You are on page 1of 19

PENDAHULUAN

Kulit dengan fungsinya sebagai pertahanan tubuh merupakan salah satu


bagian yang paling sering terpapar lingkungan. Sebagian besar paparan dianggap
tidak membahayakan dan biasanya tidak menimbulkan reaksi dan manifestasi
klinis. Namun dalam beberapa keadaan, reaksi sensitisasi dapat timbul dan
menampakkan gejala peradangan dan menimbulkan keluhan pada pasien.(1,2)
Dermatitis kontak merupakan inflamasi non-infeksi pada kulit akibat adanya
kontak senyawa pada kulit yang terpapar. Ciri umum dari dermatitis kontak ini
adalah adanya tanda peradangan berupa eritema, edema, papul, vesikel, dan
krusta.(3) Terdapat dua jenis dermatitis kontak, yaitu Dermatitis Kontak Iritan dan
Dermatitis Kontak Alergika. Dermatitis Kontak Iritan (DKI) adalah reaksi
inflamasi pada kulit akibat terpapar oleh bahan iritan yang dapat menimbulkan
reaksi yang sama pada sebagian besar individu bila terpapar zat yang sama.
Dermatitis Kontak Alergika (DKA) merupakan reaksi inflamasi pada kulit yang
dialami oleh sebagian orang dengan kecenderungan hipersensitivitas

akibat

terpapar oleh zat alergen sebelumnya.(2)


Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih sedikit, karena
hanya mengenai individu yang hipersensitif. Diramalkan bahwa jumlah DKA dan
DKI makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang
mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. (4)
Dermatitis kontak alergika merupakan salah satu penyakit kulit yang sering
dijumpai dan diperkirakan 15-20% dari populasi di dunia menderita DKA. Dahulu
diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan DKA 20%.
Namun data terbaru menunjukkan Dermatitis kontak akibat kerja karena alergi
ternyata cukup tinggi, yaitu sekitar 50 hingga 60 persen. (4)
Proses inflamasi terjadi ketika alergen mengalami kontak dengan kulit yang
sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen tertentu. (5) Reaksi inflamasi yang
ditimbulkan merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV dan merupakan reaksi tipe
lambat dimana pasien mulai mengeluhkan gejala setelah terpapar berulang dengan
bahan alergen.(3)

Prevalensi DKA pada orang dewasa diperkirakan berkisar antara 26-40%


dan pada anak-anak 21-36%. (6) Angka kejadian DKA meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. (4) Prevalensi DKA lebih rendah pada anak-anak dipengaruhi
oleh paparan alergen yang lebih sedikit dibandingkan dengan orang dewasa.

(3)

Individu yang lebih muda (18 sampai 25 tahun) memiliki onset lebih cepat dan
resolusi cepat terhadap suatu dermatitis dibandingkan orang yang lebih tua.
Insidensi DKA pada usia lebih dari 70 tahun lebih rendah dibandingkan dengan
usia yang lebih muda. Angka kejadian dermatitis kontak alergika dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti usia, jenis kelamin, etnik dan pekerjaan (6)

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Dermatitis Kontak Alergika (DKA) adalah inflamasi pada kulit melalui
mekanisme imunologik (reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang disebabkan oleh
paparan alergen spesifik (hapten) pada kulit yang telah tersensitisasi sebelumnya.
(1)

Epidemiologi
Prevalensi penyakit DKA di Amerika Serikat terhitung sebesar 7% dari total
penyakit yang terkait dengan pekerjaan.(6) Berdasarkan beberapa studi yang
dilakukan, insiden dan tingkat prevalensi DKA dipengaruhi oleh alergen-alergen
tertentu. Poison ivy, pohon ek, nikel, Balsam of Peru (Myroxylon pereirae),
neomisin, wangi-wangian, thimerosal, emas, formaldehid, basitrasin, dan karet
merupakan alergen penyebab DKA yang paling sering dijumpai. Angka kejadian

