You are on page 1of 37

UNIVERSITAS INDONESIA

MASALAH KORUPSI DI INDONESIA


GOOD PUBLIC GOVERNANCE
KASUS: PT DUTA GRAHA INDAH- KASUS KORUPSI WISMA ATLET

DISUSUN OLEH:
Fandi Rakhmat
Delta Antariksa
Muthia Rahma
Adam Yonas S
Ahmad Fakhri Rahmanto

FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
DEPOK
2014

Statement of Authorship
Kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir
adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang
saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.
Materi

ini

tidak/belum

pernah

disajikan/digunakan

sebagai

bahan

untuk

makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa
saya/kami menyatakan menggunakannya.
Kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan
atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.
Nama

: Fandi Rakhmat

NPM

Nama

: Delta Antariksa

NPM

Nama

: Ahmad Fakhri Rahmanto

NPM

Nama

: Muthia Rahma

NPM

Nama

: Adam Yonas S

NPM

Tanda Tangan :

Tanda Tangan :

Tanda Tangan :

Tanda Tangan :

Tanda Tangan :

Mata Ajaran

: Tatakelola Perusahaan

Nama Tugas

: Masalah Korupsi di Indonesia, Good Public Governance, Kasus: PT

Duta Graha Indah- Kasus Korupsi Wisma Atlet


Hari, Tanggal

:Senin, 12 Mei 2014

Dosen

:Purwatiningsih, MBA, DEA

BAB I. PENDAHULUAN
Korupsi menurut Lembaga Transparansi Internasional adalah tindakan yang dilakukan oleh
pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam
tindakan tersebut, yang secara illegal dan tidak wajar menyalahgunakan kepercayaan publik
yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Di Indonesia, korupsi telah dianggap dan ditetapkan sebagai tindak kejahatan yang luar biasa.
Ia tidak hanya merugikan negara secara finansial namun juga telah merampas hak rakyat
banyak untuk mendapatkan hidup layak dan sejahtera secara ekonomi dan sosial. Oleh karena
itu korupsi kemudian diatur dalam UU tersendiri yang dimuat dalam UU Tindak Pidana
Korupsi
Tindak Pidana Korupsi dapat berupa 1) Perbuatan merugikan keuangan negara, 2) Perbuatan
suap-menyuap (kepada pegawai negeri, atau hakim), 3 )Penggelapan bukti berupa surat,
uang, akta, dll, dalam jabatannya, 4) Melakukan pemerasan, 5) Gratifikasi, 6) Melakukan
kecurangan. Fokus suatu negara untuk memberantas korupsi harus terus diperbaiki untuk
menciptakan Good Public Governance.
1.1 Sejarah Korupsi di Indonesia
Rahayu (2004) menyatakan bahwa pada dasarnya korupsi di Indonesia telah mendarah
daging, bahkan telah menjadi budaya karena pada dasarnya perilaku korupsi sendiri bisa
ditelusuri sejak peradaban awal Indonesia. Perilaku korupsi tersebut tercermin dari budayabudaya kesultanan masa lampau, diteruskan oleh kedatangan bangsa barat (Belanda), hingga
saat ini. Rahayu (2004) membagi sejarah korupsi di indonesia menjadi empat fase, yaitu:
Era Pra-Kemerdekaan
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh budaya-tradisi korupsi yang tiada
henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak
bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan
Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: AnusopatiTohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan
Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten
(Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat

terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di
Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling
berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi
memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan belum nampak di permukaan
Wajah Sejarah Indonesia.
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah
karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir
karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa.
Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal
Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena
dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua kekuasaan
yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC
memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta
dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga
dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi
dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah
adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu
menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit
bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan
aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan character building, mengabaikan hukum
apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin,
mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar budaya korup yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia,
maka melalui politik Devide et Impera mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara!
Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat,
rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada
berakhir, serta berintegrasi seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan

pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat
kecil nyaris belum mengenal atau belum memahaminya.
Perilaku korup bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orangorang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar mengkorup harta-harta Korpsnya, institusi
atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena
korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan
korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan
termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang
Belanda juga gemar korup.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang
memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan
yang luar biasa baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat.
Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama
daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna,
karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.
Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk
Jawa digambarkan sangat nrimo atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain,
mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka
menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan
di kala orang lain tidak mengetahui.
Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara
sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari
perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku
oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan
tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum
lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu
budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspek ekonomi,
raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat.
Rakyat umumnya dibiarkan miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata,
kemauan atau kehendak penguasa.

Budaya yang sangat tertutup dan penuh keculasan itu turut menyuburkan budaya korupsi
di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan korup dalam mengambil upeti
(pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang
akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten
atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja
atau Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping
rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti
dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan
standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya,
apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para
pengumpul pajak cenderung berperilaku memaksa rakyat kecil, di pihak lain menambah
beban kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.
Kebiasaan mengambil upeti dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh
Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 1942) minus Zaman Inggris (1811 1816),
Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.
Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 1837),
Aceh (1873 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan
atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia
sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem Cuituur Stelsel
(CS) yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu
adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun
kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat manusiawi dan
sangat beradab, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip
Dwang Stelsel (DS), yang artinya Sistem Pemaksaan. Itu sebabnya mengapa sebagian
besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS.
mengganti ungkapan Sistem Pembudayaan menjadi Tanam Paksa.

Era Pasca-Kemerdekaan (Orde Lama)


Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan
Pemberantasan Korupsi Paran dan Operasi Budhi namun ternyata pemerintah pada waktu
itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara
dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution
dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi
formulir yang disediakan istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam
perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi
keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran
tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik
Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas
Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi
kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam atau Kasab
ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih
berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah Operasi Budhi. Sasarannya adalah
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan
praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya,
untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden
untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa
dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun
waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi
dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, prestise Presiden harus
ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain.

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi


Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling
Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio
dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu
akhirnya mengalami stagnasi.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden
Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga
segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa
Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari
tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai
Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan
TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan
banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang
protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan
membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan
berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas
mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV
Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya macan ompong
karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi
Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan
sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan
pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan
metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam
memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada
Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib
pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya korupsi lebih banyak dilakukan oleh kalangan
elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara
sudah terjangkit Virus Korupsi yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi
sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan
meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan
DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama
rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara
murni, kecuali secara konkesuen alias kelamaan.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai
komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden
berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin
Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas
korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK
akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya.
pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa
menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di
tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan
masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi
dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki
Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun
menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi
sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya
menjual aset-aset negara.

Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum
semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa
mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke
luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim,
The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian
fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit
pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa
pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene
memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin
kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era
Reformasi.
1.2 Faktor Penyebab Korupsi
Dalam memahami korupsi dan penyebabnya, alangkah lebih baik bila kita menggunakan
pendekatan mengenai teori fraud (kecurangan). Fraud atau kecurangan itu sendiri adalah
tindakan yang melawan Hukum oleh orang-orang dari dalam dan atau luar organisasi, dengan
maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara langsung
merugikan pihak lain. Orang awam sering kali mengartikan bahwa fraud secara sempit adalah
tindak pidana atau perbuatan korupsi. Pada umumnya fraud terjadi karena tiga hal yang
mendasarinya terjadi secara bersama, yang biasa digambarkan dalam segitiga fraud (Fraud
Triangle) yaitu:
1. Insentif atau tekanan untuk melakukan fraud (Pressure)
Pressure atau motivasi pada sesorang atau individu akan memebuat mereka mencari
kesempatan melakukan fraud, beberapa contoh pressure dapat timbul karena masalah
keuangan pribadi, Sifat-sifat buruk seperti berjudi, narkoba, berhutang berlebihan dan
tenggat waktu dan target kerja yang tidak realistis.
2. Peluang untuk melakuakn fraud (opportunity)
Opportunity biasanya muncul sebagai akibat lemahnya pengendalian inernal di
organisasi tersebut. Terbukanya kesempatan ini juga dapat menggoda individu atau
kelompok yang sebelumnya tidak memiliki motif untk melakukan fraud.
3. Sikap atau rasionalisasi untuk membenarkan tindakan fraud. (Rationalization)

Rationalization terjadi karena seseorang mencari pembenaran atas aktifitasnya yang


mengandung fraud. Pada umumnya para pelaku fraud meyakini atau merasa bahwa
tindakannya bukan merupakan suatu kecurangan tetapi adalah suatu yang memang
merupakan haknya, bahkan kadang pelaku merasa telah berjasa karena telah berbuat
banyak untuk organisasi. Dalam beberapa kasus lainnya terdapat pula kondisi dimana
pelaku tergoda untuk
Dari segitiga fraud tersebut kemudian dapat dijabarkan kembali Faktor-faktor penyebab
terjadinya korupsi, yaitu :
a. Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik,
sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
b. Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak
menggunakan kesempatan.
c.

Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya


dilakukan sebatas formalitas.

d. Rendahnya pendapatan penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperoleh harus


mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong
penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada
masyarakat.
e.

Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena


kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena
serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
keuntungan.

f. Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.


g. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat
tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya
diringankan hukumannya.
h. Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering
terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
i.

Gagalnya pendidikan agama dan etika. Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama
telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena
perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Sebenarnya agama bisa
memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan

institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para
pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki
agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat
buruk (Indopos.co.id, 27 September 2005).
1.3 Dampak Korupsi

Gambar diatas merangkum dan menyimpulkan akibat korupsi bagi suatu negara.
Terlihat bahwa, semakin tinggi level korupsi dalam suatu negara (ditandai dengan skor yang
rendah), semakin rendah indeks pembangunan manusianya, sebaliknya, semakin rendah level
korupsi di suatu negara, semakin tinggi skor indek pembangunan manusia di negara tersebut.
Indeks pembangunan manusia adalah suatu ukuran yang dibuat oleh PBB untuk
mengukur pembangunan di suatu negara yang menggabungkan indikator harapan hidup,
tingkat pendidikan dan pendapatan. Secara umum, HDI memberi gambaran akan tingkat
kesejahteraan individu dalam suatu negara yang dilihat dari kesehatan, kekayaan, dan tingkat
pendidikan. Ketiga aspek tersebut adalah ukuran dasar dari tingkat kelayakan hidup suatu
individu. Semakin tinggi indeksnya, makin tinggi pula pemenuhan kebutuhan dasar dan
hidup layak dalam negara tersebut, dan semakin tinggi pula kesejahteraan masyarakatnya.
Semakin tinggi kesejahteraan masyarakat, semakin makmurlah negara tersebut, artinya

kewajiban dan tujuan negara untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya secara umum
sudah terpenuhi.
Pembangunan suatu negara dilihat tidak hanya dari segi peningkatan ekonomi per
kapita rakyatnya namun juga bagaimana peningkatan ekonomi tersebut dapat tersebar merata
dan dinikmati seluruh individu dalam negara tersebut. Pembangunan mencakup aspek sosial
dan ekonomi. Pembangunan sosial, menurut Brunswick of Canada, adalah meningkatkan
kesejahteraan sosial setiap individu dalam suatu masyarakat agar mereka dapat menggapai
seluruh potensi yang ada.Sedangkan pembangunan ekonomi adalah bagaimana tiap individu
dalam suatu negara dapat menikmati seluruh hasil kegiatan perekonomian di negara tersebut
sehingga pembangunan ekonomi adalah pemerataan ekonomi dan pendapatan.
Kedua hal tersebut tentu saja dapat tercapai jika pemerintah sebagai salah satu aktor
terpenting yang mengatur kebijakan dan peraturan bertindak untuk melayani kebutuhan
publik dan mensejahterakan kehidupan rakyatnya dengan membuat kebijakan yang tepat
sasaran. Hal ini bertolakbelakang dengan tujuan dari korupsi. Banyak pihak yang
mendefinisikan arti dari korupsi, namun secara umum korupsi berarti mengambil hak orang
lain untuk hidup layak dengan memindahkannya kepada sekelompok pihak tertentu untuk
mereka nikmati sendiri beserta kelompoknya. Korupsi dilakukan dengan berbagai cara, mulai
dari penggunaan pengaruh dan wewenang untuk membuat keputusan dan kebijakan yang
tidak semestinya, penyuapan, tindakan mengambil uang negara sehingga terjadi kerugian
keuangan negara dan secara ekonomi, gratifikasi, tindakan curang, dan lainnya.
Dampak dari korupsi sangat luas dan terasa dalam hampir semua aspek kehidupan,
mulai dari administrasi sehari-hari, kegiatan bisnis, kualitas sarana publik yang buruk,
fasilitas kesehatan dengan prosedur yang tidak semestinya, fasilitas pendidikan serta mutu
dari pendidikan buruk sehingga tidak dapat mencetak individu sebagaimana seharusnya
tujuan dari pendidikan, hak untuk bersuara dan berpendapat dibungkam sehingga tidak dapat
mengkoreksi inefisiensi yang terjadi, dan masih banyak lagi yang pada akhirnya berujung
pembangunan aspek sosial dan ekonomi dalam suatu negara buruk. Hak masyarakat dalam
suatu negara untuk hidup layak dan sejahtera terenggut sehingga peran dan fungsi negara
sebagai pihak yang berkewajiban melindungi hak warga negara dan mensejahterakan
warganya tidak terpenuhi.

BAB II. TEORI


2.1 Myths and Realities of Governance and Corruption (Kauffman, 2005)
Sudah banyak tulisan dan penelitian yang diterbitkan tentang perkembangan
komunitas, tidak hanya tentang governance dan korupsi, tetapi juga kemauan dan
kemampuan dari komunitas internasional untuk membantu negara melakukan perbaikan di
area tersebut.Kaufman menjabarkan beberapa hal-hal yang menjadi ide atau gagasan populer
di masyarakat.Dalam setiap kasus, dia menghadirkan mitos, yang secara jelas-jelas tidak
disetujui dan disertai juga penjelasannya.
Mitos 1: Definition: Governance and anti-corruption are one and the same
Governance didefinisikan sebagai tradisi dan institusi dimana otoritas di dalam
sebuah

negara

dilakukan demi

kepentingan

publik.Sedangkan korupsi umumnya

didefinisikan secara sempit sebagai abuse of public office for private gain.Penulis tidak
sependapat dengan pengertian tersebut karena pengertian tersebut lebih menitikberatkan
public office dan tindakan illegal sebagai tindakan korupsi.
Penulis menawarkan definisi alternatif atas korupsi the privatization of public
policy dimana akses ke pelayanan publik juga termasuk ke dalam public policy.Tindakan
tidak harus bersifat ilegal supaya bisa disebut sebagai korupsi.Jika terjadi situasi dimana
terjadi suatu forum legislatif untuk menentukan kebijakan yang mana terlalu dipengaruhi oleh
private contribution ke anggota legislatif, maka bisa dianggap telah terjadi korupsi meskipun
tidak terjadi tindakan illegal.
Dengan demikian tanggung jawab terletak pada pihak yang menggunakan pengaruh
tidak pantas dan pihak yang terlalu terpengaruhi.Penulis berpendapat bahwa lingkup atas
konsep governance lebih luas dibandingkan korupsi.Governance dan korupsi mungkin
memang berhubungan, tetapi merupakan gagasan yang berbeda sehingga tidak boleh
dianggap satu dan sama.
Mitos 2: Governance and corruption cannot be measured
Governance Indicators, yang mencakup lebih dari 200 negara, meliputi enam kunci
dimensi kualitas institusi atau governance, dan mengukur, melalui dua indikator masingmasing, pada politik, ekonomi, dan dimensi institusional dari governance. Keenam dimensi
tersebut adalah:

