Professional Documents
Culture Documents
1
Hari ini kita ditakdirkan oleh Allah untuk melakukan wuquf di Arafah sebagai
puncak rangkaian ibadah haji. Ibadah haji yang merupakan rukun Islam yang kelima,
adalah totalitas ibadah yang mengintegrasikan antara ibadah badaniah (fisik) dan
ibadah maliyah (harta). Karenanya, harapan kita, ibadah haji kita semoga mabrur.
Ibadah haji yang mabrur adalah ibadah haji yang diterima oleh Allah SWT.
Lebih konkrit Imam Al-Nawawi (w 676 H) mengatakan bahwa ibadah haji yang
mabrur adalah ibadah haji yang tidak tercampur sedikit pun oleh dosa. Karenanya,
disamping amalan-amalan haji-atau yang lazim disebut manasik-itu harus dikerjakan
dengan sempurna sesuai tuntunan Nabi SAW, untuk mencapai haji mabrur harus
dipenuhi syarat-syarat dan etika haji seperti berikut ini.
Pertama, uang yang dipakai untuk ongkos naik haji (ONH) harus benar-benar
uang yang halal, bukan uang yang haram. Yang dimaksud dengan uang halal disini
adalah uang yang diperoleh dengan usaha atau cara-cara yang halal, sedangkan uang
yang haram adalah uang yang dihasilkan dengan usaha atau cara-cara yang haram.
Hal itu karena sebenarnya – seperti disebutkan dalam disiplin Ilmu Ushul Fiqh – tidak
terdapat istilah uang halal atau uang haram, sebab halal atau haram itu tidak
berkaitan dengan materi, melainkan berkaitan dengan perbuatan.
Memperoleh uang dengan usaha atau cara yang haram akan mendatangkan
dosa, misalnya mencuri, merampok, menipu, korupsi, dan sebagainya. Maka orang
yang pergi haji dengan ONH hasil mencuri atau korupsi sama halnya dengan orang
bersembahyang dengan pakaian hasil mencuri. Ia berdosa. Orang yang mencuri,
misalnya, ia tidak punya hak apa-apa atas harta hasil curiannya itu. Ia justru
berkewajiban untuk bertaubat, antara lain dengan menerima hukuman Allah atas
pencurian, dan mengembalikan harta itu kepada pemiliknya. Ia sama sekali tidak
berhak menggunakan harta itu untuk keperluan apapun, termasuk untuk pergi haji.
Apabila seseorang yang pergi haji itu mendapat biaya dari orang lain,
misalnya berupa hadiah atau fasilitas, maka disyaratkan, pihak lain yang memberikan
biaya itu benar-benar ikhlas dan rela, bukan karena paksaan, tekanan, manipulasi, dan
sebagainya, sehingga kemampuan (istito’ah) yang berasal dari orang lain itu juga
benar-benar halal, tidak tercampur unsur dosa dan sebagainya.
2
Nabi SAW bersabda:
Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari (hasil) ketidakjujuran dan sholat
tanpa bersuci. (Hadis riwayat Imam Abu Dawud)1
Untuk menunjang terwujudnya keikhlasan dalam beribadah haji, ada dua hal
yang perlu diperhatikan. Pertama, seseorang yang beribadah haji harus sudah merasa
berkewajiban untuk menjalankan ibadah haji. Orang yang belum terkena kewajiban
ibadah haji, kemudian ia memaksa-maksa untuk pergi haji, sulit rasanya ia akan
mendapatkan haji yang mabrur. Orang haji yang seperti ini biasanya ada faktor lain
yang mendorongnya pergi haji, ada faktor lain itu bukan faktor lillah tadi. Kedua, ia
perlu menghayati makna-makna filosofis dan pesan-pesan moral yang terkandung
dalam semua amalan atau manasik haji. ia perlu mempelajari sejarah dan hikmah-
hikmah yang terkandung dalam ibadah ihram, tawaf, sa’i, wuquf di Arafah, melontar
jamrah (jamrah, dengan a, artinya batu kecil, bukan jumrah dengan u), mencukur
rambut kepala, dan lain-lainnya.
1
Abu Dawud al-Sijstani, Sunan Abi Dawud, Juz I, Bab Fardh al-Wudhu hal. 27
3
manusia. Dan apabila seseorang yang sedang berhaji tidak mendapatkan kesempatan
untuk mempelajari sejarah dan hikmah-hikmah amalan tersebut sehingga ia dapat
menghayatinya, maka cukuplah baginya melakukan penyerahan total dan loyalitas
mutlak bahwa amalan-amalan manasik yang ia lakukan itu hanyalah semata-mata
dalam rangka memenuhi perintah Allah, kendati ia tidak memahami maksud amalan-
amalan itu.
