You are on page 1of 20

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1.

Isolasi Bakteri Pelarut Fosfat


Sampel tanah rizosfer yang digunakan sebagai sumber isolat bakteri

pelarut fosfat (BPF) diperoleh dari areal Kebun Percobaan IPB Cikabayan (Bogor,
Jawa Barat), Citeureup (Bogor, Jawa Barat), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan
Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sampel tanah tersebut diambil di dekat areal

sungai, perkebunan, dan persawahan warga. Sampel tanah diambil di sekitar


perakaran (rizosfer) pada beberapa tanaman.
Mikroba pada sampel tanah yang diinokulasikan ke dalam medium
Pikovskaya cair kemudian diukur kemampuannya dalam melarutkan P pada
medium Pikovskaya padat. Tidak semua mikroba tersebut menghasilkan zona
berwarna terang jernih atau zona bening.

BPF yang tumbuh pada medium

Pikovskaya padat akan melarutkan P ditandai dengan adanya zona berwarna


terang jernih atau zona bening yang mengelilingi koloni bakteri tersebut. Hal ini
disebabkan adanya pelarutan fosfat dari Ca3(PO4)2 yang terdapat dalam medium.
Sebanyak 29 isolat BPF yang menghasilkan zona bening kemudian dimurnikan
pada medium Pikovskaya padat dan disimpan dalam medium agar miring (stock
culture) untuk digunakan dalam pengujian selanjutnya.

Koloni bakteri pelarut


fosfat yang dikelilingi
oleh zona bening

Gambar 3. Hasil isolasi bakteri pelarut fosfat dari rizosfer

22

Gambar 4. Pemurnian bakteri pelarut fosfat pada medium Pikovskaya padat

4.2.

Karakteristik dan Kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat dalam


Melarutkan P
Sebanyak 29 isolat bakteri pelarut fosfat (BPF) yang telah diperoleh

selanjutnya dilakukan pengamatan karakteristik morfologi koloni meliputi bentuk,


tepian, elevasi, dan warna koloni bakteri sesuai prosedur Hadioetomo (1993),
serta pengukuran indeks pelarutan fosfat (IP). Hasil pengamatan dan pengukuran
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Morfologi Koloni dan Kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat


dalam Melarutkan P pada Medium Pikovskaya Padat Selama 7 Hari
Inkubasi
No.

Isolat
Kode Asal

Warna

Ciri Koloni
Elevasi
Tepian

Bentuk

IP

1.

P 1.1

NTT

Putih

Timbul

Licin

Bundar dengan
tepian timbul

1.20

2.

P 1.2

NTT

Kuning

Timbul

Licin

Keriput

1.50

3.

P 1.3

NTT

Putih

Seperti
kawah

Licin

Bundar dengan
tepian timbul

1.10

4.

P 1.4

NTT

Putih

Timbul

Licin

Bundar

1.70

5.

P 1.5

NTT

Putih

Seperti
kawah

Licin

Bundar dengan
tepian timbul

1.08

6.

P 2.1

NTT

Putih

Timbul

Berombak

Kompleks

1.10

23

Lanjutan Tabel 1...


No.

Isolat
Kode Asal

Warna

Ciri Koloni
Elevasi
Tepian

Bentuk

IP

7.

P 2.2

NTT

Putih kekuningan

Seperti
kawah

Licin

Bundar dengan
tepian timbul

1.09

8.

P 2.3

NTT

Putih

Seperti
kawah

Licin

Bundar dengan
tepian kerang

1.11

9.

P 2.4

NTT

Putih

Seperti
kawah

Berombak

Bundar dengan
tepian kerang

1.22

10.

P 3.1

NTT

Kuning
kecoklatan

Timbul

Tak
beraturan

Bundar dengan
tepian kerang

1.27

11.

P 3.2

NTT

Kuning
kecoklatan

Timbul

Berombak

Bundar dengan
tepian menyebar

1.50

12.

P 3.3

NTT

Kuning
kecoklatan

Timbul

Tak
beraturan

Bundar dengan
tepian menyebar

1.56

13.

P 3.4

NTT

Kuning
kecoklatan

Timbul

Tak
beraturan

Tak beraturan dan


menyebar

1.25

14.

P 3.5

NTT

Coklat

Timbul

Tak
beraturan

Bundar dengan
tepian kerang

1.78

15.

P 3.6

NTT

Kuning

Seperti
kawah

Berombak

Bundar dengan
tepian kerang

1.50

16.

P 4.1

NTT

Putih kekuningan

Seperti
tetesan

Licin

Bundar

1.08

17.

P 4.2

NTT

Putih

Seperti
kawah

Licin

Bundar dengan
tepian timbul

1.08

18.

P 4.3

NTT

Putih kekuningan

Seperti
kawah

Licin

Bundar dengan
tepian timbul

1.09

19.

P 4.4

NTT

Putih

Seperti
tetesan

Licin

Bundar

1.08

20.

P 5.1

NTB

Putih

Seperti
kawah

Berombak

Bundar dengan
tepian timbul

1.10

21.

P 5.2

NTB

Putih

Timbul

Berombak

Bundar dengan
tepian timbul

1.42

22.

P 5.3

NTB

Putih

Timbul

Licin

Bundar

1.57

23.

P 6.1

NTB

Putih kekuningan

Seperti
tetesan

Licin

Bundar

1.25

24

Lanjutan Tabel 1...


No.

Isolat
Kode
Asal

24.