1. Voice and accountability, mengukur politik, hak sipil dan kemanusiaan


2. Political instability and violence, mengukur kemungkinan ancaman kekerasan ke atau
dalam perubahan pemerintahan, termasuk terorisme
3. Government effectiveness, mengukur kompetensi dari birokrasi dan kualitas
pemberian pelayanan public
4. Regulatory burden, mengukur besarnya pengaruh kebijakan yang tidak marketfriendly
5. Rule of law, mengukur kualitas dari contract enforcement, polisi, dan pengadilan, dan
juga kemungkinan atas kejahatan dan kekerasan
6. Control of corruption, mengukur pelaksanaan public power untuk private gain,
termasuk korupsi skala kecil dan besar
Meskipun masih banyak tantangan yang dihadapi oleh Governance Indicators ini, namun
indikator tersebut semakin bisa dipercaya seiring berjalannya waktu dan kini sudah dipakai di
seluruh dunia untuk memonitor performa, penilaian Negara, dan penelitian.
Mitos 3: The importance of governance and anti-corruption efforts is overrated
Untuk mengetahui seberapa penting governance dan anti-corruption, kita harus
menghubungkan governance indicators dengan variabel outcome, seperti income atau tingkat
kematian bayi.
Berdasarkan beberapa penelitian, didapatkan hasil mengenai dampak dari governance
terhadap development.Yang pertama adalah dengan adanya improvement pada governance
mampu meningkatkan income dalam jangka panjang.Hal tersebut bisa terjadi karena
improvement tersebut mampu meningkatkan akuntabilitas, peraturan hukum, kontrol korupsi,
dsb.Bahkan tidak hanya meningkatkan pendapatan per kapita, tetapi juga berperan dalam
menurunkan tingkat kematian bayi dan buta huruf.
Kedua, governance

juga berperan untuk meningkatkan daya saing suatu

negara.Penulis menyebutkan hasil penelitian yang mendukung bahwa governance suatu


negara berkorelasi positif dengan daya saing dari negara tersebut. Dilihat dari survey yang
dilakukan, penelitian menyatakan bahwa korupsi merupakan hambatan untuk bisnis yang
paling rendah di negara-negara OECD, dan di beberapa kawasan lain korupsi sebagai

hambatan terbesar untuk bisnis. Governance juga berperan terhadap keefektivitasan bantuan.
Penulis menjelaskan berdasarkan projek yang dibiayai oleh World Bank apabila dilakukan di
negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, probabilitasnya untuk sukses akan lebih rendah
dibandingkan di negara dengan governance yang lebih baik.
Governance dan korupsi adalah hal yang penting.Memang governance bukanlah satu-satunya
driver yang penting dalam development. Namun ketika governance lemah, maka pembuatan
kebijakan di area lain pun mudah dipengaruhi oleh pihak lain.
Mitos 4: Good governance and corruption control is a luxury that only rich countries
can afford
Sejumlah

negara

emerging

economics

seperti

Botswana,

Chili,

Slovenia,

menunjukkan bukanlah hal yang mustahil untuk mencapai standar governance yang tinggi
namun belum termasuk dalam kategori negara kaya.
Ada pendapat yang mengklaim bahwa pendapatan negara yang lebih tinggi akan
berpengaruh terhadap pengembangan governance negara tersebut. Namun penulis
berpendapat bahwa governance-lah yang berperan dalam mendorong pendapatan.
Mitos 5: It takes generations for governance to improve
Kepercayaan bahwa governance merupakan kunci dari development, menimbulkan
tuntutan untuk terus menerus memonitor kualitas dari governance suatu negara.Namun
pendapat bahwa butuh waktu yang lama untuk meningkatkan governance tidaklah
sepenuhnya benar. Penelitian menunjukkan bahwa ada kluster dari negara-negara yang
mampu menunjukkan peningkatan, dibandingkan dengan negara lainnya, ada juga yang
semakin memburuk, dan ada yang sedikit mengalami perubahan pada jangka waktu yang
sama.
Dengan demikian, meskipun institusi memang cenderung berubah secara bertahap,
dan banyak negara yang mengalami sedikit kemajuan dalam jangka waktu yang pendek,
namun ada juga negara yang mengalami kemajuan yang drastic dalam periode waktu yang
pendek.Hal ini menyangkal pandangan bahwa governance mungkin memburuk secara cepat,
namun peningkatan kemajuan selalu terjadi dengan lambat dan berkembang sedikit demi
sedikit.

Mitos 6: Fight corruption by fighting corruption


Cara yang sering dipromosikan untuk memberantas korupsi adalah dengan
memerangi korupsi, yaitu dengan mengkampanyekan anti korupsi, membuat hukum dan code
of conduct dan sebagainya.Namun seringkali terjadi konflik antara instansi-instansi dalam
mengusut kasus korupsi dikarenakan keinginan mereka untuk mengatur secara berlebihan,
dapat mengurangi produktivitas dalam mengurus kasus tersebut.Regulasi yang berlebihan
tidak hanya gagal dalam melihat sebab fundamental korupsi, tetapi juga menyebabkan
peluang untuk penyuapan menjadi lebih besar.Dan seringkali ketergantungan terhadap hal
tersebut menyebabkan pengabaian terhadap hal yang lebih fundamental dan reformasi sistem
tata kelola.
Mitos 7: The culprit in developing countries is the public sector, which is solely
responsible for shaping the inadequate business environment
Kekeliruan yang sering terjadi adalah bahwa kesalah terfokus sepenuhnya pada sektor
public.Pada kenyataannya, banyak pihak kuat yang mempunyai kepentingan pribadi turut
memberikan pengaruh dalam membentuk kebijakan publik, institusi, dan peraturan
negara.Sektor swasta mempunyai peran yang penting dalam governance dan korupsi.Karena
terlalu lama mengabaikan hubungan private-public governance, komunitas internasional
sering keliru dalam memahami intervensi terhadap sector public sebagai kunci untuk
membantu negara-negara meningkatkan governance.
Mitos 8: Countries can do little to improve governance, and IFIs and the donor
community can do even less
Peran negara dalam perangkaian kemajuan dalam peningkatan suara dan partisipasi,
dengan reformasi yang transparan dapat secara efektif meningkatkan governance.Dengan
adanya kemajuan dalam hal tersebut, dapat diharapkan terjadi juga kemajuan pada kontrol
korupsi. Untuk IFI, memang ada beberapa hal yang berada di luar kekuasaan mereka untuk
ikut campur dalam meningkatkan governance, seperti promosi dalam pemilihan banyak
multipartai yang adil, namun mereka bisa mengambil inisiatif untuk mendorong transparansi,
kebebasan informasi dan media yang independen, hal-hal yang dapat membantu untuk
melawan korupsi.

Transparansi merupakan hal penting yang sering diabaikan dalam reformasi institusi.
Berbeda dengan dimensi dari dimensi governance yang lain, seperti rule of law, korupsi, dan
regulation burden, ada jarak yang besar antara kontribusi konseptual dan kemajuan dari
pengukuran dan analisis empirisnya. Tidak hanya transparansi, peran IFI dan donor-donor
lainnya juga turut berperan dalam reformasi governance.Untuk berbagi pengetahuan dan
pengalaman, mendukung inti kompetensi tradisional, reformasi yang terfokus pada institusi
kunci di emerging economics.Peran utama harus dilakukan oleh institusi dan ahli-ahli dalam
negeri untuk reformasi, dan membolehkan donor untuk melakukan peran yang penting,
namun suportif.
Meningkatkan governance dan mengontrol korupsi merupakan hal yang penting
untuk development, dan negara-negara bisa maju dengan substansial, bahkan dalam periode
yang singkat, jika ada strategi yang sesuai dan penyelesaian politik.Sudah dijelaskan bahwa
pendapatan

masuk

tidak

meningkatkan

governance,

melainkan

sebaliknya

yang

terjadi.Negara-negara tersebut harus mengambil tanggung jawab sendiri dan memimpin


dalam menerapkan reformasi institusional dan political yang seringkali tidak mudah.

