You are on page 1of 13

USAHA USAHA MENGHINDARI DAN PENYELESAIAN MALPRAKTEK :

I. Semua Tindakan Sesuai Indikasi Medis


Pelayanan kesehatan, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi
memiliki surat ijin tugas mengingat informed consent dan rekam medik serta rahasia
jabatan atau

rahasia kesehatan dari hasil pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan

berdasarkan indikasi medis, standar pelayanan, protap pelayanan dengan memperhatikan


dan menjelaskan berbagai resiko penyakit, keadaan pasien, dan tindakan kesehatan
selanjutnya tenaga kesehatan harus menerapkan etika umum dan profesi dan bila tidak
mungkin bisa ditangani yang bukan kompetensinya harus di rujuk atau diserahkan
kepada tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi.Prinsip-prinsip tersebut jika
dijabarkan satu-persatu antara lain :
1. Tenaga kesehatan yang telah lulus pendidikan dengan memperoleh ijasah termasuk
dalam PP No. 32 Tahun 1996.
2. Tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi hasil ujian
3. Tenaga Kesehatan memiliki surat ijin praktek (SIP) dan Surat Tugas dari Direktur
Rumah Sakit, Dinas Tenaga Kesehatan, Dekan (Pimpinan Pendidik), dan dari
Pemerintah yang lainnya.
4. Tiap menangani pasien harus ada ijin atau persetujuan tertulis atau lisan dari pihak
pasien dan keluarganya.
5. Dalam pelayanan kesehatan harus menerapkan standar pelayanan dan protap
pelayanan kesehatan profesi yang dibuat oleh tenaga profesi. Ini biasanya dibuat SK
oleh Direktur Rumah Sakit atau pimpinan Rumah Sakit setempat.
6. Hasil pemeriksaan / pelayanan atau tindakan ditulis dicatat secara khusus oleh dokter
yang melakukan tindakan atau pemeriksaan atau singkatnya ditulis yang disebut
sebagai rekam medis / rekam rumah sakit. Untuk bidan dan perawat tertuang dalam
Asuhan Keperawatan atau kebidanan.
7. Point 4,5, dan 6 di atas harus dirahasiakan sesuai dengan peraturan PP No.10 tahun
1966 dan Undang-undang kesehatan yang lain.
8. Dalam menangani pasien atau tindakan harus berdasarkan indikasi medis dan kontra
indikasi medis.
9. Dalam menangani pasien harus menerangkan mengenai resiko, antara lain resiko
keadaan pasien, resiko penyakitnya, dan resiko tindakan.
10. Dalam komunikasi dengan pasien dan keluarga serta masyarakat harus menerapkan
etika umum dan etika profesi dimana tenaga kesehatan tersebut bekerja.
11. Kemungkinan dalam menangani pasien memperoleh kesulitan karena tidak
kompetensinya sehingga harus dirujuk/dikirim/ dikonsultasikan kepada tenaga