P 6.2

NTB

Putih

Seperti
kawah

Licin

Bundar dengan
tepian kerang

1.22

25.

P 7.1

CK

Kuning

Timbul

Berombak

Bundar dengan
tepian menyebar

1.11

26.

P 8.1

CK

Putih

Timbul

Licin

Bundar dengan
tepian kerang

1.67

27.

P 8.2

CK

Putih

Datar

Licin

Bundar

1.10

28.

P 9.1

CT

Kuning
kecoklatan

Timbul

Licin

Bundar

1.62

29.

P 10.1

CT

Kuning
kecoklatan

Datar

Licin

Bundar

1.80

Warna

Ciri Koloni
Elevasi
Tepian

Bentuk

IP

Keterangan :
IP =

diameterko loni + zonabening


diameterko loni

IP

= Indeks Pelarutan Fosfat

NTB = Provinsi Nusa Tenggara Barat


NTT = Provinsi Nusa Tenggara Timur
CK = Cikabayan (Kebun Percobaan IPB)
CT = Citeureup (Bogor, Jawa Barat)

Berdasarkan Indeks Pelarutan (IP) yang dihasilkan dapat diketahui bahwa


BPF memiliki kemampuan melarutkan P yang bervariasi. Menurut Rachmiati
(1995) luas zona bening secara kualitatif diduga menunjukkan besar kecilnya
kemampuan bakteri melarutkan P dari fosfat tak larut. Pada pengamatan bentuk
koloni yang mengacu kepada Hadioetomo (1993) menujukkan ke-29 isolat ratarata berbentuk bundar, bundar dengan tepian timbul, bundar dengan tepian
menyebar, dan bundar dengan tepian kerang. Sebagian besar isolat berwarna
putih, putih kekuningan, dan kuning kecoklatan dengan tepian licin, berombak,
tak beraturan serta elevasi timbul, datar, seperti kawah (cekung), dan seperti
tetesan (cembung).

25

4.3.

Kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat dalam Menghasilkan Enzim


Fosfatase dan Zat Pengatur Tumbuh Indole Acetic Acid (IAA) serta
Karakterisasi Pewarnaan Gram
Setelah dilakukan pengujian karakteristik dan kemampuan bakteri pelarut

fosfat (BPF) dalam melarutkan P pada medium Pikovskaya padat, kemudian


dilakukan pengujian kemampuan BPF dalam menghasilkan enzim fosfatase dan
IAA serta pewarnaan Gram yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.

Kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat dalam Menghasilkan Enzim


Fosfatase dan Indole Acetic Acid (IAA) Selama 3 Hari Inkubasi serta
Pewarnaan Gramnya
Enzim Fosfatase (ppm)

IAA (ppm)

Ca3(PO4)2

Ca5(PO4)3OH

Ca3(PO4)2

Ca5(PO4)3OH

Pewarnaan
Gram

P 1.1

42.78

17.13

0.04

8.83

Gram Negatif

2.

P 1.2

17.57

5.78

Gram Negatif

3.

P 1.3

28.65

43.44

16.22

Gram Negatif

4.

P 1.4

30.61

8.44

2.24

3.61

Gram Negatif

5.

P 1.5

30.39

14.96

11.87

Gram Negatif

6.

P 2.1

5.39

21.26

8.39

Gram Negatif

7.

P 2.2

24.74

17.35

14.04

Gram Negatif

8.

P 2.3

24.09

18.44

1.00

Gram Negatif

9.

P 2.4

42.57

24.96

10.57

Gram Negatif

10.

P 3.1

63.00

9.30

7.59

45.35

Gram Negatif

11.

P 3.2

34.74

242.13

5.27

4.04

Gram Negatif

12.

P 3.3

98.22

2.13

38.99

1.87

Gram Negatif

13.

P 3.4

92.35

3.44

74.45

18.83

Gram Negatif

14.

P 3.5

76.70

144.52

3.06

97.52

Gram Negatif

15.

P 3.6

50.83

6.04

37.59

13.61

Gram Negatif

16.

P 4.1

36.70

31.48

Gram Negatif

17.

P 4.2

9.52

21.48

1.87

Gram Negatif

No.

Isolat

1.

26

Lanjutan Tabel 2
Enzim Fosfatase (ppm)

IAA (ppm)

Ca3(PO4)2

Ca5(PO4)3OH

Ca3(PO4)2

Ca5(PO4)3OH

Pewarnaan
Gram

P 4.3

39.30

18.44

12.30

Gram Negatif

19.

P 4.4

41.48

16.26

2.30

Gram Negatif

20.

P 5.1

21.70

47.13

2.74

Gram Negatif

21.

P 5.2

41.70

17.78

Gram Negatif

22.

P 5.3

28.44

20.61

17.09

Gram Negatif

23.

P 6.1

31.26

10.61

3.61

Gram Negatif

24.

P 6.2

66.70

43.44

15.35

Gram Positif

25.

P 7.1

0.17

14.09

1.44

Gram Negatif

26.

P 8.1

21.70

14.52

8.39

Gram Negatif

27.

P 8.2

29.52

21.48

2.74

Gram Negatif

28.

P 9.1

31.26

70.39

7.96

1.44

Gram Negatif

29.

P 10.1

30.17

100.17

20.13

94.04

Gram Negatif

No.

Isolat

18.

