis,pemeriksaan laboratorium rutin,
foto polos, USG, CT scan, atau pencitraan
isotop.
Pengobatan standar hemodinamik pada anak
dengan cedera lien tanpa operasi berhasil
diterapkan pada luka tumpul hepar, ginjal,dan
pankreas.
Penanganan bedah normalnya berdasarkan
pada tingkat pengetahuan mengenai anatomi
dan respon fisiologi dari anak.

Fakta mengenai trauma menunjukkan bahwa

8 % sampai 12 % dari anak-anak menderita


trauma tumpul abdomen dan lebih dari 90 %
dapat bertahan hidup.
Meskipun trauma abdomen 30 % lebih banyak
daripada trauma toraks , 40 % dari trauma
abdomen
kecil
kemungkinannya
untuk
menjadi fatal.
Analisis terbaru dari National Pediatric Trauma
Registry ( NPTR ) dan Nasional Trauma Data
Bank mengemukakan pada anak dengan
trauma,
dengan
persentasi
>25%
membutuhkan tindakan operasi.

Dalam membuat diagnosis dan pengobatan

pada anak-anak dengan cedera abdomen


dilakukan oleh ahli radiologi dan endoskopi.
Resolusi
dan
kecepatan
computed
tomography ( CT ) , kemampuan untuk
mendeteksi secara cepat dengan alat Focused
Abdominal Sonography for Trauma ( FAST ) ,
dan intervensi perkutan , angiografi , dan
intervensi endoskopi.

Modalitas Diagnostik
Evaluasi awal pada anak dengan cedera akut

mirip dengan pada orang dewasa.


Foto polos dari tulang belakang, leher, dada,
dan panggul dilakukan setelah survei awal
dan evaluasi
dari ABC (jalan nafas,
pernafasan, dan sirkulasi).
Foto polos perut dilakukan sebagai tambahan
untuk evaluasi akut pasien anak dengan
trauma.

Computed
Tomography
(CT)
CT merupakan pemeriksaan non invasif, menggunakan
metode akurat untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi
trauma abdomen, dan hal ini mengurangi laparotomi
eksplorasi.
CT sangat membantu dalam mendiagnosis cedera abdomen
pada saat diintubasi, anak-anak dengan multitrauma.

Jika diindikasikan harus dilakukan pertama kali tanpa

kontras, untuk menghindari pendarahan otak yang


tersembunyi.
CT dengan kontras pada sistem pencernaan tidak
membantu dalam
mendiagnosis trauma GI dan
penanganan trauma akut.
Trauma penetrasi sering memerlukan
intervensi operasi segera.

Keterbatasan dari CT abdomen pada trauma adalah

ketidakmampuan untuk mengidentifikasi ruptur usus.


Beberapa penemuan tetapi tidak mendukung diagnosis
perforasi usus seperti pneumoperitoneum, penebalan
dinding usus, cairan intraperitoneum bebas, peningkatan
dinding usus , dan dilatasi bowel.
Perlu dicurigai adanya trauma usus pada anak dengan
cairan intraperitoneum tetapi tidak ada cedera organ
padat yang diidentifikasi pada CT.

Sonografi Untuk Trauma


Pemeriksaan sonografi dilakukan untuk pemeriksaan

awal pada trauma anak saat ini sedang dievaluasi untuk


menentukan penggunaan secara optimal.
Pemeriksaan kantong morrison, kavum douglas , panggul
bagian kiri , termasuk anatomi rongga lien, dan gambaran
subxiphoid untuk memvisualisasikan perikardium
merupakan pemeriksaan standar 4D dari FAST.

FAST dapat menjadi pemeriksaan skrining yang

sangat membantu pada anak - anak, dengan spesifisitas


yang tinggi ( 95 % ) tetapi sensitivitas yang rendah
( 33 % ) dalam mengidentifikasi trauma usus.
FAST mungkin berguna dalam mengurangi jumlah
pemeriksaan CT scan yang dilakukan untuk "
kemungkinan cedera kecil. Penelitian kembali
mungkin diperlukan , tergantung pada korelasi klinis,
dan temuan cairan bebas dengan sendirinya bukan
merupakan sebuah indikasi untuk dilakukan intervensi
bedah

Pemeriksaan

FAST pada pasien anak dengan trauma


tumpul mengungkapkan sensitivitas sederhana untuk
hemoperitoneum.
nilai FAST negatif mungkin memiliki kemungkinan yang
perlu dipertanyakan sebagai satu-satunya tes diagnostik
untuk menyingkirkan adanya cedera intra - abdomen.
Seorang anak dengan hemodinamik stabil dengan nilai
FAST positif harus menjalani CT.