kesehatan yang kompeten atau dirujuk/dikirim ke rumah sakit sesuai dengan tingkat
pelayanan yang lebih prima.
12. Dalam pelayanan atau upaya kesehatan terjadi sesuatu yang menimbulkan sengketa
atau tuntutan pasien dan keluarganya harus diselesaikan secara komunikasi yang
sehat, secara kemanusiaan dan berdasarkan rambu-rambu aturan hukum kesehatan.
Jangan menerapkan Undang-Undang diluar Undang-Undang Hukum Kesehatan.
Dengan menerapkan rambu-rambu tersebut (no.1-12) tenaga kesehatan berusaha atau
dapat terhindar dari unsur-unsur malpraktek atau secara khusus disebut malpraktek.
II. Bekerja Sesuai Standar Profesi
Pada pasal 2 kodeki, disebutkan bahwa, Seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. yang dimaksud
dengan ukuran tertinggi dalam melakukan profesi kedokteran adalah yang sesuai dengan ilmu
kedokteran mutakhir, sarana yang tersedia, kemampuan pasien, etika umum, etika
kedokteran, hukum dan agama. ilmu kedokteran yang menyangkut segala pengetahuan dan
keterampilan yang telah diajarkan dan dimiliki harus dipelihara dan dipupuk, sesuai dengn
fitrah dan kemampuan dokter tersebut. Etika umum dan etika kedokteran harus diamalkan
dalam melaksanakan profesi secara tulus ikhlas, jujur dan rasa cinta terhadap sesama
manusia, serta penampilan tingkah laku, tutur kata dan berbagai sifat lain yang terpuji,
seimbang dengan martabat jabatan dokter. Standar Profesi Kedokteran yang diterbitkan oleh
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yaitu :
1. Standar keterampilan
a. Keterampilan kedaruratan medik; merupakan sikap yang diambil oleh seorang dokter
dalam menjalankan profesinya dengan sarana yang sesuai dengan standar ditempat
prakteknya. Bilamana tindakan yang dilakukan tidak berhasil, penderitan perlu
dirujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap.
b. Keterampilan umum; meliputi penanggulangan terhadap berbagai penyakit yang
tercantum dalam kurikulum inti pendidikan dokter Indonesia.
2. Standar sarana; meliputi segala sarana yang diperlukan untuk berhasilnya profesi dokter
dalam melayani penderita dan pada dasarnya dibagi 2 bagian, yakni :
a. Sarana Medis; meliputi sarana alat-alat medis dan obat-obatan.
b. Sarana Non Medis; meliputi tempat dan peralatan lainnya yang diperlukan oleh
seorang dokter dalam menjalankan profesinya.
3. Standar perilaku; yang didasarkan pada sumpah

dokter dan pedoman Kode Etik

Kedokteran Indonesia, meliputi perilaku dokter dalam hubungannya dengan penderita


dan hubungannya dengan dokter lainnya, yaitu :
a. Pasien harus diperlakukan secara manusiawi.

b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Semua pasien diperlakukan sama.


Semua keluhan pasien diusahakan agar dapat diperiksa secara menyeluruh.
Pada pemeriksaan pertama diusahakan untuk memeriksa secara menyeluruh.
Pada pemeriksaan ulangan diperiksa menurut indikasinya.
Penentuan uang jasa dokter diusahakan agar tidak memberatkan pasien.
Dalam ruang praktek tidak boleh ditulis tarif dokter.
Untuk pemeriksaan pasien wanita sebaiknya agar keluarganya disuruh masuk kedalam

ruang praktek atau disaksikan oleh perawat, kecuali bila dokternya wanita.
i. Dokter tidak boleh melakukan perzinahan didalam ruang praktek, melakukan abortus,
kecanduan dan alkoholisme.
4. Standar catatan medik
Pada semua penderita sebaiknya dibuat catatan medik yang didalamnya dicantumkan
identitas penderita, alamat, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, terapi dan obat yang
menimbulkan alergi terhadap pasien.

III. Membuat Informed Consent


Secara harfiah consent artinya persetujuan, atau lebih tajam lagi, izin. Jadi
informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada
dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan,
menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak-lanjut
jika terjadi kesulitan, dan sebagainya. Selanjutnya kata Informed terkait dengan informasi
atau penjelasan. Dapat disimpulkan bahwa informed consent adalah persetujuan atau izin
oleh pasien (atau keluarga yang berhak) kepada dokter untuk melakukan tindakan medis atas
dirinya, setelah kepadanya oleh dokter yang bersangkutan diberikan informasi atau
penjelasan yang lengkap tentang tindakan itu. Mendapat penjelasan lengkap itu adalah salah
satu hak pasien yang diakui oleh undang-undang sehingga dengan kata lain informed consent
adalah Persetujuan Setelah Penjelasan. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 585 Tahun 1989, Persetujuan Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut.
Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang
kuat. Menurut American College of Physicians Ethics Manual, pasien harus mendapat
informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan

teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum
penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus
lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien. Suatu informed consent harus
meliputi :
1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan
penyakitnya
2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa
besar kemungkinan keberhasilannya
3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat
apabila penyakit tidak diobati
4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi
5. Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi
dalam penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang
dilakukan.

Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :


1. Implied Consent (dianggap diberikan)
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat
menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang diberikan/dilakukan pasien.
Demikian pula pada kasus emergency sedangkan dokter memerlukan tindakan segera
sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya tidak
ada ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.

2. Expressed Consent (dinyatakan)


Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang bersifat invasif
dan mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang
secara umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi. Hakikat informed consent
mengandung 2 (dua) unsur penting yaitu :
1. Informasi yang diberikan oleh dokter.
2. Persetujuan yang diberikan oleh pasien.

Sehingga persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan sebagai
berikut :
1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis
tertentu (masih berupa upaya percobaan).
2. Deskripsi tentang efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tidak diinginkan yang
mungkin timbul.
3. Deskripsi tentang keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi untuk pasien.
4. Penjelasan tentang perkiraan lamanya prosedur atau terapi atau tindakan berlangsung.
5. Deskripsi tentang hak pasien untuk menarik kembali consent tanpa adanya prasangka
mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya.
6. Prognosis tentang kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis tersebut.
Pada hakikatnya informed consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan
pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap
pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun
sesungguhnya sudah cukup. Penandatanganan formulir informed consent secara
tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya.
Dalam keadaan gawat darurat informed consent tetap merupakan hal yang paling
penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah
tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun informed consent tidak
boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam
keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk
menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta
memberikan keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu
kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak
menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus
melakukan

tindakan

medik.

Hal

ini

dijabarkan

dalam

PerMenKes

Nomor

585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan


emergency tidak diperlukan informed consent.
Ketiadaan

informed consent

dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter,

khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum
diberbagai negaramenyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan
kelalaian atau keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent
tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku

tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara dengan
kesengajaan adalah sebagai berikut :
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi dokter tetap
melakukan tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan akibat dari
tindakan medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis yang
diambilnya.
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara substansial
dengan yang dilakukan oleh dokter

IV. Mencatat Semua Tindakan Yang Dilakukan


Penyedia layanan kesehatan bertanggung jawab atas mutu pelayanan medik di rumah
sakit yang diberikan kepada pasien. Rekam Medis sangat penting dalam mengemban mutu
pelayanan medik yang diberikan oleh rumah sakit beserta staf mediknya. Rekam Medis
merupakan milik rumah sakit yang harus dipelihara karena bermanfaat bagi pasien, dokter
maupun bagi rumah sakit. Tanggung jawab utama akan kelengkapan rekam medis terletak
pada dokter yang merawat. Tahap memperdulikan ada tidaknya bantuan yang diberikan
kepadanya dalam melengkapi rekam medis oleh staf lain di rumah sakit.
Dokter mengemban tanggung jawab terakhir akan kelengkapan dan kebenaran isi
rekam medis. Data harus dipelajari kembali, dikoreksi dan ditanda tangani juga oleh dokter
yang merawat. Pada saat ini banyak rumah sakit menyediakan staf bagi dokter untuk
melengkapi rekam medis. Namun demikian tanggung jawab utama dari isi rekam medis tetap
berada pada dokter yang bertanggung jawab. Nilai ilmiah dari sebuah rekam medis adalah
sesuai dengan taraf pengobatan dan perawatan yang tercatat. Oleh karena itu ditinjau dari
beberapa segi rekam medis sangat bernilai penting karena :
1. Pertama bagi pasien, untuk kepentingan penyakitnya dimasa sekarang maupun
dimasa yang akan datang.
2. Kedua dapat melindungi rumah sakit maupun

dokter dalam segi hukum

(medikolegal). Bila mana rekam medis tidak lengkap dan tidak benar maka
3.

kemungkinan akan merugikan bagi pasien, rumah sakit maupun dokter sendiri.
Ketiga dapat dipergunakan untuk meneliti medik maupun administratif.
Personil rekam medis hanya dapat mempergunakan data yang diberikan

kepadanya. Bilamana diagnosanya tidak benar dan tidak lengkap maka kode
penyakitnyapun tidak tepat, sehingga indeks penyakit mencerminkan
kekurangan. Hal ini berakibat riset akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu
data statistik dan laporan hanya dapat secermat informasi dasar yang benar.