Keterangan * : Tidak Terdeteksi

Enzim fosfatase merupakan kompleks enzim penting di dalam tanah yang


berfungsi memutuskan ikatan fosfat yang terikat oleh senyawa-senyawa organik
menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman. Pada Tabel 2 terlihat bahwa isolat
BPF yang menghasilkan enzim fosfatase tertinggi pada sumber fosfat Ca3(PO4)2
adalah isolat P 3.3 dengan kandungan enzim fosfatase sebesar 98.22 ppm.
Sedangkan isolat yang menghasilkan enzim fosfatase terendah adalah isolat P 7.1,
yaitu sebesar 0.17 ppm. Isolat P 3.3 dan P 7.1 masing-masing diisolasi dari
sampel pasir Sungai Pinti, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sampel tanah rizosfer
tanaman kedelai di Kebun Percobaan IPB Cikabayan (Bogor, Jawa Barat).
Pada sumber fosfat Ca5(PO4)3OH, isolat yang menghasilkan enzim
fosfatase tertinggi adalah P 3.2 dengan kandungan enzim fosfatase sebesar 242.13
ppm. Sedangkan isolat yang menghasilkan enzim fosfatase terendah adalah isolat
P 3.3, yaitu sebesar 2.13 ppm. Kedua isolat tersebut diisolasi dari sampel pasir
Sungai Pinti, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebagian besar sampel tanah yang

27

berasal dari Sungai Pinti, Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki kandungan
enzim fosfatase yang tinggi.
Pada pengujian kemampuan BPF dalam menghasilkan IAA diketahui
bahwa tidak semua isolat BPF mampu menghasilkan IAA (Tabel 2). Beberapa
isolat diketahui tidak terdeteksi dalam menghasilkan IAA. Berdasarkan pengujian
tersebut, diperoleh 10 isolat yang diketahui mampu menghasilkan IAA pada
medium Pikovskaya cair dengan sumber fosfat Ca3(PO4)2, dan 27 isolat diketahui
dapat menghasilkan IAA pada medium Pikovskaya cair dengan sumber fosfat
Ca5(PO4)3OH. Produksi IAA ditandai dengan adanya warna merah muda pada
larutan, hal ini karena adanya penambahan pereaksi Salkowski. Semakin pekat
warna merah mudanya, maka konsentrasi IAA yang dihasilkan akan semakin
tinggi.
Berdasarkan data pada Tabel 2 juga diketahui bahwa isolat BPF yang
menghasilkan IAA tertinggi pada sumber fosfat Ca3(PO4)2 adalah isolat P 3.4,
yaitu sebesar 74.45 ppm. Sedangkan isolat yang menghasilkan IAA terendah
adalah isolat P 1.1 dengan kandungan IAA sebesar 0.04 ppm. Isolat P 3.4 dan P
1.1 masing-masing diisolasi dari sampel pasir Sungai Pinti, Nusa Tenggara Timur
(NTT) dan sampel tanah rizosfer pohon mahoni, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pada sumber fosfat Ca5(PO4)3OH, isolat yang menghasilkan IAA tertinggi adalah
isolat P 3.5, dengan kandungan IAA sebesar 97.52 ppm. Sedangkan isolat yang
menghasilkan IAA terendah adalah isolat P 2.3, yaitu sebesar 1.00 ppm. Isolat P
3.5 dan P 2.3 masing-masing diisolasi dari sampel pasir Sungai Pinti, Nusa
Tenggara Timur (NTT) dan sampel tanah rizosfer tanaman padi sawah, Nusa
Tenggara Timur (NTT).
Dari data pada Tabel 2, diseleksi tiga isolat BPF berdasarkan kandungan
enzim fosfatase dan zat pengatur tumbuh IAA tertinggi pada masing-masing
daerah asal sampel tanah (Bogor, NTB, dan NTT) yang hasilnya dapat dilihat
pada Tabel 3. Isolat BPF terpilih tersebut selanjutnya dilakukan pengujian lanjut,
yaitu pengukuran pertumbuhan populasi, perubahan pH pada medium Pikovskaya
cair, dan pengukuran kandungan enzim fosfatase selama 7 hari inkubasi.

28

Tabel 3. Isolat Bakteri Pelarut Fosfat Terpilih Berdasarkan Kandungan Enzim


Fosfatase dan IAA Tertinggi pada Masing-masing Daerah Asal Sampel
Tanah

Kode

Isolat
Asal

Enzim Fosfatase (ppm)


Ca3(PO4)2
Ca5(PO4)3OH

IAA (ppm)
Ca3(PO4)2
Ca5(PO4)3OH

P 3.5

NTT

76.70

144.52

3.06

97.52

P 6.2

NTB

66.70

43.44

15.35

P 10.1

Citeureup, Bogor

30.17

100.17

20.13

94.04

Keterangan * : Tidak Terdeteksi

Berdasarkan hasil pewarnaan Gram yang telah dilakukan, diketahui


bahwa semua isolat BPF merupakan bakteri Gram negatif. Isolat P 3.5 dan isolat
P 10.1 merupakan bakteri Gram negatif berbentuk kokus atau bulat, sedangkan
isolat P 6.2 merupakan bakteri Gram negatif berbentuk basilus atau batang
(Gambar 5). Pewarnaan Gram dapat membedakan sel bakteri yang termasuk
Gram negatif atau Gram positif. Bakteri Gram positif akan tampak berwarna
ungu, sedangkan bakteri Gram negatif akan tampak berwarna merah muda.
Perbedaan antara bakteri Gram positif dengan Gram negatif disajikan pada Tabel
4.