DPL

Diagnostic peritoneal lavage ( DPL ) telah menjadi

andalan untuk evaluasi trauma selama lebih dari 3


dekade.

90 % dari trauma organ padat tidak memerlukan


intervensi bedah, temuan darah bebas di dalam perut
oleh DPL telah membatasi keadaan klinis secara
signifikan.

Ketidakstabilan hemodinamik dan kebutuhan darah


yang hilang merupakan penentu untuk dilakukan
operasi pada pasien dengan cedera organ padat.

Kecepatan dan ketepatan CT lebih lanjut menurunkan indikasi

untuk dilakukan DPL dalam trauma pediatrik .


Sensitivitas dan tingkat ketajaman pemeriksaan CT dalam
mendiagnosis cedera organ padat pada trauma duodenum,
pankreas, dan usus terus meningkat. Hal ini menyebabkan
penurunan penggunaan DPL untuk evaluasi pasien dengan
temuan klinis trauma usus dan bukan merupakan diagnosis
definitif pada CT.

Dalam evaluasi ini, kehadiran empedu, sisa makanan, atau

bukti lain pada saluran pencernaan yang mengalami perforasi


merupakan tanda diagnostik.
Literatur terbaru menyarankan bahwa laparoskopi dapat
mendiagnosa dan dalam beberapa kasus memungkinkan
penanganan bedah definitif yang akhirnya membatasi
kegunaan DPL.

Penggunaan laparoskopi pada orang dewasa

menunjukkan peningkatan akurasi diagnostik,


penanganan
definitif
terkait
cedera,
penurunan tingkat laparotomi non teraupetik,
dan penurunan yang signifikan dalam masa
tinggal rumah sakit, dengan pengurangan
biaya perawatan.

Tingkat kemudahan operasi secara langsung

berkaitan dengan keterampilan dokter bedah


dalam melakukan laparoskopi dengan teknik
yang lebih baik dan keadaan stabilitas pasien.
Rumah Sakit Anak Illinois, >2 trauma karena
stang menyebabkan perforasi usus yang
berhasil diobati dengan cara laparaskopi.

Trauma Organ Padat


Lien dan hepar adalah organ yang pada umumnya mengalami

trauma tumpul abdomen.


Penanganan non operatif pada anak anak dengan trauma lien
yang terisolasi dan trauma pada hepar secara keseluruhan
berlangsung sukses dan sekarang merupakan standar
penanganan.
Kontroversi mengenai kegunaan penilaian dengan CT dan
penggunaan kontras sebagai penentu hasil pada trauma hepar dan
lien.
Beberapa penelitian terbaru melaporkan
7 % sampai 12 %
penggunaan kontras pada anak-anak dengan trauma tumpul lien.
Tingkat operasi pada kelompok dengan kontras mendekati atau
melebihi 20 %.

Hasil CT mengkhawatirkan tetapi kebanyakan

pasien masih bisa disembuhkan tanpa


operasi.
Peran
dan dampak embolisasi karena
angiografi
pada
orang
dewasa
masih
diperdebatkan dan masih harus dikaji pada
trauma lien pada anak.
Studi retrospektif pertama telah menemukan
embolisasi angiografikaman dan efektif pada
anak-anak, namun, kriteria pemilihan tidak
dijelaskan.

The American Pediatric Surgical Association

( APSA ) Komite Trauma menganalisis data


dari institusi kontemporer pada 832 anak
yang dirawat tanpa dilakukan operasi di 32
rumah sakit di Amerika Utara pada tahun
1995-1999.
Pedoman mengenai perawatan di unit
perawatan intensif ( ICU ), lama tinggal di
rumah sakit, penggunaan radiologi untuk
tindak lanjut, dan pembatasan aktivitas fisik
pada anak dengan keadaan klinis yang stabil
dengan trauma lien dan hepar ( nilai CT I
sampai IV) didefinisikan berdasarkan analisis
ini.