Rekam medis harus memuat isi sebagai berikut :


1. Semua diagnosis ditulis dengan benar pada lembaran masuk dan keluar, sesuai dengan
istilah terminologi yang dipergunakan, semua diagnosa serta tindakan pembedahan
yang dilakukan harus dicatat Simbol dan singkatan jangan dipergunakan.
2. Dokter yang merawat menulis tanggal dan tanda tangannya pada sebuah catatan, serta
telah menandatangani juga catatan yang ditulis oleh dokter lain Pada rumah Sakit
Pendidikan, yaitu : Riwayat Penyakit, Pemeriksaan fisik dan resume Lembaran
lingkaran masuk dan keluar tidak cukup apabila hanya ditanda tangani oleh seorang
dokter.
3. Bahwa laporan riwayat penyakit, dan pemeriksaan fisik dalam keadaan lengkap dan
berisi semua data penemuan baik yang positif maupun negative.
4. Catatan perkembangan, memberikan gambaran kronologis dan analisa klinis keadaan
pasien Frekwensi catatan ditentukan oleh keadaan pasien.
5. Hasil Laboratorium dan X-Ray dicatat dicantumkan tanggalnya serta ditanda tangani
oleh pemeriksa.
6. Semua tindakan pengobatan medik ataupun tindakan pembedahan harus itulis
dicantumkan tanggal, serta ditanda tangani oleh dokter.
7. Semua konsultasi yang dilaksanakan harus sesuai dengan peraturan staf medik harus
dicatat secara lengkap serta ditanda tangani Hasil konsultasi, mencakup penemuan
konsulen pada pemeriksaan fisik terhadap pasien termasuk juga pendapat dan
rekomendasinya.
8. Pada kasus observasi, catatan prenatal dan persalinan

dicatat secara lengkap,

mencakup hasil tes dan semua pemeriksaaan pada saat prenatal sampai masuk rumah
sakit Jalannya persalinan dan kelahirannya sejak pasien masuk rumah sakit, juga
harus dicatat secara lengkap.
9. Catatan perawat dan catatan prenatal rumah sakityang lain tentang Observasi &
Pengobatan
tangan.

yang diberikan harus lengkap catatan ini harus diberi cap dan tanda

10. Resume telah ditulis pada saat pasien pulang Resume harus berisi ringkasan tentang
penemuan, dan kejadian penting selama pasien dirawat, keadaan waktu pulang saran
dan rencana pengobatan selanjutnya.
11. Bila otopsi dilakukan, diagnosa sementara / diagnosa anatomi, dicatat segera ( dalam
waktu kurang dari 72 jam ) : keterangan yang lengkap harus dibuat dan digabungkan
dengan rekam medis.
12. Analisa kualitatif oleh personel medis untuk mengevaluasi kualitas pencatatan yang
dilakukan oleh dokter untuk mengevaluasi mutu pelayanan medik Pertanggung
jawaban untuk mengevaluasi mutu pelayanan medik terletak pada dokter

yang

bertanggung jawab.

Berikut pasal yang mengatur mengenai rekam medis :


Pasal 46
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah
pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas
yang memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal 47
(4) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik
dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis
merupakan milik pasien.
(5) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter

atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan

kesehatan.
(6) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.

V. Apabila Ragu-Ragu Konsultasikan Dengan Konsulen


Apabila saat akan melakukan tindakan terhadap pasien, dokter yang melaksanakan
tindakan dapat berkonsultasi dengan dokter penanggung jawab pasien (DPJP). Pada saat

emergency, dokter berhak melakukan upaya penyelamatan nyawa pasien terlebih dahulu.
Rekam Medis harus diberi