dermatitis kontak alergika dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia, jenis
kelamin, etnik dan pekerjaan.(2)
Individu yang lebih muda (18 sampai 25 tahun) memiliki onset dan resolusi
yang lebih cepat terhadap dermatitis dibandingkan dengan yang lebih tua. Secara
klinis, pada individu yang berusia diatas 65 tahun, gejala timbul lebih lama dan
waktu untuk perbaikan yang dibutuhkan juga lebih lama. Prevalensi kejadian
DKA pada usia tua juga lebih rendah dibandingkan usia muda.
Perempuan memiliki kecenderungan untuk alergi terhadap 7 dari 10 alergen
yang diujikan dalam tes tempel. Dalam uji dengan membandingkan potensi
alergen, sebagian besar perempuan juga sensitif terhadap alergen lemah. Tangan
dan wajah merupakan area yang sering terkena peradangan, dikarenakan kedua
area ini merupakan area yang sering terpapar ke lingkungan.(1)
Etiologi
Dermatitis kontak alergika merupakan inflamasi pada kulit yang terjadi
melalui mekanisme imunologik tipe lambat (reaksi hipersensitivitas tipe IV),
disebabkan oleh adanya paparan alergen spesifik (hapten) pada kulit yang telah
tersensitisasi sebelumnya. (5,6,7)
Sebagian besar senyawa yang menginduksi reaksi hipersensitivitas
merupakan senyawa dengan berat molekul < 500 Dalton. Hapten baru dapat
menginduksi sel imun ketika berinteraksi dengan protein sel kulit. (5) Terdapat lebih
dari 3700 alergen yang dilaporkan dapat memicu reaksi DKA.

(3,10)

Beberapa

diantaranya yang sering ditemukan adalah bahan pewangi, bahan sintetis pada
pakaian, kosmetik, perhiasan, karet, bunga, antioksidan, produk perawatan
rambut, obat topikal dan sebagainya.
Patogenesis
Fungsi kulit sebagai pelindung adalah sebagai penghambat terpaparnya
alergen ke tubuh. Pertahanan awal kulit dibentuk oleh stratum korneum yang
merupakan lapisan teratas epidermis. Pada epidermis, Fillagrin (FLG) yang
merupakan hasil diferensiasi terakhir proteinmemiliki peran yang sangat penting
dalam fungsi perlindungan. Dilaporkan bahwa kehilangan fungsi dari varian FLG
menyebabkan hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan merupakan predisposisi

terjadinya dermatitis atopi. Mutasi FLG juga dapat meningkatkan kerentanan


terhadap hapten.(5) DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang
diperantarai imunitas seluler (hipersensitivitas tipe 4). (6,7,8)
Patogenesis DKA diklasifikasikan menjadi 2 bagian, yaitu fase induksi (fase
sensitisasi atau fase aferen) dan fase elisitasi (fase eferen).

Fase sensitisasi

dimulai pada saat kulit penderita pertama kalinya terpapar dengan alergen kontak
sampai pada saat penderita tersensitisasi, artinya jika terjadi paparan ulang
terhadap alergen yang sama akan dapat memicu terjadinya reaksi DKA. Fase
efektor dimulai dari paparan ulang alergen kontak yang sama sampai waktu
terjadinya manifestasi klinik DKA, seperti eritema, edema dan munculnya vesikel.
Reaksi inflamasi yang timbul pada DKA dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
frekuensi dan durasi paparan alergen.(3,5,8)
Tahapan imunopatologi pada DKA meliputi : (3,5,8)
a. Fase Aferen (Fase Sensitisasi)
Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan
ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara
kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLADR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam keadaan
istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit menstimulasi sel
T, tetapi setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga mempunyai sifat
alergen maka akan dilepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan sel
Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut mengubah
fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu (misalnya IL-1)
serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC I dan MHC II, ICAM-1,
LFA-3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu
TNF yang dapat mengaktivasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi
perubahan molekul adesi sel dan pelepasan sitokin ini juga meningkatkan MHC I
dan MHC II.
TNF menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada
epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel
Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening
setempat melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans

mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada sel T penolong spesifik,


yaitu yang mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel
Langerhans, dan kompleks reseptor sel T-CD3 yang mengenali antigen yang telah
diproses. Ada atau tidak adanya sel T spesifik ini ditentukan secara genetik.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk
mengekspresi reseptot IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi sel
T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel T memori (sel
T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar di seluruh
tubuh. Pada saat tersebut individu dikatakan telah tersensitisasi.
Sinyal antegenik murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi
sedangkan sinyal iritannya menimbulkan sensitisasi, dengan demikian terjadinya
sensitisasi kontak tergantung pada adaya sinyal iritan yang dapat berasal dari
alergen kontak sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respon iritan,
dari bahan kimia inflamasi pada kulit yang meradang atau kombinasi ketiganya.
Maka suatu tindakan yang ditujukan utuk mengurangi iritasi akan menurunkan
potensi sensitisasi.

