You are on page 1of 6

Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan

pendekatan education function atau input-output analisys yang tidak dilaksanakan


secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi
sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan
dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang
dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input seperti pelatihan guru,
pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan
lainnya, dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Dalam
kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi. Mengapa? Karena selama
ini dalam menerapkan pendekatan educational production function terlalu memusatkan
pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal,
proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
Faktor kedua, penyelenggaran pendidikan nasional dilakukan secara birokratiksentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggaraan pendidikan
sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat
panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi
sekolah setempat. Sekolah lebih merupakan subordinasi birokrasi diatasnya sehingga
mereka kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas/inisiatif untuk
mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan
sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.
Faktor ketiga, peranserta warga sekolah khususnya guru dan pranserta masyarakat
khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat
minim. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, pada hal terjadi
atau tidaknya perubahan di sekolah sangat tergantung pada guru. Dikenalkan
pembaruan apapun jika guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi perubahan di
sekolah tersebut. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya sebatas pada
dukungan dana, sedang dukungan-dukungan lain seperti pemikiran, moral dan
barag/jasa kurang diperhatikan. Akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat juga lemah.
Sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggung jawabkan hasil pelaksnanaan
pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu unsur
utama yang berkepentingan dengan pendidikan (stakeholdir).
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut diatas, tentu saja perlu dilakukan upayaupaya perbaikan, salah satunya adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan
pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju
manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.
STRATEGI/UPAYA PENINGKATAN MUTU
1. Input Proses dan Output
Secara umum, mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau
jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang

diharapkan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mencakup
input, proses, dan output pendidikan.
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk
berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat
lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsunnya proses. Input
sumber daya meliputi sumberdaya manusia (kepala sekolah, guru termasuk guru BP,
karyawan, siswa) dan sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan,
dsb.). Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan perundangundangan, deskripsi tugas, rencana, program, dsb. Input harapan-harapan berupa visi,
misi, tujuan, dan sasaran- sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input
sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi
rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input. Makin tinggi tingkat
kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut.
Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain.
Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input sedangkan
sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala mikro (ditingkat
sekolah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses yang
dimaksud adalah proses pengembilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan,
proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan
evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi
dibanding dengan proses- proses lainnya.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta
pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan dsb) dilakukan secara
harmonis, sehingganya mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan
(enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar
mampu memberdayakan peserta didik. Kata memberdayakan mengandung arti bahwa
peserta didik tidak sekadar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akan
tetapi pengetahuan tersebut juga telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati,
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan lebih penting lagi peserta didik tersebut
mampu belajar secara terus menerus (mampu mengembangkan dirinya).
Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi
sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari
kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas
kehidupan kerjanya dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu output
sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan berkualitas/bermutu tinggi
jika prestasi sekolah, khusunya prestasi belajar siswa, menunjukkan pencapaian yang
tinggi dalam : (1) prestasi akademik, berupa nilai ulangan umum EBTA, EBTANAS,
karya ilmiah, lomba akademik, dan (2) prestasi non-akademik, seperti misalnya IMTAQ,
kejujuran, kesopanan, olah raga, kesnian, keterampilan kejujuran, dan kegiatankegiatan ektsrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan
kegiatan yang saling berhubungan (proses) seperti misalnya perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan.

2. MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH


Secara umum, pergeseran dimensi pendidikan dari manajemen berbasis pusat menjadi
manajemen berbasis sekolah. Secara lebih spesifik, pertanyaannya adalah: Fungsifungsi apa sajakah yang perlu didesentralisasikan ke sekolah? Pada dasarnya
Undang-undang Nomor 22 tentang Pemerintah Daerah (Otonomi Daerah) tahun 1999
beserta sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pedoman pelaksanan terutama
PP. No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah, Propinsi dan Kabupaten/Kota,
harus digunakan sebagai referensi /patokan. Dengan demikian , pendesentralisasian
fungsi-fungsi pendidikan tidak akan merubah peraturan perundang-undangan yang ada.
Namun demikian, sampai saat ini belum ada resep yang pasti tentang hal ini, karena
seperti kita ketahui, otonomi pendidikan sedang bergulir dan sedang mencari
formatnya, sehingga secara peraturan perundang-undangan (legal aspect) belum
dimiliki, tugas dan fungsi sekolah dalam era otonomi saat ini. Sementara. Menunggu
legal aspect yang akan diberlakukan kelak, fungsi-fungsi sekolah yang semula
dikerjakan oleh Pemerintah Pusat/Dinas Pendidikan Propinsi /Dinas Pendidikan
Kota/Kabupaten, sebagian dari fungsi dapat dilakukan oleh sekolah secara
professional. Artinya, suatu fungsi tidak dapat dilimpahkan sepenuhnya ke sekolah,
sebagian masih merupakan porsi kewenangan Pemerintah Pusat, sebagian porsi
kewenangan Dinas Propinsi, sebagian porsi kewenangan Dinas Kabupaten/Kota, dan
sebagian porsi lainnya yang dilimpahkan ke sekolah. Adapun fungsi-fungsi yang
sebagian porsinya dapat digarap oleh sekolah dalam kerangka MPMBS ini meliputi: (1)
proses belajar menagajar, (2) perencanaan dan evaluasi program sekolah, (3)
pengelolaan kurikulum, (4) pengelolaan ketenagaan, (5) pengelolaan peralatan dan
perlengkapan, (6) pengelolaan keuangan, (7) pelayanan siswa, (8) hubungan sekolahmasyarakat, dan (9) pengelolaan iklim sekolah.
1. Pengelolaan Proses belajar Mengajar
Proses belajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih
strategi, metode dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif,
sesuai dengan karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya
yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan
pengajaran yang berpusat pada siwa (student centered) lebih mampu memberdayakan
pembelajaran yang menekankan pada keaktifan belajar siswa, bukan pada keaktifan
mengajar guru. Oleh karena itu cara-cara belajar siswa aktif seperti misalnya active
learning, cooperative learning, dan quantum learning perlu diterapkan.
2. Perencanaan dan Evaluasi
Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan
kebutuhannya (school-based plan). Kebutuhan yang dimaksud misalnya, kebutuhan
untuk meningkatkan mutu sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis
kebutuhan mutu dan berdasarkan hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian
sekolah membuat rencana peningkatan mutu.

Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang


dilakukan secara internal. Evalusi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk
memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang
telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri
harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang
sebenarnya.
3. Pengelolaan Kurikulum
Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum standar yang
berlaku secara nasionl. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh
karena itu, dalam implementasinya, sekolah dapat mengembangkan (memperdalam,
memperkaya, dan memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang
berlaku secara nasional. Sekolah dibolehkan memperdalam kurikulum, artinya, apa
yang diajarkan boleh dipertajam dengan aplikasi yang bervariasi. Sekolah juga
dibolehkan memperkaya apa yang diajarkan, artinya apa yang diajarkan boleh diperluas
dari yang harus, dan seharusnya, dan yang dapat diajarkan. Demikian juga, sekolah
dibolehkan memodifikasi kurikulum, artinya apa yang diajarkan boleh dikembangkan
agar lebih kontekstual dan selaras dengan karakteristik peserta didik. Selain itu,
sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.
4. Pengelolaan Ketenagaan
Pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanan, rekrutmen,
pengembangan, hadiah dan sangsi (reward and punishment), hubungan kerja, sampai
evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dsb) dapat
dilakukan oleh sekolah kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan
rekrutmen guru pegawai negeri, yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi
diatasnya.
5. Pengelolan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari
pengadan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini
didasari oleh kenyataan bahwa sekolah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas,
baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat
erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
6. Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengelokasian/penggunaan uang sudah
sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa
sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya sehingga desentralisasi
pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpihkan ke sekolah. Sekolah
juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan

penghasilan (income generating activities), sehingga sumber keuangan tidak sematamata tergantung pada pemerintah.
7. Pelayanan Siswa
Pelayanan siswa, mulai dari peneriman siswa baru, pengembangan/pembinaan/
pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia
kerja, hingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah
didesentralisasikan. Karene itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan
ekstensitasnya.
8. Hubungan Sekolah Masyarakat
Esensi hubungan sekolah-masyrakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan,
kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan
finasial. Dalam arti yang sebenarnya hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah
didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan
intensitas dan ekstesitas hubungan sekolah-masyarakat.
9. Pengelolaan Iklim Sekolah
Iklim sekolah (fisik dan non fidik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi
terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman
dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah,
kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered
activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat
belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewengan sekolah, sehingga yang
diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstentif.
. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS )
o MBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui
pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang
lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan
mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Lebih rincinya, MBS bertujuan untuk :
o Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibelitas,
partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, sustainbilitas, dan inisiatif
sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya
yang tersedia.
o Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
o Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan
pemerintah tentang mutu sekolahnya, dan
o Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang
akan dicapai.

UUSPN pasal 54 ayat 2 menyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam


pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi,
pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu pelayanan pendidikan. Peran serta tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk
pendidikan berbasis masyarakat sehingga pendidikan tetap memiliki keterkaitan dengan
kondisi dan tuntutan masyarakat. Sementara untuk mewadahi peran serta masyarakat
dibentuklah satu institusi yang bersifat independendengan dewan pendidikan di tingkat
kabupaten/kota, sementara untuk tingkat persekolahan dikenal dengan istilah komite
sekolah.Peran serta masyarakat yang berbentuk yayasan nirlaba telah bias dilihat
dengan nyata dalam ikut serta menyelenggarakan pendidikan baik di tingkat dasar,
menengah, maupun pendidikantinggi. Suyanto (2000) menyatakan saat ini paling tidak
yayasan-yayasan pendidikan yang ada dalam masyarakat telah mampu mendirikan
sekolah dasar swasta sebanyak 10.120, SLTP, SMA, dan SMK sebanyak 57.554.
Menurut Arif Rahman rendahnya mutu pendidikan di Indonesia disebabkan oleh 9 faktor yaitu
1.

Keberhasilan pendidikan diukur dari ranah kognitif.

2.
Model evaluasi yang digunakan selama ini hanya mengukur kemampuan berfikir yang
konvergen.
3.

Proses pendidikan berubah menjadi proses pengajaran.

4.

Kemampuan menguasai materi tidak disertai dengan pembinaan kegemaran belajar.

5.

Gelar menjadi target pendidikan.

6.

Materi pendidikan dan buku pelajaran ditulis dengan cara dan metode yang monoton.

7.

Profesi guru yang terkesan menjadi profesi ilmiah.

8.

Upaya pemerataan pendidikan tidak disertai dengan sarana dan prasarana yang memadai.

9.
Manajemen pendidikan yang menekankan pada tanggung jawab penyelenggara pendidikan
kepada pemerintah bukan pada stakeholder.

You might also like