data yang cukup terperinci, sehingga dokter lain dapat

mengetahui bagaimana pengobatan dan perawatan kepada pasien dan konsulen dapat
memberikan pendapat yang tepat setelah dia memeriksanya ataupun dokter yang
bersangkutan dapat memperkirakan kembali keadaan pasien yang akan datang dari prosedur
yang telah dilaksanakan.
VI. Memperlakukan Pasien Secara Manusiawi
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kriteria paling utama bagi dokter yang
baik bukanlah dokter yang pintar dengan keterampilan klnis yang baik, tetapi dokter yang
memiliki sense atau rasa kemanusiaan ketika berhadapan dengan pasien. Secara detail, studi
itu menunjukkan bahwa ada empat aspek utama yang harus dimiliki seorang dokter, salah
satunya adalah memiliki sense kemanusiaan (humanness). Dokter yang baik adah dokter
yang menghargai dan merawat pasiennya secara manusia dan tidak menganggap mereka
sebagai objek mencari keuntungan pribadi. Saat bertemu dengan pasien, dokter yang baik
memiliki niat dan komitmen untuk menolong pasien agar pasien dapat pulang ke rumahnya
dengan rasa puas dan terbebas dari rasa sakit.
Dokter yang baik akan memerlakukan pasiennya secara manusiawi dan profesional.
Mereka mendegarkan keluhan pasien dengan cermat, tidak menginterupsi keluhan mereka,
seta memiliki rasa empati dengan penyakit yang diderita oleh mereka. Dokter yang baik tidak
memeriksa pasien secara tergesa-gesa sekedar karena ingin cepat-cepat menyelesaikan
konsultasi dan memanggil pasienberikutnya. Dengan memiliki sense kemanusiaan yang
tinggi, dokter yang baik selalu menjaga kerahasiaan pasien dan tidak membiarkan orang lain
mengetahui keluhan dan kondsi pasiennya. Dokter seperti ini melihat pasiennya sebagai
manusia dan karena itu memperlakukan mereka secara manusiawi.

VII. Menjalin Komunikasi Yang Baik Dengan Pasien, Keluarga, Dan Masyarakat Sekitar
Menurut hukum perdata, hubungan profesional antara dokter dengan pasien dapat terjadi
karena 2 hal, yaitu:
1. Berdasarkan perjanjian (ius contractu)

Kontrak berupa terapeutik secara sukarela antara dokter dengan pasie berdasarkan kehendak
bebas. Tuntutan dapat dilakukan bila terjadi "wanprestasi", yakni pengingkaran terhadap hal
yang diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah tidak, terlambat, salah melakukan, ataupun
melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan menurut perjanjian itu.
2. Berdasarkan hukum (ius delicto)
Berlaku prinsip siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi. Rumusan
perjanjian atau kontrak menurut hukum perdata ialah suatu tindakan atau perbuatan hukum
yang dilakukan secara sukarela oleh dua

orang atau lebih, yang bersepakat untuk

memberikan "prestasi" satu kepada lainnya. Dalam hubungan antara dokter dengan pasien,
timbul perikatan usaha (inspanningsverbintenis) dimana sang dokter berjanji memberikan
"prestasi" berupa usaha penyembuhan yang sebaik-baiknya dan pasien selain melakukan
pembayaran, ia juga wajib memberikan informasi secara benar atau mematuhi nasihat dokter
sebagai "kontra-prestasi". Disebut perikatan usaha karena didasarkan atas kewajiban untuk
berusaha. Dokter harus berusaha dengan segala daya agar usahanya dapat menyembuhkan
penyakit pasien. Hal ini berbeda dengan kewajiban yang didasarkan karena hasil

atau

resultaat pada perikatan hasil (resultaatverbintenis), dimana prestasi yang diberikan dokter
tidak diukur dengan apa yang telah dihasilkannya, melainkan ia harus mengerahkan segala
kemampuannya bagi pasien dengan penuh perhatian sesuai standar profesi medis.
Selanjutnya dari hubungan hukum yang terjadi ini timbullah hak dan kewajiban bagi pasien
dan dokter.

Penyelesaian
Berdasarkan Hukum Online terdapat ada 3 (tiga) norma yang berlaku yakni:
a.

Disiplin, sebagai aturan penerapan keilmuan kedokteran;

b.

Etika, sebagai aturan penerapan etika kedokteran (Kodeki); dan

c.

Hukum, sebagai aturan hukum kedokteran.