b. Fase Eferen (Fase Elisitasi)


Fase elisitasi pada hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan ulang
alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel
Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, kemudian diikat oleh
HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel. Selanjutnya kompleks HLADR-antigen akan dipresentasikan kepada sel T yang telah tersensitisasi (sel T
memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk memproduksi IL2 dan mengekspresi IL-2R yang akan menyebabkan proliferasi dan ekspansi sel T
di kulit.
Sel T teraktivasi juga mengeluarkan IFN yang akan mengaktifkan
keratinosit

mengekspresi

ICAM-1

dan

HLA-DR.

Adanya

ICAM-1

memungkinkan keratinosit berinteraksi dengan sel T dan leukosit yang akan


megekspresi LFA-1. Sedangkan HLA-DR memungkinkan keratinosit berinteraksi

langsung dengan sel T CD4+ dan memungkinkan presentasi antigen kepada sel
tersebut. HLA-DR juga dapat merupakan target sel T sitotoksik pada keratinosit.
Keratinosit juga menghasilkan sejumlah sitokin seperti IL-1, IL-6, TNF dan
GMCSF yang semuanya dapat mengaktivasi sel T. IL-1 dapat menstimulasi
keratinosit menghasilkan eikosanoid.
Sitokin dan eikosanoid ini akan mengaktifkan sel mast dan makrofag. Sel
mast yang berada di dekat pembuluh darah dermis akan melepaskan antara lain
histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan PGD2, dan leukotrien B4
(LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari sel mast (prostaglandin) maupun dari
keratinosit atau leukosit menyebabkan dilatasi vaskular dan meningkatnya
permeabilitas shingga molekul larut seperti komplemen dan kinin mudah berdifusi
ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan eikosanoid akan
menarik neutrofil, monosit dan sel darah yang lain dari pembuluh darah ke dalam
dermis. Proses ini akan menimbulkan manifestasi klinik DKA.

Gambar Imunopatogenesis Dermatitis Kontak Alergika


Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.

a. Anamnesis
Ada beberapa yang harus diperhatikan pada anamnesis berkaitan dengan
kasus DKA, yaitu adanya keluhan gatal pada kulit, riwayat paparan terhadap
bahan alergen sebelumnya, munculnya keluhan pada kulit terjadi setelah paparan
terhadap alergen yang sama, mulai muncul 48-96 jam setelah paparan ulang, dan
sering berulang selama beberapa tahun.

(2)

Selain hal tersebut, ada beberapa hal

yang juga perlu diketahui dari anamnesis yaitu data demografi pasien termasuk
umur, ras, pekerjaan dan hobi, adanya kecenderungan terpapar bbahan alergen,
lokasi tempat tinggal, riwayat penyakit dahulu dan pengobatan dan riwayat
penyakit keluarga, alergi obat, serta riwayat pengobatan dan operasi sebelumnya.
(1,4,8)

b. Pemeriksaan Fisik
Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan efloresensi DKA polimorf, batas tegas,
dimana alergen kuat selalu menyebabkan pembentukan vesikel, sedangkan
alergen yang lemah ditandai dengan adanya papula. Pada fase akut ditandai
dengan gejala pruritus, edema, makula eritematous batas tegas dan vesikel
hanya pada area terpapar (lokalisata). Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan
erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di tempat tertentu, misalnya kelopak mata,
penis, skrotum, eritema lebih dominan dibandingkan vesikel.
Lesi subakut dapat berupa : eritema, papula, dan skuama. Bila kontak
dengan alergen berulang, maka dapat ditemukan gejala dan tanda DKA kronik,
berupa plak eritematosa batas tidak tegas, pada permukaan lesi bisa didapatkan
skuama, fissura, likenifikasi; dan lesi dapat meluas melewati area yang terpapar
(diseminata). Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis
dan diperkirakan penyebabnya juga campuran. DKA dapat meluas ke tempat lain,
misalnya dengan cara autosensitisasi. Kulit kepala, telapak tangan, dan kaki relatif
resisten terhadap DKA. (1,2,4)
Tabel 1. Regio predileksi tersering timbulnya Dermatitis Kontak Alergika
Regio
Kepala dan Leher