Pedoman

kemudian
diterapkan
secara
prospektif pada 312 anak dengan trauma
hepar atau lien yang dirawat tanpa operasi di
16 rumah sakit pada tahun 1998-2000. Pasien
dengan luka ringan lainnya, seperti dislokasi,
fraktur non comminuted atau cedera jaringan
lunak, dimasukkan selama cedera terkait
tidak
mempengaruhi
variabel
dalam
penelitian.

Pasien dikelompokkan berdasarkan tingkat

keparahan cedera yang ditetapkan oleh


penilaian CT. Pemenuhan
pedoman yang
diusulkan berdasarkan analisis atas usia ,
organ yang mengalami cidera, dan tingkat
cedera. Semua pasien diamati selama 4 bulan
setelah cedera.
Hal ini penting untuk menekankan bahwa
panduan ini diusulkan berdasarkan asumsi
stabilitas hemodinamik. Tingkat yang sangat
rendah dari pemindahan dokumen operasi
mengenai stabilitas pasien penelitian.

Tingkat

spesifisitas pemenuhan pedoman


adalah 81 % untuk perawatan di ICU, 82 %
untuk masa tinggal di rumah sakit, 87 %
untuk radiologi tindak lanjut , dan 78 % untuk
pembatasan aktivitas . Ada peningkatan yang
signifikan sesuai dari tahun 1 ke tahun 2
untuk perawatan di ICU ( 77 %dibandingkan
88 % , P < 0,02 ) dan pembatasan kegiatan
( 73 % vs 87 % , P <0,01 ).

Penyimpangan dari pedoman itu merupakan pilihan

dokter bedah pada 90% kasus dan 10% pada pasien yang
terkait. 6 pasien ( 1,9 % ) yang diterima kembali,
meskipun tidak ada operasi yang diperlukan. Di
bandingkan dengan 832 pasien yang dipelajari
sebelumnya, 312 pasien dikelola secara prospektif oleh
pedoman yang telah diusulkan mengalami penurunan
yang signifikan pada perawatan di ICU ( P < 0,0001 ),
lama perawatan di rumah sakit ( P < 0,0006 ), Radiologi
tindak lanjut ( P < 0,0001 ), dan interval pembatasan
aktivitas fisik ( P < 0,04 ) dalam setiap klasifikasi dari
trauma.

Penggunaan pedoman pengobatan tertentu

berdasarkan tingkat keparahan cedera yang


dihasilkan
dalam
manajemen
pasien,
peningkatan penggunaan sumber daya , dan
validasi keamanan pedoman.
Penurunan secara signifikam masa perawatan
di ICU, masa tinggal di rumah sakit , radiologi
lanjutan, dan pembatasan kegiatan dicapai
tanpa gejala sisa yang merugikan bila
dibandingkan
dengan
data
penelitian
retrospektif.

Studi retrospektif dan prospektif menunjukkan

bahwa pedoman APSA untuk lamanya rawat


inap di rumah sakit dapat dikurangi lebih jauh
lagi.
Rumah Sakit Anak Arkansas melaporkan
bahwa protokol yang berdasarkan keadaan
hemodinamik sementara ketika penilaian CT
karena trauma" disorot " pada 101 pasien
dengan trauma lien terisolasi atau kerusakan
hepar.
Protokol
mereka
menghasilkan
penurunan yang signifikan dalam lama rawat
inap ( 3,5 vs 1,9 hari , P <0,001) dari yang
diperkirakan oleh pedoman APSA .

Keputusan melakukan operasi lien atau hepar

yang terbaik berdasarkan bukti kehilangan


darah secara terus menerus, seperti tekanan
darah rendah, takikardia, penurunan output
urin, dan penurunan hematokrit tidak
responsif terhadap pemberian kristaloid dan
transfusi darah.
Tingkat keberhasilan pengobatan non operatif
terhadap trauma tumpul lien dan hepar
sekarang melebihi 90 % di sebagian besar
pusat trauma pediatri dan trauma pada orang
dewasa dengan komitmen yang sama pada
pasien pediatri.