Secara spesifik terkait dengan yang Anda tanyakan adalah mengenai Kodeki (Kode Etik
Kedokteran Indonesia) atau disebut juga etika profesi dokter adalah merupakan pedoman
bagi dokter Indonesia dalam melaksanakan praktik kedokteran. Dasar dari adanya Kodeki ini
dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 8 huruf f UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) jo Pasal 24 UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (UU Kesehatan).

Pasal 8 Huruf f UU Praktik Kedokteran


Etika profesi adalah kode etik dokter dan kode etik dokter gigi yang disusun oleh
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
Pasal 24 UU Kesehatan
a) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional.
b) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
c) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan,
dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Penegakan etika profesi kedokteran ini dilakukan oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 Pedoman Organisasi
dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia, Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah salah satu badan otonom Ikatan Dokter Indonesa
(IDI) yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat, Wilayah dan Cabang untuk menjalankan
tugas kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad
hoc lainnya dalam tingkatannya masing-masing.

Dengan demikian, MKEK adalah lembaga penegak etika profesi kedokteran (kodeki),
di samping MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) yakni lembaga
yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter
gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi
(lihat Pasal 1 angka 14 UU Praktik Kedokteran).

Sehingga, dapat kami simpulkan bahwa kode etik kedokteran (kodeki) merupakan
amanat dari peraturan perundang-undangan yang penyusunannya diserahkan kepada
organisasi profesi (IDI) sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat terhadap setiap
anggota pada organisasi profesi tersebut.

Terkait dengan malpraktik, menurut Wakil Ketua Majelis Kehormatan Disiplin


Kedokteran Indonesia (MKDKI) Sabir Alwi dalam artikel Kelalaian Tenaga Kesehatan Tidak
Dapat Dipidana, sebenarnya kelalaian tenaga kesehatan dan dokter dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat/pasien tidak dapat dipidana. Sebab, dalam tiga paket
undang-undang di bidang kesehatan (UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit) tak
ada satu pasal pun yang menyebutkan bahwa karena kelalaian seorang tenaga kesehatan
termasuk dokter bisa dipidana.

Pada dasarnya, dalam hukum pidana ada ajaran kesalahan (schuld) dalam hukum pidana
terdiri dari unsur kesengajaan (dolus) atau kealpaan/kelalaian (culpa). Namun, dalam ketiga
undang-undang tersebut di atas yang aturannya bersifat khusus (lex specialis) semua
ketentuan pidananya menyebut harus dengan unsur kesengajaan. Namun, dalam artikel yang
sama, Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), M. Nasser tidak sepakat jika
kelalaian tidak bisa dipidana sama sekali. Sebab, sesuai UU Praktik Kedokteran (lihat Pasal
66 ayat [3] UU Praktik Kedokteran), masyarakat yang merasa dirugikan atas tindakan
dokter/dokter gigi dapat melaporkan kepada MKDKI dan laporannya itu tak menghilangkan
hak masyarakat untuk melapor secara pidana atau menggugat perdata di pengadilan.

Namun, dalam hal terjadi kelalaian dokter/tenaga kesehatan sehingga mengakibatkan


terjadinya malpraktik, korban tidak diwajibkan untuk melaporkannya ke MKEK/MKDKI
terlebih dahulu. Dalam Pasal 29 UU Kesehatan justru disebutkan bahwa dalam hal tenaga
kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut
harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Meskipun, korban malpraktik dapat saja
langsung mengajukan gugatan perdata. Seperti halnya yang dilakukan oleh Shanti Marina
yang menggugat dokter Wardhani dan RS Puri Cinere atas dasar Perbuatan Melawan Hukum
berupa malpraktik. Lebih jauh simak MA Menangkan Pasien Korban Malpraktik.

Jadi, ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian oleh tenaga
kesehatan yakni:
a.

Melaporkan kepada MKEK/MKDKI;

b.

Melakukan mediasi;

c.

Menggugat secara perdata.

Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga kesehatan tersebut, maka dapat
dilakukan upaya pelaporan secara pidana.

Sumber : Zulizar, Alif Adlan dkk. 2013. Referat Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal
Penerapan Medikolegal Dalam Menghadapi Malpraktek. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro.

You might also like