Tabel 4. Beberapa Ciri Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif (Pelczar, 1986)
CIRI
Struktur dinding sel
Komposisi dinding sel

Kerentanan terhadap penisilin


Pertumbuhan dihambat oleh
zat-zat warna dasar, misalnya
ungu kristal
Persyaratan nutrisi
Resistensi terhadap gangguan
fisik

PERBEDAAN RELATIF
Gram Positif
Gram Negatif
Tebal (15-80 nm)
Tipis (1015 nm)
Berlapis tunggal (mono)
Berlapis tiga (multi)
Kandungan lipid rendah
Kandungan lipid tinggi (11
(1-4%)
22%)
Peptidoglikan ada sebagai
Peptidoglikan ada di dalam
lapisan tunggal; komponen
lapisan kaku sebelah dalam;
utama merupakan lebih dari
jumlahnya sedikit, merupakan
50% berat kering pada
sekitar 10% berat kering
beberapa sel bakteri
Tidak ada asam tekoat
Asam tekoat
Lebih rentan
Kurang rentan
Pertumbuhan dihambat
Pertumbuhan tidak begitu
dengan nyata
dihambat
Relatif rumit pada banyak
spesies
Lebih resisten

Relatif sederhana
Kurang resisten

29

10 m

(a)

10 m

(b)

10 m

(c)

Gambar 5. Hasil pewarnaan Gram dari sel bakteri pelarut fosfat; (a) isolat P 3.5,
(b) isolat P 6.2, (c) isolat P 10.1 yang dilihat di bawah mikroskop
(perbesaran 100 x 10)

30

4.4.

Pertumbuhan Populasi, pH, dan Kandungan Enzim Fosfatase Bakteri


Pelarut Fosfat Terpilih
Ketiga isolat BPF terpilih, yaitu P 3.5 yang berasal dari sampel tanah Nusa

Tenggara Timur (NTT), P 6.2 yang berasal dari sampel tanah Nusa Tenggara
Barat (NTB), dan P 10.1 yang berasal dari sampel tanah Citeureup (Bogor, Jawa
Barat) dilakukan pengujian lanjut, yaitu (i) pertumbuhan populasi; (ii) perubahan
pH pada medium Pikovskaya cair; dan (iii) kandungan enzim fosfatase. Ketiga
pengujian tersebut dilakukan selama 7 hari inkubasi. Pertumbuhan populasi tiap
isolat BPF terpilih disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 6.

Tabel 5.

Isolat

Jumlah Populasi Bakteri Pelarut Fosfat Terpilih pada Medium


Pikovskaya Padat dengan Ca3(PO4)2 Sebagai Sumber P
0

1
6

Hari ke3

9.00x 10

2.38x10

6.10x10

4
6.70x10

5
8

4.00x10

6
8

3.02x108

P 3.5

4.00x10

P 6.2

8.00x106

1.32x108

6.00x108

8.48x108

7.96x108

4.86x108

4.14x108

P 10.1

3.00x106

1.50x108

5.00x108

6.38x108

6.60x108

5.08x108

4.60x108

Pertumbuhan Populasi

L o g Ju m lah K o lo n i

10
9
8

P 3.5

P 6.2
P 10.1

6
5
0

Waktu (hari)

Gambar 6. Pertumbuhan populasi bakteri pelarut fosfat terpilih pada medium


Pikovskaya padat dengan Ca3(PO4)2 sebagai sumber P
Kurva pertumbuhan bakteri umumnya berbentuk sigmoid, diawali oleh
suatu periode awal yang tanpa ada pertumbuhan (lag phase atau fase lamban)

31

diikuti oleh suatu periode pertumbuhan yang cepat (log phase), kemudian
mendatar (stationary phase atau fase statis), dan akhirnya diikuti oleh suatu
penurunan populasi sel-sel hidup (death phase atau fase kematian) (Pelczar,
1986). Beberapa ciri pertumbuhan bakteri disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Beberapa Ciri Pertumbuhan Bakteri pada Setiap Fase Pertumbuhan


(Pelczar, 1986)
FASE PERTUMBUHAN
Lamban (lag)

CIRI
Tidak ada pertambahan populasi
Sel mengalami perubahan dalam komposisi kimiawi dan
bertambah ukurannya; substansi intraseluler bertambah

Logaritma atau eksponensial

Sel membelah dengan laju yang konstan


Massa menjadi dua kali lipat dengan laju yang sama
Aktivitas metabolik konstan
Keadaan pertumbuhan seimbang

Statis

Penumpukan produk beracun dan/atau kehabisan nutrien


Beberapa sel mati sedangkan yang lain tumbuh dan membelah
Jumlah sel hidup menjadi tetap

Penurunan atau kematian

Sel menjadi mati lebih cepat daripada terbentuknya sel-sel


baru
Laju kematian mengalami percepatan menjadi eksponensial
Bergantung kepada spesiesnya, semua sel mati dalam waktu
beberapa hari atau beberapa bulan

Pada Gambar 6 terlihat bahwa ketiga isolat mengalami fase lag atau fase
permulaan pada hari ke-0 sampai hari ke-1.

Pada fase ini bakteri baru

menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, sehingga sel belum membelah
diri. Sel mikroba mulai membelah diri pada fase pertumbuhan yang dipercepat,
tetapi waktu generasinya masih panjang. Fase logaritma terjadi pada hari ke-1
sampai hari ke-3. Pada fase ini terjadi kecepatan sel membelah diri paling cepat,
dengan waktu generasi pendek dan konstan. Selama fase logaritma, metabolisme
sel paling aktif, sintesis bahan sel sangat cepat dengan jumlah konstan sampai
nutrien habis atau terjadinya penimbunan hasil metabolisme yang menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan (Sumarsih, 2003).
Pada hari ke-3 sampai hari ke-4 terjadi fase stasioner.