Sebuah studi pada lebih dari 100 pasien dari

NPTR menunjukkan bahwa tindakan non


operatif pada trauma lien atau hepar bahkan
diindikasikan pada pasien dengan cedera
kepala jika keadaan hemodinamika pasien
stabil.
Intervensi operasi pada trauma tumpul lien
atau hepar adalah serupa dengan dan tanpa
terkait dengan cedera kepala tertutup.

Mooney dan Forbes meninjau fakta dari New

England Pediatric Trauma pada tahun 1990-an dan


diidentifikasi 2.500 anak-anak dengan cedera lien .
Dua pertiga yang diobati oleh dokter bedah trauma
non pediatri, dan 2/3 lainnya dirawat di pusat pusat non trauma.
Beberapa penelitian baru-baru ini memberikan
dasar untuk memperhatikan secara berkelanjutan
mengenai perbedaan pengobatan pada anak-anak
dengan trauma tumpul lien. Dengan menggunakan
data data dalam jumlah besar dan disesuaikan
dengan resiko, studi ini menunjukkan bahwa
perbedaan tersebut terjadi secara substansial dan
berkelanjutan secara regional dan nasional.

Dalam review serupa dengan menggunakan

Kids inpatient database ( KID ) pada tahun


2000, Mooney dan Rothstein menemukan
bahwa meskipun dilakukan penyesuaian
untuk rumah sakit dan pasien spesifik
variabel, dimana anak-anak dirawat di rumah
sakit umum dewasa memiliki kesempatan
lebih besar 2,8 ( P < 0,003 ) , dan mereka
yang dirawat di rumah sakit umum dengan
unit pediatri memiliki kesempatan lebih besar
2,6 ( P < 0,013 ), menjalani splenektomi
dibandingkan dirawat di sebuah rumah sakit
anak yang berdiri bebas.

Todd dkk menganalisis Healthcare Cost and Utilization

Projects National Inpatient Sample ( HCUP - NIS ), yang


berisi sampel pengeluaran dari 1.300 rumah sakit di
28 negara (mewakili 20 % dari seluruh pengeluaran
rumah sakit di AS).
Anak-anak dengan cedera lien dirawat dipuskesmas
memiliki rasio odds untuk resiko dilakukan laparatomi
sebesar 1,64 ( 95 % CI , 1,39-1,94 ) bila dibandingkan
dengan mereka dirawat di sebuah rumah sakit di
perkotaan. APSA pada hasilnya membandingkan
pengobatan cedera lien pediatri menggunakan data
yang berbeda dari empat negara. Rasio risk-adjusted
odds untuk laparotomi dari 2,1 ( 95 % CI , 143,1 )
ketika membandingkan perawatan di pusat-pusat non
trauma dengan pusat yang mempunyai ahli trauma.

Mooney dan kawan - kawan mengulas lebih

dari 2.600 anak-anak dengan cedera lien dari


data New England Pediatric Trauma dan
menemukan bahwa pasien trauma yang sama
yang dirawat oleh ahli bedah non pediatri
memiliki rasio odds risiko disesuaikan dengan
laparotomi dari 3,1 ( 95 % CI , 2,3-4,4 ) bila
dibandingkan dengan mereka yang dirawat
oleh ahli bedah anak.

Bowman dkk menggunakan data dari Kids Inpatient

database (KID 2000) dari Healthcare cost and Utilization


Project, yang didukung oleh Badan Penelitian Kesehatan
dan kualitas. Data administrasi ini merupakan 80% sampel
dari kelahiran baru dari 2784 rumah sakit pada 27 negara
( 2,5 juta kelahiran).
Rasio odds risiko disesuaikan dengan laparotomi sekitar 5.0
( 95 % CI , 2,2-11,4) ketika dibandingkan dengan
perawatan di rumah sakit umum dan rumah sakit anak-anak
pada pasien anak dengan Cedera lien.
Davis dkk meninjau di 175 rumah sakit di Pennsylvania
dan menemukan rasio odds risiko untuk laparotomi menjadi
6,2 ( 95 % CI , 4.48,6 ) ketika perawatan di pusat-pusat
trauma dewasa dibandingkan pusat trauma anak.