2.2 Infosys: Indias Most Respected Company


Infosys dididrikan pertama kali tahun 1981 oleh N.R. Narayana Murthy dan enam
orang lainnya. Saat menentukan visi dari perusahaan IT yang akan mereka bentuk ini, ratarata memberikan pandangan bahwa Infosys harus menjadi perusahaan perangkat lunak
terbesar di India, penyedia pekerjaan terbesar, dan juga menjadi perusahaan dengan
kapitalisasi pasar terbesar. Akan tetapi, Murthy memiliki pandangan lain. Dia menyatakan
mengapa tidak mendirikan perusahaan paling dihormati di India ?.
Akhirnya, Infosys Technologies didirikan dengan dasar nilai yang dikenal sebagai CLIFE, yaitu Client focus, Leadership by example, Integrity and transparency, Fairness and
Excellence in everything we do. Murthy percaya bahwa sebagai manusia, sifat dasar adalah
mendapat perhatian dan rasa hormat dari orang lain. Murthy pun menyatakan bahwa jika kita
sudah terikat pada suatu nilai, maka kita akan bersedia untuk melakukan apapun demi
berjalannya nilai tersebut.
Pernyataan Murthy tersebut pun diuji tahun 1984, saat Infosys melakukan impor
superminicomputer untuk membuat software bagi konsumen di luar negeri. Saat barang yang

dipesan sampai di bandara Bangalore, pihak bea cukai menolak untuk mengeluarkan barang
tersebut kecuali pihak Infosys mau membayar mereka suap. Pegawai yang dikirim untuk
mengambil barang ini melapor kepada atasannya dan manager ini melaporkan kepada
Murthy. Murthy pun bertanya opsi yang dimiliki selain suap, yaitu hanya membayar pajak
cukai sebesar 135% dan kemudian mengajukan pengembalian dengan peluang dikembalikan
sangat kecil. Murthy pun mengambil keputusan untuk membayar pajak tersebut.
Peristiwa lain pun mengikuti saat Infosys mengikuti tender di luar negeri dan Murthy
diajak CIO dari perusahaan tersebut untuk makan bersama. CIO tersebut selama makan selalu
berbicara terkait sebuah mobil yang dia inginkan. Pada akhirnya CIO itu berkata bahwa
berikan dia mobil tersebut maka Infosys akan mendapatkan proyek yang di-tender. Murthy
menolak untuk memberikan suap tersebut kepada CIO tersebut. Pada akhirnya CIO tersebut
tidak mendapatkan mobil tersebut, namun Infosys berhasil mendapatkan proyek tersebut.
Salah satu kultur lainnya yang dijalankan oleh Infosys adalah toleransi yang rendah
terhadap pelanggaran nilai. Contohnya adalah suatu kali Infosys pernah memecat salah satu
karyawan yang memalsukan biaya taksi. Padahal karyawan ini menjalankan peran penting
dalam suatu tim proyek didalam perusahaan. Infosys akan mendengarkan komplain terkait
pelanggaran etika yang terjadi, menyelidiki, memberi kesempatan bagi pelakunya untuk
memberi argumen terkait tindakannya, barulah akan diambil keputusan.
Dalam menjalankan bisnis nya ini, tantangan utama Infosys ini ada pada
lingkungannya yang korup. Disaat semua perusahaan lain berusaha untuk menggunakan jalan
yang cepat sekalipun illegal, Infosys memilih untuk mengambil jalan yang legal sekalipun itu
menyulitkan mereka. Lingkungan bisnis korup ini bukan hanya terjadi akibat para kompetitor
mereka yang selalu melakukannya, tetapi juga karena dari pihak pemerintah ikut serta untuk
membiarkan hal semacam ini bisa terjadi. Akan tetapi, seperti kata Murthy bahwa jika kita
memegang suatu nilai, maka kita akan rela untuk membayar harga yang mahal demi
terlaksananya nilai-nilai tersebut.
Keberhasilan Infosys dalam menghindari praktik korupsi dan membalikan keadaan
terletak pada sikap menjunjung nilai-nilai yang ada sejak awal dimana mereka berusaha
menjadi perusahaan yang paling dihormati di India. Mereka rela melakukan apapun yang
legal demi terlaksananya nilai-nilai tersebut. Selain itu, zero tolerance policy yang dijalankan
oleh Infosys juga menjadi salah satu pendukung terlaksananya kondisi tanpa korupsi didalam
Infosys. Toleransi yang rendah diberikan kepada para pegawai melanggar nilai-nilai yang

dipegang oleh Infosys, sekalipun orang tersebut melakukan pelanggaran yang kecil atau dia
termasuk orang yang sedang mengerjakan proyek yang penting.
Dua hal ini menunjukkan betapa besar usaha Infosys dalam menentang praktik
korupsi, yang kemudian membentuk citra bahwa Infosys adalah perusahaan yang layak
dihormati, serta membuat pihak-pihak yang berhubungan dengan Infosys tahu bahwa mereka
berurusan dengan perusahaan yang menjalankan bisnis secara bersih dan tidak akan
melakukan cara-cara apapun yang illegal. Bahkan dengan praktik mereka, pihak pemerintah
pun menyadari bahwa tidak mungkin mereka meminta suap kepada Infosys agar dipermudah
dalam segala urusan, sebab Infosys memilih untuk mengambil jalan yang legal sekalipun itu
panjang dan menyulitkan mereka.
Jika dibandingkan dengan kondisi yang ada di Indonesia, menurut kami tidak ada
perbedaan yang signifikan dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Kedua negara ini samasama korup dan dalam berbagai hal, mengandalkan suap atau sogokan agar dapat bisa
memperlancar urusan yang terjadi. Mungkin, di Indonesia ada perusahaan yang berusaha
menjalankan bisnisnya sebagaimana Infosys menjalankan bisnis di India, yaitu tanpa
memasukkan korupsi maupun suap. Namun, terkait zero tolerance policy, hal semacam itu
sepertinya cukup sulit untuk diterapkan di Indonesia karena pegawai biasanya dipecat jika
melakukan kesalahan yang fatal, seperti pencurian uang atau data-data penting perusahaan,
bukan karena memalsukan biaya transportasi.
Baik di India maupun di Indonesia, mungkin jika karyawan dipecat karena melakukan
kesalahan kecil seperti memalsukan biaya transportasi, akan memicu protes dari pihak
karyawan dengan alasan toleransi yang rendah. Akan tetapi di Infosys hal ini sudah menjadi
nilai-nilai sejak dasar dimiliki dan dijalankan. Di Indonesia mungkin hal semacam ini belum
dijalankan dan akan cukup sulit untuk dijalankan karena adanya resistensi dari karyawan
yang ada.
Menurut kelompok kami, praktik CG yang baik seharusnya bisa mendorong
perusahaan untuk menghindari praktik korupsi karena dengan melaksanakan CG, perusahaan
akan lebih terbuka mengenai apa yang dijalankannya, dan jika ia korupsi, ditutupi namun
kemudian diketahui publik, hal itu akan merusak nama dan reputasi perusahaan tersebut.
Lewat praktik CG yang baik, perusahaan didorong untuk bertindak secara jujur dalam
berbagai hal. Perbuatan jujur ini akan membuat perusahaan merasa lebih tenang dan nyaman
saat harus terbuka kepada publik, bahkan saat mereka melakukan kesalahan. Sebagaimana

pernah dikatakan oleh N.R. Narayana Murthy Let the good news take the stairs, but make
sure the bad news takes the elevator.
Jika dikaitkan antara praktik Good Governance dengan korupsi, kami melihat bahwa
perusahaan yang bertindak atau melakukan perbuatan korupsi, baik memberi atau menerima,
sudah gagal dalam menjalankan praktik CG yang baik. Sebab, tujuan utama dari CG adalah
optimizing stakeholders value. Jika perusahaan korupsi, itu akan mencederai tujuan utama
dari CG karena perusahaan tidak berusaha untuk optimasi nilai dari setiap stakeholders yang
ada, melainkan mengorbankan salah satu pihak demi tercapainya kepentingan perusahaan
atau kepentingan pihak lainnya. Dapat disimpulkan bahwa korupsi akan membawa suatu
organisasi kepada praktik CG yang buruk karena korupsi berarti mendahulukan kepentingan
suatu pihak dibanding pihak lainnya, yang berarti tidak sesuai dengan tujuan utama dari
pelaksanaan CG didalam organisasi.
2.3. UU Tindak Pidana Korupsi
Korupsi menurut Lembaga Transparansi Internasional adalah tindakan yang dilakukan
oleh pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam
tindakan tersebut, yang secara illegal dan tidak wajar menyalahgunakan kepercayaan publik
yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Di Indonesia, korupsi telah dianggap dan ditetapkan sebagai tindak kejahatan yang
luar biasa. Ia tidak hanya merugikan negara secara finansial namun juga telah merampas hak
rakyat banyak untuk mendapatkan hidup layak dan sejahtera secara ekonomi dan sosial. Oleh
karena itu korupsi kemudian diatur dalam UU tersendiri yang dimuat dalam UU No. 20
Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
UU ini mengatur apa saja tindakan yang termasuk dalam jenis korupsi serta pelaku
yang terlibat dan besar sanksi, baik uang maupun lama penahanan, yang dikenakan atas tiap
tindakan korupsi. UU tindak pidana korupsi sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak tahun
1960. Namun dalam perjalanannya UU ini seringkali berganti dan diubah oleh pemerintah.
Terhitung, sudah empat kali Indonesia mengalami perubahan dalam UU tindak pidana
korupsi, yaitu :
1. UU No. 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
2. UU No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
3. UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