Penyebab
Rambut, sampo, spray rambut, zat perawatan rambut

Telinga

lainnya, bahan pencukur jenggot, alergen di udara


Neomisin, pewangi, nikel, logam

Mata
Mulut dan bibir

Maskara, bulu mata palsu, pewangi, sponge bedak


Pasta gigi, permen karet, pewangi, pewarna bibir (lipstick),

Badan

obat, getah buah


Baju (bahan poliester, wol, serat sintetis lainnya), besi dalam
pakaian dalam wanita, ikat pinggang, karet celana, nikel,
perhiasan tindik, kancing logam, deterjen, bahan pelembut

Ketiak
Tangan

atau pengharum.
Deodoran, formaldehid
Perhiasan, jam tangan, bunga dan serbuk sari, poison ivy,
sarung tangan berbahan karet, bahan kosmetik, bahan

Genital

perawatan rambut
Pewarna pakaian, kondom, obat suppositoria, pewangi,

pembalut wanita.
Kaki
Kaos kaki, sepatu, obat topikal
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sebagai Gold Standard untuk menegakkan diagnosa
DKA adalah uji tempel (patch test).

(8,10)

Uji tempel (patch test) dengan

menggunakan bahan standar atau bahan yang dicurigai menyebabkan timbulnya


DKA. Adapun indikasi dilakukannya uji tempel yaitu pada kasus dermatitis yang
bersifat kronik dan/atau adanya gatal yang selalu berulang, adanya likenifikasi,
dan pada kecurigaan adanya DKA sebagai penyebab atau komplikasi dari keluhan
tersebut.

Sedangkan

kontraindikasi

uji

tempel

yaitu

imunodefisiensi,

mengkonsumsi obat-obatan yang menekan respon imun dan penyakit autoimun. (9)
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk
melakukan uji tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan pabrik,
misalnya Finn Chamber System Kit. Bahan yang secara rutin dan dibiarkan
menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila digunakan sebagai uji
tempel, dapat langsung digunakan dan ditempelkan apa adanya. Bila
menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air untuk membilasnya,
misalnya sampo, pasta gigi, maka bahan ini dicampur harus diencerkan terlebih
dahulu.

Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam

vaselin atau minyak mineral.


Konsentrasi zat alergen pada uji tempel sangat berpengaruh terhadap
interpretasi hasil uji tempel karena konsentrasi yang terlalu rendah dapat

menimbulkan hasil negatif palsu, sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi dapat
menimbulkan hasil positif palsu.(2) Pembacaan dan interpretasi hasil uji tempel
dilakukan setelah 24 jam, 72 jam dan setelah 7 hari.(8,9,11) Pembacaan pada hari ke 7
dapat membantu menilai hasil positif yang muncul lebih lambat (lebih dari 4 hari)
yang pada pemeriksaan 24 jam serta 72 jam bernilai negatif, missal untuk zat
allergen seperti neomisin, tixocortol pivalate dan nikel.(9)
Tatalaksana
Tatalaksana medikamentosa Dermatitis Kontak Alergika (DKA) adalah
sebagai berikut:
1. Topikal
a. Lesi basah (madidans) : kompresi terbuka (2-3 lapis kain) dengan
NaCl 0,9 %
b. Lesi kering : kortikosteroid potensi sesuai derajat inflamasi.
2. Sistemik
a. Kortikosteroid, digunakan dalam waktu singkat :
Prednison, 5-10 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam
Metil Prednisolon, 4, 8, 16 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam
Deksametason, 0,5-1 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam
Triamsinolon, 4, 8, 16 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam
b. Antihistamin
c. Antibiotik: bila ada super-infeksi bakteri
Adapun tatalaksana non-medikamentosa pada pasien Dermatitis Kontak
Alergika adalah menghindari terjadinya paparan dengan alergen.

LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama

: Tn. N

Umur

: 45 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Pegawai swasta

Suku

: Aceh

Agama

: Islam

Alamat

: Seulimun

No. RM

: 1-03-50-84

Tanggal Pemeriksaan : 05 Januari 2015


Anamnesis
a. Keluhan utama
Rasa gatal di kedua kaki
b. Keluhan tambahan
Kulit kemerahan, kering dan tampak luka pada kedua kaki
c. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan rasa gatal pada kedua kaki. Keluhan ini sudah
dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya timbul kemerahan dan gatal pada
kedua kaki, khususnya di punggung kaki. Akibat rasa gata tersebut ia lalu
menyiram kakinya dengan air hangat, kemudian beberapa hari kemudian timbul
keropeng disertai luka pada kulit, terutama disekitar tempat paparan karet pada
punggung kaki dekat sela jari, dan membentuk huruf V. Rasa gatal dialami terus
menerus dan disertai dengan kulit yang mengering. Menurut pengakuannya,
keluhan muncul setelah menggunakan sandal dari bahan karet. Ia menggunakan
salap dari puskesmas dan menggunakan obat kampung. Keluhan semakin
memberat jika ia menggunakan sandal karet secara terus-menerus dan berkurang
10

dengan mengganti sandal dengan bahan yang lain, namun saat ke Poli Kulit
RSUDZA, pasien masih menggunakan sandal karet.
d. Riwayat penggunaan obat
Pasien sebelumnya sering menggunakan obat-obatan tradisional yang
terbuat dari daun-daunan dan salap yang didapat dari puskesmas.
e. Riwayat penyakit dahulu
Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan yang sama. Riwayat
alergi dan riwayat penyakit kulit lainnya disangkal.
f. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama. Riwayat
atopi keluarga disangkal.
g. Riwayat kebiasaan sosial
Pasien bekerja sebagai seorang pegawai swasta yang sehari-hari
menggunakan sandal karet.
Pemeriksaan Tanda Vital
Status Generalisata
Keadaan umum

: Baik

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda vital
Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Laju nadi

: 84 kali/menit

Laju pernapasan

: 18 kali/menit

Suhu tubuh

: 36,8oC

Pemeriksaan Fisik
Status Fisik Kulit:
-

Regio

: Dorsum pedis dextra et sinistra

Efluoresensi

: Tampak patch eritematous berbatas tegas, tepi ireguler,

11

dengan skuama tipis, erosi dan ekskoriasi diatasnya,


jumlah multipel, ukuran plakat, distribusi regional.

Diagnosis Banding
1. Dermatitis kontak alergika ec. Sandal karet
2. Dermatitis kontak iritan
3. Tinea pedis
4. Dermatitis atopik
5. Psoriasis vulgaris
Planning Diagnosis

12

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah


sebagai berikut:

Patch Test

Prick Test

White Dermographisme

Pemeriksaan Kaarsvlek phenomenon

Pemeriksaan Auspitz Sign

Pemeriksaan Koebner phenomenon

Pemeriksaan KOH

Resume
Pasien laki-laki, 45 tahun, datang dengan keluhan rasa gatal pada kedua
kaki. Awalnya timbul merah pada kedua kaki, lalu pasien menyiram kakinya
dengan air hangat dan sekarang timbul keropeng pada kulit. Pemeriksaan fisik
didapatkan pada regio pedis dextra et sinistra tampak patch eritematous berbatas
tegas, tepi ireguler, terdapat skuama dan ekskoriasi diatasnya, jumlah multipel,
ukuran plakat, distribusi regional.
Diagnosis Klinis
Dermatitis Kontak Alergika e.c sandal karet
Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan pada pasien DKA adalah mengobati gejala dan
menghindari paparan dengan alergen.
a. Farmakologis
Sistemik:

Metil Prednisolon 8 mg 3 kali sehari


Cetirizin 10 mg 2 kali sehari

Topikal:

Gentamisin cream

b. Edukasi
1. Hindari kontak dengan sandal dari bahan karet yang dapat memicu rasa
gatal berulang pada kulit.