Pada fase

pertumbuhan yang mulai terhambat, kecepatan pembelahan sel berkurang dan


jumlah sel yang mati mulai bertambah. Pada fase stasioner maksimum jumlah sel
yang mati semakin meningkat sampai terjadi jumlah sel hidup hasil pembelahan

32

sama dengan jumlah sel yang mati, sehingga jumlah sel hidup konstan, seolaholah tidak terjadi pertumbuhan (pertumbuhan nol). Sedangkan fase kematian
terjadi mulai dari hari ke-5 sampai ke-6. Pada fase kematian, kecepatan kematian
sel terus meningkat sedang kecepatan pembelahan sel nol, sampai pada fase
kematian logaritma maka kecepatan kematian sel mencapai maksimal, sehingga
jumlah sel hidup menurun dengan cepat seperti deret ukur. Walaupun demikian
penurunan jumlah sel hidup tidak mencapai nol, dalam jumlah minimum tertentu
sel mikroba akan tetap bertahan sangat lama dalam medium tersebut (Sumarsih,
2003).
Perubahan kemasaman media merupakan salah satu indikator aktivitas
metabolisme sel. Pengukuran nilai pH pada medium Pikovskaya cair cenderung
menurun untuk ketiga isolat yang diamati (Tabel 7 dan Gambar 7).

Tabel 7. Nilai pH Isolat Bakteri Pelarut Fosfat Terpilih pada Medium Pikovskaya
Cair dengan Ca3(PO4)2 Sebagai Sumber P
0

Hari ke3

P 3.5

6.1

5.9

5.8

5.1

4.7

4.6

4.6

P 6.2

6.0

5.8

5.6

5.5

5.4

5.2

5.0

P 10.1

6.0

5.9

5.7

5.3

5.0

4.7

4.6

Isolat

Perubahan pH
7

P 3.5
P 6.2

P 10.1

pH

4
0

Waktu (hari)

Gambar 7. Perubahan nilai pH isolat bakteri pelarut fosfat terpilih pada medium
Pikovskaya cair dengan Ca3(PO4)2 sebagai sumber P

33

Penurunan pH pada medium disebabkan oleh disekresikannya asam-asam


organik yang dibebaskan oleh sejumlah BPF dalam aktivitasnya.

BPF akan

membebaskan sejumlah asam-asam organik antara lain asam sitrat, glutamat,


suksinat, laktat, oksalat, glikooksalat, malat, fumarat, tartarat, asam -ketobutirat.
Meningkatnya asam-asam organik tersebut biasanya diikuti pula dengan
penurunan pH yang tajam, sehingga berakibat terjadinya pelarutan Ca-P (SubbaRao, 1982). Rachmiati (1995) berpendapat bahwa setiap jenis BPF mempunyai
kemampuan berbeda secara genetik dalam menghasilkan jumlah jenis asam-asam
organik yang berperan dalam menentukan tinggi rendahnya pelarutan P.

Tabel 8. Kandungan Enzim Fosfatase (ppm) Bakteri Pelarut Fosfat Terpilih pada
Medium Pikovskaya Cair dengan Ca3(PO4)2 Sebagai Sumber P
0

Hari ke3

P 3.5

0.39

2.98

15.75

39.41

71.87

63.55

86.97

P 6.2

3.63

13.57

12.02

11.82

20.06

18.97

17.54

P 10.1

1.97

14.41

33.62

69.77

93.69

85.38

120.40

Isolat

Konsentrasi Fosfatase (ppm)

Kandungan Enzim Fosfatase


140
120
100

P 3.5

80

P 6.2
P 10.1

60
40
20
0
0

Waktu (hari)

Gambar 8.

Kandungan enzim fosfatase bakteri pelarut fosfat terpilih pada


medium Pikovskaya cair dengan Ca3(PO4)2 sebagai sumber P

Kandungan enzim fosfatase untuk ketiga isolat BPF terpilih dapat dilihat
pada Tabel 8 dan Gambar 8. Pada Gambar 8 diketahui bahwa kandungan enzim
fosfatase cenderung meningkat sampai hari ke-4 kemudian menurun pada hari ke-

34

5 tetapi meningkat kembali pada hari ke-6 (untuk isolat P 3.5 dan P 10.1).
Sedangkan untuk isolat P 6.2 peningkatan kandungan enzim fosfatase tidak begitu
tajam dibandingkan dengan isolat P 3.5 dan P 10.1.

Isolat P 10.1 memiliki

kandungan enzim fosfatase tertinggi diikuti dengan isolat P 3.5 kemudian isolat P
6.2.
Hasil pengukuran dari kandungan enzim fosfatase yang diukur pada setiap
pengamatan untuk ketiga isolat BPF terpilih tersebut didapatkan hasil absorbansi
yang meningkat pada setiap pengukuran, tetapi setelah absorbansi dihitung dalam
hasil kurva standar p-nitrophenol terjadi penurunan hasil kandungan enzim
fosfatase pada hari ke-5, hal ini disebabkan adanya perbedaan dari hasil kurva
standar p-nitrophenol, karena pada setiap pengamatan diukur pula kurva standar
p-nitrophenol yang hasilnya berbeda-beda pada setiap pengamatan. Selain itu,
kandungan enzim fosfatase pada inkubasi hari ke-3 diperoleh hasil yang berbeda
dengan hasil kandungan enzim fosfatase pada masa inkubasi yang sama pada
pengujian sebelumnya (Tabel 2).