4. UU No. 20 Tahun 2001 yang merupakan perubahan dari UU No. 31 Tahun 1999
UU No.31 tahun 1999 adalah UU tindak korupsi pertama yang dibuat setelah masa
reformasi yang kemudian dilakukan beberapa perubahan, diantaranya, mendeskripsikan lebih
jelas apa saja yang termasuk dalam tindak pidana korupsi, sanksi yang dikenakan atas
tindakan tersebut, serta siapa saja yang dianggap sebagai pelaku tindak korupsi. Selain itu
diatur pula mengenai alat bukti yang dapat digunakan dalam sidang, memberikan hak dan
kesempatan bagi terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak terlibat korupsi beserta harta
benda yang diperolehnya dengan memberikan bukti-bukti.
Darisegi hukum, suatu tindak pidana korupsi harus memenuhi unsur-unsur untuk
dimasukkan dalam tindak pidana. Unsur-unsur tersebut secara umum harus dibuktikan sbb :
1. Ada subyek (setiap orang)
2. Yang melakukan suatu tindakan tertentu (memperkaya diri sendiri, memberi sesuatu,
atau menjanjikan sesuatu, dll)
3. Dengan cara melawan hukum
4. Yang berakibat kerugian terhadap pihak lain (merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, mempengaruhi pembuatan suatu keputusan yang bertentangan
dengan kewajiban si pegawai negeri atau hakim, dll).
Unsur-unsur tersebut harus dipenuhi dalam suatu tindakan pidana korupsi disertai dengan
alat buktinya dan disesuaikan dengan tiap pasal yang ada dalam UU tindak pidana korupsi.
Dalam UU No.31 tahun 1999 jo. UU No.20 tahun 2001 terdapat beberapa jenis
perbuatan yang tergolong ke dalam kategori korupsi dengan pengelompokan berbeda
(Tuanakotta, 2010). Diantaranya :
1. Perbuatan merugikan keuangan negara
Ada di pasal 2 dan 3 UU No.31 tahun 1999, tentang memperkaya diri sendiri dan
menyalahgunakan wewenang. Dipidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
min. 4 tahun, maks. 20 tahun dengan denda sejumlah uang min. Rp200 juta dan maks.
Rp. 1 M.
2. Perbuatan suap-menyuap (kepada pegawai negeri, atau hakim)
a. Penyuapan atau pemberian hadiah kepada pegawai negeri

Diatur dalam pasal 5 ayat 1 (a) dan (b), tentang sogokan untuk pegawai negeri
agar melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginan pemberi suap. Kemudian pasal
5 ayat 2, tentang pegawai negeri yang menerima sogokan. Dalam pasal ini, pemberi
maupun penerima sogokan terancam hukuman pidana penjara min. 1 tahun, maks. 5
tahun, dengan denda min. Rp 50 juta, dan maks. Rp. 250 juta.
Pasal 13, tentang pemberian hadiah pada pegawai negeri, terkena pidana penjara
maks. 3 tahun dengan denda maks. Rp 150 juta. Dan pasal 11 tentang penerimaan
hadiah yang dilakukan pegawai negeri terancam hukuman 1 hingga 5 tahun penjara
dan denda mulai dari Rp 50 juta hingga Rp 250 juta.
Lalu pasal 12 (a) dan (b), tentang pegawai negeri yang menerima suap terancam
pidana seumur hidup, atau pidana penjara min. 4 hingga maks. 20 tahun dan denda
min. Rp 200 juta, maks. Rp 1 M.

b. Penyuapan kepada hakim


Terdapat di pasal 6 ayat 1 (a), (b),dan ayat 2, tentang penyuapan hakim dan
advokat untuk mempengaruhi keputusan yang dibuat dalam pengadilan diancam
hukuman penjara selama 3 hingga 15 tahun penjara dengan sanksi Rp 150 juta hingga
Rp 750 juta. Kemudian pasal 12 ayat (c), dan (d) bagi hakim dan advokat yang
menerima suap terancam pidana seumur hidup atau hukuman penjara selama 4 hingga
20 tahun dengan sanksi Rp 200 juta hingga Rp 1 M.
3. Penggelapan bukti berupa surat, uang, akta, dll, dalam jabatannya
Diatur dalam pasal 8, tentang pegawai negeri yang melakukan tindakan
penggelapan berupa uang, atau surat berharga, dimana uang tersebut berada dalam
kekuasaannya karena suatu jabatan. Dipidana min. 3 hingga 15 tahun dengan denda
sejumlah Rp 150 juta hingga Rp 750 juta. Pasal 9 mengatur tentang pemalsuan buku
dan daftar yang digunakan untuk alat administrasi dengan hukuman penjara min. 1
hingga 5 tahun dengan denda Rp 50 juta hingga Rp 200 juta.
Kemudian pasal 10 ayat (a), (b), dan (c) mengatur tentang pegawai negeri yang
merusak bukti, membiarkan orang lain merusak bukti, atau membantu orang lain
merusak bukti berupa barang, surat berharga, atau akta yang akan digunakan untuk
membuktikan sesuatu dikenai ancaman penjara selama 2 hingga 7 tahun dengan
denda Rp 100 juta hingga Rp 350 juta.

4. Melakukan pemerasan
Terdapat dalam pasal 12 ayat (e), (f), dan (g) tentang pegawai negeri yang
memaksa pihak lain (baik swasta, perorangan, atau pegawai negeri lainnya) untuk
memberikan bayaran atas sesuatu yang tidak seharusnya, dapat terkena ancaman
penjara seumur hidup atau, pidana penjara min. 4 hingga 20 tahun dan denda min. Rp
200 juta hingga Rp 1 M
5. Gratifikasi
Diatur dalam pasal 12 B dan C, bagi pegawai negeri yang menerima gratifikasi
diancam penjara min. 4 tahun hingga 20 tahun dan denda mulai dari Rp 200 juta
hingga Rp 1 M.
6. Melakukan kecurangan
Diatur dalam pasal 7 ayat 1 (a) dan (b), tentang tindak kecurangan yang dilakukan
oleh pemborong sehingga membahayakan keselamatan dan keamanan pihak lain,
serta bagi pengawas yang membiarkan terjadinya tindak kecurangan. Kemudian (c),
(d) dan pasal 7 ayat 2 mengatur tentang kecurangan yang dilakukan oleh tiap orang
yang menyerahkan barang keperluan TNI/Polri serta pengawas dari penyerahan
barang tersebut dan pihak penerima barang membiarkan tindakan curang akan dikenai
ancaman penjaramin. 2 hingga 7 tahun &denda min. Rp 100 juta maks. Rp 350 juta.
Dari penjelasan UU diatas terlihat bahwa sanksi dan ancaman penjara yang dikenakan
kepada pelaku tindak korupsi tidak sebanding dengan besaran nilai atau jumlah harta negara
yang diambil oleh pelaku korupsi. Umumnya hukuman tahanan hanya selama 1, 3, 4, hingga
7 dan 20 tahun lamanya tergantung pada tindak korupsi yang dilakukan. Besaran denda yang
dikenakan pun terhitung kecil, mulai dari Rp 50 juta hingga maksimal Rp 1 M.
Korupsi pada umumnya, terutama di sektor publik, tidak dilakukan perorangan,
melainkan dilakukan bersama dengan sekelompok pihak lainnya sehingga jumlah yang
dikorupsi biasanya sangat besar hingga mencapai ratusan milyar rupiah. Contoh, total jumlah
proyek bermasalah yang dilakukan Nazaruddin, menurut KPK, senilai Rp 6,037 T. Termasuk
didalamnya adalah dugaan korupsi di dua departemen senilai Rp 2 T dan Rp 642 M. Dengan
nilai proyek yang diduga korupsi hingga ratusan M ini dibandingkan dengan denda yang
dikenakan maks. 1 M di tiap dakwaan, tentu sangat tidak signifikan. Itu hanyasalah satu dari

sekian banyak kasus korupsi, belum yang tersebar di berbagai instansi sektor lainnya. Hal ini
menunjukkan ancaman hukuman dan sanksi yang dikenakan oleh perundang-undangan di
Indonesia tidak memberikan efek jera tidak hanya bagi pelaku namun juga pihak lain seperti
masyarakat dan pihak swasta.
Penelitian yang dilakukan oleh FEB UGM, yang dikutip dalam Koran Tempo,
mengungkapkan, dari hasil analisa yang dilakukan terhadap 1365 kasus korupsi, jumlah uang
negara yang dikorupsi besarnya mencapai Rp 168,19 T. Itu pun baru biaya yang terlihat atau
eksplisit. Banyak aspek yang sulit untuk dinilai, seperti biaya sosial atas korupsi, opportunity
lost yang hilang akibat adanya korupsi, dan lainnya. Indonesia belum memiliki rumusan
perhitungan biaya yang diakibatkan oleh korupsi sehingga semestinya besaran nilai yang
dikorupsi masih lebih besar daripada angka yang disebutkan.