13

2. Hindari menggaruk pada daerah yang gatal terlalu kuat.


3. Penggunaan obat sesuai dengan instruksi dokter

Prognosis
Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam


Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

14

Diskusi Kasus
Telah diperiksa seorang laki-laki usia 45 tahun di poliklinik kulit dan
kelamin RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada tanggal 5 Januari 2015
dengan keluhan rasa gatal pada kedua kaki. Awalnya timbul merah pada kedua
kaki, lalu pasien menyiram kakinya dengan air hangat, kemudian timbul keropeng
pada kulit. Pasien didiagnosa dengan dermatitis kontak alergika ec. sandal karet.
Pada anamnesis diketahui usia pasien saat ini adalah 45 tahun. Sesuai
dengan teori, bahwa prevalensi kasus DKA lebih banyak ditemukan pada usia
dewasa (26-40%) dibandingkan dengan usia anak-anak (21-36%).

(7)

Prevalensi

DKA lebih rendah pada anak-anak dipengaruhi oleh paparan alergen yang lebih
sedikit dibandingkan dengan orang dewasa. (3)
Pada anamnesis pasien mengaku keluhan saat ini diawali dengan adanya
riwayat kontak berulang dengan sandal karet. Pasien sehari-harinya menggunakan
sandal berbahan karet, namun keluhan baru dirasakan memberat dalam 1 bulan
terakhir. Sesuai dengan teori bahwa dermatitis akibat sandal atau sepatu, paling
sering diakibatkan oleh alergen yang berasal dari bahan karet, kulit, formaldehid,
zat pewarna, dimetil fumarat, dan preparat tar.(2)
Pada anamnesis didapatkan keluhan memberat jika pasien tetap
menggunakan sandal karet tersebut. Keluhan utama berupa rasa gatal disertai
kemerahan pada kulit yang kemudian meluas dan terbentuk luka akibat garukan
serta kulit menjadi kehitaman dan kering. Sesuai dengan teori bahwa pada pasien
dengan DKA keluhan gatal dan lesi kulit muncul setelah terjadinya paparan
berulang terhadap zat yang bersifat alergen sebagai akibat dari reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. (1,5)
Pemeriksaan fisik pada regio pedis dextra et sinistra tampak patch
eritematous berbatas tegas, tepi ireguler, terdapat skuama dan ekskoriasi
diatasnya, jumlah multiple, distribusi regional. Sesuai dengan teori bahwa DKA
akibat kontak dengan sepatu ataupun sandal biasanya terletak pada bagian dorsal
pedis, disekitar jari kaki, dan sifatnya lokal. Pada fase akut ditandai dengan gejala

15

pruritus, edema, makula eritematous batas tegas dan vesikel hanya pada area
terpapar (lokalisata), namun lama kelamaan berkembang menjadi lesi subakut
berupa makula eritematous, papula, dan skuama dan bila kontak dengan alergen
terus berulang, maka dapat ditemukan gejala dan tanda DKA kronik, berupa plak
eritematosa atau hiperpigmentasi batas tidak tegas, pada permukaan lesi bisa
didapatkan skuama, fisura, likenifikasi; dan lesi dapat meluas melewati area yang
terpapar. Terdapatnya kulit yang sehat disekitar daerah lesi, biasanya diantara jari
kaki menandakan bahwa pada kulit yang tidak terpapar dengan alergen tidak
terdapat adanya reaksi hipersensitivitas.

(1,2,3)

Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan


penunjang sebagai Gold Standard untuk menegakkan diagnosa DKA adalah uji
tempel (patch test).

(8,10)

Uji tempel (patch test) dengan menggunakan bahan

standar atau bahan yang kemungkinan menyebabkan timbulnya DKA. Adapun


indikasi dilakukannya uji tempel yaitu pada kasus dermatitis yang bersifat kronik
dan/atau adanya gatal yang selalu berulang, adanya likenifikasi, dan pada
kecurigaan adanya DKA sebagai penyebab atau komplikasi dari keluhan tersebut.
Sedangkan kontraindikasi uji tempel yaitu imunodefisiensi, mengkonsumsi obatobatan yang menekan respon imun dan penyakit autoimun. (9)
Pasien mendapatkan terapi sistemik berupa antihistamin oral yaitu
Cetirizin, sesuai dengan teori bahwa pada pasien DKA diberikan oral antihistamin
untuk mengurangi dan mengontrol rasa gatal. Selain itu pasien mendapatkan
terapi

kortikosteroid

oral

yaitu

metilprednisolon.