Hal ini disebabkan pula karena adanya

perbedaan waktu pengukuran dan perbedaan kurva standar p-nitrophenol.

4.5.

Identifikasi Molekuler Bakteri Pelarut Fosfat


4.5.1. Isolasi DNA
Isolasi DNA bakteri pelarut fosfat (BPF) menggunakan metode Lazo et al.

(1987) sebagai awal untuk mendapatkan informasi genetik bakteri tersebut. BPF
yang diidentifikasi secara molekuler merupakan isolat terpilih yang memiliki
kandungan enzim fosfatase dan IAA yang tinggi pada masing-masing daerah asal
sampel tanah (Bogor, NTB, dan NTT). Ketiga isolat tersebut adalah P 3.5 (NTT),
P 6.2 (NTB), dan P 10.1 (Citeureup, Bogor). Sel BPF yang diinokulasikan ke
dalam medium Luria Bertani (LB) dishaker dengan kecepatan 120 rpm dan
diinkubasi selama 2-3 hari pada suhu ruang.
Pada metode Lazo et al. (1987) isolasi DNA secara keseluruhan banyak
dilakukan secara kimiawi.

Sel BPF yang telah ditumbuhkan kemudian

disentrifugasi dan diresuspensi menggunakan bufer STE. Bufer STE mengandung


NaCl yang akan menghilangkan interaksi ionik antara DNA dan kation sehingga
DNA akan larut lebih baik dan lebih stabil pada garam. Selain itu, bufer STE juga

35

mengandung etilen diamin tetra asetat (EDTA) yang berfungsi sebagai perusak sel
dengan cara mengikat ion magnesium. Ion ini berfungsi untuk mempertahankan
integritas sel maupun mempertahankan aktivitas enzim nuklease yang merusak
asam nukleat (Muladno, 2002).
Sodium dodesil sulfat (SDS) 10% yang digunakan dalam isolasi DNA
merupakan sejenis deterjen yang dapat digunakan untuk merusak membran sel,
hal ini mengakibatkan sel mengalami lisis.

Isolasi DNA juga menggunakan

proteinase-K. Enzim tersebut yang mengkatalisis degradasi polipeptida menjadi


unit-unit yang lebih kecil. Kotoran (debris) sel yang disebabkan oleh pengrusakan
sel oleh EDTA dan SDS dibersihkan dengan cara disentrifugasi sehingga yang
tertinggal hanya molekul nukleotida (DNA dan RNA). Untuk menghilangkan
protein dari larutan digunakan larutan fenol (mengikat protein dan sebagian kecil
RNA) dan kloroform (membersihkan protein dan polisakarida dari larutan)
(Muladno, 2002).

Pemberian larutan fenol dan kloroform dapat dilakukan

berulang agar protein dan pengotor pada proses isolasi DNA dapat terbuang lebih
maksimal. Pengambilan fase yang mengandung DNA pada bagian atas dilakukan
dengan sangat hati-hati.

Selanjutnya DNA dipresipitasi menggunakan etanol

absolut 95%. DNA terlihat berwarna bening dan kental saat dililit menggunakan
ujung tip mikro (Gambar 9).

Gambar 9. DNA yang telah dililit di ujung tip mikro

36

4.5.2. Elektroforesis Gel Agarosa


DNA yang telah berhasil diisolasi kemudian dilakukan pengujian untuk
mendeteksi keberadaan DNA tersebut menggunakan elektroforesis pada gel
agarosa (Gambar 10).
1

Keterangan :
1 = 1 kb DNA ladder marker
2 = isolat P 3.5
3 = isolat P 6.2
4 = isolat P 10.1

Gambar 10. Hasil elektroforesis DNA genom bakteri pelarut fosfat

4.5.3. Amplifikasi Gen 16S rRNA


Isolasi DNA dilakukan sebagai tahap awal untuk melakukan proses PCR.
Konsentrasi DNA yang terlalu tinggi akan menghambat tahapan denaturasi PCR,
karena dapat memacu terjadinya snapback, yaitu kembalinya DNA utas tunggal
menjadi DNA utas ganda, hal ini akan menyebabkan DNA cetakan untuk reaksi
PCR berkurang.
Hasil amplifikasi PCR isolat BPF menggunakan primer 16S rRNA
(Gambar 11) menghasilkan satu amplikon atau produk PCR berukuran sekitar
1300 bp. Primer yang digunakan dalam proses PCR ini, yaitu primer F-63 (5CAGGCCTAACACATGCAAGTC)

dan

primer

R-1387

(5-

GGGCGGCGTGTACAAGGC) (Marchesi et al., 1998). Selanjutnya amplikon


ini disekuen untuk mengetahui urutan nukleotida pada gen 16S rRNA masingmasing isolat.