Ketiga, memelihara etika haji. Pada waktu mengerjakan manasik haji, seorang
haji diharuskan untuk beretika haji, antara lain, tidak boleh melakukan rafats
(berhubungan seksual, berkata yang jorok, dan sebagainya), fusuq (bermaksiat), jidal
(bertengkar), menodai kesucian Tanah Suci Makkah, dan sebagainya. Dalam
menjalankan ibadah haji banyak sekali hal-hal yang haram dilakukan, bahkan
sebagian larangan itu apabila dilanggar dapat menyebabkan ibadah haji menjadi batal
sama sekali. Padahal diluar haji, larangan seperti itu tidak pernah ada. Hal ini tentulah
mengandung pesan-pesan tertentu yang tidak selamanya dapat dipahami oleh akal
manusia, tetapi dapat dihayati oleh perasaan manusia.
Fath Makkah
Ibadah haji dan umrah diwajibkan kepada umat Islam pada tahun 6 H.2
Begitulah pendapat yang masyhur di kalangan ulama. Dengan para shahabat, pada
tahun itu Nabi saw bermaksud melakukan umrah ke Makkah, namun beliau tidak
berhasil memasuki kota Makkah, karena kota Makkah waktu itu masih dikuasai kaum
musyrikin. Berdasarkan perjanjian Hudaibiyah dengan kaum musyrikin, Nabi saw
diijinkan untuk melakukan umrah pada tahun ke 7 H. dan umrah ini dapat dilakukan
Nabi saw pada tahun ke 7 H dan disebut umrah al-Qadha.3
2
Ada juga yang berpendapat bahwa ibadah haji diwajibkan
kepada umat Islam pada tahun 5 H, 10 H, bahkan ada yang
berpendapat sebelum Nabi saw hijrah. Hasyiyah al-Baijuri, i/320. al-
Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 442
3
Muhammad bin Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, iii/167. al-Buthi,
Fiqh al-Sirah, hal. 347
4
melakukan ibadah umrah dari Ji'ranah di luar kota Makkah.4 Selanjutnya Nabi saw
langsung kembali ke Madinah tanpa melakukan ibadah haji, padahal waktu itu kota
Makkah sudah dikuasai umat Islam.
Pada tahun 9 H, Nabi saw tidak mengerjakan ibadah haji, dan atau umrah. Dan
baru pada tahun 10 H, Nabi saw melakukan ibadah haji dan umrah. Pada awal tahun
11 H, beliau wafat. Maka kendati Nabi saw mempunyai kesempatan untuk beribadah
haji sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 8, 9, 10 H, beliau melaksanakan ibadah haji
hanya satu kali. Dan kendati Nabi saw mempunyai kesempatan untuk beribadah
umrah ratusan bahkan mungkin ribuan kali, beliau hanya melakukan umrah sunnah
dua kali saja, atau tiga kali dengan umrah yang gagal pada tahun 6 H.
Shahabat Anas bin Malik menuturkan, bahwa Nabi saw melakukan ibadah haji
hanya satu kali saja, dan melakukan ibadah umrah empat kali, semuanya dilakukan
pada bulan Dzulqa'dah, kecuali umrah yang bersama ibadah haji.
Tiga Kesempatan
4
Sirah Ibn Hisyam, iv/119
5
Shahih al-Bukhari, i/373. Shahih Muslim, i/577
5
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah, mengapa Nabi saw beribadah haji
hanya satu kali saja, padahal beliau mempunyai kesempatan untuk beribadah haji tiga
kali? Mengapa Nabi saw hanya beribadah umrah sunnah hanya dua kali saja, atau tiga
kali dengan umrah yang gagal, padahal beliau mempunyai kesempatan beribadah
umrah puluhan bahkan ratusan kali?
[1]Jihad fi Sabilillah
Ketika masih tinggal di Makkah, Nabi saw belum diwajibkan berjihad untuk
melawan orang-orang yang meneror dan mendhalimi beliau, kendati beliau
selalu diteror. Bahkan hijrah itu sendiri adalah akibat gencarnya teror atas
beliau.
Setelah tinggal di Madinah, beliau diijinkan dan kemudian diwajibkan untuk
melawan teror-teror itu, maka terjadilah peperangan. Dan setiap peperangan
tentulah memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dan tentu Nabi saw sebagai
pemimpin umat lebih memperhatikan masalah ini.
6
ساعي على الرملــة والمسكـــين كالمـــجاهد ّ ال
فــي سبـــيل اللــه أو كال ّــذي يصــوم الّنهــار ويــــقوم
)( رواه البخاري ومسلم.الّليل
Penyantun janda dan orang miskin (pahalanya) seperti berjihad fi sabilillah
atau seperti orang yang berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari.
(Hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) 6
Dan tentulah surga yang didiami Nabi saw bukanlah surga kelas ekonomi,
melainkan surga kelas super VIP. Bandingkan dengan surga yang dijanjikan
bagi ibadah haji yang mabrur, hanya disebut surga saja, dan itu pun harus haji
yang mabrur. Nabi saw bersabda;
ج
ّ العمرة إلى العمرة كـّفارةٌ لما بينهما والحـ
( رواه .المبـرور ليس له جزاٌء إل ّ الجـّنة
)البخاري ومسلم
Ibadah umrah yang satu dengan ibadah umrah yang lain itu kafarat
(penghapus dosa) antara kedua umrah tadi, dan haji yang mabrur tidak ada
balasan kecuali surga. (Hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Imam
Muslim)8
[3]Mahasiswa Shuffah
6
Shahih al-Bukhari, iv/61. Shahih Muslim, ii/703
7
Shahih al-Bukhari, iv/61. Shahih Muslim, ii/703
8
Shahih al-Bukhari, i/372. Shahih Muslim, i/620
7
Setelah Nabi saw menetap di Madinah, banyak mahasiswa yang belajar
langsung dari Nabi saw dan tinggal di al-Shuffah, salah satu ruangan di Masjid
Nabawi. Menurut guru kami Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, Perguruan
al-Shuffah ini merupakan perguruan tinggi pertama dalam Islam.9
Dari mana mereka makan? Nabi saw menganjurkan para shahabat untuk
menjamin mereka. Beliau bersabda ;
Nabi saw sendiri setiap hari memberi makan tidak kurang 70 orang mahasiswa
al-Shuffah.11
Hanya Sekali
Tiga hal di atas telah menyebabkan Nabi saw tidak mendahulukan ibadah-
ibadah sunnah individual (ibadah qashirah), tetapi justru beliau memprioritaskan
ibadah-ibadah sosial (ibadah muta'addiyah).
Karenanya, Nabi saw tidak pernah walau sekali beribadah haji sunnah. Nabi
saw tidak pernah beribadah umrah pada bulan Ramadhan. Kendati kesempatan untuk
beribadah umrah sunnah sampai ratusan, bahkan ribuan kali, Nabi saw hanya
beribadah umrah sunnah dua kali saja.
9
MM. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 83
10
Shahih Muslim, ii/297
11
MM. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 84
8
Sementara kita umat yang mengaku sebagai pengikut Nabi saw ingin
beribadah haji setiap tahun, ingin beribadah umrah setiap bulan atau setiap minggu.
Padahal rata-rata keadaan umat Islam saat ini di segala penjuru dunia sangat
memprihatinkan.
Menurut catatan FAO (Foods and Agriculture Organization), dunia saat ini
masih didiami oleh 830 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, yaitu
mereka yang berpenghasilan satu hari minus 2 dollar Amerika. Dari jumlah fakir 830
juta itu, 700 juta adalah orang Islam.13 Sekiranya uang yang hampir Rp 115 triliyun
yang digunakan setiap tahun untuk perbuatan yang tidak wajib dan tidak pernah
dicontohkan oleh Nabi SAW, itu dipakai untuk mengentaskan kemiskinan 700 juta
orang Islam itu, maka pada suatu saat jumlah orang Islam yang miskin akan sangat
kecil.
Dalam keadaan umat Islam seperti ini, pantaskah seorang muslim yang kaya
setiap tahun pergi ke Makkah untuk melakukan sesuatu yang tidak wajib? Pantaskah
mereka bolak-balik umrah ke Makkah? Siapakah gerangan yang menyuruh mereka
begitu? Ayat al-Qur'an manakah yang menyuruh agar kita beribadah haji berulang-
ulang, sedangkan kondisi umat Islam sedang terpuruk? Hadis manakah yang
menyuruh kita bolak-balik umrah, sementara kaum muslimin sedang kelaparan?
Zakat, hal. 18
13
Alaudin al-Za'tari, Op.Cit, hal. 2
9
Ternyata tidak dapat kita temukan ayat maupun Hadis yang menyuruh umat
Islam untuk melakukan hal itu. Bila demikian, maka tidak ada lain, yang menyuruh
mereka untuk melakukan hal seperti itu adalah hawa nafsu atas bisikan setan. Maka
haji seperti itu layak disebut sebagai haji pengabdi setan, bukan haji yang mengikuti
perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan ternyata perilaku Nabi saw adalah berhaji cukup
sekali, berinfak ribuan kali. Atau dengan kata lain, Nabi saw lebih mengutamakan
ibadah sosial daripada ibadah individual.
Sekiranya ibadah individual itu lebih utama daripada ibadah sosial, tentu Nabi
saw sudah pergi haji berulang kali daripada menyantuni anak yatim. Sekiranya ibadah
umrah sunnah itu lebih utama daripada menyantuni fakir-miskin, tentu Nabi saw
selalu mondar-mandir ke Makkah, khususnya pada bulan Ramadhan untuk beribadah
umrah sunnah. Dan ternyata itu semua tidak pernah terjadi.
Semoga kita dapat mengikuti tuntunan Nabi SAW dalam beribadah, bukan
mengikuti bisikan setan melalui hawa nafsu kita.
10