Sims dkk meneliti 281 ahli bedah ( 114 anak,167 dewasa)

tentang perlakuan mereka terhadap anak-anak dengan cedera


organ padat ( SOI ). Untuk semua skenario klinis, ahli bedah
dewasa lebih mungkin untuk melakukan operasi atau
melakukan prosedur radiologis daripada rekan-rekan mereka
di pediatri risiko relatif [RR ] : 8.6 dengan cedera organ
padat terisolasi , P < 0,05; 14,8 SOI dengan beberapa cedera
organ padat, P < 0,001; 17,9 cedera organ padat dengan
pendarahan intrkranial, P < 0,0001 ). Ahli bedah dewasa
juga lebih mungkin untuk mempertimbangkan setiap
kemungkinan kegagalan (13,3 % vs 1,2 % , P < 0,01 ) dan
memiliki ambang perpindahan jauh lebih rendah.

Stylianos dkk menemukan bahwa hampir dua

pertiga dari anak-anak dengan cedera lien dirawat


di institusi dengan keahlian trauma.Pusat trauma
memiliki tingkat kemungkinan operasi yang lebih
rendah untuk pasien dengan cedera yang banyak
( 15,3 % vs 19,3 % , P < 0,001 ) dan orang-orang
dengan cedera yang tersembunyi (9,2 % vs 18,5
% , P < 0,0001 ) bila dibandingkan dengan pusat
non trauma. Tingkat operasi di pusat trauma dan
pusat non trauma melebihi keputusan yang telah
ditentukan APSA untuk semua anak dengan
cedera lien ( 3 % sampai 11 % ) dan mereka yang
cedera lien tersembunyi ( 0 % hingga 3 % ).

Pasien pediatri yang menderita trauma pada

pankreas
lebihcenderung
gagal
dalam
manajemen non operatif odds ratio [ OR ]7.49 , 95
% CI , 3,74-15,01 dibandingkan dengan mereka
yang menderita trauma lainnya . Para pasien yang
gagal mempunyai skor keparahan cedera yang
lebih tinggi ( ISS ; 28 17 ) dibandingkan dengan
mereka yang menjalani manajemen non operatif
dengan sukses ( 14 10 , P < 0,001 ). Pasien
dengan CKB (GCS = 8 ) memiliki tingkat
kegagalan yang lebih tinggi untuk manajemen
non operatif ( OR 5.09 , 95 % CI , 3,04 - 8.52 ).

Ringkasan
Faktanya bahwa tingkat operasi saat ini 4

sampai 6 kali lebih rendah untuk anak-anak


dengan cedera lien yang ditangani oleh ahli
bedah anak di fasilitas anak daripada di
lingkungan lainnya
Fokus program pendidikan dan pedoman
manajemen berdasarkan bukti pada pusat
-pusat dengan tingkat splenektomi yang tinggi
mungkin menjadi langkah berikutnya untuk
meningkatkan tingkat penyimpanan.

Meskipun dampak kematian di rumah sakit mungkin tidak

relevan akhir akhir ini, dikarenakan jarang terjadi,


pasien tersebut mempunyai resiko yang tinggi yang
meliputi sepsis pasca splenektomi dan komplikasi yang
berhubungan dengan laparatomi, seperti adanya
perlengketan pada obstruksi usus dan hernia insisional.
Ahli bedah trauma dewasa yang merawat anak-anak yang
cedera harus mempertimbangkan perbedaan anatomi,
imunologi, dan fisiologi antara pasien trauma pediatri dan
dewasa dan tidak menggabungkan perbedaan-perbedaan
ini dalam protokol pengobatan mereka.

Hubungan
Trauma Abdomen
Morse dan Garcia melaporkan keberhasilan manajemen non
opretaif pada 110 dari 120 anak (91%) dengan trauma tumpul
lien, di antaranya 22 (18%) telah dikaitkan dengan trauma
abdomen.
Hanya 3 dari 120 pasien tersebut (2,5%) megalami trauma
GI, dan masing masing telah dilakukan celiotomi secara dini
untuk sebuah indikasi tertentu. Tidak ada morbiditas dari
trauma yang tidak diketahui atau tertundanya operasi.
Demikian pula, tinjauan dari NPTR dari tahun 1988-1998
mengungkapkan 2.977 pasien dengan trauma abdomen
viseral, hanya 96 (3,2%) yang memiliki hubungan dengan
rongga viseral.