UU NO.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

No.
1.

Kelompok Korupsi
Kerugian Keuangan 2 UU
Negara

2.

Pasal

Keterangan

Pidana

Memperkaya diri

Seumur

No.31/1999

Perbuatan Suap

Hukuman Penjara
Min.

Hidup, 4 Thn

Maks.

Min.

20 thn

Rp 200 Rp 1 M

pidana mati

3 UU

Menyalahgunakan

No.31/1999

wewenang

5 ayat 1 a

Memberi
menjanjikan

Seumur Hidup

Denda
Maks.

juta
4 Thn

20 thn

Rp 200 Rp 1 M
juta

atau

1 Thn

5 thn

sesuatu

Rp
juta

50 Rp

250

juta

kepada pegawai negeri


5 ayat 1 b

Memberi
menjanjikan

atau

1 Thn

5 thn

sesuatu

Rp
juta

50 Rp

250

juta

kepada pegawai negeri


Kepada pegawai
negeri

5 ayat 2

Pegawai negeri terima

1 Thn

5 thn

sogokan
13

Pemberian

hadiah

3 tahun

Rp
juta

juta

Rp

kepada pegawai negeri


11

Penerimaan

hadiah

Penerimaan suap oleh Seumur Hidup


pegawai negeri

250

150

juta
1 Thn

5 thn

oleh pegawai negeri


12 ayat 1 a

50 Rp

Rp
juta

4 thn

20 thn

50 Rp

250

juta

Rp 200 Rp 1 M
juta

12 ayat 1 b

Penerimaan suap oleh Seumur Hidup

4 thn

20 thn

pegawai negeri
6 ayat 1 a

juta

Memberi

atau

menjanjikan

Rp 200 Rp 1 M

3 thn

15 thn

sesuatu

Rp 150 Rp
juta

750

juta

kepada hakim
6 ayat 1 b

Memberi

atau

menjanjikan

15 thn

sesuatu

juta

6 ayat 2

Hakim

dan

advokat

3 thn

15 thn

menerima janji
12 ayat c

12 ayat d

Hakim

menerima Seumur Hidup

4 thn

20 thn

Advokat

surat, 8

menerima Seumur Hidup

negeri

uang, dan akta atas

menggelapkan

uang,

nama jabatan

surat berharga
Pemalsuan buku dan
daftar untuk keperluan
administrasi
pegawai negeri

juta

Rp 200 Rp 1 M

4 thn

20 thn

Rp 200 Rp 1 M
juta

Pegawai

750

juta

hadiah atau janji


Penggelapan

750

juta

Rp 150 Rp
juta

hadiah atau janji

3.

Rp 150 Rp

kepada advokat

Kepada Hakim dan


Advokat

3 thn

oleh

3 thn

15 thn

Rp 150 Rp
juta

1 thn

5 thn

Rp
juta

750

juta

50 Rp
jta

200

10 ayat a

Pegawai

negeri

2 Thn

7 thn

merusak bukti surat,

Rp 100 Rp
jt

350

juta

akta, dokumen lain


10 ayat b

Membiarkan orang lain

2 Thn

7 thn

merusak bukti
10 ayat c

Rp 100 Rp
jt

Pegawai

negeri

2 Thn

7 thn

membantu orang lain

juta

Rp 100 Rp
jt

350

350

juta

merusak bukti
4.

Pemerasan

12 ayat e

Pemerasan

oleh Seumur hidup

4 thn

20 thn

pegawai negeri
12 ayat f

Pemerasan

jt
oleh Seumur hidup

4 thn

20 thn

pegawai negeri
12 ayat g

Pemerasan

Bertindak curang

7 ayat 1 a

Kontraktor

oleh Seumur hidup

4 thn

20 thn

Pengawas
membiarkan

Rp 200 Rp 1 M
jt

bertindak

2 Thn

7 thn

curang
7 ayat 1 b

Rp 200 Rp 1 M
jt

pegawai negeri
5.

Rp 200 Rp 1 M

Rp 100 Rp
jt

proyek

2 Thn

7 thn

tindakan

juta

Rp 100 Rp
jt

350

350

juta

curang
7 ayat 1 c

Pemberi

barang

TNI/Polri

berbuat

2 Thn

7 thn

Rp 100 Rp
jt

juta

350

curang
7 ayat 1 d

Pengawas
barang

pemberi
TNI/

2 Thn

7 thn

Polri

Rp 100 Rp
jt

350

juta

berbuat curang
12 h

Pegawai

negeri Seumur hidup

4 thn

20 th

memakai tanah negara


6.

Gratifikasi

12 B jo. 12 C

Pegawai

juta

negeri Seumur hidup

4 thn

20 th

menerima gratifikasi
7.

Pegawai negeri ikut


serta
pengadaan

dalam
barang

yang diurusnya

Rp 200 Rp 1 M

Rp 200 Rp 1 M
juta

Seumur hidup

4 thn

20 th

Rp 200 Rp 1 M
juta

BAB III. PEMBAHASAN KASUS


Kasus: Kasus Korupsi Wisma Atlet, Jakabaring Palembang
3.1 Kronologi Kasus
Komisi Pemberantasan Korupsi pada awalnya menangkap Sekretaris Menteri Pemuda dan
Olahraga, Wafid Muharram di kantornya pada tanggal 21 April 2011. Ia ditangkap tangan
sedang menerima uang suap dari Muhammad El Idris dengan perantara Mindo Rosalina
Manurung, dimana ketiganya langsung digiring oleh KPK ke tahanan. KPK menemukan
barang bukti berupa cek sebesar Rp 3,2milyar dan juga pecahan uang dalam mata uang asing.
Pembelaan mereka bertiga, pertemuan mereka bertiga adalah untuk membahas dana talangan
bagi kemenpora dalam pelaksanaan Sea Games ke-26, dimana mereka mengatakan bahwa hal
tersebut lumrah dilakukan oleh lembaga dan instansi pemerintah manapun untuk
melaksanakan proyeknya. Mereka menyatakan bahwa dana talangan tersebut berasal dari
pengusaha swasta (Muhammad El Idris) yang mana dana tersebut akan segera dikembalikan
setelah dana dari pusat untuk proyek tersebut cair.
Namun fakta yang ditemukan berkata lain. Penyelidikan KPK menunjukkan bahwa
Muhammad El Idris adalah direktur dari PT Duta Graha Indah, yang mana perusahaan
tersebut merupakan rekanan Kemenpora dalam pembangunan Wisma Atlit di Palembang.
Wisma Atlit tersebut dibangun dalam rangka pelaksanaan Sea Games ke-26, dimana Duta
Graha Indah menjadi pemenang tender didalam pembangunan Wisma Atlit tersebut.
KPK menduga, uang yang diserahkan oleh Muhammad El Idris adalah bagian fee (imbalan)
kepada kemenpora atas jasanya memenangkan Duta Graha Indah dalam proses pembangunan
Wisma Atlit tersebut. Hal ini diperkuat oleh keterangan Mindo Rosalina, yang menyatakan
pada awal saat ia ditangkap bahwa memang benar uang yang diberikan oleh Idris saat itu
merupakan bagian imbalan komitmen atas pemenangan DGI dalam tender pengadaan Wisma
Atlit.
Penyelidikan lanjutan atas kasus ini menjadi menarik dengan terbukanya peran Rosa didalam
kasus ini. Rosa dalam kasus ini menjadi perantara antara Kemenpora dengan Duta Graha
Indah. Peran Rosa ini diduga didukung dan diarahkan oleh Nazaruddin, Bendahara Umum
Partai Demokrat, dimana Nazaruddin menaruh Rosa menjadi proxy diantara DGI dan