Menurut

teori

terapi

krotikosteroid oral hanya diberikan pada DKA akut sedang-berat dan DKA yang
tidak berespon dengan topikal kortikosteroid. Pada pasien juga diberikan
Gentamisin cream. Sesuai dengan teori bahwa pada pasien DKA diberikan
kortikosteroid topikal dan dapat dikombinasikan dengan antibiotik jika dicurigai
terjadi infeksi atau berpotensi terjadi infeksi.(1,3,4)

16

Diagnosis
Dermatitis

Bentuk Lesi

Gambaran Lesi
Lesi polimorf, batas tegas, dimana
alergen kuat selalu menyebabkan
pembentukan vesikel, sedangkan
alergen yang lemah ditandai dengan
adanya papula. Fase akut ditandai
dengn pruritus,
edema, makula
eritematous batas tegas dan vesikel
hanya pada area terpapar. Lesi
subakut berupa : eritema, papula, dan
skuama, fissura, likenifikasi; dan lesi
dapat meluas melewati area yang
terpapar
Lesi tergantung dari sifat iritan,
dimana iritan kuat berupa gejala akut,
iritan lemah memberi gejala kronis.
Lesi dapat berupa eritema, edema,
berbatas tegas sesuai bahan penyebab,
vesikulasi, eksudasi, bula dan nekrosis
jaringan.

Kontak
Alergika

Dermatitis
Kontak
Iritan

Tinea

Patch atau plak eritematous dijumpai


skuama, umunya bagian tepi lebih
aktif kadang dapat disertai erosi dan
juga dapat mengenai bagian plantar
pedis

Pedis

17

Psoriasis

Tampak plak eritamatous dengan


skuama tebal dan berbatas tegas.
Biasanya lesi muncul pada tempat
yang sering terkena trauma. Juga
dapat disertai oleh keluhan pada sendi
dan kuku

Vulgaris

Dermatitis

Lokasi lesi biasanya di lipatan siku,


lutut, samping leher, dahi, sekitar
mata. Lesi kering, agak timbul, papul
datar cenderung berkonfluens menjadi
plak likenifikasi dan sedikit skuama.
Bisa didapati ekskoriasi dan eksudasi
akibat garukan dan akhirnya menjadi
hiperpigmentasi

Atopik

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Wolf, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell,
D.J. 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. USA : The
McGraw-Hill Companies.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2011. Andrews Diseases of The
Skin Clinical Dermatology. USA : Elsevier
3. Afifah, A. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya
Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Karyawan Binatu. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro
4. FKUI
5. Honda, T., Egawa, G., Grabbe, S., Kabashima K. 2013. Update of Immune
Events in the Murine Contact Hypersensitivity Model : Toward the
Understanding of Allergic Contact Dermatitis. Journal of Investigative
Dermatology; 133. p.303-315
6. Spiewak, R. 2008. Patch Testing for Contact Allergy and Allergic Contact
Dermatitis. The Open Allergy Journal; 1, p.42-51
7. Marks, J.G., Elsner, P., Deleo, V.A. 2002. Contact and Occupational
Dermatology. USA : Mosby.
8. Burns, T., Breathnach, S., Cox, N., Griffith, C. 2010. Rooks Textbook of
Dermatology. USA : Wiley-Blackwell.
9. Liu, B., Escalera, J., Balakrishna, S., Fan, L., Caceres, A.I, Robinson, E.
2013. TRPA1 Controls Inflammation and Pruritogen Responses in Allergic
Contact Dermatitis. The Faseb Journal; 27
10. Bourke, J., Coulson, I., English, J. 2009. Guidelines for The Management
of Contact Dermatitis: An Update. British Journal of Dermatology; 160

19

You might also like