Professional Documents
Culture Documents
kesehatan yang kompeten atau dirujuk/dikirim ke rumah sakit sesuai dengan tingkat
pelayanan yang lebih prima.
12. Dalam pelayanan atau upaya kesehatan terjadi sesuatu yang menimbulkan sengketa
atau tuntutan pasien dan keluarganya harus diselesaikan secara komunikasi yang
sehat, secara kemanusiaan dan berdasarkan rambu-rambu aturan hukum kesehatan.
Jangan menerapkan Undang-Undang diluar Undang-Undang Hukum Kesehatan.
Dengan menerapkan rambu-rambu tersebut (no.1-12) tenaga kesehatan berusaha atau
dapat terhindar dari unsur-unsur malpraktek atau secara khusus disebut malpraktek.
II. Bekerja Sesuai Standar Profesi
Pada pasal 2 kodeki, disebutkan bahwa, Seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. yang dimaksud
dengan ukuran tertinggi dalam melakukan profesi kedokteran adalah yang sesuai dengan ilmu
kedokteran mutakhir, sarana yang tersedia, kemampuan pasien, etika umum, etika
kedokteran, hukum dan agama. ilmu kedokteran yang menyangkut segala pengetahuan dan
keterampilan yang telah diajarkan dan dimiliki harus dipelihara dan dipupuk, sesuai dengn
fitrah dan kemampuan dokter tersebut. Etika umum dan etika kedokteran harus diamalkan
dalam melaksanakan profesi secara tulus ikhlas, jujur dan rasa cinta terhadap sesama
manusia, serta penampilan tingkah laku, tutur kata dan berbagai sifat lain yang terpuji,
seimbang dengan martabat jabatan dokter. Standar Profesi Kedokteran yang diterbitkan oleh
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yaitu :
1. Standar keterampilan
a. Keterampilan kedaruratan medik; merupakan sikap yang diambil oleh seorang dokter
dalam menjalankan profesinya dengan sarana yang sesuai dengan standar ditempat
prakteknya. Bilamana tindakan yang dilakukan tidak berhasil, penderitan perlu
dirujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap.
b. Keterampilan umum; meliputi penanggulangan terhadap berbagai penyakit yang
tercantum dalam kurikulum inti pendidikan dokter Indonesia.
2. Standar sarana; meliputi segala sarana yang diperlukan untuk berhasilnya profesi dokter
dalam melayani penderita dan pada dasarnya dibagi 2 bagian, yakni :
a. Sarana Medis; meliputi sarana alat-alat medis dan obat-obatan.
b. Sarana Non Medis; meliputi tempat dan peralatan lainnya yang diperlukan oleh
seorang dokter dalam menjalankan profesinya.
3. Standar perilaku; yang didasarkan pada sumpah
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
ruang praktek atau disaksikan oleh perawat, kecuali bila dokternya wanita.
i. Dokter tidak boleh melakukan perzinahan didalam ruang praktek, melakukan abortus,
kecanduan dan alkoholisme.
4. Standar catatan medik
Pada semua penderita sebaiknya dibuat catatan medik yang didalamnya dicantumkan
identitas penderita, alamat, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, terapi dan obat yang
menimbulkan alergi terhadap pasien.
teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum
penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus
lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien. Suatu informed consent harus
meliputi :
1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan
penyakitnya
2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa
besar kemungkinan keberhasilannya
3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat
apabila penyakit tidak diobati
4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi
5. Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi
dalam penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang
dilakukan.
Sehingga persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan sebagai
berikut :
1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis
tertentu (masih berupa upaya percobaan).
2. Deskripsi tentang efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tidak diinginkan yang
mungkin timbul.
3. Deskripsi tentang keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi untuk pasien.
4. Penjelasan tentang perkiraan lamanya prosedur atau terapi atau tindakan berlangsung.
5. Deskripsi tentang hak pasien untuk menarik kembali consent tanpa adanya prasangka
mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya.
6. Prognosis tentang kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis tersebut.
Pada hakikatnya informed consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan
pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap
pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun
sesungguhnya sudah cukup. Penandatanganan formulir informed consent secara
tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya.
Dalam keadaan gawat darurat informed consent tetap merupakan hal yang paling
penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah
tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun informed consent tidak
boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam
keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk
menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta
memberikan keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu
kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak
menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus
melakukan
tindakan
medik.