Nazaruddin. Hal ini diperkuat pula dengan fakta bahwa ternyata kantor DGI dan Nazaruddin
berkantor di tempat yang sama.
Awalnya, Rosa membuat pengakuan menghebohkan, dimana ia mengaku bahwa ia bertindak
atas suruhan Nazaruddin. Ia mengakui pula bahwa Nazaruddin merupakan atasannya di PT
Anak Negeri, dimana Nazaruddin adalah pemilik perusahaan tersebut, dan Rosa adalah
direktur operasional dari perusahaan itu. Rosa dengan penasihat hukumnya, Kammarudin
membuat pernyataan di media bahwa kasus suap tersebut adalah bagian dari commitment fee
dari Duta Graha Indah atas pemenangan mereka dalam tender Wisma Atlet. PT Anak Negeri,
dalam hal ini Nazaruddin, menjadi perantara pencari proyek, yang mana proyek tersebut
ditawarkan kepada DGI oleh Nazaruddin dan Nazaruddin meminta imbalan atas hal tersebut.
Nazaruddin menunjuk Rosa sebagai proxy antara DGI dan Kemenpora, sekaligus untuk
mengawasi DGI atas nama Nazaruddin. Nazaruddin yang pada waktu itu menjabat di badan
anggaran DPR, bertugas untuk memuluskan anggaran yang diajukan oleh kemenpora dalam
rangka pembangunan proyek tersebut.
Bahkan, timbul tuduhan dari Koordinator LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)
Boyamin Saiman menyatakan kepada wartawan bahwa Mindo Rosalina Manulang adalah staf
Muhammad Nazaruddin.Nazaruddin menyangkal pernyataan itu dan mengatakan bahwa ia
tidak mengenal Rosalina maupun Wafid.Namun, pernyataan Boyamin tersebut sesuai dengan
keterangan Rosalina sendiri kepada penyidik KPK pada hari yang sama dan keterangan kuasa
hukum Rosalina, Kamaruddin Simanjuntak, kepada wartawan keesokan harinya.Kepada
penyidik KPK, Rosalina menyatakan bahwa pada tahun 2010 ia diminta Nazaruddin untuk
mempertemukan pihak PT DGI dengan Wafid, dan bahwa PT DGI akhirnya menang tender
karena sanggup memberi komisi 15 persen dari nilai proyek, dua persen untuk Wafid dan 13
persen untuk Nazaruddin. Akan tetapi, Rosalina lalu mengganti pengacaranya menjadi Djufri
Taufik dan membantah bahwa Nazaruddin adalah atasannya Ia bahkan kemudian menyatakan
bahwa Kamaruddin, mantan pengacaranya, berniat menghancurkan Partai Demokrat sehingga
merekayasa keterangan sebelumnya, dan pada 12 Mei Rosalina resmi mengubah
keterangannya

mengenai

keterlibatan

Nazaruddin

dalam

berita

acara

pemeriksaannya.] Namun demikian, Wafid menyatakan bahwa ia pernah bertemu beberapa


kali dengan Nazaruddin setelah dikenalkan kepadanya oleh Rosalina.
Nazaruddin sendiri tidak tinggal diam, ia selalu membantah tuduhan kasus ini. Namun
penyidikan KPK menemukan dugaan bahwa Nazaruddin menerima fee sebesar 13% dari nilai

kontrak yang disetujui. Fakta juga semakin terkuak setelah ditemukan adanya hubungan
antara Rosa dengan Nazaruddin didalam PT Anak Negeri, yang diperkuat oleh kesaksian
Rosa sebelum dirubah. Hal ini menyebabkan friksi di Partai Demokrat, yang mana satu kubu
mendukung pemecatan Nazaruddin, dan satu kubu lainnya menentang pemecatan tersebut.
Kisruhnya kasus ini bertambah setelah Agus Condro menyatakan pada media massa bahwa
Rosa curhat kepadanya saat berada di tahanan. Agus Condro menyatakan bahwa sebenarnya
pihak yang terlibat cukup banyak, dimana uang yang diserahkan pada Kemenpora via Wafid
sebenarnya ditujukan kepada komisi X DPR untuk memuluskan rencana proyek Kemenpora
lainnya. Pernyataan Agus Condro ini menarik Wayan Koster sebagai ketua Fraksi dan juga
Angelina Sondakh, dimana mereka ikut berperan didalamnya.
Karena terjepit, Nazaruddin memutuskan kabur dari Indonesia. Dalam pelariannya,
Nazaruddin bersumpah bahwa ia tidak bermain sendirian, dan ia akan membuka borok-borok
pihak lain yang ikut bermain dalam air keruh. Saat ia berhasil ditangkap dan kembali ke
Indonesia, memang ia mengungkapkan banyak kasus-kasus lainnya.
3.2 Tokoh yang berperan dalam Kasus Wisma Atlet beserta Vonis yang dijatuhkan
Terdakwa kasus Wisma Atlet
1. Wafid Muharram
Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) yang tertangkap oleh petugas
KPK . KPK menyita uang Rp 3,2 miliar, juga mengamankan uang ribuan dollar dari
ruangan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam. Pihak Wafid, menyebut uang
tersebut merupakan kumpulan tunjangan uang perjalanan ke luar negeri yang dipilahpilah dalam berbagai amplop. Penyelidik KPK Herry Muryanto bersaksi untuk Wafid
di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Bukti permulaan yang KPK peroleh
berupa alat komunikasi anatra Dudung dan El Idris. Vonis dijatuhkan oleh MA
kepada Wafid Muharram yakni hukuman penjara 5 tahun dengan denda 200 juta
Rupiah subsider 6 bulan penjara, sekaligus menghapus putusan sebelumnya oleh
Pengadilan Tipikor DKI Jakarta yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
sebesar 3 Tahun Penjara. Putusan dijatuhkan dengan suara bulat bahwa Wafid selaku
pegawai negeri dan pejabat negara serta Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), terbukti
menerima hadiah berupa cek bernilai Rp3.289.850.000 dari Mohamad El Idris dan
Mindo Rosalina Manulang (Rosa) dan dikenakan Undang-Undang Tipikor.Pasal 12b.

2. Mohammad El Idris
Manager Marketing PT Duta Graha Indah Mohammad El Idris dinyatakan bersalah
melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus dugaan suap pembangunan wisma
atlet. Ia dijatuhi hukuman pidana penjara selama dua tahun penjara dan denda 200
juta.
3. Mindo Rosalina Manulang
Marketing PT Anak Negeri.Karena Rosa dalam kesaksian di sidang selalu menyebut
bahwa uang itu diminta sebagai pinjaman untuk biaya operasional kementrian karena
anggaran DIPA belum cair.Mindo selalu berkata bahwa cek tersebut untuk biaya
operasional kementrian yang anggarannya belum cair. Mindo Rosalina Manulang
alias Rosa akhirnya divonis 2,5 tahun penjara dan denda Rp200 juta oleh majelis
hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Mantan Direktur Pemasaran PT
Anak Negeri itu dinyatakan terbukti menyuap dua penyelenggara negara, Nazaruddin
dan Wafid Muharram.Rosa bersama Idris juga terbukti melakukan kesepakatan
mengenai adanya komitmen fee sebesar 14 persen kepada anggota DPR, Muhammad
Nazaruddin, dalam bentuk pemberian 4 lembar cek senilai Rp4,3 miliar atas
ditetapkannya PT DGI sebagai pelaksana proyek pembangunan wisma atlet di
Palembang.
4. Muhammad Nazarudin
Mohammad Nazarudin, mantan bendahara umum Partai Demokrat ini ditetapkan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka kasus suap proyek wisma
atlet Sea Games Palembang dan proyek pengadaan alat-alat kesehatan.Nazarudin
berpindah-pindah tempat, awalnya dalam sebuah lansiran berita Nazaruddin diduga
kuat berada di Singapura. Namun, kemudian dikabarkan Nazaruddin berpindahpindah negara bahkan disebut pernah singgah di Argentina.Selama pelariannya,
Nazaruddin kerap mengirim pesan pendek atau Blackberry Messenger yang berisi
tudingan korupsi kepada sejumlah petinggi Partai Demokrat, termasuk ketua
umumnya Anas Urbaningrum. Nazaruddin bahkan menuding beberapa pimpinan
KPK

juga

terlibat

korupsi.Nazaruddin

dijerat

Pasal

12b

Undang-Undang

Pemberantasan Tipikor karena menerima suap dan aktif dalam melakukan pertemuanpertemuan terkait dengan kasus tersebut.Selasa (22/1/2013 Nazaruddin dijatuhi
hukuman oleh MA sebesar 7 tahun penjara dan denda 300 juta Rupiah dimana
hukuman tersebut dijatuhkan secara bulat atau tidak ada pendapat berbeda (dissenting
opinion). Hukuman ini sekaligus membatalkan vonis sebelumnya yang dijatuhkan

oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta
yang menyatakan terbukti melanggar pasal 11 UU Tipikor dengan hukuman 4 Tahun
10 Bulan dan denda 200 Juta Rupiah pada 20 April 2012.

Nama-Nama lain yang dikaitkan dengan kasus Wisma Atlet:


1. Wayan Koster, Angelina Sondakh dan Mirwan Amir
Mirwan Amir dan Wayan Koster adalah orang yang mengatur pembagian uang di
DPR bersama Angelina Sondakh menurut kesaksian Nazaruddin. hal tersebut pun
baru diketahui pada saat diperiksa di TPF (Tim Pencari Fakta).
2. Anas Urbaningrum
Ketua Umum partai Demokrat ini dituding oleh Muhammad Nazaruddin menerima
uang hasil suap kemenpora yang juga menjerat dirinya sebagai tersangkanya.Kasus
ini tidak lepas dari terungkapnya kasus suap proyek transmigrasi yang menyerat
nazarudiin sebagai tersangkanya.
3. Andi Mallarangeng
Berikut adalah pernyataan dari Muhammad Nazarudin tentang keterlibatan Menpora
pada tanggal 3 Oktober 2011:
1). Apa yang dilakukan oleh Wafid Muharam, adalah berdasarkan instruksi dari
Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), hal ini dikarenakan semua proyek yang
berjumlah di atas Rp 50 M berdasarkan Keppres No. 80 Tahun 2003 beserta
Perubahannya, harus mendapatkan persetujuan dari Menteri dan yang bertanggung
jawab atas proyek tersebut adalah Menteri yang bersangkutan (yang pada saat itu
dijabat
3).

Wafid

oleh

Andi

Muharam

hanya

Malarangeng
melaksanakan

selaku
perintah

Menpora).
dari

Menpora.

Andi mengakui bahwa dirinya memang mendelegasikan beberapa urusan di


kementrian ke Wafid selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Kemenpora. Mantan
anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pemilu 1999 itu pun mengaku tak
tahu tentang konsultan pelaksana proyek Wisma Atlet SEA Games di Palembang.
3.3 Implikasi Kasus Wisma Atlet
Kasus Wisma Atlet menjadi domino pertama yang membuka kasus korupsi lainnya. Lewat
Nazaruddin, kasus ini menjadi jalan oleh KPK untuk menyelidiki kasus korupsi lainnya.
Kasus lainnya yang terungkap dan saat ini sedang diperiksa oleh KPK adalah:

1. Proyek e-KTP senilai Rp. 5,8 Trilyun


2. Proyek pengadaan pesawat Merpati MA-60
3. Proyek pembangunan gedung Dirjen Pajak
4. Proyek PLTU Kalimantan Timur dan Riau
5. Proyek pembangunan gedung MK
6. Proyek Kilang Minyak Cilacap
7. Proyek Simulator SIM
8. Proyek Hambalang
9. Proyek Kementerian Pendidikan Nasional
10. Proyek Pengadaan Baju Hansip di Kementerian Dalam Negeri
Saat ini seluruh tersangka dalam kasus Wisma Atlit sudah divonis dan telah menjalani
hukuman. Untuk Mindo Rosalina bahkan sudah dibebaskan dari masa tahanannya. Kasus ini
pada awalnya mengganggu pelaksanaan Sea Games ke-26 karena tidak jadinya pembangunan
Wisma Atlit, namun akhirnya pelaksanaan Sea Games bisa berjalan dengan cukup lancar
meskipun ada skandal ini.

BAB 4. PENUTUP
Kondisi Public Governance di Indonesia dinilai masih sangat rendah, hal ini tercermin dari
indeks korupsi di Indonesia yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Penyebab dari maraknya kasus korupsi di Indonesia antara lain adalah lemahnya penegakan
hukum di Indonesia, konsekuensi hukuman korupsi yang kurang berat, budaya permisif dan
memberi upeti, lingkungan dan pedoman antikorupsi yang tidak dilaksanakan serta mencakup
pula tentang rendahnya upah penyelenggara negara serta kurang berhasilnya pendidikan
agama dan etika di Indonesia. Dampak dari korupsi sangat luas mencakup ekonomi, sosial,
bahkan pendidikan dan kesehatan. Hal ini tentu memerlukan penanganan yang serius oleh
pemerintah untuk memberantas korupsi sekaligus menciptakan good public governance.
Dalam menciptakan hal tersebut, diperlukan langkah-langkah yang diharapkan mampu
menciptakan kondisi good public governance, diantaranya:
1) Memilih aparatur atau pelaku pemerintahan yang jelas terbukti memiliki integritas tinggi
terhadap tanggungjawab yang diberikan.
2) Pemberantasan KKN. KKN merupakan penyebab utama dari tidak berfungsinya hukum di
Indonesia. Untuk memberantas KKN diperlukan setidaknya dua cara; pertama dengan cara
mencegah (preventif) dan kedua, upaya penanggulangan (represif). Upaya pencegahan
dilakukan dengan cara memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka
(open government) dengan memberikan jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati
perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara
memadai. Sedangkan upaya penanggulangan (setelah korupsi muncul) dapat diatasi dengan
mempercepat pembentukan Badan Independen Anti Korupsi yang berfungsi melakukan
penyidikan dan penuntutan kasus-kasus korupsi, (salah satunya edalah pembentukan KPK)
memperkenalkan hakim-hakim khusus yang diangkat khusus untuk kasus korupsi (hakim ad
hock) dan memperlakukan asas pembuktian terbalik secara penuh.
3) Transparansi APBN dan APBD.
4) Memaksimalkan fungsi dan kinerja Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang
memonitoring penegakan kebijakan pemerintah.

5) Sosialisasi Mahkamah Konstitusi (MK) agar lebih maksimal, sehingga masyarakat dapat
mengadukan/ mengkritisi masalah-masalah yang berkaitan dengan konstitusi.
6) Kemandirian lembaga peradilan
7) Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan
8) Memperbaiki masalah sosial yang sedang dihadapi.
9) Mengembalikan atau menaikkan kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia. Hal-hal
yang diperlukan adalah kepastian hukum, jaminan keamanan bagi seluruh masyarakat,
penegakkan hukum bagi kasus-kasus korupsi, konsistensi dan kejelasan kebijakan
pemerintah, integritas dan profesionalisme birokrat, disiplin pemerintah dalam menjalankan
program, stabilitas sosial dan politik, dan adanya kepemimpinan nasional yang kuat.
10) Melakukan segala upaya untuk mengembalikan fungsi sektor perbankan sebagai
intermediasi.
11)Reformasi Konstitusi . Konstitusi merupakan sumber hukum bagi seluruh tata
penyelenggaran negara. Untuk menata kembali sistim hukum yang benar perlu diawali dari
penataan konstitusi yang oleh banyak kalangan masih banyak mengandung celah kelemahan.
Dengan langkah-langkah yang dapat ditawarkan tersebut diharapkan Indonesia akan dapat
memiliki good public governance sehingga akan berdampak bagi optimalisasi value kepada
seluruh pemangku kepentingan negara yakni pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat
Indonesia.

You might also like