Tingginya

tingkat trauma abdomen yang


diamati pada pasien yang mengalami trauma
karena diserang dan pada mereka dengan
beberapa cedera visceral atau trauma
pankreas. Perbedaan mekanisme terjadinya
trauma dapat menjelaskan kejadian yang jauh
lebih rendah dari trauma abdomen
pada
anak-anak terkait dengan trauma lien.
Tidak dibenarkan untuk melakukan eksplorasi
celiotomi semata-mata untuk menghindari
bertambah beratnya trauma terkait pada
anak-anak.

Komplikasi Dari Penanganan Non


Operatif
Dasar bagi keberhasilan manajemen non operatif,
awalnya adalah penghentian pendarahan secara
spontan. Tingkat perpindahan pada anak-anak dengan
trauma lien yang tersembunyi atau trauma hepar
kurang
dari
10%,
membenarkan
berkurangnya
kehilangan darah pada sebagian besar pasien.
Shilyansky
dkk melaporkan dua anak dengan
perdarahan yang tertunda selama 10 hari setelah terjadi
trauma tumpul pada hepar mengeluhkan kuadran kanan
atas yang keras dan nyeri pada bahu kanan meskipun
tanda-tanda vital normal dan hematokrit normal. Penulis
merekomendasikan untuk terus melakukan observasi di
rumah sampai gejala hilang.

Pseudoaneurisma

lien sering kali tidak


menimbulkan gejala dan tampaknya telah
menghilang setelah beberapa waktu.
Pseudoaneurismalien pasca trauma tidak
diketahui, karena pencitraan rutin sebagai
tindak lanjut setelah penanganan non operatif
sukses sebagian besar telah ditinggalkan.
Setelah diidentifikasi, sebenarnya risiko lien
pseudoaneurisma pecah juga belum jelas.

Angiografi

dengan teknik embolisasi telah


berhasil
dalam
mengobati
lesi
tersebut,
mengurangi tingkat kebutuhan untuk dilakukan
operasi terbuka dan hilangnya parenkim lien.
Pseudokista lien dapat mencapai ukuran yang
sangat besar, yang menyebabkan rasa sakit dan
gangguan GI. Aspirasi perkutan sederhana
mengarah ke tingkat kekambuhan yang lebih
tinggi. Eksisi laparoskopi dan marsupialization
sangat efektif untuk penanganan.

Gejala Sisa Dari Kerusakan Strategi


Pengaturan
Rata rata kerusakan organ padat yang berat dapat

diobati tanpa operasi, jika ada respon yang tepat dalam


melakukan resusitasi. Sebaliknya laparatomi emergensi,
embolisasi atau keduanya diindikasikan pada pasien
dengan hemodinamik yang tidak stabil karena kehilangan
cairan dan darah.
Kebanyakan dari trauma lien dan hepar yang
membutuhkan tindakan operasi setuju untuk dilakukan
metode hemostasis menggunakan kombinasi kompresi
manual, jahitan langsung, penggunaan agen hemostasi
topikal, dan pembungkus berbentuk jalan.

Anak-anak

dapat mentolerir periode isolasi


vaskular untuk 30 menit atau lebih, asalkan
volume darah mereka diisi kembali. Bypass vena
mungkin berguna tapi jarang terjadi untuk trauma.
Dengan cara seperti ini, hepar dan vena
perihepatik utama dapat diisolasi dan pendarahan
dikontrol, memungkinkan perbaikan dengan jahitan
secara langsung atau ligasi vena yang terluka.
Meskipun rumit dan berbahaya teknik shunting
atriocaval sebagian besar telah ditinggalkan,
kateter balon endovaskular baru dapat berguna
untuk oklusi pembuluh darah sementara untuk
memungkinkan akses ke vena cava supra hepatik.

Morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan

trauma hepar berat karena kehilangan darah


masif dan penggantian sejumlah besar darah
dingin. Konsekuensi dari operasi yang lama
dengan dengan pendarahan masif, pergantian
darah termasuk hipotermia, koagulopati, dan
asidosis. Meskipun tim bedah dapat mengimbangi
kehilangan darah, keadaan yang
mengancam
jiwa secara fisik dan konsekuensi metabolik tidak
dapat dihindari, dan banyak dari pasien yang
sakit kritis yang masih bertahan hidup walaupun
secara fisik keadaan fisik mereka telah lemah.

Sebuah

tinjauan
dari
multi
institusi
mengidentifikasi
proses
kehilangan
darah
sebagai penyebab kematian intraoperatif pada
82 % dari537 pasien di delapan pusat pendidikan
trauma. Rata rata pH adalah 7.18 , dan suhu
tubuh rata-rata adalah 32 0C sebelum terjadi
kematian. Moulton dan kawan kawan
melaporkan tingkat kelangsungan hidup hanya 5
dari12 (42 % ) pada kasus operasi retrohepatik
yang dilakukan berturut turut atau kerusakan
parenkim hepar yang berat pada anak - anak.

Mempertahankan kestabilan fisiologis selama tindakan operasi

dengan pendarahan berat merupakan tantangan berat bahkan


untuk tim bedah yang paling berpengalaman, terutama ketika
hipotermia, koagulopati, dan asidosis terjadi. Triad ini
menciptakan lingkaran setan di mana setiap gangguan
memperburuk keadaan yang lain, dan sering kali dampak
fisiologis dan metabolik menghalangi penyelesaian tindakan.
Koagulopati letal yang dikarenakan kombinasi kerusakan,
pengenceran, hipotermia, dan asidosis dapat dengan cepat
terjadi.

Penelitian eksperimental telah menetapkan perubahan

dalam proses pro koagulan dan proses enzim


antikoagulan, aktivasi platelet, dan adhesi platelet dengan
derajat yang bervariasi dari hipotermia. Pemberian infus
untuk mengaktifkan faktor VII pada anak-anak dengan
perdarahan masif telah menjanjikan dalam beberapa
laporan kasus, dan penelitian eksperimental menunjukkan
bahwa faktor rekombinan VII mempertahankan efektivitas
suhu pada hipotermia.

Meningkatnya stabilitas pada keadaan fisiologi

dam metabolik pada operasi perut darurat telah


memastikan adanya perkembangan dalam hal
performa, rencana perawatan multidisiplin,
termasuk laparotomi yang singkat, balutan
perihepatik,
penutupan
sementara
perut,
angiografi dengan emboliasasi , dan endoskopik
empedu yang cepat.
Asensio dkk melaporkan pada 103 pasien
sebagian
besar
mengalamidengan
trauma
penetrasi derajat IV dan V yang ditangani antara
tahun 1991 dan 1999. Rata rata kehilangan
darah diperkirakan adalah 9,4 L , dan rata-rata
jumlah cairan infus yang diberikan di ruangan
operasi sebanyak 15 L.

Trauma hepar yang tersembunyi terjadi pada 50 %

pasien dengan operasi pertama. 40% pasien yang


melewati penanganan pendarahan pada operasi awal
telah melakukan angiografi embolisasi pasca operasi.
Angka kelangsungan hidup adalah 63 % pada pasien
dengan luka derajat IV dan 24 % pada pasien dengan
luka derajat V, Trauma tersebut masih mematikan
meskipun telah ditangani dengan baik, diatur,
pendekatan dengan multidisplin.

Fakta menunjukkan secara signifikan bahwa nekrosis

hepar dan kebocoran empedu yang terjadi mencapai 30%


sampai 40% pada pasien, sehingga perlu ditekankan
kehati hatian dalam memilih pasien.
Laparotomi dengan gangguan hemostasis, diperlukan
resusitasi sebelum direncanakan operasi kembali, tindakan
alternatif pada pasien yang keadaannya tidak stabil di
mana terjadi kehilangan darah lebih lanjut menyebabkan
keadaan pasien tidak dapat dipertahankan..

Sebuah tinjauan pada 700 pasien dewasa yang

dirawat dengan penutupan abdomen dari


beberapa institusi menunjukkan hemostasis
pada 80%, kelangsungan hidup mencapai 32%
sampai73 %, dan abses perut yang terjadi dari
10 % menjadi 40 %. Penutupan dengan silastic
dilakukan untuk mengakomodasi usus sampai
kumpulan kerusakan bisa diangkat. Pasien
dipulihkan secara sempurna. Gabungan dari
beberapa
teknik
untuk
menghilangkan
kerusakan
memberikan
waktu
untuk
mengoreksi hipotermi, asidosis, dan koagulopati
tanpa menganggu mekanisme pernapasan.

Satu tinjauan melaporkan bahwa 22 bayi dan anak-anak (

usia 6 hari sampai 20 tahun ) dengan perdarahan yang


sulit ditangani dengan balutan pada abdomen. Tempat
anatomi yang mengalami perdarahan adalah hepar atau
vena hepatik pada 14 pasien, retroperitoneum atau
panggul pada 7 pasien, dan bagian dalam pankreas pada
1 pasien. Penutupan fasia primer dilakukan pada 12
pasien ( 55 % ), dan penutupan kulit sementara atau
bahan prostetik digunakan pada 10 pasien lainnya.
Balutan untuk mengontrol perdarahan dilakukan pada
21 dari 22 pasien ( 95 % ). Pengangkatan balutan
tersebut dimungkinkan dalam waktu 72 jam pada 18
pasien ( 82 % ).

Tujuh pasien ( 32 % ) mengalami abses

abdomen atau abses pelvis, dan semua


berhasil disembuhkan setelah dilakukan
laparotomi ( 6 pasien ) atau perkutan ( 1
pasien ); 6 dari 7 pasien dengan sepsis pada
abdomen selamat. Secara keseluruhan,18
pasien ( 82 % ) selamat. Dua kematian
disebabkan kegagalan multiorgan, salah satu
kegagalan jantung karena anomali jantung
kompleks,
dan
satunya
dikarenakan
pendarahan

Penutupan panggul sebelum peritoneum pada

pasien dengan hemodinamik tidak stabil


dengan fraktur panggul adalah penggunaan
teknik
unik
lain
dengan
melakukan
tamponade untuk menghentikan pendarahan
yang mengancam jiwa. Meskipun keberhasilan
balut tekan pada abdomen terus berlanjut,
tetapi tindakan ini mungkin berkontribusi
terhadap morbiditas secara signifikan, seperti
sepsis pada intraabdominal, kerusakan organ,
dan peningkatan tekanan intra - abdominal.

Penting

untuk menekankan bahwa keberhasilan


laparotomi singkat dan rencana operasi kembali
tergantung
pada
keputusan
awal
dalam
menggunakan strategi ini sebelum syok irreversibel
terjadi. Kapan digunakan sebagai pilihan terakhir
setelah upaya memperpanjang hemostasis telah
gagal, pembalutan pada abdomen juga telah gagal.
Kriteria fisiologis dan anatomi telah diidentifikasi
sebagai
indikasi
untuk
melakukan
tindakan
pembalutan pada abdomen. Sebagian besar fokus
ini merupakan parameter intraoperatif, termasuk
pH ( = 7,2) , suhu inti ( < 35 0C ), dan nilai-nilai
koagulasi ( waktu protrombin> 16 detik ), pada
pasien dengan perdarahan banyak membutuhkan
sejumlah besar darah untuk ditransfusi.

Manfaat yang jelas dari hemostasis disediakan

oleh
balutan
juga
menyeimbangkan
perlawanan terhadap efek dari potensi yang
dapat merusak dari peningkatan tekanan intraabdomen pada ventilasi, curah jantung
jantung, fungsi ginjal, sirkulasi mesenterika,
dan tekanan intrakranial. Penanganan tepat
waktu pada sindrom kompartemen abdominal
dapat menjadi titik kritis untuk tindakan
menyelamatkan pasien. Penutupan dinding
perut sementara pada waktu dilakukan
pembalutan yang dapat mencegah sindrom
kompartemen abdominal.

TERIMA
KASIH

You might also like