Hal
ini
dijabarkan
dalam
PerMenKes
Nomor
informed consent
khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum
diberbagai negaramenyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan
kelalaian atau keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent
tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku
tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara dengan
kesengajaan adalah sebagai berikut :
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi dokter tetap
melakukan tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan akibat dari
tindakan medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis yang
diambilnya.
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara substansial
dengan yang dilakukan oleh dokter
(medikolegal). Bila mana rekam medis tidak lengkap dan tidak benar maka
3.
kemungkinan akan merugikan bagi pasien, rumah sakit maupun dokter sendiri.
Ketiga dapat dipergunakan untuk meneliti medik maupun administratif.
Personil rekam medis hanya dapat mempergunakan data yang diberikan
kepadanya. Bilamana diagnosanya tidak benar dan tidak lengkap maka kode
penyakitnyapun tidak tepat, sehingga indeks penyakit mencerminkan
kekurangan. Hal ini berakibat riset akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu
data statistik dan laporan hanya dapat secermat informasi dasar yang benar.
mencakup hasil tes dan semua pemeriksaaan pada saat prenatal sampai masuk rumah
sakit Jalannya persalinan dan kelahirannya sejak pasien masuk rumah sakit, juga
harus dicatat secara lengkap.
9. Catatan perawat dan catatan prenatal rumah sakityang lain tentang Observasi &
Pengobatan
tangan.
yang diberikan harus lengkap catatan ini harus diberi cap dan tanda
10. Resume telah ditulis pada saat pasien pulang Resume harus berisi ringkasan tentang
penemuan, dan kejadian penting selama pasien dirawat, keadaan waktu pulang saran
dan rencana pengobatan selanjutnya.
11. Bila otopsi dilakukan, diagnosa sementara / diagnosa anatomi, dicatat segera ( dalam
waktu kurang dari 72 jam ) : keterangan yang lengkap harus dibuat dan digabungkan
dengan rekam medis.
12. Analisa kualitatif oleh personel medis untuk mengevaluasi kualitas pencatatan yang
dilakukan oleh dokter untuk mengevaluasi mutu pelayanan medik Pertanggung
jawaban untuk mengevaluasi mutu pelayanan medik terletak pada dokter
yang
bertanggung jawab.
kesehatan.
(6) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
emergency, dokter berhak melakukan upaya penyelamatan nyawa pasien terlebih dahulu.
Rekam Medis harus diberi
mengetahui bagaimana pengobatan dan perawatan kepada pasien dan konsulen dapat
memberikan pendapat yang tepat setelah dia memeriksanya ataupun dokter yang
bersangkutan dapat memperkirakan kembali keadaan pasien yang akan datang dari prosedur
yang telah dilaksanakan.
VI. Memperlakukan Pasien Secara Manusiawi
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kriteria paling utama bagi dokter yang
baik bukanlah dokter yang pintar dengan keterampilan klnis yang baik, tetapi dokter yang
memiliki sense atau rasa kemanusiaan ketika berhadapan dengan pasien. Secara detail, studi
itu menunjukkan bahwa ada empat aspek utama yang harus dimiliki seorang dokter, salah
satunya adalah memiliki sense kemanusiaan (humanness). Dokter yang baik adah dokter
yang menghargai dan merawat pasiennya secara manusia dan tidak menganggap mereka
sebagai objek mencari keuntungan pribadi. Saat bertemu dengan pasien, dokter yang baik
memiliki niat dan komitmen untuk menolong pasien agar pasien dapat pulang ke rumahnya
dengan rasa puas dan terbebas dari rasa sakit.
Dokter yang baik akan memerlakukan pasiennya secara manusiawi dan profesional.
Mereka mendegarkan keluhan pasien dengan cermat, tidak menginterupsi keluhan mereka,
seta memiliki rasa empati dengan penyakit yang diderita oleh mereka. Dokter yang baik tidak
memeriksa pasien secara tergesa-gesa sekedar karena ingin cepat-cepat menyelesaikan
konsultasi dan memanggil pasienberikutnya. Dengan memiliki sense kemanusiaan yang
tinggi, dokter yang baik selalu menjaga kerahasiaan pasien dan tidak membiarkan orang lain
mengetahui keluhan dan kondsi pasiennya. Dokter seperti ini melihat pasiennya sebagai
manusia dan karena itu memperlakukan mereka secara manusiawi.