37

4
Keterangan :
1 = 1 kb DNA ladder marker
2 = isolat P 3.5
3 = isolat P 6.2
4 = isolat P 10.1

1650 bp

1000 bp

Amplikon ~1300 bp

Gambar 11. Hasil amplifikasi gen 16S rRNA bakteri pelarut fosfat

4.5.4. Sekuensing DNA Bakteri Pelarut Fosfat


Berdasarkan hasil analisis sekuen gen 16S rRNA pada program WUBLASTN 2.0 diketahui homologi spesies dari tiga isolat bakteri pelarut fosfat
yang diuji. Isolat P 3.5 (NTT) dan isolat P 10.1 (Citeureup, Bogor) memiliki
kemiripan sebesar 98% dengan Gluconacetobacter sp. strain Rh1-MS-CO,
sedangkan isolat P 6.2 (NTB) memiliki kemiripan sebesar 97% dengan
Enterobacter sp. strain pp9c.
Hasil analisis sekuen gen 16S rRNA dari tiga isolat BPF pada data
GenBank sebagai berikut :
Isolat 3.5
> Gluconacetobacter
sequence Length=1394

sp.

Rh1-MS-CO

16S

ribosomal

RNA

gene,

partial

Score = 708 bits (784), Expect = 0.0


Identities = 401/406 (98%), Gaps = 1/406 (0%)

Query

40

Sbjct

60

Query

100

Sbjct

119

Query

160

Sbjct

179

Query

220

Sbjct

239

GGATCTGTCNTNCCGGTGGGGGATAACACTGGGAAACTGGTGCTAATACCGCATGACACC
|||||||||
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GGATCTGTCCATG-GGTGGGGGATAACACTGGGAAACTGGTGCTAATACCGCATGACACC

99

TGAGGGTCAAAGGCGAGAGTCGCCTGTGGAGGAACCTGCGTTCGATTAGCTAGTTGGTGG
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TGAGGGTCAAAGGCGAGAGTCGCCTGTGGAGGAACCTGCGTTCGATTAGCTAGTTGGTGG

159

GGTAACTGCCTACCAAGGCGATGATCGATAGCTGGTCTGAGAGGATGATCAGCCACACTG
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GGTAACTGCCTACCAAGGCGATGATCGATAGCTGGTCTGAGAGGATGATCAGCCACACTG

219

GGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGGACAATGGG
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGGACAATGGG

279

118

178

238

298

38

Query

280

Sbjct

299

Query

340

Sbjct

359

Query

400

Sbjct

419

GGCAACCCTGATCCAGCAATGCCGCGTGTGTGAAGAAGGTCTTCGGATTGTAAAGCACTT
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GGCAACCCTGATCCAGCAATGCCGCGTGTGTGAAGAAGGTCTTCGGATTGTAAAGCACTT

339

TCGACGGGGACGATGATGACGGTACCCGTAGAAGAAGCCCCGGCTAACTTCGTGCCAGCA
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TCGACGGGGACGATGATGACGGTACCCGTAGAAGAAGCCCCGGCTAACTTCGTGCCAGCA

399

GCCGCGGTAATACGAAGGGGGCTAGCGTTGCTCGGAATGACTGGGC
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GCCGCGGTAATACGAAGGGGGCTAGCGTTGCTCGGAATGACTGGGC

358

418

445
464

Isolat 10.1
> Gluconacetobacter
sequence Length=1394

sp.

Rh1-MS-CO

16S

ribosomal

RNA

gene,

partial

Score = 719 bits (796), Expect = 0.0


Identities = 407/412 (98%), Gaps = 1/412 (0%)

Query

42

Sbjct

60

Query

102

Sbjct

119

Query

162

Sbjct

179

Query

222

Sbjct

239

Query

282

Sbjct

299

Query

342

Sbjct

359

Query

402

Sbjct

419

GGATCTGTCNTTCCNGTGGGGGATAACACTGGGAAACTGGTGCTAATACCGCATGACACC
||||||||| |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GGATCTGTCCATG-GGTGGGGGATAACACTGGGAAACTGGTGCTAATACCGCATGACACC

101

TGAGGGTCAAAGGCGAGAGTCGCCTGTGGAGGAACCTGCGTTCGATTAGCTAGTTGGTGG
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TGAGGGTCAAAGGCGAGAGTCGCCTGTGGAGGAACCTGCGTTCGATTAGCTAGTTGGTGG

161

GGTAACTGCCTACCAAGGCGATGATCGATAGCTGGTCTGAGAGGATGATCAGCCACACTG
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GGTAACTGCCTACCAAGGCGATGATCGATAGCTGGTCTGAGAGGATGATCAGCCACACTG

221

GGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGGACAATGGG
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGGACAATGGG

281

GGCAACCCTGATCCAGCAATGCCGCGTGTGTGAAGAAGGTCTTCGGATTGTAAAGCACTT
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GGCAACCCTGATCCAGCAATGCCGCGTGTGTGAAGAAGGTCTTCGGATTGTAAAGCACTT

341

TCGACGGGGACGATGATGACGGTACCCGTAGAAGAAGCCCCGGCTAACTTCGTGCCAGCA
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TCGACGGGGACGATGATGACGGTACCCGTAGAAGAAGCCCCGGCTAACTTCGTGCCAGCA

401

GCCGCGGTAATACGAAGGGGGCTAGCGTTGCTCGGAATGACTGGGCGTAAAG
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GCCGCGGTAATACGAAGGGGGCTAGCGTTGCTCGGAATGACTGGGCGTAAAG

118

178

238

298

358

418

453
470

Isolat 6.2
> Enterobacter
Length=1535

sp.

pp9c

16S

ribosomal

RNA

gene,

partial

sequence

Score = 708 bits (784), Expect = 0.0


Identities = 408/419 (97%), Gaps = 1/419 (0%)

Query

29

Sbjct

92

Query

89

Sbjct

151

Query

149

Sbjct

211

CGAGAGGANNANGGGTGAGTTTTCTTCTGGGAAACTGCCTGATGGAGGGGGATAACTACT
|||| ||
| |||||||| | | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
CGAGCGGCGGACGGGTGAGTAATGT-CTGGGAAACTGCCTGATGGAGGGGGATAACTACT

88

GGAAACGGTAGCTAATACCGCATAACGTCGCAAGACCAAAGAGGGGGACCTTCGGGCCTC
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GGAAACGGTAGCTAATACCGCATAACGTCGCAAGACCAAAGAGGGGGACCTTCGGGCCTC

148

TTGCCATCAGATGTGCCCAGATGGGATTAGCTAGTAGGTGGGGTAACGGCTCACCTAGGC
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TTGCCATCAGATGTGCCCAGATGGGATTAGCTAGTAGGTGGGGTAACGGCTCACCTAGGC

208

150

210

270

39

Query

209

Sbjct

271

Query

269

Sbjct

331

Query

329

Sbjct

391

Query

389

Sbjct

451

GACGATCCCTAGCTGGTCTGAGAGGATGACCAGCCACACTGGAACTGAGACACGGTCCAG
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GACGATCCCTAGCTGGTCTGAGAGGATGACCAGCCACACTGGAACTGAGACACGGTCCAG

268

ACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGCACAATGGGCGCAAGCCTGATGCAGCCA
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
ACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGCACAATGGGCGCAAGCCTGATGCAGCCA

328

TGCCGCGTGTATGAAGAAGGCCTTCGGGTTGTAAAGTACTTTCAGCGGGGAGGAAGGCGT
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TGCCGCGTGTATGAAGAAGGCCTTCGGGTTGTAAAGTACTTTCAGCGGGGAGGAAGGCGT

388

TGNGGTTAATAACCNCAGCGATTGACGTTACCCGCAGAAGAAGCACCGGCTAACTCCGT
|| ||||||||||| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TGAGGTTAATAACCTCAGCGATTGACGTTACCCGCAGAAGAAGCACCGGCTAACTCCGT

447

330

390

450

509

Hasil sekuen isolat P 3.5 dan P 10.1 termasuk ke dalam taksonomi sebagai
berikut :
Kingdom

: Bacteria

Phylum

: Proteobacteria

Class

: Alphaproteobacteria

Order

: Rhodospirillales

Family

: Acetobacteraceae

Genus

: Gluconacetobacter

Spesies

: Gluconacetobacter sp.

Sedangkan hasil sekuen isolat P 6.2 termasuk ke dalam taksonomi sebagai


berikut :
Kingdom

: Bacteria

Phylum

: Proteobacteria

Class

: Gammaproteobacteria

Order

: Enterobacteriales

Family

: Enterobacteriaceae

Genus

: Enterobacter

Spesies

: Enterobacter sp.

Proteobacteria merupakan filum terbesar dalam Kingdom/Domain


Eubacteria.

Semua Proteobacteria merupakan bakteri Gram negatif, tetapi

memiliki bentuk bermacam-macam (batang, bulat, dan spiral).

Kebanyakan

bergerak dengan flagela, tetapi ada yang bergerak meluncur atau tidak dapat
bergerak.

Sebagian besar anggotanya termasuk mikroorganisme anaerob

40

fakultatif atau obligat.

Anggota Proteobacteria ada yang hidup bebas,

bersimbiosis ataupun sebagai patogen pada manusia, hewan, dan tumbuhan.


Berdasarkan rangkaian rRNA-nya, Proteobacteria dibagi menjadi lima kelompok,
yaitu

Alphaproteobacteria,

Betaproteobacteria,

Deltaproteobacteria, dan Epsilonproteobacteria.

Gammaproteobacteria,

Alphaproteobacteria meliputi

bakteri fototrof dan bakteri yang menggunakan senyawa C1. Anggota kelompok
ini ada yang bersimbiosis dengan tanaman (contohnya, Rhizobium sp) dan hewan.
Ada pula yang merupakan patogen pada hewan dan manusia, contohnya Rickettsia
prowazek. Bakteri ini menyebabkan demam pada penyakit tifus jika berpindah
dari kutu ke manusia. Contoh lainnya adalah Agrobacterium tumefaciens dan
Magnetospirilum magnerotuctlicum (Siregar, 2008).
Betaproteobacteria terdiri atas kelompok bakteri aerob fakultatif, bakteri
kemolitotrof (misalnya, Nitrosomonas), serta bakteri fototrof (misalnya,
Rhodocyclus). Contoh spesies patogen dalam kelompok ini adalah Neisseria
gonorrhoea. Gammaproteobacteria terdiri atas kelompok-kelompok bakteri yang
banyak

digunakan

untuk

keperluan

medis

Enterobacteri, Vibrio, dan Pseudomonas.

dan

penelitian,

contohnya

Namun ada pula yang merupakan

patogen, misalnya Salmonella (tifus), Vibrio (kolera), dan Yersinia. Kelompok


Deltaproteobacteria

terdiri

atas

bakteri

pembentuk

badan

buah,

yaitu

Myxobacteria. Bakteri tersebut ditemukan di tanah dan bahan-bahan organik


yang membusuk.

Kelompok Epsilonproteobacteria diantaranya dua anggota

kelompok kecil ini merupakan patogen pada manusia. Contohnya, Helicobacter


pylori yang menyebabkan tukak lambung dan Campylobacter jejuni yang
menyebabkan gangguan gastrointestinal (Siregar, 2008).

You might also like