VII. Menjalin Komunikasi Yang Baik Dengan Pasien, Keluarga, Dan Masyarakat Sekitar
Menurut hukum perdata, hubungan profesional antara dokter dengan pasien dapat terjadi
karena 2 hal, yaitu:
1. Berdasarkan perjanjian (ius contractu)
Kontrak berupa terapeutik secara sukarela antara dokter dengan pasie berdasarkan kehendak
bebas. Tuntutan dapat dilakukan bila terjadi "wanprestasi", yakni pengingkaran terhadap hal
yang diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah tidak, terlambat, salah melakukan, ataupun
melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan menurut perjanjian itu.
2. Berdasarkan hukum (ius delicto)
Berlaku prinsip siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi. Rumusan
perjanjian atau kontrak menurut hukum perdata ialah suatu tindakan atau perbuatan hukum
yang dilakukan secara sukarela oleh dua
memberikan "prestasi" satu kepada lainnya. Dalam hubungan antara dokter dengan pasien,
timbul perikatan usaha (inspanningsverbintenis) dimana sang dokter berjanji memberikan
"prestasi" berupa usaha penyembuhan yang sebaik-baiknya dan pasien selain melakukan
pembayaran, ia juga wajib memberikan informasi secara benar atau mematuhi nasihat dokter
sebagai "kontra-prestasi". Disebut perikatan usaha karena didasarkan atas kewajiban untuk
berusaha. Dokter harus berusaha dengan segala daya agar usahanya dapat menyembuhkan
penyakit pasien. Hal ini berbeda dengan kewajiban yang didasarkan karena hasil
atau
resultaat pada perikatan hasil (resultaatverbintenis), dimana prestasi yang diberikan dokter
tidak diukur dengan apa yang telah dihasilkannya, melainkan ia harus mengerahkan segala
kemampuannya bagi pasien dengan penuh perhatian sesuai standar profesi medis.
Selanjutnya dari hubungan hukum yang terjadi ini timbullah hak dan kewajiban bagi pasien
dan dokter.
Penyelesaian
Berdasarkan Hukum Online terdapat ada 3 (tiga) norma yang berlaku yakni:
a.
b.
c.
Secara spesifik terkait dengan yang Anda tanyakan adalah mengenai Kodeki (Kode Etik
Kedokteran Indonesia) atau disebut juga etika profesi dokter adalah merupakan pedoman
bagi dokter Indonesia dalam melaksanakan praktik kedokteran. Dasar dari adanya Kodeki ini
dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 8 huruf f UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) jo Pasal 24 UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (UU Kesehatan).
Penegakan etika profesi kedokteran ini dilakukan oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 Pedoman Organisasi
dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia, Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah salah satu badan otonom Ikatan Dokter Indonesa
(IDI) yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat, Wilayah dan Cabang untuk menjalankan
tugas kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad
hoc lainnya dalam tingkatannya masing-masing.
Dengan demikian, MKEK adalah lembaga penegak etika profesi kedokteran (kodeki),
di samping MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) yakni lembaga
yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter
gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi
(lihat Pasal 1 angka 14 UU Praktik Kedokteran).
Sehingga, dapat kami simpulkan bahwa kode etik kedokteran (kodeki) merupakan
amanat dari peraturan perundang-undangan yang penyusunannya diserahkan kepada
organisasi profesi (IDI) sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat terhadap setiap
anggota pada organisasi profesi tersebut.
Pada dasarnya, dalam hukum pidana ada ajaran kesalahan (schuld) dalam hukum pidana
terdiri dari unsur kesengajaan (dolus) atau kealpaan/kelalaian (culpa). Namun, dalam ketiga
undang-undang tersebut di atas yang aturannya bersifat khusus (lex specialis) semua
ketentuan pidananya menyebut harus dengan unsur kesengajaan. Namun, dalam artikel yang
sama, Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), M. Nasser tidak sepakat jika
kelalaian tidak bisa dipidana sama sekali. Sebab, sesuai UU Praktik Kedokteran (lihat Pasal
66 ayat [3] UU Praktik Kedokteran), masyarakat yang merasa dirugikan atas tindakan
dokter/dokter gigi dapat melaporkan kepada MKDKI dan laporannya itu tak menghilangkan
hak masyarakat untuk melapor secara pidana atau menggugat perdata di pengadilan.
Jadi, ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian oleh tenaga
kesehatan yakni:
a.
b.
Melakukan mediasi;
c.
Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga kesehatan tersebut, maka dapat
dilakukan upaya pelaporan secara pidana.
Sumber : Zulizar, Alif Adlan dkk. 2013. Referat Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal
Penerapan Medikolegal Dalam Menghadapi Malpraktek. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro.